BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengambil tindakan tepat atas berbagai permasalahan
yang
dialami.
Konsep
pemberdayaan
mengemuka
sejak
dicanangkannya Strategi Glosbal WHO tahun 1984, yang ditidaklanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam Ottawa (1986). Dalam deklarasi tersebut dinyatakan tentang
perlunya
mendorong
terciptanya kebijakan berwawasan kesehatan,
lingkungan yang mendukung, reorientasi dalam pelayanan kesehatan, keterampilan individu dan gerakan masyarakat (Krianto dalam Soekidjo, 2005). Minkler dan Walerstein untuk menjelaskan masyarakat (dalam Glanz, 1997) mengatakan bahwa terdapat dua kelompok teori, yaitu kelompok teori dengan perpektif
sistem ekologi dan kelompok teori dengan perspektif sistem sosial.
Perspektif sistem ekologi mengarah pada penjelasan tentang masyarakat sebagai kesatuan individu yang tinggal pada wilayah geografis tertentu. Oleh karena itu, fokus penjelasan perspektif sistem ekologi meliputi besar masyrakat, kepadatan, keanekaragaman, lingkungan fisik, organisasi dan struktur sosial, serta teknologi yang diinginkan masyarakat. Adapun perspektif sistem sosial menjelaskan tentang sistem pengorganisasian dalam masyarakat, menggali interkasi antarsubsistem dalam
13
14
masyarakat (yang meliputi aspek ekonomi politik) secara horizontal di dalam masyarakat, secara vertikal dengan masyarakat yang lain dengan masyarakat yang lebih besar (Fellin, 1995). Jadi Pemberdayaan masyarakat ialah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Di bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan (Krianto dalam Soekidjo, 2005). Tujuan pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang berkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi hambatan sosial dalam pengambilan tindakan. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuannya, diantaranya melalui pendayagunaan potensi lingkungan. Menurut Suyono paling tidak ada 3 syarat dalam proses pemberdayaan masyarakat (Krianto dalam Soekidjo, 2005), yaitu: a. Kesadaran, kejelasan serta pengetahuan tentang apa yang dilakukan. b. Pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak (termasuk masyarakat) tentang hal-hal apa, di mana, dan siapa yang akan diberdayakan. c. Adanya kemauan dan keterampilan kelompok sasaran untuk menempuh proses pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat biasanya ditujukan kepada masyarakat yang kurang mampu. Dalam keadaan masalah gizi kurang ditujukan kepada keluarga
15
miskin. Usman Sunyoto, (2004) masalah lain yang terkait erat dengan kemiskinan adalah sindrom inertia (lamban dan statis) sebagai akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia. Secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat adalah: a. Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman bagi individu, kelompok atau masyarakat. Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan dari kesadaran dan pemahaman terhadap objek. Faktor yang paling utama yang mendukung berlanjutnya kemauan adalah sarana atau prasarana untuk mendukung tindakan tersebut. b. Timbulnya kemampuan masyarakat berarti masyarakat, baik secara individu maupun kelompok telah mampu mewujudkan kemauan atau niat mereka dalam bentuk tindakan atau perilaku. Seseorang, kelompok atau masyarakat yang telah menfasilitasi kebutuhan-kebutuhan sarana atau prasarana adalah masyarakat yang mandiri di (Soekidjo, 2007). Kemadirian
masyarakat
sebagai
hasil
pemberdayaan
sesungguhnya
merupakan perwujudan dari tanggung jawab mereka agar hak- hak mereka terpenuhi. Departemen Kesehatan mempunyai rumusan tentang pemberdayaan masyarakat, yakni upaya fasilitasi yang bersifat noninstruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, perencanaan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada, baik dari instansi lintas sektoral maupun LSM dan tokoh masyarakat.
16
Depkes lebih menekankan pada pendekatan noninstruktif untuk menghindari kesan pada masyarakat, bahwa pendekatan-pendekatan pengembangan masyarakat yang telah ada, termasuk bidang kesehatan, hampir semuanya menggunakan instruktif, kurang memperhatikan pertumbuhan dari bawah. Sedangkan proses dan tujuan akan dicapai, yang secara implisit terdapat di dalam kedua batasan tersebut tidak berbeda, yakni masyarakat yang mandiri atau berdaya dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Soekidjo, 2007). Sarana dan prasarana
Informasi kesehatan
Pengetahuan Kesehatan
Kesadaran Kesehatan
Kemauan kesehatan
BERDAYA (MAMPU) DALAM
KESEHATAN Dana dan daya lain
Gambar 2.1 Proses Pemberdayaan Secara lebih terinci prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, sebagai berikut (Soekidjo, 2007): a. Menumbuhkembangkan potensi masyarakat Potensi adalah suatu kekuatan atau kemampuan, maupun masyarakat mempunyai potensi yang masih terpendam. Baik individu, kelompok maupun masyarakat mempunyai potensi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai potensi yang pada dasarnya dapat dikelompokkan
17
menjadi dua, yakni potensi sumber daya manusia (penduduknya), dan potensi dalam bentuk sumber daya alam atau kondisi geografi masyarakat setempat. Baik potensi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya, antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia akhirnya menghasilkan sumber daya ekonomi. Potensi sumber daya manusia selanjutnya dapat diuraikan dalam bentuk kuantitas, yakni jumlah penduduknya, dan dalam bentuk kualitas, yakni status atau kondisi sosial ekonomi penduduk tersebut. Tinggi rendahnya potensi sumber daya manusia di suatu komunitas lebih ditentukan oleh kualitas, bukan kuantitas sumber daya manusia. Sedangkan potensi sumber daya alam yang ada di suatu masyarakat adalah sudah given. Potensi sumber daya alam memang kurang penting dibandingkan dengan potensi sumber daya manusia. Peran petugas atau provider yang terutama adalah memampukan masyarakat untuk mengenal potensi mereka sendiri, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemudian dengan bantuan petugas atau provider, masyarakat dibimbing untuk mengembangkan potensi mereka sendiri, sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat menemukan upaya-upaya pemecahan masalah mereka sendiri berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. b. Mengembangkan gotong royong masyarakat Seberapa besarpun potensi masyarakat, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia, tidak akan tumbuh dan berkembang dari dalam tanpa
18
adanya gotong royong di antara anggota masyarakat itu sendiri. Gotong royong sebagai budaya asli bangsa Indonesia sudah tumbuh sejak berabad-abad yang lalu. Peran petugas atau provider dalam rangka gotong-royong masyarakat ini adalah memotivasi dan menfasilitasinya, agar gotong royong tersebut terjadi di amsyarakat. Agar gotong royong tersebut tumbuh dari masyarakat sendiri maka pendekatan harus dilakukan melalui para tokoh masyarakat, agar dapat memotivasi masyarakat untuk mau berpartisipasi dan berkontribusi terhadap kegiatan yang direncanakan bersama. c. Menggali kontribusi masyarakat Pada hakikatnya pemberdayaan masyarakat adalah menggali potensi masyarakat, terutama potensi ekonomi yang ada di masing-masing anggota kelompok masyarakat. Menggali dan mengembangkan potensi ekonomi masyarakat pada dasarnya adalah suatu upaya agar masyarakat berkontribusi sesuai dengan kemampuan terhadap program atau kegitan yang direncanakan bersama. Kontribusi masyarakat merupakan bentuk partisipasi masyarakat, antara lain dalam bentuk tenaga, pemikiran, atau ide-ide, dana, bahan-bahan bangunan, dan sebagainya. Seorang petugas atau provider kesehatan bersama-sama dengan tokoh masyarakat setempat harus mampu menggali kontribusi sebagai bentuk partisipasi masyarakat. d. Menjalin kemitraan Kemitraan adalah suatu jalinan kerja antara berbagai sektor pembangunan baik pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta individu dalam
19
rangka untuk mencapai tujuan bersama yang disepakati. Masyarakat yang mandiri adalah merupakan perwujudan dari kemitraan di antara anggota masyarakat itu sendiri atau masyarakat dengan pihak-pihak di luar masyarakat yang bersangkutan, baik pemerintah maupun swasta. Petugas atau provider kesehatana dalah memotivasi memfasilitasi masyarakat untuk menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang lain. e. Desentralisasi Upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan potensi daerah atau wilayahnya. Oleh sebab itu, segala bentuk pengambilan keputusan harus diserahkan ke tingkat operasional yakni masyarakat setempat, sesuai dengan kultur masing-masing komunitas. Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan sistem di atasnya adalah sebagai fasilitator dan motivator. Masyarakat bebas melakukan kegiatan atau program- program inovatif, tanpa adanya arahan atau instruksi dari atas. Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah “taman bunga” artinya adanya keanekaragaman upaya tetapi dalam konteks pemberdayaan
masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat
bukan
menggunakan
pendekatan “kebun bunga” yang mementingkan keseragaman. Contoh Posyandu, sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat seharusnya tidak seragam kegiatannya, tetapi harus didasarkan kepada masalah dan kebutuhan setempat. Tetapi karena pendekatannya “kebun bunga” maka semua kegiatan Posyandu sama, baik di kota, di desa, di daerah elit, maupun di daerah kumuh (Soekidjo, 2007).
20
Petugas atau provider kesehatan dalam memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan adalah bekerja sama dengan masyarakat (work with the community), bukan bekerja untuk masyarakat (work for the community). Oleh sebab itu, peran petugas atau sektor kesehatan adalah: a. Memfasilitasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau program-program pemberdayaan b. Memotivasi masyarakat untuk bekerja sama atau gotongroyong dalam melaksanakan kegiatan atau program bersama untuk kepentingan bersama dalam masyarakat tersebut. c. Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat agar sumber daya masyarakat, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam dimanfaatkan secara optimal dalam rangka kemandirian mereka (Soekidjo, 2007). Salah satu indikator penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah seberapa besar
tingkat
partisipasi
masyarakat
yang
memiliki
makna
keterlibatan.
Pemberdayaan sangat terkait dengan demokrasi atau kebebasan individu atau masyarakat yang dimulai dengan adanya kesadaran akan kebutuhan dan potensinya. Prinsip pemberdayaan menghindari unsur paksaan atau tidak demokratis. Partisipasi merupakan suatu proses dan tujuan dalam mencapai tujuan pembangunan. Partisipasi masyarakat terlibat secara aktif baik fisik maupun psikis. Partisipasi mengandung makna keterlibatan adanya kesadaran kesadaran untuk berubah, terjadinya proses belajar menuju ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik (Anwas, 2013).
21
Menurut Suyono (2009) dalam Anwas (2013) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat perlu ditempuh melalui beberapa tahapan. Setiap tahapan menopang sebagai dasar untuk mendukung tahap selanjutnya. Tahapan tersebut yaitu: a. Tahapan awal Tahapan awal disebut juga sebagai perluasan jangkauan. Dalam tahap ini upaya peningkatan partisipasi masyarakat harus dilakukan secara sederhana, bisa dipahami banyak orang. Semua orang harus mengerti, mengikuti sehingga pada akhirnya bisa memahami walaupun kadarnya berbeda-beda. cara penyampaian juga sederhana. Komunikasi lebih bersifat massal atau komunikasi massa. Tahapan ini merupakan bagian advokasi. Di sini perlu juga melakukan komunikasi atau pendekatan kepada pemimpin formal atau informal, karena pemimpin ini akan menjadi contoh bagi pengikutnya. b. Tahapan pembinaan (maintenence) Setelah dilakukan komunikasi atau perluasan secara massal tentunya masyarakat merespon secara beragam tergantung karakter dan kebutuhannya. Oleh karena itu tahapan selanjutnya perlu adanya pembagian sasaran yang jelas. Pembagian
sasaran
berdasarkan
karakterisitik,
kebutuhan
dan
potensinya.
Komunikasi di sini disesuaikan dengan sasaran. Pada tahapan ini sangat nampak adanya people centered, sehingga bisa saja programnya di kelompok satu sangat kompleks, sebaliknya di kelompok lain begitu sederhana.
22
c. Tahapan pelembagaan atau pembudayaan. Pada tahapan ini informasi tidak lagi datang dari pemerintah, tetapi dari anggota atau kelompok masing-masing. Di sini anggota kelompok masyarakat beragam mulai dari yang tinggi, sedang, atau rendah mencari padanan informasi. Di tahapan ini masyarakat menjadi hemofili. d. Tahapan terakhir adalah umpan balik atau reward. Reward ini ditujukan untuk merangsang atau memberikan apresiasi secara benar dalam perubahan sosisal jangan sampai ada hukuman. Hukuman justru akan mengeliminir partisipasi. Jika ada anggota kelompok masyarakat yang belum berhasil, sebaiknya didekati oleh karena anggota kelompok masyarakat sudah berhasil. Hal ini mungkin terjadi karena penyuluh kurang tepat dalam menerapkan metode atau unsur-unsur lainnya yang berasal dari pribadi penyuluh tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam menciptakan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, namun kuncinya adalah masyarakat perlu diberikan kepercayaan untuk mengurus dan mengatur diri dan lingkungannya. Tugas pemerintah dan agen pemberdayaan sebagai fasilitator, motivator atau memberikan pendampingan yang diperlukan masyarakat. Penelitian Harsiki (2002) untuk menghubungkan pola asuh dan staus gizi pada keluarga miskin di Sumatera Barat disarankan perlunya peningkatan pemberdayaan peran ibu dan peran keluarga di dalam keluarganya sendiri rnaupun di masyarakat dalarn meningkatkan keadaan gizi anak batita.
23
Penelitian Widjajanti, Kesi
(2011) menyatakan
bahwa
keberhasilan
pemberdayaan dengan adanya peran kemampuan pelaku pemberdayaan akan efektif dapat
meningkatkan
keberdayaan
masyarakat
jika
masyarakat
sebelumnya
meningkatkan pemberdayaannya. Pelaku pemberdayaan tidak dapat langsung berpengaruh terhadap keberdayaan masyarakat, tetapi harus dimediasi dengan proses yang mengiringi pemberdayaan. Peningkatan pemberdayaan sebagai penentu keberhasilan pelaku dalam upaya peningkatan keberdayaan masyarakat. Kedua adalah
pola jalur bertahap yang dapat dilalui untuk pemberdayaan masyarakat.
Peningkatan keberdayaan masyarakat dapat dicapai melalui proses pemberdayaan karena adanya peran modal manusia dan modal fisik. Temuan ini memberikan solusi bahwa modal usaha yang meliputi modal fisik dan modal manusia tidak secara otomatis menghasilkan keberdayaan masyarakat. Pengembangan modal fisik akan menstimulasi pengembangan modal manusia yang akan mendukung proses pemberayaan yang pada akhirnya akan meningkatkan keberdayaan masyarakat. Melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun 1999 telah dicanangkan Gerakan Nasional Penanganan Masalah Pangan dan Gizi, yang diarahkan pada: a. Pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga b. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan cakupan, kualitas pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi di masyarakat
24
c. Pemantapan kerjasama lintas sektoral dalam pemantauan dan penaggulangan masalah gizi melalui SKPG d. Peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan (Anwar, A. 2000)
2.2 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat Suatu kegiatan atau program dapat dikategorikan ke dalam pemberdayaan masyarakat apabila kegiatan tersebut tumbuh dari bawah dan noninstruktif serta dapat memperkuat, meningkatkan atau mengembangkan potensi masyarakat setempat, guna mencapai tujuan yang diharapkan. Bentuk- bentuk pengembangan potensi masyarakat tersebut bermacam-macam, antara lain sebagai berikut: (Soekidjo, 2010) a. Tokoh atau Pemimpin Masyarakat (Community Leaders) Pada tahap awal pemberdayaan masyarakat, maka petugas atau provider kesehatan terlebih dahulu melakukan pendekatan- pendekatan kepada tokoh masyarakat terlebih dahulu karena masyarakat yang paternalistik atau masih berpola (menganut) kepada seseorang atau “sosok” tertentu di masyarakatnya, yakni tokoh masyarakat. b. Organisasi Masyarakat (Community Organization) Organisasi-organisasi
masyarakat
merupakan
potensi
yang
harus
dimanfaatkan dan merupakan mitra kerja dalam upaya memberdayakan masyarakat. c. Pendanaan Masyarakat (Community Fund) Pendanaan masyarakat mempunyai prinsip sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin.
25
d. Material Masyarakat (Community Material) Sumber daya alam adalah merupakan salah satu potensi amsyarakat. Masingmasing daerah atau tempat mempunyai sumber daya alam yang berbeda, yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. e. Pengetahuan Masyarakat (Community Knowledge) Semua bentuk penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan contoh pemberdayaan masyarakat yang meningkatkan komponen pengetahuan masyarakat. Dalam hal ini kegiatan penyuluhan kesehatan akan bernuansa pemberdayaan masyarakat apabila dilakukan dengan pendekatan community based health education. f. Teknologi Masyarakat (Community technology) Di beberapa komunitas telah tersedia teknologi sederhana yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program kesehatan. Teknologi- teknologi sederhana yang lahir dari masyarakat ini sebenarnya potensi untuk memberdayakan masyarakat. Petugas atau provider kesehatan sebenarnya dapat mengadopsi dan memodifikasinya sehingga dapat dimanfaatkan di tempat lain atau diperluas. 2.2.1 Macam-macam Metode Pemberdayaan Masyarakat yang bersifat Partisipatif 1. RRA (Rapid Rural Appraisal) Metode ini tujuan untuk menggali sebanyak mungkin informasi tentang kondisi desa yang dilakukan oleh orang luar dan sangat sedikit melibatkan masyarakat setempat, teknik penilaian tentang kondisi desa. Kekurangan dari metode penilaian ini adalah walaupun mereka telah melakukan praktek “partisipatif” tetapi
26
hanya dilakukan melalui kegiatan pengamatan dan bertanya langsung kepada informan yaitu warga masyarakat itu sendiri (Chambers, 1996). Untuk melakukan teknik RRA perlu diperhatikan beberapa prinsip yaitu : a. Efektivitas dan efisiensi. Kaitannya dengan biaya, waktu serta informasi yang diperoleh. b. Hindari bias. Introspeksi, mendengarkan, menanyakan secara berulang, menanyakan kepada kelompok termiskin. c. Triangulasi sumber informasi. Melibatkan tim lintas ilmu untuk bertanya dalam beragam pandangan. d. Belajar dari dan bersama masyarakat. e. Belajar cepat melalui eksplorasi, cross-check dan jangan terpaku pada materi yang telah disiapkan. 2. PRA (Participatory Rapid Appraisal) Metode PRA ini merupakan pengembangan dari metode RRA di mana metode RRA penekanannya adalah pada kecepatannya (Rapid) dan penggalian informasi oleh orang luar, sedangkan metode PRA penekanannya pada partisipasi dan pemberdayaan. Prinsip PRA adalah belajar dari masyarakat, orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku, saling belajar dan saling berbagi pengalaman, keterlibatan semua kelompok masyarakat, bebas dan informal, menghargai perbedaan dan triangulasi (Chambers, 1996).
27
Metode dan Teknik PRA : a. Pendidikan Andragogy Sering disebut dengan adult education. Konsep ini mempraktekkan consciousness (menumbuhkan kesadaran). Masyarakat diajak untuk melihat pada kenyataan dan keberadaan dirinya. Warga diajak untuk menyadari kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Terlalu banyak kekurangan mengakibatkan ketertindasan dan terlalu banyak kelebihan mengakibatkan kemalasan. b. Bidang Keilmuan dan Penelitian. Diupayakan ada kritik sehingga mengarah kepada sifat partisipatif. Maksud bidang di atas adalah masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai obyek untuk tujuan menggali informasi dan data primer. RRA memberikan sumbangan yang besar kepada PRA. Penekanan PRA adalah partisipasi dan pemberdayaan sehingga pelibatan masyarakat pedesaan dalam proses pengembangan program menjadi lebih intensif dan partisipatif (Chambers, 1996). 3. FGD (Focus Group Discussion) Esensi istilah FGD dalam masyarakat adalah “Rembug Warga” yakni tradisi gotong royong yang sudah lama mengakar pada masyarakat. FGD merupakan teknik mengumpulkan data untuk memperoleh data dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Proses FGD melibatkan partisipan- partisipan, dimana mereka melakukan pertukaran pesan secara dialogis dalam kerangka pemahaman bersama atas situasi sosial (Fardiah D, 2005).
28
Peran
fasilitator
sangat
penting
untuk
menciptakan
situasi
yang
menyenangkan bagi para partisipan dalam memecahkan masalah sehingga semua unsur masyarakat merasakan sumbangsih sarannya atas permasalahan yang sedang terjadi di lingkungannya (Fardiah D, 2005). 4. PLA (Participatory Learning and Action) Proses Belajar dan Mempraktekkan secara partisipatif PLA merupakan metode pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari proses belajar (melalui ceramah, curah pendapat, diskusi) tentang sesuatu topik seperti: persemaian, pengolahan lahan, perlindungan hama tanaman. Yang segera setelah itu diikuti dengan aksi atau kegiatan riil yang relevan dengan materi pemberdayaan masyarakat tersebut dengan prinsip-prinsip: a. Merupakan proses belajar secara berkelompok yang dilakukan oleh stakeholder secara interaktif dalam suatu proses analisis bersama. b. Multi Perspective. Mencerminkan keragaman interpretasi dari para pihak. c. Spesifik lokasi. Sesuai dengan kondisi para pihak yang terlibat. d. Difasilitasi oleh ahli dan stakeholder yang bertindak sebagai katalisator dan fasilitator dalam pengambilan keputusan, serta meneruskannya kepada pengambil keputusan. e. Pemimpin perubahan. Keputusan yang diambil melalui PLA akan dijadikan acuan bagi perubahan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
29
5. Pelatihan Partisipatif Ciri utama dari pelatihan ini adalah : a. Hubungan instruktur/fasilitator dengan peserta didik tidak lagi bersifat vertikal tetapi bersifat horizontal. b. Lebih mengutamakan proses daripada hasil. Bukan seberapa banyak terjadi alih pengetahuan, tetapi seberapa jauh terjadi interaksi atau diskusi dan berbagi pengalaman antara sesama peserta dan antara fasilitator dengan pesertanya. c. Substansi materi pelatihan mengacu pada kebutuhan peserta, sebelum pelatihan dilaksanakan selalu diawali dengan kontrak belajar. Penelitian Ayu, Chandra menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat dalam rangka mengidentifikasi model pemberdayaan ekonomi ibu rumah tangga menunjukkan bahwa model menggunakan pendekatan top-down instruktif, mengabaikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan dan pelaksanaannya
sehingga
partisipasi
masyarakat
rendah. Rancangan
model
pemberdayaan menggunakan pendekatan bottom-up berdasarkan potensi nilai -nilai lokal serta evaluasi periodik dalam pelaksanaannya agar keberkelanjutan. Masyarakat yang biasanya diberdayakan adalah masyarakat miskin. Dari penelitian SE, Mulyono (2011) ada 3 formulasi strategi pemberdayaan masyarakat miskin dan model pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendidikan nonformal yaitu, apabila penawaran lebih kecil dari permintaan maka strategi difokuskan pada pelatihan dasar sampai warga belajar mampu usaha mandiri atau bekerja, apabila
30
penawaran sama besar dengan permintaan maka strategi difokuskan kepada skill kewirausahaan, apabila penawaran lebih tinggi dari pada permintaan maka strategi difokuskan pada fasilitas usaha atau fasilitas pencarian alternatif pengembangan. Penelitian Hermawati, Istiana (2012) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan yang komprehensip, lintas sektoral dan berbasis kearifan lokal dengan mengutamakan proses partisipatif dan demokratik serta melibatkan berbagai stakeholder, relatif lebih efektif dalam memberdayakan masyarakat miskin dibanding pendekatan pembangunan sentralistik, uniform dan cenderung ekadimensi seperti yang pernah diterapkan di Indonesia. Winarianto, dkk (2009) pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan, upaya yang terarah (targeted) atau pemihakan, harus langsung mengikutsertakan atau dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat yang miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Penelitian Sukamawati, Dwi (2006) model pemberdayaan masyarakat yang bisa diterapkan ada pengelolaan sampah di Kelurahan Kutisari adalah model berbasis workshop, berbasis komunitas, konsultasi stakeholder dan analisis sosial.
2.3 Perilaku Kesehatan Perilaku merupakan bagian dari kesehatan masyarakat yang berfungsi sebagai media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis sedemikian rupa sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuai dengan norma-norma hidup
31
sehat (Soekidjo, 2007). Pada proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi dan belajar. Skiner (1938) dalam buku Soekidjo (2007) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Teori Skiner ini disebut teori S_O_R atau Stimulus Organisme Respons yang dapat digambarkan sebagai berikut: Organisme • Perhatian • Pengertian • Penerimaan
Stimulus
Reaksi (perubahan sikap)
Reaksi (perubahan praktik) Gambar 2.2 Skema Teori perilaku S_O_R Seorang ahli lain (Becker, 1979) dalam Soekidjo (2007) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, yaitu: a. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. b. Perilaku sakit (illness behaviour)
32
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang: penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya. c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour) Dari segi sosiologis, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hakhak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role) Teori yang mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Soekidjo, 2007), antara lain: 1. Teori Lawrrence Green Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Menurut Green perilaku ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu: a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud di dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain sebagainya.
33
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. 2. Teori Snehandu B. Kar Kar menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari: a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention) b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (sosial-support) c. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information) d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy) e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation) 3. Teori WHO Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan- kepercayaan, dan nilai-nilai seseorang terhadap objek yang dalam hal ini objek kesehatan.
34
Menurut WHO, perubahan perilaku itu dikelompokan menjadi 3, yaitu: a. Perubahan alamiah (Natural Change) Perubahan alamiah dimana apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggotaanggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan. b. Perubahan Terencana (Planned Change) Perubahan ini terjaadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. c. Kesediaan untuk berubah (Readdiness to Change) Apabila terjadi sesuatu, inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut, dan sebagian lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda. Pada program-program kesehatan, agar diperoleh perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha konkret dan positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh WHO dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Menggunakan kekuatan/ kekuasaan atau dorongan Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan seperti yang diharapkan. Hal ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung
35
lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri b. Pemberian informasi Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat atau pengetahuan tentang kesehatan, menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu yang lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri. c. Diskusi partisipasi Cara ini sebagai peningkatan cara yang kedua yang dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya. Penelitian Lestrina, Dini (2009) bahwa perilaku masyarakat masih kurang serius dalam menyelesaikan masalah gizi kurang dan gizi buruk. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa responden yang menjadi informan ketika memberi makan anak nya sambil melayani pembeli karena pekerjaannya sebagi pedagang dan yang menjadi pencari nafkah keluarga.
36
2.4 Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada suatu kelompok masyarakat tertentu penderita kurang gizi merupakan masalah yang amat pelik dan tidak mudah penanganannya. Kekurangan gizi (= malnutrisi) merupakan penyakit tidak menular yang terjadi pada sekelompok masyarakat di suatu tempat. Umumnya penyakit kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menyangkut multidisiplin dan selalu harus dikontrol terutama masyarakat yang tinggal di negara- negara baru berkembang. Secara nyata malnutrisi di bidang kesehatan masyarakat merupakan penyakit gizi yang secara kontiniu berpengaruh terhadap pertumbuhan. Ada dua hal penting yang berhubungan dengan malnutrisi dan hal yang perlu diperhatikan dalam usaha memperbaiki status gizi, yaitu: faktor makanan dan standart hidup secara nasional tinggi (Achadi, 2007). Status gizi sangat berhubungan dengan pemberian ASI. Dari penelitian Sri Satriani (2010) di Kelurahan Bira Kota Makasar bahwa lebih banyak bayi usia 0-6 bulan yang mengalami status gizi kurang (85,7%) dari pada yang gizi cukup (14,3%) dari bayi yang tidak mengkonsumsi ASI, sementara bagi bayi yang mengkonsumsi ASI lebih banyak yang berstatus gizi cukup (93,4%) dari pada yang berstatus gizi kurang (6,6%). Berdasarkan pedoman pelayanan anak gizi buruk bahwa gizi buruk apabila keadaan anak yang ditandai dengan satu atau lebih tanda berikut: a. Sangat kurus b. Edema, minimal pada kedua punggung kaki
37
c. BB/ PB atau BB/ TB < -3SD d. LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan) Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) dalam pedoman Depkes RI (2011) menciptakan aplikasi“WHO anthro” yang dapat digunakan untuk menghitung status gizi dan memantau perkembangan motorik anak. Aplikasi tersebut menggunakan data antropometri seperti umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, dan lingkar kepala sehingga tidak perlu dilakukan lagi melakukan perhitungan manual untuk penilaian status gizi Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-Score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut (Depkes, 2011) : a)
Berdasarkan indikator BB/U : Berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Kategori BB/U : 1. Kategori Gizi Buruk, jika Z-score < -3,0 2. Kategori Gizi Kurang, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
38
3. Kategori Gizi Baik, jika Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0 4. Kategori Gizi Lebih, jika Z-score >2,0 b) Berdasarkan indikator TB/U: Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Kategori TB/U :
c)
1.
Kategori Sangat Pendek, jika Z-score < -3,0
2.
Kategori Pendek, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
3.
Kategori Normal, jika Z-score >=-2,0
Berdasarkan indikator BB/TB: 1.
Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0
2.
Kategori Kurus, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score <-2,0
3.
Kategori Normal, jika Z-score >=-2,0 s/d Z-score <=2,0
4.
Kategori Gemuk, jika Z-score >2,0
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: 1.
Prevalensi gizi buruk = (Jumlah balita gizi buruk/jumlah seluruh balita) x 100%
2.
Prevalensi gizi kurang = (Jumlah balita gizi kurang/jumlah seluruh balita) x 100%
39
3.
Prevalensi gizi baik = (Jumlah balita gizi baik/jumlah seluruh balita) x 100%
4.
Prevalensi gizi lebih = (Jumlah balita gizi lebih/jumlah seluruh balita) x 100%
d) IMT / U Pengukuran status gizi dilakukan dengan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. IMT/U digunakan untuk anak yang berumur 5-19 tahun, dengan menggunakan z-score. Kategori IMT/U : 1. Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0 2. Kategori Kurus, jika Z-score < - 2SD 3. Kategori Normal, jika Z-score -2SD sampai +1SD 4. Kategori Gemuk, jika Z-score > + 1SD 5. Kategori Obese I, jika Z-score >+2SD 6. Kategori Obese II jika, Z-score >+3SD Untuk penilaian status gizi dalam program kesehatan masyarakat, salah satu cara yang digunakan dalam penentuan status gizi masyarakat adalah dengan cara pengukuran terhadap nilai-nilai dari indeks antropometri. Dalam penentuan status gizi suatu kelompok masyarakat, lebih baik kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini : 1. Nilai-nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U atau BB/TB) dibandingkan dengan nilai rujukan yang dalam hal ini digunakan Rujukan WHO-2005). 2. Dengan menggunakan batas ambang (“cut-off point”) untuk masing-masing indeks, maka status gizi seseorang atau anak dapat ditentukan.
40
Didasarkan pada asumsi resiko kesehatan : a. Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk menderita masalah kesehatan b. Antara -2 s/d -3 atau antara +2 s/d +3 memiliki resiko cukup tinggi (“moderate”) untuk menderita masalah kesehatan c. Di bawah -3 SD atau di atas +3 SD memiliki resiko tinggi untuk menderita masalah kesehatan 3. Istilah status gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar tidak terjadi kerancuan dalam interpretasi. 4. Bila dalam masyarakat ada lebih dari 2,5% balita berada <-2 SD tetapi kurang dari 0,5%
berada
<-3
SD
kemungkinan
besar
penyebabnya
masa-
lahnya adalah kekurangan zat gizi karena berbagai faktor (kemiskinan, ketidak tahuan, pola asuh yang berkaitan dengan penyakit) 5. Bila dalam suatu masyarakat ada lebih dari 2,5 % balita <-2 SD dan lebih dari 0,5% anak < -3 SD, maka masyarakat tersebut masih memiliki masalah gizi yang perlu penanganan secara komprehensif terhadap akar masalahnya.
2.5
Faktor Penyebab Gizi Kurang dan Gizi Buruk Penyebab mendasar dari masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah
ketidakcukupan pasokan gizi ke dalam sel. Meskipun banyak disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang esensial, tetapi faktor penyebabnya sangat kompleks yaitu
41
faktor pribadi, sosial, budaya, psikologis, ekonomi, politik dan pendidikan (Achadi, 2007). Klasifikasi masalah gizi kurang dan gizi buruk dapat disebabkan karena kemiskinan taraf ekonomi keluarga dan kemiskinan ekologi, sosial- budaya berkaitan stabilitas keluarga dan demografi, pengetahuan dan pengertian ibu tentang makanan dan kebersihan makanan, pengadaan dan distribusi pangan yang diperhitungkan dalam bentuk neraca pangan, bencana alam insidentil seperti gempa bumi, kebakaran dan bencana alam kronis seperti banjir genangan, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman utama (Khumaidi, 1994). Pada urusan pembangunan, jawaban yang paling sering terdengar mengenai bagaimana memberikan makanan yang terbaik untuk anak-anak masyarakat miskin adalah
dengan
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi
akan
dapat
meningkatkan pendapatan, maka persoalan gizi menurut pandangan ini akan segera selesai. Di negara- negara berkembang orang- orang miskin hampir membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Tidak tersedianya makanan secara adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang-kadang bencana alam, perang maupun kebijakan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini (Achadi, 2007). Berdasarkan penelitian Saputra (2012) di Sumatera Barat bahwa faktor utama terjadinya gizi kurang dan gizi buruk pada balita adalah kurangnya pendidikan/ pengetahuan dari orang tua tentang gizi. Begitu juga dengan penelitian Fatimah (2008) bahwa didapatkan faktor yang memiliki kontribusi terhadap gizi kurang pada
42
anak adalah riwayat penyakit infeksi, tingkat pengetahuan ibu yang kurang, tingkat sosial ekonomi keluarga yang rendah, dan asupan kalori serta protein yang kurang. Penelitian Lestrina, Dini (2009) menyatakan bahwa penyebab langsung gizi buruk adalah kurangnya asupan makanan, yang disebabkan kuantitas dan kualitas makanan yang kurang. Pemberian makanan yang sambil, ibu pekerja, ketersediaan makanan yang kurang dan persaingan. Faktor penyebab lain adalah kecacingan dan rendahnya status kesehatan balita, karena BBLR sdan kurang memperoleh ASI. Penelitian Natalia, dkk (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi batita, namun ada hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan protein dan ketahanan pangan tingkat keluarga dengan status gizi batita. Penelitian Harsiki, 2002 menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan pola asuh dan keadaan gizi penderita KEP keluarga miskin di desa dan di kota. Pola asuh dan konsumsi protein mempengaruhi terjadinya KEP pada batita keluarga miskin karena pendidikan dan pengetahuan yang kurang. Keadaan penyakit kekurangan gizi terbagi menjadi dua kelas (Achadi, 2007) sebagai berikut: a. Penyakit kurang gizi primer Contoh: pada kekurangan zat gizi esensial spesifik, seperti kekurangan vitamin C, maka penderita mengalami gejala scurvy, beri-beri karena kekurangan vitamin B1 b. Penyakit kurang gizi sekunder
43
Contoh: penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan absorpsi zat gizi atau gangguan metabolisme zat gizi.
2.6
Cara Penanggulangan Masalah Gizi Kurang dan Gizi Buruk Sudah begitu banyak kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia, yang walapun kasus gizi kurang dan gizi buruk masih tetap tinggi. Adapun program- program yang telah dilaksanakan dalam rangka menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk baik yang dilakukan, yaitu: a. Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama melalui peningkatan produksi beraneka ragam pangan b. Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yag diarahkan pada pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. c. Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat pos pelayanan Terpadu (posyandu), hingga Puskesmas dan Rumah Sakit d. Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) e. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi di bidang pangan dan gizi masyarakat
44
f. Peningkatan teknologi pangan untuk pengembangan berbagai produk pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas. g. Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian makanan tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta kapsul minyak beriodium h. Peningkatan Kesehatan Lingkungan i. Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, iodium dan zat besi j. Upaya pengawasan makanan dan minuman k. Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan besi (Almatsier, 2004). Kegiatan penanggulangan masalah gizi memerlukan informasi untuk digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan kebijakan program atau proyek, untuk pengelolaan program, dan evaluasi dampak gizi. Apabila sistem penyediaan informasi ini berjalan dengan baik maka akan terdapat jembatan antara informasi dan pemanfaatannya untuk tujuan- tujuan di atas (Depkes, 1984). Hasil penelitian Lestrina, Dini (2009) menyatakan bahwa langkah penanggulangan tingkat keluarga tidak maksimal sama sekali, begitu juga yang dilakukan pemerintah dengan program PMT-P. Pendistribusian dan pemberian PMTP mengalami perubahan pada tingkat lapangan, sehingga tidak cukup efektif untuk menaggulangi permasalahan yang ada. Untuk dapat mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk, perlu dilakukan pemberdayaan pada perempuan.
45
2.7 Masyarakat Pesisir Sensus penduduk tahun 2000 menunjukan penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumah tangga yan menggantunkan hidupnya pada sektor perikanan. Asumsi tiap rumah tangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang – kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantunkan hidupnya sehari – hari pada sumber daya laut termasuk pesisir tentunya (Pangamenan, 2000 dalam Sembiring, 2009). Rumah tangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih kompleks dibandingkan dengan rumah tangga pertanian. Rumah tangga nelayan memiliki cirri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan (common property) sebagai faktor produksi, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan, yaitu dalam 30 hari dalam satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relative menganggur. Selain dari pada itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yan penuh resikodan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti keluarga lain tidak dapat membantu secara penuh (Elfindi, 2002 dalam Sembiring, 2009). Masalah pembangunan nelayan adalah masalah manajemen pengembangan masyarakat pesisir yang meliputi tiga masalah, yaitu: masalah sosisal ekonomi rumah tangga nelayan, masalah mengapa mereka miskin dan selanjutnya intervensi yang bagaimana diperlukan. Selanjutnya jika didasarkan pada dimensi waktu, maka kebijakan pembangunan rumah tangga nelayan dibagi menjadi tiga dimensi waktu,
46
yaitu: kebijakan jangka panjang, janka menengah dan jangka pendek (Bappenas, 2004 dalam Sembiring, 2009).
2.8 Landasan Teori Salah satu indikator penting dalam pemberdayaan adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi bukan sekedar keterlibatan atau sekedar alat untuk mencapai tujuan individu atau kelompok tertentu. Partisipasi merupakan suatu proses dan tujuan dalam mencapai tujuan pembangunan dimana masyarakat terlibat aktif baik fisik amaupun psikis. Partisipasi mengandung makna keterlibatan dengan sadar untuk berubah, terjadinya proses belajar munuju ke arah perbaikan dan peningkatan kualiats kehidupan yang lebih baik (Anwas, 2013). Secara lebih terinci prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, sebagai berikut (Soekidjo, 2007) : a.
Menumbuhkembangkan potensi masyarakat Potensi adalah suatu kekuatan atau kemampuan, maupun masyarakat
mempunyai potensi yang masih terpendam. Baik individu, kelompok maupun masyarakat mempunyai potensi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai potensi yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni potensi sumber daya manusia (penduduknya), dan potensi dalam bentuk sumber daya alam atau kondisi geografi masyarakat setempat. Baik potensi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya, antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kemampuan sumber daya manusia
47
dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia akhirnya menghasilkan sumber daya ekonomi. Potensi sumber daya manusia selanjutnya dapat diuraikan dalam bentuk kuantitas, yakni jumlah penduduknya, dan dalam bentuk kualitas, yakni status atau kondisi sosial ekonomi penduduk tersebut. Tinggi rendahnya potensi sumber daya manusia di suatu komunitas lebih ditentukan oleh kualitas, bukan kuantitas sumber daya manusia. Sedangkan potensi sumber daya alam yang ada di suatu masyarakat adalah sudah given. Potensi sumber daya alam memang kurang penting dibandingkan dengan potensi sumber daya manusia. Peran petugas atau provider yang terutama adalah memampukan masyarakat untuk mengenal potensi mereka sendiri, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemudian dengan bantuan petugas atau provider, masyarakat dibimbing untuk mengembangkan potensi mereka sendiri, sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat menemukan upaya-upaya pemecahan masalah mereka sendiri berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. b.
Mengembangkan gotong royong masyarakat Seberapa besarpun potensi masyarakat, baik potensi sumber daya alam
maupun sumber daya manusia, tidak akan tumbuh dan berkembang dari dalam tanpa adanya gotong royong di antara anggota masyarakat itu sendiri. Gotong royong sebagai budaya asli bangsa Indonesia sudah tumbuh sejak berabad-abad yang lalu. Peran petugas atau provider dalam rangka gotong-royong masyarakat ini adalah memotivasi dan menfasilitasinya, agar gotong royong tersebut terjadi di
48
amsyarakat. Agar gotong royong tersebut tumbuh dari masyarakat sendiri maka pendekatan harus dilakukan melalui para tokoh masyarakat, agar dapat memotivasi masyarakat untuk mau berpartisipasi dan berkontribusi terhadap kegiatan yang direncanakan bersama. c.
Menggali kontribusi masyarakat Pada hakikatnya pemberdayaan masyarakat adalah menggali potensi
masyarakat, terutama potensi ekonomi yang ada di masing-masing anggota kelompok masyarakat. Menggali dan mengembangkan potensi ekonomi masyarakat pada dasarnya adalah suatu upaya agar masyarakat berkontribusi sesuai dengan kemampuan terhadap program atau kegitan yang direncanakan bersama. Kontribusi masyarakat merupakan bentuk partisipasi masyarakat, antara lain dalam bentuk tenaga, pemikiran, atau ide-ide, dana, bahan-bahan bangunan, dan sebagainya. Seorang petugas atau provider kesehatan bersama-sama dengan tokoh masyarakat setempat harus mampu menggali kontribusi sebagai bentuk partisipasi masyarakat. d.
Menjalin kemitraan Kemitraan adalah suatu jalinan kerja antara berbagai sektor pembangunan
baik pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta individu dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama yang disepakati. Masyarakat yang mandiri adalah merupakan perwujudan dari kemitraan di antara anggota masyarakat itu sendiri atau masyarakat dengan pihak-pihak di luar masyarakat yang bersangkutan,
49
baik pemerintah maupun swasta. Petugas atau provider kesehatana dalah memotivasi memfasilitasi masyarakat untuk menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang lain. e.
Desentralisasi Upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya memberikan kesempatan
kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan potensi daerah atau wilayahnya. Oleh sebab itu, segala bentuk pengambilan keputusan harus diserahkan ke tingkat operasional yakni masyarakat setempat, sesuai dengan kultur masing-masing komunitas. Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan sistem di atasnya adalah sebagai fasilitator dan motivator. Masyarakat bebas melakukan kegiatan atau program- program inovatif, tanpa adanya arahan atau instruksi dari atas (Soekidjo, 2007).
2.9
Kerangka Pikir
Potensi yang ada pada keluarga yang memilki balita gizi kurang dan gizi buruk
Pemberdayaan masyarakat
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Berdasarkan kerangka pikir di atas maka diperlukan penelitian kualitatif yang mampu menggali potensi/ kemampuan yang ada pada keluarga balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk untuk mendapatkan bentuk/ strategi
50
pemberdayaan masyarakat di daerah pesisir Kecamatan Medan Belawan Kelurahan Bagan Deli untuk mengendalikan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada balita. Setelah melakukan penelitian kerangka pikir tidak mengalami banyak perubahan karena di lapangan juga tidak terlalu banyak perubahan yang diamati dari survei awal yang dilakukan.