BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Malaria 2.1.1. Etiologi dan Sejarah Malaria berasal dari kata bahasa Italia yang telah diketahui lebih dari 4.000 tahun yang lalu, terdiri dari “mal” dan “aria” yang berarti udara yang jelek, Demam dan gejala–gejala klasik malaria diidentifikasi oleh Hippocrates. Parasit malaria dalam darah manusia pertama kali ditemukan oleh Charles Louis Alphonse Laveran pada tahun 1880. (CDC, 2010a). 2.1.2. Epidemiologi 2.1.2.1. Penjamu/Host Manusia merupakan penjamu utama dalam penularan malaria. Selain manusia, hewan golongan primata juga merupakan penjamu penyakit ini, seperti lutung, simpanse, monyet, gorila (Coatney et al, 1971). Pada penyakit malaria memerlukan penjamu perantara (intermediatary host) yang dikenal sebagai vektor. Vektor malaria adalah nyamuk Anopheles sp betina (CDC, 2010b). Saat ini lebih dari 70 spesies Nyamuk Anopheles betina yang telah terkonfirmasi sebagai vektor penular malaria pada manusia, (Feachem et al, 2009). Di Indonesia, berdasar database Kemenkes RI ada 20 spesies Anopheles yang terkonfirmasi sebagai vektor utama maupun vektor sekunder. Penyebaran Anopheles tidak merata di wilayah Indonesia (Elyazar et al, 2013).
12
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.2. Agen Agen penyebab penyakit malaria adalah parasit plasmodium. Di dunia lebih dari 100 spesies plasmodium yang dapat menginfeksi hewan seperti burung, reptil dan mamalia. Ada empat spesies plasmodium yang telah lama diketahui menginfeksi manusia yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Saat ini Plasmodium knowlesi telah dikonfirmasi dapat menginfeksi malaria dan monyet jenis macaca (Coatney, 1971; CDC, 2010c). 2.1.2.3. Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyakit malaria dibagi menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia dan sosial budaya (WHO, 1975). Lingkungan fisik dibagi menjadi suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, ketinggian, topografi, jenis genangan air, tanah, dan penggunaan peptisida. Lingkungan biologi tergantung pada faktor hewan predator, jenis parasit yang menyerang larva nyamuk, penyakit patogen pada larva, dan perubahan genetik pada nyamuk Anopheles. Lingkungan kimia termasuk kadar garam (Surendran et al, 2011), tingkat keasaman air (Rao, 1984), dan penyerapan oksigen (dissolved oxygent) (Dejenie et al 2011). 2.1.3. Endemisitas dan Daerah Fokus Malaria Tingkat endemisitas malaria menurut WHO dibedakan menjadi empat yaitu: hipoendemik, mesoendemik, hiperendemik, holoendemik berdasar prevalensi parasit/spleen rate anak usia 2-9 tahun, tipe epidemik, rasio inokulasi entomologi (EIR), dan stabilitas (Mendis et al, 2009). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan keputusan No.
Universitas Sumatera Utara
275/MENKES/SK/III/2007 tentang Pedoman Surveilans Malaria mengklasifikasikan wilayah sampai tingkat desa berdasarkan angka insidensi parasit malaria per tahun menjadi: 1) daerah insidensi kasus malaria tinggi (HCI: High Case Incidence) dengan angka insiden parasit malaria per tahun (API: Annual Parasite Incidence) > 5 ‰; 2) daerah insidensi kasus malaria sedang (MCI: Moderate Case Incidence) dengan API 1-5 ‰; 3) daerah insidensi kasus malaria rendah (LCI: Low Case Incidence) dengan API < 1‰ (Depkes, 2007). Pembagian daerah fokus menurut WHO (2007c) didefinisikan sebagai suatu daerah terbatas yang pernah ataupun masih ada kasus malaria serta memiliki faktorfaktor epidemiologi yang menunjang terjadinya penularan malaria baik secara terus menerus maupun intermiten. Pembagian daerah fokus menurut Peraturan Gubernur Aceh No.40 tahun 2010 menjadi empat kriteria fokus yang bersifat operasional, dan perubahan klasifikasi desa fokus dilakukan setiap tahun menggunakan data program malaria dalam waktu tiga tahun terakhir dan berturut-turut. Klasifikasi desa fokus seperti dibawah ini: 1) Fokus A: masih terjadi penularan setempat dengan masih terlaporkannya kasus lokal dalam 3 tahun berturut-turut; kegiatan kontrol kurang efektif; 2) Fokus B: Masih terjadi penularan setempat dalam 3 tahun berturut-turut; kegiatan kontrol efektif; 3) Fokus C: tidak terjadi penularan setempat yang dibuktikan dengan tidak ada kasus malaria lokal/indigenous terlaporkan dalam 3 tahun berturut-turut; masih terdapat kasus impor terlaporkan dalam 3 tahun berturut-turut; 4) Fokus D: tidak terjadi penularan setempat dan tidak ada kasus impor dalam 3 tahun berturut-turut
Universitas Sumatera Utara
(Rahmadyani et al, 2012). 2.1.4. Diagnosis Gejala malaria tanpa komplikasi atau gejala awal sering tidak spesifik dan di diagnosis sebagai penyakit infeksi sistemik virus maupun bakteri lainnya. Gejala – gejalanya berupa sakit kepala, lemas, letih lesu, nyeri perut, nyeri sendi dan otot, yang diikuti dengan demam, menggigil, berkeringat, mual, dan muntah (WHO, 2010a). Pada fase eliminasi menurut WHO (2012) yang diadaptasi oleh Pemerintah Aceh (Rahmadyani et al, 2012), diagnosis kasus malaria pada fasilitas kesehatan memiliki kriteria sebagai berikut: Kriteria umum: a. Penderita demam atau yang memiliki riwayat demam dalam 24 jam dan anemia yang berasal dari daerah endemis malaria tinggi dan sedang dan dari daerah fokus A dan B. b. Penderita demam yang memiliki riwayat perjalanan dari daerah endemis malaria tinggi dan sedang dan dari daerah fokus A dan B. Kriteria tambahan: a. Penderita demam dan yang memiliki riwayat malaria dalam 3 tahun terakhir. b. Penderita demam yang memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dalam 1 tahun terakhir, apabila P.vivax dalam 3 tahun terakhir. c. Penderita demam, menggigil, beringat, dan lemas. d. Penderita anemia yang tidak diketahui penyebabnya.
Universitas Sumatera Utara
e. Penderita pembesaran hati dan atau limpa (hepatomegali dan atau splenomegali). f. Penderita demam yang menerima transfusi darah dalam 3 bulan terakhir. Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Hasil anamnesis saja belum bisa digunakan untuk keputusan pemberian pengobatan anti malaria. Menurut kebijakan Kemenkes RI, diagnosis pasti malaria apabila ditemukan parasit didalam darah penderita (Ditjen PPPL, 2011). Metode diagnosis malaria saat ini sudah sangat berkembang pesat, antara lain (WHO, 2010a, WHO, 2010b; Ditjen PPPL, 2011; Feachem et al, 2009) : 1. Diagnosis klinis: disebut sebagai diagnosis awal untuk menentukan penderita suspek malaria, dengan kriteria gejala utama dan tambahan yang telah dijelaskan diatas. 2. Diagnosis mikroskopis: metode ini merupakan baku emas (gold standard) yang memerlukan teknik pengambilan apusan darah tebal dan tipis serta pewarnaan. 3. Diagnosis antigen: metode ini menggunakan teknis imunokromatografi yang mendeteksi antigen parasit dalam darah. Ada tiga antigen yang dapat dideteksi oleh metode ini yaitu HRPII (Histidine Rich Protein II), pLDH (Plasmodium lactate dehydrogenase), dan pan-aldolase. Metode ini dikenal sebagai alat diagnosis cepat (Rapid Diagnosis Test disingkat RDT). 4. Diagnosis molekuler: metode ini menggunakan teknik reaksi penggandaan asam nukleat (polymerase chain reaction disingkat PCR) dari parasit. 5. Diagnosis antibodi (serologi): metode ini mendeteksi antibodi penjamu terhadap parasit malaria, menggunakan teknik immunoflorensensi tidak langsung (indirect
Universitas Sumatera Utara
immunoflourescence disingkat IFA) atau enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). 2.1.5. Pengobatan Pengobatan malaria mengacu pada protokol Kemenkes RI tahun 2011 yang membagi jenis obat dan dosis berdasarkan jenis spesies plasmodium, umur penderita, berat badan penderita, derajat kesakitan (tanpa komplikasi dan dengan komplikasi), status kehamilan dan menyusui, serta adanya resistensi obat menurut hasil monitoring pengobatan (Ditjen PPPL, 2011). WHO (2010a) menganjurkan kepada semua negara untuk menerapkan kebijakan kombinasi obat malaria berbasis artemisinin atau dikenal sebagai Artemisinin Combined Therapy (ACT). Di Indonesia, ACT yang direkomendasikan adalah Dihydroartemisinin Piperaquin (DHP) dan Artesunate Amodiakuin. Selain kedua jenis ACT, obat malaria lain yang digunakan di Indonesia adalah Primakuin, Kina, Klindamisin, Tetrasiklin, Doksisiklin. Pemberian obat malaria tersebut dikombinasikan dua atau lebih jenis obat untuk mencegah munculnya resistensi. Pada semua jenis Plasmodium, ACT diberikan selama 3 hari, sementara Primakuin diberikan hanya pada hari pertama untuk P.falsiparum, untuk P.vivaks dan P.ovale diberikan selama 14 hari (Ditjen PPPL, 2011). Khusus untuk penderita malaria yang memiliki defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan lain-lain), maka pengobatan diberikan secara mingguan selama 8-12 minggu dengan dosis mingguan
Universitas Sumatera Utara
0,75mg/kgBB. Pengobatan malaria pada penderita dengan defisiensi G6PD segera rujuk ke Rumah Sakit (WHO, 2010a; Ditjen PPPL, 2011). Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi: 1) Pemberian obat anti malaria, 2) Penanganan komplikasi, 3) Tindakan penunjang atau pengobatan simptomatik. Pengobatan malaria dengan komplikasi dibedakan pada tahap prarujukan, artinya masih dilakukan di puskesmas yang bertujuan penyelamatan hidup (life saving). Selanjutnya tahap rujukan yang penatalaksanaannya dilakukan di Rumah Sakit oleh dokter ahli. Berdasarkan kebijakan Kemenkes RI (Ditjen PPPL, 2011) pilihan pertama obat tetap berbasis Artemisinin. Di puskesmas digunakan injeksi Artemeter, sementara di Rumah Sakit menggunakan injeksi Artesunate. Di Indonesia, pengawasan pengobatan atau strategi DOTs (Direct Observed Treatments) pada penyakit malaria dilakukan oleh petugas atau kader dengan cara pendampingan minum obat selama hari pertama sampai ketiga untuk P.falsiparum atau P.malariae, dan hari pertama sampai ke-14 untuk jenis P.vivaks atau P.ovale (Pemerintah Aceh, 2010; Dinkes Kota Sabang, 2010). Monitoring respon pengobatan menurut kebijakan Kemenkes RI (Ditjen PPPL, 2011) dilakukan pada hari ke-4, hari ke-14 dan hari ke-28 untuk semua jenis plasmodium. Sementara untuk P.vivaks ditambahkan hari ke-90. Kegiatan yang dilakukan pada monitoring pengobatan ini melalui pemeriksaan keadaan klinis penderita malaria, periksa keberadaan parasit dengan mikroskop, hitung kepadatan parasit dalam darah, dan pemeriksaan suhu badan dengan termometer. Apabila terjadi
Universitas Sumatera Utara
demam setelah hari ke-3 sampai hari ke-28 penderita juga diharuskan kembali ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan evaluasi klinis. Kegiatan ini bertujuan untuk menyatakan apakah penderita malaria telah sembuh, atau gagal pengobatan. Rangkuman monitoring pengobatan, hasil pengobatan dan tindakan yang diambil dijelaskan pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Monitoring Respon Pengobatan, Hasil, Kriteria dan Tindakan yang Diambil No.
Hari Ke
1. 2.
4 4
Hasil Pengobatan Klinis Parasit Negatif Negatif Negatif Berkurang
3.
4
Positif
4.
4
Memburuk
5.
5 – 13
Positif
6. 7.
14 14
Negatif Negatif
8.
14
Positif
9. 10. 11. 12.
14 15 – 27 28 28
Memburuk Memburuk Negatif Negatif
Tetap atau bertambah Berkurang atau bertambah Berkurang atau bertambah Berkurang Tetap atau bertambah Berkurang atau bertambah Berkurang Berkurang Berkurang Tetap atau bertambah
Kriteria Sembuh Monitoring sampai hari ke14 Gagal pengobatan Malaria Berat
Gagal pengobatan Sembuh Monitoring sampai hari ke28 Gagal pengobatan Malaria Berat Malaria Berat Sembuh Gagal pengobatan
Keterangan
Pindah lini 2 Rujuk ke RS
Pindah lini 2
Pindah lini 2
Rujuk ke RS Rujuk ke RS Pindah lini 2
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Pencegahan Pencegahan penyakit malaria secara epidemiologi dapat dilihat dari sisi agen atau parasit Plasmodium melalui pengobatan malaria secara radikal dan pemberian obat profilaksis untuk orang dari daerah non-endemis yang akan memasuki daerah endemis malaria, 2) sisi vektor atau nyamuk Anopheles melalui pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu berinsektisida (LLINs), repelan atau obat nyamuk oles, pemasangan kasa nyamuk pada ventilasi jendela rumah; dan membunuh nyamuk melalui penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (Indoor Residual Spray atau disingkat IRS), 3) sisi lingkungan melalui penanganan tempat perkembangbiakan nyamuk seperti mengalirkan genangan air, menyemprotkan larvasida, memberikan ikan predator atau pemakan jentik (WHO, 2003). 2.1.7. Pengumpulan Data dan Pelaporan Menurut Depkes RI (2007), pengumpulan data dilakukan mulai dari jenjang Puskesmas, Kabupaten, Provinsi dan Pusat yang berisi data situasi malaria secara umum, seperti: a. Data kasus, yang meliputi data kematian, kasus klinis/suspek, kasus positif, data diagnosis, data pengobatan. b. Data vektor dan intervensi pemberantasan vektor, yang meliputi pengamatan jentik, penyemprotan rumah, pembagian kelambu, penaburan larvasida pada tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles. c. Data logistik, meliputi stok obat, alat diagnosis cepat (RDTs), alat dan bahan laboratorium, stok kelambu.
Universitas Sumatera Utara
d. Data demografi, meliputi jumlah penduduk per desa, per golongan umur, pekerjaan, dll. e. Data lingkungan, meliputi stratifikasi desa fokus/endemis malaria, pemetaan tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles potensial, dll. Sumber data dapat diperoleh dari buku registrasi Puskesmas Pembantu (Pustu), buku registrasi puskesmas, Laporan Juru Malaria Desa (JMD) atau kader, bidan desa, penyedia pelayanan kesehatan swasta, RS, dan lintas sektor terkait. Data tersebut dianalisis paling rendah di tingkat puskesmas yang divisualisasikan ke dalam bentuk tabel, grafik, peta dan sebagainya. Selanjutnya data dilaporkan ke jenjang diatasnya dengan periode pengiriman sesuai pedoman dan kebutuhan, misalnya pada saat terjadi bencana maupun kejadian luar biasa (KLB). Secara umum, pelaporan rutin bersifat bulanan. 2.1.8. Eliminasi Malaria Eliminasi malaria diartikan sebagai suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali (Depkes, 2009). Menurut WHO (2007b), eliminasi malaria merupakan salah satu dari empat tahapan program malaria. Adapun situasi masing – masing keempat tahapan program malaria menurut Kepmenkes No 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a) Tahap Pemberantasan (Control) Pada tahap ini belum semua unit pelayanan kesehatan mampu memeriksa kasus secara laboratorium (Mikroskopis); cakupan pelayanan dan sumber daya terbatas; bila semua penderita demam di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan sediaan darah, maka SPR masih > 5%; adanya upaya pengendalian malaria secara intensif untuk mencapai SPR < 5 %. b) Tahap Pra-Eliminasi Disini semua unit pelayanan kesehatan sudah mampu memeriksa kasus secara laboratorium (mikroskopis); semua penderita malaria klinis di unit pelayanan kesehatan sudah dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan SPR mencapai < 5%; adanya peningkatan kualitas dan cakupan upaya pengendalian malaria (surveilans, penemuan dan pengobatan, pemberantasan vektor) untuk mencapai API < 1/1000 penduduk berisiko; adanya peningkatan keterlibatan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain (Tim Gebrak Malaria atau forum kerja sama lain yang sudah ada di Provinsi dan Kabupaten/Kota); tersedianya peraturan perundangan di tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang mendukung kebijakan dan sumber daya untuk pelaksanaan eliminasi malaria. c) Tahap Eliminasi API sudah mencapai < 1/1000 penduduk berisiko dalam satuan wilayah minimal setara dengan Kabupaten / Kota; surveilans sudah berjalan dengan baik termasuk penemuan kasus malaria secara aktif (Active Case Detection /ACD); reorientasi program menuju Tahap Eliminasi kepada semua petugas kesehatan
Universitas Sumatera Utara
pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik; lintas sektor terkait telah berperan secara penuh dan sinergis mulai dari pemerintah, pemerintah daerah, LSM, organisasi profesi, lembaga internasional, lembaga donor dan lain-lain dalam eliminasi malaria yang tertuang didalam Peraturan Perundangan daerah; upaya penanggulangan malaria dilakukan secara intensif sehingga kasus dengan penularan setempat (indigenous) tidak ditemukan dalam periode waktu satu tahun terakhir. d) Tahap Pemeliharaan Mempertahankan kasus indigenous tetap nol; kegiatan surveilans yang baik masih dipertahankan; re-orientasi program menuju tahap pemeliharaan kepada semua petugas kesehatan, pemerintah maupun swasta yang terlibat dalam eliminasi sudah dicapai dengan baik; adanya konsistensi tanggung jawab pemerintah daerah dalam tahap pemeliharaan secara berkesinambungan dalam kebijaksanaan, penyediaan sumber daya baik sarana dan prasarana serta sumber daya lainnya yang tertuang dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Perundangan yang diperlukan di Provinsi/ Kabupaten/ Kota. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menargetkan eliminasi malaria secara bertahap selama beberapa dekade. Seluruh provinsi di Indonesia diharapkan dapat mencapai tahap ini pada tahun 2030. Adapun sasaran pencapaian eliminasi malaria per provinsi yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan No 293/SK/MENKES/IV/2009 dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali dan Pulau Batam ditargetkan pada tahun 2010; 2) Pulau Jawa, Provinsi Aceh dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015; 3) Pulau Sumatera (kecuali Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau), Provinsi
Universitas Sumatera Utara
NTB, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan 4) Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi NTT, Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara pada tahun 2030. (Depkes RI, 2009). Pemerintah Provinsi Aceh menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat tersebut dengan mengesahkan Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2010 tentang Pedoman Eliminasi Malaria di Provinsi Aceh yang menargetkan rencana eliminasi malaria dalam tiga tahun yang berbeda berdasarkan beban malaria dan infrastruktur kesehatan. Pada tahun 2013, ada tujuh kabupaten/kota yang ditargetkan memasuki tahap eliminasi malaria, 10 kabupaten/kota lainnya ditetapkan mencapai eliminasi malaria tahun 2014, dan sisa enam kabupaten/kota terakhir diharapkan mencapai eliminasi malaria tahun 2015 bersamaan dengan target Provinsi Aceh. Kabupaten Aceh termasuk kabupaten dalam kelompok tahun 2015. Tabel 2.2. Pembagian Sasaran Puskesmas Per Target Tahun Pencapaian Eliminasi Malaria
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Puskesmas Sasaran Eliminasi Malaria Tahun 2013 Peukan Bada; Simpang Tiga; Lampisang; Baitussalam; Darul Kamal; Darul Imarah; dan Ingin Jaya;
Puskesmas Sasaran Eliminasi Malaria Tahun 2014 1. Sukamakmur; 2. Kuta Baro; 3. Darussalam; 4. Montasik; 5. Piyeung; 6. Lampupok; 7. Indrapuri; 8. Kuta Malaka; 9. Blang Bintang; 10. Krueng Barona Jaya; 11. Ie Alang; 12. Lhoknga; 13. Leupung;
Puskesmas Sasaran Eliminasi Malaria Tahun 2015 1. Lhoong; 2. Kuta Cot Glie; 3. Seulimum; 4. Lamteuba; 5. Kota Jantho; 6. Saree; 7. Mesjid Raya;dan 8. Pulo Aceh;
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengeluarkan Peraturan Bupati No. 26 tahun 2013 tentang Pedoman Eliminasi Malaria dalam Kabupaten Aceh Besar, yang pada bagian kedua pasal 6 membagi sasaran eliminasi malaria dalam tiga kelompok seperti tabel 2.2. 2.1.9. Intervensi Program Malaria Menurut WHO (2007b) dan Kepmenkes RI No.293 tahun 2009 bahwa intervensi program malaria berbeda untuk setiap tahapan program. Dimana ada lima jenis kelompok intervensi besar bagi setiap tahap yaitu: 1) Penemuan dan tata laksana penderita malaria; 2) Pencegahan dan penanggulangan resiko; 3) Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah; 4) Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); 5) Peningkatan sumber daya manusia. Penyedia pelayanan kesehatan swasta mulai dilibatkan secara intensif pada tahap pra-eliminasi pada hampir semua kelompok intervensi besar, kecuali pada kegiatan pencegahan dan penanggulangan resiko (Depkes, 2009).
2.2. Pelayanan Kesehatan Kesehatan
merupakan
salah
satu
komponen
penentu
pada
indeks
pembangunan manusia (IPM). Indonesia memiliki nilai IPM 0,629 dan berada pada posisi 121 (UNDP, 2013). Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (1973) dalam Azwar (1996), adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan kesehatan perseorangan, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pembagian ini ditujukan pada perbedaan sasaran penerima pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga. Sementara pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Selain kedua jenis pelayanan kesehatan tersebut, Undang-undang ini juga mengatur tentang pelayanan kesehatan tradisional yang diartikan sebagai pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut pelayanan kesehatan meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (anonim, 2009).
2.3. Pelaku Penyedia Pelayanan Kesehatan Penyedia pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai seorang individu atau sebuah institusi yang menyediakan pelayanan kesehatan preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif secara sistematik kepada individu, keluarga atau masyarakat. Lebih lanjut penyedia pelayanan kesehatan perseorangan atau individu dikenal dengan tenaga kesehatan. Selain itu, penyedia pelayanan kesehatan sebagai sebuah institusi lebih dikenal sebagai fasilitas pelayanan kesehatan (anonim, 2013b).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, pengertian tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sementara fasilitas pelayanan kesehatan diartikan sebagai suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (anonim, 2009). Pada Peraturan Presiden RI No 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional mengatur keterlibatan penyedia pelayanan kesehatan swasta pada sub sistem upaya kesehatan meliputi unsur pemberian pelayanan kesehatan perseorangan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan pada tingkat pertama/primer, pelayanan kesehatan tingkat kedua/sekunder dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga/tersier. WHO (2006) membagi penyedia pelayanan kesehatan secara garis besar menjadi dua, yaitu: a)
Pelayanan Kesehatan Pemerintah Seluruh penyedia pelayanan kesehatan yang bekerja di sektor publik atau pemerintah, yang menerima gaji atau remunerasi untuk pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan dari pemerintah.
b) Pelayanan Kesehatan Swasta Dimaksudkan sebagai seluruh penyedia pelayanan kesehatan yang bekerja diluar sektor publik, dimana ada yang bersifat komersial atau sosial (non-profit). Mills
Universitas Sumatera Utara
et al (2002) memasukkan perusahaan komersial berskala besar atau kecil, kelompok-kelompok profesional seperti asosiasi dokter, lembaga swadaya masyarakat tingkat nasional maupun internasional, penyedia layanan individu maupun penjaga toko obat. Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan bervariasi dari rumah sakit, klinik bersalin, klinik rawat inap, klinik rawat jalan yang diberikan oleh dokter, perawat, bidan dan paramedis lainnya, serta fasilitas diagnosis seperti laboratorium dan unit radiologi, ditambah lagi dengan apotek, dan depot obat maupun toko umum yang sering juga menjual obat – obatan (Mills et al, 2002). Sementara Bulsara et al (2012) membagi empat kategori penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria sebagai berikut: 1. Penyedia pelayanan kesehatan swasta formal Kelompok ini termasuk perusahaan komersial berskala besar atau kecil, kelompok – kelompok profesional kesehatan. Biasanya berlokasi di daerah perkotaan (urban) atau pinggiran kota (peri-urban). 2. Penyedia pelayanan kesehatan swasta informal Kelompok ini termasuk penjual obat yang bersifat statis atau keliling, toko/depot obat, pengobatan alternatif/tradisional. Biasanya berlokasi di daerah pinggiran kota (peri-urban), dan perdesaan. Jangkauannya lebih luas dibanding penyedia pelayanan kesehatan swasta formal. 3. Organisasi kemasyarakatan Kelompok ini menyediakan pelayanan tambahan yang berperan sebagai
Universitas Sumatera Utara
perantara antara penyedia pelayanan pemerintah dan swasta. Kelompok ini termasuk LSM (NGO: non-government organisation) tingkat nasional dan internasional. Kelompok ini sering lebih luas menjangkau daerah secara geografis. 4. Perusahaan-perusahaan swasta Kelompok ini termasuk perusahaan besar yang berinvestasi dalam program kesehatan, khususnya perusahaan yang bergerak di industri energi, sumber daya alam dan pertanian. Kegiatan yang dilakukan mencakupi wilayah kerja baik pagi karyawananya sendiri maupun masyarakat yang tinggal di lingkungan kerja perusahaan. Menurut Permenkes RI No. 920/Men.Kes/Per/XII/86 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik pada Bab II dan III pasal 2, 3 dan 4 membagi pelayanan kesehatan swasta medik menjadi dua yaitu pelayanan medik dasar dan pelayanan medik spesialistik. Bentuk pelayanan medik dasar adalah: Praktik Perorangan Dokter Umum; Praktik Perorangan Dokter Gigi; Praktik Berkelompok Dokter Umum; Praktik Berkelompok Dokter Gigi; Balai pengobatan; Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak; Rumah Bersalin; Pelayanan Medik Dasar lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sementara bentuk pelayanan medik spesialistik adalah: Praktik Perorangan Dokter Spesialis; Praktik Berkelompok Dokter Spesialis; Rumah Sakit Umum; Rumah Sakit Khusus; Pelayanan Medik Spesialis lain yang ditetapkan oleh Menteri
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan. Peraturan diatas diubah ke dalam Permenkes No.028/MENKES/PER/2011 tentang Klinik yang membagi berdasarkan jenis pelayanannya menjadi klinik pratama dan klinik utama. Klinik disini diartikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Klinik dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat, sehingga peraturan ini tidak khusus mengatur pelayanan kesehatan swasta. Secara umum, batasan antara penyedia layanan kesehatan publik dan swasta terkadang tidak jelas, karena banyak tenaga kesehatan pemerintah yang juga bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta atau menjalanknan praktik pribadi diluar jam kerja atau istilah ini dikenal sebagai dual practice (Bulsara et al, 2012).
2.4. Peran Sektor Swasta dalam Program Malaria Sektor
swasta,
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM),
Organisasi
Kemasyarakatan (Community Based Organization/CBO), Organisasi Keagamaan (Faith Based Organization/FBO), lembaga donor, dan Organisasi Profesi berperan aktif sebagai mitra sejajar pemerintah melalui forum Gebrak Malaria atau tim eliminasi malaria baik dari tingkat kabupaten/kota/provinsi atau pusat (Depkes RI, 2009a).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kegiatan pada setiap tahapan program malaria, penyedia pelayanan kesehatan swasta terlibat aktif dalam pencapaian eliminasi malaria, dari kelompok intervensi penemuan dan tatalaksana penderita malaria, pencegahan dan penanggulangan resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah, peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan peningkatan sumber daya manusia (Depkes RI, 2009). Menurut Bulsara et al (2012) peran penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk mencapai spesifik kelompok sasaran telah terbukti efektif. Lebih lanjut analisis peran sektor swasta dalam program malaria dibagi menjadi empat strategi utama sebagai berikut: 1. Pendekatan berbasis pasar (market-based approaches) Disini termasuk insentif berbasis pasar, mekanisme pasar, dan kerjasama secara organisasi. Organisasi kemasyarakatan (CSO) biasanya memainkan peranan penting dalam pemasaran sosial yang menjadi penengah antara sektor publik dan swasta dengan memanfaatkan kapasitas retail sektor swasta. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk memastikan cakupan, kualitas dan harga. Ada empat komponen yang harus diperhatikan pada pendekatan ini: a. Mekanisme keuangan Tujuannya adalah memfasilitasi fungsi pasar yang adil dan berbasis ekuitas. Adapun yang termasuk kedalam strategi sektor kesehatan swasta disini sebagai berikut: 1. Asuransi sosial: tingkat pendanaan yang adil untuk pelayanan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
yang telah ditetapkan. 2. Insentif keuangan: penggunaan hibah, subsidi, insentif pajak dan dukungan yang ditujukan untuk mempengaruhi penyediaan pelayanan swasta, termasuk juga subsidi produk-produk yang berbasis manufaktur. 3. Kontrak: pembelian jasa dari penyedia layanan swasta melalui sistem kontrak, dengan menerapkan tolok ukur untuk jenis pelayanan, kualitas pelayanan, hasil kesehatan yang diharapkan. 4. Pembelian: membeli barang dan jasa dari penyedia pelayanan kesehatan swasta untuk waktu yang terbatas, metode ini dianggap memilki risiko dan komitmen lebih rendah dari kontrak. b. Mekanisme pasar Tujuan mekanisme pasar adalah untuk menciptakan sumber – sumber penawaran dan permintaan baru. Adapaun jenis kegiatan yang termasuk di kelompok mekanisme pasar ini sebagai berikut: 1. Pemasaran sosial: menggunakan saluran, teknik dan komunikasi komersial untuk memasarkan produk dengan manfaat kesehatan masyarakat, biasanya LSM nasional atau internasional yang mengelola operasional kegiatan ini. 2. Waralaba
sosial:
menggunakan
saluran,
teknik
dan
pendekatan
komunikasi komersial untuk mendekati jejaringan pasar penyedian pelayananan swasta, biasanya juga dikelola oleh LSM nasional dan internasional.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengembangan pasar strategis: analisis terperinci mengenai keseluruhan pasar komoditas ritel yang ada dan keunggulan komparatif dari semua pemangku kepentingan. Mengaktifkan/mendanai pertumbuhan pasar misalnya melalui peraturan, alih teknologi, meningkatkan rantai pasokan dll. Membuat sebuah mekanisme pasar yang mandiri dan berkelanjutan untuk peningkatan pasokan produk – produk kesehatan yang penting seperti kelambu berinsektisida (ITN/LLIN), dll sebagai tujuan dari metode. 4. Program kewirausahaan sosial: membangun pelatihan dan dukungan jaringan individu untuk menyediakan barang dan jasa. c. Kerjasama secara organisasi Tujuan utama kerjasama ini mengubah kondisi pasar untuk meningkatkan partisipasi penyedia pelayanan kesehatan pada program malaria. Kegiatan – kegiatan yang termasuk disini adalah: 1. Aliansi antara penyedia layanan: membangun dan mendorong hubungan formal dan kolaborasi antara penyedia. 2. Koordinasi/aliansi antara sektor publik dan swasta: membentuk dan mendorong hubungan formal dan kolaborasi antara sektor publik – swasta. Tindakan jangka pendek oleh sektor swasta yang mempromosikan tujuan kesehatan dan peningkatan partisipasi sektor swasta misalnya pelayanan kesehatan kerja pada korporasi besar.
Universitas Sumatera Utara
d. Dialog kebijakan Dialog kebijakan: melibatkan sektor swasta dalam diskusi – dapat memperluas konsultasi dalam pengembangan legislasi, standar, regulasi dan sistem fasilitasi. 2. Pendekatan bersifat legal dan administrasi Regulasi dan pelatihan termasuk kedalam pendekatan ini. Keterlibatan sektor swasta dapat memperkuat pelayanan kesehatan yang ada. Jaringan penyedia pelayanan kesehatan swasta yang sering mengadakan pelatihan standar kualitas dan terapi melalui warabala sosial (social franchising). Hal ini sering dipicu karena lemahnya regulasi pemerintah untuk mengatur pelayanan kesehatan swasta. a. Regulasi 1. Akreditas/sertifikasi:
menyusunan
dan
menegakkan
standar
antar
organisasi. Tujuannya untuk meningkatkan standar pelayanan, hasil – hasil kesehatan, dan efisiensi dengan memungkinkan dasar empiris untuk menilai kualitas. 2. Lisensi: menyusun dan menegakkan standar bagi penyedia pelayanan secara individu. Tujuannya untuk meningkatkan standar penyedia pelayanan kesehatan individu dengan menyusun dan mengatur kriteria untuk praktik pribadi. 3. Mekanisme harga: menyusun, memantau dan mengatur harga obatobatan, alat kesehatan dan jasa konsultasi. Tujuannya untuk menegaskan
Universitas Sumatera Utara
monitoring dan mengatur harga obat – obat penting dan teknologi lainnya. 4. Regulasi
teknologi:
menegaskan
persetujuan
resmi
dan
struktur
penggantian, proses dan pelaksanaan. Tujuannya untuk menegaskan pengendalian keamanan, efikasi dan biaya pelayanan kesehatan dengan mengatur ketersediaan/ penjualan bahan-bahan farmasi dan kelambu berinsektisida (LLIN). 5. Regulasi pasar: termasuk anti monopoli/peraturan kompetisi, mekanisme perlindungan konsumen dan pelaksanaan. Tujuannya untuk menegaskan perlidungan masyarakat dari tingginya harga akibat monopoli. b. Pelatihan Pelatihan bagi penyedia pelayanan kesehatan: pendidikan dan dukungan bagi penyedia pelayanan kesehatan swasta. Tujuan pelatihan disini untuk meningkatkan standar pelayanan dari penyedia pelayanan kesehatan swasta. 3. Pendekatan pemberdayaan masyarakat Penyebaran informasi dan partisipasi menjadi bagian dari pendekatan ini. Komunikasi perubahan perilaku (Behaviour Change Communication/BCC) biasanya dikelola oleh sektor swasta melalui iklan produk. Sektor swasta juga dapat mendorong kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan untuk kampanye BCC. Tujuan dari pendekatan ini untuk menjamin cakupan dan kualitas. Ada tiga kelompok kegiatan yang menjadi bagian dari pendekatan ini: a. Penyebaran informasi: kampanye komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk mempromosikan perilaku sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
dapat dilaksanakan LSM dan organisasi-organisasi pemasaran sosial. Tujuannya untuk memdidik dan berkomunikasi dengan masyarakat mengenai pencegahan, diagnosis, pengobatan dini malaria. b. Partisipasi: membentuk kesempatan dan peluang resmi bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan pendapat mereka mengenai pelayanan kesehatan yang diperoleh dan penyedia pelayanan kesehatan itu sendiri. c. Komunikasi resmi/umpan balik: pembentukan jabatan yang dibayar resmi yang bertugas mensupervisi/memastikan kepatuhan penyedia pelayanan kesehatan swasta, seperti badan Ombudsman dalam rangka menginisiasi hubungan publik-swasta yang mempunyai kapasitas untuk merekomendasikan dan menjatuhkan sanksi. 4. Pendekatan inovasi produk Disini kerjasama mengembangkan produk (product development partnerships/ PDPs) seperti inovasi pengembangan obat malaria dan insektisida, yang hasilnya dapat dipasarkan dengan menggunakan insentif keuangan yang lebih besar seperti dalam bentuk dana hibah, subsidi, insentif pajak, subsidi berbasis perusahaan dan dukungan dari dalam untuk mempengaruhi penyedia pelayanan kesehatan swasta. 2.5. Pendekatan Sistem Kesehatan dalam Program Malaria Menurut WHO (2007d) ada enam blok pembangun sistem kesehatan dengan manusia sebagai pusatnya, yang terdiri dari 1) Governance (tata kelola) disini termasuk leadership (kepemimpinan) yang memastikan kerangka kebijakan strategis yang
dikombinasikan
dengan
pandangan
efektifitas,
membangun
koalisi,
Universitas Sumatera Utara
akuntabilitas, transparansi, regulasi, insentif, dan desain sistem, 2) Tenaga kesehatan diartikan sebagai responsif, adil, efisien dalam penyediaan sumber daya dan kondisi yang mendukung, dan tersedia dengan jumlah yang memadai, 3) Pembiayaan, meningkatkan anggaran yang adekuat untuk kesehatan dengan menjamin masyarakat dapat menggunakan layanan yang dibutuhkan dan terlindungi dari katastropi biaya dan pemiskinan akibat membayar biaya kesehatan, 4) Obat – obatan dan teknologi, menjamin produk obat, vaksin, diagnosis, dan teknologi lain yang terjamin kualitas, keamanan, efikasi, biaya-efektif, 5). Informasi, menjamin produksi, analisis, diseminasi dan penggunaan informasi yang realibel dan tepat waktu mengenai determinan kesehatan, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan, 6) Pelayanan kesehatan, termasuk intervensi kesehatan individu dan masyarakat yang efektif, aman dan berkualitas yang tersedia bagi yang membutuhkan (termasuk infrastruktur), dengan meminimalisir pembuangan sumber daya. Menurut the MalERA Consultative Group on Health System and Operational Research (2011) yang mengadaptasi system thinking untuk mengetahui eradikasi malaria dalam sistem kesehatan, dibentuk suatu matriks 6 x 5 yang terdiri dari tingkatan sistem kesehatan yang terdiri dari tingkat komunitas, tingkat fasilitas, tingkat kabupaten, tingkat nasional, tingkat regional dan global, dan terakhir tingkat intersektor di setiap keenam blok pembangun sistem kesehatan. Secara khusus model pada tingkat kabupaten dapat diterapkan yaitu, pada 1) blok governance tentang model apa yang dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten untuk mencapai dan
Universitas Sumatera Utara
memelihara eliminasi malaria?, 2) blok tenaga kesehatan tentang apa organisasi dan manajemen yang tepat, keterampilan, struktur sumber daya manusia dan faktor-faktor pendukung efektifitas pelayanan kesehatan?, 3) blok pembiayaan tentang alat-alat untuk pengembangan administrasi dan pengambilan keputusan terdesentralisasi yang efisien?, 4) blok informasi tentang bagaimana melibatkan penyedia pelayanan kesehatan swasta dan mendapatkan data dari mereka, 5) gabungan blok pelayanan kesehatan dan obat –obat dan teknologi, yang membahas bagaimana keterlibatan penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam tatalaksana kasus, surveilans dan pengendalian vektor malaria dapat dimanfaatkan?. Lebih lanjut, the MalERA Consultative Group on Health System and Operational Research (2011) dan WHO (2006; 2007d) pada tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dan komunitas juga mendukung keterlibatan pelayanan kesehatan swasta. Pada tingkat fasilitas, karakteristik petugas sektor swasta, ketersediaan alat dan obat, karakteristik pekerjaan, pengetahuan, dan perilaku atau keterampilan teknis (WHO, 2007d; WHO, 2007e; Lonnorth et al., 2004). Perilaku komunitas masyarakat dalam pemilihan penyedia pelayanan kesehatan dan pengobatan malaria dipengaruhi oleh banyak faktor seperti : 1) biaya, 2) kenyamanan, 3) ketersediaan fasilitas, 4) persepsi kualitas pelayanan, 5) tingkat keparahan penyakit, 6) jenis kelamin, 7) umur, 8) budaya, 9) status ekonomi dan faktor-faktor intra-rumah tangga (WHO, 2007d).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Landasan Teori Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peranan penyedia pelayanan kesehatan swasta dalam program malaria, seperti faktor penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah dan pasien (the MalERA Consultative Group on Health System and Operational Research, 2011; WHO, 2006; WHO 2007d; WHO, 2007e; Lonnorth et al., 2004). Faktor penyedia pelayanan kesehatan dibedakan berdasarkan karakteristik petugas, ketersediaan alat dan obat, pengetahuan, dan perilaku (WHO, 2007d; WHO, 2007e; Lonnorth et al., 2004). Faktor pemerintah dibagi menjadi kebijakan/regulasi, koalisi/kerjasama, transparansi, insentif, desain sistem (WHO, 2006; WHO, 2007d). Sementara faktor masyarakat atau perilaku pasien dipengaruhi oleh: 1) biaya, 2) kenyamanan, 3) ketersediaan fasilitas, 4) persepsi kualitas pelayanan, 5) tingkat keparahan penyakit, 6) jenis kelamin, 7) umur, 8) budaya, 9) status ekonomi dan faktor-faktor intra-rumah tangga (WHO, 2007d).
Universitas Sumatera Utara
Faktor Petugas: • Karakteristik Petugas • Karakteristik pekerjaan • Ketersediaan alat dan obat • Pengetahuan • Perilaku Faktor Pemerintah: • • • • •
Kebijakan/regulasi Koalisi/kerjasama Transparansi Insentif Desain sistem
Peran dalam mencapai eliminasi malaria: • Diagnosis • Pengobatan • Pencegahan • Pencatatan dan Pelaporan
Berperan
Tidak berperan
Faktor Pasien: • Biaya • Kenyamanan • Ketersediaan fasilitas • Persepsi kualitas pelayanan • Tingkat keparahan penyakit • Jenis kelamin • Umur • Budaya • Status ekonomi
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan landasan teori, maka fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:
• • • •
Karakteristik Petugas Karakteristik pekerjaan Ketersediaan alat dan obat Pengetahuan
Peran dalam mencapai eliminasi malaria: • Diagnosis • Pengobatan • Pencegahan • Pencatatan dan Pelaporan
Berperan
Tidak berperan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara