BAB 2 TUNJAUAN PUSTAKA
2.1. Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) 2.1.1. Defenisi pelatihan dan pendidikan kecakapan hidup (Life Skills Education) Pendidikan dan Pelatihan Kecakapan Hidup adalah kegiatan yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan dalam meningkatkan kecakapan/kompetensi psikososial seseorang untuk mengatasi berbagai tuntutan dan tantangan hidup seharihari. Pendidikan Kecakapan Hidup mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan perkembangan individu dan sosial, perlindungan terhadap hak azasi manusia, dan pencegahan terhadap masalah-masalah kesehatan sosial karena konsep dasar kecakapan hidup, meliputi: 1. Demokratisasi 2. Tanggung Jawab 3. Perlindungan
2.1.2. Tujuan pendidikan kecakapan hidup Tujuan Umum Pendidikan Kecakapan Hidup adalah agar siswa memiliki kecakapan melaksanakan hidup sehat sehari-hari (merubah perilaku untuk hidup
Universitas Sumatera Utara
sehat, fisik maupun mental) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan pola hidup yang lebih baik-fisik,mental, maupun sosial. Tujuan khusus Pendidikan Kecakapan Hidup adalah : 1. Siswa dapat mengimplementasikan pengetahuan Kecakapan Hidup Sehat dalam kehidupan sehari-hari dan bersedia menyebarkan kepada orang lain. 2. Siswa siap memasuki usia dewasa dengan tingkah laku orang dewasa yang bertanggung jawab dan mampu memasuki dunia kerja dengan segala tantangannya
serta
mempunyai
keterampilan,
dan
pengetahuan
dalam
mempersiapkan kehidupan berumah tangga yang bertanggung jawab. 3. Fasilitator pelatihan mampu memfasilitasi suatu praktek serta penguatan dari kompetensi psikososial dalam konteks kultural yang tepat.
2.1.3. Manfaat pendidikan kecakapan hidup Tujuan Umum Pendidikan Kecakapan Hidup adalah: 1.
Meningkatkan kemampuan dalam teknik pelajaran
2.
Memberi wawasan berpikir yang lebih luas
3.
Memberi kecakapan dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari dan percaya diri
4.
Memotivasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuannya
5.
Memberi kemampuan mengatasi permasalahan hidup sehari-hari
6.
Meningkatkan rasa toleransi, kebersamaan dan menghargai sesama
7.
Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Metode pelatihan pelatihan dan pendidikan kecakapan hidup (Life Skills Education) Belajar pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan suatu perubahan, menyangkut pengetahuan, keterampilan dan sikap maupun nilai-nilai. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dan melakukan (learning to do) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang produktif dan kreatif, sementara belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be my self) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang percaya diri, dan belajar untuk hidup bersama (learning to life together) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang mempunyai daya saing, daya penyesuaian, dan daya kerja sama (Mansour Fakih dkk, 2001). Proses pembelajaran dalam pelatihan ini menggunakan azas pendidikan orang dewasa (Andragogi). Andragogi berasal dari bahasa Yunani, Andra yang berarti orang dewasa dan Agogos yang berarti memimpin, pendefenisian andragogi secara etimologi adalah suatu ilmu dan seni untuk membantu orang dewasa belajar. Peserta belajar diperlakukan sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan dan materi yang bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat proses belajar. Fungsi Guru atau Pelatih dalam andragogi adalah fasilitator yang tidak bersifat menggurui (Mansour Fakih dkk, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lindeman, konsep andragogi merupakan pembelajaran yang berpola non otoriter, lebih bersifat informal yang pada umumnya lebih bertujuan untuk menemukan pengertian pengalaman dan atau pencarian pemikiran guna merumuskan perilaku yang standar. Dengan demikian teknik andragogi adalah bagaimana membuat pembelajaran menjadi selaras dengan kehidupan nyata (Mansour Fakih dkk, 2001). Menurut Knowles, beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran andragogi adalah: 1. Kebutuhan untuk mengetahui 2. Konsep diri peserta sebagai pembelajar 3. Peranan pengalaman peserta belajar 4. Kesiapan peserta belajar 5. Orientasi peserta belajar 6. Motivasi peserta belajar (Mansour Fakih dkk, 2001) Tujuan pendidikan dengan pendekatan andragogi bertujuan untuk: 1. Membangkitkan semangat percaya diri dan optimisme peserta belajar 2. Memberikan kemampuan dan keterampilan untuk berbuat sesuatu 3. Memberikan kemampuan untuk dapat menerima atau menolak sesuatu atas dasar standar peraturan atau nilai-nilai atau etika masyarakat yang dianut peserta belajar.
Universitas Sumatera Utara
Pelatihan dengan pendekatan andragogi, menempatkan peserta sebagai orang yang telah memiliki pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta cenderung untuk menentukan prestasinya sendiri. Pengalaman dan potensi yang ada pada peserta adalah sumber yang perlu digali dalam proses pelatihan ini. Dalam sebuah pelatihan yang menggunakan pendekatan andragogi akan melibatkan unsur-unsur komunikasi secara menyeluruh yaitu: 1.
Fasilitator pelatihan yang berfungsi sebagai komunikator utama
2.
Materi Pelatihan yang berfungsi sebagai isi pesan yang akan disampaikan komunikator kepada komunikan
3.
Alat Bantu Pelatihan yang berfungsi sebagai media yang akan membantu komunikator menyampaikan isi pesan kepada komunikan
4.
Peserta belajar yang berfungsi sebagai komunikan utama
5.
Respon aktif peserta belajar terhadap isi pesan yang disampaikan komunikator sebagai bentuk fungsi feed back dari komunikan kepada komunikator.
2.1.5. Materi Pelatihan Dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) Materi Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup adalah: 1. Materi yang bersifat umum Materi yang diberikan meliputi kebijakan program Pencegahan HIV/AIDS dan Pedoman Pelatihan Pencegahan HIV/AIDS bagi Pendidik Sebaya, serta Evaluasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Materi Inti a. Kesehatan Reproduksi b. IMS dan HIV/AIDS c. Pendidikan Kecakapan Hidup d. Narkoba e. Komunikasi f. Pendidikan Sebaya
2.2. Komunikasi 2.2.1. Defenisi komunikasi Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin yang berarti “sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama” (to make common). Istilah pertama communis adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal- usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu
pesan yang dianut secara sama. Akan tetapi berbagai
defenisi menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagai hal tersebut, seperti dalam kalimat “kita berbagi fikiran”, “kita mendiskusikan makna”, dan “kita mengirimkan pesan”. (Mulyana, 2005). Proses komunikasi yang tergambar dalam Model komunikasi dari Harold Laswell dianggap oleh para pakar komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam perkembangan teori komunikasi (1948). Laswell menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa “cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: Who Says, What in Which Channel to Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa). (Effendy, 2000). Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Laswell itu merupakan unsur-unsur proses komunikasi, yaitu communicator (komunikator), message (pesan), media (media), receiver (komunikan), dan effect (efek). (Effendy, 2000). Vardiansyah (2004) menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi mengenai gambar model komuniksi yang disampaikan oleh Lasswell dengan unsur-unsur dasar, walau dengan penjabaran dan interpretasi yang tidak persis sama, yaitu: komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek komunikasi sebagai berikut: Who Communicator
Say What ? Message
In which channel Medium
To Whom Receiver
Which what effect Effect
Sumber : Vardiansyah ( 2004) Gambar 2.1. Model Lasswell
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Komponen Komunikasi 1. Komunikator Dani
Vardiansyah
menyampaikan
dalam
bukunya
Pengantar
Ilmu
Komunikasi bahwa Pengirim pesan atau komunikator yang dimaksud di sini adalah manusia yang mengambil inisiatif dalam berkomunikasi. Pesan disampaikan komunikator untuk mewujudkan motif komunikasi. Karena itu, komunikator kita defenisikan sebagai manusia berakal budi yang berinisiatif menyampaikan pesan untuk mewujudkan motif komunikasinya. Dilihat dari jumlahnya, komunikator dapat terdiri dari (a) satu orang (b) banyak orang dalam pengertian lebih dari satu orang, serta (c) massa. Apabila lebih dari satu orang yakni banyak orang di mana mereka relatif saling kenal sehingga terdapat ikatan emosional yang kuat dalam kelompoknya, maka kumpulan banyak orang ini kita sebut kelompok kecil. Apabila lebih dari seorang atau banyak orang relatif tidak saling kenal secara pribadi dan karenanya ikatan emosionalnya kurang kuat, maka dikatakan sebagai kelompok besar atau publik. Namun apabila banyak orang atau lebih dari satu orang ini memiliki tujuan yang sama dan untuk mencapai tujuan tersebut terdapat pembagian kerja di antara para anggotanya, maka wadah kerjasama yang terbentuk sebagai kesatuan banyak orang ini lazim kita sebut organisasi. Jadi selain komunikator dapat berupa banyak orang dalam kelompok kecil dan kelompok besar, juga dapat berbentuk organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Satu Orang
Komunikator
Banyak Orang
Banyak orang Homogen, saling kenal Ikatan emosional kuat
Kelompok
Banyak orang Heterogen, tdk saling kenal Ikatan emosional rendah
Kelompok
Banyak orang Punya tujuan sama
kecil
Besar / public
organisasi
Motif ideal: LSM,
Yayasan Ada pembagian kerja
Motif
komersial: Perseroan terbatas Banyak orang Ditempatkan dan waktu sama peristiwa Menurunkan kesadaran individu Menimbulkan jiwa massa
Massa Banyak orang Tersebar dalam area geografis luas Perhatian dan minat pada hal yang sama
Sumber: Vardiansyah (2004) Gambar 2.2. Komunikator dan Media
Komunikator dapat terdiri dari satu orang, banyak orang (kelompok kecil, kelompok besar/public, organisasi), dan massa sebagaimana terlihat pada gambar di atas.
Universitas Sumatera Utara
1.
Pesan Vardiansyah (2004)
menyatakan bahwa pesan pada dasarnya bersifat
abstrak dan untuk membuatnya konkret sehingga dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan akal budinya menciptakan sejumlah lambang komunikasi
berupa suara, mimik, gerak-gerik, bahasa lisan, dan bahasa tulisan.
Pesan bersifat abstrak; komunikan tidak akan tahu apa yang ada dalam benak kita sampai kita mewujudkan dalam salah satu bentuk atau kombinasi lambang-lambang komunikasi . Karena itu lambang komunikasi disebut juga bentuk pesan, yakni wujud konkret dari pesan, berfungsi mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan dikelompokkan dalam pesan verbal.
Universitas Sumatera Utara
Suara Nonverbal
Mimik Gerak
Bentuk
Lambang
Pesan
Komunikasi
Denotatif Verbal Denotatif Pesan
Makna
Denotatif
Pesan Konotatif Cara Penyajian Pesan Struktur Penyajian Sumber: Vardiansyah ( 2004) Gambar 2.3. Dimensi Pesan
Universitas Sumatera Utara
2. Komunikan Menurut Vardiansyah (2004), komunikan adalah manusia yang menerima pesan dari komunikator. Dalam proses komunikasi, utamanya dalam tataran antar pribadi, peran komunikator dan komunikan bersifat dinamis saling berganti. Dalam komunikasi yang dinamis, peran ini saling dipertukarkan. Karena itu, uraian tentang komunikator juga berlaku pada unsur komunikan, bahwa komunikan dapat terdiri dari satu orang, banyak orang dan massa.
Satu Komunikator
Banyak Orang
Massa
Satu orang Komunikan
Banyak orang
Massa
Sumber: Vardiansyah, (2004) Gambar 2.4. Komunikan
Universitas Sumatera Utara
3. Media Komunikasi Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui pesan komunikator untuk sampai ke komunikannya. Terdapat dua jalan agar pesan ke komunikator untuk sampai ke komunikannya, yaitu tanpa media (nonmediated communication yang berlangsung face to face, tatap muka) atau dengan media. Media yang dimaksud di sini adalah media komunikasi. Media merupakan bentuk jamak dari medium. Medium komunikasi kita artikan sebagai alat perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk menghantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. Jadi unsur pertama dari media komunikasi adalah pemilihan dan penggunaan alat perantara yang dilakukan komunikator dengan sengaja. Artinya, hal ini mengacu kepada pemilihan dan penggunaan teknologi media komunikasi. Komunikasi tatap muka, saluran atau jalan yang dilalui pesan komunikator untuk sampai ke komunikannya adalah gelombang cahaya atau gelombang suara. Dengan pengertian media di atas, yaitu alat perantara yang sengaja dipilih komunikator
untuk
menghantarkan
pesan
komunikator
agar
sampai
ke
komunikannya, maka gelombang cahaya dan gelombang suara tidak termasuk media komunikasi, melainkan alternatif saluran komunikasi, karena manusia tidak melakukan pemilihan dengan sengaja atas gelombang cahaya dan suara. Media komunikasi dilihat dari jumlah target komunikannya dapat dibedakan atas media massa dan non media massa. Media massa dilihat dari waktu terbitnya dapat dibedakan atas media massa periodik dan media massa non periodik. Periodik
Universitas Sumatera Utara
berarti terbit teratur pada waktu-waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Media massa periodik dapat dibedakan atas yang elektronik (radio, TV) dan non elektronik atau cetak (surat kabar, majalah). Media massa non periodik dimaksudkan pada media massa yang bersifat eventual, tergantung pada event tertentu. Setelah event usai, selesai pulalah penggunaannya. Untuk itu, media massa nonperiodik dapat dibedakan atas manusia (juru kampanye atau sales promotion girl) dan benda (poster, spanduk, leaflet). Nonmedia massa jika dilihat dari sifatnya, dapat dibedakan atas nonmedia massa benda. Nonmedia massa benda dapat dibedakan atas yang elektronik (telepon, fax) dan yang nonelektronik (surat). Perkembangan teknologi komunikasi terkini, yakni teknologi komputer dengan internetnya, melahirkan media yang bersifat multimedia. Dikatakan multimedia karena hampir seluruh bentuk media komunikasi yang telah dikenal umat manusia menyatu dalam elektronik digitalnya. Di internet kita dapat menemukan surat elektronik, i-phone (telepon internet), surat kabar/majalah elektronik, radio internet, bahkan kegiatan tatap muka melalui internet (video conference).
4. Efek Komunikasi Efek komunikasi kita artikan sebagai pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikator dalam diri komunikannya. Terdapat tiga tataran pengaruh dalam diri komunikan, yaitu kognitif (seseorang jadi tahu tentang sesuatu), afektif (sikap
Universitas Sumatera Utara
seseorang terbentuk, misalnya setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu) dan konatif (tingkah laku, yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu)
Efek
Kognitif
Tahu
Afektif
Sikap: Setuju/ tidak setuju
Konatif
Tingkah laku nyata (Perilaku)
Sumber: Vardiansyah, (2004) Gambar 2.5. Efek Komunikasi
5. Umpan Balik Umpan balik dapat kita maknai sebagai jawaban komunikan atas pesan komunikator yang disampaikan kepadanya. Dalam komunikasi yang dinamis, sebagaimana diutarakan, komunikator dan komunikan terus-menerus saling bertukar peran.
Universitas Sumatera Utara
Pesan
Komunikator-1 Komunikan-2
Komunikan-1 Komunikator-2 Umpan Balik Pesan
Sumber: Vardiansyah, (2004) Gambar 2.6. Umpan Balik
2.2.3. Komunikasi Efektif Bahasa dan kalimat yang mudah dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa: efektifitas dari kelompok (organisasi perusahaan) adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila perbedaannya dianggap terlalu besar, maka dikatakan tidak efisien. Dengan demikian komunikasi efektif merupakan pencapaian tujuan pesan yang disampaikan komunikator terhadap komunikan dengan menimbulkan perubahan perilaku pada komunikan. Peranan seorang pelatih, materi yang disampaikan, sarana dan metode pelatihan, peserta, dan respons dari pelatihan itu sendiri sangat penting, karena itu harus dilakukan secara konsepsional dan bertindak secara sistematik. Komunikasi dalam sebuah penyampaian materi pelatihan bersifat paradigmatik. Paradigma adalah
Universitas Sumatera Utara
pola yang mencakup sejumlah komponen yang terkorelasikan secara fungsional untuk mencapai tujuan. Pola beserta komponen-komponennya jelas dapat diketahui dari formula Harold Lasswell, dalam hubungan ini, Daniel Lerner dalam karyanya “Communication System and Social Systems” dalam buku Wilbur Schramn “Mass Communication” menampilkan apa yang disebut paradigmatic question, yang berbunyi : “Who–Says–What–How To–Whom”. (siapa mengatakan apa, bagaimana, kepada siapa). Diantara komponen-komponen komunikator, pesan dan komunikasi itu, Lerner menyelipkan kata “How” yang tidak ditampilkan oleh Lasswell. Dan dalam komunikasi “How” atau “Bagaimana” itulah yang menjadi permasalahan. Kata “how” (bagaimana) merupakan kata tanya yang membutuhkan sebuah jawaban dengan bentuk cara atau strategi atau metode dalam mensikapi segala sesuatu yang berhubungan dengan pencapaian atas sebuah tujuan. Umpamanya, sebuah pertanyaan, bagaimana cara untuk menjadikan pelatihan pencegahan HIV yang dilaksanakan Dinas Kesehatan di Sekolah SMU/Sederajat menjadi efektif. Maka kata “how” ini menjadi penting. Suatu paradigma mengandung tujuan dan tujuan pada paradigma komunikasi
harus diketahui dalam berkomunikasi, yakni :
“mengubah sikap, opini, atau pandangan, dan perilaku” (to change the attitude, opinion and behavior), sehingga timbul pada komunikasi efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif atau behavioral atau dapat disebut pula dalam istilah psikologi pendidikan adalah psikomotorik. Dalam melakukan perubahan terhadap perilaku diperlukan suatu strategi komunikasi. Laurence Brennand dalam Effendy ( 2000)
Universitas Sumatera Utara
mengetengahkan sebuah formula yang dinyatakan sebagai landasan bagi strategi komunikasi, yakni sebagai berikut: “The communication with a purpose and an occasion gives expression to an idea which he channels to some receiver from whom he gains a response”. (Komunikasi dengan satu tujuan dan suatu peristiwa memberikan ekspresi kepada suatu ide yang ia salurkan kepada sejumlah komunikasi dari siapa ia memperoleh tanggapan). Menurut Brennand, bahwa formula komunikasi dapat disederhanakan menjadi communicator message receiver (komunikator-pesan-komunikan) tetapi demi efektifnya komunikasi perlu diperhatikan semua unsur yang terdapat dalam proses komunikasi-komunikator, tujuan, peristiwa, ide, ekspresi, saluran/media, komunikan dan tanggapan. Apabila formula Laswell dan Lerner dalam Effendy (2000) kita tuangkan ke dalam bentuk bagan, maka kira-kira akan tampak seperti pada gambar berikut ini; Ide Pr
P
Kt
M
M
E
M
F E
Keterangan:
tujuan
M
Pr : Peristiwa
K
Kt : Komunikator P : Pesan
Tanggapan
M : Media
Umpan Balik Gambar 2.7: Proses Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
Wilbur Schrmn dalam Effendy (2000) apa yang disebut “the condition of success in communication”, yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki. Kondisi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan 2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti 3. Pesan membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut 4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. Memperhatikan syarat tersebut diatas jelaslah, bahwa para ahli komunikator memulai dengan meneliti sedalam-dalamnya tujuan komunikan dan “know your audience” merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut : 1. Waktu yang tepat untuk suatu pesan 2. Bahasa yang harus dipergunakan agar pesan dapat dimengerti 3. Sikap dan nilai yang ditampilkan agar efektif 4. Jenis kelompok di mana komunikasi akan dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
Ditinjau dari komponen komunikan, seorang dapat dan akan menerima sebuah pesan hanya kalau terdapat empat kondisi berikut ini secara simultan: 1. Ia dapat dan benar-benar mengerti pesan komunikasi 2. Pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya 3. Pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu bersangkutan dengan kepentingan pribadinya 4. Ia mampu untuk menepatinya baik secara mental maupun fisik. Menurut Chester I. Barnand. dalam bukunya “Effetivepublic relations” mengemukaan fakta fundamental dalam Effendy (2000) yang perlu diingat oleh komunikator: 1. Bahwa komunikan terdiri dari orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain satu sama lainnya dalam jaringan lembaga sosial. Karena itu setiap orang adalah subjek bagi berbagai pengaruh, di antaranya adalah pengaruh dari komunikator 2. Bahwa komunikan membaca, mendengarkan, dan menonton komunikasi yang menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam 3. Bahwa tanggapan yang diinginkan komunikator dari komunikan harus menguntungkan bagi komunikan, kalau tidak, ia tidak akan memberikan tanggapan. Ditinjau dari komponen komunikator, untuk melaksanakan komunikasi efektif, terdapat dua faktor penting pada diri komunikator, yakni kepercayaan pada
Universitas Sumatera Utara
komunikator dan daya tarik komunikator. Kedua hal ini berdasarkan posisi komunikan yang menerima pesan: 1. Hasrat seseorang untuk memperoleh suatu pernyataan yang benar: jadi komunikator mendapat kualitas komunikasinya sesuai dengan kualitas sampai dimana
ia
memperoleh
kepercayaan
dari
komunikan,
dan
apa
yang
dinyatakannya. 2. Hasrat seseorang untuk menyamankan dirinya dengan komunikator atau bentuk hubungan lainnya dengan komunikator yang secara emosional memuaskan; jadi komunikator akan sukses dalam komunikasinya, bila ia berhasil memikat perhatian komunikannya. Kepercayaan pada komunikator (source credibility) ditentukan dan dapat tidaknya ia dipercaya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat meningkatkan daya perubahan yang menyenangkan. Lebih dikenal dan disenanginya komunikator oleh komunikan, lebih cenderung komunikan untuk mengubah kepercayaannya kearah yang dikehendaki komunikator. Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang diterima komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan. Dalam pada itu juga pada umumnya diakui bahwa pesan yang dikomunikasikan mempunyai daya pengaruh yang lebih besar, apabila komunikator dianggap muncul dari pendidikan yang lebih baik atau status sosial atau jabatan profesi yang lebih tinggi. Selain itu, untuk memperoleh
kepercayaan
sebesar-besarnya,
komunikator
bukan
saja
harus
Universitas Sumatera Utara
mempunyai keahlian, mengetahui kebenaran, tetapi juga cukup objektif dalam memotivasikan apa yang diketahuinya. Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik (source anttractiveness), jika pihak komunikator ikut serta dengan mereka dalam hubungannya dengan opini secara memuaskan. Misalnya, komunikator dapat disenangi atau dikagumi sedemikian rupa, sehingga pihak komunikan akan menerima sebuah keputusan dari usaha menyamakan diri dengannya melalui kepercayaan yang diberikan. Faktor perasaan yang sama dengan komunikator yang terdapat pada komunikan akan menyebabkan sukses dalam berkomunikasi. Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan, akan menimbulkan simpati pada komunikan. Seorang komunikator akan sukses dalam komunikasinya, kalau ia menyesuaikan komunikasinya dengan image dari komunikan, yaitu memahami kepentingannya,
kebutuhannya,
kecakapannya,
pengalamannya,
kemampuan
berfikirnya, kesulitannya, dan sebagainya. Komunikasi yang efektif melibatkan aspek-aspek kelakuan atau perilaku seperti motivasi, kepemimpinan, kepercayaan dan kekuatan. Pengirim pesan (komunikator) mempunyai rintangan-rintangan yang terkait seperti pengirim pesan bertanggung jawab dalam melukiskan tujuan dari komunikasi, ide, pemikiran dan perasaan ke dalam sebuah pesan yang dapat dimengerti oleh si penerima pesan dan apabila hal ini tidak bisa dicapai maka dapat dikatakan sebagai komunikasi yang tidak efektif. Rintangan-rintangan tersebut antara lain : Sasaran-sasaran dari
Universitas Sumatera Utara
komunikasi, kemampuan berkomunikasi, kepekaan antara pribadi, kerangka acuan dan kredibilitas si pengirim pesan. Penerima pesan (komunikan) mempunyai rintangan-rintangan yang terkait seperti si penerima pesan hanya merupakan bagian dari tanggung jawab si pengirim pesan dalam menciptakan komunikasi yang efektif dimana hal ini tersebut dapat dicapai hanya bila si penerima pesan merespon pesan yang diterima dan memberikan umpan balik dan apabila si penerima pesan tidak merespon maka dapat dikatakan sebagai komunikasi yang tidak efektif. Pengiriman pesan dapat melakukan beberapa hal untuk membuat pesan yang mereka kirim lebih akurat untuk dimengerti dan langkah-langkah yang ditempuh yaitu menentukan sasaran komunikasi, penggunaan bahasa yang tepat, berlatih berkomunikasi yang tegas, meningkatkan kredibilitas si pengirim pesan, memberikan umpan balik, membangun suasana saling percaya dan memilih penggunaan media yang tepat. Sedangkan untuk si penerima pesan dapat meningkatkan keefektifan sebuah komunikasi dengan cara mendengarkan pesan yang dikirim dengan seksama, menghindarkan penilaian yang evaluatif, dan menyediakan umpan balik yang responsive, semua itu untuk meningkatkan keefektifan sebuah komunikasi. 2.3. Motivasi Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat mengenai konsep motivasi manusia dan mempunyai lima hierarki kebutuhan, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Kebutuhan yang bersifat fisiologis; Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Teori ini bisa dikatakan sebagai suatu hal yang memang mendasari seseorang untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan kebutuhan ini. 2. Kebutuhan keamanan dan keselamatan; Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatannya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya. 3. Kebutuhan sosial; Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, meningkatkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi. 4. Kebutuhan akan prestasi; Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbol-simbol dalam status seseorang serta prestise yang ditampilkannya. 5. Kebutuhan Akutualisasi Diri; Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara
Universitas Sumatera Utara
cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi. Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi. Kebutuhan-kebutuhan
yang
disebut
pertama
(fisiologis)
dan
kedua
(keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau
Universitas Sumatera Utara
“koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan” yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan atau secara analogi berarti anak tangga.
Gambar 2.8. Model Herarki Piramida Maslow Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya. Berdasarkan dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mengalami penyempurnaan dan koreksi karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan, artinya sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu
Universitas Sumatera Utara
yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa : a. Kebutuhan yang sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang; b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dimana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan. Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teoriteori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif. Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Memiliki persepsi akurat tentang realitas. 2. Menikmati pengalaman baru. 3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak. 4. Memiliki standar moral yang jelas. 5. Memiliki selera humor. 6. Merasa bersaudara dengan semua manusia. 7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat. 8. demokratis dalam menerima orang lain. 9. Membutuhkan privasi. 10. Bebas dari budaya dan lingkungan. 11. Kreatif. 12. Spontan. 13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri. 14. Mengakui sifat dasar manusia. 15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain. Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilkan
semua
ciri
tersebut.
Dan
tidak
hanya
orang
yang
sudah
mengaktualisasikan diri yang menampilkan ciri-ciri tersebut, namun orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan ciri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita.
Universitas Sumatera Utara
2.4. HIV/AIDS 2.4.1
Pengertian AIDS Dalam terminologi kedokteran, penyakit AIDS adalah singkatan dari Aquired
Immune Deficiency Syndrome. Syndrome yang dalam bahasa Indonesianya adalah sindroma, merupakan kumpulan gejala dan tanda penyakit. Deficiency dalam bahasa Indonesia berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, sedangkan Aquired berarti diperoleh atau didapat. Dalam hal ini mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari Seseorang menderita AIDS , tetapi ia terinfeksi virus penyebab AIDS, sehingga AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistim kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan fase terminal atau fase akhir dari infeksi HIV. (Depkes, 1996). Sebagai virus, HIV merusak sel-sel genetik yang dimasukinya sehingga mempengaruhi aktivitas sel-sel tersebut dalam waktu yang tidak terbatas dan kemudian berkembang biak dalam darah dan cairan tubuh. Dengan adanya HIV dalam tubuh seseorang, maka akan menyebabkan menurun dan melemahnya sistim pertahanan kekebalan tubuh manusia. Sehingga tubuh akhirnya tidak mampu melawan berbagai penyakit bahkan yang tidak berbahaya sekalipun. Lemahnya
pertahanan tubuh terhadap penyakit lain
memudahkan penyakit tersebut untuk bertahan dan berkembang dalam tubuh penderita. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kematian penderita HIV/AIDS
Universitas Sumatera Utara
tidak disebabkan secara langsung oleh HIV tetapi adanya infeksi dari penyakit lain yang menyerang. Virus HIV tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan secara alami dalam waktu 4-12 minggu akan membuat antibodi yang hanya dapat diketahui melalui tes darah yang apabila ternyata HIV positif disebut sebagai window period. Gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita dalam waktu yang bersamaan ataupun terpisah adalah antara lain (WHO,1994): 1. Rasa lelah yang berkepanjangan 2. Diare selama satu bulan secara terus menerus 3. Sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan 4. Pembesaran pada kelenjar di leher, ketiak, paha, telinga, tanpa sebab yang jelas 5. Sering demam hingga 38 derjat lebih dan berkeringat tanpa sebab yang jelas 6. Berat badan tubuh turun secara mencolok 7. Terdapat bercak merah kebiru-biruan pada kulit 8. Kelainan kulit dan iritasi 9. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan Selain gejala-gejala umum tersebut, terdapat pula infeksi oportunistik atau penyakit indikator yang menyerang orang yang telah terinfeksi HIV. Penyakit indikator tersebut adalah TBC, Sarcoma Kaposi (sejenis kanker yang menyerang kulit), pneumonia, herpes, penyakit gangguan syaraf dan infeksi-infeksi lain seperti Crptosporidisis yang berhubungan dengan diare dan penurunan berat badan.
Universitas Sumatera Utara
AIDS merupakan sebutan bagi kumpulan-kumpulan gejala yang muncul karena berkurangnya kekebalan tubuh akibat terserang HIV. Seseorang akan dinyatakan menderita AIDS apabila: 1. Hasil tes HIV yang dilakukan menunjukkan hasil positif 2. Menderita satu atau lebih penyakit infeksi oportunistik khusus yang kambuh berulang kali atau menunjukkan adanya gangguan yang parah sistim kekebalan tubuhnya. Kebanyakan orang yang tertular HIV akan menderita AIDS sehingga berkembangnya virus HIV/AIDS terjadi rata-rata 5-10 tahun setelah terinfeksi virus tersebut. Terdapat berbagai cara penularan dari penyakit AIDS, yaitu antara lain melalui hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual), transfusi darah, Intra Drugs User/IDU (penularan dari pemakaian jarum suntik), penularan dari ibu yang terkena HIV/AIDS kepada anaknya yang terjadi sebelum atau selama masa persalinan, dan pemberian air susu ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya (WHO, 1994). Sedangkan HIV/AIDS tidak dapat ditularkan melalui kegiatan kontak langsung seperti pelukan, ciuman, berjabat tangan, pertukaran alat makan atau minum, batuk, gigitan serangga (WHO, 1994). Hingga saat ini belum ditemukan obat atau vaksin pencegah virus HIV dan penyembuh penyakit AIDS. Walaupun beberapa upaya medis telah diberikan kepada penderita, hal itu bukanlah untuk menyembuhkan melainkan hanya sekedar upaya untuk mempertahankan hidup. Dalam hal ini biasanya hanya digunakan obat-obatan
Universitas Sumatera Utara
untuk mengurangi rasa sakit dan mengatasi infeksi oportunistik tersebut. Hal inilah yang menyebabkan penderita memahami dan mengerti bahwa pada akhirnya penyakit ini hanya akan berakhir dengan kematian. Selanjutnya peningkatan terhadap resiko terkena AIDS antara lain disebabkan: 1. Karena peningkatan jumlah pasangan seksual. 2. Penggunaan jarum suntik untuk tato. 3. Anal seks. 4. Bentuk hubungan seks (oral, anal atau vagina) tanpa menggunakan kondom. 5. Penggunaan alkohol dan penyalah gunaan obat (keduanya mempunyai pengaruh terhadap perilaku seksual). Pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS yang diajukan oleh pemerintah Republik Indonesia , yang disebut sebagai rumus ABC. Rumus tersebut mengandung pemahaman A untuk abstinence (pantang berhubungan seks sebelum menikah); B untuk be faithful (berhubungan seks hanya dengan pasangan suami-istri tetap); C untuk use condom (pergunakan kondom dengan kontinyu bila melakukan hubungan seksual) (Mochtar, 1995). Namun di Indonesia penekanan pencegahannya yang utama, terletak pada huruf A yang mengandung pengertian upaya pencegahan yang utama adalah dengan melarang atau mencegah remaja melakukan hubungan seks sebelum atau diluar nikah (Mochtar, 1995). Upaya pencegahan yang demikian tampaknya tidak mudah untuk
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan oleh para remaja dan dalam kenyataannya justru muncul fenomena yang populer di kalangan remaja, seperti yang telah diungkapkan dari berbagai hasil penelitian mengenai perilaku seksual remaja.
2.4.2. Sejarah perkembangan penyakit AIDS Penyakit HIV/AIDS (Human Immunodefienciency Virus/ Aquired Immune Deficiency Syndrome) Pertama kali diidentifikasi dan dilaporkan keberadaannya sebagai suatu jenis penyakit pada tahun 1981 di Los Angeles, Amerika Serikat. Kondisi tersebut merupakan hasil identifikasi dari lima pemuda homoseksual yang terjangkit penyakit Pneumonia jenis langka yaitu PCP (Penemocystis Cariini Pneumonia) (WHO, 1994). Dalam waktu yang bersamaan, Pusat Pengendalian di Amerika Serikat juga menemukan 26 kasus homoseksual yang terserang penyakit Sarcoma Kaposi yaitu sejenis kanker langka yang biasanya menyerang golongan lanjut usia atau peminum berat. Pada awalnya kedua jenis penyakit ini hanya dilihat sebagai penyakit yang menimbulkan kerusakan yang teramat parah pada sistim kekebalan seseorang. Namun mengingat terdapat kesamaan faktor-faktor pendukung berkembangnya kedua jenis penyakit tersebut, maka para ahli kedokteran mulai mengelompokkannya sebagai jenis penyakit yang merusak fungsi kekebalan tubuh manusia. Hasil penelitian terhadap kedua jenis penyakit tersebut pada tahun 1982 resmi dinyatakan sebagai penyakit AIDS.
Universitas Sumatera Utara
Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 di Bali dan dua orang warga negara asing sebagai penderitanya. Kemudian pada tahun 1988 di Bali, seorang pria Indonesia dilaporkan meninggal karena penyakit tersebut. Sebenarnya terdapat kontroversi mengenai tahun kepastian kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia. Sebagian berpendapat, sesungguhnya kasus HIV/AIDS pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1986 berkaitan dengan meninggalnya seorang wanita Indonesia berusia 25 tahun. Kasus tersebut baru diinformasikan pada masyarakat umum tahun 1988 dengan pernyataan meninggal akibat penyakit HIV/AIDS yang tertular melalui tranfusi darah. Dengan demikian, waktu tepatnya penyakit HIV/AIDS masuk di Indonesia pertama kali sekitar antara tahun 1987-1988.
2.4.3. Kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Dampak dari perkembangan masalah HIV/AIDS ini tidak saja merugikan di bidang kesehatan, tetapi yang lebih serius adalah bahwa masalah ini dapat menimbulkan ancaman bagi pengembangan sumber daya manusia mengingat bahwa penyakit tersebut menyerang kelompok usia produktif, termasuk didalamnya kaum remaja yang cenderung memilki ciri-ciri atau sifat ingin tahu serta mencoba-coba berpetualang dengan masalah seksual, alkohol, serta pornografi, yang pada akhirnya menyebabkan mereka menjadi korban HIV/AIDS maupun penyakit menular seksual lainnya. Oleh karena itu pada tahun 1994 dikeluarkan Keputusan Presiden/Keppres No. 36 yang berisikan dibentuknya Komisi penanggulangan AIDS di Indonesia. Kemudian Keppres ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan/SK Menteri
Universitas Sumatera Utara
No. 9/Kep.Menko/VI/1994 yang memuat strategi penanggulangan AIDS di Indonesia. Adapun isi dari strategi penanggulangan AIDS di Indonesia adalah: 1. Prinsip-prinsip dasar penanggulangan HIV/AIDS 2. Lingkup Program 3. Peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat
4. Kerjasama Internasional Khusus mengenai lingkup program yang utama menyangkut: 1. Kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan sasaran: a. Masyarakat Umum b. Petugas kesehatan (pemerintah, swasta dan masyarakat) c. Perorangan dan Lembaga-lembaga d. Wanita dan Remaja e. Orang berisiko tinggi f. Para pengidap HIV dan penderita AIDS
2. Tindakan pencegahan 3. Pengujian (Testing) dan konseling 4. Pengobatan, pelayanan dan perawatan Dilihat dari sasaran KIE wanita dan remaja dimasukkan secara khusus sebagai kelompok sasaran KIE yang cukup penting karena kelompok ini dalam kehidupan
Universitas Sumatera Utara
sehari-hari sangat rawan terhadap penularan HIV/AIDS
tetapi juga sekaligus
berpotensi sebagai pendidik dan yang sangat ampuh. Adapun dilihat dari tatanan (setting) sasaran KIE dapat dikelompokkan: a. Rumah tangga sasarannya adalah keluarga, khususnya ibu-ibu b. Institusi pendidikan baik jalur sekolah maupun luar sekolah dengan sasaran terutama remaja dan dewasa muda c. Institusi kesehatan seperti, Puskesmas, Rumah Sakit, Balai Pengobatan dan lainlain, sasarannya adalah pasien, pengunjung dan petugas kesehatan. d. Tempat kerja seperti Pabrik, kantor dan lain-lain, sasarannya adalah karyawan, pimpinan dan pemilik /pengelola e. Tempat khusus, seperti lokalisasi WTS, Rutan, Lapas, dan Panti Sosial baik panti rehabilitasi maupun pelayanan, sasarannya penghuni, warga/pengunjung dan pemilik maupun pengelola f. Institusi/Lembaga/Organisasi kemasyarakatn seperti orhanisasi Agama, wanita dan pemuda. Dengan sasaran anggota dan pengurus organisasi
2.4.4. Pendidikan kesehatan HIV/AIDS melalui pendidikan kelompok sebaya Oleh karena belum ditemukan vaksin yang dapat mencegah infeksi HIV maupun obat yang dapat menyembuhkan penderita AIDS serta cepatnya pertumbuhan virus ini oleh prilaku manusia maka upaya pencegahannya agar tidak terjadi peningkatan jumlah pengidap HIV adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian pendidikan kesehatan menurut Simonds yang dikutip oleh Gianz dalam Notoatmodjo (1997) adalah upaya merubah perilaku individu, kelompok dan masyarakat dari perilaku-perilaku yang dapat mengancam/membahayakan kesehatan ke perilaku yang kondusif bagi kesehatan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan Green (1980) mengartikan sebagai pengalaman belajar yang dimaksud untuk memudahkan atau membantu penyesuaian perilaku yang bersifat sukarela, yang kondusif bagi kesehatan. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Soekidjo (1993) yang mendefenisikan pendidikan kesehatan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku)nya, untuk mencapai kesehatan secara optimal. Dari berbagai defenisi dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan kesehatan merupakan suatu proses belajar pada individu atau kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak tahu mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan menjadi mampu dan lain sebagainya. Dimana tujuan akhir dari pada kegiatan belajar tersebut adalah adanya perubahan perilaku yang dilakukan secara sukarela. Sehubungan dengan hal tersebut Pendidikan Kelompok sebaya (peer education) dapat dianggap sebagai satu upaya pendidikan kesehatan yang diarahkan dalam rangka perubahan perilaku yang berkaitan dengan upaya pencegahan diri terhadap penularan HIV, yang dilakukan oleh anggota kelompok sebaya itu sendiri. Di dalam proses kegiatan belajar tersebut terdapat tiga komponen pokok, yaitu komponen masukan (input), proses dan keluaran (output) (Soekidjo, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Komponen masukan dalam pendidikan kesehatan menyangkut sasaran belajar yaitu individu, kelompok atau masyarakkat yang sedang belajar dengan berbagai latar belakangnya. Komponen proses adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan perilaku, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain interaksi subyek belajar dengan pengajar (pendidik atau fasilitator), metode dan teknik belajar, alat bantu belajar, dan materi atau bahan pelajaran. Sedangkan keluaran adalah merupakan hasil belajar itu sendiri, yaitu berupa kemampuan atau perubahan perilaku dari subyek belajar. Proses kegiatan belajar tesebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Input (Subyek belajar)
PROSES BELAJAR (Subyek belajar)
Output (Hasil Belajar) BELAJAR (Subyek belajar)
Gambar 2.9. Skema Proses Kegiatan Belajar Hovland et.al. dalam Notoatmojo (2007) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses Perubahan Perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari: 1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efekti.
Universitas Sumatera Utara
2. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme(diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. 3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap) 4. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungannya, maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari pada individu tersebut (perubahan perilaku). Organisme: 1. Perhatian 2. Pengertian 3. Penerimaan
Stimulus
Reaksi (Perubahan skrip)
Reaksi (Perubahan praktek)
Gambar 2.10. Skema Teori Stimulus-Organisme-Respons Agar upaya pembentukan atau perubahan perilaku terjadi sebagaimana yang diharapkan diperlukan suatu strategi perubahan perilaku. WHO seperti yang dikutip oleh Notoatmojo (1997) mengelompokkan strategi perubahan perilaku menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan, cara ini ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-peraturan/perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh
Universitas Sumatera Utara
anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri. 2. Pemberian Informasi, dengan memberikan informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Cara ini akan memakan waktu lama tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari pada kesadaran sendiri bukan karena paksaan. 3. Diskusi dan partisipasi, cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua tersebut di atas dimana dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat satu arah saja, tetapi juga keaktifan berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya.
2.4.5. Beberapa model pendidikan kesehatan HIV/AIDS Upaya memberi pemahaman atau pengertian tentang HIV/AIDS pada remaja dapat dilakukan melalui berbagai macam cara atau pendekatan, Angelton (1989) mencoba mengulas berbagai strategi yang digunakan sejak tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980-an penekanan dilakukan pada pendidikan kesehatan di Negara-negara Eropa dan lebih diarahkan kepada pengadaan informasi yang faktual untuk meningkatkan pengetahuan serta keyakinan pada kaum remaja agar mereka dapat mengambil tindakan untuk menghindari diri terhadap resiko tertular maupun menularkan infeksi virus HIV, melalui berbagai kampanye publik. Dan tampaknya
Universitas Sumatera Utara
kampanye masa ini dianggap sebagai cara yang paling tepat dan efektif untuk memberi gambaran kepada masyarakat luas tentang bahaya penyakit AIDS. Beberapa strategi pendekatan yang digunakan antara lain: 1. Pendekatan Arahan Orang Dewasa(Adult-leaapproach) Pendekatan ini terdiri dari dua yaitu, yang terintegrasi dan tidak terintegrasi dalam kurikulum sekolah. Pendekatan yang pertama (terintegrasi) adalah penyebaran informasi tentang HIV/AIDS diintegrasikan kedalam mata pelajaran sekolah seperti pendidikan agama, pendidikan ilmu sosial, pendidikan ilmu kesehatan dan diilakukan oleh guru sekolah. Namun kenyataan memperlihatkan bahwa guruguru kurang memiliki ketrampilan dalam memberi pemahaman tentang HIV/AIDS. Karena masalah HIV/AIDS terkait erat dengan masalah lainnya yang harus disampaikan secara terbuka, seperti masalah penggunaan jarum suntik, seks dan seksualitas. Sedangkan pendekatan yang tidak terintegrasi dilakukan oleh para dokter sekolah, petugas kesehatan dengan menggunakan penayangan video kepada seluruh siswa sekolah. Efektifitas dari pada pendekatan ini masih dipertanyakan. Dalam perkembangannya mulai terjadi perubahan strategis yang lebih diarahkan pada pemberdayaan remaja baik secara individual maupun kolektif untuk bertindak sesuai dengan pemahaman mereka tentang masalah HIV/AIDS. 2. Pendekatan Partisipatori Strategi ini berbeda dengan strategi sebelumnya, dimana dalam strategi ini digunakan pendekatan kelompok, permainan-permainan seperti role play dan
Universitas Sumatera Utara
simulasi dengan tujuan agar para remaja dapat lebih memahami dan menghayati berbagai permasalahan atau isu-isu mengenai HIV/AIDS seperti resiko penularan melalui hubungan seksual atau praktek penggunaan jarum suntik diantara penguna
obat
terlarang,
hambatan-hambatan
yang
ditemui
didalam
mempraktekkan hubungan seksual yang aman (safer sexual behaviour) atau ketrampilan dalam melakukan negosiasi ke arah perilaku seksual yang aman dan lain sebagainya. Dengan pendekatan ini para remaja diharapkan dapat merencanakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko tertular HIV/AIDS.
2.5. Pengetahuan Pengetahuan merupakan ranah yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku pencegahan terhadap HIV/AIDS karena perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau berlangsung lama (Notoatmojo, 1990). Selanjutnya menurut Soekidjo pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang mencakup dalam ranah pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Tahu (know); tahu diartikan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsang yang telah diterima. Oleh karena itu ”tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (comprehension); memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek
yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebut contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. 3. Aplikasi
(Application);
penerapan
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi nyata (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan metode, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain 4. Analisis (Analysis); analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain 5. Sintesis (Synthesis); sintesis menunjukkan pada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada 6. Evaluasi (Evaluation); evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur. Pengetahuan dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan jenis kuesioner yang bersifat self administered questioner yaitu jawaban diisi sendiri oleh responden. Dan bentuk pertanyaannya berupa pilihan berganda, dimana hanya ada satu jawaban yang benar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penilaian yang bersifat subyektif.
2.6.
Sikap Secara historis istilah sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert
Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap juga adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan terhadap suatu objek memihak atau tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pikiran (kognisi), dan
Universitas Sumatera Utara
predisposisi tindakan (konasi) terhadap suatu objek di lingkungan sekitar. Newcomb dalam Notoatmodjo (1997) , mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dan lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Diagram berikut dapat menjelaskan uraian tersebut:
Stimulus Rangsangan
Proses Stimulus
Reaksi Tingkah Laku (terbuka)
Sikap (tertutup) Sumber : Notoatmodjo, (2003) Gambar 2.11. Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi 2.6.1. Komponen pokok sikap Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 (tiga) komponen pokok: (1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Universitas Sumatera Utara
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
2.6.2. Berbagai Tingkatan Sikap Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan antara lain: (1) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. (2) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
(3) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. (4) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Sikap seseorang yang positif belum tentu terwujud dalam tindakan positif, begitu pula sebaliknya. Temuan-temuan dari peneliti yang lalu menyebutkan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat lemah bahkan negatif dan penelitian lain menyebutkan bahwa hubungannya adalah positif. Menurut Brecter dan Wiggins yang dikutip Azwar (2007) sikap seseorang akan berpengaruh langsung terhadap perilaku sangat tergantung dari kondisi apa, waktu bagaimana dan situasi. Pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV dan AIDS akan membentuk dasar perilaku dari siswa tersebut karena berdasarkan pengetahuan dan sikap siswa dapat terhindar dari faktor resiko penularan HIV dan AIDS.
2.6.3 Fungsi Sikap Teori fungsional yang dikemukakan oleh Katz (1953) dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa untuk memahami sikap menerima dan menolak perubahan haruslah beranjak dari dasar motivasional sikap itu sendiri. Apa yang dimaksud oleh Katz sebagai dasar motivasional merupakan fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan. Fungsi sikap bagi manusia telah dirumuskan menjadi empat macam yaitu: (1) Fungsi instrumental, fungsi penyesuaian, fungsi manfaat. Fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian, individu akan membentuk sikap positif terhadap
Universitas Sumatera Utara
hal-hal yang dirasakannya akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasakan akan merugikan dirinya. (2) Fungsi pertahanan Ego Sewaktu individu tidak mengalami hal yang tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan bagi dirinya maka sifatnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut. Sikap dalam hal ini, merefleksikan problem kepribadian yang tidak terselesaikan. (3) Fungsi pertahanan nilai Nilai adalah konsep dasar mengenai apa yang dipandang baik dan diinginkan. Nilai-nilai terminal merupakan preferensi mengenai keadaan akhir tertentu seperti persamaan, kemerdekaan dan hak asasi. Nilai instrumental merupakan preferensi atau pilihan mengenai berbagai perilaku dan sifat pribadi seperti kejujuran, keberanian, atau kepatuhan akan aturan. Dengan fungsi ini seseorang seringkali mengembangkan sikap tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya. Fungsi inilah yang menyebabkan orang sering lupa diri sewaktu berada dalam situasi masa seidologi atau sama nilai. (4) Fungsi pengetahuan Menurut fungsi ini manusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencapai penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui
Universitas Sumatera Utara
oleh individu akan disusun, ditata kembali, atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi. Jadi sikap berfungsi sebagai suatu skema, yaitu suatu cara strukturisasi agar dunia di sekitar tampak logis dan masuk akal. Sikap digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fenomena luar yang ada dan mengorganisasikannya.
2.6.4 Pembentukan Sikap Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih dari pada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antara individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lainnya, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah: (1) pengalaman pribadi; (2) pengaruh orang lain yang dianggap penting; (3) pengaruh kebudayaan; (4) media massa; (5) lembaga pendidikan; (6) pengaruh faktor emosional.
2.6.5. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sikap Ada dua faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sikap adalah:
Universitas Sumatera Utara
(1) Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. (2) Faktor ekstern, yaitu faktor yang terdapat di luar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial di luar kelompok. Misalnya interaksi antara manusia dengan hasil kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, majalah, dan sebagainya. Berdasarkan kajian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor keluarga, adat istiadat yang berlaku, dan informasi dari media massa yang diterima olehnya. Sikap dalam bentuk perilaku ini lebih sulit untuk diamati, oleh karena itu pengukurannya berupa tanggapan atau kecenderungan terhadap fenomena tertentu.
2.7. Landasan Teori Berdasarkan tinjauan pustaka, maka peneliti dapat merumuskan beberapa landasan teori yang relevan dengan tujuan penelitian . Peter Duckler dalam menuju SDM berdaya (Kisdarto, 2002), menyatakan : “efektifitas adalah melakukan hal yang benar: sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar atau juga efektifitas berarti sejauh mana kita mencapai sasaran dan efisiensi berarti bagaimana kita mencampur sumber daya secara cermat)”. Dengan demikian komunikasi efektif merupakan pencapaian tujuan pesan yang disampaikan
Universitas Sumatera Utara
komunikator terhadap komunikan dengan menimbulkan perubahan perilaku pada komunikan. Sastropoetra, (1987) mengatakan “Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif atau berhasil bilamana di antara penyebar (penyuluh)dan penerima pesan (siswa) terhadap suatu pengertian yang sama mengenai isi pesan. Komunikator (fasilitator) akan sukses dalam komunikasi, apabila ia menyesuaikan komunikasinya dengan the image dari komunikan yaitu memahami kepentingannya, kebutuhan, kecakapan, pengalaman, kemampuan berfikir, kesulitannya dan sebagainya. (Effendi, 2000).
2.8. Kerangka Konsep Konsep pokok dalam penelitian ini, adalah Pengaruh Pelatihan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap Siswa SMU/MAN tentang HIV/AIDS di Kota Meulaboh Tahun 2010. Sastropoetra, (1987) mengatakan “Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif atau berhasil bilamana di antara penyebar (penyuluh) dan penerima pesan (siswa) terhadap suatu pengertian yang sama mengenai isi pesan. Komunikator (fasilitator) akan sukses dalam komunikasi, apabila ia menyesuaikan komunikasinya dengan the image dari komunikan yaitu memahami kepentingannya, kebutuhan, kecakapan, pengalaman, kemampuan berfikir, kesulitannya dan sebagainya. (Effendi, 2000). Penyampaian isi pesan secara tepat dan jelas harus diperhatikan beberapa hal berikut, diantaranya: 1) pesan itu harus jelas, bahasa yang mudah dipahami, tidak berbelit-belit, tanpa detonasi yang menyimpang dan tuntas, 2) pesan itu menarik dan
Universitas Sumatera Utara
meyakinkan karena bertautan dengan dirinya sendiri sesuai dengan rasio (Siahaan, 1991). Bentuk komunikasi tatap muka mempunyai keistimewaan dimana efek dan umpan balik, aksi dan reaksi langsung terlihat karena jarak dan fisik partisipan dekat sekali. Aksi maupun reaksi verbal dan non-verbal terlihat dengan jelas dan langsung. Oleh karena itu, “tatap muka yang dilakukan terus menerus dapat mengembangkan komunikasi antar pribadi yang memuaskan dua pihak” (Lilliweri,1991).
Pelatihan HIV/AIDS Komunikator Pesan Media Komunikan Umpan balik
Efek Pelatihan terhadap Siswa Pengetahuan Sikap
Gambar 2.12. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara