63
BAB 4 PENERAPAN KETENTUAN MENGENAI PERWALIAN
4.1.Penetapan Nomor 02/Pdt.P/2007/PA.JT 4.1. 1. Kasus Posisi Kasus yang akan dianalisis adalah kasus mengenai perwalian, di mana sebagai pemohonnya adalah Ali Basir bin Rasad yang mengajukan permohonan perwalian kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan nomor perkara 02/Pdt.P/2007/PA.JT. Adapun posisi kasusnya sebagai berikut: a. Identitas pemohon: Nama
:
Ali Basir bin Rasad
Usia
:
66 Tahun
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
Pedagang
Alamat
:
Jl. Mawar Merah I No. 69 Rt.007 Rw. 01, Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
b. Pemohon mempunyai cucu yang bernama Ogi Lima Pratama bin Harlis yang lahir pada tanggal 5 Mei 2001. Ogi Lima Pratama bin Harlis merupakan anak kandung dari hasil perkawinan antara Harlis bin Ali Basir dengan seorang perempuan bernama Nia Lisnawati binti Sohlaning. c. Ayah Ogi Lima Pratama bin Harlis bernama Harlis bin Ali Basir telah wafat pada tanggal 11 Agustus 2006 dan ibu Nia Lisnawati bin Sohlaning telah wafat pula pada tanggal 4 Desember 2006. d. Karena kedua orang tua dari Ogi Lima Pratama bin Harlis telah meninggal dunia, maka Pemohon mengajukan permohonan perwalian untuk mengurus hak-hak daripada cucu pemohon yang masih di bawah umur tersebut. e. Permohonan tersebut diajukan untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan keperluan serta pengurusan sekolah serta keperluan lainnya dari Ogi Lima Pratama bin Harlis.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
64
f. Selain itu, karena Ogi Lima Pratama bin Harlis masih di bawah umur, dan belum dapat bertindak hukum, maka pemohon meminta untuk diangkat sebagai wali dari cucu pemohon tersebut di atas sebagai wali/wakil untuk bertindak dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban atas nama Ogi Lima Pratama bin Harlis. g. Pemohon dalam mengajukan permohonan tersebut, tidak ada pihak-pihak baik dari ahli waris almarhum (Harlis bin Ali Basir) dan almurhumah (Nia Lisnawati binti Sohlaning) maupun pihak lain yang berkeberatan terhadap pemohon sebagai wali. h. Atas hal-hal di atas maka pemohon mengajukan permohonan perwalian dengan tujuan untuk mengurus segala keperluan yang menyangkut diri Ogi Lima Pratama bin Harlis. i. Pemohon
dalam
permohonannya
mengajukan
bukti-bukti
untuk
menguatkan dalil-dalil permohonannya sebagai berikut: -
fotokopi surat kematian Nomor 474.3/12/2006 tanggal 12 Desember 2006 dari Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
-
Fotokopi surat keterangan kematian penduduk WNI Nomor 080/JT/1.755.0/VIII/2006 tanggal 11 Agustus 2006 dari Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur
-
Fotokopi kutipan akta nikah nomor 1294/179/XI/1999 tanggal 29 November 1999 dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor
-
Fotokopi kutipan akta kelahiran atas nama Ogi Lima Pratama nomor 10944/2001 tanggal 28 Mei 2001 dari Kantor Dinas Kependudukan Kota Bandung
-
Fotokopi kartu keluarga WNI atas nama kepala keluarga Ali Basir nomor 600146 tanggal 22 Juni 1994 dari Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit.
j. Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa memutus perkara permohonan perwalian ini memutuskan mengabulkan perwalian ini
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
65
dengan alasan untuk kepentingan cucunya yaitu yang bernama Ogi Lima Pratama bin Harlis
4. 1. 2. Analisis Kasus Dalam proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baligh ada dua istilah yang berdekatan maksudnya yaitu istilah
hadin dan kata wali, Hadin atau
hadinah adalah istilah yang dipakai bagi seseorang yang melakukan tugas hadanah, yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai bisa secara sederhana makan sendiri dan berpakaian sendiri dan bisa membedakan mana yang berbahaya bagi dirinya. Bila diukur dengan umur, sampai umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa sebelum tersebut, pada umumnya seorang anak belum bisa mengatur dirinya dan belum bisa secara sederhana membedakan mana yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya140. Adapun istilah wali di samping dipakai untuk orang yang menjadi wali nikah, juga dipakai untuk orang yang melakukan pemeliharaan atas diri anak-anak semenjak berakhir periode hadanah sampai ia baligh berakal, atau sampai ia menikah bagi anak perempuan. Jadi tugas wali adalah untuk menyambung dan menyempurnakan pendidikan anak yang telah dimulai pada waktu hadanah, serta bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak sampai ia baligh berakal dan mampu hidup mandiri. Di samping itu, istilah wali juga dipakai untuk seseorang yang berwenang memelihara harta anak kecil serta mengatur pembelanjaannya dari hartanya itu. Menurut hukum Indonesia, perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal dunia, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum141. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perwalian adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
140
Satria Effendi Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Usliyah, Cet. 1, (Jakarta:Kencana, 2004), hlm. 220. 141
Indonesia, Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, pasal 50-54, dan Pasal 107-112 KHI.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
66
Permohonan perwalian yang diajukan oleh pemohon, diajukan oleh karena pemohon selaku kakek dari anak tersebut. Permohonan tersebut diajukan dengan maksud agar pemohon sebagai kakeknya dapat mengurus segala hal yang berhubungan dengan kepentingan si anak tersebut. Oleh karena kedua orang tua dari anak tersebut telah meninggal dunia, maka pemohon mengajukan permohonan untuk diangkat menjadi wali agar ia dapat melakukan perbuatan hukum atas nama anak tersebut. Dalam hal demikian, pengadilan berwenang untuk menunjuk wali apabila orang tua anak yang bersangkutan telah meninggal dunia atau anak tersebut tidak cakap melakukan perbuatan hukum142. Dalam kasus ini, penunjukan wali sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Pengadilan Agama. Menurut Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menunjukan seorang wali tersebut ditujukan bagi anak yang belum berusia 18 tahun, dan menurut Pasal 107 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, perwalian hanya bagi anak yang belum mendapai umur 21 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Penunjukan kakek dari anak yang ditunjuk sebagai wali dari anak tersebut, baik ditinjau dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam sudah tepat, karena menurut kedua peraturan tersebut, yang dapat menjadi wali sedapat mungkin diambil dari keluarga anak yang bersangkutan atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik143, termasuk syarat bahwa wali tersebut harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuh144. Namun adakalanya, apabila kedua orang tua dari anak yang bersangkutan tersebut sudah meninggal, maka dalam hal ini perempuan dari sanak keluarga pihak ibu akan memegang peranan sebagai pengasuh utama, yang bertanggung jawab atas pengasuhan sehari-hari dan pertumbuhan anak yang bersangkutan;
sedangkan laki-laki dari sanak keluarga pihak ayah, biasanya
paman atau kakek di tunjuk sebagai wali warisan atau wali perkawinan. Namun tidak berarti bahwa ketiga fungsi (pengasuh utama, wali warisan dan wali 142
Indonesia, Undang-undang Tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 tahun 2002, LN. 109 Tahun 2002, TLN. 4235, pasal 33 ayat (1); Pasal 49 ayat (2) Penjelasan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989. 143
Pasal 52 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974; Pasal 107 ayat (4) KHI
144
Indonesia, op., cit., Pasal 31 ayat (4), 33 ayat (3).
