BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gangguan Jiwa 2.1.1. Pengertian Gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan dan/atau prilaku yang
dialami
seseorang
sehingga
menimbulkan
penderitaan
serta
terganggunya pelaksanaan fungsi sehari-hari dari orang tersebut (Azwar, 2007). Menurut Thea (2007), gangguan jiwa adalah perubahan fungsi jiwa yang menyebabkan gangguan pada fungsi jiwa, sehingga menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial baik peran di keluarga maupun masyarakat. Fungsi jiwa yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis, sosial, spiritual. Secara umum gangguan fungsi jiwa yang dialami seseorang dapat terlihat dari penampilan, komunikasi, proses berpikir, interaksi dan aktivitasnya sehari-hari. 2.1.2. Penyebab Gangguan Jiwa Suryani (2005) menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya. Dalam faktor biologik, gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmiter di otak. Bila salah satu orangtua mengalami skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia. Sementara bila kedua orangtua menderita maka 35-68 persen anaknya menderita skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan saudara kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976
Universitas Sumatera Utara
dalam Suryani, 2005). Pendapat ini didukung Slater, 1966 (dikutip dari Suryani 2005), yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota keluarga yang individunya sakit dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya. Pada faktor psikologik, hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Dalam faktor sosio budaya, Maretzki dan Nelson (196, dalam Suryani, 2005) menyatakan bahwa alkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Pendapat ini didukung pernyataan Favazza (1980, dalam Suryani, 2005) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi, alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa. Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa Goodman (1983, dalam Suryani, 2005) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afektif dan alkoholisme.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Jenis-Jenis Gangguan Jiwa Ada enam jenis gangguan jiwa yang diangkat sebagai isu global oleh WHO, yaitu epilepsi, depresi, skizofrenia, alzheimer, keterbelakangan mental, dan ketergantungan alkohol. Sedangkan fokus nasional adalah gangguan cemas atau ansietas dan depresi (Yulianti, 2001). a. Gangguan Skizofrenia Gangguan
skizofrenia
adalah
sekelompok
reaksi
psikotik
yang
mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan berperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2004). Gangguan berlangsung selama sedikitnya 6 bulan dan termasuk minimal 1 bulan gejala fase aktif yang melibatkan : waham, halusinasi, bicara tidak teratur, perilaku yang sangat kacau atau katatonik, dan gejala-gejala negatif (afek datar, alogia, dan avolisi). Gejala umum skizofrenia adalah 1) Waham : keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat dikurangi dengan menggunakan logika. 2) Asosiasi longgar : kurangnya hubungan yang logis antara pikiran dan gagasan, yang dapat tercermin pada berbagai gejala. 3) Halusinasi : persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indra, dalam skizofrenia halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang banyak terjadi. 4) Ilusi : salah menginterpretasikan stimulus lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
5) Depersonalisasi : individu merasa bahwa dirinya sudah berubah secara mendasar. 6) Afek datar : tidak adanya respon emosional, afek juga dapat digambarkan sebagai tumpul, atau tidak tepat. 7) Ambivalensi
:
adanya
konflik
atau
pertentangan
emosi
yang
menyebabkan sulitnya individu menentukan pilihan atau keputusan. 8) Avolisi : kurangnya motivasi untuk melanjutkan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. 9) Alogia : berkurangnya pola bicara atau miskin kata-kata. 10) Ekopraksia : meniru tindakan orang lain tanpa sadar. 11) Anhedonia : kurang senang melakukan aktivitas dan hal-hal lain yang secara normal menyenangkan. 12) Pemikiran
konkrit
:
kesulitan
berpikir
abstrak
sehingga
ia
menginterpretasikan komunikasi orang lain secara harfiah. Penyebab gangguan skizofrenia yang pasti masih belum jelas. Namun ada beberapa faktor predisposisi yang meliputi genetika, abnormalitas perkembangan
saraf,
abnormalitas
struktur
otak,
ketidakseimbangan
neurokimia, dan proses psikososial dan lingkungan. Ada beberapa jenis skizofrenia, antara lain : skizofrenia paranoid (ciri utamanya adalah waham yang sistematis atau halusinasi pendengaran). Skizofrenia hebefrenik (ciri utamanya percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar atau tidak tepat), diagnosis ditegakkan pertama kali pada usia remaja atau dewasa muda/mulai 15-25 tahun (Maslim, 2001), skizofrenia katatonik (ciri utamanya gangguan psikomotor, yang melibatkan
Universitas Sumatera Utara
imobilitas), skizofrenia yang tidak digolongkan (ciri utamanya adalah waham, halusinasi, percakapan yang tidak koheren dan perilaku yang kacau), skizofrenia residu (ciri utamanya adalah tidak adanya gejala akut saat ini, melainkan terjadi di masa lalu). Orang yang telah didiagnosa mengalami skizofrenia biasanya sulit dipulihkan. Jika bisa sembuh, itu pun memakan waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) dan tidak bisa seperti semula lagi. Bila tidak berhati-hati dan mengalami stres yang berlebihan, besar kemungkinan akan kambuh lagi dan menjadi lebih parah (Siswanto, 2007). b. Gangguan Depresi Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa pada juni 2007 lalu menyatakan bahwa 94 persen masyarakat Indonesia saat ini mengidap depresi, dari tingkat yang tinggi sampai tingkat yang rendah (Lathifah, 2007). Depresi adalah keadaan emosional yang dicirikan dengan kesedihan, berkecil hati, perasaan bersalah, penurunan harga diri, ketidakberdayaan dan keputusasaan (Isaac, 2004). Depresi termasuk dalam gangguan mood yang berkisar dari depresi berat sampai mania berat. Dampak gangguan mood pada keluarga yaitu perubahan tingkat energi, fungsi peran dan sosialisasi yang terjadi pada individu dengan gangguan mood mempengaruhi setiap aspek kehidupan keluarga. Jenis gangguan mood adalah gangguan depresi mayor yang dicirikan denga sedikitnya 2 minggu depresi mood atau kehilangan minat terhadap kesenangan dan aktivitas. Penentu spesifikasinya antara lain gambaran melankolik dimana individu mengalami anhedonia dengan semua aktivitas, gambaran
atpikal
dimana
individu
menunjukkan
reaktivitas
mood,
Universitas Sumatera Utara
peningkatan ansietas dan sensitivitas dan perubahan nafsu makan, gambaran psikotik dimana depresi individu disertai dengan delusi dan halusinasi. Jenis yang lain yaitu distimia yang dicirikan dengan depresi mood kronis yang terjadi hampir sepanjang hari, selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian gangguan bipolar dicirikan dengan satu episode manik atau lebih biasanya disertai episode depresi mayor. Siklotimia dicirikan dengan sedikitnya 2 tahun beberapa periode gejala hipomanik yang tidak separah episode manik. Penyebab pasti belum diketahui secara jelas. Faktor predisposisinya antara lain genetika, ketidakseimbangan neurokimia, obat-obatan tertentu, kondisi medis, dan proses psikososial dan lingkungan. c. Gangguan Ansietas Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik, dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal (Stuart, 1998). Tingkat ansietas adalah : ansietas ringan yang berhubungan
dengan
ketegangan
dalam
kehidupan
sehari-hari
dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Tingkat selanjutnya ansietas sedang yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Kemudian ansietas berat yang sangat mengurangi lahan persepsi seseorang dimana individu cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Tingkat yang terakhir adalah panik yang berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror,
Universitas Sumatera Utara
tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan dan hal lain ini melibatkan disorganisasi kepribadian. Ada beberapa teori yang menjelaskan asal ansietas yaitu, pandangan psikoanalitik (konflik emosional antara dua elemen kepribadian id dan superego), pandangan interpersonal (perasaan takut akan tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal), pandangan perilaku (produk frustasi), kajian biologis (reseptor benzodiazepines dalam otak yang mengatur ansietas). d. Perilaku Bunuh Diri Perilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang jika dicegah dapat mengarah kepada kematian (Stuart, 1998). Perilaku destruktif-diri langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri. Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu, ancaman bunuh diri (pertimbangan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri), upaya bunuh diri (semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan yang dapat mengarah pada kematian), dan bunuh diri (mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan). Perilaku destruktif-diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu yang dapat berupa kejadian kehidupan yang memalukan seperti, masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. e. Penyalahgunaan Zat Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terusmenerus
bahkan
sampai
setelah
terjadi
masalah
(Stuart,
1998).
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungannya semakin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (Depkes, 2001 dalam Mustikasari, 2007). Individu akan mengalami keadaan relaksasi, euforia, stimulasi atau perubahan kesadaran dengan berbagai cara (Stuart, 1998). Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat yang disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut, faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya, faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian
masyarakat
tentang
NAPZA (Hawari,
2000
dalam
Mustikasari, 2007). 2.2 Konsep Spiritualitas 2.2.1. Pengertian Spiritualitas adalah yang termasuk di dalamnya sebuah kepercayaan atau keinginan yang bersifat universal lebih besar dari kekuatan dirinya sendiri, sebuah perasaan yang saling keterkaitan dengan segala pengaturan kehidupan, perhatian terhadap tujuan dan arti kehidupan dan perkembangan diri serta nilai-nilai yang absolut (Hart, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Stoll (1989, dikutip dari Kozier, Erb, Blais, Wilkinson, 1995) spiritualitas adalah suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah adanya hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Penguasa yang menuntun kehidupan seseorang. Sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungannya, dimana terdapat hubungan yang berlangsung terus menerus antara dua dimensi tersebut. Menurut Mickey et al (1992) spiritualitas adalah sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dimensi spritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian. Adapun kekuatan yang timbul adalah diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995: Murray & Zentner, 1993). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caserta (2000) diketahui bahwa terdapat pengaruh stres orangtua terhadap kesehatan anak. Salah satu koping yang bisa dilakukan adalah berdoa, membaca kitab suci, dan bercerita. Aritonang (2008) menyebutkan bahwa keluarga yang anaknya menderita penyakit kronis menggunakan doa sebagai kopingnya dalam mengatasi stres. Selain itu, mereka juga optimis terhadap kesembuhan anak mereka dan terus mencari informasi tentang penyakit anaknya kepada petugas kesehatan maupun orang lain tentang penyakit anaknya dan bagaimana perawatannya.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki spiritualitas yang tinggi. Salah satu praktek spiritual adalah kepercayaan. 2.2.2. Dimensi Spiritualitas Spiritualitas adalah keyakinan dari diri seseorang yang dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa (Burkhardt, 1993). 1. Hubungan dengan Tuhan Bersifat mengekspresikan kebutuhan ritual, berbagi keyakinan dengan orang lain dan merasa bersyukur atas anugerah yang telah dilimpahkan oleh Tuhan. Dengan menjalin hubungan positif dan dinamis dengan Tuhan melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta akan memberikan prilaku adaptif pada seorang individu. 1.1 Nilai-nilai agama (Religion). Agama merupakan sistem ibadah yang terorganisasi dan mempunyai aturan-aturan tertentu. Agama mempunyai keyakinan sentral, ritual dan praktik yang biasanya berhubungan dengan kematian, perkawinan, dan keselamatan. Perkembangan keagamaan individu merujuk pada penerimaan keyakinan, nilai, aturan dan ritual tertentu (Hamid, 1999). 1.2 Doa (Prayer). Berdoa adalah suatu bagian penting dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu terapi yang dapat meningkatkan koping seseorang melalui perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Dengan berdoa individu merasa tenang dan bersyukur atas anugerah yang dilimpahkan Tuhan (Aldridge, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan dengan diri sendiri Bersifat kekuatan dalam diri seseorang seperti pengetahuan tentang siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan sikap percaya pada diri sendiri. 2.1 Kepercayaan (Faith). Menurut Hamid (1999), kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Secara umum agama atau keyakinan spritual merupakan upaya seseorang didalam kehidupan yaitu kemampuan seseorang melihat dirinya dalam hubungannya dengan lingkungan secara menyeluruh. 2.2 Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cendrung terkena penyakit (Grimm, 1991). Harapan dapat dipelajari dengan latihan-latihan tentunya dengan sikap-sikap yang mendukungnya, salah satunya adalah dengan kesabaran dan kemampuan yang lebih toleransi terhadap keadaan. 2.3 Makna atau arti dari hidup (Meaning of life).
Perasaan mengetahui
makna hidup, yang kadang dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa mencintai dan dicintai orang lain (Puchalski, 2004). 3. Hubungan dengan orang lain
Universitas Sumatera Utara
Dapat bersifat harmonis seperti berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik dengan orang lain, mengasuh anak, orang tua, orang sakit, meyakini kehidupan dan kematian mengunjungi, melayani dan lain-lain, bersifat tidak harmonis seperti konflik dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan. 3.1 Memaafkan atau Pengampunan (Forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa bersalah, malu, binggung, meyakini bahwa Tuhan sedang menghukum serta mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. Dengan pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi atau tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan damai (Puchalski, 2004). 3.2 Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and Social Support). Hart, (2002). Keinginan untuk menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk
melawan
banyak
penyakit.
Seseorang
yang
mempunyai
pengalaman cinta kasih dan dukungan sosial yang kuat cendrung untuk menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari penyakit jantung.
Universitas Sumatera Utara
4. Hubungan dengan lingkungan atau alam. Bersifat
harmonis
seperti
mengetahui
tentang
tanaman,
pohon,
margasatwa, iklim, dapat berkomunikasi dengan alam (bertanam, jalan kaki), mengabdikan dan melindungi alam (Hamid, 1999). 4.1 Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan rekreasi, seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasan dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup, seperti menonton TV, dengar musik, olahraga dan lain-lain (Puchalski, 2004). 4.2 Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih senang dan dapat meningkatkan status kesehatan. 2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Spiritualitas Menurut Taylor, Lilis and le Mone (1997) dan Craven and Hirnle (1996), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah pertimbangan tahap perkembangan keluarga, latar belakang etnik dan budaya. Pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan, terpisah dari ikatan spiritual, isu moral terkait dengan terapi, asuhan keperawatan yang kurang tepat. Maka oleh sebab itu faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas yaitu: 1. Pertimbangan tahap perkembangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak
dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka
Universitas Sumatera Utara
mempunyai persepsi tentang Tuhan dan sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama dan kepribadian anak. 2. Keluarga. Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritualitas
anak.
Keluarga
merupakan
lingkungan
terdekat
dan
pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan didunia. 3. Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. 4. Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. 5. Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang (Toth, 1992) dan Craven and Hirnle (1996). Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada klien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisikal dan emosional. 6. Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial (social support system). Kebiasaan hidup sehari-hari berubah seperti tidak dapat menghadiri acara reuni, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan
Universitas Sumatera Utara
keluarga atau teman dekat yang biasa memberikan dukungan setiap saat diinginkan. 7. Isu moral terkait denga terapi. Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya, walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan. 8. Asuhan keperawatan yang kurang tepat. Ketika memberikan asuhan keperawatan klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menggangap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual klien bukan menjadi tuganya tetapi tanggung jawab pemuka agama. 2.3 Konsep Koping 2.3.1. Pengertian Koping Koping adalah pola atau cara seseorang atau individu dalam merespon stres (Berger & William, 1992). Koping dapat dilihat sebagai bermacammacam cara atau strategi yang dilakukan oleh seseorang individu baik secara sadar maupun tidak sadar dengan tujuan untuk mengatasi stres dan tekanan yang muncul sebagai suatu ancaman untuk mengatasi suatu masalah (Fortinash & Holodry, 2000). Koping dapat dilihat sebagi tindakan yang diambil oleh seseorang secara langsung dalam menghadapi tuntutan,
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan masalah, dan atau merubah dan mengatur stresor (McCubbin, Thompson, & McCubbin, 1996 dikutip dari Lewis & Brown, 2002). Berdasarkan
pengertian
diatas,
peneliti
menyimpulkan
bahwa
mekanisme koping adalah reaksi individu ketika menghadapi suatu tekanan atau stres dan bagaimana individu tersebut menanggulangi stres yang dihadapinya. 2.3.2. Sumber-sumber koping Folkman et al (1979) menggambarkan lima jenis sumber koping untuk mengurangi efek yang buruk dari stres dan mempengaruhi penyesuaian diri (Calderon & Greenberg, 1999). Sumber koping yang pertama ialah keahlian menyelesaikan
masalah
dimana
orang
akan
lebih
efektif
dalam
mengidentifikasi masalah dan mengembangkan solusi yang dapat mengatasi stres. Kedua, yaitu jaringan sosial yang didefinisikan sebagai hubungan dukungan yang potensial seperti pasangan, teman, keluarga besar yang memfasilitasi adaptasi positif terutama setelah krisis. Ketiga, yaitu sumbersumber yang bermanfaat termasuk faktor-faktor seperti penghasilan, pendidikan, intervensi dari luar dan pelayanan profesional lain. Keempat, yaitu keyakinan umum maupun spesifik termasuk self efficacy, kontrol diri dan spiritualitas. Kelima, yaitu kesehatan, energi, moral yang mencerminkan tingkat kesejahteraan fisik dan emosi sebelum dan selama datangnya stresor. Chelsa (1999) dalam Hoeman (2002) menggunakan teori McCubbin & McCubbin untuk mengidentifikasi stres keluarga, perubahan yang dilakukan keluarga untuk memanajemen stres, dan adaptasi, berpendapat bahwa tercapainya koping keluarga sebagai respon adaptasi terhadap stres yang
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh salah satu anggota keluarga yang mengalami penyakit kronik,
dipengaruhi
oleh
pengetahuan
keluarga
tentang
penyakit,
pengobatannya, dan perubahan gaya hidup yang harus dilakukan terhadap anggota keluarga yang sakit. 2.3.3 Penggolongan Mekanisme Koping Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 3 (Stuart dan Laraia, 2005) yaitu : 1. Koping yang berpusat pada masalah (Problem Focused Coping Mechanisms). Mekanisme koping berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan situasi yang menimbulkan stress atau mengembangkan sumber daya untuk mengatasinya. Hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme koping yang berpusat pada masalah adalah : a. Koping konfrontasi (Confrontative Coping), menggambarkan usahausaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara agresif, juga menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko. b.
Isolasi, individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu masalah yang dihadapi.
c.
Kompromi menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan secara hatihati, meminta bantuan dan kerjasama dengan keluarga dan teman kerja atau mengurangi keinginannya lalu memilih jalan tengah.
2. Koping yang berpusat pada kognitif (Cognitively Focused Coping Mechanisms). Dimana seseorang berusaha untuk mengontrol masalah dan menyelesaikannya.
Contohnya
termasuk
perbandingan
yang
positif,
Universitas Sumatera Utara
ketidaktahuan memilih, penggantian penghargaan, dan evaluasi dari keinginan akan tujuan. 3. Koping
yang
Mechanisms).
berpusat Koping
pada ini
emosi mengarah
(Emotion pada
Focused
Coping
usaha
reduksi,
pembatasan/penghilangan atau toleransi stress subjective (somatis, motori atau afektif) dari stres emosional yang muncul karena adanya transaksi dengan lingkungan yang menyulitkan. Jenis-jenis mekanisme koping yang berpusat pada emosi adalah : a. Denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya. b. Rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Dengan rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian secara adil. c. Kompensasi,
menunjukkan
tingkah
laku
untuk
menutupi
ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu. d. Represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatannya dan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
e. Sublimasi, yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan sikap positif. f. Identifikasi, yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain. g. Regresi, yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil. h. Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau melampiaskan kesalahannya kepada orang lain. i. Konversi, yaitu mentransfer reaksi psikologi ke gejala fisik. j. Displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang kemudian diarahkan kepada orang lain. 2.3.4. Koping Keluarga Koping keluarga didefinisikan sebagai respon yang positif sesuai dengan masalah, afektif, persepsi, dan respon perilaku yang digunakan keluarga dan sub sistemnya untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stress yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa. Dengan mengubah dari tingkat koping individu menjadi koping keluarga, koping menjadi jauh lebih rumit. Respons-respons atau perilaku koping keluarga merupakan
tindakan-tindakan
pengenalan
yang
digunakan
keluarga
sedangkan pola-pola dan strategi koping adalah respons-respons sama yang membentuk set-set homogeny. Strategi-strategi koping keluarga berkembang
Universitas Sumatera Utara
dan berubah dari waktu ke waktu, sebagai respons terhadap tuntutan-tuntutan atau stresor yang dialami (Friedman, 2003). Respons-respons koping keluarga meliputi tipe strategi koping eksternal dan internal. Sumber-sumber koping internal terdiri dari kemampuan keluarga yang menyatu sehingga menjadi kohesif dan terintegrasi. Integrasi keluarga memerlukan pengontrolan dan subsistem lewat ikatan kesatuan. Keluarga yang paling sukses menghadapi masalah-masalah mereka adalah keluarga yang paling sering terintegrasi dengan baik dimana anggota keluarga memiliki tanggung jawab yang kuat terhadap kelompok dan tujuan-tujuan kolektifnya. Satu sumber koping lainnya adalah fleksibilitas peran mampu memodifikasi peran-peran keluarga ketika dibutuhkan (Friedman, 2003). Sumber-sumber koping eksternal berhubungan dengan penggunaan sistem pendukung sosial oleh keluarga. Dalam memandang sumber-sumber eksternal ini, jelas bahwa keluarga berbeda satu sama lain dalam hal sejauh mana mereka mampu memperoleh persetujuan dari lingkungan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap informasi, barang, dan pelayanan. Seringkali sumber-sumber finansial dan pengetahuan untuk mendapat bantuan kurang. Keluarga harus mampu mengurangi beberapa tuntutan darinya. Hal ini dilakukan lewat aturan batasan-batasan keluarga. Tanpa kemampuan yang memadai untuk mengamankan ketaatan terhadap lingkungan
melalui
pengaturan
efektif
dari
batasan
keluarga
dan
Universitas Sumatera Utara
membawanya ke dalam masukan yang diperlukan, keluarga lebih berada pada risiko. 2.3.5. Strategi Koping Keluarga Gambaran tentang adaptasi keluarga terhadap stress muncul dari riset dan upaya-upaya teoritis hingga kira-kira pertengahan 1970-an adalah bahwa keluarga semata-mata merupakan sebuah reaktor bagi stress, sebagai seorang manajer
“defensive”
dari
sumber-sumber
dengan
begitu
banyak
kecenderungan ini sedang mengalami perubahan. Banyak sekali penyelidikan berikutnya telah berubah dari penekanannya pada disfungsi kearah minat yang lebih positif dan lebih luas dalam beraneka macam taktik koping yang keluarga gunakan. Dengan fokus ini, keluarga pelaku perubahan social yang ulet, inovatif, dan sangat efektif dalam kondisi yang penuh stress (Friedman, 2003). Strategi koping yaitu usaha secara kognitif, emosi, dan perilaku memodifikasi, mentoleransi atau menghilangkan stressor (Lazarus & Folkman, 1980 dikutip dari Druxbury & Higgins, 2001). Upaya-upaya dan perilaku koping keluarga atau individual yang spesifik untuk masalah atau situasi. Berbeda dalam situasi dan masalah berbeda pada solusinya, yaitu penggunaan berbagai respon-respon koping. Akan tetapi, respon-respon koping
memiliki
gaya-gaya
dan
kecondongan
tertentu,
yang
juga
mempengaruhi tipe-tipe upaya tertentu dimana keluarga berhubungan dengan suatu masalah. Dua tipe strategi koping keluarga adalah internal atau
Universitas Sumatera Utara
intrafamilial (dalam keluarga inti) dan eksternal atau ekstrafamilial (di luar keluarga inti) (McCubbin & Patterson, 1983 dalam Pritzlaff, 2001). Dalam strategi koping keluarga internal atau intrafamilial strategi koping keluarga yang digunakan adalah Reframing, yaitu mengkaji kemampuan keluarga dalam menghadapi stres dan kemampuan keluarga untuk memanajemennya. Passive Appraisal,yaitu kemampuan keluarga untuk menerima masalah yang kemudian berusaha meminimalkan reaksi pada masalah. Sedangkan untuk strategi koping keluarga eksternal atau ekstrafamilial, strategi koping keluarga yang digunakan adalah mencari dukungan sosial yaitu mencari dukungan dari keluarga lain, tetangga, dan teman, mencari informasi (Mobilizing Family) yaitu kemampuan keluarga mencari bantuan dari petugas kesehatan maupun program-program kesehatan untuk mengatasi masalahnya, dan mencari dukungan spiritual yaitu mencari kenyamanan pada sistem kepercayaan religius yang tinggi (Pritzlaff, 2001). 2.3.6. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping Keluarga Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi. 1. Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
Universitas Sumatera Utara
2. Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping tipe : problem-solving focused coping. 3. Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. 4. Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat. 5. Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. 6. Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasa dapat dibeli.
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Tipe Strategi Koping Keluarga Upaya-upaya dan perilaku koping keluarga atau individual yang spesifik untuk masalah atau situasi. Berbeda dalam situasi dan masalah berbeda pula solusinya yaitu penggunaan berbagai respon-respon koping. Akan tetapi, respon-respon koping memiliki gaya-gaya dan kecondongan tertentu, yang juga mempengaruhi tipe-tipe upaya-upaya tertentu di mana keluarga berhubungan dengan suatu masalah. Dua tipe strategi koping keluarga adalah internal atau intrafamilial (dalam keluarga inti) dan eksternal atau ekstrafamilial (di luar keluarga inti). 1. Strategi Koping Keluarga Internal a. Mengandalkan kelompok keluarga. Untuk mengatasi masalah/stressor yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk menggali dan mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri. Keluarga melakukan ini dengan membuat struktur dan organisasi yang lebuh besar dalam keluarga, yakni dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap anggota dapat lebih disiplin dan taat. Dalam kondisi ini keluarga dapat mengontrolnya, jika berhasil maka akan mencapai integrasi dan ikatan yang lebih kuat. Burgess (1979) dalam Friedman (2003) mengatakan bahwa strategi koping yang khas adalah disiplin diri dikalangan anggota keluarga yang mengalami stress, mereka harus memelihara ketenangan dan dapat memecahkan masalah karena mereka yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan anakanaknya.
Universitas Sumatera Utara
b. Penggunaan humor. Menunjukkan bahwa perasaan humor merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan perubahan bagi sikap-sikap keluarga terhadap masalah-masalah dan perawatan kesehatan. Humor juga diakui sebagai suatu cara bagi individu dan kelompok untuk menghilangkan rasa cemas dan stress/tegang. c.
Pengungkapan bersama yang semakin meningkat (memelihara ikatan keluarga). Suatu cara untuk membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta mengatasi tingkat stres dan pikiran, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah keluarga. Cara untuk mengatasi masalah dalam keluarga adalah adanya waktu untuk makan bersama-sama dalam keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam bersama, adanya kegiatan yang menantang bersama keluarga, beribadah bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum tidur, menceritakan pengalaman pekerjaan maupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota keluarga.
d. Mengontrol arti/makna dari masalah pembentukan kembali kognitif dan penilaian pasif. Salah satu cara untuk menemukan koping efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan mengartikan masalah yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif rangsang berbahaya yang dialami dalam hidup. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling efektif untuk mengetahui stressor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang
Universitas Sumatera Utara
positif. Keluarga menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dan kejadian yang menyebabkan stres. (Friedman, 2003) e. Pemecahan masalah keluarga secara bersama-sama. Pemecahan masalah bersama dikalangan anggota keluarga merupakan strategi koping keluarga yang telah dipelajari melalui riset laboratorium oleh sekelompok peneliti keluarga. Pemecahan masalah bersama dapat digambarkan
sebagai
suatu
situasi
dimana
keluarga
dapat
mendiskusikan masalah yang ada secara bersama-sama oleh keluarga dengan mengupayakan mencari solusi atau jalan keluar atas dasar logika, mencapai suatu konsensus tentang apa yang perlu dilakukan atas dasar petunjuk, persepsi dan usulan dari anggota keluarga yang berbeda. (Friedman, 2003) f. Fleksibilitas peran. Adanya perubahan dalam kondisi dan situasi dalam keluarga yang setiap saat dapat berubah, fleksibilitas peran merupakan suatu strategi koping yang kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang berduka, fleksibilitas peran adalah sebuah strategi koping fungsional yang penting untuk membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga. g. Normalisasi. Salah satu strategi koping keluarga yang lain adalah kecenderungan keluarga menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan koping terhadap sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan keluarga dan kegiatan rumah tangga. Friedman (2003) mengatakan bahwa “Normalisasi” merupakan cara untuk
mengkonseptualisasikan
bagaimana
keluarga
mengelola
Universitas Sumatera Utara
ketidakmampuan
seorang
anggota
keluarga,
sehingga
dapat
menggambarkan respon keluarga terhadap sakit atau kecacatan. Bila anak dalam anggota keluarga sakit, maka keluarga dapat menormalkan situasi dengan meminimalkan situasi abnormalitas dalam penampilan anak,
berpartisipasi
dalam
kegiatan-kegiatan
biasa
dan
terus
memelihara ikatan sosial. 2. Strategi Koping Keluarga Eksternal a. Mencari informasi. Keluarga yang mengalami stres memberikan respons secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan stressor. Ini berfungsi untuk menambah rasa memiliki kontrol terhadap situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga menilai stressor secara lebih akurat. b. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Kategori ini berbeda dengan koping yang menggunakan sistem dukungan sosial dimana kategori
ini
merupakan
suatu
koping
keluarga
yang
berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan sebuah kategori yang dapat meningkatkan stressor spesifik tertentu. Dalam hal ini anggota keluarga adalah pemimpin dalam suatu kelompok, organisasi dan kelompok komunitas. c. Mencari dukungan sosial. Mencari sistem pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi koping keluarga eksternal yang utama. Sistem pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok profesional, para tokoh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingnan bersama. Menurut Caplan (1974) dalam Friedman (2003), terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal,
penggunaan
sistem sosial
formal,
dan
penggunaan
kelompok-kelompok mandiri. Tujuan dari penggunaan jaringan dukungan sosial informal, yang biasanya diberikan oleh kerabat dekat atau tetangga dekat atau tokoh masyarakat, memiliki dua tujuan utama koping: pertama, sistem ini memberikan dukungan pemeliharaan dan emosional bagi anggota keluarga. Dan yang kedua adalah bantuan berorientasi pada tugas yang biasa dilakukan keluarga, misalnya bantuan perawatan, melakukan tugas-tugas rumah tangga bantuan praktis pada saat kritis (Friedman, 2003). Penggunaan sistem sosial formal dilakukan keluarga ketika keluarga gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan masalah. Sedangkan penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial dilakukan melalui organisasi yang luas seperti perkumpulanperkumpulan penyakit Asma, Jantung, dan lain-lain. (Friedman, 2003). d. Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan bahwa keluarga berusaha mencari dan mengandalkan dukungan spiritual anggota keluarga sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalah. Friedman (2003) mengatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasikan oleh anggota keluarga sebagai cara paling
Universitas Sumatera Utara
penting bagi keluarga mengatasi suatu stressor yang berkaitan dengan kesehatan. Selain
dari
dua
tipe
seperti
dikemukakan
diatas,
kemudian
dikembangkan lagi strategi koping keluarga dari H I. Mc Cubbin dan Thompson
(1987)
dalam
Friedman
(2003)
yang
khusus
untuk
menginventarisir tindakan penanggulangan masalah-masalah kesehatan bagi orang tua yakni Coping Health Inventory for Parent (CHIP). Alat ini dikembangkan untuk menggambarkan bagaimana keluarga beradaptasi dengan situasi di bawah tekanan kronis (stressor). Hal tersebut mencakup penanggulangan oleh keluarga sebagai proses aktif yang meliputi pemanfaatan sumber daya keluarga dan pengembangan perilaku baru untuk membantu memperkuat unit keluarga dalam mengurangi dampak peristiwa penuh tekanan. Pengembangan perilaku dalam CHIP ini memfokuskan pada: a) teori dukungan sosial keluarga, yaitu hubungan anggota keluarga dengan masyarakat dan antar anggota keluarga untuk menghasilkan dukungan emosi, kepercayaan diri, dan jaringan; b) teori tekanan keluarga yang menekankan sumber daya dan persepsi keluarga yang digunakan dalam mengelola situasi penuh tekanan/stressor; c) teori psikologi individu tentang penanggulangan yang memfokuskan pada penyesuaian aktif dan pasif secara psikologi yang diperlukan untuk mengatur kegelisahan dan tekanan emosi; dan d) dukungan perawatan kesehatan keluarga/medis melalui komunikasi orang tua dengan tim kesehatan dan orang tua lain. Dari teori-teori tersebut strategi koping dibagi menjadi tiga pola penerapan atau penanggulangan yaitu; Pola I disebut integrasi keluarga
Universitas Sumatera Utara
(mempertahankan
keutuhan
keluarga),
kerjasama
dan
rasa
optimis
menghadapi keadaan, Pola II yaitu mempertahankan dukungan sosial, kepercayaan diri dan rasa stabilitas psikologis dan Pola III yaitu pemahaman situasi medis (perawatan kesehatan) melalui komunikasi dengan keluarga dan konsultasi dengan petugas kesehatan (H I. Mc Cubbin dan Thompson, 1987 dalam Friedman, 2003). 2.3.8 Strategi Koping Keluarga Dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa Penerimaan kondisi gangguan jiwa terhadap salah satu anggota keluarga yang kemudian diharuskan untuk menjalani pengobatan di Rumah Sakit Jiwa, akan memberikan stres pada keluarga dikarenakan kurangnya pengetahuan akan pengobatan. Pada saat seperti ini strategi koping sangatlah dibutuhkan keluarga dalam memberikan dukungan kepada pasien untuk menjalani pengobatan. Strategi koping keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa adalah usaha-usaha keluarga untuk memenuhi pengetahuan akan gangguan jiwa, menunjukkan peran dukungan keluarga dan cara keluarga untuk mempertahankan dan memulihkan keadaan sehat pada keluarga, serta memiliki pandangan positif untuk menjalani hidup di tengah keadaan yang krisis (White et al, 2004). 2.3.9. Respon Koping Menurut Stuart & Sundeen (1995 dalam Drakbar, 2008), respon koping dapat digolongkan dalam 2 bagian, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1.
Koping Adaptif Koping adaptif merupakan mekanisme koping yang mendukung
integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan sehingga seseorang secara berulang memproyeksikan
evaluasi diri positif berdasarkan pola
perlindungan diri dan bertahan terhadap ancaman-ancaman dasar yang dirasakan. 2.
Koping Maladaptif Koping maladaptif merupakan koping yang menghambat fungsi
integrasi, menghambat pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai. Koping maladaptif menunjukkan respon kelainan atau kerusakan perilaku adaptif dan ketidakmampuan memecahkan masalah pada diri seseorang dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan dalam kehidupan. 2.4 Konsep Keluarga 2.4.1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. (Departemen Kesehatan RI, 1988 dikutip dari Effendy, 1998). Bailon & Maglaya (1989) dalam Effendy (1998), mendefinisikan keluarga adalah dua atau lebih dati dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian keluarga diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa keluarga adalah kumpulan dua atau lebih individu yang disatukan oleh ikatan kebersamaan dan ikatan emosional, memiliki peran dan tugas-tugas yang saling berhubungan, serta adanya rasa saling menyayangi dan memiliki. 2.4.2. Fungsi Keluarga Menurut Effendy (1998), ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai berikut : 1. Fungsi Biologis Fungsi Biologis dari keluarga adalah untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga serta memelihara dan merawat anggota keluarga. 2. Fungsi Psikologis Fungsi Psikologis dari keluarga adalah memberikan kasih sayang dan rasa aman,
memberikan
perhatian
diantara
anggota
keluarga,
membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas keluarga. 3. Fungsi Sosialisasi Fungsi sosialisasi dari keluarga adalah membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. 4. Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi dari keluarga adalah mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menabung untuk
Universitas Sumatera Utara
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dimana yang akan datang misalnya pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga, jaminan hari tua dan sebagainya. 5. Fungsi pendidikan Fungsi pendidikan dari keluarga adalah menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku untuk sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang
dewasa
serta
mendidik
anak
sesuai
dengan
tingkat-tingkat
perkembangannya. 2.4.3. Tugas Kesehatan Keluarga Tugas kesehatan keluarga adalah mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat, memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit, mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat, serta mempertahankan hubungan dengan menggunakan fasilitas kesehatan masyarakat. (Friedman, 2003) 2.5 Hubungan Spiritualitas Dengan Koping Keluarga Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhan akan semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan kecuali semakin mendekat kepada-Nya (Hidayat, 2006). Spiritualitas diasumsikan sebagai hal yang sangat penting pada saat sakit dibandingkan saat-saat lain dalam kehidupan (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara keyakinan dengan pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan. Dimana kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis, tetapi juga aspek spiritual yang dapat membantu membangkitkan semangat pasien maupun keluarga pasien dalam proses penyembuhannya (Hidayat, 2006). Penelitian telah membuktikan bahwa sebuah studi dari India, yang mengevaluasi skizofrenia,
faktor menunjukkan
yang
terkait
bahwa
dengan
keluarga
kursus
pasien
yang
dan
hasil
menghabiskan
lebih banyak waktu dalam kegiatan keagamaan cenderung merasa lebih tenang dalam mengahadapi pasien yang mengalami gangguan jiwa (Ruchita Shah, Parmanand Kulhara, Sandeep Grover, Suresh Kumar, Rama Malhotra & Shikha Tyagi, 2010). Dengan demikian, dapat dimengerti ada hubungan antara dua variabel yaitu spiritualitas dengan strategi koping keluarga.
Universitas Sumatera Utara