BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Posyandu 2.1.1 Pengertian Posyandu Menurut Depkes RI (2005), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Posyandu antara lain: Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), KB (Keluarga Berencana), P2M (Imunisasi dan Penanggulangan Diare), dan Gizi (penimbangan Balita). Sedangkan sasaran penduduk Posyandu ialah ibu hamil, ibu menyusui, Pasangan Usia Subur (PUS) dan Balita. Program Posyandu merupakan strategi pemerintah dalam menurunkan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate), angka kelahiran (Birth Rate), dan angka kematian ibu (Maternal Mortality Rate). Turunnya IMR, BR, dan MMR di suatu wilayah merupakan standar keberhasilan pelaksanaan program terpadu di wilayah tersebut. Untuk mempercepat penurunan IMR, BR, dan MMR tersebut, secara nasional diperlukan tumbuhnya peran serta masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan Posyandu, karena Posyandu adalah milik masyarakat. Untuk mengembangkan peran serta masyarakat di Posyandu dapat dilakukan dengan penerapan asas-asas manajemen kesehatan (Depkes RI, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Sistem Pelayanan Terpadu Sistem merupakan suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain dan mempunyai suatu tujuan yang jelas. Komponen suatu sistem terdiri dari input, process, output, effect, outcome, dan mekanisme umpan baliknya (Depkes RI, 2005). a. Input. Yaitu sumber daya atau masukan yang dikonsumsikan oleh suatu system yang disingkat dengan 6 M yaitu: Man, Money, Material, Method, Minute, dan Market. Man adalah kelompok penduduk sasaran yang akan diberikan pelayanan, staf puskesmas, kecamatan, kelurahan, kader, pemuka masyarakat, dan sebagainya. Money adalah dana yang dapat digali dari swadaya masyarakat dan yang disubsidi oleh pemerintah. Material adalah vaksin, jarum suntik, KMS, alat timbang, obatobatan, dan sebagainya. Method adalah cara penyimpanan vaksin, cara menimbang, cara memberikan vaksin, cara mencampur oralit, dan sebagainya. Minute adalah waktu yang disediakan oleh staf Puskesmas untuk melaksanakan kegiatan Posyandu dan waktu yang disediakan oleh ibu untuk suatu kegiatan dan sebagainya. Market adalah masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti lokasi kegiatan Posyandu, transport, sistem kepercayaan masyarakat di bidang kesehatan dan sebagainya. b. Process. Meliputi semua kegiatan pelayanan terpadu mulai dari persiapan bahan, tempat, dan kelompok penduduk sasaran sampai dengan evaluasinya.
Universitas Sumatera Utara
c. Output. Merupakan produk program Posyandu misalnya jumlah anak yang ditimbang, jumlah bayi, dan ibu hamil yang diimunisasi, jumlah PUS yang diberikan pelayanan KB. d. Effect. Terjadinya perubahan pengetahuan dan sikap perilaku kelompok masyarakat yang dijadikan sasaran program. e. Outcome. Merupakan dampak atau hasil tidak langsung dari proses suatu sistem seperti penurunan angka kematian bayi, penurunan fertilitas PUS, dan jumlah balita kurang gizi. 2.1.3 Fungsi Manajemen Posyandu Fungsi manajemen yang dipakai sebagai pokok bahasan dalam makalah ini ialah perencanaan, pengorganisasian, penggerakan-pelaksanaan dan pengawasan. Tiga prinsip pokok penerapan asas-asas manajemen pada pengembangan program kesehatan adalah upaya peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya untuk menunjang pelaksanaan program, peningkatan efektifitas pelaksanaan kegiatan untuk mencapai target program, dan setiap pengambilan keputusan dapat dilakukan secara rasional karena sudah didasari pemanfaatan data secara tepat (Depkes RI, 2003). Ada empat fungsi manajemen pada program pelayanan terpadu, berikut ini akan dijelaskan keempat fungsi manajemen tersebut (Depkes RI, 2003): a. Perencanaan Perencanaan merupakan fungsi yang terpenting karena awal dan arah dari proses manajemen Posyandu secara keseluruhan. Perencanaan program Posyandu dimulai
Universitas Sumatera Utara
di tingkat Puskesmas yang bersifat operasional karena langsung dilaksanakan di lapangan. Perencanaan program Posyandu terdiri dari lima langkah penting yakni: (1). Menjelaskan berbagai masalah. Untuk dapat menjelaskan masalah program Posyandu diperlukan upaya analisis situasi. Sasaran analisis situasi adalah berbagai aspek penting pelaksanaan program Posyandu di berbagai wilayah Puskesmas. Dari analisis situasi akan dihasilkan berbagai macam data yang terdiri dari 5 (lima) aspek. (a) Aspek epidemiologis yakni kelompok penduduk sasaran (who) yang menderita kejadian tersebut, dimana, kapan masalah tersebut terjadi. Misalnya: data jenis penyakit yang dapat dicegah dari imunisasi. (b) Aspek demografis berdasarkan kelompok umur, jumlah kelahiran dan kematian, jumlah Angka Kematian Ibu (AKI). (c) Aspek geografis semua informasi karakteristik wilayah yang dapat memengaruhi masalah tersebut. (d) Aspek sosial ekonomi adalah pendapatan, tingkat pendidikan, norma sosial, dan sistem kepercayaan masyarakat. (e) Aspek organisasi pelayanan meliputi motivasi kerja staf dan kader, keterampilan, persediaan vaksin, alat Keluarga Berencana (KB), dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
(2). Menentukan prioritas masalah. Prioritas masalah secara praktis dapat ditetapkan berdasarkan pengalaman staf, dana, dan mudah tidaknya masalah dipecahkan. Prioritas masalah dijadikan dasar untuk menentukan tujuan. (3). Menetapkan tujuan dan indikator keberhasilan. Contoh tujuan program Posyandu: meningkatkan cakupan vaksinasi, mengintensifkan imunisasi campak di wilayah binaan dan mengkaji hambatan dan kendala. Sebelum menentukan tolak ukur, perlu dipelajari hambatan-hambatan program kesehatan yang pernah dialami atau diperkirakan baik yang bersumber dari masyarakat, lingkungan, Puskesmas maupun dari sektor lainnya. (4) Menyusun
Rencana
Kerja
Operasional
(RKO).
Dengan
RKO
akan
memudahkan pimpinan mengetahui sumber daya yang dibutuhkan dan sebagai alat pemantau. Contoh format RKO: Jenis kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan, Lokasi kegiatan, Metode pelaksanaan, Sasaran penduduk, Penanggung Jawab, Dana dan sarana serta Waktu Pelaksanaannya. b. Pengorganisasian Struktur organisasi Puskesmas dapat diketahui mekanisme pelimpahan wewenang dari pimpinan kepada staf sesuai tugas yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari 2 atau 3 staf yang tiap staf disesuaikan dengan jumlah yang tersedia dan jumlah kelompok yang diperlukan. Setiap kelompok dikoordinasikan oleh satu orang senior. Staf bersama kader akan memberikan pelayanan di Posyandu, membuat laporan, menganalisis cakupan dan mengevaluasi pelaksanaan program
Universitas Sumatera Utara
di lapangan. Tugas-tugas kader hendaknya dibuat jelas dan sederhana disesuaikan dengan rata-rata tingkat pendidikan kader. c. Penggerakan-pelaksanaan Keberhasilan pengembangan fungsi manajemen ini amat dipengaruhi oleh keberhasilan pimpinan Puskesmas menumbuhkan motivasi kerja staf dan semangat kerja sama antara staf dengan staf lainnya di Puskesmas (lintas program), antara staf Puskesmas dengan masyarakat, dan antara staf Puskesmas dengan pimpinan instansi di tingkat kecamatan (lintas sektoral). Mekanisme komunikasi yang dikembangkan oleh pimpinan Puskesmas dengan stafnya, demikian pula antara pimpinan Puskesmas dengan camat dan pimpinan sektor lainnya di tingkat kecamatan, termasuk dengan aparat di tingkat desa akan sangat berpengaruh pada keberhasilan fungsi manajemen ini. Melalui lokakarya mini Puskesmas, kesepakatan kerjasama lintas program dan sektoral dapat dirumuskan. Perwujudan kerjasama lintas sektoral akan ditentukan oleh peranan camat dan ketua penggerak PKK di tingkat kecamatan. Keterampilan untuk mengembangkan hubungan antar manusia sangat diperlukan dalam penerapan fungsi manajemen ini (Depkes RI, 2005). Posyandu adalah untuk masyarakat dan perlu dikelola oleh masyarakat oleh kaderkader di tingkat dusun. Pembinaan kader memang sukar dikerjakan oleh pihak Puskesmas karena kader bekerja secara sukarela sementara kader dihadapkan pada pilihan bekerja untuk menanggung kebutuhan ekonomi keluarga dan dirinya sendiri. Tetapi tanpa kader yang diambil dari masyarakat setempat, konsep
Universitas Sumatera Utara
Posyandu (dari dan untuk masyarakat) akan kabur. Ironisnya sampai saat ini Posyandu masih tetap dianggap perpanjangan tangan Puskesmas. Tanpa staf Puskesmas, Posyandu jarang sekali berjalan secara rutin. Ini adalah salah satu bentuk tantangan pelaksanaan dan pengembangan Posyandu terutama di kota-kota. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melaksanakan program Posyandu adalah: (1) Kembangkan mekanisme kerjasama yang positif antara dinas-dinas sektoral di tingkat kecamatan, antara staf Puskesmas sendiri dan organisasi formal dan informasi di tingkat desa/ dusun. (2) Gali potensi masyarakat dan kembangkan kerjasama yang ada (terutama dengan PKK) untuk dapat menunjang kegiatan program Posyandu. (3) Kembangkan motivasi kader dan staf kesehatan sebagai anggota kelompok kerja program Posyandu, sehingga peran serta kader yang optimal dapat ditingkatkan untuk menunjang pelaksanaan program Posyandu. Dalam hal ini Hubungan Antar Manusia (HAM) perlu terus dibina dan dikembangkan untuk menjamin tumbuhnya suasana kerja yang harmonis dan merangsang inisiatif anggota kelompok kerja Posyandu. d. Pengawasan dan Pengendalian Pimpinan Puskesmas dan koordinator program Posyandu dapat mengevaluasi keberhasilan program dengan menggunakan Rencana Kerja Operasional (RKO) sebagai tolak ukur/standar dan membandingkan hasil kegiatan program di masing-
Universitas Sumatera Utara
masing Posyandu. Aspek-aspek yang diawasi selama program Posyandu di lapangan adalah: (1) Keterampilan kader melakukan penimbangan program Posyandu (2) Membuat pencatatan program Posyandu (3) Membuat pelaporan program Posyandu Untuk tanggung jawab pengawasan program Posyandu tetap di tangan pimpinan Puskesmas tetapi wewenang pengawasan di lapangan dilimpahkan pada koordinator program. Beberapa langkah penting dalam fungsi Wasdal program Posyandu ini adalah: (1) Menilai kesenjangan antara target dan standard dengan cakupan dan kemampuan staf dan kader untuk melaksanakan tugas-tugasnya (aspek pengawasan). (2) Analisis faktor-faktor penyebab timbulnya kesenjangan tersebut. (3) Merencanakan
dan
melaksanakan
langkah-langkah
untuk
mengatasi
permasalahan yang muncul berdasarkan faktor-faktor penyebab yang sudah diidentifikasi (aspek pengendalian). Pengawasan dan pengendalian program Posyandu dilaksanakan secara rutin dengan menggunakan tolak ukur keberhasilan program sebagai pedoman kerja dan hasilnya dapat digunakan sebagai umpan balik memperbaiki proses perencanaan program posyandu. Pimpinan Puskesmas hendaknya selalu mengadakan pemantauan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan program dengan menggunakan laporan staf,
Universitas Sumatera Utara
analisis cakupan program, laporan masyarakat dan hasil observasi atau supervisi di lapangan sebagai bahan penilaian (Depkes RI, 2003). 2.1.4 Sistem Informasi di Posyandu (Sistem Lima Meja) a. Meja I Layanan meja I merupakan layanan pendaftaran, kader melakukan pendaftaran pada ibu dan Balita yang datang ke Posyandu. Alur pelayanan Posyandu menjadi terarah dan jelas dengan adanya petunjuk di meja pelayanan. Petunjuk ini memudahkan ibu dan Balita saat datang, sehingga antrian tidak terlalu panjang atau menumpuk di satu meja. b. Meja II Layanan meja II merupakan layanan penimbangan c. Meja III Kader melakukan pencatatan pada buku KIA atau KMS setelah ibu dan Balita mendaftar dan ditimbang di meja III. Pencatatan dengan mengisikan berat badan Balita ke dalam skala yang di sesuaikan dengan umur Balita. Di atas meja terdapat tulisan yang menunjukan pelayanan yang di berikan. d. Meja IV Berat badan anak yang naik atau yang tidak naik, ibu hamil dengan resiko tinggi, pasangan usia subur yang belum mengikuti KB, penyuluhan kesehatan, pelayanan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), oralit, vitamin A, tablet zat besi dilakukan di meja IV
Universitas Sumatera Utara
e. Meja V Pemberian imunisasi dan pelayanan kesehatan kepada Balita yang datang ke Posyandu dilayani di meja V, dilakukan oleh bidan desa atau petugas kesehatan lainnya. Imunisasi yang diberikan di posyandu adalah imunisasi dasar, yaitu: BCG, DPT, Hepatitis, Polio, Campak. 2.1.5 Penilaian Keberhasilan Program Posyandu Fungsi manajemen posyandu adalah untuk mengetahui keberhasilan program posyandu, kajian output (cakupan) masing-masing program yang dibandingkan dengan targetnya adalah salah satu cara yang dapat dipakai sebagai bahan penilaian cakupan program adalah hasil langsung (output) kegiatan program posyandu yang dapat dapat dihitung segera setelah pelaksanaan kegiatan program. Perhitungan cakupan ini dapat dilakukan dengan menggunakan statistik sederhana yaitu jumlah orang yang mendapatkan pelayanan dibagi dengan jumlah penduduk sasaran setiap program. Jumlah penduduk sasaran dapat dihitung secara langsung oleh staf Puskesmas melalui pencatatan data jumlah penduduk sasaran yang ada di Desa atau dusun. Penduduk sasaran program Posyandu lebih sering dihitung berdasarkan perkiraan atau estimasi. Estimasinya ditetapkan oleh dinas kesehatan Kabupaten/Kota. Jumlah penduduk sasaran nyata sering jauh lebih rendah dari jumlah penduduk yang dihitung dengan menggunakan estimasi sehingga hasil analisis cakupan program di Puskesmas selalu jauh lebih rendah. Atas dasar perbedaan antara jumlah penduduk sasaran yang
Universitas Sumatera Utara
dicari langsung (riil) dengan yang diperkirakan (estimasi), perhitungan cakupan dengan menggunakan kedua jenis penduduk sasaran tersebut sebagai pembaginya akan memberikan hasil yang berbeda (Depkes RI, 2005). Staf
Puskesmas
dalam
hal
peningkatan
efisiensi
dan
efektivitas
penatalaksanaan program posyandu perlu dilatih keterampilan dan ditingkatkan kepekaannya mengkaji masalah program dan masalah kesehatan masyarakat yang berkembang di wilayah binaannya. Keterampilan seperti ini dapat dilatih secara langsung pada saat supervisi dan juga diarahkan untuk mencari upaya pemecahan masalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan dengan melibatkan tokoh dan kelompok masyarakat setempat. Semua kegiatan tersebut diatas adalah bagian dari proses manajemen program Posyandu (Depkes RI, 2005). Manajemen program Posyandu di Puskesmas yang diterapkan dapat diamati dari pelaksanaan kegiatan di lapangan merupakan cara terbaik untuk mengetahui dan mengevaluasi program posyandu. Hasil dari evaluasi pelaksanaan program Posyandu dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan peningkatan cakupan pelayanan. 2.1.6 Indikator Kegiatan Posyandu Ada beberapa indikator dalam kegiatan Posyandu antara lain : 1. Liputan Program (K/S). Merupakan indikator mengenai kemampuan program untuk menjangkau Balita yang ada di masing-masing wilayah kerja posyandu.
Universitas Sumatera Utara
Diperoleh dengan cara membagi jumlah balita yang ada dan mempunyai Kartu Menuju Sehat (KMS) dengan jumlah keseluruhan Balita dikalikan 100. 2. Tingkat Kelangsungan Penimbangan (K/D). Merupakan tingkat kemantapan pengertian dan motivasi orang tua balita untuk menimbang balitanya setiap bulan. Indikator ini dapat dengan cara membagi jumlah Balita yang ditimbang (D) dengan jumlah Balita yang terdaftar dan mempunyai KMS (K) dikalikan 100. 3. Hasil Penimbangan (N/D). Merupakan indikator keadaan gizi Balita pada suatu waktu (bulan) di wilayah tertentu. Indikator ini didapat dengan membagi jumlah Balita yang naik berat badannya (N) dengan jumlah Balita yang ditimbang bulan ini (D). 4. Hasil Pencapaian Program (N/S). Indikator ini di dapat dengaan cara membagi jumlah Balita yang naik berat badannya (N) dengan jumlah seluruh Balita (S) dikalikan 100. 5. Partisipasi Masyarakat (D/S). Indikator ini merupakan keberhasilan program Posyandu, karena menunjukkan sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dan orang tua Balita pada penimbangan Balita di Posyandu. Indikator ini di peroleh dengan cara membagi jumlah Balita yang ditimbang (D) dengan jumlah seluruh Balita yang ada (S) dikalikan 100. Tinggi rendahnya indikator ini dipengaruhi oleh aktif tidaknya bayi dan Balita ditimbangkan tiap bulannya. Menurut Depkes RI (2005), Posyandu digolongkan pada empat tingkatan berdasarkan pada beberapa indikator sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Posyandu Pratama adalah Posyandu yang masih belum mantap. Kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas, yakni kurang dari 5 orang. b. Posyandu Madya adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali dalam setahun, dengan rata-rata jumlah kader lima orang atau lebih. Akan tetapi cakupan program utamanya (KIA, KB, Gizi dan menyusui) masih rendah yaitu < 50%. Ini menunjukkan kegiatan Posyandu sudah baik tetapi cakupan program masih rendah. c. Posyandu Purnama adalah Posyandu yang frekuensinya > 8 kali pertahun, rata-rata jumlah kader adalah lima orang atau lebih dan cakupan program utamanya > 50% dan sudah ada program tambahan. d. Posyandu Mandiri adalah Posyandu yang sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan program utamanya sudah bagus. Ada program tambahan dan dana sehat telah menjangkau > 50% kepala keluarga. Terselenggaranya pelayanan Posyandu melibatkan banyak pihak, adapun tugas dan tanggungjawab masingmasing pihak dalam penyelenggaraan Posyandu seperti, Dinas kesehatan berperan dan membantu pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan (pengadaan alat timbang, distribusi KMS, obat-obatan dan vitamin) serta dukungan bimbingan tenaga teknis kesehatan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berperan dalam penyuluhan, penggerakan peran serta masyarakat dan sebagainya (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Epidemiologi Gizi dalam Program Posyandu Fungsi manajemen posyandu yang terkait dengan perencanaan, salah satu adalah aspek epidemiologis. Ruang lingkup epidemiologi dalam program posyandu lebih ditekankan pada epidemiologi gizi yang terkait dengan masalah kekurangan gizi serta penanganan penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi. Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari determinan dari suatu masalah atau kelainan gizi dengan : (a) mempelajari distribusi dan besarnya masalah gizi pada populasi manusia, (b) menguraikan penyakit dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat, (c) memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan melaksanakan program pencegahan, kontrol dan penanggulangan masalah gizi di masyarakat, (d) menguraikan penyebab dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat (Budiarto, 2002). Menurut Nasry (2008) pendekatan masalah gizi masyarakat melalui epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat. Penanggulangan masalah gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepada penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada sasaran individu atau lingkungan keluarga saja.
Universitas Sumatera Utara
Epidemiologis masalah gizi dihubungkan dengan: faktor dan penyebab masalah gizi (agent), faktor yang ada pada pejamu (host) serta faktor yang ada di lingkungan pejamu (environment). Menguraikan penyebab dari masalah gizi dan menentukan
hubungan
sebab
akibat
antara
ketiga
faktor
tersebut
yaitu:
(a) masalah gizi : kekurangan atau kelebihan zat gizi, (b) agent: asupan makanan dan penyakit yang dapat memengaruhi status gizi serta faktor-faktor yang berkaitan, (c) host: karakteristik individu yang ada kaitannya dengan masalah gizi (umur, jenis kelamin, suku bangsa, dan lain-lain), (d) environment: lingkungan (rumah, pekerjaan, pergaulan) yang ada kaitannya dengan masalah gizi (Nasry, 2008). Masalah gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah gizi buruk, yaitu suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita. Gizi buruk dapat terjadi jika tidak mampu untuk mendapat manfaat dari makanan yang dikonsumsi oleh balita, contohnya pada penderita diare, nutrisi berlebih, ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat cukup kalori dan protein untuk pertumbuhan tubuh. Beberapa orang dapat menderita gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi tertentu yang menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap makanan secara sempurna. Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak terdapat pada tepung yaitu
Universitas Sumatera Utara
gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi sehingga terjadi defisiensi. Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang memengaruhi pankreas, yang fungsinya adalah untuk memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mencerna makanan. Demikian juga penderita intoleransi laktosa yang susah untuk mencerna susu dan produk olahannya (Budiarto, 2002). Balita yang menderita gizi buruk yang meningkat akhir-akhir ini adalah salah satu cerminan lemahnya infrastruktur kesehatan, pangan dan gizi; serta terjadinya kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kebijakan ekonomi dan politik sehingga dengan banyaknya kasus gizi buruk dapat menurunkan citra bangsa Indonesia di mata dunia, dimana kasus gizi buruk yang muncul merupakan fenomena gunung es yang memerlukan penanganan serius. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan anak, dapat menyebabkan stunting (postur tubuh kecil pendek). Jika gizi buruk terjadi pada masa golden period perkembangan otak pada usia 0-3 tahun, kondisi ini akan irreversible yaitu sulit untuk dapat pulih kembali. Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan menurunnya prestasi akademik (Budiarto, 2002). Hasil Riskesdas (2007) menunjukkan prevalensi balita sangat kurus secara nasional masih cukup tinggi yaitu 6,2%. Besarnya masalah kurus pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika
Universitas Sumatera Utara
prevalensi kurus > 5%. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,1% - 15,0%, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus sudah di atas 15,0%. Secara nasional prevalensi kurus pada balita adalah 13,6%. Hal ini berarti bahwa masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Bahkan, dari 33 provinsi, 18 provinsi di antaranya masuk dalam kategori kategori kritis (prevalensi kurus >15%), 12 provinsi pada kategori serius (prevalensi kurus antara 10-15%). Posyandu sebagai ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini. Dalam pelaksanaan kegiatan Posyandu, hambatan yang sering terjadi adalah lemahnya KIE yang merupakan salah satu tumpuan dalam program gizi di posyandu. Penyuluhan gizi di Posyandu belum dapat dilaksanakan kader dengan baik, karena kualitas kader masih rendah, tingkat pendidikan relatif rendah (Purwaningsih, 2009). Tingkat keberhasilan Posyandu dalam perbaikan gizi balita sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas pengelolaan Posyandu, serta partisipasi masyarakat. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan gizi perlu diberikan kepada semua lapisan masyarakat terutama ibu yang memiliki anak balita agar bisa membesarkan anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sehat dan cerdas, serta kader posyandu mereka adalah ujung tombak dalam keberlangsungan program-program yang di laksanakan. Dengan demikian perlu dilakukan pendidikan gizi bagi ibu balita dan kader posyandu untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta status gizi balita (Purwaningsih, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Menurut teori Anderson dalam Notoatmodjo (2003), perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor : a. Predisposisi individu (predisposing factor) Masing-masing
individu
memiliki
kecenderungan
yang
berbeda
dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan karakteristik pasien yang telah ada sebelum timbulnya episode sakit. Karakteristik ini meliputi : ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan tentang kesehatan. b. Enabling factor Faktor predisposisi harus didukung pula oleh hal-hal lain agar individu memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor pendukung ini antara lain, pendapatan, asuransi kesehatan dan ketercapaian sumber pelayanan kesehatan yang ada. Bila faktor ini terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada pada saat sakit. Penderita penyakit yang tergolong berat (misalnya harus operasi atau rawat inap di rumah sakit), maka kondisi ekonomi merupakan penentu akhir bagi individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. c. Karakteristik kebutuhan (need factor) Faktor ini lebih menitikberatkan pada masalah apakah individu beserta keluarganya merasakan adanya penyakit, atau kemungkinan untuk terjadinya sakit. Kebutuhan diukur dengan “perceived need” dan “evaluated need” melalui : jumlah hari individu tidak bisa bekerja, gejala yang dialaminya, penilaian individu tentang status kesehatannya.
Universitas Sumatera Utara
Faktor predisposisi dan enabling bila sudah mendukung, maka faktor selanjutnya adalah kebutuhan berdasarkan persepsi (perceived need) terhadap posyandu. Persepsi atau cara seseorang menanggapi peran dan manfaat posyandu dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan dan akan menentukan apakah memanfaatan pelayanan posyandu.
2.4 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni: a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus. c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
Universitas Sumatera Utara
d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Penelitian Rogers (dalam Notoatmojo, 2003) menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif dengan 6 tingkatan yaitu: a.. Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b. Memahami (comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi
(application).
Aplikasi
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). d. Analisis (analysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
e. Sintesis (synthesis). Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.
2.5 Sikap Beberapa pengertian tentang sikap adalah sebagai berikut: (a) sikap belum merupakan suatu tindakan nyata, melainkan dapat berupa predisposisi tingkah laku Allport dalam Notoatmodjo (1993), (b) Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah, respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sikap itu dinamis dan tidak statis. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo (1993) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok : 1) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan : 1) Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). 2) Merespon (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3) Menghargai
(valuing).
Mengajak
orang
lain
untuk
mengerjakan
atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman orang lain, sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.
2.6 Peran Bidan Desa dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu Konsep peran serta diperkenalkan French et al dalam Cholid (2009), bahwa peran menunjukkan proses antara dua atau lebih pihak yang memengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijakan, dan keputusan. Peran serta lahir dari desakan kebutuhan psikologis pada setiap individu. Keinginan untuk
Universitas Sumatera Utara
berperan didorong kebutuhan akan kekuasaan, ingin memperoleh pengakuan, dan hasrat untuk bergantung pada orang lain, tetapi juga sebaliknya tempat orang bergantung. Pengertian peran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005) adalah perangkat tingkah laku yang dimiliki seseorang sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Selanjutnya Cholid (2009), menyatakan peran menunjuk pada tindakan dalam suatu tipe hubungan interaksi khusus. Dua dimensi peran adalah: kewajiban dan hak, dimana tindakan yang diharapkan akan dilaksanakan oleh seseorang merupakan kewajiban suatu peran; tindakan atau respon orang lain merupakan hak. Konsep peran dihubungkan dengan konsep status, sehingga peran status adalah satuan struktural yang paling mendasar sebagai syarat fungsional yang harus dipenuhi. Menurut Meilani et al (2009), peran bidan dalam pelayanan kebidanan komunitas yang diimplementasikan dalam program posyandu meliputi: (a) sebagai motivator, yaitu menggerakkan dan membina peran serta masyarakat, (b) sebagai fasilitator, yaitu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat seperti: imunisasi kepada balita, (c) edukator, yaitu membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader posyandu dan masyarakat, (d) sebagai advokator, yaitu: membina kerjasama lintas program dan lintas sektoral dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Menurut Depkes RI (2002), bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat sesuai dengan tanggung jawabnya dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Bidan desa mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan asuhan anak. Implementasi tugas dan fungsi bidan di desa, selain bekerja sama dengan tenaga non medis seperti dukun, bidan desa juga bekerja sama dengan masyarakat yang secara sukarela membantu dan melaksanakan posyandu. Biasanya masyarakat tersebut telah mendapat pelatihan dalam menjalankan tugasnya tersebut sebagai kader. Tugas dan fungsi utama bidan desa adalah memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Penempatan bidan desa adalah memberikan pelayanan ibu dan anak serta KB dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta kelahiran.
Universitas Sumatera Utara
Bidan desa diharapkan kehadirannya mampu memperluas jangkauan pelayanan yang telah ada sekaligus dapat meningkatkan cakupan program pelayanan posyandu dalam pencegahan penyakit pada bayi melalui kegiatan penimbangan balita, imunisasi maupun pemberian makanan tambahan (Depkes RI, 2002). Prinsip pelayanan kebidanan di desa adalah : (a) pelayanan di komunitas desa sifatnya multi disiplin meliputi ilmu kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, psikologi, komunikasi, ilmu kebidanan, dan lain-lain yang mendukung peran bidan di komunitas, (b) dalam memberikan pelayanan di desa bidan tetap berpedoman pada standar dan etika profesi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, (c) dalam memberikan pelayanan bidan senantiasa memerhatikan dan memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sepanjang tidak merugikan dan tidak bertentangan dengan prinsip kesehatan, (d) bidan di desa juga membuat laporan kegiatan bidan setiap bulan dan diserahkan kepada bidan koordinator pada saat bidan di desa melaksanakan tugasnya ke puskesmas (Widyastuti, 2007).
2.7 Landasan Teori Perilaku
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
dipengaruhi
oleh
faktor
predisposisi individu (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan faktor kebutuhan (need factors), secara skematis digambarkan pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Predisposing
Enabling
Need
Demografic (Age, Sex)
Family Resources (Income, Health Assurance)
Perceived (Symptoms diagnose)
Social Structure (Etnicity, Education, Occupation of Head Family)
Community Resources (Health facility and personal)
Health Services
Evaluated (Symptons diagnose)
Health Belief Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Sumber: A Behavioral Model of Families Use of Health Services (Andersen, 1974)
Berdasarkan teori perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan, apabila faktor predisposisi dalam diri ibu yang mempunyai balita dan faktor enabling mendukung untuk memanfaatkan pelayanan posyandu, serta adanya kebutuhan berdasarkan persepsi (perceived need) dan kondisi bayi dan balita yang membutuhkan pelayanan posyandu akan menentukan memanfaatkan atau tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan di posyandu. Pada konteks pemanfaatan posyandu, faktor yang berperan pada ibu yang mempunyai balita adalah pengetahuan dan sikap terhadap posyandu sebagai sarana pelayanan kesehatan, hal ini terkait dengan aspek health belief pada faktor predisposing sebagaimana dikemukakan Anderson (1974), sedangkan bidan desa
Universitas Sumatera Utara
sebagai tenaga kesehatan yang berperan dalam pelaksanaan kegiatan posyandu terkait dengan aspek community resources pada faktor enabling sebagaimana dikemukakan Anderson (1974).
2.8 Kerangka Konsep Penelitian Pemanfaatan pelayanan posyandu balita dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu balita dan sikap ibu balita tentang posyandu serta sejauhmana peran Bidan Desa dalam pelaksanaan kegiatan di posyandu. Hal tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini dengan melihat variabel-variabel yang diuraikan pada kerangka konsep penelitian. Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan Ibu Balita (X1)
Sikap Ibu Balita (X2)
Pemanfaatan Posyandu Balita (Y)
Peran Bidan Desa (X3) Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara