BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi Bencana 2.1.1 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Utara adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan penanggulangan bencana di wilayah Provinsi Sumatera Utara (Permendagri No. 46 tahun 2008). BPBD Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari atas unsur pengarah dan unsur pelaksana berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Kepala Badan secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah (Permendagri No. 46 tahun 2008). BPBD Propinsi mempunyai fungsi : (1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta (2) pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas: (1) menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi secara adil dan setara, (2) menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan, (3) menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana, (4) menyusun dan
Universitas Sumatera Utara
menetapkan prosedur tetap penanganan bencana, (5) melaporkan penyelenggaraan penanggulangn bencana kepada Kepala Daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (6) mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (7) Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, (8) mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBD, (9) melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan Unsur pengarah BPBD mempunyai fungsi: (1) menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana daerah, (2) memantau mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah. Unsur pelaksana BPBD mempunyai fungsi : (1) koordinasi, (2) komando, dan (3) pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya
2.1.2 Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kesehatan Regional Sumatera Utara Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kesehatan Regional adalah unit fungsional di daerah yang ditunjuk untuk mempercepat dan mendekatkan fungsi bantuan pelayanan kesehatan dalam penanggulangan krisis kesehatan pada kejadian bencana (Depkes RI, 2007). PPK Regional
Sumatera Utara yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 679/Menkes/SK/VI/2007 diharapkan mampu mengantisipasi krisis kesehatan secara efektif-efisien, terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh serta mempunyai kemampuan merespons dengan segera melalui pengerahan sumber daya kesehatan yang ada di wilayah
Universitas Sumatera Utara
kerjanya. Pengorganisasian tersebut merupakan keterpaduan dari institusi Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, Kesehatan Kodam I/BB, Kedokteran dan Kesehatan Polda Sumut, dan Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan (Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 679/Menkes/SK/VI/2007). Penanggulangan krisis kesehatan akibat wabah dan bencana diawali tahun 1991, dengan pembentukan kelompok kerja, berdasarkan Surat Keputusan Menkes RI Nomor 360/Menkes/SK/VI/1991, tanggal 24/6/1991. Tahun 1995, dibentuk unit fungsional Pusat Penanggulangan Krisis Akibat Bencana, berdasarkan Surat Keputusan Menkes RI Nomor 594/Menkes/VI/1995, tanggal 7/6/1995. Tiga tahun kemudian, tahun 1998 berdasarkan Surat Keputusan Menkes RI Nomor 942/Menkes/IX/1998, tanggal 2/9/1998, dibentuk Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (Crisis Center) di Lingkungan Departemen Kesehatan. Tahun 2000, berdasar Surat Keputusan Menkes RI Nomor 726/Menkes/SK/IV/2000, tanggal 24/4/2000, dibentuk unit struktural Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK). Tahun 2001, berdasarkan keputusan bersama Menkes dan Mensos, dibentuk Direktorat Jenderal Penanggulangan Masalah Sosial dan Kesehatan. Peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004 dan gempabumi Nias tahun 2005, telah merenggut korban jiwa dalam jumlah besar dan menimbulkan krisis kesehatan. Peristiwa ini menjadi inspirasi proses pembelajaran bahwa petugas kesehatan dituntut siap siaga setiap saat dan perlu adanya upaya untuk mendekatkan dan mempercepat dukungan bantuan kesehatan secara terkoordinasi. Dengan dasar ini kemudian ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Nomor 783/Menkes/SK/II/2006, tentang Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana, yang berjumlah 9 regional, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Daerah Ibukota Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana, diperbaharui kembali guna optimalisasi kinerjanya dengan dikembangkan subregional Sumatera Barat dan subregional Papua, berdasarkan Surat Keputusan Menkes Nomor 679/Menkes/SK/VI/2007, tentang Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Regional. Tugas dan wewenang Departemen Kesehatan adalah merumuskan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis kesehatan dan masalah kesehatan lainnya dalam tahap prabencana, saat bencana dan pascabencana. Fungsi PPK Kesehatan Regional, adalah sebagai: (1) pusat dukungan operasional kesehatan, (2) pusat pengendalian bantuan kesehatan, (3) pusat rujukan kesehatan, dan (4) pusat informasi kesehatan atau media senter, bekerja 24 jam yang mempunyai link dengan Departemen Kesehatan RI (Pusat). Provinsi Sumatera Utara ditunjuk sebagai PPK Kesehatan Regional, karena (1) ada rumah sakit rujukan/pendidikan, yaitu RSUP H. Adam Malik, (2) memiliki akses transportasi ke beberapa wilayah (darat, laut dan udara), (3) memiliki sumber daya manusia yang sangat memadai, dan (4) memiliki sarana penunjang yang baik. Wilayah kerja organisasi PPK Kesehatan Regional Sumatera Utara, meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Riau Kepulauan dalam penyelenggaraan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (Depkes RI, 2007).
2.1.3 Visi, Misi, Kebijakan dan Strategi Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Sumatera Utara a. Visi Visi organisasi Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kesehatan Regional Sumatera Utara, yaitu “Terwujudnya Penanganan Krisis dan Masalah Kesehatan lain secara Cepat, Tepat dan Terpadu Menuju Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat”. b. Misi Misi organisasi PPK Kesehatan Regional Sumatera Utara, meliputi (1) menggerakan upaya penanganan krisis dan masalah kesehatan lain yang lebih bernuasa pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan daripada tanggap darurat dan rehabilitasi; (2) memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata
dan
terjangkau
secara
profesional;
(3)
meningkatkan
keterpaduan
penyelenggaraan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain; (4) menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam penanganan krisis dan masalah kesehatan lain; dan (5) menyediakan informasi secara cepat, tepat dan akurat untuk penanganan krisis dan masalah kesehatan lain.
c. Kebijakan
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan organisasi PPK Kesehatan, meliputi (1) penanganan krisis dan masalah kesehatan lain lebih menitik beratkan kepada upaya sebelum terjadi; (2) pengorganisasian penanganan krisis dan masalah kesehatan lain tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dilaksanakan dengan semangat desentralisasi dan otonomi; (3) penanganan krisis dan masalah kesehatan lain diselenggarakan dengan memperkuat koordinasi dan kemitraan baik di tingkat Pusat maupun Daerah; (4) pemantapan jaringan lintas program dan lintas sektor dalam penanganan krisis dan masalah kesehatan lain; (5) pemantapan sistem informasi dan komunikasi penanganan krisis dan masalah kesehatan lain; (6) peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan dan masyarakat guna menunjang kemandirian masyarakat dalam penanganan krisis kesehatan dan masalah lain; (7) pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan sarana kesehatan, tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan dalam penanganan krisis dan masalah kesehatan lain di atur secara berjenjang; (8) setiap korban akibat krisis dan masalah kesehatan lain mendapatkan pelayanan kesehatan sesegera mungkin secara optimal dan manusiawi dan responsif gender; (9) pada masa tanggap darurat, pelayanan kesehatan dijamin oleh pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pelayanan kesehatan pasca tanggap darurat disesuaikan dengan kebijakan Menteri Kesehatan dan Pemerintah Daerah; dan (10) pemantapan regionalisasi penanganan krisis kesehatan dan masalah kesehatan lain untuk mempercepat respons.
d. Strategi
Universitas Sumatera Utara
Strategi organisasi PPK Kesehatan, meliputi (1) meningkatkan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain; (2) mendorong terbentuknya unit kerja untuk penanganan masalah krisis dan kesehatan lain di daerah; (3) mengembangkan sistem manajemen penanganan masalah krisis dan masalah kesehatan lain di daerah; (4) setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan yang memiliki kemampuan dalam penanganan krisis dan masalah kesehatan di wilayahnya secara terpadu, berkoordinasi dengan Satkorlak PB dan Satlak PB; (5) mengembangkan sistem informasi dan komunikasi penanganan masalah krisis dan kesehatan lain; (6) memperkuat jejaring informasi dan komunikasi melalui peningkatan intensitas pertemuan koordinasi dan kemitraan lintas program/lintas sektor, organisasi non pemerintah, masyarakat dan mitra kerja internasional secara berkala; (7) menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelayanan kesehatan bagi korban akibat krisis dan masalah kesehatan lain dengan memobilisasi semua potensi; (8) meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas melalui pendidikan dan pelatihan; (9) meningkatkan pemberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam mengenal, mencegah dan mengatasi krisis
dan masalah kesehatan lain di wilayahnya;
(10) mengembangkan sistem regionalisasi penanganan krisis dan masalah kesehatan lain, melalui pembentukan pusat-pusat penanganan regional. Kinerja organisasi PPK Kesehatan Regional Sumut antara lain dipengaruhi oleh; (1) faktor kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana dan otonomi daerah; (2) faktor risiko bencana, yang meliputi kerawanan bencana, kerentanan dan
Universitas Sumatera Utara
kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat, (3) kesiapan unsur-unsur siaga bencana pada institusi/lembaga kesehatan sektoral dan (4) faktor koordinasi dalam penyusunan rencana aksi kesehatan dalam penanggulangan bencana (Menneg Ristek, 2007; PP No. 41/2007; UU No. 24/2007; dan PP No. 21/2008). Pengerahan sumber daya kesehatan, diperlukan adanya standar manajemen krisis kesehatan bencana, meliputi (1) kebijakan dalam penanganan krisis, bahwa setiap korban perlu mendapatkan pelayanan kesehatan kedaruratan dan identifikasi korban meninggal; (2) pengorganisasian dilaksanakan oleh PPK Kesehatan yang terpadu dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, (3) mekanisme pengelolaan bantuan, terutama sumber daya manusia, obat dan perbekalan kesehatan; dan (4) pengelolaan data dan informasi penanganan krisis kesehatan (Depkes RI, 2007). Pelayanan
kesehatan
menurut
Proyek
Sphere
(PS)
dalam
Piagam
Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana, merupakan satu unsur penentu yang kritis mempertahankan hidup pada tahap awal bencana. Sistem pelayanan secara lengkap kemudian meliputi usaha pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi dari akibat trauma fisik, psikologis maupun akibat penyakit menular atau tidak menular yang berpotensi terjadi pada suatu daerah bencana (Pujiono, 2006). Sistem/infrastruktur kesehatan menurut Proyek Sphere berturut-turut memuat (1) dukungan terhadap pelayanan kesehatan; (2) dukungan terhadap sistem kesehatan nasional atau tempatan (lokal); (3) memiliki kejelasan koordinasi; (4) standar pelayanan kesehatan dasar; (5) pelayanan klinis terhadap kasus; (6) sistem informasi kesehatan (Pujiono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Penentuan prioritas pelayanan kesehatan mensyaratkan pemahaman tentang (1) status kesehatan, (2) kebutuhan dan risiko kesehatan, (3) sumber daya dan kemampuan masyarakat yang terkena dampak sebelum bencana terjadi. Kebutuhan informasi tentang persyaratan diatas, akan dapat menyulitkan koordinasi jika terjadi bencana di daerah yang menjadi areal service dan tanggung jawab Dinas kesehatan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengkajian yang melibatkan semua stake holder pada tahap pra bencana. Informasi ini penting untuk menyusun rencana contingency yang segera dapat direvisi dan ditindaklanjuti dengan aksi penangggulangan yang harmonis (Pujiono, 2006). Secara umum menurut Proyek Sphere bahwa intervensi kesehatan masyarakat dirancang untuk menjamin terciptanya manfaat kesehatan dalam hal pertolongan darurat dan pertolongan klinis pada orang cedera atau sakit. Upaya pencegahan pada saat bencana yang dapat dilakukan bekerja sama dengan sektor terkait lainnya adalah masalah ketersediaan air bersih, gizi (pangan), sarana penampungan dan pelayanan klinis mencegah penyebaran wabah penyakit akibat bencana (Pujiono, 2006). Koordinasi lintas sektor berarti bahwa satgas kesehatan tidak pernah dapat berdiri sendiri untuk menangani segala masalah kesehatan akibat dari bencana. Organisasi PPK di dalam berkoordinasi tidak hanya kepada sumber daya yang berada dibawah pengawasannya tetapi juga terhadap sumber daya sektor-sektor lain di bawah koordinasi BPBD (BNPB, 2007). 2.2 Koordinasi
Universitas Sumatera Utara
Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan koordinasi merupakan salah satu fungsi Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. Di samping itu unsur pelaksana juga melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Fungsi komando diperlukan dalam saat tahap tanggap darurat, dimana tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan perdebatan atau argumentasi yang berlarut-larut selain hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh komando atasan. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 bahwa penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
bertujuan
untuk
menjamin
terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Kata terpadu dalam penanggulangan bencana penting karena masalah yang ditimbulkan terkait dengan berbagai sektor yang multi kompleks. Koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Pengertian lain tentang koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Tunggal (2002), mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian sasaran-sasaran dan aktivitas dari unit kerja yang terpisah (departemen atau area fungsional) agar dapat merealisasikan sasaran organisasi secara effektif. Kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Griffin (1998), memberikan suatu definisi yang lebih singkat tentang koodinasi yaitu suatu proses menghubungkan (linking) semua kegiatan dari berbagaibagai bagian kerja (departement) pada lingkup organisasi. Linking diperlukan karena bermakna mengaitkan semua departemen untuk selalu saling
membantu dalam
koordinasi yang efektif. Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh Thompson (Handoko, 2003), yaitu: a. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuansatuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir. b. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependence), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja. c. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Handoko (2003), menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan,
faktor-faktor
lingkungan
selalu
berubah-ubah
serta
saling
ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasiorganisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.
2.2.1 Masalah-Masalah dalam Koordinasi Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin
besar
derajat
spesialisasi,
semakin
sulit
bagi
manajer
untuk
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Lawrence dan Lorch (Handoko, 2003) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu: a. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Para anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Bagian penjualan misalnya menganggap bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualitas produk. Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi. b. Perbedaan
dalam
orientasi
waktu.
Manajer
produksi
akan
lebih
memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
c. Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi. Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain. d.
Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.
2.2.2 Tipe-Tipe Koordinasi Menurut Hasibuan (2007), terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu: a. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya. b. Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan
penyatuan,
pengarahan
yang
dilakukan
terhadap
kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.
2.2.3 Sifat-Sifat Koordinasi Menurut Hasibuan (2007), terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu: a. Koordinasi adalah dinamis bukan statis. b. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran.
Universitas Sumatera Utara
c. Koordinasi
hanya
meninjau
suatu
pekerjaan
secara
keseluruhan.
Asas koordinasi adalah asas skala (hierarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki ini bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya.
2.2.4 Syarat-Syarat Koordinasi Menurut Hasibuan (2007), terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: a. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang. b. Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan. c. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai. d. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.
2.2.5 Ciri-Ciri Koordinasi Menurut Handayaningrat (1985), koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering dicampur-adukkan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Sekalipun demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak melakukan kerjasama. Oleh kaerna itu, maka kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi. b. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik. c. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Oleh karena koordinasi adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, maka sejumlah individu yang bekerjasama, di mana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi. d. Konsep kesatuan tindakan. Hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usahausaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil.
Universitas Sumatera Utara
e. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok di mana mereka bekerja Dalam
operasionalnya
koordinasi
adalah
proses
pengintegrasian
(penggabungan yang padu) dari semua tujuan dan kegiatan anggota satuan-satuan yang letaknya boleh terpisah berjauhan di lingkup organisasi masing-masing, supaya dapat menghasilkan suatu hasil optimal yang disetujui bersama (Rowland, 1984). Kutipan yang dapat disarikan sebagai berikut : (1) Koordinasi dari usaha meliputi penyesuaian dari kegiatan-kegiatan untuk memperoleh suatu atau sekelompok tujuan. Bila semua pekerja diberikan kebebasan melakukan pekerjaan menurut cara sendiri-sendiri, masing-masing akan dipandu oleh ide masing-masing tentang apa yang harus dilakukan. Walaupun semua memiliki keinginan untuk kooperatif, hasil akhir dapat menghasilkan pemborosan waktu, daya upaya, dan sumber daya uang karena tidak ada petunjuk yang jelas memandu usaha tersebut. Secara konsekuen koordinasi dibutuhkan dan menjadi suatu tanggung jawab utama dari pemimpin-pemimpin (manejer-manejer). (2) Koordinasi adalah berbeda sikap kooperatif. Kooperatif boleh terjadi secara spontan di lingkungan kelompok pekerja namun koordinasi terjadi hanya bila di sana ada kepemimpinan yang efektif (effective leadership). Di dalam arti praktis koordinasi berarti konsentrasi dan penggunaan usaha yang kooperatif diseluruh anggota tim untuk menyelesaikan suatu tugas secara ekonomis dan efektif.
Universitas Sumatera Utara
(3) Untuk dapat memperoleh kualitas koordinasi yang ideal seharusnya manajemen telah memulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dn pengendalian yang baik. Koordinasi (Coordination) adalah salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan dalam “manajemen bencana” yang dikenal dengan empat C yaitu Command (komando), Control (Pengendalian); Coordination (Koordinasi) dan Communication (Komunikasi). Keempat hal ini kerap dilakukan karena melibatkan multi sektor yang terkait dalam penanganan bencana. Komando adalah fungsi perintah didasarkan atas sistem hirarki suatu organisasi yang dilakukan secara vertikal. Pengendalian adalah fungsi mengarahkan dan dilakukan pada suatu situasi yang menyangkut lintas organisasi. Koordinasi adalah fungsi keduanya yang diarahkan pada penggunaan sumber daya secara sistematis dan efektif (Rowland, 1984). Dalam melaksanakan tugas penanganan bencana terutama pada saat tanggap darurat harus ada satu kesatuan perintah (unity of command) dari seseorang kepada orang lain yang bertanggung jawab kepadanya, sehingga apa yang mesti dilaksanakan jelas dan tidak membingungkan (Rowland, 1984). Koordinasi adalah proses perpaduan kegiatan lintas sektoral baik dalam pemerintahan maupun stake holders lainnya dalam upaya penanganan bencana agar dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Fungsi koordinasi dilakukan secara terintegrasi dengan sektor terkait pada (1) tahap pra dan (2) pasca bencana sedangkan pada tanggap darurat fungsi yang dilaksanakan adalah dominan
Universitas Sumatera Utara
fungsi komando karena fungsi koordinasi telah lebih dahulu dilaksanakan pada tahap pra bencana (Depkes RI, 2002).
2.2.6 Tujuan Koordinasi Koordinasi adalah upaya menyatu padukan berbagai sumber daya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif serta harmonis (Depkes RI, 2002). Koordinasi yang baik akan menghasilkan upaya yang terpadu dan terarah dalam memberdayakan semua potensi yang ada, dengan tujuan : 1. Mencegah duplikasi program. Masing-masing unit pelaksana terkait memiliki program penanggulangan bencana sesuai dengan tugas dan fungsi dan kemampuan yang sebelumnya telah dinventarisasi dan dilaporkan pada bagian pengurusan database di dinas kesehatan. 2. Menjawab pertanyaan “siapa mengerjakan? Apa? Bagaimana? dan di mana?” Dalam situasi darurat bencana selalu terjadi kebingungan dalam siapa yang mengerjakan, apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. 3. Jaminan skala prioritas. Dengan koordinasi yang baik akan diperoleh skala prioritas tindakan yang dijamin dapat dilaksanakan oleh semua pihak.
Universitas Sumatera Utara
4. Adanya pelayanan sesuai “standar”. Pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar minimal pelayanan kesehatan. Untuk kepastian standar diperlukan SOP (Standard Operating Procedure) 5. Tingkat Efektivitas yang tinggi. Tingkat efektivitas adalah terutama dalam kegiatan penanggulangan bencana. Aspek efisiensi adalah aspek yang berikutnya karena dalam kasus bencana selalu harus ditanggulangi dengan biaya tak terduga. Namun demikian setiap pelaksana penanggulangan bencana, perlu mengurangi pemborosan tenaga dan waktu dalam melaksanakan kegiatan.
2.2.7 Standard Operating Procedure (SOP) dalam Koordinasi Ada beberapa pendapat tentang Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi antara lain : Menurut Pusat Penanggulangan masalah kesehatan Depkes RI (2002), Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi adalah : (1) adanya media untuk berkoordinasi, (2) adanya tempat dan waktu untuk melaksanakan koordinasi, (3) adanya unit atau pihak yang dikoordinasikan. Unit yang dimasud di sini adalah organisasi kesehatan baik instansi maupun tim kesehatan lapangan, (4) pertemuan reguler. Pertemuan reguler dapat dilaksanakan secara periodik dalam waktu perbulan, pertriwulan, persemester atau bersifat insidentil apabila diperlukan, (5) tugas pokok dan tanggung jawab organisasi sektor kesehatan yang jelas, (6) informasi dan laporan, (7) kerjasama pelayanan dan sarana, dan (8) aturan (Code of conduct) organisasi kesehatan yang jelas
Universitas Sumatera Utara
Menurut Rapat koordinasi Satkorlak PB, Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi adalah sebagai berikut : (1) Tentukan pola koordinasinya (berbagi
informasi?,
kegiatan
bersama?,
program
terpadu?),
(2)
Tunjuk
penanggungjawabnya, (3) Jadwalkan titik pertemuan koordinasi dan (4) Tentukan mekanisme pertanggungjawaban.
2.3 Penyusunan Rencana Aksi Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan-tujuan organisasi dan kemudian mengartikulasikan/menyajikan dengan jelas strategi-strategi, taktik-taktik dan operasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Tunggal, 2002). Perencanaan adalah pemikiran yang logis dan rasional berdasarkan data/informasi atau perkiraan-perkiraan sebagai dasar kegiatan atau aktivitas organisasi, manajemen maupun individu dalam upaya mencapai tujuan. Menurut Handoko (1984), Perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Perencanaan yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi di waktu yang akan datang dimana perencanaan dan kegiatan yang diputuskan akan dilaksanakan, serta periode sekarang yaitu saat rencana dibuat. Perencanaan memiliki hierarki mulai dari penetapan misi, rencana strategik, rencana taktis dan rencana operasional yang dibagi menurut kurun waktu tertentu. Stoner dan Kootz dalam Handoko (2003), membagi hierarki rencana organisasi menjadi; (1) maksud atau misi, (2) sasaran, (3) strategi, (4) prosedur dan aturan
Universitas Sumatera Utara
(5) kebijakan utama dan penunjang, (6) program besar atau kecil dan program pendukung dan (7) anggaran. Rencana aksi sangat diperlukan bagi semua pelaku organisasi
untuk
beroperasi secara efektif. Dalam skala kecil dapat berupa aktivitas atau tindakan yang biasa dilakukan, tetapi skala yang besar dibutuhkan suatu rencana yang tertulis untuk setiap tahapan operasi agar pengendalian dan pengawasan dapat dilaksanakan secara efektif. Dalam manajemen bencana perencanaan aksi merupakan rencana operasi secara umum (sumber daya, pengorganisasian, peran dan fungsi) yang mencakup pra, saat dan pasca bencana, berlaku untuk semua jenis ancaman yang ada dan disusun pada jangka waktu tertentu sebelum terjadi bencana (PP No 21 tahun 2008). Rencana aksi penanggulangan bencana adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang dapat dibagi menjadi : a. Rencana aksi nasional pengurangan bencana. b. Rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana. Dalam PP No 21 tahun 2008, disebutkan bahwa rencana aksi untuk pengurangan risiko bencana disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari pemerintah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang dikoordinasikan oleh BPBD.
Universitas Sumatera Utara
2.4
Efektivitas Organisasi
2.4.1 Pengertian Efektivitas Organisasi Konsep efektivitas sesungguhnya merupakan suatu konsep yang luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi. Konsep efektivitas ini oleh para ahli belum ada keseragaman pandangan, dan hal tersebut dikarenakan sudut pandang yang dilakukan dengan pendekatan disiplin ilmu yang berbeda, sehingga melahirkan konsep yang berbeda pula di dalam pengukurannya. Namun demikian, banyak juga ahli dan peneliti yang telah mengungkapkan apa dan bagaimana mengukur efektivitas itu (Simamora, 2004). Efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Simamora, 2004). Sedangkan menurut pendapat Gibson (1985), bahwa “efektivitas adalah konteks perilaku organisasi merupakan hubungan antar produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan dan pengembangan.” Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktifitasaktifitas yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Gibson (1985), mengungkapkan tiga pendekatan mengenai efektivitas yaitu: 1. Pendekatan
Tujuan.
Pendekatan
tujuan
untuk
mendefinisikan
dan
mengevaluasi efektivitas merupakan pendekatan tertua dan paling luas digunakan. Menurut pendekatan ini, keberadaan organisasi dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan tujuan menekankan peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai kriteria untuk menilai efektivitas serta mempunyai pengaruh yang kuat atas pengembangan teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi, tetapi sulit memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap pendekatan tujuan ini adalah pendekatan teori sistem. 2. Pendekatan Teori Sistem. Teori sistem menekankan pada pertahanan elemen dasar masukan-proses-pengeluaran dan mengadaptasi terhadap lingkungan yang lebih luas yang menopang organisasi. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar, dimana organisasi menjadi bagiannya. Konsep organisasi sebagian suatu sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar memperkenalkan pentingnya umpan balik yang ditujukan sebagai informasi mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau serangkaian tindakan oleh seseorang, kelompok atau organisasi. Teori sistem juga menekankan pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem dapat disimpulkan: (1) Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus masukanproses-keluaran, bukan keluaran yang sederhana, dan (2) Kriteria efektivitas harus mencerminkan hubungan antar organisasi dan lingkungan yang lebih
Universitas Sumatera Utara
besar dimana organisasi itu berada. Jadi: (1) Efektivitas organisasi adalah konsep dengan cakupan luas termasuk sejumlah konsep komponen. (3) Tugas manajerial adalah menjaga keseimbangan optimal antara komponen dan bagiannya. 3. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini adalah perspektif yang menekankan pentingnya hubungan relatif di antara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam
suatu
organisasi.
Dengan
pendekatan
ini
memungkinkan
mengkombinasikan tujuan dan pendekatan sistem guna memperoleh pendekatan yang lebih tepat bagi efektivitas organisasi. Robbins (1994), mengungkapkan juga mengenai pendekatan dalam efektivitas organisasi: 1. Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach). Pendekatan ini memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat dari pencapaian tujuannya (ends) daripada caranya (means). Kriteria pendekatan yang populer digunakan adalah memaksimalkan laba, memenangkan persaingan dan lain sebagainya. Metode manajemen yang terkait dengan pendekatan ini dikenal dengan Manajemen By Objectives (MBO) yaitu falsafah manajemen yang menilai keefektifan organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa jauh mereka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pendekatan sistem. Pendekatan ini menekankan bahwa untuk meningkatkan kelangsungan hidup organisasi, maka yang perlu diperhatikan adalah sumber daya manusia, mempertahankan diri secara internal, memperbaiki struktur organisasi dan pemanfaatan teknologi agar dapat berintegrasi dengan lingkungan yang darinya organisasi tersebut memerlukan dukungan terus menerus bagi kelangsungan hidupnya. 3. Pendekatan konstituensi strategis. Pendekatan ini menekankan pada pemenuhan tuntutan konstituensi itu di dalam lingkungan yang darinya orang tersebut memerlukan dukungan yang terus menerus bagi kelangsungan hidupnya. 4. Pendekatan nilai-nilai bersaing. Pendekatan ini mencoba mempersatukan ke tiga pendekatan diatas, masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing nilai selanjutnya lebih disukai berdasarkan daur hidup di mana organisasi itu berada. Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan tujuan didasarkan pada pandangan organisasi diciptakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam teori sistem, organisasi dipandang sebagai suatu unsur dari sejumlah unsur yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Sedangkan pendekatan Multiple Constituency merupakan pendekatan yang menggabungkan pendekatan tujuan dengan pendekatan sistem sehingga diperoleh satu pendekatan yang lebih tepat bagi tercapainya efektivitas organisasi. Sedangkan untuk pendekatan nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
bersaing merupakan pendekatan yang menyatukan ketiga pendekatan yang telah dikemukakan di atas yang disesuaikan dengan nilai suatu kelompok.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Efektivitas Berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam efektivitas organisasi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas organisasi adalah sebagai berikut: (1) Adanya tujuan yang jelas, (2) Struktur organisasi. (3) Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, (4) Adanya sistem nilai yang dianut (Steers, 1985). Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya tujuan organisasi mencakup beberapa fungsi diantaranya yaitu memberikan pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh organisasi (Steers, 1985). Faktor-faktor yang memengaruhi organisasi harus mendapat perhatian yang seriuas apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas. Steers (1985), menyebutkan empat faktor yang memengaruhi efektivitas, yaitu: 1. Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari
Universitas Sumatera Utara
suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas. 2. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi. 3. Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu organisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi. 4. Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas tercapai. Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia, tidak hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses
Universitas Sumatera Utara
komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan inovasi organisasi. Menurut pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa: 1) organisasi terdiri atas berbagai unsur yang saling berkaitan, jika salah satu unsur memiliki kinerja yang buruk, maka akan memengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan; 2) keefektifan membutuhkan kesadaran dan interaksi yang baik dengan lingkungan; 3) kelangsungan hidup organisasi membutuhkan pergantian sumber daya secara terus menerus. Suatu perusahaan yang tidak memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas organisasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuannya tetapi apabila suatu perusahaan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dapat lebih mudah tercapai hal itu dikarenakan efektivitas akan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
2.4.3 Kriteria Pengukuran Efektivitas Organisasi Tercapainya tingkat efektivitas yang tinggi perlu memperhatikan kriteriakriteria efektivitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Steers (1985), sebagai berikut: (1) Produktivitas. (2) Kemampuan berlaba. (3) Kesejahteraan pegawai. Secara lebih operasional. Indrawijaya (1989) mengemukakan “efektivitas organisasi akan tercapai apabila organisasi tersebut memenuhi kriteria mampu beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi, dan melaksanakan produksi dengan baik”.
Universitas Sumatera Utara
Gibson (1984) berpendapat bahwa kriteria efektivitas meliputi: 1. Kriteria efektivitas jangka pendek: Produksi, Efisiensi, Kepuasan. 2. Kriteria efektivitas jangka menengah: Persaingan, dan Pengembangan 3. Kriteria efektivitas jangka panjang 4. Kelangsungan hidup Simamora (2004) mengungkapkan beberapa hal yang menjadi kriteria dalam pengukuran efektivitas. Efektivitas dapat diukur dari berbagai hal, yaitu: kejelasan tujuan yang hendak dicapai, kejelasan strategi pencapaian tujuan, proses analisa dan perumusan kebijakan yang mantap, perencanaan yang matang, penyusunan program yang tepat, tersedianya sarana dan prasarana kerja, pelaksanaan yang efektif dan efisien, sistem pengawasan dan pengendalian yang mendidik.
2.5 Landasan Teori Indonesia merupakan salah satu negara yang secara geografis dan antropologi sosial budaya rawan bencana baik bencana alam maupun bencana karena ulah manusia termasuk kedaruratan kompleks yang menyebabkan permasalahan kesehatan yang harus segera ditanggulangi. Agar penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dapat dilakukan secara cepat, tepat, efektif, efisien dan terpadu diperlukan suatu organisasi fungsional yang efektif dan rencana aksi yang dapat dijadikan pedoman bagi anggota organisasi dalam menentukan tujuan dan prosedur mencapai tujuan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam penanganan krisis kesehatan
akibat
bencana
maka
dibentuklah
organisasi
fungsional
Pusat
Penanggulangan Krisis kesehatan Regional Sumatera Utara agar dapat; (1) Memiliki Sistem informasi yang baik, (2) Melaksanakan mekanisme koordinasi dengan baik, (3) Memilki sistem dan SOP mobilisasi bantuan dari luar lokasi bencana (4) Melaksanakan Sistem pembiayaan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan yang berlaku (5) Melaksanakan sistem kewaspadaan dini dan (6) Mampu mengatasi keterbatasan logistik kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Regional Sumatera Utara
(di Medan)
sebagai salah satu dari sembilan Pusat
Penanggulangan Krisis Regional di Indonesia. PPK Regional Sumut merupakan keterpaduan dari institusi Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, Kesehatan Kodam I/BB, Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Sumut, dan Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik dibentuk untuk memobilisasi sumber daya secara cepat, tepat, terpadu dan menyeluruh guna mengantisipasi krisis kesehatan akibat bencana (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 679/Menkes/SK/VI/2007). Koordinasi antar instansi kesehatan dalam organisasi fungsional PPK Regional Sumut memengaruhi penyusunan rencana aksi penanggulangan bencana. Rencana aksi merupakan rencana operasional yang dilaksanakan secara terpadu oleh anggota organisasi. Rencana aksi harus memperhatikan prinsip-prinsip kelengkapan (comprehensiveness), keterpaduan (unity) dan konsistensi. Peranan perencanaaan harus dapat mengakomodir hal-hal berikut; (1) menentukan tujuan dan prosedur
Universitas Sumatera Utara
mencapai tujuan, (2)
memungkinkan organisasi mendapat sumber daya untuk
mencapai tujuan, (3) memperjelas bagi anggota organisasi melakukan berbagai kegiatan sesuai prosedur dan (4) memungkinkan untuk memantau atau mengukur keberhasilan organisasi serta mengatasi bila ada kekeliruan. Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas organisasi merupakan produk dari sebuah sistem yang salah satu sistemnya (unsur) adalah sumber daya manusia. Dengan kata lain, seorang manajer efektif dapat memilih pekerjaaan yang harus dilakukan atau metoda (cara) yang tepat untuk mencapai tujuan. Menurut Suhendra (2007), efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan berapa besar rasio hasil (target) baik kuantitas maupun kualitas yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan menurut The Liang Gie (1981), menyatakan bahwa : efektivitas berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Efektivitas (Effectivity) menurut arti harfiah adalah keberhasilan atau pencapaian dari suatu usaha organisasi atau individu mencapai hasil kerja (kinerja) yang diarahkan lalu dibandingkan dengan target ideal yang diinginkan. Umar (1999), menyatakan efektivitas adalah ukuran sejauh mana suatu target kerja dapat dicapai. Efektivitas selalu dapat diperhitungkan dalam skala rasio yang memperbandingkan nilai pencapaian dengan nilai target. Jadi efektivitas dari organisasi PPK Regional Sumut pada dasarnya adalah bagaimana nilai pencapaian organisasi tersebut dapat direalisasikan dibandingkan dengan target awal yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Konsep Koordinasi dalam menyusun rencana aksi organisasi Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Regional Sumatera Utara mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap efektivitas organisasi. Dengan demikian penyusunan rencana aksi harus dilaksanakan dengan melibatkan stake holder dalam organisasi PPK Regional Sumatera Utara dengan koordinasi yang baik. Efektivitas organisasi mempunyai arti penting dan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan dalam meningkatkan upaya pananganan krisis kesehatan akibat bencana. Model konseptual yang mendasari kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Variabel Bebas (X) Koordinasi dalam Penyusunan Rencana Aksi 1. Kepemimpinan 2. Motivasi 3. Pengendalian 4. Kerjasama 5. Komunikasi 6. Tanggung jawab
1. Merumuskan visi dan misi organisasi (X1) 2. Identifikasi kekuatan, dan 2009 Sumber : kelemahan, diadopsi daripeluang Sanapiah, tantangan organisasi (X2) 3. Mengembangkan kebijakan operasional organisasi (X3) 4. Program sarana prasarana (X4) 5. Program keuangan (X5)
Variabel Terikat (Y)
Efektivitas Organisasi 1. Kerjasama tim 2. Kesesuaian kerja 3. Kesesuaian teknologi 4. Pemberian kewenangan 5. Sistem evaluasi 6. Konflik peran 7. Ambiguitas peran
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara