BAB 5 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Uraian-uraian di dalam Bab 5 ini, akan difokuskan pada pembahasan hasil penelitian, sebagai upaya untuk menemukan kaitan antara hasil temuan lapangan dan analisis data di satu pihak dengan implikasi teori di pihak lain. Pembahasan akan meliputi ketiga issue besar (pokok) dalam studi-studi migrasi yang diteliti dalam kesempatan ini, yakni ; pertama, issue tentang determinan
migrasi, kedua, issue tentang proses migrasi dan
ketiga issue
tentang dampak migrasi bagi keluarga migran di daerah asalnya. Ketiga issue tersebut secara berturut-turut dipaparkan sebagai berikut:
5.1. Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Migrasi 5.1.1. Dasar Rasionalitas Pemilihan Cara Migrasi. Alasan yang mendasari rasionalitas setiap TKW untuk memilih cara bermigrasi ke luar negeri secara umum memang berbeda antara TKW yang memilih cara legal dan TKW yang memilih cara ilegal. Meskipun mungkin benar dan tidak dapat dibantah bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk berpindah ataukah tidak berpindah dalam konteks migrasi internasional ini sangatlah beragam, kontekstual dan
181
182
kompleks. Artinya, alasan setiap orang bermigrasi dapat berbeda dari waktu ke waktu dan bisa berbeda pula dalam konteks situasi atau kondisi tertentu. Tetapi studi ini telah mencoba memfokuskan pada hasil pengujian hipotesis yang diturunkan dari proses deduksi teoritik Pilihan Rasional, sebagaimana di uraikan dalam Bab sebelumnya. Hasil analisis yang telah dilakukan pada bagian Bab 4 dimuka, terhadap 300 orang TKW baik yang memilih beremigrasi secara legal maupun TKW yang telah memilih beremigrasi secara ilegal dalam penelitian ini, ditemukan kenyataan-kenyatan sebagai berikut . Dilihat dari faktor pendidikan individu Tenaga Kerja Wanita (TKW), untuk kategori legal yang berasal dari tiga Kabupaten di Jawa Timur ini, umumnya memiliki karakteristik sosial - ekonomi dan demografis sebagai berikut. Untuk tenaga kerja wanita kategori legal, mayoritas berusia lebih muda, dibandingkan TKW kategori ilegal; disamping itu, lebih tinggi pula tingkat pendidikannya, relatif “lebih kaya” dan kebanyakan belum menikah pada saat pertama kali menjadi TKW ke luar negeri . Kenyataan seperti ini menunjukkan adanya banyak persamaan dengan kelompok “Early Adopters” sebagaimana di konsepsikan oleh Everett M Rogers (1969); di dalam bukunya tentang Difussion of Innovation. Hal itu nampak pada kategori TKW legal yang lebih muda dan lebih terdidik serta
183
lebih “kaya”, serta cenderung lebih tinggi mobilitasnya , lebih menonjol dan lebih dinamis, bila dibandingkan dengan TKW kategori ilegal yang lebih tua usianya, kurang terdidik, dan sudah menikah (yang lebih terikat oleh peranperan domestiknya). TKW kategori legal, memutuskan untuk bermigrasi sementara waktu (sirkulasi) ke luar negeri, setelah melihat terlebih dahulu berbagai pengalaman konkrit seperti; keuntungan yang diperoleh dari kelompok ‘migran kembali’ yang sudah lebih dahulu melakukan sirkulasi ke luar negeri. Bahwa, mereka juga menguasai informasi lebih lengkap dan lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang kurang terdidik, terutama yang menyangkut kondisi
pasar kerja,
persyaratan kerja di luar negeri, dan
mereka lebih dekat dengan sumber-sumber yang punya akses tentang jenis keterampilan yang dibutuhkan di luar negeri, serta lowongan pekerjaan di luar negeri yang cocok untuk mereka. Meskipun negara tujuan migrasi dari kelompok TKW legal ini ditentukan oleh PT. PJTKI resmi ke negara-negara yang memberlakukan hukum emigrasi dan aturan perburuhan sangat ketat, dengan biaya relatif besar (seperti ke Hongkong, Korea Selatan, Taiwan dan Jepang) -- tetapi TKW kategori legal ini justru memilih cara-cara yang sah tersebut untuk dapat menjadi pekerja asing ke luar negeri. Dasar pertimbangan memilih cara
184
bermigrasi ke luar negeri secara legal menurut
hasil wawancara indepth
dengan YLT (26 th) seorang TKW legal di desa Talok kecamatan Garum – kabupaten Blitar , sebagaimana dicatat oleh salah satu Enumerator lapangan (Masluchi) pada tanggal 27 Juli 2005, menuturkan dalam kutipan percakapan selengkapnya, dan jika dituliskan kembali akan menjadi sebagai berikut : “ Ya, dasarnya ia itu tadi, mbak. Menurut saya pribadi, lebih baik kita itu bersusah payah dan kesulitan di sini, mengurus segala tetek bengek persyaratan keemigrasian macam-macam itu, dari pada kesulitan di negara orang yang sangat asing dan kita tidak mengenal siapa-siapa di luar negeri, trus mau minta tolong ke siapa ?” Dan menurut saya, buat apa gaji besar, tapi bermasalah dan salah-salah masuk penjara. Di negara orang, kan susah, tidak seperti di Jawa ?” Masih menurut responden (YLT) bahwa, tujuan kepergiannya ke luar negeri yang utama adalah untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang ia alami bersama keluarganya selama ini. Ia bertekad untuk keluar dari kesulitan hidup keluarganya itu. Oleh karena itu pula, ia tidak ingin mendapatkan masalah-masalah yang serupa di luar negeri. Kesulitan dalam sekolahnya, memperoleh pekerjaan yang layak dan penghasilan yang tidak cukup di Malang saat ia bekerja di salah satu Hotel, jangan sampai terulang atau terbawa ke luar negeri. “ Prinsip saya, ya mbak; jangan sampai kita itu ‘soro’ (kesulitan) di luar negeri, seperti kejadian-kejadian TKI yang dijual atau disiksa majikan, tidak dibayar, yang dimuat di koran atau di TV itu . Lha wong saya ini niatnya mau mengatasi kesulitan hidup kok, malah ketemu ‘soro maneh’, lak podho ae, ya?. Jadi lebih baik kita ‘soro’
185
(kesulitan) di sini -- kesana kemari ‘munyer lho’ mbak, melengkapi semua persyaratan tetek bengek tadi, dan yo, larang pancene. Tapiii, supaya di luar negeri kita itu aman, tenang dan yang terpenting tidak berurusan dengan polisi atau hukum, sembarang kalir iku, mbak?” Jadi, nek wis resmi ngono, kan emak karo bapak ora was-was, soale aku wedhok menyang dhewek’an nang luar negeri, ya tho ? (jadi, kalau sudah resmi gitu, kan ibu sama bapak tidak khawatir, sebab saya wanita pergi sendirian ke luar negeri) Kalau kita hanya ..ya..yo..ya..yo saja, bisa salah masuk ke jaringan perdagangan wanita, lho, mbak ?! Nah, kan eman tho ? Meskipun statemen seperti ini tidak dapat dipandang sebagai representasi dari responden TKW kategori legal, akan tetapi makna dari pernyataan individual semacam itu, dapat menunjukkan dasar rasionalitas seseorang kenapa ia memilih bermigrasi sementara secara legal ke luar negeri dan bukan secara ilegal, meskipun prosedur dan cara yang terakhir ini jauh lebih mudah (dibuat mudah) dan biaya migrasi dan biaya langsung lainnya biasanya ditanggung pihak majikan atau Teikong. Jadi, informasi indepth dalam “rekaman” interview ini menunjukkan bahwa, dasar rasionalitas di tingkat individu dalam memutuskan atau memilih cara beremigrasi sementara ke luar negeri, adalah adanya jaminan kepastian keamanan dan kenyamanan baik selama bekerja di luar negeri maupun setelah kembalinya mereka dari bekerja sebagai TKW. Nampaknya, sebagian besar (57,3 %) TKW kategori ini (legal) sebelum memutuskan berangkat ke luar negeri, sudah menyadari adanya
186
perbedaan ketentuan bekerja di dalam negeri dengan di luar negeri juga sudah memiliki informasi yang cukup jelas tentang jaringan PJTKI pengirim, jenis pekerjaan, negara tujuan, besarnya upah serta hak dan kewajibannya selama menjadi pekerja asing di negara tujuan, sebelum direkrut oleh suatu jaringan migrasi tenaga kerja resmi. Bahkan ada satu dua responden kategori ini yang mengumpulkan informasi tentang perilaku atau kebiasaan orangorang Jepang yang akan menjadi calon majikannya. Dengan
demikian,
sangat mudah dipahami bahwa kelompok wanita muda ini lebih memilih beremigrasi secara legal melalui peran Jaringan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang resmi, yakni PJTKI yang memiliki SIUP dari Direktorat Jenderal Penempatan dan Pembinaan Tenaga Kerja Luar Negeri (Dirjen PPTKLN) Depnakertrans. Penuturan DSN (25 tahun, ibu satu anak balita) TKW kategori legal yang lain, yang berhasil dicatat oleh Enumerator (sdr Tutung Nurdiyana) pada tanggal 11 Juli 2005 di Tanggul welahan-Tulungagung, sebagai berikut: “ Sekarang kan banyak memang PT yang mencari tenaga untuk dikirim ke luar negeri. Tapi kalau tidak hati-hati, akhirnya kita juga yang sengsara. Dan kalau sudah nemu sengsara di rumah majikan, tidak mudah untuk melapor, sebab salah-salah malah ditangkap police dan masuk penjara di luar negeri. Jadi jangan tanya ejen kalau sudah dapat masalah. Karena paling-paling mereka itu lepas tangan. Menurut saya; mbak, lebih baik kita itu resmi sajalah ! Lebih baik kita keluar uang lebih, dari pada masuk penjara, kan
187
semuanya nanti jadi berantakan. Lalu apa artinya uang banyak,tapi masuk penjara, dan anak , suami malah ikut sengsara, ‘lho ? ” Harapan dan keinginan untuk tidak menemukan masalah hukum atau menjadi obyek tindakan kekerasan atau kriminal lainnya di luar negeri, nampaknya menjadi dasar rasionalitas yang cukup masuk akal bagi TKW kategori legal ini, sehingga kenapa akhirnya mereka memutuskan memilih cara migrasi legal ke luar negeri, meskipun biaya untuk itu masih tergolong cukup besar bagi mereka. Disamping itu, implikasi temuan studi ini tidak hanya mendukung teori Neoclasical Economic Micro sebagaimana dikutip di bagian awal disertasi ini -- tetapi juga memperkuat analisis Samuel Popkin tentang petani rasional yang memilih “dahulukan selamat ” (safety first) dalam migrasi sirkuler antar negara
seperti ini.
Menurut teori Neoclassical Economic Micro; bahwa;
pengambilan keputusan migran potensial untuk bermigrasi ke daerah tujuan yang memiliki potensi ekonomi lebih besar dibandingkan dengan daerah asalnya, telah mempertimbangkan pula biaya migrasi termasuk biaya sosial (social cost) dari perpindahan itu, serta keuntungan yang lebih besar (benefit) yang akan mereka peroleh di daerah tujuan migrasi (Massey, 1993 : 435) Sementara, menurut YLT dan DSN yang telah dikutip di atas, sebetulnya mirip dan sejalan dengan pemikiran Popkin dalam arti, upah yang besar itu
188
memang penting dan harus dikejar. Tetapi cara untuk meraih kesempatan upah besar tersebut perlu pula memikirkan segi keselamatan dan keamanan diri (prinsip dahulukan selamat) dari kemungkinan ancaman fisik
dan
psikologik akibat perbuatan melanggar hukum di negara lain. Sementara itu, kelompok TKW yang bagian terbesar usianya lebih tua, berpendidikan rendah , tidak punya pekerjaan dan penghasilan sendiri, serta sudah menikah itu, telah memilih bermigrasi secara ilegal ke Malaysia atau Brunai Darussalam karena disamping secara finansial mereka tidak mampu membayar biaya migrasi, juga karena ada ketentuan resmi Depnakertrans bahwa pendidikan TKI sekurang-kurangnya tamat SLTP, serta memiliki keterampilan tertentu. Di sisi lain ternyata ada pihak (calo TKI) yang mau dan bisa membawanya sampai ke luar negeri serta menanggung semua biaya migrasi, tanpa harus bersusah payah memenuhi persyaratan tersebut di atas. Kesulitan-kesulitan hidup dalam keluarganya yang dirasakan di tempat asalnya – tetapi di pihak lain begitu banyak orang lain yang sukses dari bekerja kasar di luar negeri tanpa pendidikan dan keterampilan yang memadai – secara kumulatif menjadi dasar rasionalitas bagi TKW kategori ini untuk bermigrasi secara ilegal ke luar negeri.
Secara rata - rata mereka
berpendidikan rendah dan tidak terampil, serta tidak memiliki informasi yang jelas tentang pekerjaan yang akan ditekuni nya di luar negeri. Selain itu,
189
mereka juga tidak tahu siapa calon majikannya, begaimana syarat-syarat kerja dan berapa besar seharusnya upah yang akan mereka terima. Semua jenis informasi tersebut mereka pasrahkan begitu saja pada orang yang “membawanya” ke luar negeri karena sebagian mengaku mendapat bantuan penuh dari Teikong dan sebagian lainnya mengikuti suami dan migran lama (teman) yang mudik. Bahwa “bantuan” (yang harus mereka kembalikan itu, - kecuali dari suaminya) meliputi biaya proses migrasi, akomodasi, perjalanan, pemondokan dan mendapatkan pekerjaan (majikan) di luar negeri. Umumnya mereka menerima pilihan ke negara Malaysia dan Brunai Darussalam, dilakukan karena jarak yang relatif lebih dekat dibandingkan dengan Hongkong, Taiwan, Jepang atau Arab Saudi, dan dapat dicapai secara sembunyi-sembunyi dengan kapal laut pada malam hari. Disamping itu, penyesuaian hidup lebih mudah, karena ada banyak kesamaan Agama dan bahasa, antara bahasa Indonesia yang dikuasainya
dengan bahasa
Melayu di negara tujuan migrasi. Dari sisi kapasitas individual, kenyataan ini sebenarnya mendukung teori Pilihan Rasional, dalam arti; bahwa dengan segala keterbatasan kemampuan individual TKW kategori ini, kemudian memutuskan ikut bermigrasi secara ilegal -- adalah merupakan pilihan yang paling rasional menurut ukuran ibu-ibu yang berpendidikan rendah dari pedesaan, yang hidup dalam tekanan ekonomi ini.
190
Hasil wawancara indepth dengan responden (SLK 34 th) TKW kategori ilegal di kecamatan Besuki – Tulungagung seperti dicatat oleh Enumerator (sdr Nurul Khotimah) tanggal 23 Juli 2005.
Penuturan SLK memberikan
gambaran, dan jika dituliskan kembali akan terbaca seperti berikut : “ Sampeyan lak wis ngerti, jeng ; nek nang ndeso kene iki pancen angel penggawean, opo maneh koyo aku iki sing ora mangan sekolahan. Wong podo mlayu nang kuto dadi Pembantu utowo kerjo pabrik, wis sak kecekele,ngono.! Ning yo tetep wae soro. Dibelani pisah karo keluarga, ning bayarane ora sepiro. Ngenes wis pokok’e, jeng. Lha iki, aku ono sing ngejak menyang luar negeri nyambut kasar-kasaran paribasane, ora perlu mbayar ndisik, mung keri bhudal, lak wis apik tho mbak ? Bayarane yo luwih gede, kerjone podho wae.Tapi sak’iki, kenek gae mbangun omah, tuku sandang,gae mangan yo wis Alhamdullilah. Ning nek nang kene, sampeyan ngerti dhewe, sedino kerjo sampe magrib mung oleh Rp. 4.500,- thok ! Opo yo ora kebangeten,tha mbak ? Mulo pemerintah kudhu mbantu TKI supoyo iso budhal gratis “ Dalam bahasa Indonesia, kira-kira terjemahannya sebagai berikut: “Anda tentu sudah tahu, jika di desa ini memang sulit memperoleh pekerjaan, apa lagi seperti saya yang tidak sekolah ini. Orang-orang ada yang pergi ke kota menjadi pembantu rumah tangga, atau buruh pabrik sedapatnya, tetapi tetap saja susah. Sudah pisah dengan keluarga, tapi penghasilan tidak seberapa. Nah, sekarang ada orang yang mengajak saya kerja kasar di luar negeri, tidak perlu keluar uang, tinggal berangkat, apa tidak lebih baik ?. Dengan pekerjaan yang sama tetapi saya dapat penghasilan jauh lebih besar, bisa membangun rumah seperti sekarang, makan cukup dan bisa membeli pakaian. Tetapi kalau di sini (desa) bekerja dari pagi sampai Magrib, hanya dapat uang Rp. 4.500,- saja, apa itu tidak keterlaluan namanya. Makanya pemerintah harus membantu TKI agar bisa berangkat gratis “ Hasil wawancara indepth yang lain yang sempat dicatat oleh saudara Tutung Nurdiyana pada hari yang sama tanggal 23 Juli 2005, di Kalidawir-
191
Tulungagung adalah dengan TKW ilegal berinisial JMT (33 th) sebagai berikut : “ Naliko semono yo mbak, aku kelingan bapakku lagi gerah, ibu lumpuh, mbuh wis pirang-pirang obat sing thak wenehi, ya panggah ora waras. Aku sumpek mbak, ora nduwe penggawean, ora iso nggolek duwit, anakku telu ora sekolah. Bapak’e mung kerjo angkut sampah nang Pasar.Sok-sok melu kerjo borongan. Sampe akhire aku di tawani kerjo nang luar negeri. Aku ndhuwe karep yo mbak, supoyo aku iso nulung wong tuwo, senajan aku iki anak’e wedhok. Jarene ono penggawean kasar nang Malaysia nang perkebunan kelapa sawit, ning bayarane luwih gedhe timbang kerjo tani nang kene. Jaman kui aku sik nduwe duwit Rp. 37.000,- Tapi karo Lik Gnu (nama calo TKI yang disebut JMT) aku ora usah ngethok ne duit blas, mung keri budhal, mergo sembarange wis ono sing nanggung. Dadi, yen sak’iki aku ditakoni alasan budhal nang luar negeri kerjo melu wong sing ora resmi,yoo? Sepisan; rak, aku ora usah bayar ndisik, pindo; kerjone ya tani, ping telu; bayare yo gedhe pisan, tur sing ngejak iku Lik ku dhewe. Disamping kui, Malaysia kan cedek karo kene, podho Muslime, rak meh mirip koyo wong Padang, basane mirip Indonesia, tho ? Kurang lebih terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut : “ Ketika itu,saya masih ingat, bapak sakit, ibuku lumpuh. Berapapun obat yang saya berikan tetap saja tidak sembuh. Saya sumpek mbak, tidak punya pekerjaan, tidak bisa mencari uang, anak saya tiga tidak sekolah. Suami hanya kerja angkut sampah di pasar. Kadang-kadang ikut orang kerja borongan. Sampai akhirnya saya ditawari bekerja di luar negeri. Saya punya keinginan, meskipun saya perempuan, tapi bisa membantu orang tua. Katanya, ada pekerjaan kasar di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Tapi upahnya lebih besar dibandingkan bekerja tani di sini. Waktu itu saya masih punya uang Rp. 37.000,- Tetapi oleh Paman Gnu, katanya saya tidak usah keluar uang sama sekali. Tinggal berangkat, karena semuanya sudah ada yang menanggung. Jadi, kalau sekarang saya ditanya alasan kenapa berangkat ke luar negeri kerja pada orang yang tidak resmi (Ilegal?), karena pertama,
192
tidak usah membayar lebih dulu, kedua pekerjaan di sana juga bertani, ketiga upahnya jauh lebih besar dan yang mengajak saya ke luar negeri juga paman saya sendiri. Disamping itu, Malaysia dekat dari sini, sama-sama Muslim, bukankah mirip orang Padang yang juga berbahasa Indonesia ? ” Apa yang dapat disimak dari pernyataan JMT, TKW kategori ilegal tersebut di atas, nampaknya faktor pendorong migrasi seperti; tekanan ekonomi, tidak adanya kesempatan kerja di desa asal, dan faktor penarik migrasi seperti; upah dan segala kemudahan ke luar negeri, jauh lebih dominan bila dibandingkan dengan aspek lain, yang telah menjadi dasar rasionalitas pengambilan keputusannya beremigrasi ke luar negeri secara ilegal. Tetapi tidak demikian halnya dengan TKW kategori legal. Seperti yang dapat disimak dari penuturan YLT dan DSN. Aspek jaminan hukum, keamanan dan ketenangan dalam bekerja di luar negeri selain upah yang besar,
nampak
lebih
mengedepan
yang
menjadi
dasar
rasionalitas
pengambilan keputusan beremigrasi secara legal ke luar negeri. Tetapi anehnya, bila dilihat dari faktor Luas Pemilikan Lahan pertanian di daerah asalnya, studi ini menemukan bahwa, faktor ini ternyata tidak berpengaruh langsung terhadap pengambilan keputusan migrasi, dan hal itu berlaku baik untuk TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, luas pemilikan lahan pertanian untuk responden TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal, sebagian
193
besar di bawah 15 ribu meter persegi, bahkan ada diantaranya yang tidak memiliki lagi tanah pertanian tersebut. Jadi, temuan ini memang mendukung hasil-hasil penelitian beberapa ahli yang dilaksanakan terdahulu bahwa, kondisi kekurangan tanah pertanian di pedesaan Jawa sudah sedemikian mengkhawatirkan. Namun jika kenyataan ini ditelaah lebih dalam, kondisi tak bertanah ini sebetulnya merupakan implikasi sekaligus pula menjadi dasar yang kuat, bahwa telah terjadi dislokasi sosial di pedesaan, dalam arti telah terjadi pergeseran okupasi secara drastis sebagai akibat revolusi hijau, dan berbagai perubahan kelembagaan lainnya pasca Orde Baru hingga banyak petani beralih menjadi buruh tani (lihat : Herman Soewardi, pada komunitas petani di Jawa Barat pada tahun 1976; demikian pula Masri Singarimbun dan Penny, tahun 1976; pada kasus Sri Harjo di Kabupaten Bantul - Daerah Istimewa Yogyakarta, serta oleh Hotman M. Siahaan, tahun 1977 dan 1990 pada komunitas petani di Jawa Timur ). Sementara itu, dilihat dari faktor Pendapatan Keluarga di Daerah Asal sebelum mereka menjadi TKW ke luar negeri, terbukti bahwa, rendahnya pendapatan keluarga di daerah asalnya telah mempengaruhi pengambilan keputusan TKW untuk beremigrasi ke luar negeri. Temuan ini berlaku baik bagi TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal. Kenyataan ini memberikan implikasi bahwa disparitas pendapatan antar regional bahkan
194
antar negara (daerah asal migran dengan daerah tujuan migrasi); ternyata masih merupakan determinan utama bagi TKW dari pedesaan Jawa Timur ini dalam memutuskan untuk bermigrasi sementara ke luar negeri. Penuturan pengalaman TKW berinisial STH (30 th) dan Mhmd (32 th) yang berasal dari kabupaten Blitar, sebagaimana dicatat oleh Enumerator (sdr Ervayanti) tanggal 26 Juli 2005, bila dikutip kembali menjadi sebagai berikut : “ Saya merantau ke luar negeri sudah 9 tahun ini, sejak belum nikah. Pertama kali saya ngikut bu Dhe saya ke Hongkong, karena di rumah saya nganggur habis lulus SMA dan rasanya maluuu.. gitu, kok mung mangan turu thok, ora iso mbantu wong tuwo. Trus dengar buDhe saya pulang dari luar negeri, saya lalu dikasi oleh-oleh baju yang bagus dan sandal waktu itu. Pikir-pikir kok banyak sekali uangnya buDhe. Nah, saya nari tho (minta ijin)… sama buDhe saya itu, kepingin ikut kerja di Hongkong. Dari situ lah saya mulai bisa ngelunasi utang bapak saya di BRI Rp. 3 juta di tahun pertama kerja, terus beli sawah dan bangun rumah ini (STH nampak bangga menunjuk rumahnya) di tahun ke enam saya kerja luar negeri“ Pada bagian lain Mhmd menuturkan pengalamannya di luar negeri , dan selengkapnya dikutip kembali sebagai berikut : “…waktu saya belum kerja luar negeri, kami sering tirakat kok mbak? Bukan apa-apa, karena ya memang tidak ada yang bisa dimakan waktu itu, mana bapak sudah pensiun lagi, ibu sudah meninggal lama, wis tha pokoknya susah gitu,lho!. Kerja jaga toko di Blitar juga pernah saya lhakoni, hanya dapat Rp.175.000 /bulan, dan saya keluar, gara-gara tidak suka dengan majikan tua nakal suka juwal jawil. Sekarang alhamdullilah, saya sama suami sama-sama kerja di Singapura, dan majikan saya itu baik sekali. Sampai Lebaran kemarin majikan laki perempuan ikut satu pesawat, tapi dia trus ke Bali. Kerjanya, ya mbak ? Oh, di sana suami saya bantu nyopir dan jaga toko, saya kerja bersih-bersih rumah dan masak untuk majikan.
195
Ini saya siap-siap lagi mau berangkat, karena majikan tidak boleh cuti lama-lama . Saya pulang hanya ingin lihat bapak dan adik nempati rumah barunya, ha..ha..ha ..(tertawa lepas), yaaa ini…, dari hasil kerja kami 3 tahun di sana, mbak “ Temuan ini ternyata di dukung pula oleh hasil kajian SEAMEO Biotrop (2003) seperti yang dimuat dalam Indo-Pos Online tanggal 30 Mei 2005 lalu. Bahwa, di Jawa Timur, telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar kabupaten/kota (http://www.cc.msnscache.com.cache.aspx?q) , dan bahwa selama Otoda berjalan sejak 2001, kebanyakan pemerintah kabupaten/kota sibuk dengan urusan pembangunan infrastruktur ekonomi, sehingga perhatian pada pembangunan kesejahteraan penduduk menjadi tidak maksimal (http://www.cc.msnscache.com/cache.aspx?q) Pendapatan dari bekerja sebagai TKW di luar negeri (legal atau ilegal) ternyata memang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di daerah asalnya. Data yang dicatat oleh Disnaker Kabupaten Malang (sekarang: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk) per Agustus 2005 menunjukkan bahwa jumlah kiriman uang dari TKI yang bekerja di Hongkong dan Taiwan melalui Bank, hampir menembus angka Rp. 200 miliar. Tahun sebelumnya jumlah kiriman uang TKI di Kabupaten ini tercatat sebesar Rp. 180 miliar lebih (Jawa Pos, 16 September 2005: 8) Demikian pula Kabupaten Tulungagung. Pada akhir tahun 2003 juga mencatat jumlah
196
kiriman uang TKI yang sebagian besar bekerja di Hongkong sebesar Rp. 215 miliar (Rp. 215.002.544.098) dan tahun 2004 naik lagi menjadi Rp. 226 miliar, seperti dilaporkan oleh Bank BNI Kabupaten Tulungagung. Jumlah ini, di luar cara pengiriman lainnya (Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tulungagung, 2004) Temuan ini dengan demikian mendukung teori migrasi “Expected Income Model of rural-Urban Migration” dari Michael P. Todaro (1976) yang menyatakan bahwa; (1). keputusan migrasi adalah merupakan fenomena ekonomi yang rasional. Artinya; dorongan utama migrasi adalah karena pertimbangan ekonomi yang rasional ; terhadap keuntungan (benefits) dan biaya (cost) baik berupa finasial maupun psikologik. (2) Keputusan migrasi lebih bergantung kepada harapan (expected) dari pada perbedaan upah riil yang sesungguhnya terjadi antara di desa dan di kota, dimana kemungkinan harapan ini bergantung kepada interaksi dua variabel, yaitu ; perbedaan upah yang sesungguhnya antara desa – kota, dan kemungkinan berhasilnya seseorang memperoleh pekerjaan di kota. (3) Kemungkinan seseorang mendapatkan pekerjaan di kota, berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran yang ada di kota itu. (4) Tingkat migrasi melebihi tingkat pertumbuhan lapangan kerja di kota, bukan lagi merupakan suatu kemungkinan, akan tetapi hal yang logis terjadi. Begitu pula besarnya perbedaan upah riil antara di desa dan di kota.
197
Berikutnya adalah faktor kesulitan Memperoleh Pekerjaan di daerah asal. Studi ini menemukan bahwa, sulitnya memperoleh pekerjaan di daerah asal migran, ternyata tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bermigrasi untuk kategori TKW legal. Hal ini terjadi karena mayoritas TKW kategori legal ini (67,5 %) telah bekerja di daerah asalnya saat sebelum menjadi TKW. Tetapi untuk kategori TKW ilegal, faktor perolehan pekerjaan yang kian sulit di daerah asalnya, terbukti mempengaruhi pengambilan keputusan TKW ini untuk bermigrasi ke luar negeri secara ilegal. Faktor
lainnya
yang
terbukti
memberikan
pengaruh
pada
pengambilan keputusan migrasi adalah Dorongan Keluarga. Penelitian ini menemukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan beremigrasi ke luar negeri ternyata dorongan keluarga migran di daerah asalnya sangat berpengaruh. Ini terbukti baik pada TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal. Demikian pula halnya dengan pengaruh faktor Lingkungan TKW. Lingkungan TKW dalam pengertian ini adalah lingkungan yang ditandai oleh sukses migran lama (migran yang sudah lebih dulu bekerja di luar negeri), yang dapat dilihat dari kemampuan mereka membangun rumah baru, membeli perabot rumah tangga (sofa, meja tamu, kursi makan, almari, tempat tidur, spring bed buffet dll) barang-barang elektronik (TV, kulkas, mesin cuci, mini compo dan hand phone) membeli kendaraan bermotor roda
198
empat dan dua serta meniru “gaya hidup” dan gaya bahasa (yang paling kentara terutama logat dan gaya bahasa melayu Malaysia), begitu pula dengan penggunaan parfum, warna rambut pirang, pendek kata gaya hidup moderen masyarakat asing ditempatnya bekerja -- yang sangat jauh berbeda dengan gaya hidup pedesaan di tempat asalnya. Indikator lain yang dapat dilihat dengan jelas adalah konsep bangunan rumah tinggal TKW yang baru. Rumah TKW yang sukses, dapat segera dibedakan (meskipun ditengah persawahan) dengan rumah penduduk yang bukan TKW. Rumah-rumah TKW umumnya sudah ber arsitektur modern, dengan pilihan warna cat tembok yang menyolok, bertingkat, lengkap dengan pagar dan pintu pagar dari besi stainless steel dan garasi mobil ada di bawah kamar bertingkat) Hasil penelitian ini menemukan bahwa, lingkungan TKW yang sukses seperti itu, ternyata amat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan migrasi TKW baik untuk TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal (Tabel 4. 22) Untuk variabel Peran Jaringan Migrasi, seperti disinggung di halaman di muka; terbukti bahwa, peran jaringan migrasi ini ternyata hanya berpengaruh terhadap pengambilan keputusan migrasi bagi TKW kategori legal, sedangkan untuk TKW kategori ilegal, peran jaringan migrasi ini tidak berpengaruh, karena memang bukan jalur yang resmi lewat Emigrasi. Seperti penuturan Znb (TKW usia 24 th, asal Wuryantoro – Solo yang menikah di
199
Kalidawir). Kepada Tutung Nurdiyana ia menceritrakan pengalamannya, pernah tertipu Calo TKI dua tahun sebelumnya, dan selengkapnya dapat dikutip kembali sebagai berikut : “ … kalau melalui Teikong, Calo atau PJTKI gelap, atau Perusahaan yang hanya numpang proses dari PJTKI resmi, atau juga yang langsung direkrut dari luar negeri, ituu kuatirnya tidak ada persiapan untuk mental, keterampilan atau, soal apa itu ,mbak? … (terdiam sejenak) …budaya dan istiadat majikan, gitu…, Karena yang penting mereka minta berangkat cepat, biaya ditanggung … tapi sampai di luar negeri, kerja tak tentu … malah disuruh ngelayani laki-laki itu lho, mbak… Om, Om itu. Waaah jan, sengit aku, mbak! Karena tidak dipersiapkan gitu sebelumnya , pokok’e budhal cepet-cepetan, … kapok tenan aku “ Wis ora ana bedane karo khewan, Masyaallaaah mbak,sampeyan podho wedhok’e, ya? gilo aku dikongkon ngemut kuwine lho,..,(Znb, nampak emosional, berhenti bicara; sambil mengusap air matanya) Penuturan Znb di atas, sebetulnya menunjukkan bahwa, proses rekrutmen TKI yang serba cepat , mudah dan kadang biaya ditanggung lebih dahulu oleh Teikong, Calo atau PJTKI gelap lainnya tetapi kemudian tidak jelas jaringannya itu, memang pada awalnya nampak lebih menguntungkan bagi calon TKW ketika di desa asal, yang memang kesulitan ekonomi. Apalagi mereka yang hanya tamat SD, tidak mampu berpikir panjang, dan tidak memiliki biaya
untuk berangkat ke luar negeri, namun punya
semangat kerja serta niat untuk mengubah nasib yang luar biasa besar. Tetapi karena jaringan migrasi (pengiriman) TKW
seperti ini tidak jelas, maka
200
sangat
rentan untuk masuk ke dalam lingkaran TKI gelap, seperti yang
pernah dialami oleh Znb di atas. Berbeda halnya dengan para TKW yang akhirnya memutuskan bermigrasi secara legal ke luar negeri, karena memang di atur oleh sebuah jaringan PJTKI resmi, mulai dari pendaftaran, harus memenuhi ketentuan tingkat pendidikan minimal SLTP, masuk penampungan, pelatihan , persiapan dokumen emigrasi dan keberangkatan, penempatan di luar negeri serta kembali ke daerah asalnya semuanya di atur oleh sebuah jaringan PJTKI resmi yang ada di Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung dan Surabaya. Tetapi tidak demikian halnya dengan TKW kategori ilegal. Oleh karena itu, TKW kategori ilegal ini sangat rentan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi seperti; kekerasan, pemalakan (pemerasan), atau pelecehan seksual saat bekerja di luar negeri, bahkan ancaman kematian di tengah perjalanan pulang ke kampung halaman, seperti yang dialami oleh 16 orang TKW yang baru pulang dari luar negeri melalui Bandar Udara Juanda – Surabaya (Jawa Pos, 27 September 2005) Seperti diberitakan , sekitar akhir Agustus 2005 hingga September 2005 yang lalu, di wilayah kabupaten Sidoarjo telah ditemukan 4 mayat wanita yang diduga TKW . (http://www.search.jawapos.com/index.php?act). Menurut Jawa Pos, Mayat Masri (33th) TKW asal kecamatan Praya Kabupaten Lombok
201
Tengah, ditemukan di parit di desa Tambaksumur – kabupaten Sidoarjo yang diperkirakan telah dibunuh pada tanggal 18 September 2005 jam 03.30. Sebelumnya, Esther Baniwine (20th) TKW asal kecamatan Lamboya – Sumba Barat dibunuh pada tanggal 21 Agustus 2005 jam 24.00 dan mayatnya di buang di kebun tebu desa Wonoplintahan – kecamatan Prambon - Sidoarjo, tetapi beruntung ia masih hidup saat dibuang oleh pembunuhnya. Korban berikutnya adalah TKW bernama Sisilia (20th) diperkirakan dibunuh pada tanggal 21 September 2005, dan mayatnya di buang di kawasan Bangil, Pasuruan dan Debby (19th) yang mayatnya di buang di daerah Ngoro, Jombang (Jawa Pos, 28 September 2005) Sebagaimana diberitakan oleh Harian pagi Jawa Pos, sedikitnya ada 4 orang TKW dari sekitar 16 korban yang di duga dibunuh oleh komplotan Yudi, Pika (istri Yudi) dkk. Motifnya adalah, merampas secara halus semua uang TKW yang baru pulang dari luar negeri yang datang di Bandar Udara Juanda, dengan berpura-pura menawarkan jasa pemondokan sementara, sebelum berjanji menghantarkan mereka pulang ke daerah asal masingmasing. Dengan menggunakan logat bahasa khas Sasak atau Sumbawa, Yudi, Pika dan teman-temannya berhasil memperdaya ke 16 TKW tersebut yang “rela” menyerahkan uang hasil jerih payahnya bekerja di luar negeri kepada Yudi dan kawan-kawannya. Besarannya bervariasi antara Rp. 5 juta hingga
202
Rp. 16 juta, serta barang-barang perhiasan mereka (Jawa Pos, 27 September 2005 ; http://www.search.jawapos.com/index.php?act=detail ) Ancaman semacam itu juga bisa datang ketika mereka sedang berada di rumah majikan. Berita tentang TKW bernama Saeni Salikan (31 tahun) asal Pandeglang – Jawa Barat, yang digorok lehernya oleh majikan perempuan di Malaysia , gara-gara makan pisang dan minum susu coklat panas tanpa izin dari majikan tadi. Sang majikan kemudian dilaporkan ke Polisi, tetapi ternyata kemudian bebas setelah membayar denda kepada Polisi Kerajaan Malaysia (Jawa Pos, 9 Agustus 2004 ; http://www.search.jawapos.com/index.php?) Selanjutnya, untuk variabel Hambatan Migrasi, terbukti bahwa, TKW yang mengikuti proses dan prosedur resmi menjadi TKW ke luar negeri seperti disinggung di atas; dengan segala kelengkapan persiapan dan pemilikan dokumen keemigrasian yang sah dari tanah air, ternyata tidak menghadapi hambatan migrasi yang berarti. Oleh karena itu variabel ini tidak terbukti berpengaruh terhadap pengambilan keputusan migrasi untuk TKW kategori legal. Tetapi untuk TKW kategori ilegal, hambatan migrasi ini ternyata berpengaruh. Artinya, jika mereka menempuh proses dan prosedur migrasi yang legal atau resmi, berarti TKW (yang akhirnya memutuskan bermigrasi secara ilegal) ini, harus menunggu dulu hingga ia lulus SLTP, mengeluarkan biaya sangat besar (bagi ukuran mereka) untuk persiapan
203
migrasi menjadi TKW. Adanya ketentuan Depnakertrans melalui Direktorat Jenderal PPTKLN seperti di atas, yang tidak mungkin mereka penuhi segera. Salah satu ketentuan itu menyatakan bahwa, pendidikan minimal calon TKI adalah lulus SLTP, dan sanggup mengikuti pendidikan atau latihan keterampilan selama 3-4 bulan (standar BLKI) yang dilaksanakan oleh PJTKI atau Depnakertrans setempat. Hambatan migrasi bagi TKW kategori ilegal ini tidak hanya sebatas biaya pengurusan paspor dan visa kerja -- tetapi juga biaya training, pelatihan
bahasa
dan
latihan
keterampilan
menggunakan
peralatan
elektronik rumah tangga, (seperti disebutkan di atas) yang kesemuanya itu membutuhkan biaya rata-rata antara Rp. 3.500.000,- hingga Rp. 5.000.000,per orang sampai ditempatkan di luar negeri. Jumlah tersebut dianggap tidak mungkin dapat mereka penuhi dengan kondisi kehidupan sehari-hari yang sudah sangat pas-pasan, jika tidak ada pihak lain yang rela memberikan pinjaman tetapi biasanya dengan bunga yang sangat tinggi, hingga akhirnya menjerat mereka ke dalam lingkaran hutang piutang yang amat merugikan.
204
5.2. Proses Migrasi Menjadi TKW 5.2.1. TKW Kategori Legal. Informasi awal untuk menjadi TKW ke luar negeri sebetulnya diperoleh dari migran lama (tetangga, teman atau saudara) yang saat itu mudik Lebaran. Informasi yang disertai oleh sukses ‘migran lama’ di luar negeri itu, kemudian mendorong calon TKW baru untuk menghubungi seorang Petugas Lapangan (PL) dari PT. PJTKI resmi yang telah merekrut orang yang memberikan informasi tadi. Peranan Jaringan migrasi Tenaga Kerja (khususnya untuk TKW) ke luar negeri seperti disebutkan di atas, sangat menentukan terutama bagi TKW kategori legal. Proses migrasi dari setiap kelompok TKW legal ini nampak cukup bervariasi antara PT. PJTKI yang satu dengan PT. PJTKI yang lain. Artinya, setiap PT. Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) baik di Malang, Blitar maupun di Tulungagung , masing-masing menerapkan persyaratan yang agak berbeda; akan tetapi secara umum polanya hampir sama. Prosedur menjadi TKW kategori legal ke luar negeri, umumnya meliputi delapan tahapan yaitu ; (1) tahap rekrutmen dan pendaftaran di desa asalnya. (2) Tahap pemanggilan calon TKW, (3) tahap pemeriksaan identitas meliputi; (KTP/KSK asli) , STTB (minimal SLTP, tetapi yang diutamakan lulusan SMA) yang asli dan yang sudah dilegalisir, surat ijin
205
suami (bagi yang menikah) atau orang tua (bagi yang belum menikah). (4) tahap pemeriksaan Kesehatan awal, (5) tahap interview untuk mengetahui minat dan motivasi kerja di luar negeri, (6) tahap pelatihan kerja, (7) tahap pengurusan dokumen dan medical chekup untuk mendapatkan sertifikat intrnasional kesehatan (8) tahap pemberangkatan dan penempatan kerja di luar negeri. Proses awal dimulai dengan pendaftaran calon TKW, dan ini dilaksanakan oleh sebuah jaringan yang oleh para responden biasa disebut PL (Petugas Lapangan) dari PT. PJTKI yang ada di tiap desa, dan Korlap (Koordinator Lapangan) yang ada di tiap kecamatan. Data yang bersumber dari PL ini kemudian direkap oleh Koordinator Lapangan (KPL) dan dibuatkan file data perorangan calon TKW. Tahap kedua, dilakukan pemanggilan calon TKW melalui PL untuk mencocokkan kebenaran identitas calon TKW. Setelah dianggap sesuai seluruhnya, calon TKW menjalani pemeriksaan kesehatan lokal oleh dokter yang ditunjuk oleh PT PJTKI bersangkutan. Dalam pemeriksaan ini ada PJTKI yang menerapkan persyaratan usia antara 19-35 tahun, tinggi badan minimal 155 cm dan berat badan tidak boleh lebih dari 60 kg. Calon yang badannya tambun dan berat di atas 65 kg seringkali langsung ditolak. Selanjutnya, jika dinyatakan tidak menderita penyakit menular atau membahayakan, maka calon bisa maju ke
206
tahap interview, untuk mengetahui seberapa besar minat calon untuk bekerja di luar negeri serta motivasi kerjanya, (untuk menghindari putus kontrak di tengah jalan karena calon tidak betah berpisah lama dengan suami, anak ,orang tua atau anggota keluarganya yang lain). Setelah itu, setiap calon menanda tangani surat perjanjian bermeterai, bahwa ia bersedia ditempatkan di luar negeri. Saat akan menanda tangani surat pernyatan inilah, para calon TKW harus mendapatkan ijin tertulis dari suami (bagi yang menikah) atau dari orang tua (bagi yang belum menikah) Pengambilan keputusan apakah berangkat atau tidak, juga terjadi pada saat itu, serta siapa yang paling menentukan “kata putus” tersebut. Jika tahap ini dapat dilampaui, maka calon mulai mengikuti pelatihan bahasa (bahasa calon Majikan). Pelatihan bahasa ini merupakan pelatihan tahap awal untuk melihat kemampuan calon TKW menangkap materi pembelajaran
Jika
dianggap cerdas atau mampu, calon yang bersangkutan dapat mengikuti pelatihan keterampilan kerja dan latihan bahasa secara penuh. Proses pelatihan berjalan kurang lebih 4 hingga 5 bulan (kadang-kadang ada yang hanya 3 bulan tergantung kualitas calon), meliputi keterampilan rumah tangga (mengoperasikan berbagai peralatan elektronik rumah tangga bagi calon Pembantu Rumah Tangga, cleaning service bagi pekerja Hotel atau Rumah Sakit, keterampilan memasak/koki dan merawat bayi atau orang
207
jompo (baby sitter atau older care) bagi TKW di Rumah Tangga dan Rumah Sakit, serta keterampilan dan syarat khusus bagi TKW yang bekerja pada Club Hiburan atau “Entertainment”. Umumnya persyaratan khusus ini dirahasiakan, tetapi menurut keterangan seorang PL di Sawentar- Blitar, syarat khusus itu meliputi; kecantikan, postur tubuh yang baik, tinggi, kulit bersih dan tidak menderita panu atau kadas. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka calon langsung ditolak. (Contoh Persyaratan PJTKI di Lampiran terakhir) Setelah pelatihan berjalan 2 bulan, biasanya PT PJTKI yang bersangkutan sudah mengirimkan data calon TKW ke negara tujuan (Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea, Taiwan atau Jepang) agar Agent di luar negeri segera mencarikan posisi, majikan dan pekerjaan sesuai dengan “demand letter”. Satu bulan menjelang pelatihan berkahir, pihak PT PJTKI biasanya sudah mengurus dokumen keemigrasian calon TKW termasuk visa kerja yang sudah diperoleh dari Pemerintah calon majikannya di luar negeri. Setelah semua tahapan tersebut di atas siap, calon diberangkatkan melalui Bandara Juanda atau Cengkareng. Biaya keseluruhan yang diperlukan untuk bisa berangkat ke luar negeri bervariasi antara Rp. 4.500.000,- melalui Bandara Juanda; dan melalui Bandara Cengkareng, biayanya bertambah menjadi Rp. 5.000.000,- Seluruh biaya migrasi tersebut ada yang dibayar 75 %
208
oleh PT PJTKI pengirim, ada juga yang diwajibkan memberikan deposit Rp. 350.000,- tetapi kebanyakan TKW harus membayar 50 % di depan biaya-biaya itu, dan TKW membayar kembali dengan cara potong gaji, antara 4 bulan hingga ada yang harus dipotong gaji sampai 6 bulan, tergantung besarkecilnya pendapatan TKW di luar negeri . Khusus bagi Petugas Lapangan (PL) mereka dibayar sesuai dengan jumlah calon TKW yang dapat direkrut dan berhasil berangkat ke luar negeri. Untuk setiap calon TKW legal yang berhasil diberangkatkan ke luar negeri, seorang PL akan menerima imbalan dari PT. PJTKI yang bersangkutan antara Rp. 2.000.000,- hingga Rp. 3.000.000,- untuk setiap TKW, tergantung pada PT PJTKI masing-masing. Bagi PT. PJTKI yang tidak memiliki fasilitas pelatihan sendiri, dapat bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja Indonesia (BLKI) milik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ada di Malang
atau
Surabaya. Jika kontrak kerja TKW ini sudah berakhir, mereka dapat memperpanjang kontraknya di luar negeri dengan difasilitasi oleh Agent PT. PJTKI yang ada di luar negeri. Tetapi bagi mereka yang ingin pulang, mereka tetap diatur oleh Agent PT.PJTKI hingga sampai ke desa asalnya.
209
5.2.2.. TKW Kategori Ilegal.
Proses migrasi TKW kategori ilegal berbeda dengan TKW kategori legal yang telah disebutkan di atas. Pertanyaan yang harus dijawab sebenarnya adalah, apa yang telah mendasari rasionalitas orang miskin justru memilih cara ilegal bermigrasi sementara ke luar negeri, untuk meningkatkan kesejahteraannya ? Pertanyaan tersebut diharapkan akan terjawab melalui pembahasan hasil temuan lapangan berikut ini. Sebagian dari TKW kategori ilegal ini ada yang di “bawa” ke luar negeri oleh saudara, teman atau bahkan suaminya yang sudah lebih dahulu bekerja di Malaysia atau Brunai Darussalam, yakni pada saat mereka kembali dari mudik Lebaran. Sebagian lagi bermigrasi ke luar negeri melalui jasa Teikong atau perantara tenaga kerja yang ada di desa atau kecamatan. Umumnya Teikong atau perantara tenaga kerja ini adalah migran kembali (return migrant) yang sudah pernah bekerja di luar negeri pada beberapa orang Majikan. Dalam merekrut TKW kategori ilegal ini, para Teikong biasanya bekerja secara perorangan di Indonesia. Tetapi di luar negeri, mereka memiliki hubungan dengan beberapa Agent atau Taoke
yang
beberapa tahun lalu pernah menjadi majikannya. Atas dasar hubungan baik tersebut, para Teikong atau perantara tenaga kerja ini merekrut calon TKW
210
jika ada permintaan dari mantan Majikan atau Agent yang sudah mengenalnya dengan baik di luar negeri, melalui telephon. Alasan rasional TKW kategori ini lebih memilih bermigrasi secara ilegal karena pertama, adanya kemudahan-kemudahan di dalam proses migrasi, termasuk biaya langsung migrasi ditanggung lebih dahulu oleh Teikong (atau calon Majikan) hingga memperoleh pekerjaan di tempat tujuan, sebagaimana disinggung di muka, kedua, karena tidak perlu membayar “levi” (pajak) yang besarnya sekitar 100 Ringgit Malaysia per bulan, dan menghindari kewajiban ini dianggap menguntungkan ke dua belah pihak (dalam arti, majikan tidak perlu membayar mahal para TKW, sedangkan TKW tidak perlu membayar “levi” yang dianggap memberatkan), ketiga, para TKW ini umumnya dipekerjakan di sektor-sektor ekonomi yang sulit dipantau oleh Polisi Imigrasi Kerajaan (yakni terbesar sebagai pembantu rumah tangga, atau di perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, buah atau perkebunan sayur-mayur yang agak terpencil) Para TKW ini biasanya membayar kembali biaya migrasi dan biaya lainnya, kepada para Teikong atau Majikan, dengan cara potong gaji (upah) yang bervariasi antara 7 hingga 11 bulan. Jangka waktu ini tergantung pada besar kecilnya upah yang diterima TKW, serta besarnya biaya langsung pada saat awal migrasi. Karena tidak dilindungi oleh dokumen kontrak kerja
211
tertulis, maka karapkali terjadi kasus eksploitasi para TKW ini oleh Teikong yang berkedok “membantu”. Ada enam kasus yang ditemukan, dimana TKW kategori ilegal ini harus membayar kembali biaya migrasinya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya migrasi secara legal (yakni antara Rp. 7. 500.000 hingga Rp. 10.000.000 per orang) Tetapi karena, Teikong ini selalu mampu memposisikan diri sebagai figur “dewa penolong” maka bagi TKW yang berpendidikan rendah ini, tidak akan menyadari, bahwa sebenarnya ia telah menjadi obyek eksploitasi Teikong yang membawanya ke luar negeri. Bahkan ada satu kasus yang ditemukan, dimana TKW ini terpaksa punya hutang setelah bekerja di luar negeri, akibat tidak dibayar sama sekali oleh majikan selama 3,5 bulan bekerja, karena ia melarikan diri dari rumah majikannya. Dalam Proses selanjutnya, permintaan tenaga kerja seperti itu, mereka sebut dengan istilah “ Demand Latter” Prosesnya dapat dijelaskan kembali sebagai berikut. Pada awalnya, seorang Teikong mendapatkan bocoran “Demand Letter ” (DL) yang dikirim oleh Pemerintah Malaysia, atau Pemerintah Brunai Darussalam kepada Departemen Tenaga Kerja RI, yang diteruskan ke PT. PJTKI resmi di setiap Daerah melalui Dinas Tenaga Kerja di tiap Kabupaten/Kota. Biasanya kuota dan kualifikasi dari calon TKW sudah ditentukan kriterianya oleh User (calon Majikan) . Tetapi, karena jumlah yang
212
direkrut oleh setiap PJTKI (resmi/gelap) jauh lebih besar dari kuota yang diminta, dan kadang tidak memenuhi kualifikasi yang diminta, maka banyak calon TKW yang terlanjur direkrut harus menunggu diberangkatkan, dan proses ini mereka sebut “Calling Visa” Proses menunggu ‘Visa’ ini bisa satu bulan sampai 8 bulan, bahkan kerapkali tanpa kepastian. Kondisi seperti inilah yang kemudian memicu para calon TKW yang hanya lulus SD, modalnya
yang
pas-pasan
dan
tidak
mungkin
mampu
memenuhi
persyaratan Majikan di luar negeri; kemudian memilih berangkat melalui Teikong yang bekerja secara perorangan di Indonesia. Kondisi serba tidak pasti tersebut kerap dimanfaatkan oleh Teikong yang bersangkutan dengan ajakan gencar dan propokatif dalam merekrut calon TKI (TKW jika yang dibutuhkan itu wanita) untuk dikirim ke negara bagian tertentu di Malaysia atau Brunai Darussalam, bekerjasama dengan eks Majikan atau Agent yang dikenalnya di Malaysia atau Brunai Darussalam, melalui hubungan telephon. Selanjutnya, para calon TKW yang sudah direkrut ini, di antar oleh Teikong (biasanya dalam kelompok 5 atau 10 orang) ke Batam melalui Bandara Juanda. Di Batam mereka harus menunggu beberapa hari sampai datangnya “Borang” yang dikirim oleh calon Majikan dari Malaysia. Selama menunggu, mereka ditempatkan di barak-barak penampungan atas jaminan Teikong tadi. Lama menunggu bergantung pada cepat atau lambatnya
213
“Borang” sampai ke tangan Teikong, tetapi biasanya antara 3 – 5 hari . Jika semua Borang yang dikirimkan itu sudah terisi seluruhnya, maka Teikong mengirim kembali Borang itu kepada calon Majikan. Proses menunggu ini mereka sebut “Calling Visa” . Dalam wawancara indepth dengan salah seorang Teikong di Kecamatan Sawentar- Kabupaten Blitar, terungkap bahwa, Visa yang mereka maksud ternyata bukanlah “Visa Kerja”, tetapi “Visa Kunjungan” , yang hanya berlaku 3 (tiga) bulan lamanya. Jika sampai 2 minggu belum juga ada tanda-tanda mendapatkan “Visa”, maka para Teikong ini biasanya “menyelundupkan” para calon TKW ini ke wilayah Malaysia pada tengah malam dengan menaiki speed boat setelah terlebih dahulu memberitahukan kepada calon majikan lewat telephon. Karena jaraknya relatif dekat, dan calon majikan siap menjemput, maka biasanya mereka sampai di Malaysia masih dalam keadaan gelap dan mendarat dengan aman. Menurut pengakuan Mjn (Teikong yang ditemui di Sawentar) , para calon TKW yang diselundupkan itu, seringkali disuruh menyamar sebagai pedagang buah atau istri nelayan, yang sedang bongkar muat hasil tangkapan, untuk menghindari kecurigaan Polisi Kerajaan Malaysia, yang sedang patroli. Ada juga sebagian TKW kategori ilegal ini yang berangkat melalui Riau, Dumai atau Medan di Sumatra, serta dari Nunukan - Kalimantan. Dari Jawa Timur, mereka di antar ke pelabuhan Merak oleh Saudara, suami atau
214
tetangga yang merekrutnya dengan naik Bus Umum atau Kereta Api. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan ke Riau atau Dumai – Sumatra diantar oleh Teikong lainnya, melalui pelabuhan laut Bakaheuni. Dari daerah ini, mereka selanjutnya dibawa menyeberang ke wilayah Malaysia pada tengah malam, untuk menghindari penyergapan oleh Polisi Emigrasi Kerajaan Malaysia. Dalam hal ini pihak Agent atau calon majikan di Malaysia selalu memberitahukan kepada Pengantar, jika kondisi tidak aman di lokasi pendaratan, dan agar “rombongan calon TKW” menunggu di tengah laut, sampai keadaan benar-benar “aman” Tidak jarang pula mereka harus kembali lagi ke Dumai atau Riau, jika situasinya memang tidak aman untuk mendarat di wilayah Malaysia saat itu. Apabila mereka selamat sampai tujuan, maka mereka inilah kemudian bekerja di Malaysia sebagai TKW Ilegal, di rumah-rumah tangga, industri rumah tangga, proyek konstruksi atau diperkebunan yang jauh dari pantauan Polisi Emigrasi Kerajaan Malaysia, maupun pengawasan KBRI (Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia) di Malaysia.
5. 3. Dampak Migrasi Bagi Daerah Asal
Hasil perhitungan statistika sebagaimana dipaparkan pada Bab 4 di muka menunjukkan bahwa, pengambilan keputusan bermigrasi baik untuk
215
TKW kategori legal maupun TKW kategori ilegal ternyata berpengaruh terhadap kesejahteraan migran dan keluarganya di desa asalnya. Artinya, keputusan bermigrasi menjadi TKW ke luar negeri ternyata secara umum mampu meningkatkan kesejahteraan (materi) para migran dan keluarganya baik yang bermigrasi secara legal maupun ilegal ke luar negeri. Kenyataan ini dapat dilihat dari indikator-indikator ekonomi seperti; kemampuan para migran ini membangun rumah baru di atas rata-rata rumah orang desa, bahkan beberapa di antara rumah yang dibangun itu ada yang dapat dikategorikan sebagai rumah mewah. Disamping itu, kemampuan membeli barang-barang kebutuhan sekunder seperti; mebel, perabot rumah tangga, barang-barang elektronika seperti ; TV, VCD player, Kulkas, hingga kendaraan bermotor
roda dua dan atau roda empat, dalam studi ini
dipandang sebagai indikator peningkatan kesejahteraan dalam arti fisik, tetapi memiliki dampak sosial, psikologik tertentu (rasa bangga atau meningkatkan gengsi) bahkan meningkatkan “power ” bagi pemiliknya. Meskipun demikian, tidak seluruh TKW (migrant kembali) dalam studi ini sukses di luar negeri. Nrt (21 tahun) TKW asal desa Talok kecamatan Garum – Blitar, tergolong orang yang kurang beruntung di luar negeri. Ia berangkat bersama tiga temannya satu desa, di antar oleh Teikong (berinisial Slmt) ke Brunai Darussalam. Sebenarnya ia ragu berangkat karena ia masih
216
memiliki anak usia 2 tahun. Tetapi karena bayangan dan harapannya akan mampu membangun rumah baru, membeli sepeda motor baru, membeli perhiasan dan karena desakan temannya, ia akhirnya memantapkan hati untuk berangkat. Tidak seperti temannya yang lain, ia mendapat majikan yang kasar dan “kejam” menurut ukuran Nrt. Setiap hari ia harus bekerja dari pagi sampai menjelang jam 10 malam, dan hanya boleh makan satu kali, serta dengan lauk yang sama setiap hari. Ketika Nrt protes pada majikan perempuan, ia malah dijambak rambutnya dan diancam akan dilaporkan ke Polisi. Selama 3,5 bulan ia bekerja di rumah majikannya itu, Nrt kemudian melarikan diri saat menjelang Sholat subuh, dan ditolong oleh Sulaeman (pekerja bangunan) asal Gresik yang kebetulan sedang berbicara dalam bahasa Jawa kepada adiknya . Kepada Nurul (Enumerator) ia berceritra, dan selengkapnya dikutip kembali sebagai berikut: “… mbuh aku kok apes menyang luar negeri, ora kok oleh duwit, malah oleh molo. Majikan kasar pol, padahal podho muslim’e lho, mbak? Aku mlayu seko majikan, ora ngerti tujuan ,… ‘Mungkin Gusti Allah paring dhalan, ono konco sing nulung aku, sampek akhire aku iso mulih-Blitar. Sampe saiki aku sik nduwe utang karo pak Met sing biyen ngejak aku nang Brunai “ Ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira terjemahannya menjadi sebagai berikut : “ Entahlah, aku kok sial pergi ke luar negeri, bukannya mendapatkan uang, tetapi malah mendapat masibah (kesulitan) Majikan ku kasar sekali, padahal sama-sama Muslim. Aku lari dari rumah majikan,
217
tidak tentu tujuan. Mungkin Tuhan telah memberikan jalan, dan aku ditolong oleh teman, sehingga akhirnya aku bisa pulang kembali ke Blitar. Sampai sekarang aku masih punya hutang pada (pak Met) yang dulu mengajak aku ke Brunai “ Tetapi bagi sebagian migran yang sukses di luar negeri (terutama yang bekerja di Arab Saudi, Jepang dan Korea) ada yang membuka usaha Jasa Pengerah TKI (PJTKI) lengkap dengan asrama, dan tempat pelatihan keterampilan calon TKI, seperti milik Ibu Lailla (26 th) yang dapat ditemukan di jalan utama masuk desa Tanggul Turus, kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung. Meskipun demikian, dampak lain yang tergolong negatif juga muncul baik pada diri internal migran maupun anggota keluarganya. Dampak yang paling menonjol terlihat selama pengamatan lapangan adalah, “ demonstration effect “ sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari mobilitas vertikal yang mereka alami yang nampak dari perubahan pola konsumsi keluarga migran. Anggota keluarga migran cenderung berperilaku konsumtif yang dapat diamati dari pembelian kendaraan bermotor roda dua dan hand phone yang tidak semestinya. Dampak penggunaan handphone pada warga desa ini kian mengubah pola hubungan sosial “face to face” warga desa menjadi pola hubungan sekunder. Anggota keluarga migran terutama golongan muda, punya kecenderungan mengganti kendaraan roda dua (yang belum genap
218
satu tahun dipakai), dengan kendaran tipe terbaru, apalagi jika di desa itu sudah ada yang menyamai tipe atau jenis yang dipakainya (anak-anak muda dari keluarga migran yang sukses ini, nampak tidak terima jika ada yang menyamai sepeda motornya) Kenyataan ini juga dikemukakan oleh Kepala Desa Tanggul Welahan, yang prihatin dengan pola konsumtif warganya. Sebagian migran yang sukses di luar negeri, tidak memanfaatkan hasil jerih payahnya untuk kegiatan-kegiatan produktif, tetapi mulai hidup boros, dengan membeli barang-barang konsumsi yang tidak perlu dan tidak produktif, seperti berganti-ganti sepeda motor atau Hand Phone model terbaru, membeli film-film baru dalam bentuk CD, yang tergolong mahal. Tetapi bagi sebagian warga desa lainnya yang jeli melihat peluang ini, mereka kemudian membuka toko jual beli sepeda motor bekas atau handphone bekas di desa (yang mereka sebut “show room”) dan membeli sepeda motor bekas atau handphone bekas yang masih “baru” dari anak-anak muda itu, dan menjaulnya kembali dengan cara cicilan kepada warga desa lainnya yang membutuhkan. Jika uang para TKW ini sudah mulai habis, dapat dipastikan mereka akan segera kembali bekerja di luar negeri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di desa yang tergolong plosok di Tulungagung ini, mudah ditemukan toko sepeda motor bekas atau gerai hand phone bekas, bahkan money changer.
219
Dampak lain yang tergolong besar pengaruhnya terhadap perubahan nilai sosial dalam kehidupan masyarakat agraris, adalah terjadinya kasus perceraian yang dimulai oleh pihak istri, dalam hal ini TKW yang sukses di luar negeri. Meskipun perceraian ini merupakan hal yang lumrah terjadi di desa, dan secara kuantitaif kasus ini dapat dihitung dengan jari (hanya 12 kasus perceraian temuan studi ini), tetapi yang menyebabkan perceraian ini menjadi luar biasa -- adalah karena pihak istri sudah ada yang menggunakan Lawyer atau Pengacara (TKW memakai kata “Lawyer” untuk pengacaranya itu) dalam kasus perceraian tersebut. Gejala ini tentu saja merupakan sesuatu yang baru dan mengejutkan untuk lingkup daerah pedesaan. Data kasus perceraian yang bersumber dari Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Blitar sebagai bukti hal itu. Kasus Mjt (24 tahun) warga desa Sawentar – kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar yang berangkat menjadi TKW ke Taiwan melalui PT PJTKI di Malang tahun 2000/2001. Pada saat berangkat pertama kali, ia sudah menikah dan suami bekerja sebagai guru SD. Selama 3 tahun bekerja di Taiwan, kemudian pulang dan mampu membeli sawah serta membangun rumah baru yang cukup besar dan mewah, disamping rumah Ibunya. Hanya beberapa bulan berkumpul dengan suami, Mujiati kemudian menuntut cerai (gugat cerai) kepada suaminya, dan menggunakan jasa Pengacara (lawyer)
220
dari Malang. Perkaranya diputus oleh Pengadilan Agama Negeri Kabupaten Blitar pada tanggal 22 Januari 2005. Alasan yang diajukan oleh Mjt adalah, karena suami tidak pernah memberikan nafkah materi dan terutama nafkah bathin kepadanya. Tetapi alasan sebenarnya, (menurut gosip tetangga yang dicatat oleh saudara Masluchi/enumerator ) ia merasa tidak pantas lagi bersuamikan orang desa yang berpenghasilan rendah, berpenampilan lugu, dan selalu nampak lusuh itu. Beberapa tetangga Mjt malah meng-isukan bahwa ia telah punya pria idaman lain (asal Ponorogo) yang juga bekerja sebagai TKI di salah satu industri perakitan barang elektronika di Taiwan. Di pihak lain, ibu mertua Mjt merasa tidak terima dengan perlakuannya terhadap anak laki-lakinya (suami Mjt) yang dinilai telah ”melanggar kodrat ” sebagai seorang istri. Meskipun demikian, ibu mertuanya tidak dapat berbuat banyak dalam kasus yang menggugat cerai anak laki-lakinya itu. Kasus kedua adalah perceraian St Jyh (25 tahun), juga warga Sawentar – kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar. Jarak rumah St Jyh dengan Mjt tidak lebih dari satu kilometer. St Jyh yang penampilannya tidak mencerminkan orang desa, tetapi mirip selebritis ini -- nampak lumayan cantik, berkulit kuning dengan rambut dicat dan nampak anggun jika berbicara. Awal tahun 2001 ia berangkat ke Jepang menjadi TKW, meninggalkan anak berusia 2
221
tahun dan bekerja di salah satu Club Entertaiment di kota Kyoto. Di kota ini ia bertemu dengan seorang Insinyur asli Jepang yang masih lajang. Tidak jelas yang diceritrakan St bagaimana prosesnya, tetapi ia mengaku awalnya sering ”geting” (muak) bila dirayu oleh pria yang akhirnya menjadi suami keduanya itu. Ia hanya menjelaskan, bahwa jauh dari suami dan anaknya, ia kerapkali merasa kesepian. Tetapi “perjuangan” Insinyur Jepang itu menurut St Jyh sangat gigih dan sungguh-sungguh. St Jyh lama-lama tertarik dengan keperibadian dan pekerjaan laki-laki itu, dan kemudian memutuskan menikah dengan pria Jepang tersebut, meskipun ia sadar sudah bersuami dan punya anak balita. Setelah 2,5 tahun bekerja di Jepang, ia pulang ke Blitar, tanpa suami keduanya itu. Tetapi tiga bulan setelah ia di rumah, suaminya yang asli Jepang itu menyusul ke Denpasar – Bali, ke sebuah alamat yang ia berikan kepada suami barunya itu. St Jyh pun bergegas berangkat ke Surabaya dan naik pesawat ke Bali, untuk bertemu ”suaminya” di Denpasar. Selama satu bulan suami (Jepang) ini di Bali, St Jyh sering bolak balik ke Denpasar – Blitar. Karena itu, Suami pertamanya mulai curiga, dan kecurigaan sering berkembang menjadi pertengkaran hebat. Saat terakhir ke Bali, suami pertamanya mengikuti St Jyh ke Denpasar. Karena tertangkap basah, ia pun akhirnya mengaku, dan anehnya St Jyh justru mengajukan gugatan cerai
222
kepada suaminya. Suaminya menerima gugatan itu tetapi dengan syarat, ia meminta dibelikan mobil Panther baru, dan uang Rp. 200 juta tunai. Ternyata St Jyh lebih memilih bercerai dan memenuhi semua tuntutan Suami pertamanya, dibandingkan mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Pengadilan Negeri Agama Kabupaten Blitar, akhirnya memutuskan perkara gugatan cerai untuk Siti Jaiyah ini pada tanggal 10 Desember 2004. Meskipun tidak berkaitan secara langsung dengan tema sentral penelitian ini, tetapi kasus ini menjadi menarik di bahas dalam kesempatan ini, karena ternyata di pedesaan, dimana otoritas dalam keluarga petani selama ini berada di tangan laki-laki (suami), ternyata sudah bisa dibeli dengan uang oleh istrinya. Dalam kasus seperti ini, konsep “Otoritas lokal Terbeli” nampaknya sangat tepat dipakai untuk menunjukkan perubahan nilai dalam keluarga petani tersebut. Kasus perceraian yang ketiga yang dapat dicatat secara indepth adalah kasus perceraian ibu Llla (26 tahun) dari desa Tanggul Turus- Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung. Kasus ini sangat mirip dengan kasus ‘Otoritas Terbeli’ di atas. Llla yang bekerja di Arab Saudi, tidak nampak seperti kebanyakan TKW. Ia yang berkulit kuning bersih dan tinggi semampai ini (169 – 170 cm) nampak lebih mirip seorang sekretaris Direksi Bank atau Pramugari pesawat komersial dengan bleser dan syal sutra putih
223
melilit di leher. Ketika berangkat ke Arab Saudi menjadi TKW, ia sudah menikah dan memiliki anak balita 2 (dua) orang. Di Arab Saudi ia bekerja pada keluarga kaya (pilot penerbang komersial) selama 3 tahun. Sejak tahun pertama ia bekerja, Llla sering digoda oleh adik majikannya yang baru pulang dari Amerika Serikat. Awalnya ia tidak tertarik sama sekali dan mengaku sering kesal diganggu saat ia bekerja. Tetapi lama -kelamaan ia mengakui secara terus terang sebagai wanita yang sudah bersuami, kadang saat tidur malam hari, kerap merasa kesepian. Ia juga heran kenapa akhirnya ia senang dengan adik ipar majikannya itu yang bekerja sebagai Pengusaha. Tahun ke tiga, Llla pulang ke Tulungagung, tetapi dengan diantar oleh adik ipar majikannya itu. Pihak keluarga suaminya pada awalnya merasa tersanjung dengan kedatangan pria Arab yang dikira majikan Llla itu. Tetapi melihat perilaku mereka (Llla dan adik majikannya) sudah mulai ”diluar batas”, pihak keluarga mertua Llla mulai anti pati dengan keduanya. Percekcokan suami istri dan campur tangan pihak mertua Llla pun tidak dapat dihindari. Tetapi Llla yang merasa telah mengangkat ekonomi keluarganya (termasuk mertuanya) tidak terima dengan sikap dan perlakuan suami dan mertuanya itu. Puncak ketegangan keluarga terjadi, ketika pria Arab ini kemudian meminta agar Llla menceraikan suaminya, dengan kompensasi tertentu.
224
Hampir sama dengan kasus St Jyh, Llla pun kemudian menceraikan suaminya, dengan kompensasi uang senilai Rp. 190 juta tunai, sebidang tanah sawah dan sebuah sepeda motor baru. Selama hampir tiga bulan suami “baru” nya ini tinggal di Tulungagung, Llla, kemudian membangun usaha PJTKI di jalan utama masuk desa Tanggul Turus. Karena suami ”barunya” itu tidak punya ijin tinggal, dan di Arab Saudi memiliki perusahaan, maka pria Arab itu kembali ke Arab Saudi. Selama satu tahun suaminya itu tidak pernah berkabar, dan Llla kemudian memutuskan untuk kawin lagi dengan laki-laki lain (salah seorang karyawannya), yang berasal dari Jawa Barat yang tampangnya mirip artis Donny Kusuma. Kasus-kasus ketegangan dalam keluarga TKW kategori legal yang belum menikah, memang tidak banyak yang terekam. Meskipun demikian, ada dua kasus yang sempat dicatat secara ”indeph ”sebagai dampak negatif perpisahan calon istri (yang menjadi TKW ke luar negeri) dengan laki-laki calon suami (yang tidak menjadi TKI). Kasus Sumrsh (22 tahun) dan Ftmh (23 tahun) ke duanya di Malang. Sumrsh sebenarnya sudah resmi dipinang oleh keluarga calon suaminya dari kecamatan Dampit, sebelum berangkat menjadi TKW dua tahun yang lalu. Setelah sukses menjadi TKW di Korea, ia peraktis menjadi tumpuan utama ekonomi keluarganya. Rumah baru dan besar berikut mobil
225
menjadi atribut baru Sumrsh. Demikian besar pengaruhnya dalam keluarganya (apapun keinginan ayah-ibu atau adiknya selalu menunggu persetujuannya) sehingga dalam waktu singkat ia telah menjadi ”penentu” hampir segala hal dalam keluarganya. Kondisi tersebut ternyata berdampak pada hubungan antara Sumrsh dengan calon suaminya. Calon suami Sumrsh nampak mulai menjaga jarak karena mengetahui calon istri lebih ”powerfull” dalam ekonomi, sebaliknya
ia mulai ”minder” melihat Sumrsh kemana-
mana selalu diantar sopir naik mobil, sementara calon suaminya hanya karyawan pabrik Es Batu yang setiap hari naik sepeda motor tua jika bekerja ataupun bertandang ke rumahnya. Agak berbeda dengan Sumrsh, Ftmh (23 tahun) yang disebutkan di atas, mengingkari komitmen awal dengan pacarnya yang masih terhitung kerabatnya. Hasil wawancara saudara Ervayanti (enumerator) dengan Pamong Desa yang mengantarkannya ke rumah Fatimah, secara dapat diutarakan kembali seperti berikut.
ringkas
Pihak keluarga calon suami
merasa tidak senang dengan perlakuan Ftmh terhadap anak laki-lakinya yang memposisikan calon suaminya itu layaknya seorang pesuruh keluarga dibandingkan dengan posisinya sebagai calon suami atau anggota kerabat sendiri. Hal ini menyebabkan orang tua dari calon suami sakit hati, dan
226
mengakibatkan hubungan antara pihak keluarga calon suami dengan Ftmh sendiri menjadi tidak baik. Implikasi yang dapat ditarik dari kasus ini adalah bahwa, dampak perpindahan sementara istri (atau calon istri) ke luar negeri; disamping mengurangi intensitas hubungan suami - istri, juga telah
menyebabkan
terjadinya (semacam) pergeseran otoritas, karena istri tiba-tiba memiliki “power” sebagai konsekuensi logis dari gaji besar yang ia peroleh di luar negeri. Karena ia punya uang banyak maka iapun punya “power”. Karena memiliki power, maka ia tiba-tiba begitu diperhitungkan di dalam setiap pengambilan keputusan penting keluarganya (bahkan cenderung dominan). Ini merupakan salah satu dampak migrasi yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Kisah perceraian yang mirip ceritra pada sinema elektronika ini, meskipun secara kuantitas jumlahnya tidak banyak , tetapi menarik untuk dikaji lebih lanjut terutama dengan pendekatan kualitatif, karena memiliki implikasi yang jauh lebih dalam dari sekedar kasus perceraian biasa. Penggunaan jasa Pengacara (Lawyer) dalam kasus perceraian keluarga di pedesaan, juga nampak tidak biasa, terutama jika dilihat dari konstelasi kehidupan yang masih sangat kental dengan ciri agraris, serta dikaitkan dengan dampak perpisahan sementara suami-istri ke luar negeri. Oleh karena
227
itu masih ada wacana-wacana lain yang menarik yang perlu dilakukan dan ditindak lajuti dengan studi yang baru, yang lebih mendalam ; untuk melihat pergeseran-pergeseran nilai kodrat perempuan menuju ke arah relasi gender (dalam konteks nilai kultural, baca : otoritas laki-laki) di kalangan keluarga migran – khususnya, dalam pengambilan keputusan penting keluarga petani di wilayah pedesaan dewasa ini. Disamping itu, perbedaan rasionalitas yang mendasari keputusan melakukan migrasi sementara waktu, menjadi TKW sebelum berangkat dan setelah kembali dari luar negeri, (yang ternyata luput dari kerangka pemikiran studi ini), perlu dilakukan kajian tersendiri.
***