6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prestasi Belajar 2.1.1 Definisi Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh melalui perbuatan belajar dapat berupa tingkah laku nyata dan perbuatan tingkah laku baru. Sedangkan belajar merupakan proses aktivitas mental atau
psikis
melalui
interaksi
aktif
lingkungan
berupa
pengetahuan,
keterampilan dan nilai sikap. Setiap perubahan akan berjalan sebanding garis lurus dan menetap. Pada kesimpulannya belajar dikaitkan dengan suatu proses pengalaman.1,2 Kaitan antara parameter untuk keberhasilan sering dipakai dalam bahasa sehari-hari sebagai prestasi belajar. Prestasi belajar dibutuhkan suatu bukti nyata akan usaha yang dilakukannya melalui evaluasi atau penilaian. Semakin tinggi nilai dari suatu kebiasaan atau standar yang ada pada umumnya dianggap itu merupakan penilaian yang lebih baik dan sebaliknya nilai rendah tidak dianggap sebagai prestasi pada khalayak umum. Padahal keberhasilan indivisu berubah dari satu jenjang ke jenjang yang lebih baik seharusnya dianggap sesuatu yang disebut sebagai prestasi juga.2,3
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar Kenyataan menunjukkan bahwa prestasi belajar seseorang tidaklah sama, tetapi sangat variatif dan berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi faktor dari dalam diri seseorang (intrinsik) dan faktor dari luar seseorang (ekstrinsik).4,13 Beberapa faktor dari dalam (intrinsik)4,13 A. Faktor psikologis 1. Inteligensi Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak dengan mendapatkan suatu tujuan untuk berfikir secara rasional, dan untuk berhubungan dengan lingkungan disekitarnya secara memuaskan. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa faktor inteligensi menjadi penting dalam proses belajar seseorang guna mencapai prestasi belajarnya. 4,13 2. Motivasi Motivasi adalah motor penggerak yang mengaktifkan anak untuk melibatkan diri. Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri anak yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin keberlangsungan dari kegiatan belajar dan memberi arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai. Jadi jelaslah bahwa motivasi mempunyai peranan penting dalam mencapai prestasi belajar, sehingga perlu upaya untuk menghidupkan motivasi dari seseorang.4,12,13
Universitas Sumatera Utara
8
3. Sikap Sikap adalah kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Seseorang memiliki sikap tertentu terhadap berbagai hal secara baik positif maupun negatif.
Sikap
positif
menjadi
pilihan
untuk
dikembangkan
atau
ditanamkan kepada seseorang sehingga dapat bersikap positif dan beberapa pakar yang mengatakan bahwa minat adalah kecenderungan yang tepat untuk memperhatikan dan memegang beberapa kegiatan yang diamati anak diperhatikan terus menerus disertai dengan rasa senang dan diperoleh suatu kepuasan. 4,13 Seseorang yang didorong oleh minat dan merasa senang dalam belajar dapat memperoleh prestasi belajar yang optimal. Oleh karena itu yang dapat diupayakan agar anak dapat berprestasi dengan baik perlu dibangkitkan minat belajarnya. 13 4. Bakat Bakat menurut Tabrina Rusyan dkk adalah kapasitas seseorang atau potensi hipotesis untuk dapat melakukan suatu tugas dimana sebelumnya sedikit mengalami latihan atau sama sekali tidak memperoleh latihan lebih dahulu. Jadi bakat merupakan potensi dan kecakapan pada suatu lapangan pekerjaan. Apabila kapasitas mendapat latihan yang memadai maka potensi akan berkembang menjadi kecakapan yang nyata. 13
Universitas Sumatera Utara
9
5. Konsentrasi Konsentrasi adalah pemusatan pemikiran dengan segala kekuatan perhatian yang ada pada suatu situasi. Pemusatan pikiran ini dapat dikembangkan melalui latihan. 4,13
B. Faktor fisiologis Fisiologis segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi tubuh meliputi fungsi sel bagian terkecil dari makhluk hidup sampai fungsi organ. Gangguan dari aspek fisiologis menunjukkan suatu gejala penyakit atau gangguan secara aspek fisik.14 Beberapa faktor dari luar (ekstrinsik)1 - 3 1. Faktor keluarga Faktor keluarga turut mempengaruhi perkembangan prestasi belajar anak. Pendidikan yang pertama dan utama yang diperoleh ada dalam keluarga. Jadi keluarga merupakan salah satu sumber bagi anak untuk belajar. Kalau pelajaran yang diperoleh anak dari rumah tidak baik, kemungkinan diluar lingkungan keluarga anak menjadi nakal dan begitu juga sebaliknya.3 Pendidikan informal dan formal memerlukan kerjasama antara orang tua dengan sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya
dan
menghargai
usaha-usahanya.
Orang tua juga harus menunjukkan kerjasamanya dalam cara anak
Universitas Sumatera Utara
10
belajar di rumah. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan
dalam
lingkungan
rumah
tangga,
sekolah
dan
masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.2,3 2. Faktor Sekolah Faktor ini menyangkut proses pembelajaran yang diterima seseorang dengan bantuan guru. Metode pembelajaran yang diberikan sekolah sangat menentukan bagaimana anak dapat belajar mandiri dengan baik. Guru yang baik adalah guru yang menguasai kelas memiliki kemampuan dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat, yaitu kemampuan membelajarkan dan kemampuan memilih alat bantu pembelajaran yang sesuai serta kemampuan menciptakan situasi dan kondisi belajar.2 Dengan metode pembelajaran yang baik dan tepat akan dapat menarik minat anak, perhatian anak akan tertuju pada bahan pelajaran, sehingga diharapkan anak akan dapat mencapai prestasi belajar.3 3. Faktor Masyarakat Masyarakat
merupakan
lingkungan
pendidikan
ketiga
sesudah
keluarga dan sekolah, yang mempengaruhi anak dalam mencapai prestasi belajar yang baik. Anak haruslah dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, karena dari pengalaman yang dialami anak di masyarat banyak diperoleh ilmu yang berguna bagi anak didik.3
Universitas Sumatera Utara
11
Manusia normal adalah seorang manusia yang berfungsi secara efektif, yang sampai pada taraf tertentu merasa bahagia dan menunjukkan prestasi di bidang yang dianggapnya perlu, ia harus pula dapat bertingkah laku dengan mempertimbangkan norma dan batasan yang ada dilingkungan setempat ia tinggal dan hidup.3 2.2. Dispepsia Fungsional 2.2.1 Definisi Dispepsia fungsional merupakan gejala nyeri dominan di perut bagian atas. Gejala tersebut harus terjadi tanpa adanya kelainan struktural dan lesi pada mukosa saluran cerna bagian atas.8 Definisi tersebut dirasakan terlalu sulit untuk ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis saja. Oleh karena itu, beberapa klinisi lebih memilih definisi dispepsia fungsional pada anak-anak yang lebih sederhana. Mereka mendefinisikan dispepsia fungsional pada anak-anak sebagai nyeri atau ketidaknyamanan pada perut bagian atas yang menetap atau berulang tanpa adanya bukti penyakit organik sebagai penyebab gejala tersebut.9,11,15 Pendapat lain menyatakan bahwa dispepsia fungsional didefinisikan sebagai nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut yang menetap atau berulang, terlokalisasi di perut bagian atas selama paling sedikit 3 bulan dengan uji biokimia, pencitraan dan temuan histologi yang normal.9
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.2 Etiologi Dispepsia fungsional merupakan akibat dari kombinasi beberapa faktor seperti faktor biologi atau fisiologi (seperti inflamasi, gangguan mekanik dan sensorik), psikologikal (seperti kecemasan, depresi, somatisasi) dan sosial (interaksi dengan orang tua, guru atau teman sebaya).15 Pada anak dengan dispepsia fungsional, hanya sedikit dijumpai kolonisasi Helicobacter pylori di mukosa lambungnya. Penelitian bahkan menunjukkan tidak ada hubungan sebab akibat antara infeksi bakteri tersebut dengan kejadian dispepsia.10
2.2.3. Epidemiologi Meskipun prevalensi dispepsia pada orang dewasa cukup tinggi, data mengenai prevalensinya pada anak-anak masih jarang sekali. Hyams, dkk. melaporkan insiden dispepsia fungsional pada anak-anak sebesar 62,5% dan Boey, dkk. melaporkan angka sebesar 65,3%. Penelitian yang terbaru melaporkan angka yang lebih besar, yaitu 70,7% berdasarkan anamnesis terinci, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium.9 Literatur internasional lainnya melaporkan prevalensi dispepsia berkisar antara 5%-20%. Prevalensi tersebut bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan negara tempat tinggal anak.7 Hal ini meyakinkan para klinisi bahwa kelainan ini sebenarnya tersebar luas namun kurang diperhatikan.5
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.4. Klasifikasi Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan gejala yang paling menonjol. Pada dispepsia ulcer-like, gejala yang paling menonjol adalah nyeri pada perut bagian atas. Nyeri biasanya berkurang dengan mengkonsumsi makanan atau antasida dan dapat membangunkan anak dari tidurnya.
Dispepsia
dysmotility-like
ditandai
dengan
sensasi
atau
ketidaknyamanan pada perut bagian atas yang sangat mengganggu tetapi bukan rasa sakit. Sensasi ini menyerupai rasa menyesak di perut bagian atas, rasa cepat kenyang, kembung atau mual. Dikatakan dispepsia nonspesifik apabila tidak terpenuhinya atau memenuhi kriteria untuk kedua kelompok sebelumnya.6,10,15
2.2.5. Patogenesis Patogenesis dispepsia fungsional masih belum diketahui secara pasti. Gangguan motilitas diduga menjadi salah satu penyebab berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya bukti ritme elektris lambung yang tidak teratur dan perlambatan waktu pengosongan lambung dan duodenum atau motilitas abnormal yang ditandai dengan gerak mundur dari lambung dan duodenum. Penelitian yang dilakukan oleh Hyman, dkk. menunjukkan adanya kelainan motilitas tersebut pada 39 dari 44 anak yang memiliki gejala saluran cerna bagian atas yang fungsional. Penelitian yang dilakukan oleh Pineiro Cerrero, dkk. juga menunjukkan bahwa pasien dengan nyeri perut fungsional memiliki kelainan aktivitas elektrik lambung dengan
Universitas Sumatera Utara
14
gerakan lambung yang lebih lamban dibandingkan dengan kelompok yang sehat. Sebagai tambahan, pasien tersebut juga memiliki tekanan kontraksi duodenum yang tinggi.6 Pada penelitian yang dilakukan oleh Friesen, dkk. dijumpai bahwa 52% anak yang diteliti dan menderita dispepsia fungsional memiliki abnormalitas elektrogastrografi. Mereka menunjukkan adanya disritmia berupa bradigastria pada saat puasa dan takigastria setelah makan. Abnormalitas ini berhubungan dengan perlambatan waktu pengosongan lambung dan memberatnya keluhan nyeri perut setelah makan.16 Gangguan motilitas lambung diduga terkait dengan aktivasi eosinofil. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dispepsia fungsional terjadi pengaktifan eosinofil dengan tingkat sedang sampai ekstensif pada mukosa lambung.19 Fokus penelitian lainnya adalah sel mast dan kaitannya dengan faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis dan psikologis dapat berhubungan dengan inflamasi pada pasien dengan dispepsia fungsional. Sel mast menjadi fokus penelitian karena hubungannya yang erat dengan saraf enterik. Sel mast mengalami peningkatan jumlah pada bagian antrum, korpus dan duodenum pasien dengan dispepsia fungsional. Peningkatan tersebut berhubungan dengan hipersensitivitas akan distensi dan sel mast tersebut akan mengalami degranulasi apabila lambung mengalami distensi.15 Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa aktivasi sel mast akan menghasilkan mediator yang mengeksitasi sistem saraf enterik dan menyebabkan abnormalitas fungsi sensorik dan motorik saluran cerna. Mediator yang dihasilkan berupa triptase yang akan berikatan dengan
Universitas Sumatera Utara
15
reseptor PAR-2 yang dalam waktu cepat akan menghasilkan perubahan mioelektrikal pada elektrogastrografi.11 Faktor psikologis seperti kecemasan dapat berperan dalam respon inflamasi.
Stres
akan
mengaktivasi
hipotalamus
untuk
melepaskan
corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF juga diproduksi oleh sel inflamasi di susunan saraf perifer sampai sentral. Sel mast mengekspresikan reseptor CRF dan jika terstimulasi akan melepaskan sitokin dan mediator proinflamasi lainnya. Telah diketahui pula bahwa hubungan faktor psikologi dengan inflamasi bersifat dua arah, dimana faktor psikologi dapat menimbulkan inflamasi dan inflamasi dapat mencetuskan kecemasan dan depresi. Berbagai mediator yang dilepaskan sel inflamasi akan mempengaruhi emosi dan perilaku seseorang. Sel mast dan dan histamin neuronal memainkan peranan penting dalam mencetuskan kecemasan, terutama lewat reseptor H1 postsinaps. Hal ini menjelaskan mengapa gejala dispepsia fungsional berkurang dengan pemberian penyekat reseptor H1 atau H2 dan stabilisator sel mast. Mediator lain seperti tumor necrosis factor-α juga dapat mengaktifkan
sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal
atau
berpengaruh
langsung pada sistem saraf pusat.10 Pengurangan gejala setelah pemberian obat antisekretorik melahirkan pendapat bahwa penyakit ini berkaitan dengan tingginya kadar asam lambung. Pada kenyataannya, tidak ada penelitian yang menunjukkan adanya hipersekresi asam pada pasien dispepsia fungsional. Respon terhadap obat antisekretorik tersebut cenderung bersifat plasebo.5
Universitas Sumatera Utara
16
2.2.6. Manifestasi Klinis Gejala yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang menderita dispepsia fungsional adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.10 Nyeri sering digambarkan timbul saat makan, setelah makan dan pada malam hari yang dapat membangunkan anak dari tidur. Rasa tidak nyaman yang dilaporkan berupa rasa menyesak setelah makan, perasaan cepat kenyang, kembung, sendawa, mual, muntah dan kurang selera makan.6,7,911,16
Pada penelitian yang dilakukan oleh Spiroglou, dkk. gejala yang dijumpai tidak berbeda dengan gejala pada orang dewasa, namun keparahan dispepsia lebih ringan pada anak-anak. Dari 348 anak yang diteliti, dispepsia berat dijumpai hanya pada 49 (14,1%) anak. Nyeri perut, terutama di epigastrium adalah gejala yang utama, disertai dengan sendawa, mual, muntah dan kembung setelah makan. Mual, muntah dan sendawa lebih sering dijumpai pada kasus sedang dan berat, sedangkan kembung dan rasa cepat kenyang lebih sering dijumpai pada kasus ringan. Nyeri epigastrium lebih sering dijumpai pada dispepsia fungsional sedangkan pucat lebih sering pada dispepsia organik. Sulit untuk membedakan klasifikasi dispepsia fungsional oleh karena kemampuan anak kurang, terutama anak di bawah 67 tahun sulit menyatakan gejala dispepsia dan terbatasnya pengalaman dokter anak untuk mengevaluasi gejala ini.9
Universitas Sumatera Utara
17
Penilaian keparahan dispepsia fungsional dilakukan berdasarkan sistem skoring. Skor terendah 0 dan tertinggi 16. Ada 3 kelompok, yaitu kelompok dispepsia ringan (<6), sedang (7-10) dan berat (>11). Tabel 2.1. Sistem Skoring untuk Menentukan Keparahan Dispepsia.5 Skor Intensitas nyeri
Durasi nyeri
Insidensi nyeri
Terbangun saat tidur malam Absensi di sekolah
Muntah
Ringan Sedang Berat Di bawah 15 menit 15-60 menit Di atas 60 menit Sekali setiap 10 hari 2-5 kali seminggu Setiap hari Tidak pernah Jarang* Sering Kurang dari 1 hari dalam seminggu 1 hari dalam seminggu Lebih dari 1 hari dalam seminggu Tidak pernah Jarang** Sering
1 2 3 1 2 3 1 2 3 0 1 2 1 2 3 0 1 2
Keterangan: *Paling sedikit dua kali dalam 3 bulan terakhir **2-4 kali dalam 3 bulan terakhir
2.2.7. Diagnosis Berdasarkan definisi dari dispepsia fungsional yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis digali manifestasi klinis dari dispepsia fungsional, diet, psikologi dan faktor sosial. Hal tersebut dapat membantu mencari hubungan atara gejala yang terjadi dengan makanan, aktivitas dan stresor. Penting juga untuk melakukan anamnesis terhadap orang tua untuk memperoleh informasi
Universitas Sumatera Utara
18
mengenai pola makan, lokasi nyeri, intensitas serta karakteristiknya, kegiatan sehari-hari dan pola defekasi. Selain itu perlu ditelaah lamanya gejala, keterlibatan inflamasi saluran cerna bagian atas, gangguan motilitas, penyakit pankreas, empedu atau saluran kemih dan kelainan psikiatri.6 Dari hasil pemeriksaan, dilakukan penegakan diagnosis berdasarkan kriteria
Roma
yang
telah
diadaptasikan
untuk
anak-anak.
Kriteria
diagnosisnya adalah:6 1. Nyeri atau ketidaknyamanan yang menetap atau berulang pada perut bagian atas 2. Tidak ada bukti penyakit organik yang menyebabkan gejala tersebut 3. Tidak ada bukti bahwa dispepsia berkurang dengan defekasi atau berkaitan dengan perubahan frekuensi defekasi atau bentuk feses. Nyeri atau ketidaknyamanan tersebut menetap selama setidaknya 12 minggu yang terjadi dalam kurun waktu 12 bulan.6,7 Masih terdapat kontroversi mengenai modalitas diagnostik yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dispepsia fungsional pada anakanak.6,7 Pemeriksaan urin dan darah dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik. Endoskopi dilakukan untuk memeriksa adanya inflamasi pada saluran cerna bagian atas. Jika endoskopi menunjukkan hasil normal, dilakukan pemantauan refluks asam lambung.2 Penggunaan endoskopi sebagai modalitas diagnosis pertama untuk dispepsia fungsional masih diragukan. Nyeri perut berulang menjadi indikasi endoskopi disamping tandatanda penyakit organik seperti hematemesis, muntah yang berkepanjangan,
Universitas Sumatera Utara
19
disfagia, odinofagia, nyeri yang menetap dan penurunan berat badan atau jika gejala yang ada menetap setelah pengobatan empiris.7-9 Di lain pihak ada pendapat yang menyatakan endoskopi tidak perlu dilakukan karena prosedurnya yang tidak menyenangkan dan nilai diagnosisnya yang terbatas.7,9 Berdasarkan konsensus Maastricht dan fakta dimana keganasan pada saluran cerna anak dan angka kejadian tukak peptik sangat kecil, penggunaan endoskopi kurang dianjurkan.9 Ultrasonografi perut kurang membantu dalam mendiagnosis dispepsia fungsional pada anak-anak. Foto polos abdomen dengan kontras penting untuk menyingkirkan penyebab fisikal seperti malrotasi, penyakit Crohn dan lesi obstruktif atau inflamasi yang lain. Manometri gastroduodenal mudah dilakukan dan berguna dalam pemeriksaan gangguan fungsi saluran cerna bagian atas dan memberikan dasar pendekatan pengobatan yang bekerja memodifikasi motilitas lambung dan usus halus.5,6
2.2.8. Diagnosis Banding Terdapat banyak kelainan yang memiliki manifestasi klinis seperti dispepsia fungsional.6,7 Salah satu kelainan yang paling mirip adalah dispepsia sekunder akibat penyakit organik. Dispepsia sekunder karena penyakit organik
harus
dibedakan
dari
dispepsia
fungsional
karena
penatalaksanaannya jelas berbeda. Dispepsia sekunder akibat penyakit organik dicurigai pada anak-anak dengan manifestasi klinis sebagai berikut:6 1. Usia muda (kurang dari 5 tahun)
Universitas Sumatera Utara
20
2. Demam, penurunan berat badan atau gagal tumbuh 3. Muntah berwarna seperti empedu atau berdarah 4. Nyeri yang dapat membangunkan anak dari tidurnya 5. Nyeri alih ke punggung, bahu atau lengan atas 6. Nyeri saat berkemih 7. Dijumpai darah pada urin 8. Nyeri pada pinggang 9. Inflamasi atau luka pada daerah anus 10. Dijumpai darah pada feses 11. Dijumpai hasil laboratorium abnormal 12. Adanya riwayat inflammatory bowel disease atau tukak peptik pada keluarga2 Adapun penyebab dispepsia sekunder akibat penyakit organik dipaparkan dalam tabel berikut ini. Tabel 2.2. Penyebab Dispepsia Sekunder akibat Penyakit Organik.5 Kelainan Organik Penyebab Dispepsia Infeksi parasit Penyakit saluran empedu dan hepatic Pankreatitis Penyakit Chron’s Penyakit Celiac Intoleransi laktosa Pertumbuhan berlebih bakteri Refluks gastroesofageal Ulkus peptikum Gastritis Helicobacter pylori Inflamasi Saluran cerna atas yang diinduksi obat Gastroenteritis eosinofilik Abnormalitas anatomikal
Universitas Sumatera Utara
21
Penyakit
lain
yang
menyerupai
dispepsia
fungsional
adalah
gastroenteritis eosinofilik. Friessen, dkk. melaporkan kasus anak dengan nyeri perut bagian atas yang tidak remisi dengan pengobatan empiris selama 12 minggu. Dari pemeriksaan endoskopi dijumpai peningkatan jumlah eosinofil yang menandai gastroenteritis eosinofilik.5 2.2.9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dispepsia bergantung pada penyebabnya, apakah organik atau fungsional. Jika penyebab organik ditemukan, penatalaksanaan yang dilakukan spesifik terhadap penyebabnya. Untuk dispepsia fungsional, penatalaksanaannya bersifat simtomatis saja.6Pada pelayanan kesehatan primer pemberian terapi empiris cukup aman setelah menyingkirkan tanda refluks
gastrointestinal.
Pengobatan
empiris
yang
dianjurkan
adalah
antisekretorik dan prokinetik.5,8 Pengaturan pola makan penting dalam penatalaksanaan dispepsia fungsional. Menghindari makanan berbumbu kuat, berlemak dan yang mengandung kafein dapat meringankan gejala. Obat-obatan golongan prokinetik,
penyekat
reseptor
H2,
penghambat
pompa
proton
dan
antidepresan trisiklik dosis rendah berguna dalam mengurangi gejala. Dispepsia ulcer-like berespon positif terhadap obat prokinetik, yang menunjukkan dasar patogenesisnya berupa perubahan motilitas saluran cerna. Penyekat reseptor H2 dan agen prokinetik digunakan untuk anak-anak dengan gejala dispepsia yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan
Universitas Sumatera Utara
22
sekolah.6 Pada anak dengan dispepsia fungsional dan Helicobacter pylori negatif, dianjurkan untuk mendapatkan obat penetralisir asam lambung terlebih dahulu seperti penyekat reseptor H2, antasida dan penghambat pompa proton atau obat prokinetik seperti cisaprid dan metoklopramid. Apabila gejala tetap bertahan, terapi diganti menjadi obat prokinetik apabila sebelumnya dipakai obat penetralisir asam lambung dan sebaliknya. Apabila setelah 8 minggu gejalanya tetap bertahan atau kambuh apabila pengobatan dihentikan, dianjurkan untuk dilakukan endoskopi.9 Penelitian awal menyatakan bahwa obat antisekretorik merupakan terapi empiris yang paling tepat. Seiring berjalannya waktu, peneliti melakukan pemeriksaan manometri antroduodenum, elektrogastrografi dan ultrasonografi pada anak dengan dispepsia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat gangguan motilitas lambung disertai inflamasi tanpa adanya lesi mukosa spesifik. Hal ini memunculkan ide bahwa obat prokinetik lebih superior daripada obat antisekretorik.8,9 Pendekatan biopsikososial pada dispepsia fungsional berfokus pada penanganan gejala dengan menilai faktor psikososial yang memperberat gejala. Penilaian dilakukan tidak hanya pada anak tetapi juga keluarganya. Obat
yang
digunakan
sama
seperti
pengobatan
empiris
ditambah
antidepresan trisiklik.8 Meskipun dengan pengobatan, masih ada anak yang tetap menunjukkan gejala. Bagi mereka, penatalaksanaan yang dilakukan meliputi modifikasi lingkungan, relaksasi, psikoterapi, hipnoterapi atau biofeedback.6
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.10. Komplikasi dan Prognosis Terlepas dari kontroversi keterlibatan Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional pada anak-anak, infeksi tersebut dapat menyebabkan penurunan ambilan nutrisi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Sood, dkk. membuktikan bahwa anak dengan dispepsia fungsional dan infeksi Helicobacter pylori menunjukkan indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan dispepsia fungsional tanpa infeksi Helicobacter pylori.17
Universitas Sumatera Utara
24
2.3..Kerangka Konseptual Gangguan Motilitas
Adanya Ritme Elektris Lambung yang Tidak Teratur
Adanya gerak Mundur dari Lambung dan duodenum
Kelainan Motilitas
Adanya Kelainan Aktivitas Elektrik Lambung Yang Lambat
Dispepsia Fungsional
Perlambatan Waktu Pengosongan Lambung dan Duodenum
Tekanan Kontraksi Duodenum Yang Tinggi
mengganggu aktivitas sekolah : konsentrasi belajar, prestasi belajar Nilai rapor dan Test IQ Binet
Gambar 2.1.Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara