22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pencemaran Udara Udara yang bersih adalah udara yang tidak mengandung uap atau gas dari
bahan-bahan kimia beracun (Darmono, 1995). Senada dengan itu, Wardhana (2001) mengatakan bahwa terjadinya pencemaran udara karena adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan mengganggu kehidupan manusia, hewan dan binatang. Bila keadaan tersebut terjadi, maka udara dikatakan telah tercemar. Sebenarnya udara sendiri cenderung mengalami pencemaran oleh kehidupan dan kegiatan manusia serta proses alam lainnya. Dalam batas-batas tertentu, alam mampu membersihkan udara dengan cara membentuk suatu keseimbangan ekosistem yang disebut removal mechanism. Proses yang terjadi dapat berupa pergerakan udara, hujan, sinar matahari, dan fotosintesis tumbuh-tumbuhan. Pada suatu keadaan ketika pencemaran yang terjadi melebihi kemampuan alam unutk membersihkan dirinya sendiri, pencemaran itu akan membahayakan kesehatan manusia dan memberikan dampak yang luas terhadap fauna, flora dan ekosistem yang ada (Chandra, 2007). Menurut Chandra (2007), sumber-sumber pencemaran udara dapat dibagi dalam dua kelompok besar, sumber alamiah dan akibat perbuatan manusia seperti berikut:
8
Universitas Sumatera Utara
23
1. Sumber pencemaran yang berasal dari proses atau kegiatan alam. Contoh: kebakaran hutan, kegiatan gunung berapi, dan lainnya. 2. Sumber pencemaran buatan manusia (berasal dari kegiatan manusia). Contoh: a. Sisa pembakaran bahan bakar minyak oleh kendaraan bermotor berupa gas CO, CO2, NO, karbon, hidrokarbon, aldehide dan Pb. b. Limbah industri: kimia, metalurgi, tambang, pupuk, dan minyak bumi. c. Sisa pembakaran dari gas alam, batubara, dan minyak, seperti asap, debu dan sulfurdioksida. d. Lain-lain, seperti pembakaran sisa pertanian, hutan, sampah, dan limbah reaktor nuklir. Udara bersih yang kita hirup merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih sudah sulit diperoleh, terutama di kota-kota besar yang banyak industrinya dan padat lalu lintasnya. Di Negara-negara industri banyak dijumpai kasus penyakit yang erat kaitannya
dengan
pencemaran
udara
dan
pencemaran-pencemaran
lainnya
(Wardhana, 2001). Jenis polutan pencemar udara dapat dibagi berdasarkan struktur kimia dan penampang partikelnya, seperti berikut: 1. Struktur kimia: a. Partikel: debu, abu, dan logam, seperti Pb, nikel, kadmium, dan berilium. b. Gas anorganik seperti NO, CO, SO2 , ammonia, dan hidrogen.
Universitas Sumatera Utara
24
c. Gas organik seperti hidrokarbon, benzene, etilen, asetilen, aldehide, keton, alkohol, dan asam-asam organik. 2. Penampang partikel: Partikel dalam udara dapat melekat pada saluran pernapasan manusia yang tentunya dapat menyebabkan bahaya bagi kesehatan manusia. Udara sebagai salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, merupakan
kebutuhan
utama
bagi
manusia,
hewan
dan
tanaman
dalam
mempertahankan hidupnya. Polusi udara dapat disebabkan oleh aktivitas manusia yaitu antara lain oleh industri, alat transportasi, power plant, aktivitas rumah tangga dan perkantoran. Diantara sumber polutan tersebut, kendaraan bermotor merupakan sumber polutan terbesar, dimana pada kota besar 98 % polutan udara berasal dari kendaraan bermotor (Juliantara, 2010). Menurut Juliantara (2010), faktor penting yang menyebabkan dominannya pengaruh sektor transportasi terhadap pencemaran udara perkotaan di Indonesia antara lain: 1. Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial). 2. Tidak seimbangnya prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan yang ada. 3. Pola lalu lintas perkotaan yang berorientasi memusat, akibat terpusatnya kegiatan-kegiatan perekonomian dan perkantoran di pusat kota. 4. Masalah turunan akibat pelaksanaan kebijakan pengembangan kota yang ada, misalnya daerah pemukiman penduduk yang semakin menjauhi pusat kota 5. Kesamaan waktu aliran lalu lintas. 6. Jenis, umur dan karakteristik kendaraan bermotor.
Universitas Sumatera Utara
25
7. Faktor perawatan kendaraan. 8. Jenis bahan bakar yang digunakan. 9. Jenis permukaan jalan. 10. Siklus dan pola mengemudi (driving pattern). Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau dimaksuknya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambient turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak memenuhi fungsinya. Didalamnya dilampirkan Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Nasional, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 2.1 Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Nasional No.
Parameter
1
SO2
2
CO
3
NO2
4
O3 (Oksidan)
5 6
HC PM 10 PM 2,5
7
TSP (Debu)
8
Pb
9
Dustfall (Debu Jatuh)
10
Total Florides (as F)
11
Flor Indeks
12
Chlorine dan Khlorine Dioksida Sulphate Indeks
13
Waktu Pengukuran 1 jam 24 jam 1 thn 1 jam 24 jam 1 jam 24 jam 1 thn 1 jam 1 thn 3 jam 24 jam 24 jam 1 thn 24 jam 1 thn 24 jam 1 thn 30 hari
24 jam 30 hari 30 hari
24 jam
30 hari
Baku Mutu 900 µg/ Nm3 365 µg/ Nm3 60 µg/ Nm3 30.000 µg/ Nm3 10.000 µg/ Nm3 400 µg/ Nm3 150 µg/ Nm3 100 µg/ Nm3 235 µg/ Nm3 50 µg/ Nm3 160 µg/ Nm3 150 µg/ Nm3 65 µg/ Nm3 153 µg/ Nm3 230 µg/ Nm3 90 µg/ Nm3 2 µg/ Nm3 1 µg/ Nm3 10 ton/Km2/Bln (Pemukiman) 20 ton/ Km2/Bln (industri) 3 µg/ Nm3 0,5 µg/ Nm3 40/100 cm2 Dari kertas limed filter 150 µg/ Nm3
1 mg SO3/100 Cm2 dari Lead Peroksida
Metode Analisis
Peralatan
Pararosanilin
Spektophotometer
NIDR
NIDR analyzer
Saltzman
Spektophotometer
Chem-lum
Spektophotometer
Flame Ionization Gravimetric
Gas Chromatografi Hi-Vol
Gravimetric
Hi-Vol
Gravimetric Ekstraksi Pengabuan
Hi-Vol AAS
Gravimetric
Cannister
Spesific Ion Electrode
Impinger atau Continous Analyzer
Colourimetric
Limed Filter Paper
Spesific Ion Electrode
Impinger atau Continous Analyzer
Colourimetric
Lead Peroxida Candle
Sumber: Lampiran PP No.41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara 2.2.
Karakteristik dan Sumber Polusi Timbal (Pb)
2.2.1. Karakteristik Timbal (Pb) Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan Pb. Logam ini termasuk kedalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada Tabel
Universitas Sumatera Utara
27
Periodik unsur kimia. Timbal mempunyai Nomor Atom (NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2 (Palar, 2004). Menurut Palar (2004), logam timbal (Pb) mempunyai sifat-sifat khusus seperti berikut : (1) Merupakan logam
yang
lunak,
sehingga
dapat
dipotong
dengan
menggunakan pisau atau dengan tangan dan dapat dibentuk dengan mudah. (2) Merupakan logam yang tahan terhadap peristiwa korosi atau karat, sehingga logam timbal sering digunakan sebagai bahan coating. (3) Mempunyai titik lebur rendah, hanya 327,5 0C dan titik didih 1620 0C. (4) Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam biasa, kecuali emas dan merkuri. (5) Merupakan penghantar listrik yang tidak baik. Sifat lainnya dari timbal yakni, mempunyai sifat kimia yang aktif sehingga dapat digunakan untuk melapisi logam untuk mencegah perkaratan dan bila dicampur dengan logam lain, akan membentuk logam campuran yang lebih bagus daripada logam murninya (Darmono, 1995), serta mudah larut dalam larutan garam, misalnya larutan ammonium asetat (Sartono, 2001), dan larut dalam minyak dan lemak. Timbal (Pb) dan persenyawaannya banyak digunakan dalam berbagai bidang. Dalam industri baterai, timbal digunakan sebagai grid yang merupakan alloy (suatu persenyawaan) dengan logam bismuth (Pb-Bi). Kemampuan berikatan dengan atom N dapat membentuk senyawa azida yang banyak digunakan sebagai detonator. Persenyawaan Pb dengan Cr (chromium), Mo (molybdenum), dan Cl (chlor) digunakan dalam industri cat untuk mendapatkan warna “kuning-chrom”. Dan dalam
Universitas Sumatera Utara
28
industri kimia, persenyawaan Pb dengan (CH 3)4 (tetrametil-Pb) dan (C2H5)4 (tetraetilPb) digunakan sebagai aditif ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor (Palar, 2004). 2.2.2. Sumber Polusi Timbal (Pb) Jumlah timbal (Pb) yang ada di udara mengalami peningkatan yang sangat drastis sejak dimulainya revolusi industri di benua eropa. Emisi timbal (Pb) masuk ke dalam lapisan atmosfer bumi dan dapat berbentuk gas dan partikel. Emisi timbal (Pb) yang masuk dalam bentuk gas terutama berkaitan sekali berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan, yang berasal dari senyawa tetrametil-Pb dan tetril-Pb yang selalu ditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai antiknock pada mesin-mesin kendaraan. Musnahnya timbal (Pb) dalam peristiwa pembakaran pada mesin yang menyebabkan jumlah timbal (Pb) yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi (Anonimous, 2011). Semakin
meningkatnya
produksi
kendaraan
bermotor
memperburuk
keberadaan timbal (Pb) di udara. Kontribusi asap kendaraan bermotor menyumbang polusi udara sebesar 60%-70%. Di Sumatera Utara, tercatat pada tahun 2011 peningkatan jumlah kendaraan bermotor mencapai 11,28% atau sebesar 455.855 unit, yakni dari 4.039.127 pada Desember 2010 menjadi 4.494.982 unit hingga November 2011 (Pasaribu, 2011). Dari jumlah itu, penambahan sepeda motor yang paling banyak. Timbal (Pb) dicampurkan ke dalam bensin sebagai anti letup atau anti knock aditif dengan kadar sekitar 2,4 gram/gallon. Timbal (Pb) yang digunakan untuk anti
Universitas Sumatera Utara
29
knock adalah tetraethyl timbal (C2H5)4. Fungsi penambahan timbal (Pb) adalah dimaksudkan untuk meningkatkan bilangan oktana. Timbal (Pb) adalah bahan yang dapat meracuni lingkungan dan mempunyai dampak pada seluruh sistem di dalam tubuh. Timbal (Pb) dapat masuk ke tubuh melalui inhalasi, makanan dan minuman serta absorbsi melalui kulit (Albalak, 2001). Bahan aditif yang biasa dimasukkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor pada umumnya terdiri dari 62% tetraetil-Pb, 18% etilendikhlorida, 18% etilendibromida dan sekitar 2% campuran tambahan dari bahan-bahan lain. Jumlah senyawa timbal (Pb) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain dan tidak terbakar musnahnya timbal (Pb) dalam peristiwa pembakaran pada mesin menyebabkan jumlah timbal (Pb) yang dibuang ke udara melalui asap buangan kendaraan menjadi sangat tinggi (Palar, 2004). Tabel 2.2. Kandungan Senyawa Timbal (Pb) dalam Gas Buangan Kendaraan Bermotor Senyawa Pb O Jam 18 Jam (%) (%) (%) PbBrCl 32,0 12,0 PbBrCl.2PbO 31,4 1,6 PbCl2 10,7 8,3 Pb(OH)Cl 7,7 7,2 PbBr2 5,5 0,5 2 PbCl .2PbO 5,2 5,6 Pb(OH)Br 2,2 0,1 PbOx 2,2 21,2 3 PbCO 1,2 13,8 2 PbBr .2PbO 1,1 0,1 3 PbCO .2PbO 1,0 29,6 Sumber : Palar (2004)
Universitas Sumatera Utara
30
Senyawa tetraemil-Pb dan tetraetil-Pb dapat diserap oleh kulit. Hal ini disebabkan kedua senyawa tersebut dapat larut dalam minyak dan lemak. Sedangkan dalam udara tetraetil-Pb terurai dengan cepat karena adanya sinar matahari. TetraetilPb akan terurai membentuk trietil-Pb, dietil-Pb dan monoetil-Pb. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb tersebut memiliki bau yang sangat spesifik seperti bau bawang putih. Sulit larut dalam minyak, semua senyawa turunan ini dapat larut dengan baik dalam air. Senyawa timbal (Pb) dalam keadaan kering dapat terdispersi di dalam udara sehingga kemudian terhirup pada saat bernapas dan sebagian akan menumpuk dikulit dan atau terserap oleh daun tumbuhan (Anonimous, 2011). Timbal (Pb) diketahui tidak mempunyai fungsi biologi apapun dalam tubuh manusia. Tidak ada bukti bahwa ada kadar terendah timbal dalam darah yang aman bagi kesehatan. Timbal seperti halnya zat besi dan kalsium diserap dengan cara yang sama di saluran pencernaan. Anak mengabsorbsi timbal (Pb) lebih tinggi, lebih kurang 50% dibandingkan orang dewasa hanya 10%. Tetraethyl lead yang dipakai sebagai pencampur bensin akan dibuang ke udara dan dapat diabsorbsi melalui kulit (Falken, 2003). 2.3.
Timbal (Pb) Dalam Makanan Palar (2004) mengatakan bahwa memang sudah ada beberapa studi yang
menyebutkan adanya kontaminasi timbal (Pb) pada makanan olahan dan makanan kaleng serta makanan yang telah diasamkan dapat melarutkan timbal (Pb) dari wadah atau alat-alat pengolahannya. Beberapa studi terbatas juga telah menemukan timbal (Pb) pada daun tumbuhan.
Universitas Sumatera Utara
31
Makan di pinggir jalan beresiko cukup tinggi untuk menyebabkan penyakit. Banyak wabah penyakit di Indonesia yang tersebar karena kebiasaan masyarakat untuk makan jajanan sembarangan yang berbahaya di pinggir jalan. Di antaranya adalah penyakit typhus, hepatitis dan keracunan bahan kimia. Meski demikian, terkadang kita kesulitan mencari makan saat di perjalanan atau jika sedang kemalaman. Pilihan yang paling mudah adalah membeli makan di pinggir jalan (Dewi, 2012). Beberapa kalangan, khususnya kalangan yang sangat memperhatikan gizi dari setiap makanan yang dikonsumsi, melihat bahwa gorengan sebenarnya adalah makanan sangat berbahaya bagi kesehatan. Salah satu alasannya adalah faktor kondisi sekitar pedagang gorengan yang menjadi penyebab gorengan menjadi tidak sehat untuk dikonsumsi. Kita bisa bayangkan jika membeli gorengan dari pedagang gorengan yang berjualan tepat di pinggir jalan yang banyak dilalui kendaraan. Kita tidak tahu sudah berapa banyak kandungan asap kendaraan bermotor yang menempel pada gorengan tadi (Fathurrahman, 2011). Sudah banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa timbal (Pb) dapat mencemari makanan. Yuliarti (2007) mengatakan kita mesti mewaspadai kandungan timbal (Pb) dalam berbagai jenis jajanan, terutama jajanan pasar seperti kue lapis, naga sari, putus ayu, bolu kukus, kue talam, dadar gulung, dan berbagai jenis sus karena dalam sebuah penelitian ditunjukkan bahwa ternyata kadar timbal (Pb) dalam makanan cukup tinggi, yakni berkisar antara 1,73-4,25 ppm. Cemaran logam timbal (Pb) ini diduga berasal dari sisa pembakaran atau asap kendaraan bermotor. Jadi, yang jadi permasalahan sebenarnya bukan jenis
Universitas Sumatera Utara
32
makanannya yang berbahaya, melainkan tercemarnya makanan tersebut oleh timbal (Pb) dari asap kendaraan bermotor (Yuliarti, 2007). Berdasarkan penelitian Marbun (2010) diperoleh hasil bahwa ada pengaruh lama waktu pajanan terhadap timbal (Pb) pada makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Kota Medan. Hasanah (2011) dalam penelitiannya juga menyimpulkan adanya cemaran logam berat produk pangan gorengan berlapis tepung, dimana kadar logam timbal (Pb) melebihi batas maksimum (0,1 mg/kg) pada pemajanan 6 dan 12 rokok, yakni sebesar 0,9233 mg/kg dan 1,1932 mg/kg. Adanya penelitian tersebut memunculkan dugaan kuat bahwa minyak goreng yang digunakan pedagang gorengan juga tidak terlepas dari pajanan timbal (Pb). Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa pangan gorengan kebanyakan diolah dengan menggunakan minyak goreng. Pada beberapa kasus belakangan ini terbukti bahwa kemasan pembungkus makanan gorengan juga bisa mengakibatkan cemaran timbal (Pb), terutama kemasan dari koran, majalah dan kertas yang bertinta. Tinta yang mengandung timbal (Pb) dapat dengan mudah berpindah ke dalam makanan akibat kontak dengan panas dan minyak goreng yang ada pada gorengan. Padahal kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 telah mengeluarkan peraturan mengenai batas maksimum cemaran timbal (Pb) pada makanan.
Universitas Sumatera Utara
33
Batasan cemaran timbal (Pb) tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.3. Batas Cemaran Logam Timbal (Pb) pada Makanan Batas maksimum No. Jenis makanan (ppm atau mg/kg) 1.
Susu olahan
0,02 (dihitung terhadap produk siap konsumsi)
2. 3.
Lemak dan minyak nabati Lemak dan minyak hewani
0,1 0,1
4.
Mentega
0,1
5.
Margarin
0,1
6.
Minarin
0,1
7. 8.
Buah olahan dan sayur olahan Pasta tomat
0,5 1,0
9.
Kembang gula/permen dan cokelat
1,0
10.
Serealia dan produk serealia
0,3
11.
Tepung terigu
1,0
12. 13.
Produk Bakteri Daging olahan
0,5 1,0
14. 15.
Ikan olahan Ikan predator olahan misalnya cucut, tuna, marlin dll
0,3 0,4
16.
Kekerangan (bivalve) moluska olahan dan teripang Olahan
1,5
17.
Udang olahan dan krustasea olahan lainnya
0,5
Sumber : Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009
Universitas Sumatera Utara
34
2.4.
Keracunan Logam Timbal (Pb) Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam timbal (Pb) dapat
terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh. Proses masuknya timbal (Pb) ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu melalui makanan dan minuman, udara dan perembesan atau penetrasi pada selaput atau lapisan kulit (Palar, 2004).
Gambar 2.1. Kinetika perjalanan timbal (Pb) hingga masuk kedalam tubuh manusia (Environmental Health Criteria 3 WHO, 1997) Darmono (1995) mengatakan timbal (Pb) dalam bentuk larutan diabsorpsi sekitar 1-10% melalui dinding penceernaan. Sistem darah porta hepatis (dalam hati) membawa timbal (Pb) tersebut dan dideposisi dan sebagian lagi dibawa darah dan didistribusikan ke dalam jaringan. Timbal (Pb) kemudian diekskresikan melaui urine dan feses.
Universitas Sumatera Utara
35
Metabolisme timbal (Pb) dalam tubuh manusia dapat dilihat pada skema berikut : ABSORPSI
PENYIMPANAN Jaringan lunak
Saluran nafas atas
Jaringan tulang
Paru-paru Darah
Pharynk
EKSKRESI
Saluran cerna
Kulit
Keringat Rambut Kuku
Ginjal
Urine
Usus besar
Tinja
Hati
Gambar 2.2. Skema metabolisme timbal (Pb) dalam tubuh manusia (Hemberg S dalam Zens C, 1994, dengan modifikasi) Menurut Frank (1994), logam yang paling perlu diperhatikan dalam pajanannya lewat makanan adalah merkuri, timbal, dan kadmium. NRC Canada dalam Frank (1994) menyebutkan asupan harian timbal lewat medium udara, air dan makanan jumlahnya mencapai masing-masing 15, 20 dan 140 ppm. Sartono (2001) mengatakan jika mengabsorpsi timbal (Pb) lebih dari 0,5 mg/hari akan terjadi akumulasi yang selanjutnya menyebabkan keracunan. Dosis fatal kira-kira 0,5 g. Batas paparan untuk timbal tetrametil dan timbal tetraetil 0,07 mg/m3 . Efek toksik timbal terutama terjadi pada otak dan sistem saraf pusat. Kadar timbal (Pb) dalam otak dan hati dapat mencapai 5 sampai 10 kali dari kadarnya dalam darah.
Universitas Sumatera Utara
36
Akibat keracunan timbal (Pb) ialah gangguan sistem saraf pusat, saluran cerna dan dapat juga menimbulkan anemia. Darmono (1995) membagi gejala khas dari keracunan timbal (Pb) menjadi 3 bentuk, yaitu: 1. Gastroenteritis Ini disebabkan oleh reaksi rangsangan garam Pb pada mukosa saluran pencernaan sehingga menyebabkan pembengkakan, dan gerak kontraksi rumen dan usus terhenti, peristaltic usus menurun sehingga terjadi konstipasi dan kadang-kadang diare. 2. Anemia Timbal (Pb) terbawa dalam darah dan lebih dari 95% berikatan dengan eritrosit. Ini menyebabkan mudah pecahnya sel darah merah dan berpengaruh terhadap sintesis Hb, sehingga menyebabkan anemia. Anemia ini ditandai dengan anisositosis, polikromasia, jumlah retikulosit naik dan juga sel darah bernukleus. Ditemukannya basofilik stipling merupakan cirri khas keracunan Pb. 3. Encefalopati Timbal (Pb) menyebabkan kerusakan sel endotel dan kapiler darah di otak. Pada umumnya barrier darah otak sangat mudah dilalui (permeable) oleh air, CO2, dan O2, tetapi sedikit permeabel terhadap elektrolit seperti Na, Cl, dan K, dan tidak dapat dilalui (impermeable) oleh sulfur dan logam berat. Tetapi pada saat sel endotelial rusak, bentuk protein yang berukuran besar dapat lewat dan masuk ke dalam
otak. Tekanan
osmosis
cairan
ekstraseluler
yang
memenuhi
otak
Universitas Sumatera Utara
37
mengakibatkan oedema otak. Kapiler darah otak ini sangat peka terhadap keracunan timbal (Pb), terutama pada hewan muda pada saat otak berkembang dengan cepat. 2.4.1. Keracunan Akut Keracunan akut dapat terjadi melalui mulut, suntikan senyawa timbal (Pb) yang larut, atau absorpsi melaui kulit yang terjadi dengan cepat. Gejala yang timbul antara lain, terdapat rasa logam, sakit perut, muntah, diare, feses berwarna hitam, oliguria, kolaps, dan koma. 2.4.2. Keracunan Kronik Keracunan kronik dapat terjadi melalui mulut, absoprsi melalui kulit, dan menghirup partikel timbal (Pb) atau senyawa timbal organik. Gejala yang timbul mula-mula nafsu makan berkurang, berat badan turun, apatis, iritasi, kadang-kadang muntah-muntah, lelah, sakit kepala, badan lemah, rasa logam, garis-garis hitam pada gusi, dan dapat mengakibatkan anemia. Selanjutnya lebih sering muntah-muntah, rasa sakit yang tidak jelas pada kaki, sendi dan perut, gangguan saraf pada kaki dan tangan, kelumpuhan otot kaki dan tangan, dan pada wanita dapat terjadi gangguan siklus haid selain aborsi (Sartono, 2001). Widowati (2008) menyebutkan bagaimana timbal (Pb) memberikan efek racun terhadap berbagai fungsi organ tubuh. Berikut adalah mekanisme toksisitas timbal (Pb) berdasarkan organ yang dipengaruhinya: 1.
Sistem haemopoietik; di mana timbal (Pb) menghambat sistem pembentukan hemoglobin (Hb) sehingga menyebabkan anemia.
2.
Sistem saraf; di mana timbal (Pb) bisa menimbulkan kerusakan otak dengan gejala, epilepsi, halusinasi, kerusakan otak besar, dan delirium. Kelainan
Universitas Sumatera Utara
38
fungsi otak terjadi karena timbal (Pb) secara kompetitif menggantikan peran Zn, Cu, dan Fe dalam mengatur fungsi sistem syaraf pusat. 3.
Sistem urinaria; di mana timbal (Pb) bisa menyebabkan lesi tubulus proksimalis, loop of henle, serta menyebabkan aminosiduria.
4.
Sistem Gastro-intestinal; di mana timbal (Pb) menyebabkan kolik dan konstipasi.
5.
Sistem kardiovaskuler; di mana timbal (Pb) bisa menyebabkan peningkatan permiabilitas pembuluh darah.
6.
Sistem reproduksi berpengaruh terutama terhadap gametotoksisitas atau janin belum lahir menjadi peka terhadap (Pb). Ibu hamil yang terkontaminasi timbal (Pb) bisa mengalami keguguran, tidak berkembangnya sel otak embrio, kematian janin waktu lahir, serta hipospermia dan teratospermia pada pria.
7.
Sisitem endokrin; di mana timbal (Pb) mengakibatkan gangguan fungsi tiroid dan fungsi adrenal.
8.
Bersifat karsinogenik dalam dosisis tinggi. Penelitian Albalak et al. (2003) yang di lakukan di Jakarta
menemukan
bahwa seperempat dari anak-anak sekolah di Jakarta memiliki kandungan timbal dalam darah melampaui batas yang di tetapkan oleh Pusat
Pengontrolan
dan
Pencegahan Penyakit Amerika Serikat yaitu kurang dari 10 ug/dL (batas timbal yang di golongkan tidak beracun). Di kalangan anak-anak, kandungan darah tertinggi lebih dari 10 ug/dL telah di temukan pada anak-anak yang hidup di daerah yang padat dengan lalu lintas. Sementara, anak-anak yang tinggal dekat jalan yang rendah
Universitas Sumatera Utara
39
kepadatan lalu lintas nya terbukti memiliku kandungan timbal dalam rendah lebih rendah. Vupputuri et al. (2003) menyimpulkan penelitiannya dalam uji multivariat bahwa kadar timbal dalam darah menyebabkan kenaikan tekanan darah pada orang negro, tetapi tidak terjadi pada orang kulit putih. Erawati (2003) melakukan penelitian terhadap 30 orang polisi lalu lintas yang hanya bertugas dijalan raya. Ditemukan 15 orang (50%) responden yang memiliki kadar Pb dalarn darahnya dengan kategori B (dapat ditoleransi), 14 orang (46,7%) memiliki kadar Pb dengan kategori C (berlebih) ,dan 1 orang (3,3%) yang memiliki kadar Pb dengan kategori D (tingkat bahaya). Penelitian Sri WS (2004) tentang kadar timbal (Pb) dalam darah operator SPBU menyimpulkan bahwa ditinjau dari segi jenis kelamin, umur, masa kerja, dan kebiasaan merokok kadar timbal (Pb) dalam darah para operator SPBU semuanya masih dalam keadaan normal (pria < 25 ug/dl, perempuan < 20 ug/dl), Walaupun masih dalam batas normal, ada 8 orang operator (53.33%) dari 15 responden yang diteliti menyatakan mengalami keluhan seperti sering sakit kepala, sulit tidur, tenggorokan terasa kering, yang merupakan indikasi dari terpaparnya timbal (Pb). Chahaya (2005) melakukan penelitian di kota Pematang Siantar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dari 96 sampel orang didapati kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin 8 orang (8,3%) dalam kategori normal, 34 orang (53,4%) dalam kategori ditoleransi, 40 orang (41,7%) dalam kegori berlebih dan 14 orang (14,6%) dalam kategori berbahaya. Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak umumnya tinggi. Hal ini berhubungan dengan jarak rumah dengan jalan protokol, masa kerja dan kebiasaan merokok.
Universitas Sumatera Utara
40
Untuk melakukan evaluasi terhadap keterpaparan oleh logam timbal (Pb) perlu diketahui batas normal dari konsentrasi kandungan timbal (Pb) dalam jaringanjaringan dan cairan tubuh. Pada manusia dewasa jumlah kandungan atau konsentrasi timbal (Pb) dalam darah tidak sama, sehingga konsentrasi timbal (Pb) dalam darah dapat digolongkan ke dalam 4 kategori, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut : Tabel 2.4. Empat Kategori Timbal (Pb) dalam Darah Orang Dewasa Kategori A (normal)
µg Pb/100 ml Darah
Deskripsi
<40
Tidak terkena paparan atau tingkat paparan normal
B (dapat ditoleransi)
40-80
C (berlebih)
80-120
Pertambahan penyerapan dari keadaan terpapar tetapi masih bisa ditoleransi Kenaikan penyerapan dari keterpaparan yang banyak dan mulai memperlihatkan tanda keracunan Penyerapan mencapai tingkat bahaya dengan tanda-tanda keracunan ringan sampai berat
D (tingkat bahaya)
>120
Sumber : Palar (2004) Sedangkan efek masalah kesehatan yang timbul akibat terpapar oleh polusi timbal (Pb) dapat kita lihat pada tabel 2.5 dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
41
Tabel 2.5. Efek Kesehatan Secara Umum yang Timbul Akibat Keterpaparan Timbal Tingkat Masalah Kesehatan yang Timbul Gangguan kesehatan yang berbahaya terjadi dengan segera dan bersifat permanen
Kadar Timbal Darah (µ/dl)
Pengaruh pada Tubuh yang Sudah Terdeteksi Sesuai dengan Kadar Timbal Darah Kerusakan jaringan otak
110 100 90
Penurunan berbahaya atas kemampuan darah untuk membawa oksigen
80 Bisa timbul gangguan kesehatan yang lain
70 60
Penurunan produksi darah
Dapat timbul kerusakan tapi belum menunjukkan gejala
50
Kemandulan pada pria
40
Kerusakan jaringan syaraf
Timbal mulai mengganggu sistem tubuh
30
Penurunan pendengaran
20
Peningkatan tekanan darah
10
Pengaruh pada bayi dalam kandungan pada wanita hamil
Kadar rata-rata untuk manusia sehat
3 0
Sumber : Diterjemahkan dari Fewtrell (2003) 2.5
Pedagang Gorengan Pedagang gorengan adalah profesi usaha atau bisnis yang digeluti oleh orang-
orang dengan modal yang relatif kecil dan tidak memerlukan keahlian khusus. Ratarata pedagang ini tergolong kepada jenis usaha mikro dan kecil (UMKM). Sering juga diberi istilah pedagang sektor informal atau pedagang kaki lima, mungkin karena pedagang ini identik dengan gerobak, tempat jualannya yang kadang sering berpindah-pindah dan rata-rata tidak memiliki legalitas (Tinus, 2011). 2.6.
Minyak Goreng dan Penggorengan
2.6.1. Minyak Goreng Menurut SNI 01-3741-2002, minyak goreng adalah bahan pangan dengan
Universitas Sumatera Utara
42
komposisi utama trigliserida berasal dari bahan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian (BSN, 2002) Sedangkan Wikipedia menyebutkan bahwa minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan kanola (Wikipedia, 2011). Dalam penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Selama proses menggoreng berlangsung, sebagian minyak ikut masuk ke bagian kerak dan bagian luar (outer zone) bahan pangan. Sehingga jika seseorang mengkonsumsi bahan pangan digoreng, maka dia juga mengkonsumsi sejumlah lemak dan minyak yang terbawa dari kuali penggorengan (Ketaren, 2008). Salah satu standar mutu yang diterapkan pada minyak goreng adalah cemaran logam. Hal tersebut tergolong penting karena cemaran logam dalam minyak goreng akan terdifusi ke dalam bahan pangan dan mempengaruhi keamanan pangan untuk dikonsumsi. Penelitian Marbun (2010) dalam studinya mengenai kadar timbal (Pb) pada gorengan di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Medan menyebutkan bahwa rata-rata kadar timbal (Pb) gorengan sesaat setelah diangkat dari kuali penggorengan yaitu 0.4287 mg/kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan, salah
satunya
adalah
minyak
goreng,
serta
proses
penggorengan
dapat
mempengaruhi jumlah cemaran logam berat pada gorengan (Hasanah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
43
Baik pada SNI 01-3741-2002 maupun Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan secara bersamaan menyebutkan bahwa batas maksimum cemaran timbal (Pb) pada minyak goreng adalah sebesar 0,1 mg/kg. Berikut adalah acuan berdasarkan SNI 01-3741-2002 : Tabel 2.6. Syarat Mutu Minyak Goreng Menurut SNI 01-3741-2002 Persyaratan Kriteria Uji
No.
Satuan
Mutu II
Mutu I
1.
Keadaan
1.1
Bau
1.2
Rasa
1.3
Warna
2.
Kadar air
3.
Bilangan asam
4. 5.
Asam linolenat (C18:3) dalam komposisi asam lemak minyak Cemaran logam
5.1
Timbal (Pb)
mg/kg
maks 0.1
maks 0.1
5.2
Timah (Sn)
mg/kg
maks 40.0/250*
maks 40.0/250*
5.3
Raksa (Hg)
mg/kg
maks 0.05
maks 0.05
5.4
Tembaga (Cu)
mg/kg
maks 0.1
maks 0.1
6.
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
maks 0.1
maks 0.1
7.
Minyak pelikan**
negatif
negatif
Normal
Normal
Normal Normal Putih, kuning pucat sampai kuning %b/b
maks 0.1
maks 0.3
mg KOH/g
maks 0.6
maks 2
%
maks 2
maks 2
CATATAN * Dalam kemasan kaleng CATATAN **Minyak pelikan adalah minyak mineral dan tidak bisa disabunkan
Sumber: BSN (2002)
Pemeriksaan kandungan timbal (Pb) pada minyak sebelum penggorengan juga dianggap sangat perlu karena ketidakjelasan sumber minyak yang digunakan. Penelitian Yani (2011) menyimpulkan adanya kandungan logam berat (Pb dan Cu) pada minyak curah dan minyak jelantah sebelum penggorengan, dengan asumsi kuat minyak curah tersebut merupakan minyak oplosan hasil campuran oli bekas serta
Universitas Sumatera Utara
44
kebiasaan pedagang yang memakai minyak berulang kali. 2.6.2. Penggorengan Penggorengan adalah salah satu cara pengolahan pangan yang mudah serta banyak diminati. Penggorengan dengan minyak atau lemak banyak dipilih sebagai cara pengolahan karena mampu meningkatkan citarasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik, sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah (Winarno, 1999). Menurut Supriyanto
et
al.
(2006), penggorengan merupakan fenomena
transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan yang dianjurkan adalah 177—201oC, atau tergantung jenis bahan yang digoreng (Winarno, 1999). Adanya perbedaan konsentrasi air dan minyak antara permukaan dan bagian dalam bahan pangan menyebabkan proses transfer massa air dan massa minyak terjadi secara difusi. Proses difusi air dari dalam ke permukaan bahan pangan dan difusi minyak dari permukaan ke dalam bahan pangan berlangsung bersamaan (simultan) dengan proses transfer panas dari permukaan ke dalam bahan pangan. Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air.
Proses difusi minyak akan
berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan dan pasca penggorengan (Moreira dan Barrufet, 1998). Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi penggorengan dalam ketel
Universitas Sumatera Utara
45
(wadah/kuali) yaitu, pemanasan dengan adanya udara, lemak setempat terlalu panas (local over heating of fat), aerasi pada lemak, kontak lemak dengan logam dari ketel (wadah), kontak bahan pangan dengan minyak, adanya kerak dan partikel yang gosong. Dari faktor-faktor tersebut, maka pemanasan dengan adanya udara merupakan faktor yang sangat berpengaruh (Ketaren, 2008). Dengan alasan ini kita bisa menyimpulkan, timbal (Pb) yang ada di udara dapat saja terabsorpsi ke dalam minyak goreng mengingat titik lebur timbal 327,50C, sedangkan suhu yang dianjurkan untuk menggoreng hanya 2010C. Hal tersebut juga tentunya menunjukkan timbal (Pb) tidak ikut menguap saat penggorengan dilakukan. 2.7.
Pedagang Gorengan Sekitar Kawasan Traffic Light Traffic light (lampu lalu lintas) atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah
perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan (UU No. 22 tahun 2009). Lampu lalu lintas menandakan kapan kendaraan harus berjalan dan berhenti secara bergantian dari berbagai arah. Pengaturan lalu lintas di persimpangan jalan dimaksudkan untuk mengatur pergerakan kendaraan pada masing-masing kelompok pergerakan kendaraan agar dapat bergerak secara bergantian sehingga tidak saling mengganggu antar-arus yang ada. Lampu lalu lintas telah diadopsi di hampir semua kota di dunia ini. Lampu ini menggunakan warna yang diakui secara universal; untuk menandakan berhenti adalah warna merah, hati-hati yang ditandai dengan warna kuning, dan hijau yang berarti dapat berjalan (Wikipedia, 2012).
Universitas Sumatera Utara
46
Seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa banyak kendaraan bermotor menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang masih mengandung logam timbal (Pb). Pada kawasan traffic light, kendaraan yang berhenti tanpa mematikan mesinnya akan menimbulkan pencemaran udara yang terlokalisasi disekitar kawasan traffic light sehingga akan terjadi peningkatan konsentrasi timbal (Pb) di udara di sekitar kawasan tersebut. Surani (2002) mengatakan sebanyak 10 % emisi kendaraan bermotor yang mengandung timbal (Pb) dapat tersebar dalam radius <100 m dari sumber pencemaran.
Ket : Lingkaran merah adalah perkiraan zona emisi 10% timbal (Pb) di udara dari asap kendaraan bermotor yang berhenti saat lampu merah di persimpangan, pada radius ≤100 meter (Surani, 2002).
Gambar 2.3. Zona emisi timbal (Pb) dari asap kendaraan bermotor kawasan traffic light Pencemaran makanan jajanan oleh timbal (Pb) dapat terjadi karena pedagang gorengan biasanya berjualan di lokasi <100 meter dari traffic light . Udara yang sudah mengandung cemaran asap kendaraan bermotor dengan mudah hinggap di makanan dan minyak goreng yang digunakan pedagang. Minyak goreng yang dapat
Universitas Sumatera Utara
47
menyerap timbal (Pb) merupakan suatu faktor resiko yang dapat mengindikasikan sumber awal dari pencemaran timbal (Pb) pada makanan jajanan. 2.8.
Spektrofotometri Serapan Atom Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) digunakan untuk analisis logam berat.
Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menganalisis zat atau unsur logam berat pada konsentrasi rendah, sehingga sangat tepat digunakan untuk memeriksa timbal (Pb) pada minyak goreng. Prinsip kerja SSA adalah penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung didalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengarbsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (hollow cathode lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyak penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu tergantung pada jenis logam (Darmono, 1995). Pengurangan intensitas radiasi yang diberikan sebanding dengan jumlah atom pada tingkat energi dasar yang menyerap energi radiasi tersebut. Dengan mengukur intensitas radiasi yang diteruskan (transmitan) atau mengukur intensitas radiasi yang diserap (absorbansi) maka konsentrasi unsur di dalam cuplikan dapat ditentukan (Sheet, 2010).
Universitas Sumatera Utara
48
2.9.
Kerangka Konsep Adapun .kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.4
berikut:
Batas maksimum Peraturan Ka. BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 Memenuhi syarat
Sebelum Penggorengan Kadar Timbal (Pb) pada minyak goreng
Minyak goreng Sesudah Penggorengan
Perilaku pedagang (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan)
Tidak memenuhi syarat
Pemeriksaan kadar timbal (Pb)
Gambar 2.4. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara