17
BAB 2 HUBUNGAN ANTARA HADANAH DAN PERWALIAN
Dalam kasus seorang anak yang tidak lagi mempunyai orangtua, atau orang tua dipandang tidak cakap untuk merawat anak, maka keberadaan perwalian menjadi sebuah keniscayaan. Jika orang tua dari anak di bawah umur tidak lagi mempunyai kedua orang tua karena kedua orang tuanya tersebut telah meninggal dunia, maka akan ada pihak yang lain dapat menggantikan peran kedua orang tuanya dalam melakukan pengasuhan atau hadanah tersebut. Selain itu, bagi anak di bawah umur yang telah kehilangan kedua orang tuanya, maka anak tersebut berada di bawah perwalian. Wali tersebut selain berperan sebagai wali yang mengurus harta dari anak tersebut, maka wali tersebut pun juga melakukan perwalian yang menyangkut diri pribadi anak tersebut termasuk melakukan pengasuhan atau pemeliharaan terhadap anak tersebut. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pengaturan mengenai perwalian diatur pada Bab XI, Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 sebagai pasal yang mengaturnya. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada seorang anak yang belum mencapai umur dewasa dan atau belum pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.37 Pasal 50 Undang-undang Perkawinan menentukan pada ayat (1) “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Sedangkan perwalian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur pada Pasal 107 sampai dengan Pasal 112. Dimana menurut KHI, Pasal 1 huruf h, yang dimaksud dengan Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orangtua, atau kedua orangtua atau orangtua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
37
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm 62-63.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
18
2.1. Definisi Perwalian Adapun kata “wali” juga sudah lazim dipakai dalam bahasa Indonesia, yang berarti: orang yang menurut hukum diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu belum dewasa; pengasuh pengantin perempuan ketika nikah yaitu keluarga dekatnya yang melakukan janji atau akad nikah dengan pengantin laki-laki (dalam urusan nikah ini dikenal juga adanya wali hakim yaitu pejabat urusan agama yang bertindak sebagai wali); wali Allah atau waliullah, yaitu orang suci dan keramat (seperti Wali Songo); kepala pemerintahan (seperti wali kota, wali negara). Dalam bahasa asalnya, kata ini berarti juga: penolong, pelindung, teman atau sahabat, pemilik atau penguasa sesuatu barang, pemelihara, petugas. Dari akar kata ini berkembang bentuk-bentuk kata: wala yang berarti: cinta, persahabatan, loyalitas, kekeluargaan; kata “wilayah” yang berarti kekuasaan, kewenangan, daerah yurisdiksi. Itulah pembahasan sepintas dari segi etimologis dan lexicologis, tentang kata-kata “wali”.38 Mengenai perwalian akan diterangkan dalam Bab selanjutnya yaitu pada Bab 3. 2.2. Hadanah Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian antara lain adalah mengenai hadanah. Hadanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang belum dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan berpikir)-nya. Kata hadhanah berasal dari kata hadhana yang berarti menempatkan sesuatu di antara ketiak dan pusar. Seekor burung betina yang mengerami telurnya di antara sayap dan badannya disebut juga hadanah., demikian juga seorang ibu yang membuai anaknya dalam pelukan. Atau lebih tepat jika kata hadanah ini diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara di sini adalah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak belum sanggup mengatur sendiri39. 2.2.1. Hak Hadanah Pendapat ulama (ahli fikih) berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadanah tersebut, apakah hak hadanah ini dimiliki wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh tersebut. Menurut Ibn Rusyd 38
“Pengertian Wali Al-Amr dan Problema Hubungan Ulama dan Umara,”
, 10 Oktober 2008. 39
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Cet. Kelima, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm 391.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
19
hadanah diatur tertibnya menurut konsep kedekatan dan kelemahlembutan, bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, shalat jenasah, wala’, dan warisan. Bisa saja orang yang tidak mewarisi tetapi berhak hadanah seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. Bisa saja orang orang yang mewarisi tetapi tidak berhak hadanah seperti suami isteri orang yang diasuh, dan perwalian karena memerdekakan budak40. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan mendidik anak merupakan hak pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Dengan alasan bahwa apabila pengasuh ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan, boleh ia lakukan dan hak itu gugur. Jika hadanah ini hak anak, maka menurut mereka, hak itu tidak dapat ia gugurkan. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mengasuh, merawat dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan, karena pihak perempuan biasanya lebih mampu mencurahkan perhatiannya dan kasih sayangnya serta kelemahlembutannya dalam membimbing anaknya, sedangkan ”laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan berkewajiban untuk menjaga, melindungi serta memberikan yang terbaik kepada anak dalam bentuk fisik”41. Akan tetapi Hanafiyah mensyaratkan bahwa perempuan yang melakukan hadanah adalah perempuan yang merupakan kerabat dari anak (zata rahima mahram min al-shigar), seperti bibi (khalah) dari pihak ibu atau dari pihak dari ayah (ammah), atau nenek dari anak, karena biasanya mereka akan lebih serius dan telaten dalam mengasuh anak tersebut disebabkan masih mempunyai hubungan nasab dan kekerabatan dengan mereka.42 Akan tetapi, pendapat ulama (ahli fikih) mengatakan bahwa hadanah itu menjadi hak bersama, antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah azZuhaili (guru besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak hadanah itu 40
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum Islam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 116, dikutip dari Ibnu Rusyd, Muqaddinah Ibn Rusyd. (Mesir: Dar al-Fikr, tth). Juz II Hlm. 258-259. 41
Ibid., hlm. 117, dikutip dari Al-Kasani. Badai’ al-Shanai’. (Mesir: Maktabah alIlmiyah, tth). Juz VII. Hlm., 234. 42
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Hukum Islam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 116-117.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
20
hak berserikat antara ayah, ibu, dan anak. Apabila ada pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh. Dalam pengertian, diserahkan kepada anak untuk memilih siapa yang akan mengasuhnya. Akibat hukum dari perbedaan dan pendapat tentang hadanah ini adalah sebagai berikut:43 1.Apabila kedua orang tua enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka bisa dipaksa, selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh anak tersebut. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama; 2.Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, seperti nenek dan bibinya, maka ibu tidak boleh dipaksa. Hal ini juga disepakati oleh seluruh ulama, karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk menggunakan haknya; 3.Menurut Mazhab Hanafi, apabila isteri menuntut khulu’ pada suaminya dengan syarat anak dipelihara suaminya, maka khulu’-nya sah, tetapi syaratnya batal, karena pengasuhan anak merupakan hak ibu. Jumhur ulama tidak sependapat dengan ulama Mazhab Hanafi, karena menurut mereka hak pengasuhan anak adalah hak berserikat yang tidak bisa digugurkan. Apabila terjadi perpisahan antara suami isteri, boleh saja anak berada di bawah asuhan ibu, tetapi biaya pengasuhan harus ditanggung ayah. Menurut mereka dalam kasus seperti ini, anak lebih berhak tinggal pada ibunya sampai ia cerdas dan bisa memilih apakah akan tinggal dengan ayah atau ibunya; 4.Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil anak dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syara’ yang memperbolehkannya, seperti ibu itu gila atau di penjara.
2.2.2.Urutan Wanita Yang Berhak Hadanah Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fikih juga 43
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Cet.Kesatu, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 117-118.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
21
mengatakan apabila anak tersebut telah mencapai usia tertentu, maka pihak lakilaki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai pelindung. Oleh sebab itu, dalam membicarakan urutan hak pengasuhan anak, ulama fikih mendahulukan kaum wanita dari kaum pria. Adakalanya pengasuhan anak itu pada usia tertentu lebih sesuai diasuh oleh kaum wanita, adakalanya harus diasuh, dirawat, dan dididik bersama, dan adakalanya pada usia tertentu pihak laki-laki yang lebih mampu mengasuh mereka44. Wanita yang berhak mengasuh anak, menurut ulama fikih adalah sebagai berikut: 1. Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila ia bercerai dengan suaminya atau suaminya wafat, kecuali apabila ibu itu seorang pezina, pencuri, dan orang gila, sehingga anak itu tidak terawat dan sering ditinggal. Alasan ulama fikih adalah sebuah riwayat dari Abu Ayyub: ”Seorang wanita mendatangi Rasulullah SAW, lalu berkata: ’Ya Rasulullah, anakku ini keluar dari perutku, susuku jadi minumannya, ia lepas dari pangkuanku, lalu ayahnya ingin mengambilnya dari saya.’Rasulullah SAW menjawab: ’Engkau lebih berhak mengasuhnya, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain’”(HR. Ahmad bin Hanbal, at-Tarmidzi, dan al-Hakim)45. Dalam riwayat lain Rasulullah SAW. Bersabda: ”Siapa yang memisahkan anak dengan ibunya, maka Allah akan memisahkannya dengan sesuatu yang dicintainya di hari kiamat” (HR. Abu Dawud, al-Baihaki, dan al-Hakim)46. Ulama fikih juga beralasan dengan sebuah kisah Umar bin alKhaththab yang menceraikan istrinya, Ummu Asim. Setelah bercerai Umar bin al-Khaththab ingin mengambil anaknya, Asim, dari asuhan ibunya. Lalu Ummu Asim menangis dan mengadu kepada Abu bakar asSiddiq. Abu Bakar kemudian berkata:
44
Ibid., hlm. 118.
45
Satria Effendi M. Zein, Problema Hukum Keluarga Islam Kontempore (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.215216. 46
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 119.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
22
“Belaian, pelukan, pangkuan, dan nafas ibunya lebih baik dari belaian, pelukan, pangkuan, dan napas engkau. Sampai ia (anak itu) remaja, di mana anak itu boleh memilih mau tinggal bersama engkau atau ibunya” (kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).47 2. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i (dalam qaul jadid dan qaul qadim), ibu, nenek (ibu dari ibu) lebih berhak mengasuh anak, setelah itu kemudian ibu dari ayah, dan seterusnya sampai keatas. Setelah itu hak pengasuhan anak pindah secara berurut kepada saudara perempuan anak itu, saudara-saudara ibu yang wanita, anak wanita dari saudara ibu yang laki-laki, lalu saudara wanita ayah, kemudian para ashabah, sesuai dengan urutan hak warisnya48, 49. Menurut sebagian kalangan Hanafiyah bilamana kelompok pertama (yaitu ibu, nenek garis ibu dan seterusnya) tidak ada atau berhalangan, maka hak hadanah belum berpindah kepada ayah kandungnya, tetapi berpindah kepada kelompok kerabat selanjutnya yaitu50: a. Nenek dari garis ayah b.Kerabat kelompok saudara perempuan kandung dari anak, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, kemudian anak perempuan dari saudara perempuan seibu. c. Bibi seibu seterusnya bibi seayah d.Anak perempuan dari saudara perempuan seayah, anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, seterusnya anak perempuan dari saudara seayah. e. Bibi kandung setelah ayah, selanjutnya yang seibu, dan kemudian yang seayah.
47
Ibid., hlm. 118-119.
48
Ibid., hlm. 119, dikutip dari Al-Kasani. Fath al-Qadir, ( Mesir: Maktabah al-Risalah, tth), Juz IX. Hlm. 407. 49
Ibid., dikutip dari Hamman Maulana Syekh Nizham, al-Fatwy al-Hindiyah, (Beirut: Dar al-Turas al-Araby, tth), Hlm. 120. 50
Zein, op. cit., hlm. 220-221.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
23
f. Bibi kandung dari ibu, kemudian bibi seayah, seterusnya bibi seibu. Setelah itu, bibi kandung, bibi seayah, dan seterusnya bibi seibu dari ayah. Menurut ulama Mazhab Maliki, setelah nenek (ibu dari ibu), yang berhak mengasuh anak secara berurut adalah saudara perempuan ibunya, ibu dari ayah, sampai keatas, saudara perempuan anak, saudara perempuan ayah, anak wanita saudara laki-laki anak itu, orang yang diberi wasiat oleh ayah dan/atau ibunya, kemudian para ashabah yang paling baik. Ketentuan hadanah dalam Mazhab Malik (dalam konteks terjadi perceraian) dibatasi kalau anak laki-laki hingga ia baligh dan berakal (ihtilam/mimpi), setelah itu ia bisa memilih apakah ia akan ikut ayah atau ibunya. Sedangkan bagi anak perempuan batasannya adalah hingga dia nikah51. Menurut ulama Mazhab Hambali, hak pengasuhan anak setelah ibu berpindah secara berurut kepada ibu dari ibu, ibu dari ayah, nenek dari pihak ayah dan pihak ibu sampai ke atas, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu dengan ibu, saudara perempuan dari ayah dari ibu, anak wanita saudara laki-laki anak itu, anak wanita paman anak itu, kemudian berpindah kepada ashabah secara berurut yang dimulai dari ashabah terdekat52. Apabila para wanita yang di atas tidak ada, maka hak pengasuhan berpindah kepada pria. Hak pengasuhan bagi pria, menurut ulama Mazhab Hanafi, pendapat terkuat di kalangan ulama Mazhab Syafi’i dan ulama Mazhab Hambali, secara berurut bagi para ashabah yang mendapat waris, yaitu: ayah, ayah dari ibu dan ayah dari ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki sampai ke bawah, dan saudara laki-laki ayah. Apabila anak kecil itu tidak mempunyai ashabah, maka menurut ulama Mazhab Hanafi, hak
51
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 120, dikutip dari Ibn Syiraj, Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, (Libanon: tt), Juz. VI, hlm. 320. 52
Ibid.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
24
pengasuhan anak berpindah kepada saudara laki-laki seibu dan anaknya, paman dari ibu dan anaknya, saudara laki-laki ibu sekandung dan anaknya.53 Menurut ulama Mazhab Maliki, apabila kaum wanita yang berhak mengasuh anak itu tidak ada, maka hak pengasuhan anak berpindah kepada orang yang diberi wasiat (wasi) oleh kedua orang tuanya, kemudian saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seibu, saudara laki-laki seayah, kemudian kakek dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman dan anaknya, kemudian ashabah yang seketurunan.54 Dengan demikian, maka para ahli fikih menyimpulkan bahwa pihak perempuan lebih diutamakan dalam melakukan hadanah. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut55: 1. Ibu anak tersebut 2. Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara kandung perempuan anak tersebut 5. Saudara perempuan seibu 6. Saudara perempuan seayah 7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi) 11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung 14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu 15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah 16. Bibi yang sekandung dengan ayah 17. Bibi yang seibu dengan ayah 18. Bibi yang seayah dengan ayah 19. Bibinya ibu dari pihak ibunya 20. Bibinya ayah dari pihak ibunya 21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22. Bibinya ayah dari pihak ayah No. 19 s.d. 22 dengan mengutamakan yang sekandung pada masingmasingnya.
53
Ibid., hlm. 120-121.
54
Alam dan M. Fauzan, op.cit., hlm. 120-121.
55
Ayyub, op.cit., hlm. 394.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
25
Jika anak tersebut tidak mempunyai
kerabat perempuan dari kalangan
mahram di atas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris. Dan pengasuhan anak itu beralih kepada56: 23. Ayah kandung anak itu 24. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas 25. Saudara laki-laki sekandung 26. Saudara laki-laki seayah 27. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 28. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 29. Paman yang sekandung dengan ayah 30. Paman yang seayah dengan ayah 31. Pamannya ayah yang sekandung 32. Pamannya ayah yang seayah dengan ayah Jika tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat yaitu57: 33. Ayah ibu (Kakek) 34. Saudara laki-laki seibu 35. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 36. Paman yang seibu dengan ayah 37. Paman yang sekandung dengan ibu 38. Paman yang seayah dengan ibu Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.
2.2.3.Syarat Bagi Pemegang Hak Hadanah Teoretisi Hukum Islam mengemukan ada beberapa persyaratan yang terkait dengan pengasuhan anak yang harus dimiliki oleh pengasuhnya, baik wanita maupun laki-laki. Syarat-syarat itu dibagi ulama fikih menjadi tiga
56
Ibid.
57
Ibid., hlm. 395.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
26
kelompok, yaitu syarat umum untuk para pengasuh wanita dan pria, syarat khusus untuk wanita, dan syarat khusus untuk pria.58
2.2.3.1. Syarat Umum untuk Pengasuhan Wanita dan Pria a. Baligh (dewasa) b. Berakal, ulama Mazhab Maliki menambahkannya dengan cerdas, dan ulama Mazhab Hambali menambahkan bahwa pengasuh tidak menderita penyakit yang berbahaya/menular 59 c. Memiliki kemampuan dalam mengasuh, merawat, dan mendidik anak. d. Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik e. Beragama Islam. “Fukaha berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh nonmuslim”. Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim, karena orang nonmuslim tidak mempunyai kewenangan mengasuh dan memimpin orang Islam, disamping itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret masuk kedalam agamanya. Kalau orang Islam tidak ada maka (menurut Hambali) diperbolehkan kepada kafir zimmi karena lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki dan Hanafi tidak mensyaratkan pengasuh harus seorang muslimah, jika anak tersebut juga wanita. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh memilih pada anak untuk berada di bawah asuhan ayahnya yang muslim atau pada ibunya yang musyrik, tetapi anak itu memilih ibunya. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkanlah hatinya kepada ayahnya” (HR. Abu Dawud). 60 Selanjutnya Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki berbeda pendapat tentang lamanya anak dalam asuhan orang nonmuslim tersebut. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa lamanya anak itu diasuh oleh nonmuslimah tersebut sampai anak itu bisa mengerti akan pentingnya suatu agama, yaitu dalam usia tujuh tahun, 58
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm.121-125.
59
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 122, dikutip dari Muhammad Ibn Al-Syarbaini, AlIqna’, (Mesir: Mathba’ah al-Risalah, tth), Hal. 150 60
Zein, op. cit., hlm. 172-173.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
27
atau diketahui adanya bahaya yang mengarah kepada perusakan agama anak tersebut, seperti pengasuhnya mulai mengajarkan agamanya, anak dibawa ke tempat ibadah pengasuhnya yang nonmuslimah, dan diberikan makanan yang diharamkan oleh Islam. Menurut Mazhab Maliki, anak itu tetap dalam asuhan orang nonmuslimah sampai berakhirnya masa asuhan yang ditentukan syara’. Akan tetapi, pengasuhnya dilarang memberi makanan dan minuman yang dilarang oleh syara’, seperti babi atau khamar.61 Dalam hal pengasuh anak adalah laki-laki, timbul pertanyaan apakah disyaratkan ia seorang muslim. Ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan harus muslim. Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki tidak mensyaratkan laki-laki pengasuh harus seorang muslim.62 Adalah lebih baik kalau seandainya anak tersebut, baik laki-laki maupun anak perempuan jika diasuh oleh orang yang seagama dengannya (Islam), dan tidak dibenarkan anak tersebut jika diasuh oleh orang nonmuslim. Dasarnya adalah demi kemaslahatan dan sebagai sarana preventif (syad az-zhari’ah)63 agar anak tersebut tetap konsisten dengan agama dan tidak terpengaruh oleh agama pengasuhnya. Karena secara praktis biasanya anak-anak akan mengikuti agama dan tradisi orang tua atau orang-orang yang sering berkomunikasi dengan mereka. Di samping itu, biasanya pengasuh akan mendidik dan membesarkan anak asuhannya berdasarkan agama dan tradisi yang dianut dan percayai.64
2.2.3.2. Syarat Khusus Untuk Pengasuh Wanita. Menurut para ahli fikih syarat untuk pengasuh wanita adalah65: a. Tidak mempunyai suami (belum kawin) setelah dicerai oleh suaminya.
61
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 123.
62
Ibid.
63
Secara etimologi dzari’ah berarti jalan menuju sesuatu. Ada juga yang mengartikan dzari’ah dengan sesuatu yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Sedangkan “syadz dzari’ah adalah melakukan pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada sesuatu yang ke-mafsadat-an”. Lihat Al-Syatibi, AlMuwafakat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), hlm. 198. 64
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 123.
65
Ibid., 123-124.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
28
Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW: “Engkau lebih berhak mengasuhnya, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain”. (HR. AtTarmidzi, al-Baihaki dan al-Hakim). Namun jika wanita tersebut kawin dengan kerabat anak asuhannya, maka diperbolehkan. b. Mahram (haram dinikahi; Mahram dan Muhrim) anak, seperti ibu, saudara perempuan ibu, dan nenek. c. Menurut Mazhab Maliki, tidak boleh mengasuh dengan sikap yang tidak baik , seperti marah dan membenci. d. Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi’i, ditambahkan apabila anak
masih
dalam usia menyusu pada pengasuhnya, tetapi ternyata air susunya tidak ada atau ia enggan untuk menyusukan, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh.
2.2.3.3. Syarat-syarat Khusus Bagi Laki-laki. Jika anak tersebut tidak memiliki pengasuh wanita, maka pengasuhannya dapat dilakukan oleh kaum pria dengan syarat-syarat66: a. Jika pengasuhnya adalah muhrim Para fukaha membolehkan hadanah bagi wanita oleh pria yang muhrim baginya, baik anak tersebut masih kecil, disenangi atau tidak disenangi laki-laki pengasuh dibolehkan, ketika tidak ada wanita yang berhak melakukan hadanah, atau mungkin ada, namun tidak memenuhi kualifikasi hadanah. b. Pengasuh nonmuslim ”Dibolehkan dengan syarat memenuhi kualifikasi hadanah, yakni ada wanita bersama laki-laki tersebut yang ikut memelihara anak tersebut”67.
2.2.4. Imbalan Bagi Pengasuh Hal ini menjadi perdebatan diantara para ulama fikih. Mayoritas ulama Mazhab Hanafi, berpendapat apabila yang melakukan 66
Ibid., hlm. 124. 67
Huzaenah T. Yanggo. Fikih Anak, Metode Islam Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, (Jakarta: Al-Mawardi, 2004), hal. 134.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
29
hadanah adalah ibunya sendiri baik masih berstatus sebagai istri maupun telah dicerai dalam talak raj’i (talak raj’i adalah talak satu dan dua, dan dalam masa iddah suami boleh kembali pada istrinya tanpa melalui akad nikah baru), maka ibu tidak berhak mendapatkan imbalan. Karena ia berkewajiban terhadap anaknya untuk menyusui, dan mengasuh, serta mendidik anaknya dan selama masa iddah ia berhak mendapatkan nafkah untuk biaya pengasuhan. Namun apabila masa iddahnya telah habis, maka ia berhak mendapatkan imbalan. Apabila selain ibu dari anak itu sendiri, maka ia berhak mendapatkan imbalan. Dengan alasan kemaslahatan dan imbalan atas kesungguhannya dalam melakukan hadanah.68 ”Dalam hal hadanah didasarkan atas unsur kerelaan terhadap kedua belah pihak. Oleh karena itu imbalan tersebut lebih tepat dikatakan sebagai upah”69.
Menurut jumhur ulama, pengasuh tidak berhak mendapatkan imbalan, baik pengasuhnya adalah ibunya maupun wanita lain. Karena ibu telah mendapatkan nafkah dari suaminya masingmasing. Namun jika anak tersebut memerlukan biaya, seperti makanan, pakaian, dan biaya mencuci pakaiannya, maka pengasuh berhak mendapatkan imbalan. Adapun yang bertanggung jawab dalam menyediakan biaya yang diperlukan selama masa pengasuhan, menurut kesepakatan ahli fikih, adalah anak itu sendiri jika ia memiliki harta. Jika tidak ada maka menjadi tanggung jawab dari ayah anak tersebut70.
2.2.5. Lamanya Waktu Hak Hadanah Yuris hukum Islam sepakat bahwa tangggung jawab pengasuhan dimulai semenjak anak lahir hingga ia mumayyiz. Namun terjadi perbedaan pendapat mengenai batas berakhirnya hadanah.
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pengasuhan anak laki-laki berakhir apabila anak sudah mampu berdiri sendiri dalam mengurus keperluannya, biasanya telah berumur tujuh tahun. Alasannya adalah sabda Rasulullah SAW: ”Suruh anakmu shalat apabila mereka telah berusia tujuh tahun” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud), sebagian 68
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 125-126.
69
Yanggo, op. cit., hlm. 136-138.
70
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 126.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
30
lain berpendapat sampai usia 9 tahun. Adapun untuk anak perempuan, apabila ia telah baligh yang ditandai dengan haid. Menurut ulama Mazhab Maliki, hak pengasuhan anak laki-laki berakhir apabila anak sudah baligh yang ditandai dengan kelularnya air mani pertama dalam mimipi. Adapun untuk anak perempuan, akan berakhir di saat memasuki jenjang perkawinan71. Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali, hak pengasuhan anak lakilaki maupun anak perempuan akan berakhir apabila anak-anak itu telah mumayyiz atau telah berusia tujuh atau delapan tahun. Setelah itu anakanak tersebut berhak memilih apakah akan tinggal dengan ibu atau ayahnya, jika keduanya telah bercerai. Menurut Ulama Syafi’i, tidak ada batasan waktu tertentu dalam hadanah, untuk anak laki-laki sampai ia dapat membedakan ayah dan ibunya72. Jika ia memilih salah satunya, maka yang dipilih yang mempunyai hak hadanah, tidak juga dibedakan apakah ia memilih ibu, kakek atau lainnya, atau memilih bapak, saudara perempuan ayah atau ibu, atau bibi. Jika anak memilih salah satunya, maka hak pemeliharaan anak jatuh kepada orang yang dipilihnya73. Akan tetapi Mazhab Hambali mengatakan, apabila anak itu wanita dan mencapai usia umur tujuh tahun, di mana hak pengasuhannya telah berakhir, maka hak pengasuhannya pindah kepada ayah. Adapun pengasuhan terhadap anak dungu atau gila, menurut kesepakatan ulama fikih akan berakhir apabila penyakit dungu atau gilanya hilang.74 Pada prinsipnya hadanah hukumnya wajib, karena anak yang dipelihara (al-mahdhun) akan mengalami masa depan yang tidak pasti jika kewajiban hadanah diabaikan oleh individu atau masyarakat75. Sedangkan menurut Mazhab Syi’ah Imamiyyah, masa pengasuhan anak berakhir ketika anak laki-laki sudah
71
Ibid., dikutip oleh Abdurrahman al-Jaziri., Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah. Jilid IV, (Beirut : Dar al-Fikr, tth), hlm. 523-524). 72
Jika suami istri bercerai dan mereka memiliki anak yang mumayyiz, baik laki-laki maupun perempuan, yang berumur 7 atau 8 tahun, mereka berdua berhak terhadap anak tersebut, meskipun salah seorang di antaranya memiliki kelebihan baik itu agama, harta maupun kasih saying. Jika terjadi sengketa hadanah, maka anak tersebut dapat memilih antara keduanya, karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih salah seorang, yakni ayah atau ibunya (HR. Tarmidzi). Lihat Al-Muhadzdzab, jilid II Halaman 171, dan Mughni al-Muhtaj, jilid III, hlm. 456. 73
Alam dan Fauzan, op.cit.., hlm. 129, dikutip dari Abdurrahman al-Jaziri, AlMuhadzdzab. Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Hlm. 171, 178, 456. 74
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 127.
75
Ibid., hlm. 127, dikutip dari Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut:Dar al-Fikr, 1997), hlm. 7297.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
31
berusia dua tahun (masa penyusuan), sedangkan anak perempuan berusia 7 tahun76. Kewajiban memelihara, mengasuh, mendidik dan memenuhi kebutuhan anak, adalah tanggung jawab sosial masyarakat sebagai upaya menghindari halhal yang dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap perkembangan dan
pertumbuhan fisik dan psikologis anak.
Hadanah menjadi hak anak kecil karena, ia masih membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dari orang yang mendidiknya yaitu orang tuanya. Jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayahnya, sedangkan mereka mempunyai anak, maka ibu lebih berhak daripada ayahnya, selama tidak ada alasan pencegahan pencabutan hadanah, maupun karena alasan anak sudah mampu memilih, apakah ikut ayah atau ibunya77. Keutamaan ibu dalam memelihara anak tidak secara tegas diatur dalam AlQur’an, akan tetapi dapat dipahami dari Firman Allah SWT: Terjemahannya: ”Kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama dua tahun. Bersyukurlah pada-Ku dan pada orang tuamu dan kepada-Ku lah tempat kembalimu”. [Q.S. Luqman :13]. 78 Berdasarkan ayat tersebut, secara eksplisit dapat dipahami bahwa ibu mempunyai peranan yang sangat penting, karena mereka mengandung dan melahirkan anak dengan susah payah, dan secara psikologis ikatan batin antara ibu dan anak lebih dekat yang secara otomatis akan mempengaruhi ibu dalam mencurahkan kasih dan sayangnya terhadap anak. Oleh karena itu ”para ulama (ahli fikih) sepakat bahwa ibu mempunyai hak hadanah yang paling utama,
76
Mughniyyah, op. cit., hlm. 307.
77
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 127, dikutip dari Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid VII, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1972), hlm. 300. 78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Dengan Transliterasi ArabLatin, (Bandung : CV. Gema Risalah Press, 1993).
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
32
sepanjang ia belum menikah”79. Meskipun para ulama (ahli fikih) sepakat mengenai hak hadanah yang paling utama adalah ibu, namun mereka berbeda pendapat mengenai sampai usia berapa ibu mendapat prioritas untuk memelihara anaknya. Berdasarkan pendapat di atas, tampak bahwa tidak ada ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan anak (hadanah). Pada umumnya para fukaha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak tersebut mencapai usia mumayyiz. Mereka membatasi usia mumayyiz 7 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Tolak ukurnya adalah jika anak yang dalam pengasuhan tersebut sudah bisa makan, minum dan ber-istinja sendiri (bersuci)80.
2.2.6. Pencabutan Hak Hadanah ”Pada umunya para fukaha sepakat bahwa ibu mempunyai keutamaan hak hadanah. Namun hak hadanah dapat digugurkan dan dicabut dengan alasan murtad”81(Kalangan ulama Syafi’i dan Hambali mensyaratkan bahwa kafir sebagai alasan pencabutan hak hadanah; berprilaku tidak terpuji, berbuat maksiat seperti berzina, mencuri, tidak dapat dipercaya, sering keluar rumah, dan mengabaikan anak yang diasuhnya)82. ”Tujuan dari keharusan adanya sifat-sifat tersebut adalah dalam upaya memelihara dan menjamin kesehatan, pertumbuhan moral, dan perkembangan psikologis anak”83. Selain alasan yang dikemukan diatas, menurut jumhur ulama istri yang menikah kembali dengan laki-laki lain dapat menggugurkan hak hadanahnya. Akan tetapi, jika laki-laki tersebut memiliki kasih sayang pada anak, maka hak hadanah ibu tersebut masih berlaku84. Hal ini berbeda menurut kalangan 79
Alam dan Fauzan, op.cit., hlm. 128, dikutip dari Abdullah Muhammad al-Utsmani, Ikhtilaf al-Ummah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Hlm 259. 80
Alam dan Fauzan, op.cit., hlm. 128, dikutip dari Taqiyuddin al-Husaini, Kifayah alAkhyar, Juz II, (Surabaya: Syirkah Nur al-Ilmiyah, tth), Hlm. 151-152. 81
Al-Zuhaili, op. cit., hlm. 7306.
82
Ibid. hlm. 7298.
83
Mughniyyah, op. cit., hlm. 308.
84
Qudamah, op. cit., hlm. 299.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
33
ulama Mazhab Syi’ah Immamiyyah, yang mengatakan jika istri menikah lagi dengan laki-laki lain, maka secara mutlak hak hadanahnya gugur, walaupun lakilaki tersebut memiliki kasih sayang terhadap anak tersebut.85
Sejalan dengan pendapat di atas, Ibnu Qudamah mengemukan pencabutan hak hadanah sebagaimana pendapat Al-Jundi, bahwa prinsip dasar yang dapat dijadikan alasan pencabutan hak hadanah ibu adalah adanya situasi dan kondisi pada ibu yang dapat merugikan kepentingan dan kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi dalam hadanah adalah kemaslahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa memperhatikan hak ibu atau ayahnya. Hak hadanah ibu atau ayah dapat gugur jika anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya.86 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fikih klasik tidak mengatur secara rinci tentang hal yang dapat menggugurkan dan pencabutan terhadap hak hadanah. Namun pencabutan dan pengguguran hak hadanah dapat dipahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang hak hadanah. Adapun alasan-alasan digugurkan dan dicabutnya hak hadanah seseorang antara lain:87 Pertama, hal-hal yang disepakati, yaitu: a.
Tidak bisa dipercaya
b.
Berprilaku tidak terpuji
c.
Membahayakan kepentingan anak
Kedua, hal-hal yang masih diperdebatkan: a.
Kafir dan murtad
b.
Istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain
85
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 132.
86
Ibid., dikutip dari Anwar al-Jundi., Maradi al-Qadha al-Syar’l, Jilid I, (Cairo: Dar alFikr al-Arabi, 1978), hlm.. 373-374. 87
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 132-133.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
34
BAB 3 PERWALIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 3.1. Perwalian Menurut Hukum Islam
3.1.1. Pengertian Perwalian Dalam literatur-literatur fikih klasik dan kontemporer, kata al-wilâyah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah alwilâyah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita di mana hak itu dipegang oleh wali nikah88. Sedangkan menurut istilah ulama fikih, al-walayah adalah kekuasaan syara’ yang dimiliki seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya89. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan bahwa al-walayah adalah kekuasaan untuk melakukan tasharuf tanpa tergantung pada izin orang lain90. Pengertian di atas membatasi pengertian al-walayah dengan kekuasaan secara paksa, yang merupakan suatu ketetapan seorang wali terhadap orang lain yang berada di bawah kekuasaannya untuk melaksanakan perintahnya, baik diterima atau ditolak91. Ulama Fikih lain mendefinisikan wilâyah dengan: Wewenang seseorang untuk bertindak hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk kepentingan pribadinya, maupun untuk kepentingan hartanya, yang diijinkan oleh 88
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Cet.1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.151-152. 89
Ibid., , yang dikutip dari Ahmad al-Hasri, Al-Walayah al-Washaya al-Thalaq fi al-Fiqh al-Islamy li al-Sykhsiyyah, (Beirut: Dar al-Jail, tth), hlm. 1 90
Ibid., dikutip dari Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar alFikr, 1997), hlm. 186. 91
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Cet.1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 152.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
35
syara’. Orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujûb (hanya cakap untuk menerima hak), belum dan tidak cakap bertindak hukum sendiri perlu dibantu oleh seseorang yang telah dewasa dan cerdas dalam mengayomi pribadi dan hartanya92. Orang yang membantu mengelola harta dan mengayomi orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum dalam fikih Islam disebut wali. Apabila anak kecil atau orang gila bertindak hukum sendiri, maka tindakan hukumnya tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Anak kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan memerlukan seseorang yang dapat membantu mereka dalam melakukan tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka sendiri, maupun terhadap harta bendanya serta segala sesuatu yang bermanfaat bagi mereka.dalam kaitan inilah Islam mengemukan konsep al-wilayah, sebagai pembantu orang-orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub93. Dengan demikian Wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang didasarkan pada Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 282: ”...Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur...”. Ketentuan ayat tersebut menunjukan peran, kewajiban, dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Dari sudut ini wilâyah sama dengan pengganti atau wakil dalam bertindak hukum.
3.1.2. Macam-Macam Perwalian (al- wilâyah) Secara teoritis istilah wilayah dibagi menjadi dua yaitu: a. wilayah asliyyah, yaitu kemampuan seseorang untuk bertindak sendiri karena ia telah cakap bertindak hukum, dan
92
Ibid., hlm. 152.
93
Ahliyatu al-wujûb adalah kecakapan seorang manusia untuk menerima hak dan kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, situasi dan kondisi. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 357.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
36
b. wilayah niyabah, yaitu kewenangan seseorang untuk bertindak hukum atas nama orang yang diampunya. Wilayah niyabah juga terbagi menjadi dua bentuk yaitu yang bersifat ikhtiyariyah (sukarela) dan yang bersifat ijbariyyah (paksaan). Ulama mazhab Hanafiyah membedakan perwalian kepada tiga kolompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al- walâyah al-nafs), perwalian terhadap harta (al- wilâyah al-mal), serta perwalian terhadap harta dan jiwa sekaligus (al- walâyah al-nafs wa al-mal ma’a)94. Perwalian dalam pernikahan tergolong dalam perwalian yang berhubungan dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, pendidikan, dan nafkah anak yang berada di tangan ayah. Wali atau pengganti yang berbentuk ikhtiyariyah terbentuk melalui pendelegasian wewenang dari orang yang digantikan atau orang yang diwakili, seperti wali anak yatim yang bukan berasal dari keluarganya, atau orang yang diberi wasiat oleh seorang ayah untuk menjadi wali bagi anaknya., adapun wilayah ijbariyah adalah perwalian yang harus diterima
seseorang melalui
pendelegasian syara’ ataupun hakim, seperti ayah dan kakek. “Dalam pengertian lain walayah ijbariyah adalah perwalian yang berlaku kepada yang berhak diwakilkan dengan cara paksa tanpa mempertimbangkan keridhaannya”95. Untuk yang disebut terakhir khusus ditujukan sebagai wakil dari orangorang yang tidak mempunyai kecakapan bertindak hukum. Dalam kaitannya wakil bertindak dan berbuat demi kemaslahatan (al-maslahat) orang-orang yang ada di bawah ampuannya berdasarkan
pendelegasiannya
dari syara’. Tugas dan
wewenangnya mencakup segala persoalan yang dapat diwakilkan, seperti transaksi pemindahan hak milik dan perkara-perkara yang menyangkut peradilan atau hak-hak.96
94
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 135-136). 95
Al-Hashri, op. cit., hlm. 17.
96
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 154.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
37
3.1.3. Wewenang Wilayah Ijbariyah Ulama fikih menyatakan bahwa, jika dilihat dari objeknya ada dua bentuk wewenang wilayah ijbariyah. Pertama perwalian dalam masalah jiwa, yaitu melakukan pengayoman terhadap pribadi orang yang di bawah perwaliannya, seperti
mendidik,
mengobati
apabila
sakit,
mencarikannya
kerja,
dan
mengawinkan mereka. Kedua perwalian dalam masalah harta, yaitu pengelolaan terhadap harta orang yang berada di bawah pengampuannya, baik memelihara, mengembangkan, dan melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta orang-orang yang berada di bawah pengampuannya97. Dalam perwalian secara “paksa” yang diterima seseorang dari syara’, segala tindakan hukum wali yang menyangkut kemaslahatan orang yang di bawah pengampuannya wajib dilaksanakan. Apabila orang yang di bawah pengampuan telah memiliki ahliyyah al-ada’98 dan ternyata ia tidak setuju dengan tindakan yang telah dilakukan walinya selama ia dalam pengampuan wali tersebut, maka tindakan wali tersebut tidak boleh dibatalkan, selama tindakan wali itu untuk kemaslahatan diri orang yang diampunya, serta memenuhi persyaratan yang ditentukan syara’, dan selama tindakan hukum itu memberi manfaat bagi orang yang ada di bawah pengampuannya99. Mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak sepakat dalam objek walayah ijbar. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jenis walayah ini berlaku kepada anak laki-laki atau anak perempuan yang masih kecil atau anak perempuan yang gila. Adapun bagi anak laki-laki atau perempuan yang berakal, laki-laki atau perempuan yang baligh, baik perawan maupun janda, tidak berlaku bagi mereka wilayah ijbar. Sedangkan “menurut pendapat Syafi’iyah bahwa walayah ijbar berlaku bagi perawan (bikr), anak laki-laki yang masih kecil, perempuan atau lakilaki yang gila”100. Di samping itu, mereka sepakat bahwa wilayah ijbar berlaku 97
Alam dan Fauzan, op.cit., hlm. 154.
98
Syarifuddin, op. cit., hlm. 358. “ahliyyah al-ada’ adalah kecakapan untuk menjalankan hukum atau kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatannya telah mempunyai akibat hukum”. 99
Alam dan Fauzan, op.cit., hlm.154.
100
Ibid., hlm. 19.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
38
bagi anak laki-laki yang masih kecil, laki-laki atau perempuan dewasa gila, sedangkan bagi janda (tsaib) tidak berlaku. “Abu Hanafah dan pengikutnya berpendapat bahwa yang berlaku atas diri seorang janda adalah wilayah nadb dan mustahab”. 101
Wilayah nadab dan musatahab adalah perwalian yang terhalang oleh seorang wali sebagai solusi terhadap urusan anak-anak yang diwalikan sesuai dengan pilihan dan keinginan mereka dengan demikian seorang wali memiliki hak penuh untuk mengawinkan mereka tanpa minta persetujuan dari mereka, karena mereka dapat mengawinkan dirinya sendiri tanpa harus minta pertimbangan dan keridhaan dari walinya. Adapun wilayah yang hukumnya nadb dan mustahab dapat berlaku bagi seorang imam atau pemimpin kepada yang diwakilkan, jika pihak keluarga dari laki-laki menghalang-halangi pernikahan itu. Sebagaimana jika pihak dari keluarga perempuan menolak pernikahan itu dengan laki-laki yang sekufu, maka dalam kondisi ini penguasa atau qadhi wajib menikahkan perempuan tersebut 102. Namun mereka berbeda pendapat tentang perwalian wanita yang belum menikah dan bagi janda yang belum baligh. Menurut ulama Hanafiyah bahwa perempuan yang sudah baligh namun belum menikah tidak berlaku atas wilayah ijbar, sedangkan bagi janda yang belum baligh berlaku wilayah ijbar karena usianya yang masih kecil. Sedangkan dalam perspektif Syafi’iyah, wilayah ijbar berlaku atas gadis karena keperawanannya. Adapun bagi janda yang belum baligh tidak diberlakukan atasnya wilayah ijbar dan tidak boleh menikah sebelum mencapai usia masa baligh, sehingga walayah yang berlaku atasnya adalah walayah al-Syirkah.103 Walayah al-Syirkah adalah hak yang dimiliki oleh seorang wali dalam mengawinkan anaknya tetap meminta pandangan pendapat (anak), orang-orang yang berada dalam perwaliannya. Jadi wali tidak memiliki hak penuh untuk mengawinkan mereka, akan tetapi harus meminta persetujuan dan keridhaan mereka. 104 Sebab perbedaan pendapat fukaha dalam hal ini terletak pada pemberlakuan wilayah ijbar. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanafiyah adalah bahwa unsur ijbar terdapat pada unsur “keperawanan” bagi perempuan dan “belum dewasa” 101
Ibid.
102
Ibid., hlm. 17. Lihat juga dalam Al-Kasani. Badai’ al-Shannai, Juz V, hlm. 366.
103
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 156.
104
Syarifudiin, op. cit., hlm. 17.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
39
bagi anak laki-laki, dan “gila” bagi orang gila. Sehingga jika unsur-unsur ini terdapat dalam diri mereka, maka berlakulah wilayah ijbar. Adapun bagi janda, wali tidak memiliki wilayah ijbar terhadapnya, baik janda itu masih kecil atau sudah dewasa.105 Imam Abu Hanifah memberlakukan wilayah ijbar karena unsur kedewasaannya atau sejenisnya, tanpa dilihat apakah ia berstatus perawan atau janda. Oleh karena itu, bagi perawan yang telah dewasa tidak berlaku wilayah ijbar sedangkan bagi janda yang belum dewasa berlaku atasnya wilayah ijbar karena dia belum dewasa. 106
3.1.4. Orang-orang Yang Berhak Menjadi Wali Pada prinsipnya, seorang wali dengan wewenangnya harus senantiasa berorientasi kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang ada di bawah pengampuannya. Namun, karena persoalan pribadi dan harta merupakan persoalan yang cukup rumit, maka hukum syara’ menganjurkan agar yang menjadi wali adalah berasal dari kalangan keluarga terdekat, seperti ayah atau pamannya; karena kedua orang ini diperkirakan dapat memikul tanggung jawabnya secara penuh. Dalam menetapkan siapa yang berhak menjadi wali, ulama fikih membagi wali sesuai dengan objek perwalian, seperti perwalian dalam masalah jiwa (pribadi orang yang berada di bawah pengampuan). Dalam perspektif Syafi’iyah penetapan perwalian (hususnya wali nikah) diprioritaskan kepada kaum kerabat yang bersangkutan, kemudian baru berpindah pada wala’ ashabah (seperti anakanak saudara, anak paman) dan qadhi (hakim). Dari kerabat yaitu bapak, kakek terus ke atas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah dan seterusnya107. a. Ayah b. Kakek c. Saudara laki-laki kandung
105
Alam dan Fauzan, op.cit.
106
Ibid.
107
Ibid., hlm. 157.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
40
d. Saudara laki-laki seayah e. Anak saudara laki-laki kandung/seayah f. Paman (Saudara ayah) kandung g. Paman seayah h. Anak paman kandung/seayah108
Lebih jauh Mazhab Syafi’iyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sama dengan hierarkis orang-orang yang berhak menerima kewarisan. Apabila ayah tidak ada, maka kakek pun dapat diberi tugas perwalian ini, baik terhadap urusan pribadi ataupun urusan harta anak yang diwakili. Dengan demikian, maka yang menjadi wali sebaiknya orang yang terdekat dengan orang yang diwakili; persis seperti kerabat dekat yang dibahas dalam persoalan ahli waris. Jika orang terdekat yang laki-laki tidak ada, maka hak perwalian dalam urusan-urusan pribadi bisa ditangani pihak ibu. Akan tetapi, perwalian dalam masalah harta, jika ayah orang yang berstatus ahliyyah al-wujub telah meninggal dunia, maka kewenangan perwalian hanya akan berpindah tangan kepada orang yang diberi wasiat oleh almarhum, tanpa mempersoalkan apakah yang ditunjuk itu laki-laki atau perempuan. Dalam kasus seperti yang disebutkan terakhir, wewenang perwalian berubah nama menjadi wisayah (orang yang diberi wasiat untuk mengelola harta orang yang ada di bawah pengampuan ini).109 Dalam fikih, konsep perwalian (khususnya wali nikah) pada dasarnya mengikuti konsep ashabah, orang yang berhak menjadi wali adalah mereka yang berasal dari garis keturunan laki-laki. Mulai dari ayah, kakek, saudara, paman, keponakan, dan seterusnya.110 Konsep perwalian di kalangan fikih empat mazhab, kecuali Abu Hanifah tampaknya ada persamaan, mereka sepakat bahwa hak perwalian hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dalam menentukan persyaratan laki-laki dalam perwalian, para ahli fikih biasanya mengambil Surat An-Nisa ayat 34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan 108
Alam Dan Fauzan, op. cit., hlm. 157. Dikutip dari Imam Yahya bin Syaraf Nawawi. Raudhatu al-Thalibin wa Umdatu al-Muftin. Jilid II. Mesir: Maktab al-Islami, hlm. 467. 109
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 158.
110
Ibid., dikutip dari Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 262.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
41
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. An-Nisa: 34). Sedangkan menurut Montgomery, konsep perwalian dari garis keturunan laki-laki merupakan tradisi Arab-Mekah yang diadopsi ke dalam sistem legalisme Islam. Berdasarkan pernyataan itu bisa saja konsep perwalian dari garis laki-laki tersebut merupakan pelanggengan fikih Islam terhadap konsep perwalian yang diadopsi dari budaya ArabMekkah yang patriarkhis sebab dalam al-Qur’an dan Hadis, konsep perwalian seperti itu tidak pernah diungkapkan secara eksplisit.111 3.1.5. Orang-orang Yang Harus Mendapatkan Perwalian Ulama fikih menyatakan bahwa orang-orang yang harus berada di bawah perwalian adalah orang-orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Mereka adalah112: a. Anak kecil, maka walinya adalah ayah dan wasi-nya (orang yang beri wasiat oleh ayahnya untuk menjadi wali anaknya), kakek dan wasi-nya, paman, hakim dan wasi-nya. b. Orang gila atau dungu, walinya adalah ayah atau kakek atau wasi mereka, apabila orang gila atau dungu itu belum baligh. Apabila seseorang pada mulanya tidak gila/dungu kemudian ia gila
atau
menjadi dungu, sehingga kecakapan bertindak hukumnya hilang, maka yang berhak menjadi walinya, menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i adalah walinya sebelum ia baligh, yaitu ayah, kakek, atau wasi mereka. Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali mengatakan bahwa wali yang telah baligh, berakal dan cerdas, lalu tiba-tiba menjadi gila dan dungu, adalah hakim; tidak kembali
111
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 158. Dikutip oleh Montgomery Watt, Muhammad at Madina, (Oxford University Press:1971), hlm. 272. 112
Ibid., hlm. 159-160.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
42
kepada ayah, kakek, atau wasi-nya, karena hak perwalian mereka telah gugur setelah baligh, berakal, dan cerdasnya anak itu. c. Orang bodoh, walinya menurut kesepakatan ahli fikih adalah hakim, karena penentuan seseorang berada di bawah pengampuan berada di tangannya. Sedangkan Ibn Rusyd mengemukan yang termasuk dalam kategori yang harus diwakilkan dalam setiap tindakan hukumnya karena dianggap tidak cakap hukum adalah: a. anak kecil b. Orang Bodoh (as-safih) c. Budak (al-abd) d. Muflis (orang yang pailit karena boros) e. Orang sakit f.
Istri 113
3.1.6. Pembagian Perwalian Dilihat Dari Tingkatan Kewenangannya Dilihat dari segi tingkatan kewenangan, hak perwalian ini oleh ulama fikih dibagi kepada empat bentuk: a. Wewenang wali yang besifat kuat dan kokoh dalam urusan pribadi, (syakhssiyah; personal affair), seperti wali dapat memaksa orang yang di bawah ampuannya untuk kawin, mengajar atau melakukan pengobatan berat seperti operasi. Wewenang seperti ini hanya ada wali yang bertalian keturunan erat dengan orang yang bersatatus ahliyyah alwujub seperti ayah atau kakek. b. Wewenang yang bersifat lemah terhadap urusan pribadi orang yang berada
di
bawah
pengampuan,
yaitu
hanya
mengawasi
dan
mendidiknya. Dalam status seperti ini wali tidak dapat melakukan tindakan spekulatif yang banyak mengandung resiko terhadap orang yang ada di bawah ampuannya. Wali seperti ini adalah kerabat dekat orang yang berada di bawah pengampuan tersebut, tetapi bukan ayah, kakek, saudara laki-laki, dan paman. 113
Ibid., hlm. 160, dikutip dari Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahud wa Nihayat alMuqtashid, Juz II, (Mesir: Maktabah al-Babi al-Halabi: 1395 H), hlm. 227.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
43
c. Wewenang wali yang lemah dalam masalah pribadi dan bersifat kuat dalam masalah harta kekayaan orang yang di bawah pengampuannya asal dengan tujuan untuk keuntungan pemilik harta itu, bukan untuk si pengampu (wali). Wali seperti ini adalah orang-orang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek, saudara laki-laki, atau paman. d. Wewenang wali bersifat lemah terhadap harta pribadi dan harta orang yang berada di bawah pengampuannya tetapi kuat dalam masalah pribadi,
yaitu
sekedar
memelihara
hartanya
tanpa
boleh
memperdagangkannya, serta membelanjakan harta tersebut sekedar biaya yang diperlukan orang yang diampunya. Wali seperti ini adalah para kerabat jauh dari orang-orang yang ada di bawah pengampuan itu. Apabila keluarga terdekat tidak ada lagi yang dapat dijadikan wali, atau ayah orang yang masih belum cakap bertindak hukum tidak meninggalkan wasiat untuk menunjuk siapa yang akan bertindak sebagai penggantinya, maka hak perwaliannya berpindah tangan kepada penguasa atau hakim. Perpindahan hak perwalian dalam kasus seperti ini didasarkan kepada Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa, “…Penguasa atau hakim akan menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali” (HR. al-Bukhari dan muslim)114. Akan tetapi, perlu digariskan kekuasan penguasa atau hakim sebagai wali bagi orang-orang yang belum cakap berindak hukum, merupakan kekuasaan umum yang sifatnya tidak begitu kuat. Dalam kaitan ini ulama mengatakan,”perwalian yang bersifat khusus (seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang diberi wasiat oleh ayahnya jika ia meninggal dunia) lebih kuat daripada perwalian umum (penguasa atau hakim)”.115
3.1.7. Syarat-syarat Wali Ulama fikih mngemukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang agar ia dapat dijadikan wali (sama dengan persyaratan wali dalam hadanah) bagi orang-orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum. Syaratsyarat dimaksud adalah:
114
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 169.
115
Al-Zuhaili, op. cit., hlm. 186.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
44
a.
Baligh dan berakal, serta cakap bertindak hukum. Oleh karena sebab itu anak kecil, orang gila, orang mabuk, dan orang dungu tidak bisa ditunjuk sebagai wali. 116
b. Agama wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena perwalian nonmuslim terhadap muslim adalah tidak sah. c. Adil dalam artian istiqamah dalam agamanya, berakhlak baik, dan senantiasa memelihara kepribadiannya. d. Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah, karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang diampunya. Apabila orang itu lemah dalam memegang amanah, maka tidak sah menjadi wali. e. Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya, sesuai dengan firman Alllah SWT : “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat...” (Q.S. al-An’am:152). Oleh sebab itu seorang wali tidak boleh melakukan tindakan hukum yang hanya mengandung kemudharatan, seperti menghibahkan atau mewakafkan harta orang yang diampunya, dan menjatuhkan talak orang yang diampunya, karena perbuatan ini merugikan orang yang berada di bawah perwalian tersebut.117
3.1.8. Berakhirnya Perwalian Wewenang perwalian, baik yang menyangkut masalah pribadi maupun harta yang diampu, akan berakhir apabila penyebab seseorang ditetapkan di bawah pengampuan walinya hilang. Untuk anak kecil laki-laki akan berakhir, menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila anak kecil itu berumur 15 tahun dan terlihat tanda-tanda baligh-nya secara alami dan cerdas. Adapun untuk anak kecil wanita, hak wilayah akan berakhir bagi dirinya apabila ia telah kawin. Apabila ia belum kawin, maka dia tetap berada di bawah ampuan walinya sampai ia baligh dan mampu untuk berdiri sendiri. Namun, ulama Mazhab Hanafi tidak 116
Ibid., hlm. 196.
117
Alam dan Fauzan, op. cit., hlm. 169-170.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
45
memberikan batasan umur yang tegas terhadap anak wanita. Menurut jumhur ulama seorang anak kecil laki-laki akan bebas dari perwalian apabila anak itu baligh, berakal dan cerdas. Untuk anak wanita, menurut mereka, hak wilayah terhadap dirinya akan berakhir apabila ia kawin. Jumhur ulama juga tidak memberikan batasan umur bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.118 3.2. Pengaturan Perwalian Dalam Al-Quran Wali anak yatim dan wali anak yang orang tuanya bercerai. Dalam Al-Quran, surat yang membahas mengenai hal tersebut dapat dilihat pada surat An-Nisa (Q.S. IV) ayat 2, 3, 6, dan 10. Sayuti Thalib pada bukunya yang berjudul Hukum Kekeluargaan Indonesia menerjemahkan ayat-ayat tersebut sebagai berikut119 : • Q.S. IV : 2. a. (Hai semua orang yang berhubungan dengan pengurusan harta seseorang yang meninggal) berikanlah harta anak yatim itu pada mereka. b. (Hai orang yang memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim) jangan kamu tukarkan harta kamu yang jelek dengan harta anak yatim yang baik. c. (Hai orang yang memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim) jangan kamu campurkan harta kamu kepada harta mereka dengan maksud mengambil harta mereka itu. d. Bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut (menukar dan memakan harta anak yatim) tersebut adalah dosa besar. • Q.S. IV: 3 a.
Hai orang yang memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim, kalau kamu kuatir akan tidak adil terhadap anak yatim yang kamu pelihara itu dan hartanya yang kamu urus itu bolehlah kamu kawini perempuan
118
Ibid, hlm. 170-171.
119
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. Kelima, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 134-135.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
46
(ibu anak yatim itu) yang baik bagi kamu, (sebagai isteri yang ke-) dua atau tiga atau empat. b.
…………
• Q. S. IV: 6 a. (Hai orang yang memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim) coba-cobailah kecerdasan anak yatim itu tentang mengurus hartanya sekitar mereka berumur wajar untuk kawin, dan kalau kamu merasa bahwa mereka sudah cukup cerdas dalam hal mengurus harta itu, berikanlah harta mereka itu kepadanya. b. Hai orang yang memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim, janganlah kamu makan harta anak yatim itu dengan berlebih-lebihan. c. Hai orang yang mengurus anak yatim dan harta anak yatim, dalam hal kamu mendidik anak itu untuk mengurus hartanya janganlah kamu berikan kepada mereka hartanya itu secara banyak-banyak sekaligus, karena ditakutkan justru mereka menjadi boros. d. Kalau yang memelihara anak yatim dan mengurus hartanya itu adalah orang
yang
bercukupan,
janganlah
dia
mengambil
biaya
atas
pengurusannya itu. e. Sedangkan kalau orang yang memelihara anak yatim dan mengurus hartanya adalah orang yang miskin maka mereka diperbolehkan untuk mengambil biaya atas pengurusannya atas harta anak yatim itu dengan makruf. f. (Hai orang yang memelihara anak yatim dan harta anak yatim) kalau kamu menyerahkan harta anak yatim itu kepadanya hendaklah pakai saksi (atau pembuktian). •
Q. S. IV: 10
Bahwa sesungguhnya seseorang yang memakan harta anak yatim itu sesungguhnya memasukkan ke dalam perutnya api neraka yang akan bernyalanyala.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
47
Dari semua garis hukum dalam ayat Al-Quran di atas tersebut, kita melihat bahwa Allah menghendaki adanya orang atau badan yang mengurus anak yatim dan harta anak yatim itu. Hal itu adalah hal yang wajar saja. Suatu hal sebagai kelanjutan perkataan Allah bahwa anak yatim mempunyai harta, sedangkan anak yatim itu tentu masih kecil belum sanggup mengurusi hartanya. Orang yang memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim itu dapat berbentuk orang pribadi ataupun suatu badan. Orang atau badan itu disebut dengan sebutan wali. Wali di sini dalam arti yang mengurus. Secara bertingkat dapat dilihat pada ayat-ayat di atas, mulanya pernyataan Allah akan adanya harta anak yatim itu ditujukan kepada semua orang. Artinya di sini yang dituntut memperhatikan dan mengindahkan ialah semua orang. Kemudian dapat dilihat tuntutan Allah itu ditujukan kepada orang yang harus memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim itu. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dituntut oleh Allah untuk membentuk suatu badan atau menunjuk orang yang akan memelihara anak yatim dan mengurus harta anak yatim adalah semua orang di sini maksudnya semua orang Islam yang ada di sekitar daerah tempat anak yatim itu. Hal ini yang dinamakan dalam ajaran ilmu usul fiqh sebagai fardhu kifayah. Sedangkan sesudah tertunjuknya badan atau orang yang bersangkutan menjadi pribadilah bagi orang tersebut yang ditunjuk untuk melaksanakan tugasnya atau pekerjaan itu seperti kehendak ayat-ayat di atas. Dalam hal yang meninggal seorang ibu maka anak yatim itu dipelihara oleh ayahnya, baik ia mempunyai harta pribadi ataupun sekedar pemeliharaan saja yang diperlukan dari ayahnya. Sebaliknya kalau yang meninggal adalah ayahnya, maka si ibu-lah yang memelihara dan mengurus anak yatim dan hartanya itu. Dalam hal atau perkara yang terakhir ini, timbul lebih banyak persoalan. Dalam pendapat ahli fiqh umumnya yang menjadi wali di sini dalam kejadian ayah yang meninggal, yang menjadi walinya adalah kakek atau ayah dari ayah anak tersebut. Kalau tidak ada, maka saudara laki-laki ayahnya yang menjadi wali120. Karena laki-laki dianggap lebih dapat mengurus anak-anak tersebut. Namun menurut Sayuti Thalib, dalam kejadian atau masalah ini, yang menjadi walinya adalah 120
Ibid., hlm. 135.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
48
ibunya dan kalau perlu diawasi oleh kakek atau paman anak yatim tersebut, kecuali dalam hal tertentu barulah kedudukan wali itu dialihkan kepada kakek atau pamannya atau badan yang khusus untuk menjadi wali anak dan harta anak yatim. 121 Dalam hal suami isteri bercerai hidup maka yang akan memelihara si anak atau yang akan menjadi wali hendaklah dirembukkan dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu pengadilan dapat memberikan putusannya. Yang harus dijadikan dasar pikiran adalah, siapakah di antara keduanya yang pemeliharaannya akan paling menguntungkan bagi si anak. 122 Dasar Hukum wali diperuntukkan bagi laki-laki: Q.S. An-Nisa:34 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. An-Nisa: 34). 3. 3. Pengaturan Perwalian Dalam AS-Sunnah Dalam As-Sunnah, mengenai perwalian tidak secara tegas menyebutkan mengenai perwalian. Hanya saja dalam beberapa rumusan Hadits dan dalam fikihfikih, hal-hal yang dibahas adalah mengenai hadanah yang berkaitan dengan perwalian. Mengenai hadanah telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya (Bab 2). Namun demikian ada suatu Hadits yaitu di dalam Kitab Sahihain melalui hadits Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
121
Ibid., hlm. 133-136.
122
Ibid. Bandingkan dengan Hazairin dan Wirjono Prodjodikoro dalam Majalah Hukum Tahun 1952, No. 2 hlm. 16-20.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
49
“Jauhilah oleh kalian tujuah macam dosa yang membinasakan.” Ditanyakan, “Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai Rasullullah?” beliau Saw. menjawab, “Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menusuh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai.” Berdasarkan hadits tersebut, maka bagi wali yang mengurus harta anak yang berada di bawah perwaliannya, diharamkan baginya untuk memakan harta anak demi kepentingan yang tidak baik.
3.4. Perwalian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Masalah perwalian anak tidak dapat lepas dari suatu perkawinan, karena jika terjadi perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, kemudian dari perkawinan tersebut lahir anak atau anak-anak; dan pada suatu ketika kemudian keluarga tersebut mengalami suatu perceraian atau salah satu atau kedua orang tuanya meninggal dunia, maka dalam hal ini dapat timbul masalah perwalian. Dalam hal ini berlaku lembaga perwalian terhadap anak-anak tersebut, di mana wali adalah orang yang mengatur dan bertanggung jawab atas kepentingan anakanak tersebut, baik mengenai diri si anak, maupun mengenai harta benda milik anak tersebut. Undang-undang perkawinan membagi kekuasaan terhadap anak yang belum dewasa dengan sebutan belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan itu, menjadi dua golongan. Pertama, yang berada di bawah kekuasaan orang tua. Artinya bentuk kekuasaan orang tuanya berlaku baik kedua orang tuanya itu masih tetap dalam pasangan suami isteri ataupun keduanya karena sesuatu hal telah bercerai. Namun kekuasaan orang tua itu tetap ada. Mungkin juga kekuasaan orang itu dicabut demi kepentingan anak bersangkutan. Bentuk kekuasaan yang kedua, ialah kekuasaan wali. Wali akan berkuasa kepada pribadi anak itu maupun terhadap harta bendanya apabila telah diserahkan kepadanya. Itupun dengan tanggung jawab yang wajar yang diatur oleh undang-
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
50
undang.
Wali
sedapat-dapatnya
dari
lingkungan
keluarga
anak
yang
bersangkutan.123 Wirjono Prodjodikoro memberikan arti perwalian sebagai pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian. 124. Sedangkan menurut Subekti, perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh undang-undang (KUHPerdata). Dengan demikian, anak yang berada di bawah perwalian adalah:125 a. anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua; b. anak sah yang orang tuanya telah bercerai; c. anak yang lahir di luar pekawinan. Jika
salah
satu
orang
tua
meninggal,
menurut
undang-undang
(KUHPerdata), orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anakanaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang. Seorang anak yang lahir di luar perkawinan berada di bawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya. Ada pula kemungkinan, seorang ayah atau ibu dari dalam surat wasiatnya mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan yang dimaksudkan akan berlaku, jika orang tua yang lain karena sesuatu sebab tidak menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan perwalian menurut testamen126. Dalam Undang-undang Perkawinan, pengertian perwalian terdapat dalam pasal 50 yaitu: 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 123
Thalib, op. cit., hlm. 136.
124
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Cet. Kelima, (Bandung: Sumur Bandung, 1967), hlm. 74. 125
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 31, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 52-53
126
Ibid.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
51
2. Perwalian ini menyangkut pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Sedangkan sebab-sebab timbulnya perwalian menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut: a.
Anak yang tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian. Pasal 45 (2), Pasal 47 (1), dan Pasal 49 UU Perkawinan menentukan berakhirnya kekuasaan orang tua, apabila terjadi hal-hal: • Si anak telah dapat berdiri sendiri; • Si anak telah berusia 18 tahun atau lebih; • Si anak telah kawin; • Pencabutan kekuasaan oran tua dari orang tua si anak.
b.
Setelah perceraian, maka anak yang di bawah umur berada di bawah perwalian atau pengasuhan orang tuanya. Meskipun kedua orang tuanya telah bercerai, mereka masih tetap menjadi orang tua yang wajib mengurus, memelihara, dan memberikan biaya pendidikan pada si anak, hanya fungsinya saja sebagai wali.
c.
Adanya pengangkatan wali oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum meninggal.
3.4.1. Macam-macam perwalian Macam-macam perwalian menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, adalah: a. Perwalian menurut penetapan pengadilan (datieve voogdij) Diatur dalam Pasal 49 yang pada pokoknya adalah salah seorang atau kedua orang tua yang dicabut kekuasaannya masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Dengan dicabutnya kekuasaan orang tua tersebut, maka bagi anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan, maka anak-anak tersebut berada di bawah perwalian. Pencabutan kekuasaan orang tua dilakukan karena alasan sebagai berikut: ¾ Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, dan
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
52
¾ Ia berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut127.
b. Perwalian karena surat wasiat (testamentaire voogdij) Perwalian dapat terjadi apabila salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, berdasarkan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua (2) orang saksi dapat menunjuk seorang wali [Pasal 51 ayat (1)]. Syarat-syarat untuk menjadi wali adalah dewasa, sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Penunjukan wali karena penunjukkan melalui surat wasiat atau lisan yang bersifat imperatif ini, sebaiknya dilaksanakan dengan cara yang dapat mempunyai kekuatan hukum atau akta autentik. Agar tidak terjadi halhal yang dapat merugikan anak. 128 Mengenai tata cara penunjukan wali diatur dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut129: a. Ditunjuk oleh orang tua anak Wali dapat diangkat dengan jalan ditunjuk oleh salah seorang orang tua anak yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dunia. Ini terjadi dalam hal seorang dari orang tua telah meninggal dunia, atau perkawinan orang tua telah bercerai. Lalu salah seorang dari orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua bagi 127
Indonesia, Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, pasal 49. 128
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 70. 129
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cet.II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hlm. 92.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
53
anaknya itu menunjuk seseorang sebagai wali dari anaknya tersebut, apabila ia meninggal dunia. b. Ditunjuk dengan wasiat Wali dapat diangkat dengan jalan ditunjuk oleh salah seorang orang tua anak yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dunia c. Ditunjuk dengan lisan Wali juga dapat ditunjuk secara lisan, akan tetapi untuk itu harus dilakukan di hadapan dua orang saksi.
3.4.2. Hal-hal yang diatur dalam perwalian: a.
Subyek pelaku dari perwalian Menurut Pasal 51 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, wali sedapat mungkin diangkat dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. Pasal ini menekankan penunjukan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik. Hal ini juga berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya Nabi SAW, memutuskan wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya, dan beliau bersabda: "Saudara perempuan ibu menempati kedudukan ibu". (Riwayat Al-Bukhari). Pemilihan wali yang masih mempunyai hubungan keluarga ini dilakukan mengingat wali melakukan semua tugas, kewajiban dan kekuasaan orang tua, yang meliputi juga penguasaan terhadap harta anak. Diharapkan jika wali masih mempunyai hubungan keluarga, maka
kemungkinan
terjadinya
hal-hal
yang
tidak
diinginkan
terhadap
penyelewengan atau penyalahgunaan pemakaian harta untuk keperluan pribadi oleh wali tidak akan terjadi. Dalam hal ini pengadilan yang berwenang untuk memutuskan masalah perwalian bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan yang berwenang untuk memutuskan masalah perwalian bagi orang yang beragama selain Islam adalah Pengadilan Negeri.
b.
Tindakan wajib wali
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
54
Menurut Pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, semenjak wali menjalankan tugasnya, ia diwajibkan membuat daftar harta benda anak di bawah kekuasaannya dan membuat catatan semua perubahanperubahan harta benda anak tersebut.
c.
Tugas wali Menurut Undang-undang Perkawinan, tugas wali terutama menyangkut
kepentingan diri pribadi dan harta kekayaan si anak. Tugas wali yang menyangkut harta kekayaan anak diatur dalam Pasal 51 ayat (3), (4), dan (5) yang berbunyi:
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anakanak itu. (5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Dan Pasal 52 jo Pasal 48 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur bahwa wali dapat memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anak apabila kepentingan anak menghendaki. Pengaturan tugas wali dalam UU Perkawinan ini bisa dikatakan cukup lengkap, hanya memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut.
d.
Berakhirnya perwalian Dalam Undang-undang Perkawinan, hanya mengatur berakhirnya perwalian
dalam hal-hal sebagai berikut: • Dewasanya anak yang diletakkan di bawah perwalian. • Pencabutan kekuasaan wali yang disebabkan karena ia melalaikan kewajibannya terhadap anak dan berkelakuan buruk. Kekuasaan seseorang wali dapat dicabut bila melalaikan kewajibannya atau ia berkelakuan buruk, selain itu wali wajib mengganti kerugian terhadap harta
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
55
benda anak yang berada di bawah perwaliannya bila ternyata akibat kelalaiannya atau karena perbuatannya menyebabkan timbulnya kerugian terhadap harta benda si anak.130 3. 5. Perwalian Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Garis hukum mengenai perwalian secara rinci diatur dalam Pasal 107 sampai dengan Pasal 112 KHI. Pasal ini lebih rinci dari perwalian yang diatur dalam UU Perkawinan. Di dalam KHI dijelaskan bahwa, Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Hal dimaksud, selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
Pasal 107 (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan perwalian, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah satu kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, jujur, dan berkelakuan baik, atau badan hukum. 130
Seorang wali tidak dibenarkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki oleh anak yang berada di bawah perwaliannya kecuali apabila kepentingan si anak yang menghendaki. Untuk itu seorang wali berkewajiban membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu ia memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta anak tersebut. Seorang wali dilarang mengikatkan, , membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali apabila perbuatan tersebut menguntungkan bagi anak yang berada di bawah perwaliannya. Seorang wali bertanggung jawab penuh terhadap harta anak yang berada di bawah perwaliannya, jika ada pengeluaran atau pemindahan harta kekayaan si anak yang dapat merugikan kepentingannya, Hakim dapat memerintahkan kepada wali dari anak yang bersangkutan untuk mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam mengurus harta anak yang bersangkutan di bawah perwaliannya. Pada saat bereakhir perwalian, wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta benda si anak berikut dengan catatan pengeluaran yang dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiaptiap tahun sekali. Dalam hal terjadi perselisihan mengenai harta benda si anak antara si wali dengan si anak tersebut karena baik jumlah maupun pemanfaatan harta benda tidak digunakan untuk kepentingan si anak, wali diwajibkan mengganti semua kerugian yang timbul. Lihat Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 43-46.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
56
Pasal 108 juga menjelaskan, Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anakanaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109 Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan/atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai malaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukkan wali baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapatdapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat menjadi wali adalah harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Di samping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi wali131. Menurut pasal 108 Kompilasi Hukum Islam, pengangkatan wali dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Selanjutnya pada pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan memindahkannya kepda pihak lain. Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya dengan alasan wali tersebut: pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali. Pasal 110 1. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban 131
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cet.II, (Bandung: Citra Aditya bakti, 2003),
Hlm. 123.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
57
memberikan bimbingan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. 2. Wali dilarang mengikatkan, membebani, mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. 3. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. 4. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali. Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya. Untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak. Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, keculi bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada din bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Untuk itu wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. Dalam menjalankan tugasnya wwali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anakanak itu. 132 Pasal 111 (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin. (2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. Pasal 112
132
Ibid.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
58
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir.
Mengenai pengaturan tentang perwalian dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak jauh berbeda dari apa yang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Baik dari segi siapa subyek pelaku dari perwalian, tugas dan kewajibannya, serta batasan-batasan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh wali terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya. Begitu juga mengenai penunjukkan wali melalui wasiat, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun KHI samasama memperbolehkan penunjukan wali melalui wasiat, yang berlaku setelah meninggalnya orang tua anak tersebut. Mengenai pencabutan kekuasaan wali, pencabutan tersebut dilakukan oleh Pengadilan Agama. Apabila wali melalaikan kewajibannya, maka tidak tertutup kemungkinan untuk mencabut kekuasaannya dan memindahkannya kepada pihak lain. Di samping lalai, sifat-sifat buruk wali seperti
pemabuk,
penjudi,
pemboros,
gila
atau
melalaikan
maupun
menyalahgunakan hak dan kewenangannya, maka haknya sebagai wali juga dapat dicabut. Lebih jelasnya pencabutan kekuasaan oleh Pengadilan Agama atas permohonan kerabat dari anak yang berada di bawah perwalian tersebut apabila terdapat hal-hal sebagai berikut: • Wali tidak melakukan pemeliharaan terhadap si anak dengan sungguh-sungguh. • Wali menelantarkan pendidikan si anak atau tidak memberikan bimbingan agama terhadap si anak. • Wali memindahtangankan harta benda si anak yang bukan untuk kepentingan si anak yang berada di bawah perwaliannya. • Wali mempunyai kelakuan yang sangat buruk dan tidak pantas untuk diteladani.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
59
• Lain-lain perbuatan yang dapat merugikan kepentingan si anak.133
Dalam hal terjadi pencabutan kekuasaan seorang wali karena ia melalaikan kewajibannya atau ia berkelakuan tidak baik, hakim dengan keputusannya dapat menunjuk orang lain menjadi wali atas anak yang berada di bawah perwalian. Hal ini dilakukan hakim apabila si anak tidak lagi mempunyai keluarga yang lain atau apabila Hakim memandang keluarga si anak tidak layak menjadi seorang wali karena alasan-alasan tertentu. Seseorang yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama untuk menjadi wali dan ia menerima penunjukan tersebut wajib menjalankan kekuasaan perwaliannya untuk kepentingan si anak dengan sebaik-baiknya. Menurut pendapat Subekti orang yang ditunjuk hakim menjadi wali harus menerima pengangkatan itu, kecuali bila ia seorang wanita yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang yang dapat dibebaskan menjadi wali seperti: Jika ia untuk kepentingan negara harus berada di luar negeri, atau seorang tentara dalam dinas aktif atau seseorang tentara yang sudah berumur 60 tahun atau sudah menjadi wali dari anak yang lain.134
Selanjutnya, jika di lihat dari uraian di atas, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI sama-sama mengatur batas usia anak yang berada di dalam perwalian walaupun berbeda dalam uusia. Undang-undang Perkawinan mensyaratkan sebelum umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, sedangkan KHI membatasinya pada umur 21. Yang jelas pembatasan usia 21 tahun atau telah kawin tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan kemandirian anak. Penunjukan seorang wali bagi seseorang anak belum berumur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, di mana orang tuanya tidak menunjuk seorang wali untuk anak tersebut, dilakukan oleh Pengadilan Agama, wali diambil dari keluarga anak yang bersangkutan atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Dalam penunjukan wali ini, Undang133
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 44. 134
Ibid.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
60
Undang Perkawinan dan Hukum Islam menganut prinsip yang sama yaitu wali yang ditunjuk sedapat mungkin diambil dari keluarga si anak. 135
3.6. Pengaturan Perwalian Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak Pengaturan perwalian bagi anak di bawah umur, selain diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai perwalian. Pengaturan perwalian dalam Undang-undang ini diatur pada Bab VII, Pasal 33 sampai dengan Pasal 36. Perwalian menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Anak diperuntukkan bagi anak yang orang tuanya tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum atau tidak diketahui di mana tempat tinggal atau keberadaannya. Bagi anak tersebut, maka seseorang atau badan hukum dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan jika memenuhi persyaratan untuk menjadi wali. Yang dimaksud dengan anak menurut undang-undang ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin dalam kandungan136. Sedangkan yang dapat menjadi walinya adalah orang atau badan yang dalam menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak serta wali tersebut harus seagama dengan anak137. Pada pasal 35, jika anak tersebut belum mendapatkan penetapan pengeadilan mengenai wali, maka harta yang dimiliki oleh anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. Lembaga lain yang dimaksud antara lain adalah Baitul Mal. Baitul Mal adalah kebendaharaan publik yang didirikan untuk mengelola harta benda demi kepentingan orang yang beragama Islam yang miskin138. Balai Harta Peninggalan atau Baitul Mal ini bertindak selaku wali
135
Nasution dan Warjiyati, op. cit., hlm. 45.
136
Indonesia, Undang-undang Tentang Perlindungan Anak, UU No. 23, LN No. 109 Tahun 2003, TLN No. 4235, ps. 1 angka 1. 137
Ibid., ps. 33 ayat (3).
138
?
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
61
pengawas untuk mewakili kepentingan anak. Pengurusan harta oleh lembaga tersebut harus melalui penetapan pengadilan. Kekuasaan wali dapat dicabut jika ia menyalahgunakan kewenangannya atau di kemudian hari ia tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ini pengadilan dapat menunjuk wali penggantinya139. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, maka perwalian bagi anak di bawah umur ini terdapat perbedaan dalam usia anak. Menurut Kompilasi Hukum Islam, maka anak yang berada di bawah perwalian adalah anak yang belum berusia 21 tahun sedangkan menurut kedua peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 1/1974 dan UU No. 23/2000, adalah anak yang belum berusia 18 tahun. Namun dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2000, anak yang belum berusia 18 tahun termasuk juga janin yang ada dalam kandungan. Selain perbedaan usia, terdapat juga perbedaan dalam hal terjadinya perwalian. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perwalian terjadi jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Sedangkan menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2000, perwalian dapat terjadi dalam hal orang tua tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya. Menurut Kompilasi Hukum Islam, perwalian diperuntukkan bagi anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Setelah mengetahui arti perwalian dari peraturan dan pendapat para ahli maka dapat diketahui hakekat dari tujuan perwalian. Hakekat dari tujuan perwalian adalah: a. Tercapainya kepastian hukum bahwa anak yang belum dewasa harus diletakkan di bawah kekuasaan orang lain yang sudah dewasa, apabila salah satu atau kedua orang tua anak tersebut sudah meninggal, maka wali yang telah ditetapkan oleh Hakim wajib mengurus diri pribadi dan harta kekayaan anak tersebut. Hal ini mengingat bahwa anak tersebut dianggap tidak mampu 139
Ibid., ps. 36.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia
62
bersikap tindak sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam pergaulan hukum, padahal anak tesebut adalah subyek hukum. b. Adanya hubungan timbal balik antara kepastian hukum dan keluwesan hukum terhadap si anak. Karena si anak tidak mampu bersikap tindak dalam hukum, namun dengan melalui walinya maka ia dapat bersikap tindak dalam hukum.
Perwalian anak..., Wan annisa S.R.S, FHUI, 2009Universitas Indonesia