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
67
perkawinan) tidak dapat diberikan kepada orang yang sama, atau bahwa orang tersebut harus selalu laki-laki dari sanak keluarga pihak ayah. Untuk memperoleh hak perwalian, seorang wali harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan (Agama). Dengan adanya permohonan perwalian, pengadilan akan memeriksa calon wali yang bersangkutan. Misalnya bagaimana perilakunya, bagaimana penghidupannya, dan juga bagaimana tanggapan keluarga dari anak yang bersangkutan, baik dari pihak keluarga ayah maupun dari pihak keluarga ibu. Jika dari hasil pemeriksaan itu terbukti bahwa calon wali dapat dipercaya dan tidak ada keberatan dari pihak keluarga, serta anak juga bersedia berada di bawah perwalian dari wali yang bersangkutan, maka Pengadilan akan memberi hak perwalian kepada wali tersebut. Menurut pertimbangan dari majelis hakim pada kasus pertama ini, majelis hakim telah menimbang dan berpendapat bahwa pemohon layak untuk dijadikan sebagai wali dari anak yang bersangkutan. Penunjukan pemohon yaitu yang merupakan kakek dari anak tersebut, jika ditinjau dari hukum Islam dinilai sudah tepat, karena dalam perspektif Syafi’iyah penetapan perwalian (khususnya wali nikah) diprioritaskan kepada kaum kerabat yang dekat, kemudian baru berpindah pada wala’ ashabah (seperti anak-anak saudara, anak paman) dan qadhi (hakim). Dari kerabat yaitu bapak, kakek terus ke atas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah dan seterusnya. a. Ayah b. Kakek c. Saudara laki-laki kandung d. Saudara laki-laki seayah e. Anak saudara laki-laki kandung/seayah f. Paman (Saudara ayah) kandung g. Paman seayah h. Anak paman kandung/seayah145 Lebih jauh Mazhab Syafi’iyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sama dengan hierarkis orang-orang yang berhak menerima kewarisan. Apabila ayah tidak ada, maka kakek pun dapat diberi tugas 145
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), 157.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
68
perwalian ini, baik terhadap urusan pribadi ataupun urusan harta anak yang diwakili. Dengan demikian, yang menjadi wali sebaiknya orang yang terdekat dengan orang yang diwakili; persis seperti kerabat dekat yang dibahas dalam persoalan ahli waris. Jika orang terdekat yang laki-laki tidak ada, maka hak perwalian dalam urusan-urusan pribadi bisa ditangani pihak ibu. Akan tetapi, perwalian dalam masalah harta, jika ayah orang yang berstatus ahliyyah al-wujub telah meninggal dunia, maka kewenangan perwalian hanya akan berpindah tangan kepada orang yang diberi wasiat oleh almarhum, tanpa mempersoalkan apakah yang ditunjuk itu laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan seperti yang disebutkan terakhir, wewenang perwalian berubah nama menjadi wisayah (orang yang diberi wasiat untuk mengelola harta orang yang ada di bawah pengampuan ini)146. Konsep perwalian di kalangan fikih empat mazhab, kecuali Abu Hanifah sepakat bahwa hak perwalian hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dalam menentukan persyaratan laki-laki dalam perwalian, para ahli fikih biasanya mengambil Surat An-Nisa ayat 34:147 Terjemahannya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. An-Nisa: 34).
Dengan diangkatnya pemohon sebagai wali dari anak yang tersebut , maka wali dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk melakukan perwalian terhadap diri pribadi dan terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak
146
Ibid., hlm. 158.
147
Ibid.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
69
adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberikan pendidikan dan bimbingan agama. Sedangkan perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri148. Proses pencatatan mengenai apa saja yang menjadi harta warisan yang dimiliki si anak, sebaiknya melibatkan beberapa saksi agar bisa dipertanggungjawabkan jika si anak sudah cukup umur dan bisa mengelola sendiri harta miliknya. Wali boleh saja menggunakan harta warisan tesebut demi kelangsungan hidup mereka jika keadaan mendesak, misalnya ketika kehidupan perekonomian si wali sementara ini memang tidak memungkinkan memberi kehidupan yang baik bagi si anak. Dalam kondisi demikian wali bisa menggunakan sedikit harta warisan anak terebut untuk menunjang kehidupan mereka. 149 Berdasarkan hal-hal di atas, maka penetapan kakek dari anak tersebut telah sesuai dengan Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Hal ini berdasarkan pada Al-Quran Surat Annisa sebagai dasar penunjukan wali bagi lakilaki (Q.S. Annisa:34). Dan berdasarkan Pasal 51 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 107 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, wali sedapat mungkin diambil dari keluarga anak tersebut. Dengan demikian penunjukan kakek anak tersebut, hal itu telah sesuai dengan ketentuan peraturan tersebut. Namun yang menjadi permasalahan dalam penetapan perwalian pada perkara di atas adalah mengenai penerapan salah satu pasal yang dijadikan dasar untuk penetapan perwalian. Dasar hukum yang dipakai adalah pasal 98 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 98 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa “orang tua mewakili anak yang belum dewasa (belum berumur 21 tahun) mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan”. Penerapan pasal tersebut tidak tepat, karena dalam kasus tersebut orang tua dari anak yang bersangkutan sudah tidak ada atau sudah meninggal dunia. Dengan 148
Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 110111 Kompilasi Hukum Islam. 149
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 155.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
70
demikian, bukan orang tuanya yang mewakili, melainkan walilah yang harus melakukan segala pengurusan serta kepentingan dari anak tersebut. Seharusnya pasal yang dipakai sebagai dasar hukum, selain Pasal 50 Undang-undang Perkawinan adalah pasal 107 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 107 diatur mengenai perwalian, di mana perwalian dilakukan terhadap anak yang belum berusia 21 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, juga pasal tersebut mengatur mengenai lingkup perwalian yang mencakup diri dan harta kekayaan anak serta siapa yang dapat diangkat menjadi wali, yaitu antara lain sedapat mungkin dari kerabat anak yang bersangkutan.
4.2.Putusan Nomor 258/Pdt.G/2008/PA.JT 4. 2.1. Posisi kasus Kasus kedua yang akan dibahas adalah mengenai pengajuan perwalian kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun mengenai posisi kasusnya adalah sebagai berikut: a. Identitas para pihak: Nama
:
Fais Saleh Harharah bin Saleh
Usia
:
35 Tahun
Agama
:
Islam
Pekerjaan
;
Pegawai BUMN
Alamat
:
Jl. Cililitan Kecil Gg. Umairoh V, Rt. 012/07, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur.
Selanjutnya disebut sebagai penggugat; Nama
:
Evi Susanti binti Saleh
Usia
:
33 Tahun
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
Ibu Rumah Tangga
Alamat
:
Jl. Cililitan Kecil Gg. Umairoh V, Rt.012/07, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur.
Selanjutnya disebut sebagai tergugat 1,
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
71
Nama
:
Husin bin Ahmad
Usia
:
41 tahun
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
Tidak ada
Alamat
:
(dahulu) Di kampung Melayu, Kelurahan Ampean, kecamatan Nusa Tenggara Barat, sekarang sudah tidak diketahui keberadaannya (Ghoib).
Selanjutnya disebut sebagai tergugat 2. b. Penggugat adalah kakak kandung dari tergugat 1, yang berkehendak mengajukan permohonan perwalian atas anak dari tergugat 1 dan tergugat 2. c. Antara tergugat 1 dengan tergugat 2 adalah suami isteri yang dulunya hidup secara rukun dan harmonis dan menikah di KUA Kecamatan Ampenan – NTB, dengan akta nikah nomor: 1441/35/X/1999, tanggal 14 Oktober 1999. d. Tergugat 1 dan tergugat 2 sewaktu berumah tangga hidup rukun dan harmonis, dan dari pernikahan tersebut dikaruniai anak yang bernama Firhan, yang lahir pada tanggal 30 November 2000. e. Namun pada akhirnya perceraian terjadi antara tergugat 1 dengan tergugat 2. Mereka bercerai di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan putusan nomor: 1441/Pdt. G/2004/PA.JT tanggal 25 April 2005 dan telah mendapatkan akta cerai Nomor: 515/AC/2007/PA.JT tanggal 18 Mei 2007 dan dalam putusan tersebut belum ditetapkan tentang hak pengasuhan anak. f. Karena anak dari tergugat 1 dan tergugat 2 tersebut di atas masih di bawah umur/belum dewasa, maka penguggat meminta kepada majelis hakim agar diberi hak perwalian dan pengasuhan terhadap anak tersebut. g. Permohonan tersebut didasarkan karena selama ini anak tersebut telah diasuh dan dipelihara oleh penggugat. Selain itu juga karena alasan tergugat 2 tidak diketahui keberadaannya, serta tergugat 1 juga tidak mampu secara lahiriah untuk mengurus kepentingan anknya. Ternyata pada persidangan yang telah ditentukan, tergugat 2 tidak datang
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
72
menghadap atau menyuruh orang lain menghadap sebagai
kuasanya,
padahal tergugat 2 telah dipanggil dengan resmi dan patut melalui surat penggilan tertanggal 2 Januari 2008 dan
4 Februari 2008. Namun
Penggugat dan tergugat 1 telah datang ke persidangan. h. Anak tergugat 1 dan tergugat 2 yang bernama Firhan sejak 2002 telah diasuh dan dipelihara oleh penggugat, karena tergugat 2 selaku ayahnya tidak diketahui keberadaannya (ghoib), serta tergugat 1 tidak mampu secara lahir. i. Untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, penggugat mengajukan buktibukti berupa : -
Fotokopi akta cerai antara tergugat 1 dengan tergugat 2.
-
Fotokopi kutipan akta kelahiran atas nama Firhand dengan nomor 401/IS/KM/2001 tanggal 7 Maret 2001 dari kantor dinas kependudukan tenaga kerja dan transmigrasi
-
Fotokopi kartu keluarga atas nama kepala keluarga Fais Saleh Harharah nomor 5503.061590 tanggal 20 Juli 1007.
-
Keterangan saksi-saksi
4. 2. 2. Analisis Kasus Putusnya sebuah perkawinan antara suami istri akan membawa akibat baik secara langsunng maupun tidak langsung kepada anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut, namun putusnya sebuah perkawinan tidak berarti pula putusnya hubungan antara orang tua dengan anak. Pemeliharaan anak harus selalu diperhatikan
demi kepentingan dan kesejahteraan anak tersebut. Kewajiban
terhadap anak tersebut bukankah hanya untuk ayah atau ibu saja tetapi kewajiban tersebut merupakan kewajiban dari kedua orang tua kepada anak-anaknya meskipun tali perkawinan antara ayah dan ibu sudah putus. Dalam perkara pengajuan gugatan perwalian tersebut, majelis hakim telah memutuskan bahwa perwalian terhadap Firhan berada di tangan Paman dari Firhan yaitu berada di tangan pengugat. Seharusnya yang melakukan pengasuhan dan pemeliharaan anak, sebaiknya diserahkan kepada ibu dari anak tersebut.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
73
Karena ayah dari anak tersebut tidak diketahui keberadaannya, maka kepada ibunya-lah seharusnya pengasuhan dan pemeliharaan anak itu diberikan. Kewajiban melakukan hadanah terletak di pundak kedua orang tua. Prinsip tersebut hanya akan berjalan lancar bilamana kedua orang tua tetap dalam hubungan suami istri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua oranng tua anak telah berpisah cerai, maka pihak manakah yang lebih berhak terhadap anak tersebut. Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukan150: a. Periode sebelum mumayyiz Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi mumayyiz, artinya belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya melakukan kewajiban hadanah. Kesimpulan ini didasarkan atas: • Sabda Rasulullah yang maksudnya: ”Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan orang yang dikasihinya pada Hari Kemudian”. (H.R. Abu Daud). • Hadits riwayat Abu Daud dan Ahmad yang menceritakan bahwa seorang ibu mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya (belum mumayyiz), di mana mantan suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka setelah menceraikannya. Lalu Rasulullah bersabda: ”Kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain”. Keputusan Rasulullah itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur terebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sangat membutuhkan berada di dekatnya.
150
Satria Effendi Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 170-171.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
74
• Sesuai dengan isi hadis-hadis tersebut di atas adalah keputusan Khalifah Abu Bakar tentang kasus Umar bin Khatab dengan bekas istrinya. Umar bin Khatab dengan salah seorang istrinya mendapat anak yang diberi nama ’Ashima, kemudian ia bercerai dari istrinya. Pada suatu hari Umar bin Khatab pergi ke Quba’ (satu dusun di tepi Madinah), ia mendapati anaknya sedang bermain. Ketika Umar hendak memegang anaknya itu dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini segera disampaikan kepada Khalifah Abu Bakar, dan ia memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (Riwayat Ibnu Abi Syaibah). • Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang amat membutuhkan untuk hidup di dekat ibunya. Berdasarkan alasan-alasan di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur tersebut, maka ibu lebih berhak mengasuhnya bilamana persyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi. Ibnu Qudamah seorang Pakar hukum dari kalangan Hanbali dalam kitabnya Al-Mugni menegaskan tidak ada perbedaan pendapat di akalangan ulama dalam masalah tersebut.151 b. Periode Mumayyiz Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh atau delapan tahun sampai menjelang baligh berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar hukumnya adalah Hadis Abu Hurairah yang menceritakan seorang wanita yang mengadukan tingkah mantan suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah mampu meolong mengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah menghadirkan kedua pihak yang bersengketa dan mengadili: ”Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana engkau sukai dan tinggal bersamanya. Lalu anak itu memilih ibunya”. 151
Ibid., Dikutip dari Ibnu Qudamah, Al-Mugni, Matba’ah al-Qahirah, (t.p), 1970.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
75
Anak yang disebut dalam hadis di atas sudah mampu membantu ibunya mengambil air di sumur, yang diperkirakan berumur di atas tujuh tahun
atau
sudah
mumayyiz.
Dengan
demikian,
hadis
tersebut
menunjukkan bahwa anak yang sudah mumayyiz atau sudah dianggap mampu menentukan pilihan sendiri, diberi hak untuk memilih.152 Berdasarkan hadis-hadis di atas, maka hadanah bagi anak yang belum mumayyiz hendaklah hadanah tersebut berada di ibunya. Selama perkawinan masih utuh, kekuasaan atas anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut berada pada orang tua mereka. Ketika kedua orang tua mereka bercerai maka penguasaan atas anak tersebut berada pada salah satu di antara mereka, bukan berarti pihak yang lain terbebas dari kewajiban tetapi pihak yang lain juga mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak tersebut. Seorang anak tidak berada dalam kekuasaan orang tua, dapat disebabkan karena orang tuanya bercerai atau salah satu dari kedua orang tuanya meninggal dunia. Pada umumnya, anak dari hasil perkawinan tetap berada di bawah kekuasaan orang tuanya sampai anak dapat hidup mandiri. Hal tersebut merupakan perwujudan perwujudan dari kewajiban orang tua dalam membesarkan anak-anaknya. Pada sisi lain kekuasaan itu dapat dicabut, karena jika anak berada di bawah kekuasaan orang tua tersebut, maka akan merugikan anak karena kurang mendapat hak dan/atau perlindungan dari orang tua, yang akan mempengaruhi kondisi lahir maupun batin si anak, dan kelangsungan masa depannya. Kekuasaan orang tua terhadap anak dapat dijalankan oleh salah satu dari kedua orang tua si anak, perwalian hanya terjadi bila seorang atau beberapa orang anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya sama sekali, tetapi putusnya perkawinan antara kedua orang tua atau meninggalnya salah seorang dari kedua orang tua atau dicabutnya kekuasaan salah seorang dari kedua orang tua tidak dengan sendirinya mengakibatkan anak berada di bawah kekuasaan wali. Apabila dalam putusnya perkawinan, kedua orang tua telah menyerahkan anaknya di bawah kekuasaan wali atau kedua orang tuanya dicabut kekuasaannya terhadap anaknya, maka dengan sendirinya anak berada di bawah kekuasaan wali.
152
Zein, op. cit., hlm. 171.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
76
Dengan demikian seharusnya pada kasus kedua di atas, ibu dari anak tersebutlah yang melakukan pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya. Namun, pertimbangan hakim dikatakan bahwa karena ibu dari anak tersebut tidak mampu secara lahir, dan ayahnya tidak diketahui keberadaaannya di mana, maka majelis hakim memutuskan anak tersebut berada di bawah kekuasaan wali yaitu pamannya. Selain itu, karena pamannya telah melakukan pemeliharan dan pengasuhan terhadap anak tersebut semenjak dari kecil, maka majelis hakim menilai bahwa penggugat merupakan orang cocok untuk melakukan perwalian, pengasuhan dan pemeliharaan terhadap anak tersebut. Sebenarnya, perwalian hanya terjadi jika kekuasaan kedua orang tua dari anak yang bersangkutan telah di cabut melalui putusan pengadilan atau jika kedua orang tua dari anak tersebut telah meninggal dunia, maka dalam hal demikian pengadilan dapat menunjuk seseorang untuk menjadi wali dari anak tersebut. Berdasarkan pasal 41 Undangundang Perkawinan maupun Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, dikatakan walaupun perkawinan kedua orang tuanya telah putus, namun kewajiban untuk memelihara dan mendidik anaknya tetap berada pada kedua orang tua, hal tersebut semata-mata demi kepentingan anak. Pada pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibu-nya. Kecuali ibu dari anak tersebut kehilangan hak asuh atas anaknya, karena tidak dapat memberikan jaminan keselamatan jasmani dan rohani terhadap anak tersebut meskipun biaya pengasuhan telah diberikan (dimana biaya pemeliharaan dan nafkah anak dibebankan kepada bapak si anak menurut kemampuannya), maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lainnya yang mempunyai hak hadanah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Undang –undang nomor 1 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa bapak bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan Agama dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya dimaksud. Bagaimanapun pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orang tua, oleh karenanya setiap orang tua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja, sebab baik buruknya sifat dan kelakuan anak-
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
77
anak, sepenuhnya tergantung baik buruknya pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya153. Mengingat pentingnya pemeliharaan anak agar hidup dan pendidikan tidak terlantar, undang-undang menentukan agar bapak sepenuhnya dapat menanggung pembiayaan anak-anaknya termasuk biaya pendidikan. Apabila bapak ternyata tidak dapat memenuhinya, ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak tersebut melalui suatu penetapan pengadilan. Dengan demikian tanggung jawab pemeliharaan berada di bawah kewenangan ibu anak-anak tersebut154. Jika ditinjau dari Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hak asuh atas anak pada dasarnya diberikan kepada ibu atau bapak dari anak yang bersangkutan. Oleh karena itu, permohonan hak asuh atas anak hanya dapat diajukan oleh salah satu dari orang tua si anak, baik bapak atau ibu. Pemberian hak asuh kepada salah satu dari orang tua si anak tidak meniadakan kewajiban dari orang tua lain si anak yang tidak mendapat hak asuh. Dalam hal terjadinya perceraian, kekuasaan orang tua terhadap anak terus berlangsung, sehingga tidak menimbulkan perwalian terhadap anak. Perwalian baru akan muncul apabila kekuasaan orang tua atas anak sudah tidak ada, karena meningggalnya orang tua si anak atau karena kekuasaan orang tua tersebut dicabut berdasarkan keputusan pengadilan. Maka bisa saja Kakek dan/atau nenek dari si anak berperan dalam hal
153
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju 1997), hlm. 36-37. Bagi pegawai negeri yang melakukan perceraian, penguasaan anak dapat berada dalam penguasaan ayah atau ibunya atau bisa juga sebahagian dari anak-anak mereka dikuasai oleh si ibu yang sebagian lagi dikuasai oleh bapaknya. Baik si bapak maupun si ibu bertindak sebagai wali atas anak-anak yang berada di bawah kekuasaannya, mereka melakukan pemeliharaan terhadap diri si anak dan terhadap harta benda (hak-hak) si anak, hak-hak si anak yang dimaksud adalah yang telah ditetapkan pada saat berlangsungnya pemutusan perkawinan, karena bagi anak-anak pegawai negeri sipil telah ada jaminan bagi kepentingan pendidikan dan kepentingan kehidupannya sehingga si anak tidak terlantar hidupnya. Dalam PP No.10 tahun 1983 jo Surat Edaran Kepala BAKN No. 08/SE/1983, diatur mengenai hak-hak yang akan diterima oleh anak-anak pegawai negeri sipil bila orangtuanya bercerai. Jika anak mengikuti bekas istri pegawai negeri sipil yang bersangkutan, pembagian gaji pegawai negeri sipi tersebut harus diserahkan sepertiganya kepada anaknya dan diterimakan kepada bekas istrinya. Bila anak mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan maka sepertiga dari gajinya diserahkan kepada anak yang berada dalam penguasaan. Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri bersangkutan dan sebagian lagi mengikuti bekas istrinya, sepertiga gaji menjadi bagian anak-anak itu di bagi menurut jumlah anak, pemabayaran gaji kepada anak-anak mereka baru dihentikan apakah mereka berumur 21 tahun atau berumur 25 tahun bila mereka masih sekolah, atau apabila masih belum kawin atau mempunyai penghasilan sendiri. 154
Ibid., hlm 37.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
78
perwalian, bukan dalam hak asuh atas anak di mana kekuasaan orang tua masih berperan. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia Prof. Umar Shihab155 berpendapat bahwa hak asuh anak yang masih menyusui di bawah dua tahun sebaiknya diberikan kepada ibu. Sedangkan jika lebih dari dua tahun, maka hak asuh diputuskan oleh pihak pengadilan. Hak asuh sebaiknya diberikan kepada pihak yang memiliki waktu luang dalam hal mengasuh anak dan
memiliki
keadaan finansial yang lebih baik untuk pemenuhan kebutuhan hidup si anak. Namun jika hal itu tidak disepakati maka proses pengadilan dapat dilakukan sebagai solusinya. Serta jangan sampai hak-hak anak menjadi terabaikan ketika terjadi perceraian. Mengenai perkara atau kasus yang dibahas, maka jika Pengadilan Agama pada akhirnya memutuskan bahwa anak yang bernama Firhan berada di bawah kekuasaan wali yaitu berada di tangan pamannya, kemungkinan hal tersebut diputuskan karena antara ibu dengan paman dari anak tersebut berada di dalam satu rumah yang sama, karena hubungan sebagai kakak adik. Dengan demikian, walaupun anaknya berada di bawah kekuasaan wali, ibu dapat setiap saat berkomunikasi dengan anaknya maupun ikut memelihara dan merawat anaknya, sehingga si ibu tetap bisa mencurahkan kasih sayangnya. Namun sebenarnya, perwalian tersebut tidak harus terjadi. Bisa saja ibu dari anak tersebut mencari pekerjaan sehingga ia secara lahir sedikit demi sedikit bisa membiayai anaknya. Tentu saja kakaknya selaku paman dari anak tersebut dapat memberikan bantuan materiil semampunya sampai ibu dari anak tesebut dapat hidup secara mandiri. Dengan demikian tergugat 1 atau ibunya tetap dapat melakukan pengasuhan dan pemeliharaan terhadap anaknya itu. Namun menurut salah satu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, hadanah dapat diberikan kepada Paman dari anak tersebut dikarenakan tergugat 1 atau ibu dari anak tersebut telah menyerahkan pengasuhan anak tersebut kepada penggugat atau paman dari anak tersebut. Selain itu tergugat 1 atau ibu dari anak tersebut merasa tidak mampu baik secara lahir maupun secara batin untuk melakukan pengasuhan terhadap anaknya. Dengan demikian menurut Hakim, 155
“Hak Asuh Anak Harus Menjamin Kepentingan Terbaik http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15647&cl=Berita, 7 November 2008.
Anak,”
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
79
paman anak tersebut dapat melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut. Kecuali jika ibu dari anak tersebut merasa mampu secara lahir maupun batin untuk
melakukan
pengasuhan,
namun
Pengadilan
Agama
memutuskan
pengasuhan anak tersebut jatuh kepada pamannya, barulah hal tersebut tidak dibolehkan. Jika ibu dari anak tersebut secara sukarela menyerahkan pengasuhan anaknya kepada pihak kerabat lainnya karena merasa tidak mampu secara lahir dan batin, maka Pengadilan Agama dapat memutuskan pengasuhan jatuh kepada pihak lain yang disetujui oleh ibu anak tersebut. 156 Berdasarkan hal-hal diatas, maka berdasarkan Q.S. An-Nisa : 34, penunjukan paman dari anak tersebut telah sesuai dengan ketentuan Al-Quran. Namun seharusnya yang melakukan pengasuhan diberikan kepada pihak ibunya. Hal tersebut berdasarkan hadits-hadits telah dikemukan sebelumnya. Dengan demikian berdasarkan hadits-hadits di atas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur yang belum mumayyiz, maka ibu lebih berhak mengasuhnya. Pada kasus kedua, jika dilihat dari fakta-fakta yang ada, maka seharusnya putusan tersebut tidak berupa putusan, melainkan berupa penetapan. Kasus di atas termasuk permohonan, karena antara para pihak tidak terjadi perlawanan. Dengan demikian hal tersebut berupa perkara voluntair di mana para pihaknya adalah pemohon dan termohon bukan penggugat dengan tergugat.
156
Hasil wawancara dengan Dra. Nurroh Sunah, S.H., (Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur), 30 Desember 2008.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia