BAB 5: MEMAHAMI KONFLIK Pokok Bahasan Apa itu Konflik? Tipe-tipe Perwujudan Konflik Dinamika Konflik (Eskalasi dan Deeskalasi) Faktor-faktor Penyebab Konflik Konflik dan Kesadaran Memilih Informasi
Penulis Mohamad Nabil Penyelia Tulisan
Wahidah Rosyadah Pengajar Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam Bandung
Zulkarnaen Pengajar Pondok Pesantren Nur Medina Tangerang
Nasif Ubadah Pengajar Pondok Pesantren Al-Azhar Salatiga
Rosifi Pengajar Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep
Hasan Mahfudh Pengajar Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta
MEMAHAMI KONFLIK
K
omunitas pesantren perlu mengenali konflik dari berbagai
dimensinya agar tidak mudah terpancing dan terbawa arus konflik itu sendiri. Lebih dari itu mengenal dan memahami hakekat konflik diperlukan agar pesantren tidak hanya menjadi penonton pasif, tapi mampu aktif merespon setiap konflik secara kreatif. Karena itu modul dengan judul “Memahami Konflik” ini perlu menjadi rujukan pendidikan perdamaian di lingkungan pesantren. Modul ini sendiri merupakan kelanjutan modul sebelumnya yang membahas konsep perdamaian dan hak asasi manusia (HAM) baik dalam perspektif PBB maupun dalam perspektif Islam. Dengan menguasai materi ini para santri memiliki bekal pengetahuan teoritis dan teknis untuk mengatasi tantangan obyektif dalam upaya tanpa henti mencapai kehidupan yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Bab ini mambahas isu-isu pokok dalam memahami konflik. Diawali dengan definisi konflik, pembaca lalu diajak untuk mengenali bentukbentuk perwujudan konflik, dinamika konflik berupa eskalasi dan deskalasinya, dan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya konflik. Yang juga tak kalah pentingnya adalah isu konflik yang disebabkan oleh berbagai bentuk hasutan dan provokasi kebencian dan permusuhan yang dewasa ini marak terjadi di berbagai media sosial.
189
Tujuan
Setelah menyelesaikan bab ini, peserta pelatihan dimungkinkan mampu: 1. Memahami pengertian dan hakekat konflik 2. Memahami tipe-tipe perwujudan dan dinamika konflik 3. Mengenali dan memahami faktor-faktor penyebab konflik 4. Menyikapi dengan tepat informasi di Sosmed yang dapat memicu konflik
Indikator Setelah mengikuti sesi ini, fasilitator dapat mengevaluasi keberhasilan pembelajaran selama pelatihan dengan menggunakan beberapa hal berikut sebagai petunjuk: 1. Peser ta mampu mempresentasikan definisi konflik , menjelaskan kaitan antara perbedaan dan konflik, serta menunjukkan contoh sikap positif menghadapi konflik. 2. Peserta mampu menjelaskan dengan baik 4 tipe perwujudan konflik dan tahapan-tahapan Eskalasi dan Deeskalasi Konflik (Dinamika Konflik). 3. Peserta dapat menyebutkan dan menjelaskan 5-6 akar penyebab konflik. faktormenyebutkan alasan-alasan mengapa perdamaian harus ditegakkan dan menjelaskan kapan peperangan terpaksa diperbolehkan. 4. Peserta dapat menunjukkan komitmen mereka untuk memilih informasi di media sosial yang mendukung toleransi dan perdamaian dan menolak informasi yang memecah belah dan menghasut kebencian.
Waktu 90 menit
190
Metode 1. Curah pendapat (Brainstorming) 2. Ceramah kecil (Small lecturing) 3. Diskusi kelompok kecil (Small group discussion)
Alat & Bahan 1. 2. 3. 4. 5.
Flip Chart Spidol Karton Isolatip Gambar-gambar
Langkah-Langkah 1. Setelah memperkenalkan diri, fasilitator menjelaskan tujuan dari sesi ini: yaitu Memahami Konflik. Sesi ini terdiri dari beberapa bagian. 1) pengertian dan hakekat konflik; 2) tipe-tipe perwujudan konflik dan dinamikanya; 3) faktor-faktor penyebab konflik; dan 4) bagaimana menyikapi informasi yang dapat memicu konflik. 2. Untuk menjelaskan definisi konflik, fasilitator menyampaikan ilustrasi ringan tentang kejadian keributan antara santri di tempat jemuran pakaian (Lihat Bahan Bacaan). Fasilitator meminta 1-2 peserta untuk menyampaikan pengalaman sendiri atau orang lain yang dilihatnya yang mirip dengan cerita tadi. 3. Fasilitator mengajak peserta membahas cerita keributan di tempat jemuran tadi, dan mengajukan pertanyaan: apakah antara Santri A, B dan C terdapat pertentangan kepentingan? Kalau iya, dimana bertentangan kepentingan tersebut? Selanjutnya fasilitator menanyakan, apakah B dan C menerima perilaku A menggusur dan memindahkan pakaian mereka tanpa seizin mereka? 4. Berdasarkan cerita tadi, fasilitator mengajak peserta
191
menjelaskan definisi konflik . Yaitu, PERTENTANGAN KEPENTINGAN ANTARA DUA ORANG ATAU LEBIH YANG DISERTAI DENGAN PERILAKU YANG TIDAK SELARAS ANTARA MEREKA. Tidak lupa, fasilitator menuliskan definisi tersebut di atas kertas Flip Chart atau di papan tulis. 5. Untuk menjelaskan hakikat perwujudan konflik, fasilitator mengajak peserta membahas cerita tadi dengan membuat 4 versi skenario jalan cerita. a. Pertama, skenario cerita yang tidak menunjukkan adanya pertentangan kepentingan dan perilaku (Nihil Konflik); b. Kedua, skenario cerita yang menunjukkan pertentangan kepentingan yang tajam antara A, B dan C (terjadi berulangulang), tapi B dan C tidak menunjukkan perilaku yang menentang A, hanya saja menyimpan rasa marah yang terus-menerus di hatinya (Konflik Laten); c. Ketiga, skenario cerita yang menunjukkan pertentangan kepentingan antara A, B dan C disertai perilaku yang juga bertentangan, tapi hanya cek-cok biasa dan selesai dengan cepat (Konflik di Permukaan); dan d. Keempat, skenario cerita yang menunjukkan adanya pertentangan kepentingan antara A, B dan C dalam hal jemuran. Dibalik persoalan jemuran tadi ada beberapa pertentangan kepentingan lain yang lebih mendasar antara A vs B + C (pertentangan kepentingan politik dan juga persaingan lainnya). Kepentingan yang bertentangan ini ditambah dengan perilaku yang tidak selaras antara mereka (Konflik Terbuka). Lihat Bahan Bacaan terkait! 6. Selanjutnya fasilitator membahas tentang Dinamika Konflik. Fasilitator menjelaskan Dinamika Konflik sebagai “situasi dan kondisi dimana suhu konflik menaik dari fase normal ke puncak konflik (Eskalasi) dan dari puncak konflik menurun hingga kembali ke fase normal (Deeskalasi).” Untuk menjelaskan ini, fasilitator membagi peserta menjadi 4 kelompok, kepada setiap kelompok diberikan tugas yang sama. Yaitu mengamati serangkaian gambar (setiap gambar diberikan judul yang
192
sesuai) yang menunjukkan fase tertentu dari dinamika konflik, apakah Eskalasi atau Deeskalasi. Lalu setiap kelompok diminta mengidentifikasi gambar mana yang cocok dengan fase Eskalasi dan mana yang cocok untuk Deeskalasi. Setelah itu mereka diminta untuk meletakkan masing-masing gambar tersebut pada kolom Eskalasi yang diberi tanda panah ke atas, dan pada kolom Deeskalasi yang diberi tanda panah ke bawah. Pada masing-masing kolom, gambar diletakkan secara hirarkis, yakni dari yang paling bawah secara bertahap hingga yang paling atas, atau sebaliknya. Setelah semua kelompok mempresentasikan hasil tugasnya, fasilitator memberikan komentar terhadap presentasi kelompok dan memberikan penilaian dengan mengacu kepada teori Dinamika Konflik (Lihat Bahan Bacaan). 7. Fasilitator selanjutnya membahas faktor-faktor penyebab konflik dan bagaimana seharusnya kita menyeleksi informasi. Karena tidak jarang informasi atau berita justru mengadu domba dan yang mendorong orang berkonflik. Untuk menyingkat waktu, fasilitator dapat melanjutkan dengan empat kelompok di atas. Kepada dua kelompok diberikan tugas membaca bahan bacaan “Apa itu Konflik” sub bagian “Faktorfaktor Penyebab Konflik”. Sementara kepada 2 kelompok lainnya diberikan tugas untuk membaca Bahan Bacaan “Kesadaran Untuk Memilih Informasi”. 8. Kepada 2 kelompok pertama diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan sbb: 1) Apa saja faktor psikologis yang menyebabkan konflik?; 2) apa saja faktor pengetahuan yang menyebabkan konflik?; 3) Apa saja faktor sosiologis yang menjadi penyebab terjadinya konflik sosial?; 4) Apa hubungan antara ketiga faktor tersebut? Kepada 2 kelompok lain diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan sbb: 1) Mengapa informasi dapat mencelakakan orang dan menyebabkan konflik di masyarakat? Berikan Contoh; 2) Bagaimana seharusnya kita menyikapi setiap postingan yang berisi berita atau informasi? 9. Setelah tugas dikerjakan, masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil bacaan dan diskusinya.
193
Fasilitator mencatat point-point penting dan memberikan komentar bila ada hal-hal yang kurang jelas. 10. Fasilitator memberikan kesimpulan umum mengenai matarei pada sessi ini baik pengertian konflik, tipe-tipe perwujudan konflik, dinamika konflik, faktor-faktor penyebab konflik termasuk faktor informasi dan bagaimana menyikapinya. 11. Fasilitator menutup sessi dengan sama-sama bertepuk tangan dan mengapresiasi semangat dan kemauan peserta untuk mengikuti sessi ini.
194
Bahan Bacaan
APA ITU KONFLIK?
A. PENDAHULUAN 1. Sebuah Ilustrasi Awal Sebagai santri pernahkah kita berkonflik dengan santri lainnya? Misal, santri A ingin menjemur cuciannya, namun di jemuran sudah penuh dengan pakaian B dan C. Pakaian yang dijemur itu sudah kering, namun belum diambil oleh pemiliknya, jadi masih dibiarkan di tali jemuran. Santri A berinisiatif mengambil pakaian B yang sudah kering dan diletakkan di keranjang baju yang berada di tepi area jemuran. Sedangkan baju milik santri C “digusur” hingga ke ujung tali jemuran. Apakah reaksi santri B dan C ketika mengetahui hal ini? Bisa ditebak, yang terjadi selanjutnya adalah cekcok mulut antara santri B dan C dengan santri A. Santri C tidak terima pakaiannya disingkirkan ke ujung tali jemuran, yang menyebabkan pakaiannya lecek. Sedangkan santri B hanya meminta agar santri A lebih sopan, karena memindahkan pakaiannya tanpa sepengetahuannya. Santri A berdalih karena tali jemuran yang ada penuh oleh pakaian santri B dan C, dan semua pakaian itu sudah kering, maka ia berinisiatif memindahkan semua pakaian milik santri B dan C, agar ia dapat menjemur pakaiannya yang masih basah. Apa yang dapat kita pahami dari cerita di atas? Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa dalam peristiwa sehari-hari kasus yang paling sederhana sekalipun berpotensi memicu konflik. Konflik adalah suatu hal yang alamiah dan sangat manusiawi. Itu dikarenakan manusia tidak selamanya bisa bersikap selaras dengan orang lain manakala terdapat perbedaan kemauan satu sama lain. Ada banyak faktor yang menyebabkan sikap yang
195
tidak selaras tersebut. Bisa karena keadaan yang kepepet, bisa karena salah paham, bisa karena kurang komunikasi dengan orang lain, atau bisa karena sifat menang sendiri, tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Perbedaan kemauan atau kepentingan adalah hal yang alamiah dan manusiawi. Justru karena itulah agama Islam mengajarkan manusia berinteraksi satu sama lain dengan baik (mu’âmalah hasanah): agar tercipta hubungan sosial yang damai dan selaras. Manusia ditakdirkan condong kepada keselarasan, harmoni, ketenangan dan damai. Sangat jarang orang yang sifat dasarnya gandrung kepada konflik, kegaduhan, dan kekacauan. Karena itu, adalah wajar apabila pada umumnya orang menganggap konflik sebagai suatu yang bermakna negatif, yang tidak diharapkan terjadi. Kita sering melihat tatkala terjadi keributan, orang kebanyakan menghindar dan menjauh atau sekadar menonton keributan tersebut kalau dirasa tidak terlalu bahaya bagi dirinya. Kalaupun terlibat, bisa dipastikan orang itu, kalau dia waras tentunya, sedang menuntut haknya untuk dipenuhi atau dihormati, atau dipulihkan kembali (apabila dia merasa haknya dirusak atau dihilangkan). Sebaliknya, tidak banyak orang yang sengaja masuk dalam situasi keributan dengan niat melerainya. Mereka mungkin takut akan jadi korban kemarahan orang yang berkonflik.
Mengelola Konflik Apabila konflik ini dapat dikelola dengan damai dan kreatif, maka konflik ini bermakna positif, yakni menjadi kekuatan yang membangun
196
Meskipun demikian, tidak semua konflik bermakna negatif. Malahan adakalanya konflik itu juga bisa menghasilkan suatu hal yang positif. Dengan kata lain konflik dapat membawa hikmah, yakni menjadikan kehidupan masyarakat lebih dinamis. Karena itu, potensi konflik perlu dikenali dan dipahami bukan untuk ditutup-tutupi atau dibiarkan lepas tanpa kendali, melainkan agar dapat dikelola dengan kreatif. Kalau sengaja ditekan-tekan, sebuah konflik justru akan menjadi laten (tersembunyi), namun ketika muncul di permukaan, akan sangat sukar dikendalikan. Karena itu, sebaiknya konflik dikelola agar menjadi kekuatan yang dapat membangun kemajuan masyarakat. Contoh mengelola konflik adalah dengan cara membuat aturan main agar pihak-pihak yang memiliki
kepentingan yang berlawanan dapat mencapai kepentingannya dengan cara-cara damai alias sesuai aturan. 2. Apakah Perbedaan Selalu mendorong Konflik? Seperti telah diilustrasikan di atas, perbedaan semata tidak serta-merta mendorong orang berkonflik. Pasalnya, dalam kenyataan sehari-hari konflik sering terjadi di antara orang yang justru memiliki kesamaan. Misal, orang yang sesama agama bisa berkonflik. Orang yang sesama suku juga bisa berkonflik. Orang sesama partai politik apalagi sering berkonflik. Sebaliknya, dua orang yang berbeda jenis kelamin banyak yang bisa hidup berdampingan secara damai sebagai suami istri, misalnya. Walaupun tidak sedikit pasangan suami-istri yang bertengkar dan berakhir cerai. Dalam kenyataan sehari-hari, kita melihat orang-orang dari jenis kelamin yang berbeda, suku dan agama yang berlainan, pendidikan yang beragam, dan keyakinan politik yang berwarna, justru dapat hidup rukun dan damai. Namun, tidak jarang juga kita melihat konflik-konflik yang terjadi diwarnai dan membawa semangat perbedaan tersebut. Kita mengenal konflik bernuansa agama, konflik antara suku, konflik politik, dan sebagainya. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa dengan perbedaan orang bisa berkonflik, tapi dengan perbedaan pula orang bisa hidup rukun dan damai. Pertanyaannya, mengapa perbedaan bisa membuat orang berkonflik? Jawabannya terletak pada kepentingan yang bertentangan yang secara alamiah dibawa serta oleh perbedaan itu. Karena keyakinan agama dan politik yang berbeda, misalnya, orang-orang memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kenyataan-kenyataan sosial yang sama. Begitu pula mereka berbeda dalam menentukan cara bagaimana seharusnya tatanan sosial diatur. Perbedaan pandangan dan cara tersebut pada gilirannya menentukan perbedaan kepentingan antara mereka. Tatkala tidak mampu mencapai titik temu yang menghubungkan antara pandanganpandangan yang berbeda tadi, maka mereka akan berkonflik.
197
Sebaliknya, apabila berhasil merumuskan dan menyepakati pijakan dan aturan main bersama dalam mengelola perbedaan tadi, manusia akan dapat hidup rukun dan damai. Tentu dengan satu syarat: mereka semua taat pada aturan main yang disepakatinya! Kalau tidak, mereka akan tetap berkonflik. Sampai di sini terdapat dua unsur kunci dalam konflik: kepentingan yang bertentangan dan perilaku yang tidak selaras. B. PENGERTIAN KONFLIK Definisi Konflik Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa dengan perbedaan orang bisa berkonflik, tapi dengan perbedaan pula orang bisa hidup rukun dan damai.
1. Definisi Konflik Jadi di sini kita dapat menggarisbawahi bahwa konflik terjadi karena adanya pertentangan kepentingan (pandangan, tujuan, cara mencapai tujuan) atau karena perilaku orang yang memiliki kepentingan yang berlawanan tadi tidak selaras satu sama lain. Pengertian di atas sejalan dengan makna kata konflik itu sendiri. Secara bahasa (etimologi), konflik berasal dari kata kerja bahasa Latin, configere, yang terdiri dari dua kata, yaitu “con” (bersama), dan “figere” (tubruk atau bentur). Dari sini istilah konflik kemudian memiliki arti “saling berbenturan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Secara sosiologis, konflik diartikan juga sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. 2. Pandangan dan Sikap Orang menghadapi Konflik Ada tiga cara orang memandang konflik: Pertama, cara pandang yang negatif. Orang dengan cara pandang ini melihat konflik sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence (kekerasan), destruction (kehancuran), dan irrationality (tanpa
198
akal sehat). Tapi ini adalah cara pandang lama. Kedua, cara pandang yang positif. Orang dengan cara pandang ini melihat konflik sebagai hal biasa alias niscaya. Konflik muncul sebagai konsekuensi adanya hubungan antara manusia. Karena sifat keberadaannya tidak dapat dihindari, konflik harus diterima dan tidak perlu ditolak. Namun ia mesti dikelola secara baik sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Ini adalah cara pandang yang baru tentang konflik. Ketiga, cara pandang yang progresif. Orang dengan cara pandang ini menganggap konflik bukan hanya biasa dan niscaya melainkan dibutuhkan. Malah konflik dalam suatu kelompok sengaja dipertahankan dengan anggapan bahwa kelompok yang nihil konflik, yang selalu kooperatif, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu diper tahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat, kritis pada diri sendiri, dan kreatif. 3. Sikap Menghadapi Konflik Dalam kenyataan sehari-hari kita menyaksikan ada tiga sikap orang merespon suatu situasi konflik. Pertama, menyikapi konflik dengan kekerasan. Sikap ini biasanya disebabkan oleh karena orang itu merasa terancam oleh kemungkinan agresi lawan atau pihak lain. Disamping itu, dia tidak memiliki kemampuan menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara damai. Sehingga kekerasan dianggap satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik dan meraih kepentingannya. Dalam konflik sosial, cara-cara kekerasan ditempuh oleh kelompok masyarakat karena mereka tidak menemukan saluran dialog, suara-suara ketidakpuasan dibungkam, dan tidak adanya penegakan hukum pada setiap pelanggaran. Namun, apapun alasannya kekerasan adalah cara terburuk
Analisis Konflik Tiga sikap orang menghadapi konflik: 1. Menghadapi konflik dengan kekerasan; 2. Lari dari konflik atau setidaknya berdiam diri terhadap konflik; 3. Berusaha dengan tenang mencari jalan untuk menangani konflik dengan cara damai.
199
Konflik adalah suatu hal yang alamiah dan sangat manusiawi. Itu dikarenakan manusia tidak selamanya bisa bersikap selaras dengan orang lain manakala terdapat perbedaan kemauan satu sama lain.
dalam menyikapi konflik. Karena itu, cara ini mesti dihindari oleh setiap orang karena berpotensi pada terciptanya kekerasan-kekerasan lain yang didasari oleh dendam bahkan selanjutnya berpotensi terciptanya masyarakat berbudaya perang. Kedua, menghadapi konflik dengan cara lari atau berdiam diri. Sikap ini didasari oleh rasa takut konflik akan membahayakan dirinya. Bagi kebanyakan orang sikap ini paling realistis dan tidak beresiko. Kedua sikap di atas dipengaruhi oleh cara pandang yang melihat konflik sebagai sesuatu yang melulu negatif. Sedangkan cara pandang positif atau progresif terhadap konflik akan membentuk sikap tenang dan konstruktif dalam merespon situasi konflik. Ketiga, menghadapi konflik dengan tenang dan berusaha mencari jalan keluar untuk menangani konflik secara damai. Ini adalah sikap yang semestinya tertanam pada diri setiap anggota masyarakat pesantren. Khususnya santri, mereka harus memupuk kesadaran demikian sejak dini. Al-Qur’an sendiri mengajarkan kepada umat Islam untuk mendahulukan caracara damai ketika merespon konflik. Dalam bahasa al-Quran resolusi konflik secara damai disebut dengan ishlâh:
(اﳕﺎ اﳌـﻮءﻣ ﻮن اﺧﻮة ﻓ ٔﺻﻠﺤﻮا ﺑﲔ ٔﺧﻮ ﲂ )ا ٔﯾﺔ “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah (ashlihû) saudara-saudaramu (yang berkonflik) itu.” (QS. al-Hujurat: 10) Tersirat dari ayat ini beberapa nuktah pemikiran: a. Saudara seiman saja bisa bertengkar (berkonflik), apalagi dengan yang berbeda keyakinan. Artinya konflik adalah sesuatu yang lumrah terjadi. b. Ketika terjadi konflik, maka sikap dasar yang dianjurkan adalah mencari solusi damai (ishlâh), bukan dengan
Terjadinya Konflik Konflik terjadi karena adanya pertentangan kepentingan (pandangan, tujuan, cara mencapai tujuan) atau karena perilaku orang yang memiliki kepentingan yang berlawanan tadi tidak selaras satu sama lain.
201
Persatuan Persatuan dan persaudaraan itu tujuan hidup bermasyarakat. Resolusi konflik damai (isláh) diperintahkan dalam al-Qur’an alasannya karena itu adalah cara yang terbaik untuk memulihkan hubungan persaudaraan dan persatuan yang bisa saja retak karena konflik.
berdiam diri, lari darinya, apalagi menempuh jalan kekerasan. Jalan yang terakhir ini harus dihindari karena akan memperuncing masalah dan menyebabkan keretakan hubungan dan putusnya ikatan persaudaraan. c. Pe r s a t u a n d a n p e r s a u d a r a a n i t u t u j u a n h i d u p bermasyarakat. Resolusi konflik damai (islah) diperintahkan dalam al-Qur’an alasannya karena itu adalah cara yang terbaik untuk memulihkan hubungan persaudaraan dan persatuan yang bisa saja retak karena konflik. C. TIPE-TIPE PERWUJUDAN KONFLIK Kembali kepada cerita pertengkaran di tempat jemuran pakaian antara santri di atas. Apa yang diceritakan di atas hanya menampilkan sebuah tipe perwujudan konflik. Kalau alur cerita tersebut diubah skenarionya, maka kita akan menemukan setidaknya empat tipe perwujudan konflik. Skenerio cerita akan berpatokan pada sejauh mana terdapat kepentingan yang tajam antara Santri A, B dan CD; dan sejauhmana perilaku mereka selaras dalam menyikapi kepentingan yang berbeda. Di bawah ini akan diuraikan masing-masing tipe perwujudan konflik berikut penjelasan rincinya. Untuk gampangnya, cerita di atas akan dibuat sebagai contoh kasus imajinatif alias bukan riil, tapi bisa saja ditemukan dalam kehidupan nyata. 1. Nihil Konflik: Sekiranya Santri A yang mau menjemur pakaiaannya pada tali jemuran yang sudah digunakan oleh Santri B dan C meminta izin kepada kedua temannya sebelum dia menggeser dan memindahkan jemuran keduanya, maka kemungkinan tidak akan terjadi konflik. Tentu setelah B dan C mengizinkannya, atau kalau keduanya tidak mengizinkan sekalipun, dia mengalah dan mencari tali jemuran yang lain untuk dirinya. Situasi ini disebut Nihil Konfli, yakni situasi dimana perbedaan kepentingan tidak tajam, dan perilaku orang-orang dalam mencapai kepentingannya pun selaras. 2. Konflik Laten (tersembunyi): yakni konflik yang diwarnai oleh perbedaan kepentingan yang tajam, namun perilaku orang-
202
orang untuk mencapai kepentingannya TERPAKSA selaras. Dalam kasus di atas, konflik laten akan terjadi manakala Santri B dan C tidak menunjukkan protes terhadap perilaku Santri A yang memindahkan dan menggeser jemuran mereka. Seolaholah tidak terjadi apa-apa antara mereka. Padahal, perilaku B dan C yang diam saja didorong oleh rasa takut terhadap si A, bukan karena mereka menerima dengan suka rela. Si A pun tau akan hal itu. Karenanya dia terus mengulang perbuatannya. Apabila perilaku tersebut berulang-ulang terjadi dan mungkin dalam bentuk aksi-aksi lain yang merugikan santri B dan C, maka konflik laten telah terjadi antara mereka. Bila B dan C habis kesabarannya dan menemukan keberanian untuk melawan, maka konflik laten berubah menjadi konflik terbuka yang dapat berakibat fatal. 3. Konflik Terbuka (mengakar): pada kasus konflik jemuran tadi situasi konflik dapat dikatakan terbuka apabila terdapat perbedaan kepentingan yang tajam antara kedua belah pihak. Begitu pula, perilaku mereka bertentangan satu sama lain. Namun lebih dari itu, di belakang masalah jemuran sesungguhnya terdapat faktor-faktor lain yang lebih fundamental yang menunjukkan pertentangan kepentingan yang lebih besar. Misalkan saja, Santri A berasal dari sebuah suku yang terkenal berkuasa di pesantren. Sedangkan Santri B dan C berasal dari suku lain yang selama ini bersaing dengan suku si A. Persaingan mereka berlangsung dalam situasi yang kerap tidak sehat. Masing-masing pihak sering menggunakan cara yang curang untuk mengalahkan lawannya. Kasus jemuran hanya menjadi pemicu terjadinya tawuran yang berlarut-larut antara santri dari suku A melawan santri dari suku B dan C. Konflik Terbuka dikatakan juga konflik mengakar karena faktor penyebabnya seperti halnya akar pohon kuat tertanam dan tidak mudah diatasi dengan cepat manakala akarnya tidak segera dicabut. 4. Konflik Permukaan: Berbeda dengan Konflik Terbuka yang mengakar, Konflik Permukaan cenderung tidak disebabkan oleh faktor yang tertanam kuat seperti contoh di atas.
203
Sebaliknya tipe perwujudan konflik ini lebih disebabkan oleh kesalahpahaman belaka. Dalam contoh kasus “jemuran” tadi, A, B dan C bisa saja cek-cok dan bahkan adu jotos. Namun setelah dilerai dan mereka saling minta maaf, konflik pun berakhir dan mereka kembali akur. Mengapa tidak berlanjut dengan tawuran yang melibatkan banyak anggota atau massa? Mengapa tidak terjadi perang yang berlangsung lama? Jawabannya karena tidak terdapat faktor yang mengakar yang dapat mendorong konflik meluas dan eskalatif.
Proses Konflik Sebuah konflik yang mengakar berlangsung dalam proses dan bertahap. Jadi ada situasi-situasi awal yang terjadi sebelum sebuah konflik mengambil bentuk pertikaian atau perang.
204
D. DINAMIKA KONFLIK (ESKALASI DAN DEESKALASI) Ketika kita berbicara Dinamika Konflik, kita sedang membahas sebuah konflik terbuka atau mengakar. Patut diperhatikan, sebuah konflik yang mengakar tidak berlangsung dalam sekejap, meskipun terkadang orang lain yang menonton dari jauh merasa kaget mengapa pertikaian antara suku atau kelompok beda
Tanpa kon lik hidup ini terasa hambar. Ibarat pepatah, “bagai sayur tak bergaram”. Tanpa kon lik, boleh jadi bukan damai sejati yang dirasakan, tapi api kon lik yang tersembunyi di perut bumi yang sewaktu-waktu siap menyembur keluar.
205
agama, misalnya, bisa terjadi dengan cepat. Padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja tampaknya. Misalkan saja konflik komunal antara Muslim dan Kristen di Ambon dan Poso. Atau konflik antara Suku Madura dan Dayak dan juga Melayu di Sambas dan Sampit. Mereka yang tinggal jauh dari wilayah-wilayah konflik tiba-tiba dikagetkan oleh berita media massa pertikaian antara kelompok komunal tersebut. Dalam waktu yang singkat pertikaian itu menjelma menjadi perang saudara yang mematikan dan menelan korban yang banyak. Bahkan penduduk sekitar pun bisa jadi tidak menyadari bahwa konflik dan perang saudara tengah menghantui mereka. Mengapa hal itu terjadi? Apakah memang konflik itu terjadi sekonyong-konyong? Tidak demikian! Sebuah konflik yang mengakar berlangsung dalam proses dan bertahap. Jadi ada situasi-situasi awal yang terjadi sebelum sebuah konflik mengambil bentuk pertikaian atau perang. Situasi seperti ini tidak selalu dapat diantisipasi oleh mereka yang bertikai sekalipun. Sering emosi yang kuat menghalangi orang berpikir jernih untuk menganalisis gejala sosial yang dialaminya sendiri. Pada titik ini, perang merupakan puncak dari bentuk perwujudan konflik. Pada fase awal, jauh sebelum perang terjadi, sebenarnya telah ada pengkondisian yang suhunya terus menaik. Perubahan suhu konflik dari yang paling rendah menjadi yang paling panas disebut Eskalasi Konflik. Di bawah ini akan diperjelas secara terperinci. 1. Eskalasi Konflik
Suhu Konflik Perubahan suhu konflik dari yang paling rendah menjadi yang paling panas disebut Eskalasi Konflik.
206
Fase Perbedaan. Sebuah konflik terbuka biasanya diawali dengan situasi dimana kelompok-kelompok lebih menekankan perbedaan ketimbang persamaan antara mereka. Apakah itu perbedaan agama, keyakinan politik, suku, pendapatan, dan kebiasaan-kebiasaan, dimana kesemuanya bisa menjadi identitas pembeda yang terus-menerus dieksploitasi oleh elitelit kelompok dalam melihat dan menilai kelompok lain. Penekanan pada perbedaan ini makin lama makain mengerucut sehingga menjadi kontradiksi atau pertentangan.
Fase Kontradiksi. Yaitu fase dimana perbedaan yang masih samar-samar mulai dipertegas dengan membuat kontradiksi. Pada fase ini belum terjadi kontak fisik. Namun suhu konflik sudah mulai menghangat. Dalam kasus konflik Ambon misalnya, kelompok Muslim, jauh sebelum konflik kekerasan pecah, mulai bicara tentang pentingnya memiliki lebih banyak Muslim di pemerintahan yang selama ini didominasi oleh Kristen. Sebaliknya di pihak Kristen sudah mulai sering dibicarakan ketakutan mereka bahwa Muslim akan merebut kekuasaan politik di Ambon. Simbol-simbol yang menunjukkan identitas pembeda masing-masing kelompok mulai lebih sering ditonjolkan. Pendek kata, pada fase kontradiksi siapa lawan dan siapa kawan sudah mulai dipertegas. Fase Polarisasi. Apabila kontradiksi masih di wilayah isu dan rumor yang terus-menerus ditiupkan di masing-masing kelompok, maka Polarisasi adalah kontradiksi di kedua domain sekaligus: yaitu domain isu dan interaksi yang kongkrit dan fisik. Polarisasi adalah fase setelah fase Perbedaan dan Kontradiksi! Polarisasi ter wujud dalam bentuk semakin seringnya kelompok-kelompok berkonsentrasi pada wilayah geografis masing-masing. Dalam kasus konflik Poso, masyarakat Muslim mulai lebih sering berkumpul sesama mereka di kawasan Poso Kota. Sedangkan komunitas Kristen berkonsentrasi di pemukiman mereka khususnya di wilayah pegunungan Tentena. Mereka mulai jarang membaur dan melakukan aktivitas bersama. Mereka lebih sering berkumpul antara mereka dan mengisi pertemuan dengan membicarakan perbedaan dan pertentangan antara mereka dengan kelompok dari kutub yang berlawanan. Mulai muncul psikologis ketakutan dan perasaan keterancaman pada masing-masing kelompok. Fase Kekerasan. Di tengah polarisasi ini mulai terjadi peristiwaperistiwa kecil dalam bentuk pertengkaran dan cekcok yang melibatkan oknum-oknum dari suku atau agama yang berbeda tadi. Cekcok skala kecil itu berujung pada kekerasan fisik dimana ada yang jatuh korban. Bagi orang kebanyakan
Polarisasi Polarisasi terwujud dalam bentuk semakin seringnya kelompokkelompok berkonsentrasi pada wilayah geografis masing-masing.
207
Eskalasi Konflik Eskalasi merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu konflik dari rendah ke tinggi, Deeskalasi adalah sebaliknya. Yaitu penurunan suhu konflik dari yang tinggi ke yang rendah, sehingga mencapai situasi normal.
peristiwa itu dianggap kriminal biasa, tapi dalam situasi masyarakat yang terpolarisasi peristiwa itu adalah pengkondisian yang berbahaya sebelum terjadinya pertikaian massif dan perang yang merupakan puncak dari perwujudan konflik. Bukan rahasia lagi, beberapa konflik komunal yang berlangsung massif di tanah air dipicu oleh perkelahian antara dua orang preman di jalan atau di pasar. Pada masa damai, perkelahian itu mungkin berita kriminal biasa, tapi di masa konflik itu merupakan pertanda bahwa konflik besar akan terjadi. Fase Perang. Setelah fase kekerasan konflik akan mengambil bentuk perang yang ditandai dengan terlibatnya konsentrasi massa berhadapan dengan massa lain membawa berbagai jenis senjata. Mereka melakukan perencanaan dan aksi nyata untuk menyerang kelompok lawan dengan cara melukai, membunuh dan merusak fasilitas dan harta benda mereka. Kelompok lawan pun melakukan hal yang sama. Fase ini merupakan puncak dari manifestasi konflik terbuka. Perang bisa berskala kecil dengan penggunaan senjata ringan dengan efek yang terbatas. Tapi dalam kasus lain, perang bisa dalam skala luas dengan menggunakan senjata berat dan menelan jutaan korban manusia dan kerusakan fisik dan lingkungan yang sangat parah. Bahkan sebuah perang bisa melibatkan sebagian besar negaranegara di dunia. Ingat Perang Dunia I dan II. 2. Deeskalasi Apabila Eskalasi merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu konflik dari rendah ke tinggi, Deeskalasi adalah sebaliknya. Yaitu penurunan suhu konflik dari yang tinggi ke yang rendah, sehingga mencapai situasi normal. Sebagaimana Eskalasi, Deeskalasi pun berlangsung dalam fasefase yang membutuhkan waktu yang lama untuk sampai kepada situasi pemulihan konflik dan perbaikan hubungan sosial yang sebelumnya retak oleh perang dan pertikaian. Dalam hal ini, Rekonsiliasi adalah fase paling rendah yang diharapkan dalam proses penurunan suhu konflik. Setelah itu,
208
barulah pembangunan perdamaian jangka panjang dapat dijalankan dengan efektif. Di bawah ini akan dijelaskan fase-fase Deeskalasi konflik. Fase Gencatan Senjata. Bahkan perang berlarut-larut antara dua negara, seperti Israel versus Palestina sekalipun, selalu ada harapan dan upaya untuk menurunkan suhu konflik. Apalagi konfli k-konfli k kekeras an kom unal yang s kal a dan kompleksitasnya terbatas, selalu ada tuntutan dari berbagai lapisan struktur sosial dan negara untuk menghentikan perang dan menuju kepada rekonsiliasi. Namun, sebelum reskonsiliasi dapat diupayakan, maka tahap pertama yang mesti diwujudkan adalah Gencatan Senjata (Ceasefire), yaitu situasi dan kondisi dimana kedua belah pihak bersepakat untuk menghentikan kekerasan dan aksi-aksi penyerangan yang menggunakan senjata sebelum kesepakatan damai dicapai. Gencatan senjata harus dilakukan dalam sebuah kesepakatan agar masingmasing pihak dapat dipegang janjinya dan disaksikan oleh pihak ketiga yang ditunjuk untuk menjadi penengah. Dalam kamus, gencatan senjata merupakan kesepakatan untuk menghentikan pertikaian selama periode tertentu sehingga ke s e pa k a t a n d a m a i y a n g p e rm a n e n d a pa t d i c a pa i (http://www.merriam-webster.com/dictionary/cease-fire). Selama waktu jeda itu, berbagai pembicaraan damai (peace talks) berlangsung untuk menuju kepada kesepakatan damai yang permanen. Gencatan senjata biasanya ditandai dengan penarikan mundur pasukan yang bertikai dari wilayah konflik dan pada saat yang sama kelompok netral dimandatkan oleh otoritas yang berwenang untuk memastikan kesepakatan penarikan mundur dan penghentian perang dijalankan. Sebelum Perjanjian Helsinki Tahun 2005 yang menandai kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), hal pertama yang disepakati adalah Gencatan Senjata. Ada dua hal yang penting dalam fase ini: Pertama, penghentian kontak senjata. Kedua, penarikan mundur pasukan dari medan perang atau peletakkan senjata. Tanpa kedua komitmen seperti ini maka sulit mengharapkan kesepakatan damai dapat dijalankan.
209
Fase Kesepakatan Damai. Kesepakatan damai merupakan kontrak yang disepakati oleh pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan konflik antara mereka dan mencari penyelesaian konflik secara damai. Selain kedua belah pihak yang berkonflik, ada pihak ketiga atau juru damai yang ikut dalam kesepakatan damai. Pihak ini berperan untuk menjadi penengah dan memfasilitasi pertemuan-pertemauan dan dialog-dialog untuk menegosiasikan masalah-masalah yang disengketakan. Sebagaimana fase-fase sebelumnya, fase kesepakatan damai juga berlangsung dalam proses yang membutuhkan waktu. Dalam suatu konflik yang massif yang mencapai puncak eskalasinya, jarang ada kesepakatan damai yang berlangsung singkat. Biasanya malahan fase ini berlangsung dalam beberapa tahap. Utamanya dua tahap. Pertama kesepakatan damai yang menfokuskan tentang kerangka atau rencana yang disepakati untuk membangun kesepakatan damai yang permanen. Dalam tahap pertama ini, berbagai isu atau persoalan yang dipersengketakan dirumuskan bersama-sama dan disepakati untuk dinegosiasikan dalam kesepakatan damai tahap berikutnya. Jadi yang pertama lebih menekankan prinsipprinsip dan isu-isu yang harus dinegosiasikan untuk dicarikan jalan keluarnya. Pada tahap selanjutnya kesepakatan damai bersifat lebih menyeluruh alias komprehensif. Pada tahap ini pertemuan bertujuan untuk menegosiasikan kepentingankepentingan yang berlawanan yang sebelumnya disepakati (lihat http://www.beyondintractability.org/essay/structuringpeace-agree.) Beberapa contoh kesepakatan damai dalam kasus konflik di Indonesia kontemporer adalah Kesepakatan Helsinki antara GAM dan Pemerintah RI yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Contoh lain adalah Perjanjian Malino II yang ditandatangani pada 12 Februari Tahun 2002 di Malino, sebuah kota kecil di punggung bukit Sulawesi Selatan. Perjanjian Malino II melibatkan 70 warga Maluku Muslim dan Kristen serta pemerintah Indonesia. Tujuannya untuk menyepakati dan berkomitmen menghentikan konflik Muslim-
210
Kristen di Ambon yang pecah pada tahun 1999 dan merajut kembali hubungan yang putus dan retak karena perang dan permusuhan. Fase Normalisasi. Fase ini berlangsung menyusul kesepakatan damai yang telah ditandatangani oleh para pihak yang terkait. Tujuannya untuk memulihkan keadaan paska konflik. Disebut normalisasi karena keadaan konflik dan akibatnya dinilai menimbulkan suasana dan kondisi kehidupan masyarakat tidak normal. Dalam situasi konflik banyak orang yang takut keluar rumah karena merasa terancam keamanannya. Akibatnya kehidupan ekonomi, sosial dan pendidikan, dll.tidak berjalan sebagaimana biasanya. Pedagang menutup toko dan daganganya, begitu juga para guru dan murid tidak tenang belajar di sekolah dan para karyawan tidak bisa kerja normal di perkantoran. Pendek kata, sektor utama yang dipulihkan dalam fase ini adalah keamanan dan ekonomi. Karena keduanya fundamental untuk menjamin kehidupan yang baik bagi penduduk dan masyarakat. Karena itu negara sebagai otoritas yang sah dalam kaitan dengan jaminan keamanan dan ekonomi berkewajiban menyediakan semua kondisi yang dibutuhkan agar masyarakat paska konflik mulai merasa aman untuk keluar rumah dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Begitu pula, mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya secara normal. Fase Rekonsiliasi. Ini adalah fase terakhir dalam rangkaian deeskalasi yang juga merupakan tujuan utama dari kesepakatan damai. Rekonsiliasi artinya upaya yang dilakukan untuk menjadikan dua orang atau kelompok yang bertikai dan berkonflik kembali bersahabat (lihat http://www.merriamwebster.com/dictionary/reconciliation). Jadi rekonsiliasi bukan sekadar tidak bertikai lagi, tapi lebih jauh membangun hubungan yang lebih dekat dan lebih bersahabat. Rekonsiliasi merupakan fase implementasi dari kesepakatan damai. Salah satu yang krusial dalam fase rekonsiliasi adalah mencari dan menyepakati kebenaran yang terjadi menyangkut
Rekonsiliasi Rekonsiliasi artinya upaya yang dilakukan untuk menjadikan dua orang atau kelompok yang bertikai dan berkonflik kembali bersahabat (lihat http://www.merriamwebster.com/dictionary /reconciliation). Jadi rekonsiliasi bukan sekadar tidak bertikai lagi, tapi lebih jauh membangun hubungan yang lebih dekat dan lebih bersahabat.
211
konflik. Biasanya pihak-pihak yang terlibat konflik akan saling menyalahkan dan mengklaim dirinya yang benar. Mereka sama-sama mencari siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus dihukum karena kesalahannya. Mereka bukan saja mencari kebenaran tapi juga menutut keadilan (truth and justice). Pada point ini rekonsiliasi merupakan suatu tantangan. Dalam sebuah konflik yang melibatkan perang saudara, sulit menemukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi keluarga yang sanak-saudaranya menjadi korban tetap akan menuntut ditegakkan keadilan. Padahal dalam kenyataannya sulit untuk benar-benar mengetahui dan menghukum siapa yang salah dalam perang. Namun membicarakan tentang kebenaran dan keadilan selalu merupakan titik krusial dalam fase rekonsiliasi. Dalam beberapa kasus penegakan hukum benar-benar dijalankan dalam fase ini. Terutama terhadap aktor yang melakukan pelanggaran HAM berat, seperti pembantaian dan pembunuhan massal warga sipil yang tidak terlibat dalam perang. Slobodan Milosevic, mantan Presiden Serbia (19891997), diajukan ke pengadilan HAM internasional (International Criminal Tribunal for the former Yugoslovia/ICTY) atas tuduhan bertanggungjawab terhadap genosida warga Muslim etnik Bosnia. Dia dipenjara di Den Haag, Belanda, dan meninggal di penjara karena sakit pada 11 Maret 2006. Namun dalam beberapa kasus sulit membuktikan tuduhan yang diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat. Misalnya, banyak pihak yang menuding mantan Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, bertangungjawab terhadap pembantaian ribuan pengungsi Palestina di Kamp Pengungsi Sabra Shatila, Beirut, Lebanon 16 September 1982. Namun hingga menghembuskan nafas terakhir pada tahun 2014 karena menderita sakit, Ariel Sharon tidak pernah diadili di pengadilan HAM internasional. Di luar pengadilan terhadap yang bersalah, rekonsiliasi menuntut adanya kemauan semua pihak yang terlibat untuk mengakui kesalahannya masing-masing dan bersedia untuk saling memaafkan. Namun bukan untuk melupakan
212
penderitaan yang diakibatkan konflik. Sebagaimana ungkapan yang terkenal: to forgive but not to forget (memafkan tapi tidak melupakan). Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membangun komunikasi damai antara pihak-pihak yang bertikai melalui berbagai saluran komunikasi. Di era komunikasi dan informasi seperti dewasa ini lahirnya media damai (peace jurnalism) adalah niscaya. Dengan media damai berbagai upaya oknumoknum yang berniat menghembuskan provokasi untuk pecahnya konflik dapat dicegah. Bukan rahasia lagi, pada masa konflik media massa justru ikut berperan dalam meningkatkan eskalasi konflik dengan caranya memberitakan peristiwaperistiwa konflik-acap dibesar-besarkan, yang justru memicu orang-orang untuk lebih jauh terlibat dalam perang dan pertikaian. Terakhir, rekonsiliasi tentunya membutuhkan kesadaran di seluruh komponen masyarakat, terutama anak-anak muda dan remaja, tentang pentingnya menjaga perdamaian. Berbagai kegiatan dialog, workshop dan pelatihan penting diadakan untuk meningkatkan sensitivitas masayarakat terhadap gejalagejala yang dapat menyebabkan kembali pecahnya konflik di antara mereka. Salah satu contoh upaya rekonsiliasi di Ambon adalah terbentuknya gerakan Provokator Damai di kalangan masyarakat sipil khusunya penggiat perdamaian. Provokator Damai adalah sebuah antitesa terhadap Provokator Konflik. Mereka bukan sekadar menjalankan kegiatan yang mencegah orang-orang agar tidak gampang terhasut provokasi, tapi juga secara proaktif mengkampanyekan perdamaian itu sendiri melalui berbagai aksi-aksi seni dan kebudayaan.
213
E. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK Sebuah konflik sosial terjadi biasanya tidak disebabkan oleh salah satu faktor saja. Akan tetapi dipicu oleh berbagai faktor yang pada dasarnya bermuara pada pertentangan kepentingan dan perilaku antara dua orang/kelompok atau lebih. Banyak cara para ahli melihat faktor-faktor penyebab konflik. Cara-cara itu berbedabeda karena sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Namun demikian, secara keseluruhan cara pandang tersebut dapat diletakakkan pada 3 dimensi. Pertama, dimensi psikologis. Egoisme [ [ ا ﻧﺎﻧﻴﺔ, fanatisme [ اﻟﻌﺼﺒﻴﺔ ,[dan prasangka [[ﻇــــــﻦ. Egoisme dan fanatisme merupakan gejala psikologis dalam masyarakat dimana sekelompok orang hanya mementingkan diri sendiri dan mau menang sendiri. Mereka jarang dan tidak mau memperhatikan kelompok lain dan apalagi berusaha mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan bersama. Sementara prasangka [ [ﻇـــــــــــــــــــــــــﻦadalah sifat dimana kelompok masyarakat membuat kesimpulan umum atau mengeneralisasi kelompok lain memiliki sifat dan perilaku dasar yang negatif sebelum memastikan apakah hal itu benar-benar terjadi atau dimiliki semua warga kelompok. Sering setelah dilakukan pengecekan di lapangan apa yang disangkakan di awal
214
tidak terbukti kebenarannya. Al-Qur’an menyebut prasangka dengan Zhan dan memerintahkan orang Mukmin untuk menjauhkan diri dari kebanyakan prasangka karena itu adalah perbuatan dosa. Dalam Surat al-Hujurat ayat 12 Allah berfirman:
ﯾ ٔﳞﺎ ا ﻦ اﻣ ﻮا اﺟ ﻨﺒﻮا ﻛﺜﲑا ﻣﻦ اﻟﻈﻦ ان ﺑﻌﺾ اﻟﻈﻦ اﰒ Kedua, dimensi pengetahuan. Dimensi pengetahuan sebenarnya bertalian erat dengan dimensi psikologis. Pasalnya gejala kejiwaan yang tampil dalam sifat dan perilaku manusia merupakan cerminan dari atau dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Minimnya wawasan dan pengetahuan suatu masyarakat terhadap nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan masyarakat yang lain sering mendorong mereka menilai dengan mengembangkan prasangka. Misalnya, prasangka kesukuan: suku A dianggap sebagai suku yang sifat dasarnya culas. Suka B dianggap sifat dasarnya malas dan pengecut. Suku C diyakini bersifat kikir dan tidak peduli dengan orang lain. Sedangkan suku D perangainya kasar dan suka kekerasan. Selain minim wawasan dan pengalaman tentang orang lain, faktor pengetahuan juga tercermin dalam kurangnya atau buta tentang aturan hukum dan regulasi negara. Faktor ini banyak menjadi penyebab terjadinya konflik sumber daya alam, seperti konflik dalam memperebutkan hak atas lahan atau tanah. Ketiga, dimensi sosiologis. Kelompok masyarakat memiliki pendirian atau posisi yang berbeda (kesenjangan posisi) dalam suatu perkara (misalkan, perbatasan wilayah negara, tanah adat, pendirian rumah ibadah, aliran dalam agama, dan sebagainya). Kesenjangan posisi atau pendirian ini merupakan dimensi sosiologis yang menyebabkan terjadinya konflik sosial. Ketiga dimensi tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain. Kesenjangan posisi yang merupakan faktor sosiologis hanya mungkin terjadi karena masing-masing kelompok lebih mementingkan kepentingannyan atau mendahulukan egonya
215
daripada memikirkan kepentingan bersama. Selain itu, masalah yang sama bisa disebabkan oleh minimnya wawasan pengetahuan tentang hukum yang berlaku dan atau budaya masyarakat lain yang berbeda. Pendek kata faktor-faktor psikologis dan pengetahuan berkontribusi terhadap faktor-faktor sosiologis yang menyebabkan terjadinya konflik. Dalam buku Modul Resolusi Konflik Agama dan Etnis di Indonesia yang disusun oleh Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim diuraikan beberapa teori penyebab timbulnya konflik yang bisa dikategorikan sebagai faktor sosiologis. Beberapa faktor tersebut antara lain:
FAKTOR SOSIOLOGIS 1. Polarisasi dalam Masyarakat Polarisasi sosial terjadi manakala terjadi pemisahan atau segregasi dalam kehidupan sosial terutama dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan pendapatan dan taraf ekonomi. Dalam masyarakat yang terpolarisasi, masyarakat terkota-kotak ke dalam kelompok kaya dan kelompok miskin. Mereka hidup terpisah satu sama lain. Segregasi social juga terjadi karena perbedaan suku dan agama. Dalam satu kota yang sama, suku-suku yang berbeda tinggal dalam komplek yang sama, demikian pula dengan pemeluk agama. Manakala kondisi seperti ini berlangsung terus-menerus sementara hubungan mereka diwarnai oleh prasangka, ketidakpercayaan dan permusuhan, maka konflik besar kemungkinan akan terjadi antara mereka. Karena penyebabnya adalah polarisasi maka solusinya adalah dengan meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik. Solusi lain adalah mengusahakan toleransi dan usaha-usaha untuk membiasakan masyarakat menerima perbedaan sebagai sesuatu yang positif dalam masyarakat.
216
2. Kesenjangan Pendirian atau Posisi Kesenjangan pendirian atau posisi terjadi manakala orangorang dalam masyarakat memiliki pandangan yang bertentangan terhadap suatu perkara yang diperselisihkan. M a s i n g - m a s i n g ke l o m p o k b e r s i k u k u h t e r h a d a p pendiriannya dan tidak mau bergeser atau mengubah posisinya. Sifat-sifat dasar seperti egoisme, fanatisme dan prasangka bisa menjadi mewarnai kesenjangan posisi ini. Dangkal dan minimnya wawasan dan pengetahuan mengenai perkara yang dipersengketakan acap membuat orang-orang tidak bisa membedakan mana perasaanperasaan pribadi dan mana isu atau masalah yang sebenarnya. Solusi yang ditawarkan adalah membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk benar-benar secara objektif memahami konflik yang tengah terjadi dan membiasakan mereka untuk bisa membedakan mana perasaan pribadi dan mana isu dan masalah. Mereka juga dibantu untuk mampu melakukan negosiasi-negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka. Solusi lain adalah dengan melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. 3. Kebutuhan Dasar yang Tidak Terpenuhi Kebutuhan dasar yang dimaksud di sini mencakup kebutuhan fisik, mental, dan sosial. Termasuk di dalamnya kebutuhan akan keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Solusi yang ditawarkan adalah dengan membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan mengupayakan bersama bagaimana cara-cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang lain adalah dengan mengusahakan terciptanya kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
217
4. Identitas yang Terancam Konflik dilihat sebagai persoalan yang disebabkan oleh adanya perasaan akan terancamnya identitas. Biasanya keadaan ini berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan pada masa lalu yang tidak terselesaikan. Solusi yang ditawarkan adalah dengan menfasilitasi pihak-pihak yang berkonflik untuk berdialog agar dengan demikian mereka dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka, serta dapat meraih kesepakatan bersama akan perlunya mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. 5. Kesalahpahaman Budaya Konflik juga dapat dilihat sebagai masalah budaya yang lahir dari adanya kesalahpahaman budaya. Keadaan ini biasanya berakar dari ketidakcocokan dalam komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Solusi yang biasa ditawarkan adalah menambah pengetahuan pihak-pihak yang bertikai mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka capkan pada pihak lain yang mereka musuhi, serta meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. 6. Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi Asumsi dasar lain dalam melihat konflik adalah bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah kesenjangan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Solusi yang biasanya ditawarkan adalah dengan reformasi berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan kesenjangan dan ketidakadailan, termasuk kesenjangan ekonomi. Yang lain dengan meningkatkan jalinan hubungan dan sikap antara pihakpiihak yang bertikai unrtuk tujuan jangka panjang, serta
218
mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi serta pengakuan. (Diadaptasi dari Simon Fisher dkk, “Memahami Konflik: Suatu Kerangka Konseptual”, dalam Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak (Terj. S.N. Karikarasi, dkk) judul asli Working with Conflict: Skill & Strategies for Action, Zed Books Ltd, London, 2000, hal 8-9)
F. KONFLIK DAN KESADARAN MEMILIH INFORMASI Dalam menerima dan membaca berita dan menerima informasi hendaknya kita selektif. Tiap kali menerima dan menemukan informasi, jangan telan mentah-mentah semua tulisan dan berita yang disajikan. Mengapa demikian? Tidak ada yang membantah betapa pentingnya informasi. Dengan informasi orang bisa menambah pengetahuan dan ketrampilannya. Dengan informasi pula orang dapat menjalankan usaha dan bisnis secara lebih baik dan menguntungkan. Begitu pentingnya informasi dalam kehidupan kita yang penuh persaingan ini sehingga ada ungkapan: “siapa yang menguasai informasi dia menguasai dunia”. Namun sadarkah kita bahwa tidak semua informasi berguna dan positif untuk kehidupan kita pribadi maupun sosial? Tidak jarang gara-gara menyebarkan sebuah informasi di media sosial, ada orang yang diadili di pengadilan dan dipenjara. Pasalnya orang itu dituduh dan terbukti menyebarkan informasi berupa fitnah kepada orang lain. Banyak konflik sosial dan komunal yang terjadi disebabkan oleh penyebaran informasi yang tidak bertanggungjawab. Berita disampaikan dan terlanjur dikonsumsi oleh masyarakat ternyata isinya bertujuan mengadu domba masyarakat. Masyarakat begitu gampang percaya dan terhasut oleh berita seperti itu tanpa mengklarfiikasi atau Tabayyun terlebih dahulu kebenaran berita tersebut. Di sini informasi berubah menjadi fitnah, dan fitnah seperti ini membawa kecelakaan buat orang banyak. Makanya Rasululllah mengingatkan kita untuk hatihati menyampaikan berita tanpa mengecek terlebih dahulu
219
Media Sosial Tidak jarang gara-gara menyebarkan sebuah informasi di media sosial, ada orang yang diadili di pengadilan dan dipenjara. Pasalnya orang itu dituduh dan terbukti menyebarkan informasi berupa fitnah kepada orang lain. Banyak konflik sosial dan komunal yang terjadi disebabkan oleh penyebaran informasi yang tidak bertanggungjawab. Berita disampaikan dan terlanjur dikonsumsi oleh masyarakat ternyata isinya bertujuan mengadu domba masyarakat
kebenarannya: “Salaamatul insan fii hifzil lisaan.” Keselamatan seseorang tergantung pada menjaga lisan. Lisan di sini bukan hanya kata-kata yang keluar dari mulut kita, tapi juga tweet dan status yang kita posting, informasi yang kita share, berita short massage service (SMS) dan blackberry messanger (BBM) yang kita broadcast.
Bagaimana seharusnya kita mengolah informasi? a. Tabayyun (Konfirmasi) Allah mengajarkan kita untuk selalu konfirmasi, Firman Allah yang artinya: “Jika datang kepadamu orang fasik dengan informasi, maka tabayyunlah (periksalah dengan teliti) atau konfirmasi (check dan recheck).” (QS. Al-Hujurat [49]:6) Kadang kita menerima broadcast message tanpa pikir panjang kita membroadcastnya lagi pada seluruh kontak kita tanpa mengecek kebenarannya. Itulah sifat dasar kita, malas mengecek informasi. Karena itu, suatu informasi bisa menyebar begitu cepat tak terbendung. Konon, ketika kabar baik baru menyebar beberapa kilometer, kabar buruk sudah melesat mengelilingi bola dunia. Ketika sebuah informasi sudah menyebar, akan sulit membendungnya. b. Zhan (Prasangka) Kadang isi informasi yang kita terima mengandung prasangka. Jika kabar itu benar, maka itu ghibah. Jika kabar itu salah, maka itu fitnah. Tak ada pilihan. Makanya, jangan ikut-ikutan menyebarkannya. “Sesungguhnya prasangka tak memberimu sedikitpun kebenaran...” (QS. An-Najm :28)
221
Zhan, prasangka, dalam bahasa inggris “Pre Judice” yang berasal dari kata “pre” yang artinya sebelum “judge” adalah menghukum. Jadi, prasangka adalah menghukum orang sebelum kita tahu informasi yang lengkap. c. Bicara yang Baik atau Diam Taqwa itu seperti orang yang berjalan di antara duri-duri. Jadi, selalu hati-hati agar tak terkena duri. Demikianlah sikap orang yang bertakwa terhadap informasi, tak asal percaya, dan berpikir seribu kali sebelum menyebarkan. Jika kita mudah menerima dan mengirim semua informasi yang kita lihat dan dengar, maka menurut Rasul kita ini termasuk pendusta. Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta kalau dia menceritakan semua yang dia dengar. (HR. Muslim). Sebelum men-share sebuah berita, tanyakan pada dirimu tentang beberapa hal berikut: 1. Apakah berita ini benar? Apakah saya sudah mengkonfirmasi kebenaran berita ini? 2. Apakah ini fakta? Atau prasangka? 3. Jika berita ini fakta dan benar, apakah memang perlu disebarkan? Apakah ada orang yang merasa disakiti dengan berita ini? 4. Apakah berita ini memberikan kebaikan? Atau justru menyulut permusuhan? (Sumber: Diadaptasi dari kampanye damai hasil produksi BNPT)
222
Bagaimana sikap kita pada saat menerima berita atau postingan di social media (medsos)? Lakukan langkah-langkah di bawah ini: 1. Kumpulkanlah sebanyak mungkin informasi dari sebanyak mungkin sumber yang bisa kita lakukan. 2. Cek terlebih dahulu sumber berita. Kita bisa mengecek sumber berita, misalnya dengan cara mencari tahu bagaimana kredibilitas sumber berita? 3. Lihat bukti, fakta dan data. Misalnya bukti data catatan, video/rekaman wawancara atau bisa juga gambar. Dengan adanya bukti nyata tersebut maka akan lebih terpercaya. 4. Bandingkan berita dengan sumber lainnya dan lihat referensi pemberitaan. Kita bisa mengetahui fakta tersebut benar atau tidak, salah satunya dengan cara membandingkan dan mengeceknya dengan sumber/media yang lain. Tentunya dengan catatan pembandingnya adalah sumber yang sudah jelas bisa dipercaya. Selain itu kita juga bisa melihat dari referensi pemberitaan yang di buat. 5. Baca kesesuaian judul dengan isi berita serta kenali konteks pemberitaan. Sering kali kita membaca berita tidak sampai selesai dan hanya menjudge berdasarkan judul saja. Padahal belum tentu judul tersebut merupakan inti pemberitaan yang sebenarnya. Selain itu kenali juga konteks pemberitaannya, jangan langsung menelan informasi yang di dapat begitu saja. Pahami dan cari tahu lebih dalam,misalnya kenapa peristiwa itu terjadi, kronologi peristiwa, cara untuk mencegah hal itu, dan apa yang harus dilakukan ketika menghadapi hal tersebut. 6. Pisahkan opini dan fakta. Ingatlah bahwa pendapat nara sumber atau opini dari si penulis bukanlah fakta, namun hanya cara pandang seseorang dalam menilai/menyikapi suatu hal dan bersifat subyektif. Sehingga tidak bisa dijadikan bukti atau fakta yang menjadikan berita tersebut benar atau tidak. 7. Berjaraklah dengan media. Artinya, seseorang harus kritis dalam setiap berita yang disampaikan terutama tentang
223
konflik. Penikmat media harus selalu bertanya-tanya dalam diri dengan membuka peluang apakah berita tersbut tepat atau kurang tepat. Sebagai contoh, pada suatu hari, tepatnya bulan Juli 2015, sebagian pemilik akun media-media sosial seperti BlackBerry, WhatsApp, Facebook, Twitter dan mungkin yang lain-lain, mendapat kiriman pesan, yaitu suatu pemberitahuan yang sumbernya tak begitu jelas dari mana. Kiriman tersebut berbunyi seperti di bawah ini:
“Besok tanggal 03-04 Juli 2015 akan ada Sidang Paripurna di KOMNAS HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) membahas Pengesahan Status Hukum dan Eksistensi LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Ini akan menentukan status LGBT agar dapat positioning HAM Indonesia di dunia internasional. Kalau dari rapat pleno itu eksistensi mereka akhirnya diakui oleh KOMNAS HAM, jangan kaget kalau tak lama lagi pernikahan sejenis yang telah dilegalkan secara hukum di 14 negera akan juga merambah ke Indonesia. Dan bagi mereka yang menolak atau menentang pernikahan sejenis akan dianggap sebagai melanggar HAM. Yuuk, buat kita yang pingin membantu kaum LGBT kembali ke jalan yang benar dan tidak makin terperosok dalam dosa, tolong kirim surat penolakan via email
[email protected] dan
[email protected]. Format email bebas, jangan lupa tuliskan nama, alamat, instansi/sekolah/kampus dan no. telpon/hp. Tulisakan pesannya: “Saya Menolak Legalisasi LGBT di Indonesia.” Silahkan disebarluaskan informasi tentang penolakan ini.”
Tak lama berselang dari beredarnya informasi di atas, ada banyak berita di berbagai media yang membantah kebenaran informasi tersebut. Berita bantahan yang dimuat oleh ROL (Republika Online: www.republika.co.id) sebagai suatu sampel akan dikutip secara lengkap di bawah ini:
224
KOMNAS HAM BANTAH ADAKAN SIDANG LEGALISASI PERNIKAHAN SEJENIS 03 Juli 2015 09:39 WIB REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta—beredar kabar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan mengadakan sidang paripurna untuk membahas legalitas pernikahan sejenis bagi kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Saat dikonfirmasi, Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution dengan tegas membantah kabar pembahasan tersebut. Maneger mengatakan bahwa berita itu adalah rekayasa dari pernyataan dua tahun lalu. Ia mengatakan Komnas HAM hingga kini tidak ada sidang yang akan membahas legalitas pernikahan sejenis. “Itu statement tahun 2013 lalu. Saya belum tahu siapa, tapi ada rekayasa mengubah tahunnya menjadi 2015,” kata Maneger saat dihubungi ROL, Jumat (3/7). Ia mengaku heran ada saja pihak yang berusaha merekayasa di tengah isu yang tengah ramai diperbincangkan ini. Selain itu, ia juga menyebut sidang paripurna itu tidak ada di tanggal 3-4 Juli 2015. Sebab jadwal sidang paripurna Komnas HAM akan berlangsung pada 7-8 Juli 2015. Sidang ini juga tidak akan membahas legalitas pernikahan sejenis. Sebelumnya beredar kabar lewat media sosial Facebook bahwa Komnas HAM akan mengadakan sidang paripurna membahas pengesahan status hukum dan eksistensi kaum LGBT. Kabar ini cukup mengkhawatirkan di mana gerakan kampanye pernikahan sejenis semakin digaungkan semenjak Mahkamah Agung Amerika Serikat memberikan legalisasi pernihakan sejenis. Red: Didi PurwadiRep: C26
Contoh di atas memperlihatkan betapa informasi yang tidak begitu jelas sumbernya dengan maksud dan tujuan tertentu yang berpotensi memprovokasi masyarakat, bisa sampai dengan mudah ke handphone setiap orang. Seringkali melalui media sosial
225
seperti Facebook, Twitter, BlackBerry Message (BBM), WhatsApp ataupun yang lainnya berita tidak jelas sumbernya, kebenarannya juga diragukan, dengan begitu mudah dikirim (broadcast) ke khalayak ramai yang justru berpotensi menimbulkan konflik atau memang sengaja dikirim untuk menciptakan konflik di kalangan masyarakat. Karena itu selektif dalam memilih informasi adalah hal yang mutlak setiap kali kita mendapatkannya dengan berdasar pada tujuh poin cara memilih dan memilah informasi sebagaimana telah disebutkan. G. KESIMPULAN Setelah uraian yang panjang lebar mengenai konflik dan berbagai aspeknya, dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik pada dasarnya sebuah Sunnatullah atau hukum alam yang diciptakan Allah swt dalam kehidupan masyarakat manusia. Hal itu merupakan konsekuensi dari sifat alamiah manusia yang tidak selamanya mampu bersikap adil dan beradab manakala mereka memiliki pertentangan kepentingan satu sama lainnya. Tidak selamanya konflik itu buruk. Tidak jarang konflik malah dibutuhkan untuk menciptakan persaingan dalam kehidupan manusia. Kompetisi dapat mendorong orang-orang lebih dinamis dan bersemangat untuk meraih prestasi dan menghasilkan karyakarya yang terbaik. Tanpa adanya konflik sama sekali malah harus diwaspadai, jangan-jangan dibalik absennya benturan dan pertentangan tersembunyi potensi konflik yang apabila tidak dikelola dengan baik malah dapat menimbulkan malapetaka. Kunci dalam menghadapi konflik adalah bersedia mengelolanya. Membiarkan konflik berlarut-larut tanpa penyelesaian sama buruknya dengan merespon konflik dengan kekerasan meski banyak orang menganggap kekerasan sebagai jalan pintas menghentikan konflik. Kalau dapat sebaiknya penggunaan kekuatan fisik yang memaksa tidak ditempuh kecuali ketika semua pintu-pintu menuju damai tertutup rapat. Dalam al-Qur’an diisyaratkan bahwa jalan perang tidak disukai. Tapi perang terpaksa dijalankan demi menghindari korban manusia yang lebih banyak lagi akibat kezaliman sekelompok manusia yang menebar
226
(١٩١:اﻟﻔ ﻨﺔ ٔﺷــــــــــﺪ ﻣﻦ اﻟﻘ ﻞ )اﻟﺒﻘﺮة
fitnah. Dikatakan dalam al-Qur’an: “fitnah itu lebih kejam dari perang itu sendiri”. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibn Manzur, frase al-fitnah berarti pembangkangan (al-kufr) terhadap aturan dan ketentuan. Sengaja menghianati perjanjian damai, misalnya, adalah bentuk fitnah. Menyerang orang-orang yang sedang beribadah (dalam konteks ayat di atas di Masjidil Haram) adalah bentuk fitnah yang keji. Melawan pembangkang seperti itu dibolehkan demi tujuan tegaknya supremasi hukum dan demi menjamin kebebasan beragama. Namun, diingatkan dalam ayat selanjutnya, efek destruktif perang harus dibatasi sedemikian rupa dan setiap muncul keinginan damai harus segera disambut baik (QS a-Baqarah: 192-193). Perang bukanlah cara ideal mengatasi konflik. Cara terbaik mengelola konflik adalah dengan menyepakati pijakan bersama dan aturan main ser ta berusaha istiqamah dan patuh menjalaninya. Karena itu sangatlah penting kita memahami hakikat konflik dan bentuk-bentuk manifestasinya. Konflik terjadi karena adanya pertentangan kepentingan (pandangan, tujuan, cara mencapai tujuan) atau karena perilaku orang yang memiliki kepentingan yang berlawanan tadi tidak selaras satu sama lain. Dari segi pertentangan kepentingan dan perilaku orang-orang menghadapinya, konflik dapat muncul dalam empat bentuk. Pertama, Nihil Konflik, situasi dimana terjadi pertentangan kepentingan tapi tidak tajam. Orang-orang yang terlibat menyikapinya dengan baik-baik saja. Kedua, Konflik Permukaan, sama dengan yang diatas, tapi orang-orang yang terlibat menyikapinya dengan emosi dan menunjukkan prilaku yang bertentangan. Ketiga, Konflik Laten, yaitu situasi pertentangan kepentingan tajam, seperti sengketa atas lahan, sumber-sumber penghasilan, keyakinan dan ideologi, dan sebagainya. Tapi orangorang yang terlibat tidak menunjukkan perilaku yang bertentangan. Keempat, Konflik Terbuka, yaitu pertentangan kepentingan tajam, tapi disertai dengan perilaku yang tidak selaras, sehingga tampak dalam bentuk kerusuhan, penyerangan, dan bahkan perang yang biasanya berlangsung lama. Kedua tipe perwujudan konflik yang disebut terakhir lebih berbahaya daripada kedua tipe yang pertama.
227
Konflik terbuka tidak terjadi sekonyong-konyong tapi melalui proses dan penahapan yang kadang membutuhkan waktu yang lama. Perang adalah puncak dari perwujudan konflik terbuka. Jauh sebelumnya telah ada proses pengkondisian. Diawali dengan penonjolan perbedaan, diikuti penajaman perbedaan, hingga berlanjut pada polarisasi dimana kelompok-kelompok yang berbeda mulai sering berkonsentrasi pada wilayah geografis masing-masing. Pada fase ini siapa kawan siapa lawan sudah diperjelas. Serangkaian aksi-aksi kekerasan yang menyertai polarisasi adalah pengkondisian langsung terhadap perang yang merupakan puncak konflik. Perubahan suhu konflik dari yang paling rendah menjadi yang paling panas disebut Eskalasi Konflik. Apabila Eskalasi merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu konflik dari rendah ke tinggi, Deeskalasi Konflik adalah sebaliknya. Yaitu penurunan suhu konflik dari yang tinggi ke yang rendah, sehingga mencapai situasi normal. Rekonsiliasi adalah tujuan akhir dari proses-proses penyelesaian konflik yang dimulai dari gencantan senjata, lalu perjanjian damai, diikuti normalisasi kehidupan paska konflik dan terakhir ditutup dengan reskonsiliasi. Memahami konflik, terutama konflik terbuka, belum lengkap kalau belum mengungkap akar-akar penyebabnya. Berbagai konflik sosial atapun komunal (agama dan etnik) tidak pernah terjadi karena sebab yang tunggal. Termasuk konflik yang melibatkan sentimen agama sekalipun. Tapi semuanya berakar dari beragam sebab dan alasan. Sifat-sifat yang egois, mau menang sendiri, prasangka buruk pada orang yang berbeda merupakan akar psikologis terjadinya konflik. Kurangnya wawasan, kedangkalan berpikir, rendahnya pendidikan, dalam berbagai segi kehidupan, sosial, budaya dan hukum, dapat berkontribusi terhadap konflik. Masalah-masalah psikologis dan pengetahuan di atas dapat dikatakan sebagai bahan-bahan pokok dalam racikan konflik. Ketika menguat dalam sifat dan karakter kelompok masyarakat, maka bertemulah bahan-bahan itu dengan bahan-bahan sosiologis. Akar-akar sosiologis konflik ini pun macam-macam. Perbedaan pendirian/posisi pada satu masalah yang
228
dipertentangkan di masyarakat bisa menjadi sumber pokok konflik. Perbedaan pendirian/posisi ini akan dapat diperparah oleh segregasi (pemisahan) kehidupan sosial dan geografis. Dalam situasi seperti ini absennya komunikasi, hidup berbaur, dan dialog, menjadi rumput kering yang dapat terbakar hanya dengan sedikit percikan api. Identitas (agama, suku, ras, dan lain-lain) adalah faktor alami dalam kehidupan masyarakat yang plural. Namun penonjolan identitas yang berlebihan tanpa diimbangi dengan rasa kebersamaan dapat menjadi salah satu sumber penyebab konflik yang mematikan. Situasi-situasi di atas apabila berlangsung dalam konteks ekonomi yang mengalami krisis juga akan menjadi peringatan akan adanya konflik yang mengintai. Terlebih dalam konteks kebijakan negara yang tidak adil dalam distribusi sumbersumber ekonomi sehingga menjadi dasar struktural bagi terjadinya kesenjangan sosial. Komplikasi masalah psikologis, pengetahuan (kognitif), isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik di atas, apabila gagal didiagnosa dan diobati dengan baik, dapat berkontribusi kepada konflik sosial yang dampak negatifnya akan luas dan sistematis. Dewasa ini prasangka negatif terhadap orang dan kelompok yang berbeda menemukan lahan yang subur di dunia maya terutama lewat sosial-media atau sosmed. Tidak sedikit orang yang hari ini mnegabaikan peringatan al-Qur’an dan Hadits tentang dosa dan bahaya memelihara prasangka negatif. Banyak kebencian, permusuhan dan bahkan konflik kekerasan dimulai dengan penyebaran informasi yang mengandung futnah dan ujaran kebencian di sosmed. Usaha-usaha untuk membangun tatanan yang damai dan harmonis dalam kehidupan masyarakat tidak akan berhasil dengan baik tanpa mengatasi masalah sosmed ini. Karena itu penting memahami etika informasi di sosmed. Pertama, tabayyun atau konfirmasi kebenaran informasi. Kedua, Jangan ikut menyebarkan informasi berisi prasangka apalagi fitnah. Ketiga, beritahu orang lain kalua informasi itu fitnah atau prasangka negative. Kalau tidak berani, paling tidak diam lebih baik daripada terbawa arus informasi yang merusak.
229
SUMBER PUSTAKA Abubakar, Irfan, Modul Resolusi Konflik Agama dan Etnis di Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Abubakar, Irfan (ed), Modul Pelatihan Advokasi Kebijakan Publik Keagamaan non Diskriminatif, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Abubakar, Irfan (ed), Media dan Integrasi Sosial: Jembatan antar Umat Beragama, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Irfan abu bakar dan Chaider S Bamualim (Ed). Tanya jawab Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: CSRC UIN, KAS 2014. Stoner, James A.F., dan R. Edward Freeman, Management. USA: Prentice-Hall International Editions, 1989. De Cenzo, David A., dan Stephen P. Robbins, Human Resource Management. New York: John Wiley & Sons, Inc, 1996. Greenhalgh, Leonard, “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.), Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia, 1999. Ichwan, Moch Nur, dan Ahmad Muttaqien (ed), Agama dan Perdamaian: Dari Potensi Menuju Aksi. Yogyakarta: CR-Peace, 2012. Ismahfudi MH, "Iklan dan Konsumerisme," Media YLKI, edisi Oktober 2000. Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism. Yogyakarta: Kanisius, 2008. S.T. Guntur Narwaya (dkk), Modul Penanganan Konflik Bernuansa Keagamaan. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2013. www.wikipedia.com www.sinaukomunikasi.wordpress.com www.andreasharsono.net
230
Lembar Evaluasi
1. Apakah yang dimasud dengan konflik? Jelaskan apakah perbedaan selalu mendorong konflik? Kalau tidak mengapa orang yang berbeda mengalami konflik? 2. Berikan contoh sikap terbaik merespon perbedaan dan konflik! Perang adalah pilihan terakhir menyelesaikan konflik. Mengapa demikian? Kapan perang diperbolehkan dalam Islam? 3. Apakah yang dimaksud dengan Konflik Permukaan, Konflik Terbuka dan Konflik Laten? Sebutkan persamaan dan perbedaanya! Mengapa tawuran pelajar dikategorikan konflik permukaan? 4. Jelaskan tahapan-tahapan Eskalasi dan Deeskalasi Konflik (Dinamika Konflik)! 5. Konflik sosial dapat disebabkan oleh masalah psikologis dan pengetahuan. Jelaskan apa saja masalah psikologis dan pengetahuan tersebut 6. Konflik sosial juga berakar dari masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik. Sebutkan apa saja masalah sosial tersebut dan berikan contoh! 7. Mengapa identitas agama dan suku bisa menjadi penyebab konflik? Jelaskan dengan contoh! 8. Agar terhidanr dari kerugian dan permusuhan, tunjukkan 3 langkah menanggapi informasi yang disebarluaskan di sosmed!
231