BAB 4
ORANG HENES-LAKMARAS DALAM KESEHARIAN Masyarakat desa Henes-Lakmaras masuk dalam kelompok suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor sampai sekarang masih tetap bertahan hidup sebagai satu kesatuan yang utuh terpadu. Padahal mereka sudah mengalami berbagai perubahan akibat pengaruh baik dari dalam maupun dari luar. Ternyata perubahan yang terjadi entah positif atau negatif, hanyalah perubahan dalam bentuk lahiriah. Jadi ada ketahanan bathiniah. Secara bathin, tetap bertahan. Apa yang terjadi dengan perubahan lahiriah? Adat istiadat dalam bentuk kekerabatan yang begitu kuat sudah luntur. Adat istiadat yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian, sudah banyak berubah. Bahasa daerah, bahasa Buna’ sedang mengalami kemerosotan, dicapur-adukkan dengan bahasa Indonesia. Pola perumahan dan pola makan berubah. Sistim matapencaharian pun berubah. Sistem pemerintahan tradisional, berubah. Hidup sehari-hari dalam bentuk hiburan rakyat pun berubah. Dan perubahan yang paling hebat ialah perubahan dalam kehidupan beragama, dari beragama secara agama asli, agama Hot Esen telah berubah ke agama Kristen Katolik.
ORANG HENES-LAKMARAS TETAP BERTAHAN Ada sesuatu yang tidak berubah dan memang tidak mungkin berubah. Spiritual capital yang tidak berubah. Spiritual capital yang erat berkaitan dengan material capital, intellectual capital dan social capital tidak berubah. Perubahan terjadi hanya dalam pengungkapan saja. Masyarakat suku Buna’ sudah seratus tahun lebih beralih dari agama Hot Esen ke agama Kristen Katolik. Mengapa mereka masih mempraktekkan ritus-ritus agama asli? Jawabannya harus dicari pada 61
kenyataan dasar dari manusia itu sendiri bahwa manusia mempunyai empat capital yang harus ditampilkan secara berimbang. Jadi yang tidak berubah dalam masyarakat suku Buna’ ini empat capital itu, sedangkan pengungkapannya berubah terus menerus sejalan dengan pengaruh yang muncul dari dalam atau yang datang dari luar. Contoh yang paling jelas, agama Kristen Katolik datang dari luar dan diterima oleh masyarakat suku Buna’ sudah selama seratus tahun lebih. Mengapa ritus-ritus agama asli, agama Hot Esen masih diprkatekkan? Pasti ada suatu dasar yang sulit dirubah. Hal inilah yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pengungkapan kepercayaan masyarakat dalam agama itu muncul dari religious capital yang bukan spiritual capital. Pencampur-adukan spiritual capital dan relibious capital ini membuat pertentangan dalam kehidupan masyarakat suku Buna’ dibarengi dengan pertentangan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Semua seluk beluk persesuaian dan pertentangan inilah yang dikaji dalam tulisan ini.
EN BUNA’: ORANG BUNA’ DAN WILAYAHNYA Suku Buna’ adalah sekelompok masyarakat yang menghuni daerah di pedalaman Pulau Timor, Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut taksiran BPS Kabupaten Belu pada tahun 2009 populasi suku Buna’ berjumlah sekitar tiga puluh ribu orang di wilayah
Peta 1. Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (Sumber: Pemda NTT)
62
Kabupaten Belu sedangkan di wilayah Negara Timor Leste diperkirakan tiga puluhan ribu orang dan itu berarti pada tahun 2009 suku Buna’ ini berjumlah sekitar enam puluh ribu orang. Mereka yang menghuni bahagian Timor Indonesia, terkonsentrasi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan Lamaknen Selatan. Sebagian kecil lainnya tersebar di kecamatan lain dalam Kabupaten Belu, seperti di Kecamatan Malaka Timur dan Kota Atambua. Suku Buna’ mempunyai keunikan, sebagaimana suku-suku lain di mana pun saja di dunia ini. Suku Buna’ dikenal sebagai orang-orang pekerja keras karena menghuni wilayah pegunungan yang tandus dan kurang subur. Suku Buna’ juga dikenal dan dianggap sebagai kelompok orang-orang yang kasar bahasanya dan kasar perilakunya karena mereka selalu hidup dalam tantangan perang dengan tetangga yang berada di Timor Leste. Tetapi seorang imam katolik, Pater Vincen Wun SVD, yang berasal dari luar suku ini yang lama bekerja di kalangan suku Buna’ memberikan kesaksian, bahwa ”Orang Buna’ itu saya kenal,
nampaknya saja kasar, tapi hati mereka baik sekali dan suka menerima orang lain”. Masyarakat suku Buna’ ini tidak termasuk dalam masyarakat suku terasing. Masyarakat suku Buna’ mengalami perubahan sosial
karena adanya pengaruh dari dalam maupun dari luar komunitas mereka. Derasnya pengaruh dari luar menyebabkan masyarakat suku Buna’ sedang berubah drastis, dari yang dinyatakan kolot menjadi modern, dari yang dinyatakan kafir, percaya sia-sia, menjadi penganut Agama kristen katolik. Dari yang biasa makan ubi-ubian sebagai makanan pokok beralih ke beras dan raskin (beras untuk otrang miskin) bahkan sampai ke roti. Masyarakat DHL mengalami suatu gejala perubahan yang menurut pendapat penulis mencengangkan tetapi menegangkan, suatu perubahan yang membuat kelompok masyarakat ini bisa tenggelam dalam arus modernisasi yang menelanjangkan diri mereka dan kehilangan pakaian budaya asli mereka sambil mengenakan pakaian budaya asing yang semakin memiskinkan mereka secara jasmaniah maupun rohaniah. Mereka menganggap seorang itu kuno, atau buta huruf kalau masih berbahasa Buna’ dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka yang 63
masih berbahasa Buna’, sering mencampurkan dalam percakapan mereka dengan kata-kata bahasa Indonesia sebegitu banyak sampai tidak dapat dimengerti lagi, bahkan sampai sudah tidak jelas lagi apakah si pembicara berbicara dalam bahasa Buna’ atau bahasa Indonesia. Ada anggapan bahwa jika seseorang semakin banyak memakai kata-kata bahasa Indonesia, maka ia dianggap semakin modern. Kesan inilah yang menjadi salah satu kecemasan penulis yakni bahwa suku ini kemungkinan akan punah secara perlahan-lahan kalau harta budaya mereka mulai ditinggalkan secara cepat atau lambat, secara sadar atau tidak sadar. Contoh yang paling sederhana dari peralihan ini, seperti yang telah dikemukakan di atas yaitu bahwa masyarakat ini mulai meninggalkan ubi dan beralih ke roti.
Gambar 10. Ubi jenis ini yang ditinggalkan masyarakat Buna’ dan beralih ke roti. Ubi ini bermacam-macam. sesuai penelitian dari Agrippina Agnes Bele (26 tahun), di daratan Timor ada 16 macam, tidak termasuk ubi kayu dan ubi jalar (Sumber: Agrippina Agnes Bele)
64
Suku Buna’ juga dikenal sebagai suku yang mengenakan belis atau mas kawin yang mahal terhadap anak gadis mereka. Oleh karena ini tidak heran kalau para pemuda dari kelompok dan suku lain tidak mudah untuk mepersunting gadis suku Buna’. Kelompok suku Buna’ ini juga dikenal karena kerasnya adat pertalian deu, malu-ai, (suku rumah pemberi perempuan dan penerima perempuan). Karena itu, orang dari suku Buna’ yang walaupun sudah tinggal di kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, mereka masih tetap hidup berkelompok dan tetap mempertahankan identitas mereka, adat istiadat mereka adat Buna’ dan bahasa mereka, bahasa Buna’. Orang Buna’ sedang berada dalam pergulatan yang hebat, ada upaya mempertahankan jati diri mereka tetapi kecenderungan untuk meninggalkan jati diri mereka itu juga begitu kuat. Mengapa mereka tidak mudah melepaskan adat-istiadat mereka dan beralih kepada adat istiadat yang baru? Ketahanan mereka dalam melawan arus perubahan yang datang dari luar inilah yang merupakan fakta yang menarik untuk diteliti. Apa yang menjadi dasar bagi mereka untuk mempertahankan adat kebiasaan yang ada biarpun dibanjiri arus perbahan dalam segala bidang kehidupan mereka? Kaum laki-laki suku Buna’ ini diakui oleh kalangan mereka sendiri sebagai kaum yang tertindas oleh kaum perempuan karena pergeseran adat perkawinan dari patrilineal ke matrilineal. Suami datang ke suku isteri, mengerjakan kebun milik suku rumah isteri dan jika isterinya meninggal, maka laki-laki atau suami tersebut akan pulang ke suku rumahnya dengan tidak membawa harta apapun termasuk anak-anaknya sendiri. Sang suami menjadi seorang duda sebatang kara, duda yang malang, karena selain kehilangan istri yang meninggal, ia juga kehilangan harta. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa iapun kehilangan atau harus meninggalkan anak-anaknya sendiri. Pria yang malang ini kembali ke suku rumahnya dan diterima kembali oleh saudara-saudarinya dan para ponakannya sebagai baba atau na’i (paman), mone paluk (duda) yang harus memulai hidup baru mulai dari nol. Dia pulang ke tengah kaum keluarga di suku rumahnya seperti orang yang kalah judi. Tidaklah mengherankan kalau dari kalangan orang suku Buna’ sendiri menyatakan bahwa untuk suku Buna’ perlu ada emansipasi laki-laki agar laki-laki juga ada hak, jangan hanya isteri saja yang mempunyai hak atas kepemilikan tanah, harta dan anak-anak.
65
Kelompok suku Buna’ ini dikenal fanatik dalam agama yang dianut sekarang, Kristen Katolik. Rata-rata seratus persen suku Buna’ memeluk agama Kristen Katolik sejak datangnya kekatolikan pada tahun 1875 sebagaimana tercatat dalam sejarah Paroki Nualain (Anton Bele, 1992). Biar mereka sudah menganut agama Kristen Katolik tetapi sampai sekarang praktik agama asli mereka, Piar Hot Esen (Percaya pada Yang Maha Tinggi) tetap dilaksanakan berdampingan dengan praktik agama Kristen Katolik. Suku Buna’ juga dikenal sebagai suku yang mengenakan belis atau mas kawin yang mahal terhadap anak gadis mereka. Oleh karena ini tidak heran kalau para pemuda dari kelompok dan suku lain tidak mudah untuk mepersunting gadis suku Buna’. Kelompok suku Buna’ ini juga dikenal karena kerasnya adat pertalian deu, malu-ai, (suku rumah pemberi perempuan dan penerima perempuan). Karena itu, orang dari suku Buna’ yang walaupun sudah tinggal di kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, mereka masih tetap hidup berkelompok dan tetap mempertahankan identitas mereka, adat istiadat mereka adat Buna’ dan bahasa mereka, bahasa Buna’. Orang Buna’ sedang berada dalam pergulatan yang hebat, ada upaya mempertahankan jati diri mereka tetapi kecenderungan untuk meninggalkan jati diri mereka itu juga begitu kuat. Mengapa mereka tidak mudah melepaskan adat-istiadat mereka dan beralih kepada adat istiadat yang baru? Ketahanan mereka dalam melawan arus perubahan yang datang dari luar inilah yang merupakan fakta yang menarik untuk diteliti. Apa yang menjadi dasar bagi mereka untuk mempertahankan adat kebiasaan yang ada biarpun dibanjiri arus perbahan dalam segala bidang kehidupan mereka? Kaum laki-laki suku Buna’ ini diakui oleh kalangan mereka sendiri sebagai kaum yang tertindas oleh kaum perempuan karena pergeseran adat perkawinan dari patrilineal ke matrilineal. Suami datang ke suku isteri, mengerjakan kebun milik suku rumah isteri dan jika isterinya meninggal, maka laki-laki atau suami tersebut akan pulang ke suku rumahnya dengan tidak membawa harta apapun termasuk anak-anaknya sendiri. Sang suami menjadi seorang duda sebatang kara, duda yang malang, karena selain kehilangan istri yang meninggal, ia juga kehilangan harta. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa iapun kehilangan atau harus meninggalkan anak-anaknya sendiri. Pria yang malang ini kembali ke suku rumahnya dan diterima kembali oleh 66
saudara-saudarinya dan para ponakannya sebagai baba atau na’i (paman), mone paluk (duda) yang harus memulai hidup baru mulai dari nol. Dia pulang ke tengah kaum keluarga di suku rumahnya seperti orang yang kalah judi. Tidaklah mengherankan kalau dari kalangan orang suku Buna’ sendiri menyatakan bahwa untuk suku Buna’ perlu ada emansipasi laki-laki agar laki-laki juga ada hak, jangan hanya isteri saja yang mempunyai hak atas kepemilikan tanah, harta dan anak-anak Kebiasaan menghuni deu hoto (rumah adat yang terbuat dari papan berukir dan atap alang-alang) telah ditinggalkan dan mereka berdiam dalam deu balek, deu ewi, deu hol (rumah beratapkan seng, rumah tipe melayu, rumah tembok) yang dianggap sebagai perkembangan dari yang kolot ke yang maju. Masyarakat suku Buna’ menganggap diri masih kuno dan kolot kalau masih berdiam di dalam deu hut (rumah beratapkan ilalang) dan berdinding papan atau bambu. Perubahan sosial selalu terjadi. Perubahan ibarat jarum jam, bergerak maju. Tidak pernah mundur. Masyarakat suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor juga demikian. Mereka mengalami perubahan. Hanya sayang, masyarakat sukSu Buna’, khususnya di desa Henes dan Lakmaras selanjutnya disingkat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai kelompok pilihan atau contoh yang mengalami perubahan ini mengungkapkan bahwa perubahan yang mereka alami ibarat orang yang berjalan telanjang. Pakaian budaya asli ditanggalkan dan pakaian budaya baru tidak cocok dengan keadaan mereka sehingga mereka merasa ada suatu kehilangan dan mereka sendiri tidak tahu kehilangan itu dalam hal apa. Masyarakat suku Buna’ secara keseluruhan dan secara khusus di DHL mengalami perubahan secara total, perubahan dalam budaya dengan macam-macam sub-budaya seperti sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem religi (Peter Burke, 1992). Berdasarkan ungkapan dari mereka sendiri dibuat perbandingan dengan gejala perubahan di tempat lain lalu diuji dengan berbagai teori yang ada untuk mendapatkan suatu jawaban yang dapat diterima sebagai jawaban yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Perubahan apa saja yang sudah dan sedang terjadi dan ke arah mana perubahan itu sedang berjalan merupakan pertanyaan sentral dalam tulisan ini yang diawali dengan uraian dalam bab pertama ini sebagai pendahuluan dari seluruh tulisan. 67
LOLO GONI’ON TAL : TIGA KAMPUNG HANCUR Masyarakat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai bahagian dari suku Buna’, merupakan satu rumpun yang berasal dari leluhur yang bersaudara, sebagaimana yang diungkapkan oleh peneliti terdahulu, Louis Berthe (1972: 25) seorang peneliti dari Perancis.
Gambar 11 Bukit Lakmaras. Perkampungan ada di lereng dalembah. Puncaknya sudah kosong, tinggal bekas rumah yang terbakar (Sumber: Yosef Asa)
Kelompok masyarakat DHL berpindah dari sebelah Timur pulau Timor yaitu wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Oleh karena itulah warga dua desa ini selalu mengatakan bahwa kedua kelompok ini hanya dipisah oleh batas wilayah pemerintahan, tetapi dari segi asal-usul dan adat-istiadat, keduanya adalah satu. Timor Leste ke arah Barat, wilayah Negara Republik Indonesia. Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya sekarang ini menghuni wilayah kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang (A.D.M. Parera, 1971: 30). 68
Kelompok masyarakat DHL berpindah dari sebelah Timur pulau Timor yaitu wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Timor Leste ke arah Barat, wilayah Negara Republik Indonesia. Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya sekarang ini menghuni wilayah kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang (A.D.M. Parera, 1971: 30). Dalam tutur adat orang Buna’, kelompok orang-orang Melus ini masih sering disebut sebagai penghuni yang lebih dahulu menempati empat bukit yang sekarang dihuni oleh masyarakat DHL. Empat bukit itu adalah: Lakmaras, Henes, Abis, Si’arai. Penduduk DHL adalah kelompok suku yang mulai menetap di empat bukit ini sesudah terjadi perang antara suku Melus sebagai penduduk asli waktu itu dengan orang-orang Buna’ sebagai pendatang baru ke wilayah Lamaknen (A.A.Bere Tallo). Pada masa itu perang antar suku masih sering terjadi dan yang menang perang mengusir yang kalah perang lalu empat bukit dikuasai oleh leluhur masyarakat DHL dan didirikan tiga kampung di tiga bukit, Lakmaras, Henes, Abis, sedangkan bukit Si’arai tidak dihuni, tetap dibiarkan kosong. Dari saat itu dikenal tiga bukit sebagai tiga kampung dengan sebutan lolo goni’on, artinya, tiga bukit (Bahasa Buna’, lolo = bukit; goni’on = tiga). Sebagaimana terlihat dalam peta wilayah suku Buna’ dan wilayah desa Henes dan Lakmaras, (Peta 2), desa Henes dan Lakmaras ini terletak dekat perbatasan antara Negara Timor Leste dan Negara Republik Indonesia. Sebelah Utara berbatasan dengan desa-desa tetangga, Nualain, Lo’onuna dan Duarato (wilayah Negara Republik Indonesia), sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Negara Timor Leste, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Negara Timor Leste dan sebelah Barat juga berbatasan dengan wilayah Negara Timor Leste. Jadi desa Henes dan Lakmaras ini berada di kantong wilayah Negara Republik Indonesia yang merupakan satu busur atau setengah lingkaran yang dikelilingi oleh wilayah Negara Timor Leste.
69
TIMOR LESTE INDONESIA
Peta 2 Wilayah Suku Buna’ dan wilayah desa Henes dan Lakmaras (Sumber: Pemda Belu 2008)
Di sebelah Timur, sungai Atobauk dan di sebelah Barat, sungai Tabara. Aliran dua sungai ini, Atobauk ke sebelah Utara dan Tabara ke sebelah Selatan menjadi batas yang membentuk setengah lingkaran, dan dalam wilayah setengah lingkaran atau busur inilah terletak desa Henes dan Lakmaras. Dua desa ini mempunyai tiga kampung di atas tiga bukit, kampung Lakmaras di atas bukit Lakmaras di sebelah Selatan, dan kampung Abis di atas bukit Abis di sebelah Utara, merupakan wilayah desa Lakmaras. Di tengah kedua bukit ini, ada bukit Henes tempat didirikan kampung Henes. Tiga bukit ini membentuk satu garis lurus dari Selatan ke Utara dengan urutan, Lakmaras, Henes dan Abis. 70
Sejak adanya pemisahan wilayah berdasarkan pembahagian wilayah penjajahan, dikenal dua kelompok orang Buna’ yaitu kelompok orang Buna’ yang berada di wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Portugal, wilayahnya disebut Timor Portugis dan orang-orangnya disebut Ewi Belis (orang asing berkulit putih) dan wilayah yang dikuasai oleh pemerintah Belanda disebut wilayah Olandes (Holands) dan orang-orangnya juga disebut orang Olandes. Jadi ada orang Buna’ kelompok Ewi Belis di Timor Timur sekarang dan orang Buna’ kelompok Olandes yang menghuni wilayah Indonesia sekarang ini. Sampai sekarang (tahun 2011) kedua kelompok ini tetap saling mengunjungi karena kesatuan asal-usul. Kalau ada pestapesta adat di kelompok Buna’ Ewi Belis (Timor Leste), kelompok Buna’ Olandes selalu dilibatkan dan sebaliknya, kalau ada pesta-pesta adat di kalangan orang Buna’ Olandes, kelompok Buna’ Ewi Belis selalu dilibatkan pula.
Gambar 12. Hewan tidak kenal batas. Siang merumput di Timor Leste malam masuk kandang di Indonesia (Sumber: Eustachius Mali Tae)
Saling mengunjung antara dua kelompok ini hal yang biasa tanpa ada prosedur administrasi pemerintahan sampai sekarang. Tanah yang berada di perbatasan antara Timor Leste dan Timor Indonesia merupakan tanah padang rumput dan di sana dilepaskan ternak seperti kerbau, sapi dan kuda milik kedua belah pihak. 71
Pada masa damai, sudah merupakan kebiasaan, ternak milik orang-orang Henes-Lakmaras biasa merumput di wilayah Timor Portugis atau sebaliknya, ternak milik orang Buna’ Ewi Belis (Timor Leste) merumput di Timor Indonesia dengan alasan, hewan tidak kenal batas. Hewan milik orang DHL, siang merumput di Timor Leste, malam dikandangkan di Indonesia. Sebaliknya, hewan milik orang Buna’ di Timor Leste, siang merumput di Indonesia, malam dikandangkan di Timor Leste. Situasi perbatasan ini selalu aman karena adanya tali kekeluargaan antara dua kelompok penghuni ini yang sama-sama anggota dari satu suku, Buna’. Ada sejarah kelabu di masa lalu. Malapetaka datang pada tahun 1911. Lolo goni’on tal. Perkampungan di tiga bukit hancur. Rumahrumah adat dari tiga kampung di atas tiga bukit itu dibumi-hanguskan oleh Ewi Belis (Orang asing putih), musuh yang datang dari Timor Portugis. Pertikaian antara dua bersaudara di Lakmaras, Bere Bau raja Lakmaras dibenci oleh saudaranya, Leto Loe yang juga mau menjadi raja, menyebabkan perpecahan. Leto Loe mengundang serdadu dari Timor Portugis dan Bere Bau mengundang serdadu Belanda, dan terjadilah pertempuran besar, tiga kampung direbut oleh Leto Loe dan sekutunya orang-orang Timor Portugis. Semua rumah adat dengan segala harta benda dihanguskan. Sesudah pertempuran reda, ada perundingan dan tiga kampung yang sudah hangus terbakar dipulihkan lagi. Perdamaian diadakan di perbatasan dengan perjanjian, kedua belah pihak tidak boleh saling menyerang lagi dan Bere Bau yang diberi gelar Bei Buis (Nenek yang ganas) tetap menjadi raja Lakmaras sampai tahun 1941. Sedangkan saudaranya, Leto Loe dibunuh atas perintah Bere Buis. Penduduk DHL hidup aman kembali tanpa ada gangguan musuh baik dari dalam maupun dari luar (Naskah Dinas P & K Propinsi NTT, 2004). Dengan kejadian Lolo Goni’on Tal, masyarakat DHL menderita kehilangan yang sangat besar yaitu kehilangan harta pusaka yang oleh leluhur dibawa dari Timor Leste seperti gong, perhiasan emas dan perak serta berbagai peralatan lain seperti sore (kelewang) dan bat (tombak) pusaka. Mereka kehilangan harta pusaka yang dianggap keramat karena diyakini sebagai warisan yang mempunyai kekuatan gaib dari leluhur yang melekat pada setiap benda peninggalan leluhur itu. Masyarakat DHL memulai lagi suatu peradaban dari titik yang terendah. Rumah-
72
rumah adat dibangun lagi tetapi warisan berupa harta pusaka dalam bentuk hiasan-hiasan emas dan perak sudah musnah.
Gambar 13. Rumah adat suku Buna’. Rumah milik bagsawan di kampung Ekin – Lamaknen Selatan, tetangga desa Henes dan Lakmaras. Rumahrumah dengan ukuran dan tipe yang persis sama inilah yang telah musnah di kampung Henes dan Lakmaras. Sekarang tinggal kenangan dan air mata (Sumber: Agrippina Agnes Bele)
Sesudah malapetaka tahun 1911, masyarakat DHL mulai membangun lagi dan rumah-rumah adat berdiri megah di lolo goni’on. Kebanggaan atas deu hoto (rumah adat) sebagai tempat kediaman yang sarat dengan kepercayaan akan leluhur, roh-roh dan Roh Maha Tinggi 73
ini tidak bertahan lama. Malapetaka baru muncul lagi. Terjadilah lolo goni’on tal ke-dua. Tahun 1911 bisa dicatat sebagai lolo goni’on tal pertama. Kehancuran kedua terjadi pada tahun 1996. Tiga kampung ini hancur total lagi pada tanggal 11 April 1996, dibakar oleh kelompok perusuh dari Timor Timur yang dikenal dengan nama kelompok Fretelin. Menurut saksi mata, Yosef Mali (43), di kampung Henes, mereka terbangun pada pagi hari tanggal 11 April 1996 dalam keadaan panik. Bunyi tembakan terdengar di mana-mana. Penduduk berlarian dalam kegelapan malam sambil menyeret anak-anak kecil masuk ke dalam semak-semak lalu berlari meninggalkan kampung. Waktu matahari terbit, kampung sudah mereka tinggalkan dan dari jauh mereka melihat rumah-rumah terbakar satu demi satu sampai semuanya habis terbakar di tiga kampung itu, Lakmaras, Henes dan Abis. Keesokan harinya, tanggal 12 April 1996, para pembakar kampung itu tidak ada lagi dan beberapa laki-laki dewasa kembali ke kampung dan mendapati jenazah sesama saudara yang mati tertembak dan tergeletak begitu saja di rerumputan. Jenazah mereka dikuburkan secara adat. Orang-orang yang mati pada hari yang naas itu, berjumlah sepuluh orang. Dari kampung Lakmaras, empat orang: Bere Manuel, Tes Legul, Yosef Mali Mau, Mali Rato. Dari kampung Henes, empat orang: Koi Mali, Mali Ari, Markus Mali Mau, Kornelis Bau. Dari kampung Abis, dua orang: Momen Mau Gulo’, Asa Uju. Seluruh penduduk dari tiga kampung ini mengungsi ke Atambua, ibu kota Kabupaten Belu dan dua tahun kemudian baru kembali ke kampung, membangun rumah-rumah sederhana dengan susah payah. Pada tahun 2006 sewaktu penelitian ini mulai dilaksanakan, banyak rumah sudah dibangun tetapi dengan tipe ’melayu’ dan tidak ada satu rumah pun yang dibangun dengan arsitektur asli karena sulitnya memperoleh bahan bangunan berupa tiang-tiang yang harus berasal dari hutan. Sesudah kehancuran total pada tahun 1996 ini, tiga kampung itu, Lakmaras, Henes dan Abis menjadi kampung yang secara fisik berubah sama sekali dengan wajah yang berbeda, dari kampung ’adat’ ke ’kampung melayu’. Penduduk DHL kehilangan segala-galanya, bangunan rumah adat dengan segala kesenian ukiran yang indah dan kaya, lalu satu kehilangan yang sangat menyedihkan, ialah: tiga mot (tempat ibadat 74
umum) di puncak tiga bukit ini dirusak, susunan batu-batu dibongkar oleh tentara untuk kepentingan pembuatan tempat perlindungan dari musuh. Kerugian yang diderita oleh penduduk DHL meliputi kerugian material, kultural dan yang paling parah ialah kerugian religius, dalam arti kehilangan tempat dan sarana ibadah agama asli. Sebagai perbandingan, kerugian besar seperti ini dialami juga oleh desa tetangga, yaitu: Desa Nualain yang mengalami kebakaran seluruh rumah adat yang megah pada tanggal 21 Juni 2008 akibat kebakaran tidak disengaja yang berawal dari satu rumah lalu merambat dan menghanguskan rumah-rumah adat yang lain di puncak bukit Nualain. Kebakaran rumah-rumah adat ini memang tak terhindarkan kalau ada kebakaran di salah satu rumah di dalam kampung karena seluruh atap terbuat dari alang-alang dan ramuan di dalamnya terdiri dari kayu-kayuan yang mudah dilalap api. Desa tetangga yang masih utuh rumah-rumah adat mereka ialah: Ekin dengan rumah adat utama dari suku Mone Goincet yang berdiri megah di samping mot (tempat upacara keagamaan) di tengah kampung dan tipe kampung seperti inilah yang menjadi tipe asli yang sudah hilang lenyap di DHL.
BAKAR AITOS : PATUNG KAYU - LAMBANG LELUHUR Aitos itu patung leluhur yang terbuat dari kayu atau batu dan
biasanya ditempatkan di hutan keramat milik suku rumah tertentu yang seterusnya dijadikan hutan keramat dan dihormati oleh seluruh warga masyarakat desa di mana hutan keramat itu beradaAitos itu patung leluhur yang terbuat dari kayu atau batu dan biasanya ditempatkan di hutan keramat milik suku rumah tertentu yang seterusnya dijadikan hutan keramat dan dihormati oleh seluruh warga masyarakat desa di mana hutan keramat itu berada Seorang tokoh tua dari desa Lakmaras, Bone Bere (almarhum) pada tahun 1957 sudah menyatakan, “Kami ini sekarang jalan telanjang.
Kami punya pakaian asli dibuka paksa. Pakaian baru tidak cocok. Kami tidak bisa pakai.” Pernyataannya ini diungkapkan sesudah seorang Pastor dari Jerman, bernama Pater Ernestus Barth biasa dipanggil Tuan
75
Barth 11 (sudah almarhum),
mengambil kapak dan membelah aitos (patung kayu) yang didirikan di Por Gol (tempat keramat) di atas puncak bukit Lakmaras. Seorang saksi mata yang masih hidup, Paulus Tes, (76) menceriterakan pengalamannya dalam wawancara di Atambua tanggal 2 Januari 2011: “Saya masih kecil pada tahun 1957. Saya yang ambil kapak, disuruh oleh Tuan Barth. Saya takut, jadi ikut saja. Tuan Barth itu orang putih besar, suara keras. Dalam bahasa Buna’ yang lancar, dia bilang, ‘Kamu di Lakmaras ini masih percaya sia-sia. Kamu percaya aitos ini. (patung kayu setinggi manusia dewasa, bahasa Buna’: aitos). Ini salah. Kafir. Kamu punya nenek moyang salah. Bodoh. Tuhan Yesus sudah datang. Harus percaya saja pada Tuhan Yesus. Kamu ikut Misa tiap hari minggu, lalu kamu juga masih potong ayam, lihat ayam punya usus, persembahkan nasi dan daging dalam tenasak (cie goro’, hula ho’on, taka gol inil) kepada roh-roh (pan muk gomo) dan sembah sujud pada aitos ini’. Saya sebagai anak kecil, sama-sama dengan orang tua, diam saja. Kami takut. Hanya satu orang yang bersuara waktu itu, nenek Koi Matas, dia yang bilang, ‘Tuan, kami tidak tahu, tapi kami punya nenek moyang sudah tinggalkan itu untuk kami’. Tuan Barth jawab, ‘Koi, engkau sudah serani toh. Mau percaya kayu dan batu ini atau percaya Tuhan Yesus? Ini salah, percaya sia-sia pada pemali (por hege piar). Mari, kasih api. Saya bakar kayu ini’. Bapak Koi Matas tidak berdaya dan diam saja. Saya sebagai anak kecil, umur belasan tahun, lihat Bapak Koi Matas teteskan air mata. Beberapa orang tua yang hadir, juga ibu-ibu, menangis, menyesal dan takut. Tuan Barth belah patung itu, ambil daun-daun kering dan bakar. Sesudah bakar, Tuan Barth naik kuda dan pulang ke pusat Paroki di Nualain. Kemudian saya dengar, Pak Bere Tallo, tokoh orang Buna’, Loro (raja) Lamaknen, dari kampung Gewal, omong dengan Tuan Barth sehingga aitos di kampung-kampung lain tidak dibakar
Tuan Barth, sapaan umat katolik di Lamaknen untuk Pastor mereka, nama lengkapnya, Pater Ernestus Barth SVD.,(almarhum), seorang imam katolik asal Jerman yang menjadi Pastor Paroki di Nualain, wilayah Lamaknen dari tahun 1949-1953 dan 1957-1985. Ia sangat fasih berbahasa Buna’ sehingga puluhan tahun tetap dipertahankan menjadi Pastor di wilayah suku Buna’ ini. (Informasi ini diperoleh dari P. Yustus Asa SVD, 69, seorang Imam asal desa Lakmaras melalui wawancara jarak jauh, tanggal 13 April 2011). 11
76
lagi. Kalau tidak, di seluruh Lamaknen ini semua aitos pasti dibakar habis.”
Gambar 14 Paulus Tes (71 tahun), saksi mata yang membantu dalam pembakaran aitos (patung leluhur) oleh Pater Barth (seorang misionaris dari Jerman) di kampung Lakmaras pada tahun 1957 Sumber: Eustachius Mali TaE
Masyarakat DHL mengalami perubahan dalam sistem religi mereka sejak masuknya agama Kristen Katolik ke wilayah ini pada akhir abad 19. Masyarakat Suku Buna’ sudah mengenal Agama Kristen Katolik sejak tahun 1875. 12 Pada tahun 1958, lima puluh tahun yang lalu 12 Keterangan ini berasal dari catatan dalam bahasa Belanda oleh Bruder Petrus Laan SVD (Penghimpun), yang kemudian diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru, SVD (Penerjemah). Catatan itu dihimpun dalam buku sejarah Gereja di Timor, tiga jilid. Tentang katolikisasi masyarakat DHL, dicatat dalam buku,
77
(dihitung dari tahun dimulainya penelitian ini, 2008) masyarakat Desa Henes dan Lakmaras, kebanyakan sudah menjadi Katolik, terutama anak-anak dan orang muda. Hanya orang-orang usia lanjut saja yang belum dibaptis menjadi katolik.
Gambar 15 . Bosok (susunan batu) tempat meletakkan persembahan kepada roh-roh dan arwah leluhur (Sumber: Agrippina Agnes Bele)
Sesuai ingatan dan pengalaman penulis (waktu itu penulis berumur sebelas tahun; lahir tahun 1947), pada tahun-tahun itu semua anak kecil sudah dibaptis menjadi katolik dan kalau sudah masuk Sekolah Rakyat, pada tingkat kelas dua SR (Sekolah Rakyat) waktu anak-anak berusia delapan tahun, anak-anak diterima untuk menerima komuni pertama atau sambut baru. Sampai tahun 2008, waktu penelitian ini dilakukan, dua desa ini seluruh penduduknya sudah memeluk Agama Kristen Katolik. Penduduk dua desa ini seratus persen katolik, paling tidak secara statistik. Biarpun begitu, ritus-ritus Agama Asli yang percaya kepada Sejarah Gereja Katolik di Timor, Jilid I, hal.29-31. Dilaporkan bahwa pada tanggal 19 Juli 1875, Pater Dijkman, seorang misionaris dari Belanda, mengunjungi Desa Kewar di wilayah Lamaknen dan membaptis 3 orang anak di Desa itu. Selanjutnya desa-desa lain pun ikut dikunjungi dan di-katolik-kan.
78
Hot Esen (Matahari Yang berada di Ketinggian), sebutan untuk Yang Mahatinggi dan kepercayaan akan kekuatan arwah leluhur atau yang oleh teolog Asia, Aloysius Pieris, S.J., (1988: 54-5) disebut ’cosmic religion’ atau ’agama kosmis’ masih tetap dijalankan di samping ritusritus Agama Kristen Katolik. Perubahan itu ditandai dengan upaya ‘penghapusan’ kepercayaan agama asli mereka, agama Hot Esen 13 dan diganti dengan agama baru, Kristen Katolik yang dibawa oleh misionaris asing dari Jerman dan Belanda. Salah satu upaya penggantian kepercayaan agama asli dengan agama Kristen Katolik adalah dengan kekerasan seperti yang diceriterakan oleh Paulus Tes dalam peristiwa pembakaran aitos (patung leluhur) sebagai sarana ibadat kepercayaan kepada Hot Esen (agama suku atau kepercayaan asli suku Buna’). Ada juga upaya yang halus yaitu dengan mengajarkan inti ajaran Kristen Katolik melalui guru agama asal suku Buna’ sendiri yang menerjemahkan ajaran itu dari bahasa Melayu (Indonesia) ke dalam bahasa Buna’. Perubahan dalam sistem kepercayaan ini berhasil secara lahiriah tetapi tetap tidak berhasil secara bathiniah. Hal ini terbukti dari mayarakat DHL yang sampai sekarang masih tetap berpegang pada unsur-unsur kepercayaan agama asli di samping unsur-unsur kepercayaan dalam agama baru, Kristen katolik.
Dalam seluruh tulisan ini penulis memakai istilah agama Hot Esen untuk menamakan kepercayaan agama asli suku Buna’. Ada berbagai nama untuk kepercayaan agama asli sebagaimana ditulis oleh Rachmat Subagya (Romo W.J.M. Bakker, SJ) dalam bukunya Agama Asli Indoneia 1981, maka untuk agama asli suku Buna’ di Timor ini nama yang terselubung ialah Hot Esen. Maka nama yang paling tepat menuru penulis adalah agama Hot Esen. Asalannya ialah orang-orang Buna’ mengarahkan seluruh kepercayaan mereka kepada Hot Esen dengan arwah leluhur (bahasa Buna’: mugen tata bei mil) dan roh-roh (pan muk gomo) sebagai perantara. Setiap doa asli suku Buna’ selalu diawali dan diakhiri dengan sapaan kepada Hot Esen, yang secara lengkap ada ungkapan, Hot ligi o le esen, artinya, “Matahari, yang terbuka matanya dan bersinar di tempat yang tinggi”. Sebagai perbandingan, penamaan agama Kristen, berawal di Antiokhia (Kis 11:26) karena Barnabas dan Saulus (Paulus) berbicara tentang kepercayaan mereka akan Kristus Tuhan. Maka suku Buna’ yang percaya kepada Yang Mahatinggi dengan ungkapan Hot Esen, wajar dan sah kalau kepercayaan asli mereka itu dinamakan Agama Hot Esen. 13
79
MANEPOU : ANAK MANTU LAKI-LAKI YANG MALANG Laki-laki dari suku Buna’, termasuk di DHL bernasib malang seumur hidup. Waktu hidup sebagai seorang suami, laki-laki suku Buna’ berada di bawah kuasa perempuan, si-isteri. Kalau ia kematian isteri dan menjadi duda, maka laki-laki ini akan kembali ke suku rumahnya sendiri dan di sana menjadi orang asing lagi karena para ponakannya belum tentu akrab dengan dirinya. Pengalaman pria suku Buna’, termasuk di DHL umumnya sama. Adat perkawinan dengan sistem yang mudah dan murah ialah: ton terel. Laki-laki datang dan tinggal di suku rumah isteri. Di kalangan anggota suku rumah isteri ini laki-laki itu disapa oleh saudara-saudari dari isteri dengan sapaan ’kela’ artinya ipar. Orang tua si-isteri menyapa anak mantu ini dengan sapaan ’manepou’ artinya laki-laki baru. Dia datang dan tinggal sebagai orang baru yang statusnya hanya sebagai penumpang karena tidak ada hak atas tanah garapan dan tidak ada hak pula atas anak-anak kandungnya. Tentang nama anak ini ada keterangan dari seorang warga desa Lakmaras, Eustachius Mali Tae yang tinggal di luar desanya dan menetap di Atambua. Ia mempersunting seorang puteri dari Belu Selatan, Maria Ancila Abuki (34) yang berasal dari luar suku Buna’. Anak-anak yang mengikui garis keturunan ibu, diberi nama sesuai dengan nama leluhur dari suku ibu. Ada nama yang khas untuk perempuan dan ada nama yang khas untuk lakilaki. Jadi nama ayah kandung tidak pernah boleh dipakai oleh anak kandungnya sebab si ayah ini dari suku yang berbeda dengan suku si isteri dan anak-anak yang dilahirkan. Ada hal yang ganjil terjadi kalau keluarga yang ’modern’ dari suku Buna’ memberikan nama ayah kepada anak-anaknya. Sebagai contoh, seorang bapa keluarga bernama Yosef Bere. Nama Bere ini adalah nama khas untuk laki-laki dan tidak ada satu pun kaum perempuan asli suku Buna’ yang bernama Bere. Bere itu nama laki-laki. Bukan nama perempuan. Dalam kasus keluarga ’modern’ ini sang ayah memberikan nama kepada anak perempuannya, misalnya, Maria Bere. Nama ini menjadi lucu. Perempuan Buna’ bernama Bere. Aneh. Tetapi itulah perubahan yang diterima sebagai perubahan baru. Tetapi di kalangan suku Buna’ asli, nama perempuan tetap nama untuk
80
perempuan dan nama laki-laki untuk laki-laki. Pemberian nama tidak boleh dari nama ayah ini karena ada alasan mendasar yaitu anak itu anggota suku ibu dan bukan suku ayah.
Kalau ada pertemuan keluarga, si manepou ini hanya menjadi pendengar dan penonton, tidak ada hak suara. Ada ungkapan, manepou itu di rumah isteri hanya berfungsi sebagai tasu hotol gomo (penjaga kuali) yang bertugas untuk masak daging bagi anggota suku rumah yang sedang berkumpul. Kalau isteri meninggal dunia, laki-laki yang sudah menjadi duda ini kembali ke suku rumah sendiri tanpa membawa apa-apa. Dia berangkat dengan pakaian di badan, maksudnya tidak lagi menjadi penggarap kebun milik suku isteri dan anak-anak kandungpun ditinggalkan. Manepou yang malang. Dia memulai hidup baru dan kalau kawin lagi, maka nasib yang sama seperti yang dialami dengan isteri pertama akan dialami lagi. Dia menjadi kela (ipar) bagi orang-orang baru dan menjadi manepou untuk bapa dan mama mantu baru. Kebiasaan ini menyebabkan banyak laki-laki suku Buna’ cukup banyak yang mengambil isteri dari luar suku sendiri. Di pihak lain, laki-laki yang mendapat status sebagai kela atau manepou yang selama perkawinan berlangsung statusnya lebih rendah dari anggota suku rumah si isteri, tetap mempunyai status sebagai tuan rumah di suku rumahnya sendiri. Kalau ada pertemuan keluarga di suku rumahnya, laki-laki ini menjadi tuan rumah atau ada yang menjadi ketua suku (deu gomo matas) dan memperlakukan suami-suami dari para saudarinya dengan cara yang sama sebagaimana dia diperlakukan di suku rumah isterinya.
81
Gambar 16. Pasangan isteri dan suami: Bernadeta Ili dan Yosef Mali. Isteri dari Lakmaras, suku Gelaba’, suami dari Henes suku Maubesi. Suami berpindah ke Lakmaras, kerjakan kebun milik suku Gelaba’, suku si-isteri. (Sumber: Agrippina Agnes Bele)
Seorang suami atau bapa keluarga di kalangan suku Buna’ mempunyai tanggung-jawab untuk memperhatikan anak-anak dari saudari-saudarinya. Dia menjadi baba atau na’i (paman) yang mempunyai kewajiban memberikan jaminan untuk pendidikan para
82
ponakannya. Sedangkan anak kandungnya sendiri menjadi tanggungan baba atau na’i mereka. Ada suami atau bapak keluarga yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh tanggungjawab sambil menanggung pula beban pendidikan para ponakannya. Ini dianggap berlebihan. Kalau si bapak ini membesarkan dan memberikan pendidikan yang baik kepada anakanaknya sambil melupakan para ponakannya, maka laki-laki ini dianggap tidak bertanggung-jawab. Karena anak-anak kandungnya itu bukan warga sukunya, sehingga membesarkan dan mendidik anak kandung sama arti membuat baik suku orang lain dan membiarkan sukunya sendiri terlantar. Kenyataan ini masih berlangsung sampai sekarang dengan alasan, suku itu warisan leluhur, sedangkan isteri dan anak-anak itu hasil usaha sendiri dalam mencari jodoh. Leluhur menuntut dari setiap laki-laki dalam suku untuk menjaga nama baik dari suku sebagai warisan leluhur. Laki-laki yang dianggap berhasil dan bertanggung-jawab adalah lakilaki yang dalam status manepou atau kela di suku rumah isterinya, tetap membesarkan anak-anak dari saudari-saudarinya atau anak-anak dari para ponakan puterinya yang adalah anggota suku sendiri. Setiap laki-laki suku Buna’ dalam tradisi asli tidak terlalu mengaharapkan para kela (ipar) untuk bertanggung-jawab penuh bagi anak-anak mereka karena seorang pria suku Buna’ yakin bahwa para iparnya itu mempunyai tanggung-jawab untuk ponakan-ponakan mereka. Syukur kalau ada kela (ipar) yang memperhatikan juga anakanak kandungnya yang adalah ponakan dari laki-laki deu gomo (tuan rumah). Mata rantai tanggung-jawab yang berat sebelah ini belum bisa diputuskan sampai sekarang biarpun ada intervensi dari pihak pemimpin Gereja Katolik dan Pemerintah. Masyarakat suku Buna’ masih merasa aman dengan sistem ini, hanya ada kecualian bagi para pria suku Buna’ yang sudah berpendidikan. Mereka mulai merobah sistem in dengan cara bertanggung-jawab penuh untuk membersarkan dan mendidik anak-anak kandungnya sambil tidak melupakan kewajiban untuk membantu para ponakan di suku rumah sendiri. Dalam kaitan dengan sistem perkawinan yang melahirkan istilah manepou ini, seorang isteri atau ibu rumah tangga suku Buna’ mempunyai kedudukan yang tinggi dan aman saja biarpun kalau pada satu saat ia menjadi janda. Ia yang kehilangan suami, tetap berada di 83
suku rumahnya tanpa kehilangan apa pun, karena tanah garapan dan anak-anak tetap berada di tangannya. Hubungan dengan keluarga suku mendiang suami hanya sebatas kerabat biasa. Sedangkan para saudara atau saudari dari mendiang suami mengganggap anak-anak dari almarhum ini hanya sebatas gowo (anak) tanpa ada kewajiban untuk menanggung biaya hidup mereka.
MA’AS : PACEKLIK RUTIN Masyarakat DHL yang sekarang ini selalu mengeluh karena mengalami paceklik atau rawan pangan secara rutin setiap tahun. Sewaktu ditanya mengapa mereka mengalami kelaparan setiap tahun, seorang warga dari desa Henes, Yohanes Mau (65 tahun) yang menjabat pamong desa memberikan penjelasan pada Oktober 2010: ”Kami alami kelaparan terus menerus setiap tahun itu bukan karena kami malas. Lihat kami punya tangan ini, kasar karena pegang tofa. Kebun yang kami garap yah, itu-itu saja dari tahun ke tahun. Kami tidak bisa perluas kebun karena kebun itu milik suku, warisan leluhur. Tanah yang kami garap ini tidak subur lagi. Hasil jagung tidak seberapa. Padi lebih tidak subur lagi. Kami bergantung pada ubi-ubian dan kacang-kacangan. Untuk makan sendiri tidak cukup apa lagi untuk jual. Yah, kalau kami panen sekitar bulan April, kami makan dan sekitr Oktober atau Nopember, makanan sudah habis. Jagung sisa untuk bibit dan padi juga hanya untuk bibit saja. Untuk makan, tidak ada lagi. Untung ada raskin (beras untuk orang miskin). Kalau tidak, kami sudah mati semua”.
Tanah ladang sebagai tanah milik suku rumah, mar na’en, luasnya sudah terbatas dan diolah dengan sistim tebas-bakar sehingga memang semakin tidak subur. Jagung sebagai tanaman utama sering tidak bisa dipanen karena rusak entah oleh angin atau oleh curah hujan yang tidak menentu. Padi yang juga ditanam di kebun yang baru dibakar, sering tidak berbulir karena alasan musim atau alasan hama. Tanaman lain yang bisa dimakan hasilnya ialah tanaman tradisional seperti ubi-ubian dan kacang-kacangan. Kacang tanah ditanam untuk dijual. Tetapi ada kacang-kacangan lain yang ditanam untuk dikonsumsi oleh penduduk. Kacang-kacangan itu ada macam-macam. Ho (kacang 84
panjang), tir (turis), pau (sejenis kacang) ada macam-macam mulai dari yang beracun, pau lelo sampai kepada jenis yang tidak beracun, seperti pau uor, pau loi. Semua jenis kacang-kacangan ini ditanam sebagai tanaman sela di ladang tetapi hasilnya tidak seberapa. Lebih banyak hanya sebagai penghias ladang seturut tradisi bercocok tanam yang belum diperbaharui sampai sekarang. Ubi-ubian yang begitu banyak macamnya selain ubi kayu dan ubi jalar, tidak ditanam tetapi dibiarkan begitu saja tumbuh di ladang dan masyarakat sudah puas dengan hasil yang ada. Ubi-ubian yang mudah tumbuh dan dapat menjadi kebutuhan akan pangan tradisional ini sudah ditinggalkan secara perlahan-lahan karena sudah digeser dengan pola konsumsi baru, yaitu beras padi yang didatangkan dari luar pulau Timor. Wilayah dua desa ini sebenarnya cukup luas untuk dijadikan lahan pertanian yang ditanami segala macam tanaman tradisional untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tetapi arus modernisasi yang mengalihkan perhatian penduduk dari ubi ke beras malah ke roti membuat masyarakat DHL semakin tergantung pada dunia luar dalam hal pangan dan juga dalam hal-hal yang lain seperti sandang dan papan. Kain tenun asli sudah diganti dengan kain sarung buatan Jawa. Piring dari kayu sudah diganti dengan piring porselin. Periuk tanah yang biasa mereka buat dari tanah liat sudah diganti dengan periuk besi. Atap rumah alang-alang sudah diganti dengan atap seng. Uang yang mereka peroleh dari hasil ternak seperti kambing, babi, sapi dan kerbau, habis dibelanjakan untuk membeli bahan makanan. Ubi-ubian yang mereka dapat hasilkan sendiri sudah ditinggalkan. Jajan anak-anak sudah beralih dari ubi ke roti yang didatangkan dari kota Atambua yang berjarak 56 km dari Henes dan Lakmaras. Roti yang dibakar di Atambua pada pagi hari sudah tiba di dua desa ini karena pada musim kemarau arus transportasi cukup lancar dengan sarana bis, bemo atau sepeda motor. Masyarakat mempunyai anggapan kalau makan ubi dianggap kolot, miskin. Makan nasi dan roti baru dianggap maju, modern, ikut zaman. Tari-tarian asli pun sudah diganti dengan dansa a la barat. Lagu-lagu barat dan lagu-lagu pop Indonesia sudah menggeser ragam lagu asli. Masyarakat sudah meninggalkan jati diri dalam budaya mereka dan diganti dengan budaya dari luar. Hal-hal inilah yang menjadi pokok
85
permasalahan, mengapa sampai perubahan itu terjadi yang nampaknya ke arah negatif lebih banya daripada ke arah yang positif. Watak dan perilaku satu kelompok masyarakat dapat dikenal dengan baik melalui pengamatan kehidupan sehari-hari mereka. Masyarakat desa Henes dan Lakmaras (DHL = Desa Henes dan Lakmaras) hidup di pegunungan di pedalaman Pulau Timor yang sehari-hari bekerja sebagai petani sederhana ditunjang dengan kegiatan sebagai peternak tradisional. Kelompok masyarakat ini sedang mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman. Kelompok masyarakat DHL ini merupakan bahagian dari suku Buna’ yang menghuni wilayah Timor Barat milik Indonesia dan Timor Leste bahagian Timur. Perubahan kehidupan masyarakat di pedalaman yang terkesan kolot dan statis inilah yang akan dilihat melalui kebiasaan, perangai dan watak dalam kehidupan sehari-hari, untuk diketahui sejauh mana mereka berubah sambil menjaga tradisi leluhur mereka dan sejauh mana mereka meninggalkan tradisi yang mereka warisi sejak turun-temurun.
EN BUNA’ : SUKU BUNA’ Masyarakat Suku Buna’ ini berbahasa Buna’ sebagai salah satu bahasa yang unik karena kesederhanaan kata-katanya dan kesederhanaan tata-bahasanya. Menurut James Fox (2009) bahasa Buna’ ini termasuk dalam rumpun Trans New Guinea yang mempunyai ciriciri yang sama dengan bahasa-bahasa di Papua Barat. Kedua kelompok besar ini yang pertama dinamakan oleh suku sekitar, Buna’ Ewi Belis (kata bahasa Buna’, Ewi Belis artinya orang asing berkulit putih, maksudnya orang Portugal yang menjajah Timor bahagian Timur) dan kelompok kedua di Timor bahagian Indonesia dinamakan Buna’ Olandes (Olandes penglafalan kata Holandes, maksudnya orang Belanda yang menjajah wilayah ini bersamaan dengan penjajahan Belanda di Nusantara). Nama yang lebih lazim yang dipakai oleh orang-orang Buna’ sendiri ialah: Buna’ Hot Taru (hot taru artinya matahari terbit, sebelah Timur) untuk kelompok di Timor Leste dan Buna’ Hot Topa (hot topa artinya matahari terbenam, sebelah Barat) untuk kelompok yang menghuni Timor bahagian Indonesia.
86
Suku Buna’ ini secara umum mempunyai kekhasan dalam hidup berkelompok. Pemimpin Suku Buna’ sekarang ini dikenal sebagai Loro yaitu gelar setingkat di atas Na’i atau raja. Namanya Ignatius Kali. Di kediamannya di Atambua, Bapak Ignatius Kali yang disapa oleh masyarakat dengan sapaan Ama Loro ( bapa loro) didampingi isterinya yang biasa disapa Eme Loro (mama Loro) memberikan keterangan tentang suku Buna’ sebagai berikut: Kami orang Buna’ ini dikenal pekerja keras. Kami hidup di tanah yang tandus, di pegunungan. Kami kerja. Kami tidak banyak bicara. Kami suka terus terang. Musuh ya musuh, kawan yah kawan. Kami terkenal sebagai orang yang berani karena lama hidup di perbatasan antara Timor Portugis dan Timor Belanda. Kalau kami penakut, kami habis. Punah. Kami punya leluhur bertahan karena berani. Kami perang ya perang. Kami punya leluhur usir orang Melus dan tetap bertahan sampai sekarang. Kami punya keluarga yang di Timor Timur (sesama suku Buna’) selalu ada hubungan dan saling berkunjung untuk urusan adat istiadat. Satu-satu kali ada gangguan, tapi itu politik kotor dari orang-orang yang mau cari untung di perbatasan. Ada pencuri yang suka ganggu keamanan di perbatasan. Kalau orang biasa, tidak pernah ribut. Jadi kalau ada pertumpahan darah di perbatasan, bukan permusuhan antara sesama kami orang Buna’. Kami diperintah oleh adat istiadat untuk tidak boleh saling mengganggu apalagi membunuh sesama orang Buna’. Kami semua terikat oleh ikatan darah. Orang lain juga kami tidak boleh ganggu sembarang. Itu ajaran leluhur. Dan kami percaya Hot Esen (’Matahari yang Tinggi’, gelar untuk Tuhan Allah) tidak setuju dengan perbuatan yang menyusahkan orang lain. Kami buat susah orang, nanti orang lain juga buat susah kami. (Wawancara langsung di Atambua, tgl. 2 Januari 2011 ).
Seluruh suku Buna’ yakin bahwa mereka berasal dari satu wilayah yang disebut ’Sina Mutin Malaka’. Daerah asal ini dituturkan dalam setiap upacara adat dan diperkirakan tempat yang dimaksud itu ada kemungkinan Malaka (Malaysia) atau Cina atau kedua-duanya. Menurut ceritera lisan, kelompok suku Buna’ ini berpindah dari wilayah daratan Asia Tenggara menuju pulau-pulau di sebelah Timur akhirnya sampai ke pulau Timor bahagian Selatan. Dari Timor bahagian Selatan 87
ini terus berpindah ke pedalaman dan akhirnya menetap di wilayah pedalaman Timor yang ada sekarang. Dari masyarakat Suku Buna’ ini diambil kelompok masyarakat desa Henes dan desa Lakmaras sebagai sampel dengan alasan, dua desa ini merupakan satu kesatuan yang erat tali kekerabatannya dan menggambarkan ciri masyarakat suku Buna’ secara keseluruhan. Dua desa ini dipilih sebagai sasaran penelitian karena sebagai satu kesatuan adat, dua desa ini sama-sama mengalami perubahan-perubahan (Soerjono Soekamto, 2007, p. 299-300) dari tahun ke tahun. Masyarakat di dua desa ini, Henes dan Lakmaras, selanjutnya disebut masyarakat DHL diyakini sebagai satu rumpun yang berasal dari leluhur yang bersaudara. Oleh karena itulah warga dua desa ini selalu mengatakan bahwa kedua kelompok ini hanya dipisah oleh batas wilayah pemerintahan, tetapi dari segi asal-usul dan adat-istiadat, keduanya adalah satu. Di wilayah Kabupaten Belu, masyarakat suku Buna’ ini merupakan salah satu dari empat kelompok masyarakat yang menghuni Kabupaten Belu. Dari segi besarnya jumlah anggota suku-suku ini dapat dikemukakan berturut-turut: Suku Tetun merupakan suku yang terbanyak anggotanya. Suku kedua adalah suku Buna’, suku ketiga adalah suku Dawan (Manlea) dan suku keempat adalah suku Kemak. Empat suku inilah yang menghuni wilayah Kabupaten Belu yang mempunyai Ibukota Atambua dan Kabupaten Belu ini menjadi Kabupaten terdepan yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Garis batas antara Kabupaten Belu sebagai wilayah Indonesia dengan wilayah Timor Leste ditentukan oleh bangsa penjajah Portugal dan Belanda, sedangkan secara tradisi baik dari segi etnis, budaya dan bahasa, tiga suku di Kabupaten Belu yang masih mempunyai kekerabatan yang sangat dekat sesamanya di Timor Leste, yaitu: Suku Tetun, Suku Buna’ dan Suku Kemak. Oleh karena itulah suku Buna’ yang menjadi subyek penelitian ini tersebar di dua wilayah: wilayah Timor Leste dan wilayah Indonesia di Kecamatan Lamaknen dan Lamaknen Selatan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tengggara Timur (NTT).
88
Peta 3 Peta Kabupaten Belu (Sumber: Pemda Belu 2008)
Kelompok masyarakat DHL dalam kesatuan dengan sesama anggota suku Buna’ berpindah pada pertengahan abad 19 dari sebelah Timur (wilayah yang sekarang ini menjadi bahagian Negara Timor Leste) ke arah Barat, ke wilayah yang sekarang merupakan bahagian dari Negara Republik Indonesia. Wilayah yang ditempati sekarang ini sebelumnya dihuni oleh satu suku yang disebut suku Melus, kelompok suku berbahasa Dawan yang turunannya sekarang ini menghuni 89
wilayah Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan serta Kabupaten Kupang. Dalam tutur adat, kelompok orang-orang Melus (Louis Berthe, 1972) 14 ini masih sering disebut sebagai penghuni yang lebih dahulu menempati tiga bukit yang sekarang dihuni oleh masyarakat DHL dengan sebutan lolo goni’on (tiga bukit). Tiga bukit itu adalah: Lakmaras, Henes, Abis. Ada satu bukit yang lain bernama Siarai tetapi tidak dimasukkan sebagai kesatuan bukit sesuai tutur adat karena bukit Siarai tetap tidak pernah dikuasai sewaktu leluhur masyarakat DHL pertama kali menduduki wilayah ini. Jadi penduduk DHL adalah kelompok suku yang mulai menetap pada pertengahan abad 19, yaitu pada tahun 1859 saat terjadi perang antara suku Melus dengan orang-orang Buna’ sebagai pendatang baru ke wilayah Lamaknen. Sejak saat itu kelompok suku Buna’ menjadi penghuni tetap wilayah Kecamatan Lamaknen sampai saat ini, termasuk kelompok yang menjadi subyek penelitian, masyarakat DHL. Dalam Bab ini kelompok masyarakat DHL akan dilihat dari sudut adat istiadat mereka yang terdiri dari unsur-unsur: adat pergaulan, inisiasi (kelahiran, remaja, perkawinan) dan kematian. Dari unsur-unsur adat ini masyarakat DHL akan dilihat kehidupannya, hal yang mana warisan leluhur yang masih bertahan dan mana yang sudah menjadi campuran dari pengaruh modernisasi.
MOLO A – TEGE REZEL: MAKAN SIRIH - TANDA SALING MENERIMA Adat istiadat merupakan kebiasaan yang hidup dan berlangsung di kalangan satu masyarakat dalam waktu yang lama dan menjadi pola hidup yang ditaati sebagai satu kewajiban dalam berperilaku. Masyarakat DHL sampai sekarang dikenal sebagai masyarakat yang suka 14 Louis Berthe, penulis buku Bei Gua – Itinéraire des ancéstres, Mythes des Bunaq de Timor, Centre de la Recherche scintifique, Paris, 1972, adalah
seorang peneliti dari Perancis atas beaya UNESCO yang mengadakan penelitian selama dua tahun, 1957-1959. Dia adalah peneliti satu-satunya yang meneliti suku Buna’ dari segi Etnologi dan menulis buku Bei Gua, yaitu buku dalam bahasa Perancis yang berisi silsilah leluhur orang-orang Suku Buna’. Sedangkan isterinya, Claudine Berthe membuat penelitian tentang ilmu botani dan menerbitkan buku A Gua – riwayat bahan pangan dan tumbuh-tumbuhan lain menurut pandangan orang Buna’.
90
bergaul dan suka menerima tamu. Kebiasaan menerima sesama ini dinyatakan dalam adat ’molo a’. Dalam bahasa Buna’, molo artinya sirih, a artinya makan. Sirih ( piper betle L atau chavica aurculata Miq ) yang lazim dipakai ialah daun sirih, sedangkan sejenis sirih yang berbuah, buahnya tidak dipakai dalam adat tetapi hanya untuk dimakan biasa saja. Molo a, artinya makan sirih.
Gambar 17. Ibu Theresia Ili, asal kampung Lakmaras, menikah dengan Leo Mali, tetap berpegang pada adat istiadat suku Buna’. (Sumber : Eustachius Mali TaE)
Saling berkunjung di antara sesama warga di dalam kampung, selalu diawali dan diakhiri dengan adat molo a. Kunjungan resmi atau tidak resmi selalu diisi dengan acara molo a ini. Mengapa?
91
Seorang ibu asal DHL yang sudah lama menetap di kota Atambua, bernama Theresia Ili, 15 umur 73 tahun mengatakan dalam wawancara tanggal 4 Januari 2011 di Atambua: Adat molo a itu satu ciri khas kita. Memang orang lain di Timor ini masih ada adat itu juga. Kita hidup ini harus saling menyapa. Tidak bisa saling menyapa dengan kata-kata kosong. Molo, pu, hau, bako, (sirih, pinang, kapur, tembakau) empat barang ini berpasangan. Kita punya orang tua, biar tidak makan sepanjang hari tidak apa, tapi kalau tidak ada molo pu, mereka rasa macam mau mati. Kita punya orang sudah menjadi satu dengan molo pu. Itu sudah menjadi kebutuhan pokok yang paling utama. Karena itulah, menyapa orang, berarti beri hati kepada orang lain, yah dengan beri dari hal yang paling melekat pada dirinya, molo pu itu. Sampai sekarang, biar saya ini dianggap sudah hidup sebagai orang ’kota’, sirih pinang tetap ada dalam rumah, dan siapa pun saja yang datang, saya suguhkan sirih pinang. Dia makan, terserah, tidak makan pun tidak apa. Tergantung dari kebiasaan tamu itu. Tidak bisa paksa. Tapi dari kita, itulah adat kebiasaan kita, menyapa orang.
Kalau kita bertandang ke rumah-rumah penduduk di DHL sekarang ini, kita langsung disapa beramai-ramai oleh tuan rumah mulai dari yang tua sampai yang termuda dengan sapaan, ”Man na baa oe? (Sudah datang?) Tuen helo na man? (Datang sejak kapan?).” Selanjutnya diberi suguhan sirih pinang dan dipersilahkan dengan sapaan, ”Molo a” (makan sirih). Setiap orang Buna’ yang sudah dewasa dan sudah berumah tangga langsung dikenal dengan kebiasaan membawa ke mana-mana tempat sirih pinang. Untuk laki-laki disebut kaluk 16, untuk perempuan disebut rene bako a 17. Kalau ditanya umur seseorang laki-laki pada masa Ibu Theresia Ili Bere lahir tgl. 3 Mei, 1938, di Lakmaras, pernah menjalani pendidikan pembantu perawat di RKZ Surabaya, tamat 1957. Kemudian menjadi pegawai negeri sipil di Atambua lalu pensiun dan menetap di Atambua tetapi selalu ke kampung Lakmaras mengikuti setiap upacara adat. 16 Kaluk, kantung tempat sirih pinang dari kaum laki-laki, terbuat dari kain tenun atau anyaman daun pandan/lontar, diberi tali dan digantung di bahu. Di dalamnya diisi berbagai perlengkapan kecil seperti opa , kuni, hau, turi’ gol (pisau) dan biji-bijian seperti jagung dan kacang-kacangan. 17 Rene bako a, bakul kecil tempat sirih pinang dari kaum perempuan, terbuat dari anyaman daun pandan atau lontar, dibuat berlapis, berisi sirih pinang dan 15
92
lalu dan dia tidak mengingat dengan pasti maka sering dibuat penjelasan, ”Waktu itu saya sudah bawa kaluk”. Itu artinya dia sudah dewasa dan sudah kawin. Kaluk dan rene bako a ini menjadi simbol harga diri seseorang sehingga ke mana-mana selalu dibawa dan kalau beristirahat, selalu digantung di tempat yang layak. Kalau diletakkan di tanah, tidak boleh dilanggar, kalau diambil oleh anak, tidak boleh digoyang-goyang karena diyakini akan membuat pemiliknya pusing. Begitu eratnya kaluk dan rene bako a dengan si pemiliknya sampai saat tidur pun kaluk dan rene bako a ini selalu berada dekat pemiliknya di bahagian dekat kepala, entah diletakkan atau digantung. Tidak pernah boleh diletakkan di bahagian kaki pemilik waktu tidur karena hal itu dianggap menghina atau meremehkan diri pemilik. Kaluk dan rene bako a biasa disebut sebagai melo (nyawa) dari pemilik. Adat molo a menjadi ciri khas pergaulan sehari-hari suku Buna’. Kalau kaum laki-laki dewasa berkumpul, yang pertama-tama dikeluarkan dan diletakkan di depan tamu ialah: kuni 18. Di dalam kuni ini ada sirih dan pinang. Kelengkapan lain ialah hau 19 (kapur), tabung bambu berukir, tempat untuk mengisi kapur. Kapus ini biasa dimakan bersama sirih dan pinang supaya sirih dan pinang menjadi satu dalam mulut dan menghasilkan warna merah. Warna merah dari sirih pinang diartikan sebagai lambang persatuan, keakraban, kehangatan dan kebahagiaan. Kalau seseorang sedang mengalami kesulitan, dia biasa perlengkapan kecil lain. Sering dianyam dengan tambahan hiasan berwarnawarni. 18 Kuni, tempat sirih pinang terbuat dari bambu, milik kaum lelaki, ukuran tingginya satu jengkal, diberi tutupan dan di dalamnya diisi sirih dan pinang. Pada waktu tertentu, dipakai untuk tempat minum sopi atau air. Tutupan kuni ini menjadi tempat isi sopi dan dipertukarkan sopi itu dalam perjamuan adat sebagai tanda mempererat ikatan keluarga atau tanda kesepakatan dalam suatu perjanjian. 19 Hau, artinya kapur yang dibuat khusus untuk kelengkapan makan sirih pinang. Juga dimengerti sebagai tabung tempat isi kapur, terbuat dari bambu berukir, panjangnya kira-kira satu setengah jengkal orang dewasa. Di bahagian penutup dari hau ini digantungkan alat-alat: hau gero’ gie (alat mengambil kapur dari tabung terbuat dari tanduk kerbau atau logam), sael got dewe use’ gie (sikat gigi yang terbuat dari bulu babi yang diikat menjadi satu) dan dewe hota gie (alat tusuk gigi yang dibuat dari tanduk kerbau). Sesudah makan makanan, alat-alat ini langsung dipakai, yaitu dewe hota gie dipakai untuk membersihkan gigi, disusul dengan menyikat gigi memakai sael got dewe use’ gie, kemudian baru mulai makan sirih dan mengambil kapur memakai hau
gero’ gie.
93
mengungkapkan kesedihannya dengan ungkapan, ”Molo a nege mea ni’ ”. (Saya makan sirih tidak merah). Kalau dalam keadaan gelisah dan resah, ada ungkapan, ”Molo a gie sa nimil no man ni’ ” . (Hati saya tidak tenang untuk makan sirih). Untuk kaum perempuan dewasa yang sudah kawin, rene bako a merupakan kelengkapan yang dibawa ke mana-mana. Di dalam rene bako a ini ada opa (senipi), anyaman dari daun pandan atau daun lontar yang terdiri dari tiga lapis dan dibuat pasangan dengan dasar dan tutupan, di dalamnya diisi sirih dan pinang. Opa ini ada dua macam. Opa dalam bentuk kotak segi empat untuk kaum perempuan, dinamakan opa pana (senipi perempuan), dan opa mone (senipi lakilaki) terbuat dalam bentuk pipih untuk kaum laki-laki. Untuk laki-laki, tempat sirih pinang itu bisa berupa opa mone atau kuni, atau duaduanya. Kaum perempuan tidak pernah memakai kuni. Di depan tamu biasanya tersaji baik opa pana, opa mone dan kuni. Semuanya berisi sirih pinang. Kalau tamu sampai saatnya diberi hidangan minuman dan makanan, opa dan kuni ini disingkirkan dahulu. Sesudah makan dan minum, opa dan kuni dikeluarkan lagi sebagai sajian molo pu (pu = pinang) sampai pertemuan selesai. Dengan demikian adat molo a menjadi bahagian sangat penting dalam pertemuan harian orang suku Buna’. Mengapa adat molo a ini begitu sentral dalam pergaulan harian orang suku Buna’? Adat molo a ini sarat dengan berbagai simbol. Pertama, simbol kehidupan, damai dan ketenangan. Tali kekeluargaan dan tali persahabatan ditandai dengan adat kebiasaan molo a (makan sirih). Kalau ada kerenggangan atau perselisihan, biasanya kedua belah pihak tidak saling menegur dan dengan sendirinya tidak saling menyuguhkan sirih pinang. Perseteruan pulih kembali sesudah ada upaya untuk bertemu dan saling menukar sirih pinang dan diadakan adat molo a. Kalau dua pihak saling berseteru, tetangga biasa mengungkapkan, ”Hala’i tie molo a ni nare oa”. (Mereka sudah lama tidak saling menerima untuk makan sirih). Saling menyapa ini biasa ditandai dengan pertukaran sirih pinang. Persaudaraan ditandai dengan adat molo a, perselisihan antara sesama pun diselesaikan dengan adat molo a. Adat peminangan anak gadis juga diistilahkan dengan ’molo pu hatama’ (masukkan sirih pinang) dan ’molo pu lai’ (taruh sirih pinang). Istilah molo pu tomak (sirih pinang utuh) dipakai untuk menjelaskan 94
jumlah belis yaitu ’harga’ perawan dalam bentuk sejumlah uang dan hewan yang diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan yang dianggap masih perawan. Kedua, sebagai tanda kekuatan magis. Molo (sirih) sendiri sudah dijadikan satu simbol kehidupan manusia. Sirih yang mudah hidup dan memanjat di pohon dengan akar yang kokoh baik di dalam tanah maupun yang melekat di batang pohon dijadikan simbol dari kehidupan orang suku Buna’ yang hidup dalam tantangan penuh kekerasan baik dari alam maupun dari musuh-musuh sekitar. Seorang mako’an (ahli adat), Koli Uka (74 tahun, almarhum, meninggal dunia pada tgl. 4 Februari 2010) memberikan keterangan di kampung Abis, wilayah desa Lakmaras, Oktober 2008: ”Sirih itu lambang kehidupan kita. Kita manusia itu tumbuh, merangkak naik dan melekat di pohon. Seperti sirih, kita manusia juga melekat di kita punya tanah, kita punya adat. Kita harus pegang teguh kita punya adat seperti akar sirih yag melekat kuat di pohon. Karena itulah kita punya leluhur suka makan sirih dan sirih itu sendiri beri kekuatan untuk badan. Kami orang kampung ini biar tidak makan makanan tidak apa, tapi tidak bisa tahan kalau tidak makan sirih”.
Anak-anak suku Buna’ yang baru lahir, ubun-ubunnya yang masih lembut ditutup dengan sirih pinang bekas kunyahan (molo ipos) dari mamanya. Kalau terlepas, diganti terus menerus sampai saat anak itu berusia empat puluh hari menjelang acara aru’ koil (cukur rambut). Dengan gumpalan molo ipos (kunyahan sirih pinang) yang ditempelkan di ubun-ubun bayi ini masyarakat DHL yakin bel late (angin jahat) tidak akan masuk ke dalam diri anak bayi. Orang yang sakit keras, biasanya disembur dengan dozul (air ludah) bekas kunyahan sirih pinang atau dioles di dahi, perut dan dada dengan kunyahan sirih pinang oleh orang tua atau agan (dukun). Bekas semburan ludah yang merah ini diyakini sebagai sarana menarik ke luar segala penyakit dari dalam tubuh si sakit dan juga sebagai tanda penolakan terhadap marabahaya baru yang datang dari luar. Setiap upacara penyembuhan orang sakit oleh orang tua atau agan (dukun), sirih pinang selalu dipakai sebagai alat utama. Dalam upacara penyembuhan si sakit, agan selalu menyajikan sirih pinang kepada mugen (roh-roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh 95
penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Mata Hari Yang Tinggi) untuk dimintai kekuatan gaib supaya si sakit diberi kesembuhan. Kalau seseorang mau mencelakakan sesamanya dari jarak jauh, molo ipos (kunyahan sirih pinang) dikeluarkan dari mulut, diletakkan di telapak tangan dan dilemparkan ke arah tempat tinggal orang yang dianggap musuhnya. Sebaliknya, kalau seseorang merasa disakiti oleh seseorang, maka tindakan yang sama dibuat untuk menghilangkan kekuatan pihak lawan. Juga ada cara yang lain, sirih yang sudah dijadikan personifikasi dari orang yang dimusuhi diletakkan di tanah dan ditindis dengan batu. Cara ini dibuat dengan harapan orang yang namanya disebut dan dilambangkan dengan sirih itu mendapat tekanan berbagai malapetaka. Koli Uka memberikan penjelasan: ”Untuk merusakkan kesehatan orang lain atau membalas dendam, orang biasa pakai daun sirih yang yang melambangkan orang yang dimusuhi itu. Cara ini disebut molo geze (tindis sirih). Kalau satu orang, disimbolkan dengan satu daun sirih. Kalau dua orang, dua daun sirih dan seterusnya. Sirih itu ditaruh dalam keadaan telungkup di tanah di persimpangan jalan supaya semua orang tahu bahwa ada orang yang dimusuhi dan ada orang yang sedang memusuhi. Sirih itu ditindis dengan batu ceper kecil. Setiap orang yang lewat dan melihat tanda ini langsung dalam hati turut mengutuk si jahat yang sedang ditindis itu. Dengan tindis sirih di perempatan jalan, kehidupan orang yang dimaksud itu akan susah sampai dia sadar dan datang minta ampun pada orang yang sudah dia celakakan.”
96
Gambar 18. Ketua Suku Gelaba’, Petrus Mau memberikan kaba kepada seorang warga sukunya, Kristoforus Amadeus Bele Sumber: Eustachius Mali Tae
Ketiga, sebagai tanda berkat. Upacara kaba 20 diadakan dengan urapan di dahi, dada dan kaki tangan seseorang dengan dozul (air ludah hasil kunyahan sirih pinang) dan molo ipos (kunyahan sirih pinang) dari makoan (ahli adat) atau en matas (orang tua) untuk mendapat kekuatan dengan tujuan tertentu. Sebelum bepergian jauh, upacara kaba ini dilaksanakan di bosok (tempat upacara rumah suku) atau di mot (tempat upacara umum). Seorang imam katolik, Romo Benyamin Mali, pada asal suku Buna’, sesudah ditahbiskan menjadi imam dan sebelum diutus ke Jawa (Surabaya) pada tahun 2007, menurut ungkapan tertulisnya di internet, masih diupacarakan dengan upacara kaba ini. 21 20 Kaba adalah upacara pengolesan seseorang di dahi, dada dan anggota badan seperti tangan dan kaki agar seseorang mendapat kekuatan gaib untuk memperoleh suatu hasil dalam perjuangan dan terluput dari berbagai malapetaka. 21 P. Benediktus Bere Mali, SVD., adalah seorang imam asal suku Buna’ yang mempunyai perhatian besar terhadap adat istiadat suku Buna’. Dia menulis sebuah buku tentang suku Buna’ dengan judul ‘Kembali ke Akar’. Kutipan di atas ini diambil dari internet: Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB. (Selasa, 20 Juli 2010).
97
Upacara kaba juga dibuat oleh pihak ketua suku malu (suku pemberi mempelai perempuan) kepada suku aibaa (suku laki-laki penerima mempelai perempuan). Tujuan upacara kaba ini adalah permohonan rahmat dari mugen (roh-roh leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Mata Hari Yang Tinggi) agar suku malu mendapat keturunan. Sirih pinang tetap menjadi sarana uama dalam upacara kaba ini. Sirih yang didoakan biasa juga dibawa oleh orang yang didoakan dan disisip di ikat pinggang atau ditaruh dalam tempat khusus. Sirih seperti inilah yang sering diisi di kaluk atau rene bako a.
Mako’an Koli Uka menjelaskan:
”Sirih untuk melindungi orang, biasa ditaruh di dalam opa, tangan diletakkkan di atas lalu didoakan begini: Hot ligi o le esen,
tata bei mil, opi o op gomo, nei nie en lotu bari, gere-gere mal, gua-gua gene, gini hani dai-rai, muk gebu gene, pan giri gene, gini hone hoon, gini u sagal, gini gon libu’, gini giri libu’. Hoeee, nei niol na ba’a, nei nie halon na ba’a. (Terjemahan bebas: Matahari yang selalu bersinar, para leluhur, roh-roh penghuni lembah dan bukit, kami punya orang ini, lindungi dia di manamana, hindarkan dia bahaya, di pelosok bumi di kaki langit, berikan dia rezeki hasil kerajinan tangan dan kaki. Hoeee, (seruan), inilah suara kami, inilah permohonan kami). Sesudah itu beberapa daun sirih diserahkan dan orang itu makan satu atau dua daun, sedangkan yang lain diisi di saku atau disisipkan di pinggang.”
Keempat, sebagai sajian. Daun sirih yang utuh, bagus dan segar diletakkan di dalam uhus (anyaman dari daun pandan atau lontar seperti caping orang Jawa). Uhus yang paling besar dan bagus menjadi tempat sirih untuk Hot Esen. Kepada mugen ( arwah leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh), disiapkan sejumlah uhus yang lebih sederhana sebanyak leluhur dan roh-roh yang mau disapa. Sirih yang sudah diletakkan dalam uhus ini didoakan lalu diletakkan di tempat-tempat sakral tempat yang diyakini sebagai tempat hunian arwah dan roh-roh, atau kalau tempat yang dimaksud itu jauh, maka sirih itu dibawa ke sungai dan dibiarkan dibawa oleh aliran air. Kalau berziarah ke kubur sebagai tanda persatuan dengan arwah keluarga yang sudah meninggal, sirih yang dibawa dari rumah 98
diletakkan di kubur-kubur. Untuk keluarga yang makamnya jauh, sirih diletakkan di persimpangan jalan atau diletakkan dalam air yang mengalir di sungai supaya dibawa ke tempat yang jauh itu malahan ke seberang lautan. Jenazah dari orang tua yang sangat dihormati, entah laki-laki atau perempuan, biasanya disemayamkan berhari-hari dan dijaga oleh kerabat dan warga masyarakat sekitar dengan berbagai macam holon (ratapan), bai to’an (tutur adat) dan kawen (lagu hiburan untuk berjaga). Pembantaian hewan terus diadakan. Saat yang paling dinantikan oleh segenap kaum keluarga ialah saat buih ke luar dari mulut jenazah. Waktu itu semua kaum keluarga berada sedekat mungkin dengan jenazah karena buih yang ke luar itu diyakini sebagai sapaan dari almarhum/almarhumah yang mau meninggalkan kesaktiannya kepada kaum keluarga. Daun sirih yang utuh dicelupkan pada buih ini dan dibagikan kepada segenap anggota keluarga mulai dari yang tertua sampai yang termuda. Sirih itu disebut molo mami (sirih yang harum) dan sesudah diterima, disimpan untuk dibawa ke mana-mana sebagai kenangan pada si mati. Menurut penjelasan dari Kela Berek (78 tahun) seorang ketua suku dari Lakmaras (sudah almarhum, meninggal tahun 2009) dalam wawancara tahun 2008 di Atambua: ”Molo mami (sirih harum) itu lambang orang mati. Kalau ada orang yang hampir mati, ada tanda, kita biasa cium bau mayat, dan itu kita bilang kita cium molo mami. Kalau orang mati itu orang tua dan sayang kita anak-anak dan cucu-cucu, kita dekat dia punya mayat, kita minta dia bicara, dia jawab dengan keluarkan buih dari mulut. Kalau dia marah satu anak, biar anak itu minta setengah mati, buih tidak ke luar. Kalau dia suka anak atau cucu, waktu anak atau cucu itu dekat dia punya jenazah, pasti buih ke luar. Dan buih itu diambil dengan celupkan daun sirih supaya bisa disimpan. Dahulu waktu kami masih kecil, ada kebiasaan, sirih yang dicelupkan itu dimakan sebagai tanda terima roh dan kekuatan dari orang yang mati itu dalam kita punya badan. Tetapi kemudian sesudah banyak anak mulai sekolah, cara itu tidak dibuat lagi. Hanya celup saja daun sirih dan simpan, tidak makan lagi.”
99
Mola a dengan segala falsafah hidupnya ini merupakan salah satu ciri khas dari suku Buna’ di DHL yang masih dipraktekkan sampai sekarang. Namun pelaksanaannya sudah banyak diwarnai oleh berbagai tafsiran dan pengaruh dari ajaran kristen yang dibawa oleh misionaris Gereja Katolik. Mengapa masih bertahan dan sampai kapan akan bertahan merupakan bahan kajian lebih lanjut dalam penelitian ini.
HOTO TUKA : KELAHIRAN ANAK Kelahiran seorang anak di kalangan suku Buna’ diterima dengan gembira dan diadakan upacara adat yang masih kuat berakar. Tahap pertama, ialah upacara hoto sau (pemberkatan api). Si ibu yang melahirkan berada dekat perapian di dalam rumah adat dan tetap tinggal di situ selama empat puluh hari. Urusan mandi dan buang air besar pun dilaksanakan di tempat ini karena tempat melahirkan itu adalah tempat khusus, namanya dil. 22 Struktur rumah adat itu adalah rumah panggung sehingga semua kotoran jatuh ke bawah dan dibersihkan oleh hewan piaraan seperti babi dan anjing yang bebas berkeliaran di kolong rumah. Untuk api yang dinyalakan dekat ibu bersalin itu sudah disiapkan kayu khusus, yaitu kayu kesambi yang kuat dan dipotong dari batangnya oleh ayah si bayi. Kayu ini sudah dipotong beberapa bulan sebelum kelahiran bayi. Kalau bayi sudah lahir, ke dalam api yang menyala itu ditaruh bulu kambing, bulu ayam dan kulit kacang sayur (sejenis kacang yang bisa dimakan). Menurut Lal Gomo Koli Uka, tiga jenis barang yang dibakar ini dimaksudkan untuk menyucikan api itu supaya asapnya murni dan panasnya api itu berguna untuk kesehatan ibu dan anak. Tiga jenis barang yang dibakar itu juga melambangkan segala kotoran yang harus dihilangkan dan tidak lagi melekat pada tubuh ibu yang melahirkan. Pembakaran tiga macam benda ini merupakan pemberkatan api dan sekaligus sebagai lambang pembersihan diri si ibu dan si bayi. Tahap kedua, ialah: ginil gin. Pemberian nama anak. Ke dalam api yang sudah disucikan itu dimasukkan mok luan (pisang mentah kulit 22 Dil adalah ruang seluas dua kali dua meter di dalam rumah adat sebagai sambungan dari lor (tempat tidur umum yang luas di dalam rumah adat). dekat perapian tempat ibu melahirkan.
100
hijau yang disebut dengan nama ’Luan’, nama leluhur yang pernah menjadi sejenis pisang itu). Sesudah matang, pisang ini dimakan oleh ibu yang bersalin dan sementara itu seorang wanita yang tertua dalam suku menyebut nama-nama leluhur. Penyebutan nama leluhur dengan harapan si-bayi menyusui ini, disebut, su ata ginil gin (penyebutan nama saat menyusui). Kalau bayi wanita, disebutlah nama-nama leluhur wanita. Kalau bayi laki-laki, disebutlah nama-nama leluhur laki-laki. Sewaktu salah satu nama yang cocok terdengar dan bayi itu mulai menngerakkan kepalanya untuk menyusu, maka nama itulah yang diberikan kepada si bayi itu. Sebagai contoh, kalau nama yang disebut untuk bayi perempuan itu ’Bete’, maka perempuan tua itu akan berkata, ”Bei Bete, eto man na baa oa, nei ege dapu’ sei, ege duhin sei.” (Nenek Bete, engkau sudah datang, kami terima di pangkuan kami, di gendongan kami). Semua yang hadir bergembira menerima leluhur mereka, Bete, yang telah datang dalam diri anak yang baru lahir sebagai anggota baru dalam suku. Tahap ketiga: ukur sagal. Pada tahap ini sepasang suami isteri yang dianggap orang yang berwibawa dalam suku pergi ke ladang dan memetik sayuran atau memotong pisang muda untuk dibawa pulang dan direbus. Sesudah hasil petikan di ladang ini dibawa pulang, para ibu memasak makanan untuk dimakan bersama. Seekor ayam jantan dibunuh untuk diperiksa ususnya guna mencari tahu jalan hidup anak ini kelak. Hasil dari pencaharian nasib dan ramalan untuk masa depan ini dibicarakan dalam suku dan kepada ibu dan ayah dari anak itu diberi pesan-pesan untuk memelihara anak ini secara baik-baik sambil memperhatikan segala nasihat yang diberikan, terutama oleh kedua suami-isteri yang pergi ke ladang untuk memetik sayur yang selanjutnya bertindak sebagai bapa-mama angkat untuk anak yang baru lahir itu. Tahap keempat: uor sait a (makan sayuran gatal). Hasil dari kebun yang dimasak dimakan oleh ibu sang bayi. Uor sait (sayuran gatal) maksudnya ibu dari bayi itu boleh memakan berbagai makanan yang tidak dilarang demi kesehatan itu sendiri dan demi kesehatan bayi. Diharapkan air susu ibu menjadi sehat untuk bayi dan cepat besar tanpa gangguan penyakit. Pada saat ini, di pergelangan tangan bayi digantungkan sebuah anyaman dari pandan, disebut kau’ (adik) sebesar kelingking anak kecil, panjangnya sekitar lima sentimeter, dengan 101
maksud kau’ (anyaman) itu menjadi tiruan manusia kecil yang menjadi penghalang segala macam serangan angin jahat. Kalau ada angin jahat, bayi tidak langsung terserang karena tertahan oleh kau’ (anyaman) yang terikat dan tergantung di pergelangan tangan. Kalau bayi sudah besar, kau’ ini diganti dengan hiasan perak berupa satu mata uang perak atau belak (mata uang perak yang ditempa menjadi kepingan tipis berbentuk bulatan bergaris tengah sekitar lima sentimeter) yang diberi lubang di pinggirnya dan digantungkan di leher. Kalau anak puteri, sesudah satu atau dua minggu, cuping telinganya dilubangkan dan hiasan perak atau emas yang disebut karobu atau kawata (anting-anting) digantungkan sebagai kelengkapan hiasan yang digantungkan pada leher. Semuanya ini mempunyai makna sebagai alat penolak bala. Acara uor sait a (makan sayuran gatal) ini ditutup dengan pembahagian makanan kepada semua suku tetangga untuk memaklumkan kelahiran bayi, anggota baru dalam suku. Ada utusan khusus dari keluarga ditugaskan membawa lama’ (bahagian) berupa pisang rebus, nasi sedikit dengan irisan daging ayam yang diisi dalam taka (tanasak, anyaman dari daun pandan) dan oril (kuah daging) dalam tulak gol (tabung bambu kecil yang diberi tutupan) dan diantar kepada suku bein pana (raja perempuan) dan bein mone (raja laki-laki). Utusan ke dua suku ini diberi pesan untuk menyampaikan kata-kata berikut: Bein pana o bein mone, Ie mila en, ie en lotu, laba ni oa, loren ni oa, Hoto tuka oa, il wi oa, Bei pana, bei Bete bi, Bai na taru dinil dele man. Terjemahannya: Bangsawan perempuan dan bangsawan laki-laki, Hamba dari baginda, rakyat dari baginda, Sudah di tempat terang, di tempat lapang, Sudah dekat api, sudah minum air, Nenek perempuan, nenek Bete itu, Dia yang datang memberi namanya.
Artinya: Yang mulia, Ibu dan Bapa Raja, Seorang anak sudah lahir,
102
Sebagai rakyat dari Ibu dan Bapa Raja, Dan anak ini diberi nama Bete. (perempuan)
Tahap keempat: aru’ koil (cukur rambut). Upacara ini dilaksanakan pada waktu anak itu mencapai usia empat puluh hari. Seluruh kaum keluarga dikumpul dan dibunuh seekor babi besar. Darahnya dioles pada dahi anak yang diupacarakan lalu dagingnya dimasak tetapi kepala babi itu diberikan kepada saudara dan saudari kandung dari ayah dari si bayi. Mereka menerima kepala babi ini dan menggantinya dengan selembar kain tenun yang besar untuk menyelimuti bayi. Tiap-tiap ibu dari keluarga si ayah biasa memberikan selimut sehingga banyak selimut terkumpul saat itu untuk bayi tersebut. Di samping itu kaum keluarga ini memberikan seekor sapi atau kuda kepada bayi itu sebagai lambang harta untuk menjadi bekal hidup nanti. Dengan rangkaian upacara ini seorang anak suku Buna’ bertumbuh dan menanti saatnya untuk berumah-tangga. Adat perkawinan menjadi saat didirikannya satu keluarga baru dalam suku. Di desa Henes dan Lakmaras adat ini masih dilaksanakan dengan beberapa penyederhanaan atas pertimbangan waktu dan tenaga. Inti dari tiap tahap tetap dilaksanakan dengan perpaduan beberapa tahap, misalnya aru’ koil (cukur rambut) sudah disatukan dengan saat syukuran sesudah anak diterima dalam Gereja Katolik melalui penerimaan Sakramen Baptis. Waktu itu sanak saudara diundang untuk melaksanakan acara cukur rambut sekaligus mengundang Guru Agama Katolik untuk berdoa secara katolik sambil tetap mengenangkan arwah para leluhur. Di sini ada perpaduan tetapi nampaknya masih terpaksa karena Guru Agama Katolik tetap tidak mau mengambil peranan dalam acara hidangan sirih-pinang dan daging ayam untuk leluhur, sedangkan orang tua tetap melaksanakan ini dengan alasan, adat leluhur harus dilaksanakan kalau tidak leluhur bisa marah.
TON: PERKAWINAN Adat kebiasaan lain yang masih kuat berakar dan masih dipraktekkan beberapa bahagiannya, ialah adat ton (kawin). Perkawinan di kalangan suku Buna’ ada dua macam, satu yang asli dan satu yang merupakan penyederhanaan dari yang asli itu. Yang asli ialah 103
sul suli’ dara (tegakkan tombak dan kelewang) dan yang disederhanakan ialah ton terel (kawin biasa) 23. Menurut Makoan Koli Uka dan dikuatkan keterangan dari Loro Lamaknen, Ignatius Kali, upacara perkawinan sul suli’ dara itu merupakan upacara adat perkawinan yang asli, dalam arti mereka sendiri masih menyaksikan upacara ini sewaktu mereka masih kecil sekitar tahun 1950-an. Perkawinan sul suli’ dara pada dasarnya dilangsungkan antara pemuda dari suku Aiba’a (suku pemberi laki-laki) dan pemudi dari suku Malu (suku pemberi perempuan). Sul suli’ dara sendiri mempunyai makna: laki-laki mentancapkan tombaknya dan menggantungkan kelewang di depan rumah sebagai tanda kehadiran dan tanda perlindungan terhadap isi rumah, isteri dan anak-anak. Kalau perkawinan terjadi di luar hubungan ini, hubungan malu – ai (suku malu dan suku ai) maka hubungan itu disebut hubungan antara dua pihak yang berasal dari leo legul (pekarangan yang jauh) artinya, kedua calon mempelai itu kaum keluarganya tidak mempunyai hubungan adat istiadat atas dasar malu-ai. Dan kalau dua suku ini tidak ada hubungan malu-ai, maka dengan adanya perkawinan dengan sistim sul suli’ dara, maka terjalinlah satu hubungan malu-ai baru. Dalam adat perkawinan sul suli’ dara ini keluarga calon mempelai laki-laki dan keluarga calon mempelai perempuan berada di tingkat yang sama, tidak ada bangsawan tidak ada rakyat jelata. Hubungan bangsawan dan rakyat itu dikenal hanya dalam urusan nigi – bokal (pemerintahan )secara adat. Dalam perkawinan sul suli’ dara ini ada persamaan derajat, dengan catatan, suku perempuan dianggap lebih tinggi karena mereka dilihat sebagai pihak yang akan memberikan keturunan, melahirkan anak. Adat perkawinan sul suli’ dara mempunyai tahap-tahap yang harus dilalui satu demi satu. Semuanya ada dua puluh empat tahap.
Keterangan ini diperoleh dari catatan Bpk. A.A. Bere Tallo bersama Bpk. Lorens Bere (penjaga rumah adat di Kewar) tgl. 22 Januari 1987 di Weluli, dibandingkan dengan informasi dari Makoan Koli Uka di Abis dan Bpk. Anis Mau, fetor Henes yang diberikan kepada peneliti pada bulan Oktober 2008. 23
104
Pertama: Sigal saen. (Menggantungkan tanda). Acara ini dapat dikatakan sebagai acara melamar atau memasukkan lamaran. Pihak keluarga laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menyatakan maksud mereka sambil membawa satu keping uang emas dan satu keping uang perak. Istilah adatnya, buleen uen, belis uen (satu merah/emas dan satu putih/perak). Kalau lamaran ini diterima, maka pihak keluarga calon mempelai perempuan akan membalas dengan dua lembar kain tenun asli. Kedua: bora pil zewen. (Membentangkan tikar). Pada hari yang ditentukan, keluarga laki-laki datang lagi dan membawa buleen uen, belis uen sebagai tanda siap untuk memasukkan ‘molo pu tomak’ (sirih pinang utuh). Pemberian uang ini dibalas lagi oleh pihak wanita dengan satu lembar selimut. Ketiga: ta’ o turi’. (kapak dan parang). Upacara bora pil zewen kalau disepakati, langsung disusul dengan upacara ta’ o turi’, sebagai suatu pernyataan bahwa calon mempelai laki-laki sudah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengambil calon mempelai perempuan dan menjamin hidupnya di dalam suku laki-laki. Ta’ o turi’ itu lambing kemampuan laki-laki untuk mencari nafkah dengan bertani. Pernyataan kesediaan menjamin si calon mempelai perempuan ini ditandakan dengan pemberian buleen uen, belis uen yang dibalas lagi dengan satu lembar kain tenun. Biasanya dituntut kain tenun hasil karya tangan si calon mempelai perempuan sendiri sebagai jawaban bahwa sang calon mempelai perempuan juga sudah mampu untuk menenun dan menganyam yang merupakan tanda kedewasaan seorang puteri dan siap untuk dikawinkan. Keempat: bei gotin. (Membangunkan leluhur). Dalam upacara ini pihak keluarga laki-laki memberikan 7 keping perak dan pihak perempuan membalasnya dengan satu lembar kain tenun. Dengan upacara ini persetujuan kedua keluarga besar dilaporkan kepada leluhur agar para leluhur memberikan doa restu. Seorang tua adat mengucapkan doa ini: Hoee, tata o bei mil, ubuk hilo’on, alel hilo’on bari, Gita don lai, gita dimil uku. Gege hegil koen, gege huruk o bulas; gua-gua gene, gere-gere mal; gini deu kae’, gini hoto kae’.
105
(Artinya: O, para leluhur, inilah kedua turunan kamu, kedua cucu kamu ini; taruh tangan atas mereka, tiarap di atas mereka; beri naungan yang rindang, beri restu dan rahmat; ikuti mereka terus, dampingi mereka terus; jadikan mereka berketurunan yang penuhi rumah dan penuhi suku).
Kelima: mapo tesi, watan lotu’. (potong bambu untuk perian tempat isi air dan potong batang kayu). Upacara ini mempunyai makna penghargaan pihak laki-laki terhadap kecapaian ayah dari calon mempelai perempuan yang telah membesarkan puterinya. Penghargaan itu dinyatakan dengan pemberian seekor hewan jantan besar, entah kerbau atau kuda yang diberikan kepada ayah si perempuan. Pembalasannya dalam bentuk satu helai kain tenun. Keenam: bokan o nalas. (periuk belanga dan bejana tempat memandikan bayi). Istilah ini melambangkan kecapaian ibu dari anak perempuan sewaktu melahirkan. Penghargaan diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk satu untaian pe’ (muti atau morten, untaian manik-manik yang sangat berharga) kepada ibu dari anak perempuan dan dibalas dengan satu helai kain tenun. Ketujuh: Su mamal, su soat (susu yang lembut dan susu yang kental). Upacara ini melambangkan kecapaian ibu dalam membesarkan anak puterinya dari kecil sampai mencapai usia dewasa. Kepada sang ibu diberikan oleh pihak laki-laki satu belak buleen (pelat emas). Pemberian ini pun dibalas dengan satu helai kain tenun. Kedelapan: gubul o gewe’el (kepala dan dagu). Upacara ini mempunyai arti penghargaan terhadap diri si gadis, calon mempelai wanita. Anak gadis ini dihargai dengan satu pe’ (untaian manik-manik) atau satu belak buleen (pelat emas) dan sepuluh keping mata uang perak dan dibalas dengan satu helai kain tenun. Kesembilan: lor wa, lor bul. (ruang atas dan ruang bawah dalam rumah). Upacara ini melambangkan tempat persembahan kepada leluhur dalam rumah adat yang akan segera ditinggalkan oleh calon mempelai perempuan. Pemberian dalam bentuk bule’en uen, belis uen, bataka sogo (satu keping emas dan satu keping perak, sepuluh keping uang perak) diberikan kepada suku rumah yang diwakili oleh perempuan tertua dalam rumah dan keeping-keping uang ini akan disimpan di dalam tubis (keranjang anyaman dari daun pandan) sebagai 106
persembahan diri anak perempuan yang akan segera meninggalkan rumah adatnya berpindah ke rumah adat yang baru. Keping emas dan keeping perak dengan mata uang logam ini disimpan terus dan tidak pernah boleh dikeluarkan untuk urusan apa pun, karena dinilai sebagai pana gobol (alat kelamin perempuan). Kesepuluh: tazu’ lor, tazu’ hoto (pintu depan dan pintu belakang dalam rumah adat. Rumah adat suku Buna’ sebagai rumah panggung hanya mempunyai dua pintu). Upacara ini melambangkan rumah suku, dan pemberian oleh pihak laki-laki berupa satu emas dan satu perak yang akan diberikan kepada suku malu dari suku anak perempuan. Pemberian ini dibalas dengan sehelai kain tenun. Mata uang ini akan diserahkan kepada pihak malu (suku pemberi wanita) untuk memberitakan bahwa salah seorang anak perempuan mereka akan dipindahkan ke suku yang baru. Kesebelas: sul o suli’ (tombak dan kelewang).
Gambar 19. Sul atau Bat (Tombak) Panjang : 160 cm
107
Gambar 20. Suli / Sore (Kelewang) Panjang : 120 cm
Upacara ini diartikan sebagai lambang harta pusaka berupa senjata tombak, kelewang milik leluhur yang dipakai untuk membela keamanan suku yang akan segera ditinggalkan oleh sip uteri dengan harapan dia tetap aman di rumah suku yang baru. Pemberian pihak lakilaki dalam bentuk satu keping emas dan satu keping perak dibeikan kepada suku si anak perempuan sebagai tanda bahwa anak perempuan ini akan terus dijaga keamanannya di suku yang baru. Pemberian ini pun dibalas dengan sehela kain tenun. Keduabelas: mar kintal (ladang dan taman). Upacara untuk melambangkan perpisahan sang pemudi dengan lading dan taman yang akan segera ditinggalkan. Pemberian pihak laki-laki dalam bentuk buleen uen belis uen. (satu keping pelat mas dan satu keping pelat perak) diberikan kepada suku perempuan dan dibalas dengan satu helai kain. Ketigabelas: tel wese (berbagi kuburan). Upacara ini melambangkan perpisahan mempelai wanita dengan kuburan para lelihurnya dan siap untuk dikuburkan di pekuburan suku suami. Mempelai perempuan dihantar oleh para wanita tua dalam suku ke kuburan yang biasa ada di halaman rumah. Ratap tangis pilu terdengar 108
pada waktu ini. Upacara tel wese ini dapat berlangsung berjam-jam sampai ada tua adat datang menghentikan ratapan para ibu yang seolaholeh meratapi jenazah sungguhan. Pihak laki-laki memberikan dua keping perak sebagai tanda dino (air mata) dibalas oleh pihak perempuan dengan satu helai kain tenun dan satu ekor babi. Nanti babi ini akan dibawa oleh pihak mempelai laki-laki untuk dibunuh dan darahnya disiram di pekuburan dari suku laki-laki sebagai tanda permohonan restu dari leluhur. Keempatbelas: saki o zi’. (belah dan garis). Upacara ini diadakan di depan rumah di mana seorang laki-laki tua membuat garis di tanah dengan ujung tombaknya sebagai tanda peletakan garis batas antara kedua suku yang meskipun berjauhan tetapi tetap erat bersatu dan saling membantu setiap saat dibutuhkan. Anak perempuan mereka diserahkan ke suku yang baru, terpisah dari sukunya sendiri dan dia diaykinkan bahwa tetap akan dilindungi oleh suku asalnya kalau terjadi sesuatu yang akan mecelakakan dirinya di kalangan suku yang baru. Dalam upacara ini pihak laki-laki memberikan satu pelat perak dan dibalas dengan satu kain tenun dan seekor babi oleh pihak keluaga perempuan. Kelimabelas: piral no’ topol (beras dijatuhkan). Sumbangan dari pihak laki-laki berupa beras secukupnya dan seekor hewan untuk ditambahkan pada persediaan dari pihak perempuan guna menjamu semua kerabat dari suku malu yang datang. Pembahagian antara keluarga laki-laki dan perempuan dibuat seimbang. Keenambelas: ope ganal tol. (tangkai labu putus). Upacara ini dilambangkan dengan istilah ope ganal tol artinya ‘tangkai labu diputuskan’, hubungan antara sip uteri dilambangkan dengan ope (labu) yang dipetik dan dipindahkan ke suru baru. Pihak laki-laki memberikan dua pelat emas kepada pihak suku perempuan sebagai ganti diri si gadis. Ketujuhbelas: sael ope. (babi dan labu). Ini lambang barangbarang yang dikumpulkan untuk menjamu para tamu dari kedua belah pihak dan dari pihak laki-laki menyumbangkan seekor kerbau dan pihak perempuan menyumbangkan seekor babi. Dua hewan ini dibantai untuk perjamuan pesta kawin di rumah mempelai wanita sebelum dia dibawa ke rumah mempelai laki-laki. Kedelapanbelas: pe’ naran, pe’ tilu’. (kalung manik-manik sebagai hiasan di leher mempelai wanita). Pihak suku malu dari suku 109
perempuan mengalungkan dua utas pe’ (kalung manik-manik) di leher mempelai perempuan dan ditampilkan di depan keluarga yang akan ditinggalkan dengan tujuan untuk memamerkan kekuatan harta sukusuku keluarga perempuan bahwa puteri mereka tidak dibiarkan han minak mele (jalan kosong) agar laki-laki tidak meremehkan anak perempuan ini sekaligus untuk menjadikan mempelai wanita sebagai wanita yang gerhormat di suku yang baru dan di masyarakat. Atas dasar isi dari upacara yang satu inilah seorang mempelai perempuan disebut momen pana (perempuan yang dituakan) dengan gelar liurai lotu (ratu kecil) di kalangan suku yang baru. Sebaliknya, mempelai laki-laki disebut momen mone (laki-laki yang dituakan) dengan gelar sul suli gomo (pemilik tombak dan kelewang) yang berarti pelindung bagi isteri dan anak-anak. Kesembilanbelas: depal gie naran, depal gie tilu’. (anting-anting di telinga). Keluarga perempuan dari suku malu mengenakan antinganting mas di telinga mempelai perempuan. Ini sebagai tanda anak perempuan ini biarpun sudah di tempat baru yang jauh, tetap dikenal dan dikenang sebagai puteri mereka yang menjadi pengerat tali kekeluargaan. Waktu wanita yang dituakan dalam suku mengenakan anting-anting di telingan mempelai wanita, dia berkata, “bari hani gepal hini tol, giral hini bulu’ (dia ini jangan dibiarkan telinganya putus, matanya buta), artinya: kesehatan badan dan keselamatan hidup dari anak ini harus tetap dijaga. Atas dasar inilah kalau terjadi pemukulan atau penganiayaan si-isteri sampai ada bengkak atau darah mengalir, maka seluruh suku asal dari keluarga perempuan akan tetap bertindak dengan mengenakan denda yang sangat berat kepada laki-laki dan keluarga mereka. Denda adat ini disebut ‘gepal tutan, pe hinal kabun’ ( sambung telinga kembali dan membalut bengkak dan luka). Dengan demikian mempelai perempuan sangat dihormati dan disegani di keluarga baru dan jarang terjadi ada penganiayaan terhadap si-isteri yang diambil secara adat sul suli’ dara. Keduapuluh: kira o bian (alat pemintal benang: kayu penggulung kapas dan piring kecil tempat kayu itu diputar sewaktu kapas dipilin menjadi benang). Pihak suku malu dari pihak perempuan menghadiahkan belak bule’en hilo’on (dua pelat emas ) kepada mempelai perempuan sebagai tanda perlengkapan alat tenun untuk mencari rezeki bersama suaminya di tempat yang baru. 110
Kedua puluh satu: sawe sepak (sisir piñata rambut). Keluarga malu dari suku perempuan memberikan sebuah sisir terbuat dari emas dan ditaruh di rambut mempelai perempuan sebagai lambang untuk tetap berdandan mengikuti pesta-pesta dan tanda bahwa diri perempuan itu adalah perempuan yang terhormat dana bermartabat. Kedua puluh dua: zap nokar, cie nokar (anjing dan ayam penjaga pintu masuk). Keluarga perempuan memberikan sungguh-sungguh seekor anjing dan seekor ayam sebagai lambang untuk menjadi perempuan yang rajin dan tetap berjaga untuk kepentingan keluarga baru. Kedua puluh tiga: pau pa’e golo’ (tempat memetik kacang tali). Keluarga perempuan menyerahkan sebidang ladang untuk diolah oleh mempelai perempuan bersama suaminya. Ladang seperti ini menjadi milik suku yang baru dan suku yang lama melepaskan dari kepemilikan awal. Upacara ini ditandakan dengan pemberian segumpal tanah dan diberikan kepada mempelai laki-laki disaksikan oleh mempelai perempuan. Kedua puluh empat: opa tutul gie, rene pin gie. Upacara ini merupakan simbol ditentukannya seorang pengiring, entah seorang anak atau seorang dewasa (adakalanya seorang hamba) untuk menemani mempelai wanita pergi ke rumah laki-laki dan tinggal menjadi anggota suku laki-laki. Pihak laki-laki membalasnya dengan pemberian seekor hewan, entah kerbau atau kuda. Tahap kedua puluh empat ini merupakan tahap yang terakhir. Proses pengurusan perkawinan ini memang sungguh berbelit dan melelahkan tetapi sudah ditetapkan demikian sehingga proses ini sangat mengeratkan hubungan kedua suami-isteri dan dengan sendirinya hubungan kedua suku menjadi semakin akrab. Sesudah semua tahap ini diupacarakan di rumah suku mempelai perempuan, maka resmilah kedua insan itu disatukan sebagai suami isteri dan para anggota suku dari pihak laki-laki mempunyai hak untuk mengarak pengantin perempuan yang berhias meriah ke rumah suku mereka dengan lagu-lagu dan tari-tarian sepanjang jalan. Warga yang lain dalam kampung dari mempelai perempuan berusaha menghalang perjalanan dengan berdiri di jalan untuk tidak membiarkan salah seorang tetangga mereka dibawa pergi. Pada saat itu pihak keluarga laki-laki sudah menyiapkan uang perak recehan dibawa dalam kain 111
yang disandang untuk dihambur-hamburkan kepada khalayak ramai. Warga yang ditinggalkan baik yang anggota suku perempuan maupun yang tidak termasuk dalam anggota suku mempelai perempuan meraung dan meratapi kepergian anak puteri mereka. Pihak laki-laki dengan gembira terus berjalan menuju rumah adat mereka. Di rumah adat si lelaki ini bunyi-bunyian gong dan genderang bertalu-talu tanda pesta pernikahan dimulai. Tamu-tamu jauh dan dekat sudah berhimpun menerima kedatangan kedua mempelai. Perjamuan besar diadakan di rumah adat mempelai laki-laki. Semua suku-suku kerabat jauh dan dekat dari suku laki-laki berdatangan membawa bahagian mereka masing-masing berupa beras dan hewan untuk keperluan jamuan makan bersama. Kegembiraan bersama dirayakan oleh suku laki-laki karena adanya anggota suku yang baru sudah datang dan akan tinggal menetap bersama mereka. Adat perkawinan sul suli’ dara ini masih dilaksanakan dengan banyak perubahan terutama dalam jumlah uang dan kain yang dipertukarkan. Menurut Anis Mau (66 tahun), mempunyai jabatan sebagai Fetor di Henes dalam wawancara di Henes, Oktober 2008, adat ini sudah sangat disederhanakan baik dalam materi dan waktu. Anis Mau menjelaskan: Sul suli’ dara itu adat kita yang asli. Waktu saya masih kecil, tahun lima puluhan, adat ini masih dilaksanakan seperti aslinya. Pesta besar, hampir satu minggu lamanya. Siang malam ramai terus. Hewan dibanti untuk orang-orang yang ada, baik tuan rumah maupun tamu. Adat ini begitu bagus, terutama arti yang ada dalam setiap tahap. Kami masih mengalami bahwa perkawinan sul suli’ dara itu membuat suami-isteri tidak berkelahi. Suami takut pan muk gomo dan leluhur marah. Juga karena takut denda. Perkawinan yang sekarang ini sudah kebanyakan ton terel, kawin dengan cara suami datang ke rumah perempuan dan bersama-sama kerja kebun. Karena bersama-sama tidak buat adat itulah maka namanya ‘ton terel’, kawin secara bersama-sama tinggal saja, tidak ada yang pindah suku rumah.
Perkawinan dengan cara adat sul suli’ dara ini membawa pengaruh yang sangat positif dalam masyarakat di waktu dahulu, sampai tahun lima puluhan. Ada beberapa hal positif yang merupakan pengaruh dari adat ini:
112
Pertama, ada persamaan derajat antara suami dan isteri. Anakanak menjadi anggota dari suku si ayah. Dengan demikian ayah bertanggungjawab penuh atas kelangsungan hidup anak-anak. Kedua, hidup perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh
yaitu atas dasar kesepakatan keluarga dan atas kepercayaan akan lindungan leluhur, roh-roh dan Tuhan. Di samping dua hal yang positif ini memang ada segi-segi negatifnya, yaitu:
Pertama, terkadang kedua calon suami-isteri tidak membangun rumah tangga atas dasar kasih pribadi, tetapi dipaksa oleh kedua suku sehingga perkawinan berlangsung dalam keterpaksaan. Kedua, rumah tangga tidak mandiri karena selalu dipengaruhi oleh keluarga besar dari pihak laki-laki dan perempuan. Ketiga, perselingkuhan atau poligami dihindari oleh kedua pihak karena terkungkung oleh kerasnya tuntutan adat. Dituturkan oleh orang yang lebih tua bahwa kalau salah satu dari pasangan itu kedapatan berzinah (beselingkuh), hukumannya ialah si bersalah itu dibunuh. Hukuman mati dilaksanakan dengan cara si bersalah itu dibawa ke rumpun bambu, dua batang bambu yang agak berjauhan, ditarik ujungnya sampai ke tanah lalu kaki dan tangan si bersalah yang sebelah kiri diikat pada ujung bambu yang satu dan kaki tangan sebelah kanan diikat pada ujung bambu yang lain. Sesudah diikat, dua bambu yang ujung-unjungnya bertemu itu dilepaskan dan tubuh si korban terpental ke langit dan mati lemas tergantung dalam keadaan terabik menja dua di ujung kedua bambu. Ceritera ini sudah termasuk ceritera sadis yang rupanya diceritakan untuk menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat zinah. Tidak ada satu informan pun yang menyatakan bahwa dirinya pernah menyaksikan hukuman seperti ini. Perkawinan dengan cara yang lebih sederhana dikenal dengan istilah: ton terel (kawin dan tinggal bersama). Upacara kawin ton terel ini dilaksanakan dalam empat tahap. Upacara tahap pertama, ialah: Sigal saen (gantungkan tanda). Upacara ini diadakan waktu keluarga laki-laki dan ke rumah calon memperlai perempuan dan memberikan bule’n uen, tahin uen, bataka sogo (satu pelat emas, satu pelat perak dan sepuluh keeping mata uang perak). 113
Pemberian ini dibalas oleh pihak perempuan dengan satu helai kain tenun. Upacara tahap kedua, ialah: keluarga calon mempelai laki-laki menghantar molo pu tomak (sirih pinang utuh) dalam bentuk pelat emas, pelat perak dan kepingan uang perak. Jumlah pelat dan kepingan uang itu disesuaikan dengan status suku perempuan. Kalau suku perempuan itu rakyat biasa, maka jumlahnya: goni’on – goni’on (tigatiga) artinya tiga pelat emas, tiga pelat perak dan tiga puluh keping mata uang perak. Kalau bangsaswan menengah, maka jumlahnya goincetgoincet (lima-lima) artinya lima pelat emas, lima pelat perak dan lima puluh keping mata uang perak. Kalau suku keluarga perempuan itu berasal dari bangsawan tinggi, maka jumlah uang hitu-hitu (tujuhtujuh), tujuh pelat emas, tujuh pelat perak dan tujuh puluh keping mata uang perak. Pada waktu akhir-akhir ini jumlah itu tetap disebut tetapi nilainya sudah diganti dengan uang kertas dan tergantung pada kesepakatan dua belah pihak, berapa juta rupiah yang mau diserahkan sambil memisah-misahkan dengan ungkapan gonion-gonion, goincetgoincet atau hitu-hitu. Jumlah uang inilah yang disebut pana mea’ gitin (harga gadis perawan). Pemberian pihak laki-laki ini dibalas oleh pihak suku perempuan dengan satu helai kain tenun. Upacara tahap ketiga ialah: tazu’ lor - hoto (pintu depan dan pintu belakang). Dengan upacara ini calon mempelai laki diperkenalkan dengan anggota suku calon mempelai perempuan dan dinamakan manepou (laki-laki baru). Perkenalan diri calon mempelai laki-laki ini ditandakan dengan belak buleen uen, belis uen, bataka sogo (satu pelat emas, satu pelat perak, sepuluh keping uang perak). Dengan upacara ini, calon mempelai laki-laki diterima sebagai anggota rumah baru tetapi tetap menjadi anggota suku asalnya. Laki-laki berpindah tempat tinggal dari rumah orang tuanya berpindah ke rumah mempelai perempuan. Upacara tahap keempat ialah: pe’ liti ne’ (membagi kalung manik-manik dan uang logam). Dalam upacara ini pihak laki-laki memberikan sejumlah uang kepada anggota suku dari mempelai perempuan dan jumlahnya tidak ditentukan karena setiap anggota suku rumah calon mempelai perempuan dapat mengajukan tuntutannya sesuai martabatnya dalam suku. 114
Perkawinan ton terel ini diperkenankan hanya antara anggota suku yang berbeda. Tidak diperkenankan perkawinan antara sesame anggota suku dan itu dianggap incest biarpun bukan saudara-saudari kandung. Jadi perkawinan exogam dipertahankan dengan sangat ketat. Kalau terjadi perselingkuhan antara dua orang (laki –laki dan perempuan) yang merupakan anggota dari satu suku (deu), maka keduanya akan dihukum dengan acara sael gezel (usus babi) yaitu hukuman di mana di depan para anggota suku dan tua-tua adat di dalam kampong, mereka dua dihina dengan memegang usus babi di (sael gezel) di kedua ujung usus babi itu lalu dengan pisau usus babi itu dipotong sampai putus. Ini mempunyai maksud, hubungan yang sudah pernah terjadi diputuskan dan dianggap tidak pernah ada, lalu kedua orang itu disuruh merangkak di kolom rumah panggung, ke luar di belakang, kemudian dijemput dan dibawa masuk melalui pintu depan sebagai orang baru yang sudah bertobat. Keduanya diberi nasihat yang keras untuk tidak mengulangi perbuatan mereka. Empat tahap ini menjadi satu kesatuan upacara perkawinan yang sangat disederhanakan sehingga dari segi biaya dan waktu masyarakat sangat diuntungkan. Tetapi akibat dari ton terel ini suku Buna’ mengalami banyak hal yang negatif dibandingkan dengan adat perkawinan asli, sul
suli’ dara.
Menurut catatan dari Bapak A.A. Bere Tallo dan dikuatkan oleh Mako’an Koli Uka serta Fetor Mau dari Henes, adat ton terel ini menyebabkan masyarakat suku Buna’ semakin longgar dalam hidup berkeluarga. Kebiasaan ton terel ini sebenarnya suatu kemerosotan dari adat perkawinan yang asli, sul suli’ dara. Masyarakat suku Buna’ bergeser dari perkawinan dengan sistem patrilineal menjadi sistem matrilineal dan dari segi tempat, sistem patrilocal menjadi system matrilocal. Kerugian yang diderita sekarang oleh masyarakat suku Buna’ sangat besar. Kerugian itu disebabkan oleh masalah-masalah berikut.
Permasalahan pertama, harga diri laki-laki menjadi rendah berada di bawah harga diri perempuan. Mempelai laki-laki hanya menjadi penumpang saja di rumah istteri. Ladang yang dikerjakan adalah lading milik suku isteri. Dalam pertemuan suku atau keluarga si 115
isteri, suami ini tidak mempunyai hak apa pun termasuk hak bicara. Memang sang suami berhak di suku rumahnya sendiri entah sebagai anggota atau kadang-kadang sebagai ketua suku rumah. Tetapi di suku rumah isteri, ia menjadi orang asing, manepou (laki-laki baru). Dari sudut pandang ini, laki-laki suku Buna’ membutuhkan suatu emansipasi atau tuntutan persamaan hak dalam hidup bermasyarakat. Kekerasan dalam rumah tangga, pemukulan atau penghinaan dari suami terhadap isteri sering terjadi dan tak terselesaikan secara wajar atau malahan didiamkan karena suami gampang melarikan diri kalau dituntut terlalu banyak. Ikatan perkawinan secara adat sangat lemah. Pertengkaran atau perkelahian antara suami-isteri sering diartikan sebagai sulu lama’ giol, (bunyi senduk dan piring) yang dikelompokkan sebagai urusan pribadi suami-isteri dan dianggap hal yag biasa. Muncul istilah mea’ (orang) untuk saling memanggil antara suami dan isteri. Sebutan lain yang cukup lazim ialah: notil pana (saya punya teman perempuan) dan notil mone (saya punya teman laki-laki). Ungkapan ini sangat jauh berbeda maknanya dengan sapaan antara suami-isteri dalam sistem sul suli’ dara. Dalam system itu, suami memanggil isterinya momen pana (perempuan yang dituakan) dan isteri memanggil suaminya momen mone (laki-laki yang dituakan).
Permasalahan kedua, status anak. Anak-anak menjadi warga suku ibu sehingga sang ayah tidak mempunyai hak apa-apa atas anak. Ayah hanya sebatas membesarkan. Untuk pendidikan anak pun sang ayah kurang mempunyai tanggungjawab karena dia mempunyai beban tersendiri yaitu mengurus para ponakannya, yaitu anak-anak dari saudari kandungnya yang tetap menjadi anggota sukunya. Ada ungkapan, “Nego on gie neto dol ginil gini loi gie. Nie deu na loi gie ka?” (Untuk apa saya bikin anak-anak saya menjadi orang baik, karena saya punya suku yang akan baik-kah?). Seorang pria Buna’ mempunai perhatian lebih besar kepada giwal mil (para ponakan) dari pada kepaa gie gowo (anak kandung). Anak-anak juga memang tidak menaruh harapan terlalu besar pada ayah karena merasa lebih dekat dengan baba nai (paman atau om). Kalau ayah meninggal, anak-anak tetap terjamin karena ada paman. Kalau ibu meninggal, anak-anak tetap berada di rumah ibu dan tidak pernah akan mengikuti ayah karena ayah dengan sendirinya ke luar dari rumah dengan pakaian di badan. Harta berupa 116
kebun atau hewan piaaraan adalah milik isteri. Sang ayah menjadi duda petualang yang sial, kehilangan isteri, kehilangan hak atas anak dan kehilangan atas harta milik. Sang ayah yang sudah menjadi duda kembali ke sukunya dan diterima oleh saudara-saudarinya dan para ponakannya. Anak-anak kandung tidak lagi mempunyai tanggungjawab untuk mengurus kehidupan ayah. Kewajiban anak hanya sebatas mengunjungi ayah pada saat-saat tertentu dan pada saat ayah meninggal, barulah anak-anak mempunyai kewajiban dalam turut menanggung beban biaya pemakaman. Biasanya tanggungan anak lakilaki, satu ekor hewan, enah kerbau atau babi dan anak-anak perempuan mempunyai beban berupa kain tenun untuk menutupi jenazah ayah. Kewajiban anak laki-laki disebut die ama golo (menguburkan jenazah ayah) dan kewajiban anak perempuan disebut die ama gobok (membungkus jenazah ayah). Seorang ibu rumah tangga, Bernadeta Ili Bau, umur 41 tahun mengemukakan pendapatnya tentang status anak ini dalam wawancara di Lakmaras, Oktober 2009. Dia sendiri sudah mengalami kematian ayahnya dua tahun sebelumnya sedangkan mama kandungnhya telah lama meninggal dunia sejak ia masih kecil. Dia mengatakan: “Kalau mama sudah meninggal, seperti saya ini, kami anakanak ini tidak ada hak untuk campur tangan dalam urusan bapa kami yang sudah kembali ke tengah kaum keluarganya. Waktu dia masih hidup, kami kunjungi dia dan kasih apa-apa kalau ada. Waktu dia mati itulah saya sebagai anak perempuan membawa kain dan berikan kepada keluarga bapa untuk tutup jenazah bapa. Dan memang dia bukan kami punya anggota suku. Benar dia ayah kandung kami yang membesarkan kami, tapi dia orang lain. Dia anggota suku lain. Kami anggota suku lain. Saya punya mama juga sudah mati dan waktu itu ayah saya hanya sebatas tanggung satu ekor sapi untuk urusan penguburan mama saya. Saya punya mama dikuburkan di kuburan keluarga suku saya, dan bapa saya di tempat lain di kuburan keluarga mereka. Tidak bisa dikuburkan berdekatan di kuburan keluarga yang sama. Sampai mati juga tetap terpisah”.
117
Permasalahan ketiga, masalah mata pencaharian yang menyangkut sistim pertanian, peternakan dan lingkungan hidup. Sang bapa keluarga yang hidup dari mengolah lahan milik suku isteri, merasa tidak bertanggungjawab untuk memelihara kebun itu untuk jangka waktu yang panjang. Sistim bertani dengan cara tebas-bakar, sangat berakar dari status suami ini. Dengan cara yang mudah, ladang yang ada ditebang pohon-pohonnya dan dibakar untuk menjadi humus dalam musim hujan. Paling-paling ladang ini dapat menghasilkan padi dan jagung selama dua kali musim tanam. Untuk tahun ketiga, dibukalah ladang baru yang adalah milik pusaka suku isteri. Kebiasaan ladang berpindah mendapat legitimasi dalam adat istiadat ton terel ini. Kegiatan menanam tanaman umur panjang di ladang yang diolah oleh seorang suami dalam status ton terel ini sama sekali di luar pemikiran dan kebiasaan yang ada. Malahan kalau seorang suami menanam tanaman umur panjang, dia bisa ditanya oleh saudara kandung isterinya, “Untuk apa kamu tanam tanaman umur panjang di kebun milik kami? Harap ingat, itu bukan hak kamu”. Dengan demikian seorang suami tidak berpikir ke arah pemeliharaan kebun yang digarapnya dengan pemikiran jangka panjang karena dia yakin bahwa tanah yang ia tanami bukan tanah miliknya dan kalau isterinya mati, bukan dialah yang akan memetik hasilnya. Kalau ada instruksi dari pemerintah untuk menghijaukan lahan, maka si ayah akan berusaha menghijaukan ladang milik sukunya dengan segala upaya, sedang tanah yang digarapnya tidak diperhatikan. Memang dia bisa dipaksa oleh laki-laki saudara dari isterinya yang adalah pemilik ladang itu, tetapi paksaan tetap kurang diindahkan. Penggundulan tanah lading di desa Henes dan Lakmaras merupakan akibat dari sistem ton terel ini.
TOL TUGAL : URUSAN ORANG MATI Adat istiadat yang berkaitan dengan orang mati merupakan satu rentetan upacara yang memakan banyak waktu, tenaga dan biaya. Ini ditinjau dari kacamata sekarang. Tetapi upacara kematian yang asli di di kalangan suku Buna’ sendiri mempunyai arti yang sangat dalam. Upacara yang dilaksanakan untuk menguburkan orang mati ini dilaksanakan dalam sembilan tahap. 118
Tahap pertama, ialah: pengumuman tentang peristiwa kematian. Kon we (bunyikan gong). Seorang laki-laki naik ke bubungan atap
rumah tempat si sakit dibaringkan dan duduk di atas rumah itu lalu memukul gong dengan pukulan berulang-ulang dalam irama satu-satu. Bunyi gong ini menandakan bahwa seorang anggota keluarga sudah meninggal. Alat kon (gong) dalam ukuran kecil, sedang dan besar diyakini sebagai alat pembangkit bunyi yang khusus untuk memanggil orang hidup dan memanggil mugen (arwah), memanggil pan-muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan memanggil Hot Esen ( Matahari Yang Tinggi - Tuhan). Pemukulan gong, kon we, menimbulkan bunyi, kon tol (bunyi gong) yang bergaung ke segala arah mata angin menimbulkan perasaan getar di dada para pendengar dan setiap nada kon tol (bunyi gong) mempunyai arti tersendiri. Kon (gong) tidak boleh dibunyikan sembarang. Telinga masyarakat akan terpasang untuk mengartikan bunyi gong itu: ada irama untuk memanggil orang supaya berkumpul, ada irama untuk memaklumkan pelarangan hasil kebun atau hasil hutan (ukon) dan ada irama untuk memaklumkan kematian seseorang. Kalau si sakit belum putus nafas , masih gelisah maut, dan terdengar suara-suara kaum keluarga memanggil nama si sakit sambil mendekatkan mulut pada telinganya, disebut apa pesa ( memanggil nama untuk menyadarkan) dan orang sekitar akan berkata, ’gita apa pesa’ (namanya dipanggil). Waktu itu pemukul gong yang duduk di atas bubungan atap rumah akan memukul gong dengan irama cepat. Orang yang mendengar akan berkata, ’kon tol makor ta’ (bunyi gong masih panjang). Kalau dari dalam rumah terdengar tangisan yang menandakan bahwa si sakit sudah putus nafas (gosil tun), si pemukul gong menurunkan iramanya dan membunyikan gong dengan bunyi antara, satu – satu. Semua yang mendengar baik dekat maupun yang jauh akan berkata, gosil tun oa (nafasnya sudah habis). Pemukul gong duduk di atas bubungan atap rumah karena ada keyakinan bahwa arwah orang yang meninggal dunia itu ke luar dari badan manusia dan tembus ke luar rumah melalui bubungan rumah. Karena itulah bunyi gong itu menghantar arwah orang yang meninggal ke luar dari rumah, berkeliaran di alam bebas sambil menanti diupacarakan dengan upacara lal ho’on untuk disatukan dengan arwah leluhur di Masel. Tempat berkumpulnya para arwah leluhur ini, Masel, adalah satu tempat 119
keramat yang sunyi, di puncak gunung, melewati air terjun besar sampai sekarang berada di wilayah Timor Leste, dekat perbatasan antara Timor Indonesia dan Timor Leste. Di Masel ini ada hutan dan di tebingnya ada air terjun besar yang menyeramkan. Dekat air terjun ini ada sebuah aliran air dari mata air yang warnanya biru tua dan sangat berbau. Air yang berbau ini diyakini sebagai sisa air dari semua arwah yang membasuh diri, membersihkan diri dari segala kekotoran sebelum masuk ke tempat suci di puncak gunung Masel. Bunyi gong di atas bubungan rumah itu juga menjadi isyarat kepada arwah untuk berjalan menuju Masel dan tersesat ke tempat lain. Dalam pergaulan harian, kalau seorang marah kepada sesamanya, sering terungkap kata sumpah serapah, ”Masal ata mal wa” (bahasa Buna’, artinya: pergilah ke Masel, maksunya, ’mati’). Tahap kedua, ialah: gon tolo (memasukkan tangan jenazah). Acara ini dilakukan oleh salah seorang dari suku malu, yaitu suku asal dari yang meninggal sebagai tanda kesaksian dan pengakuan bahwa salah seorang anggota suku ai-ba’a sudah meninggal dunia. Tahap ketiga, role (peletakan). Jenazah disemayamkan di rumah suku asalnya. Sebagai contoh, seorang bapa keluarga meninggal dunia di rumah isterinya, maka jenazah itu dipindahkan ke rumah sukunya dan disemayamkan di sana untuk diratapi. Tahap keempat, aibalu pak (pembuatan peti jenazah). Acara ini ditanggung oleh keluarga dibantu oleh pihak anak-anak. Seekor hewan, biasanya seekor kerbau atau sapi dibunuh untuk memohon pada mugen (leluhur) dan pan muk gomo (roh-roh) serta Hot Esen (Tuhan) agar pohon yang ditebang untuk dibuat menjadi peti jenazah itu menjadi ’perahu’ yang aman bagi orang yang meninggal. Peti jenazah (aibalu) orang Buna’ biasa dibuat dari pohon lawal (dadap), gela (kroti) atau barut (kemiri). Pohon kemiri boleh ditebang hanya untuk aibalu (peti jenazah) bagi para bangsawan. Peti dibuat dari batang tunggal, tidak boleh disambung. Peti itu dibuat dengan cara memahat bahagian dalam sehingga lubangnya memanjang sesuai ukuran jenazah dan bentuk luarnya dibuat seperti sampan. Untuk kaum bangsawan, peti jenazah itu diukir dengan umbi kunyit yang dicampur dengan kapur sehingga ukiran itu berwarna kuning dan bertahan lama. Pembuatan hiasan di peti ini disebut kirun galai (menaruh kunyit). Pembuatan ukiran di peti ini diawali dengan pembunuhan seekor babi kecil agar darahnya 120
dipercikkan pada peti yang baru selesai dan merecikkan darah itu juga pada kapur dan kunyit yang akan dipakai mewarnai peti. Bentuk peti jenazah yang dibuat seperti sampan ini menampilkan isi penuturan lisan yang meriwayatkan asal usul orang Buna’ bahwa mereka berasal dari seberang lautan, siawa mugi wa, dan dengan kematian ini, arwah orang yang meninggal itu berlayar kembali menuju tanah leluhur. Ceritera itu berlanjut dengan pemakaman orang mati bagi kaum bangsawan disebut dengan istilah do duru (menolak sampan) dengan pengertian jenazah dalam sampan itu ditolak ke dalam laut untuk berlayar menuju tanah leluhur. Di sana dia akan berkumpul dengan orang-orang mati yang lain sambil menanti saat diupacarakan dalam lal ho’on (kenduri) untuk menghantar arwah itu masuk ke tempat tinggal abadi untuk orangorang mati di kukun hitu (tempat gelap berlapis tujuh). Atas kepercayaan tentang berdiamnya arwah orang yang meninggal di kukun hitu (tempat gelap berlapis tujuh) inilah maka selalu ada ungkapan dalam sumpah, kukun o tara (kukun = gelap, tara = tahu; yang gelap juga tahu) artinya, arwah para leluhur juga tahu sebagai saksi. Kebiasaan membuat peti mayat dari pohon kemiri (barut) bagi orang-orang bangsawan menimbulkan kepercayaan dalam masyarakat bahwa kemiri itu pohon sakral dan tidak boleh ditanam, hanya boleh dibiarkan tumbuh sendiri. Siapa berani menanam kemiri dia akan mati. Dengan sendirinya masyarakat takut menanam kemiri. Sebagai catatan, waktu ada instruksi dari pemerintah Kabupaten untuk menanam kemiri di halaman rumah dan kebun-kebun, pada awalnya masyarakat suku Buna’ di Kecamatan Lamaknen menolak program itu dan baru mulai menanam pada tahun tujuh-puluhan sesudah diberikan penyuluhan dan penyadaran secara terpadu oleh pejabat dari dinas pekebunan dibantu oleh para pemuka Gereja Katolik bahwa menanam kemiri itu tidak akan membawa kematian. Tahap kelima, tel gol gene golo (memasukkan dalam kuburan kecil = peti jenazah). Jenazah dimasukkan ke dalam peti sesudah semua kaum kerabat berhimpun di rumah duka. Orang-orang dari suku malu yang berhak memasukkan jenazah ke dalam peti.
Tahap keenam, holon (meratap). Jenazah yang disemayamkan di rumah duka diratapi bergantian oleh anggota dari suku-suku malu (suku asal dari si mati). Waktu meratap ini para peratap, semuanya kaum ibu, 121
menyerahkan kain tenun untuk menyatakan tanda duka. Kain tenun ini diberi istilah dino, artinya air mata. Tidak semua kain tenun itu dipakai untuk menutup jenazah tetapi dihimpun dan akan dibagikan kepada para ai ba’a sebagai tanda kenangan akan orang yang meninggal dan setiap kain yang dibagikan kemudian sesudah si mati dikuburkan, ai ba’a akan menggantinya dengan kepingan mata uang. Selanjutnya mata uang ini akan dibagikan kepada para anggota suku-suku malu sebagai tanda bahwa orang yang meninggal yang berasal dari suku malu itu, sudah meninggal dan silahkan bawa pulang keping uang logam itu untuk mengenang almarhum atau almarhumah. Pada saat seperti itu hubungan dipererat kembali antara semua suku malu dan aiba’a, dan diadakan pemulihan hubungan kalau pernah ada keretakan antara kedua pihak, malu dan ai ba’a. Pada saat itu juga diadakan pemulihan hubungan dengan si mati kalau yang meninggal itu semasa hidupnya pernah menyakiti hati salah seorang anggota suku malu atau aiba’a maka yang disakiti hatinya itu datang ke tempat duka dengan pernyataan, dobon (gantungkan diri) maksudnya menahan diri untuk tidak masuk ke dalam rumah duka. Keluarga dari orang yang meninggal akan ke luar dari rumah dan menanyakan apa alasan dobon atau pernyataan marah terhadap yang meninggal atau keluarga yang masih hidup. Sesudah dibahas alasan dan diterima sebagai kesalahan baik dari si mati maupun dari salah satu anggota keluarga si mati, maka kepada yang disakiti itu ditawarkan pemberian berupa kain tenun kalau yang disakiti itu berasal dari suku ai ba’a, atau diberikan uang kalau yang disakiti itu berasal dari suku malu. Dengan adanya pemberian ini, hubungan dipulihkan dan yang disakiti itu memberikan maaf dengan membalas pemberian itu dengan pemberian yang seimbang. Misalnya kalau barang pemulihan dari yang bersalah dalam bentuk kain, maka akan dibalas dengan uang, sebaliknya kalau pemulhan itu dalam bentuk uang, maka yang memberi maaf itu akan membalasnya dengan kain. Dengan pelaksanaan acara pemulihan dobon ini kedua belah pihak merasa yakin bahwa orang yang meninggal itu akan ’berlayar’ dengan damai kembali ke negeri leluhur. Tahap ketujuh, tel wil (menggali kubur). Tahap ini merupakan pekerjaan menggali kubur yang diawali dengan tel taba’ (mentancapkan alat gali di tanah tempat kubur akan digali). Seluruh pekerjaan penggalian kubur ini harus dilakukan oleh anggota suku malu. Ini 122
termasuk unsur tanggungjawab dari suku asal si mati bahwa orang mereka yang menjadi anggota suku ai ba’a itu telah meninggal dan jenazahnya dikuburkan di tempat yang ditentukan dan diketahui oleh suku malu. Sesuai kebiasaan, kubur digali pada kuburan lama dari anggota suku yang sudah lama dikuburkan. Tulang-belulang dikeluarkan dan dibungkus lagi dengan kain tenun baru dan dikuburkan kembali dengan jenazah yang baru. Dalam kubur itu biasanya ada uang logam atau hiasan emas atau perak yang pernah dititipkan pada jenazah yang lama, dan semua uang atau hiasan itu boleh diambil oleh para penggali kubur yang adalah anggota suku malu. Tahap kedelapan, gawak (memikul peti jenazah). Peti jenazah dikeluarkan dari rumah duka dan di halaman rumah, diadakan acara gawae dan taiduru (mengayun dan maju-mundur). Orang-orang pemikul peti jenazah bergerak maju dan mundur tiga kali ke arah mata hari terbit dan saling tarik menarik antara pemikul dengan orang-orang yang berdiri di depan rumah. Acara ini mempunai makna sebagai tanda permohonan izin dari si mati kepada suku yang ditinggalkan dan pernyataan kepada mugen (leluhur), pan muk gomo (roh-roh) dan Hot Esen (Tuhan) bahwa si mati meninggalkan dunia orang hidup dan menuju dunia orang mati. Sesudah acara gawae dan taiduru ini jenazah diusung ke pemakaman. Tahap kesembilan, golo. Acara yang terakhir ialah pemakaman. Peti jenazah diturunkan ke liang lahat dan ditutup, ditimbun dengan tanah dan di atasnya disusun batu-batu ceper. Sesudah itu para pengusung peti jenazah dan para pelayat kembali ke rumah duka dan di sana semua dijamu dalam makan bersama secara adat. Sesudah pemakaman, keluarga dari semua suku baik malu maupun ai ba’a berunding untuk mengadakan lal ho’on (kenduri) dengan acara inti menuturkan riwayat leluhur sampai kepada riwayat orang yang dikendurikan agar masuk dan menetap di dunia orang mati. Kalau belum dibuat acara lal ho’on, masyarakat suku Buna’ yakin bahwa arwah si mati masih berada di sekitar kediamannya dan bisa mengganggu orang yang masih hidup. Oleh karena itulah orang yang sudah meninggal dunia harus segera diselamatkan melalui upacara lal
ho’on.
123
KESIMPULAN Dalam Bab IV tentang ”Orang Henes-Lakmaras Dalam Keseharian” di DHL ini ditemukan adanya kebiasaan yang sudah tidak dipraktekkan lagi dan ada kebiasaan yang tetap bertahan dalam masyarakat sampai sekarang. Di sinilah letak dinamika kehidupan dari suatu masyarakat yang terus berubah. Adat kebiasan molo a dalam pergaulan harian tetap bertahan dan masih berlaku sampai sekarang. Ada kelompok anak-anak muda di DHL yang melihat kebiasaan molo a merupakan kebiasaan yang kuno, mengotorkan gigi dan menampilkan ciri kekolotan. Tetapi ada juga kelompok yang biarpun sudah bersekolah, malah ada pegawai negeri sipil di kantor atau guru di sekolah yang masih turut mengambil bahagian dari adat molo a ini. Contohnya ialah Ibu Theresia Ili, salah seorang wanita terdidik generasi pertama dari masyarakat DHL yang hidup di kota dan tetap mempertahankan adat istiadat molo a. Dalam adat molo a ini masih tertinggal kepercayaan yang kuat tentang sirih (molo) sebagai sarana sosial dan sarana penghubung manusia dengan dunia roh. Sirih merupakan sarana penghubung antara manusia dengan dunia roh yang terdiri dari tiga tingkatan: tingkat pertama, mugen (arwah leluhur), tingkat kedua yang lebih tinggi, pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi), tingkat tertinggi adalah Hot Esen (Matahari Yang Tinggi). Hal yang unik ialah kaum terdidik di kalangan masyarakat DHL masih berpegang teguh pada kebiasaan ini sampai sekarang yaitu memakai sirih sebagai penghubung antara manusia dengan dunia roh. Adat ini masih bertahan dengan kuat sampai sekarang dan muncul pertentangan yang cukup tajam antara praktek ’molo gone’ (pegang sirih) dengan ajaran Kristen Katolik yang menganggap kebiasaan ini penuh dengan unsur tahyul, percaya sia-sia, percaya kepada roh-roh (animisme) dan percaya kepada kekuatan-kekuatan gaib (dinamisme). Dalam adat yang dipraktekkan waktu kelahiran (hoto tuka), tahap awal dalam siklus kehidupan manusia, ada hal-hal yang dipertahankan terus, membawa nama leluhur (ginil gin) dan hal-hal yang sudah ditinggalkan seperti kebiasaan memanggang diri si ibu yang melahirkan selama empat puluh hari. Hal unik yang ditemukan dalam hoto tuka (melahirkan ) ini ialah penyerahan kehidupan anak kepada penyelenggaraan dan perlindungan mugen (arwah leluhur), pan muk 124
gomo (roh-roh) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Kepercayaan kepada Hot Esen ini diambil alih oleh Gereja Katolik dan memasukkan dalam ajaran tentang Tuhan Allah dengan memakai istilah Hot Esen untuk
memberi Nama kepada Allah. Doa-doa secara katolik yang ditujukan kepada Allah, tetap memakai ungkapan Hot Esen. Dalam gereja katolik dipakai istilah Hot Esen untuk Tri-Tunggal: Hot Esen Ama (Allah Bapa), Hot Esen Gol Mone (Allah Putera) dan Hot Esen Roh Kudus (Allah Roh Kudus). Tetapi kepercayaan leluhur dihilangkan dengan mengatakan bahwa leluhur belum tentu sudah masuk surga oleh karena itu leluhur diganti dengan kepercayaan akan adanya orang kudus (Santu dan Santa) dan roh-roh diganti dengan ajaran tentang Malaekat yang baik sebagai roh yang baik dan Iblis sebagai roh yang jahat. Dalam adat ton (kawin) masyarakat DHL masih kuat berpegang pada penyelenggaraan yang didasarkan pada kepercayaan pada arwah leluhur, roh-roh dan Tuhan. Pendasaran adat perkawinan atas kepercayaan kepada dunia roh ini memberikan satu dasar yang sangat kuat dan positif untuk mensejajarkan perkawinan dalam Gereja Katolik yang menyatakan bahwa perkawinan itu satu Sakramen, suatu tindakan kudus yang diberkati Allah. Dalam adat ton ini pun ditemukan kepercayaan masyarakat tentang campur tangan dunia roh: mugen, pan muk gomo dan Hot Esen. Dalam adat yang berkaitan dengan kematian (en heser) kepercayaan akan adanya kekuatan roh semakin jelas. Orang mati diyakini kembali ke dunia leluhur, dihantar oleh roh-roh dan berada dalam penyelenggaraan Hot Esen. Pandangan tentang kepercayaan masyarakat mengenai surga dalam ajaran Gereja Katolik sebagai tempat istirahat kekal masih bertentangan dengan pandangan suku Buna’ yang menganggap orang mati itu berada di tempat yang gelap, kukun hitu (kegelapan lapis tujuh). Kesimpulan umum untuk uraian tentang ”Orang HenesLakmaras Dalam Keseharian” di DHL ini ialah adanya pandangan hidup yang positif tentang hidup bersama (sosial) itu sebagai suatu keharusan yang harus dijaga sebagai pendorong (motivator) sekaligus penyemangat (inspirator) dan penarik (aspirator) masyarakat untuk berubah. Ini masuk dalam pemahaman mutakhir tentang pembangunan masyarakat yang dikelompokkan sebagai modal dengan istilah social capital. Masyarakat juga memakai berbagai pertimbangan logis untuk 125
melaksanakan adat istiadat itu dan ini merupakan kearifan lokal yang masuk dalam pemahaman tentang intellectual capital sebagai modal pengetahuan dalam pembangunan masyarakat. Berbagai sarana berupa benda-benda sepeti sirih, mata uang logam, kain tenun yang digunakan dalam adat istiadat merupakan pemahaman tentang adanya material capital sebagai modal dalam pembangunan. Semua ini dibakukan sebagai adat istiadat dalam pergaulan harian. Ketiga modal yang dikategorikan sebagai modal pembangunan masyarakat: social capital, intellectual capital dan material capital, oleh masyarakat DHL diletakkan dasarnya pada kepercayaan pada dunia roh yaitu mugen (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi), dan Hot Esen (Matahari Yang Tinggi). Dasar keyakinan tentang adanya social capital, intellectual capital dan material capital atas adanya (eksistensi) dan kehadiran (imanensi) dari dunia roh inilah yang dinamakan spiritual capital. Keberlanjutan pembangunan secara menyeluruh yang menyata dalam pandangan hidup, perilaku dan kegiatan harian dari masyarakat DHL untuk bertahan hidup merupakan perpaduan pendaya-gunaan empat capital: social capital, intellectual capital, material capital dan spiritual capital. Ternyata capital yang keempat, spiritual capital, biar tidak kelihatan secara kasat mata, tetapi tetap mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam keseharian hidup masyarakat DHL karena menyatu-padu dengan tiga capital yang lain, social capital, intellectual capital, material capital. Pemerosotan spiritual capital dalam hidup sehari-hari satu kelompok masyarakat seperti masyarakat DHL ini berarti pemerosotan seluruh keberadaan (eksistensi) masyarakat itu sendiri.
126