ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan tidak lepas dari penelitian-penelitian yang sudah
ada dan masih relevan untuk digunakan. Di bawah ini adalah penelitian terdahulu yang digunakan untuk mengetahui serta menganalisis mengenai perencanaan pajak penghasilan atas pengembangan investasi bidang properti. Penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2007). Dalam penelitian Tambunan (2007) dijelaskan bahwa pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO. Administrative JO sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Sedangkan Non-Administrative JO dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Lebih lanjut dijelaskan pula mengenai perlakuan PPh dan PPN atas JO. Perlakuan PPh untuk Administrative JO adalah wajib memiliki NPWP yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21/ pasal 23/ pasal 26/ pasal 4 ayat 2). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada
10 TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11
masing-masing badan (perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Kemudian untuk perlakuan PPN adalah wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Sedangkan perlakuan PPh dan PPN untuk NonAdministrative JO berkebalikan dengan Administrative JO yang artinya tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib mendaftarkan diri sebagai PKP. Penelitian ini juga menjelaskan mengenai inkonsistensi beberapa Surat Penegasan Dirjen Pajak Tentang Pemajakan atas JO yang menimbulkan ketidakpastian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama operasi saat ini dan di masa mendatang. Selanjutnya ketentuan pemajakan hendaknya dituangkan secara pasti dalam bentuk ketentuan hukum yang dapat menjadi acuan umum dalam pelaksanaannya. Hal ini akan mengurangi permintaan penegasan oleh para Wajib Pajak sekaligus menghindari terbitnya surat-surat jawaban dari Dirjen Pajak yang justru menimbulkan ambigu. Perbedaan antara penelitian Tambunan (2007) dengan penelitian ini adalah penelitian Tambunan (2007) difokuskan pada JO bidang usaha jasa konstruksi sedangkan penelitian ini JO adalah sebagai pengembang / developer. Selain itu dalam penelitian ini juga tidak dibahas mengenai aspek PPN. Penelitian yang dilakukan oleh Chaerul (2009) dengan salah satu permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana sertifikasi dan klasifikasi bidang
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
jasa konstruksi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi dan bagaimana perlakuan perpajakan bidang jasa konstruksi bagi Wajib Pajak Dalam Negeri. Hasil penelitian Chaerul (2009) adalah klasifikasi bidang jasa konstruksi yang lebih lengkap terdapat dalam peraturan LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) namun demikian peraturan LPJK tersebut tidak menjadi dasar klasifikasi dan kualifikasi usaha dalam peraturan perpajakan jasa konstruksi sehingga membuat perusahaan jasa konstruksi tidak memiliki kepastian hukum dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 dimana pengenaan pajak bersifat final atau dikenai pajak penghasilan sesuai dengan laba yang diperoleh dari usahanya. Perbedaan antara penelitian Chaerul (2009) dengan penelitian ini adalah penelitian ini tidak membahas mengenai kepastian hukum dan keadilan dalam aspek pajak penghasilan atas jasa konstruksi. Penelitian ini hanya membahas mengenai bagaimana perlakuan pajak penghasilan atas jasa konstruksi dikarenakan objek penelitian ini wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penggunaan jasa konstruksi. Penelitian yang dilakukan oleh Pohan (2009) berjudul Aspek Pajak Joint Operation dan Kepastian Hukumnya. Dalam penelitian Pohan (2009) dijelaskan mengenai bentuk-bentuk JO, aspek pajak JO baik PPh maupun PPN dan kepastian hukumnya. Bentuk JO dibagi menjadi dua yaitu Administrative dan NonAdministrative JO. Untuk status Subjek Pajak dan kewajiban pajak dalam konteks PPh dari JO dijelaskan bahwa JO bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU PPh sehingga JO tidak berkewajiban untuk menyampaikan SPT PPh Badan dan membayar PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 29.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
Kewajiban yang ada hanya sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut. Penghasilan yang diterima oleh JO sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian. PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya. Mengenai aspek PPN, dijelaskan bahwa Administrative JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sedangkan Non-Administrative JO tidak wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Lebih lanjut mengenai kepastian hukum, hingga kini belum ada perangkat hukum baik dalam UU Pajak, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan atau Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pemajakan atas JO. Yang ada hanyalah surat-surat khusus dari Dirjen Pajak (private rulling) yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Surat-surat inilah yang akhirnya dijadikan sebagai acuan hukum yang berlaku bagi Wajib Pajak. Asas kepastian hukum sangat penting untuk menghindari terjadinya dispute antara fiskus dengan Wajib Pajak atau antar fiskus itu sendiri dalam menafsirkan pemajakan atas JO yang pada akhirnya berpengaruh pada perbedaan dalam perlakuan perpajakannya. Pemerintah perlu mengatur lebih tegas perlakuan perpajakan atas JO dalam sebuah rulling pajak yang hierarki legalnya lebih kuat dasar dan kekuatan hukumnya. Perbedaan antara penelitian Pohan (2009) dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini tidak dibahas mengenai aspek PPN. Penelitian yang dilakukan oleh Sitanggang (2009) dengan permasalahan penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah bagaimana metode pengenaan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14
pajak penghasilan terhadap dividen. Hasil dari penelitian Sitanggang (2009) adalah metode pengenaan pajak penghasilan terhadap dividen diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terbagi menjadi dua yaitu: a.
Yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 17
b.
Yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
Perbedaan antara penelitian Sitanggang (2009) dengan penelitian ini adalah permasalahan yang dibahas mengenai pembagian dividen. Penelitian ini tidak membuktikan mengapa dividen harus dikenakan pajak penghasilan melainkan telah diketahui bahwa pembagian dividen memang merupakan objek pajak penghasilan. Penelitian ini juga tidak membahas mengenai besarnya pajak penghasilan atas dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi melainkan hanya yang diterima oleh Wajib Pajak Badan. Selain itu penelitian ini juga tidak membahas mengenai penegakan hukum atas tidak terlaksananya pajak penghasilan atas pembagian deviden. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Nugroho
(2010)
dengan
fokus
penelitiannya adalah pengenaan pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dikarenakan terjadi perubahan peraturan yang berkaitan dengan pengenaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
mulai tanggal 1 Januari 2009 dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 yang merupakan perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Penelitian Nugroho (2010) bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan ketentuan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan oleh PT X. Permasalahan yang timbul dalam penelitian Nugroho (2010) yang terkait dengan penelitian ini adalah penetapan dasar perhitungan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikarenakan kondisi yang terjadi adalah PT X menyetorkan PPh Final dengan dasar perhitungan dari nilai yang tercantum dalam akta, sedangkan nilai yang tercantum dalam akta menggunakan nilai sesuai NJOP yang berlaku dengan kenaikan mendekati nilai transaksi namun masih dibawah harga transaksi yang sebenarnya serta penetapan saat terutang PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikarenakan kondisi yang terjadi adalah PT X menyetorkan PPh Final saat pembayaran uang muka yang transaksinya sudah pasti terjadi, dan disetorkan saat pembayaran angsuran namun jumlahnya tidak melebihi nilai dalam akte. Saran dari hasil penelitian Nugroho (2010) atas permasalahan yang timbul adalah menyetorkan PPh Final atas selisih harga antara yang tercantum dalam akte dan nilai tansaksi sehingga tidak mengakibatkan penafsiran lain apabila terjadi pemeriksaan dan menyetorkan PPh Final sesuai dengan saat penerimaan pembayaran dari konsumen termasuk saat menerima booking fee dan uang muka.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
Adapun untuk uang muka yang dikembalikan sebaiknya membuat perjanjian dengan calon konsumen bahwa jumlah yang dikembalikan adalah setelah pajak. Perbedaan antara penelitian Nugroho (2010) dengan penelitian ini adalah dari sisi tema, penelitian ini lebih fokus pada analisis pajak penghasilan yang akan dikenakan atas pengembangan investasi bidang properti dari dua perusahaan yang melakukan kerjasama. Sedangkan penelitian Nugroho (2010) fokus pada pelaksanaan kebijakan pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan masalah yang timbul pada satu perusahaan sebagai objek penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (2010) dengan permasalahan dalam penelitian adalah penentuan saat terutang atas peralihan hak atas tanah dan bangunan baik dari sisi PPh maupun BPHTB dan apakah peraturan mengenai saat terutang tersebut telah memenuhi persyaratan prinsip-prinsip pemungutan pajak. Hasil penelitian Widyawati (2010) adalah atas peralihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan PPh Final yang diatur sebagiamana dalam PP Nomor 71 Tahun 2008. Dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan secara jelas waktu pajak terutang, hanya ditentukan bahwa sebelum akta, risalah lelang atau surat lain ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka harus ditunjukkan terlebih dahulu bukti pembayaran PPh. Berbeda dengan aturan BPHTB yang menyebutkan secara jelas bahwa pajak terutang timbul saat akta, risalah lelang, atau surat lain yang berkaitan ditandatangani oleh pejabat berwenang. Ketentuan mengenai saat terutang PPh yang tidak diatur dalam PP menimbulkan ketidakpastian saat terutangnya pajak. Hal ini bertentangan dengan asas certainty dalam pemungutan pajak. Juga pengaturan timbulnya BPHTB terutang dalam Pasal 9 UU BPHTB
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17
yang bertentangan dengan Pasal 24 UU BPHTB menimbulkan ketidakpastian sehingga bertentangan dengan asas simplicity dalam pemungutan pajak. Perbedaan antara penelitian Widyawati (2010) dengan penelitian ini adalah penelitian ini tidak membahas mengenai BPHTB yang terutang atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan. Penelitian ini hanya membahas mengenai PPh yang terutang atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan. Penelitian yang dilakukan oleh Novitasari dan Zulaikha (2012). Penelitian Novitasari dan Zulaikha (2012) dilakukan untuk menganalisis kewajiban perpajakan yang dilakukan perusahaan jasa konstruksi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia mengacu pada ketentuan PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009 dan UU Nomor 36 Tahun 2008, serta mengetahui pengaruh pengenaan pajak final perusahaan jasa konstruksi terhadap beban pajak penghasilan terutang. Hasil dari penelitian Novitasari dan Zulaikha (2012) adalah PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk sebagai objek penelitian telah melakukan perhitungan kewajiban perpajakan dengan benar karena dalam perhitungannya menggunakan tarif final sebesar 3% sesuai dengan PP Nomor 51 Tahun 2008 Pasal 2 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi dan sesuai UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 2 tentang Pajak Penghasilan. Perbedaan antara penelitian Novitasari dan Zulaikha (2012) dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini tidak membuktikan jumlah pajak terutang mana yang lebih besar antara tarif pajak penghasilan final atau tidak final atas jasa konstruksi. Penelitian ini pasti menggunakan tarif pajak penghasilan final sesuai dengan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18
ketentuan yang berlaku. Selain itu dalam penelitian ini pengenaan tarif pajak penghasilan final atas jasa konstruksi, objek penelitian adalah selaku Wajib Pajak pemotong bukan sebagai Wajib Pajak yang dipotong pajak penghasilan.
Untuk memperjelas mengenai penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas maka dirangkum dalam bentuk tabel penelitian terdahulu yang terdapat dalam Lampiran 2.
2.2
Pajak Penghasilan Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 1 disebutkan bahwa pajak penghasilan (PPh) dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Lebih lanjut, pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam UndangUndang ini disebut Wajib Pajak.
2.3
Perencanaan Pajak
2.3.1 Pengertian Perencanaan Pajak Terdapat beberapa pengertian perencanaan pajak karena pakar perpajakan, praktisi perpajakan dan pengajar perpajakan mendefinisikannya menurut persepsi dan pemahaman mereka masing-masing. Dibawah ini adalah beberapa pengertian perencanaan pajak:
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19
1. Zain (2003) dalam Pohan (2011: 6) mendefiniskan perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan maupun secara komersial. 2. Susan (1996) dalam Pohan (2011: 6) mendefinisikan perencanaan pajak adalah pengaturan yang dilakukan oleh barang siapa yang melakukan usaha perorangan atau bisnis, yang tujuannya untuk minimalisir kewajiban pajaknya. 3. Tjahyono dan Husein (1997) dalam Pohan (2011: 8) mengemukakan bahwa perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Pohan (2011: 8) menyimpulkan bahwa perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan perpajakan yang berlaku, agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimum. 2.3.2 Manfaat Perencanaan Pajak Menurut Pohan (2011: 11) terdapat beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan dengan cermat yaitu sebagai berikut: 1. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biaya dapat dikurangi 2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar karena dengan perencanaan pajak yang matang dapat diestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran secara lebih akurat. 2.3.3 Tujuan Perencanaan Pajak Menurut Pohan (2011: 11) secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20
1. Meminimalisir beban pajak terutang 2. Memaksimumkan laba setelah pajak 3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak jika terjadi pemeriksaan pajak 4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien, dan efektif sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
2.4
Kerjasama Operasi (KSO) Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 39
sebagaimana telah diperbaharui dengan ED PPSAK Nomor 11 tentang Akuntansi Kerja Sama Operasi dijelaskan bahwa Kerjasama Operasi (KSO) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana masing-masing sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama dengan menggunkan aset dan atau hak usaha yang dimiliki dan secara bersama menanggung risiko usaha tersebut. Lebih lanjut, menurut Surat Dirjen Pajak Nomor S-323/PJ.42/1989 tentang Masalah Perpajakan Bagi Joint Operation menyebutkan bahwa pengertian Kerjasama Operasi (KSO) yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. PSAK Nomor 39 mengelompokkan Kerjasama Operasi (KSO) menjadi dua golongan yaitu: a. KSO dengan entitas hukum terpisah (separate legal entitiy) dari entitas hukum para partisipan KSO. KSO ini dapat berbentuk persekutuan. b. KSO tanpa pembentukan entitas hukum yang terpisah. KSO ini dapat berbentuk Pengendalian Bersama Operasi (PBO) dan Pengendalian Bersama Aset (PBA), atau KSO dimana hanya satu pihak saja dari partisipan KSO yang memiliki kendali signifikan atas operasi dan aset KSO.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21
Bentuk-bentuk operasional KSO sangat bervariasi dan berkembang selaras dengan kebutuhan para partisipannya. Dalam PSAK Nomor 39 juga menjelaskan terdapat dua bentuk KSO yang populer yaitu: 1. Bangun, Kelola, dan Serah (Build, Operate, and Transfer atau BOT) Aset KSO dikelola oleh investor yang mendanai pembangunan sampai berakhir masa konsesi. Di akhir masa konsesi investor akan menyerahkan aset KSO dan pengelolaannya kepada pemilik aset. 2. Bangun, Serah, dan Kelola (Build, Transfer, and Operate atau BTO) Investor mendanai pembangunan aset KSO sampai siap dioperasikan. Begitu aset KSO siap dioperasikan, aset tersebut diserahkan kepada pemilik aset untuk dikelola. Kedua jenis KSO tersebut bisa dikombinasikan dengan Perjanjian Bagi Hasil (PBH) atau Perjanjian Bagi Pendapatan (PBP) dengan cara teretentu. Menurut Santoso (2007) dalam Pohan (2011: 129) dari segi permodalan, Joint Operation (JO) tidak terbagi atas saham. Modal JO berupa kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya yang dapat berupa: a. Kemampuan penguasaan teknologi; b. Financial Support yang kuat; c. Spesialisasi keahlian; atau bahkan d. Fasilitas penugasan semata Umur JO biasanya mengikuti umur proyek, dikarenakan tujuan pembentukan JO umumnya dimaksudkan untuk mengerjakan suatu proyek berdasarkan satu atau lebih dari keempat kelebihan kemampuan JO dan pengalaman masing-masing anggota JO dan setelah proyek tersebut selesai maka JO akan membubarkan diri dan anggota JO kembali pada aktivitas masing-masing. Lebih lanjut Santoso (2007) dalam Pohan (2011: 129) menyebutkan bahwa dalam perkembangannya bentuk JO terbagi menjadi dua tipe yaitu:
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22
1. Kerja Sama Administratif Formal atau disebut Administrative JO Kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Sehingga dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri atau terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek ada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. 2. Kerja Sama Operasional atau disebut Non Administrative JO Tipe ini dalam praktiknya dikalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium dimana kontrak dengan pemberi kerja atau Project Owner dibuat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. perusahaan para anggotanya. Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek ada pada masing-masing anggota JO. 2.4.1
Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UU PPh Pasal 2 huruf b disebutkan bahwa yang menjadi
subjek pajak adalah badan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa badan adalah: Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa KSO tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak badan. Hal ini juga didukung dengan adanya Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-830/PJ.312/2005 tentang Permohonan Penegasan Pengenaan Pajak angka 7 yang menegaskan bahwa: Kerjasama operasi (KSO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian KSO bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU PPh, dan oleh karenanya pengenaan PPh atas penghasilan dari proyek tersebut dikenakan pada masing-masing badan anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23
Meskipun KSO bukan merupakan subjek pajak, namun KSO wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor 20/PJ/2013 jo. PER-38/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak yaitu: 1. Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. 2. Pasal 2 ayat (3) huruf d disebutkan bahwa Wajib Pajak yang wajib mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk kerja sama operasi (Joint Operation). Dengan demikian kewajiban KSO mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah semata-mata hanya untuk memenuhi kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. KSO tidak berkewajiban untuk membayar dan/atau melaporkan PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 29 seperti Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam UU KUP. 2.4.2 Aspek Pajak Penghasilan atas Penyertaan Modal Seperti yang telah dijelaskan pada bagian Latar Belakang, PT X akan melakukan penyertaan modal dalam bentuk tanah kepada KSO. Dasar hukum yang mengatur tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24
atas tanah dan/atau bangunan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1994 jo. PP Nomor 71 Tahun 2008. Dalam Pasal 1 peraturan tersebut dijelaskan bahwa: 1. Ayat (1) menyebutkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan. 2. Ayat (2) menyebutkan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah. Dikarenakan bentuk KSO hanya bersifat sementara dan modal KSO tidak terbagi atas saham, maka atas penyertaan modal oleh PT X dalam bentuk tanah kepada KSO tidak termasuk dalam pengertian pengalihan hak sebagaimana dimaksud sehingga tidak terutang pajak penghasilan. Lebih lanjut, dalam Latar Belakang juga disebutkan bahwa PT Y akan melakukan penyertaan modal dalam bentuk uang kepada KSO. Penyertaan modal tersebut bagi PT Y merupakan bentuk investasi sehingga tidak terutang pajak penghasilan. Adapun bagi KSO penerimaan modal dari PT X dalam bentuk tanah dan PT Y dalam bentuk uang tidak terutang pajak penghasilan. Hal ini sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa KSO bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 2 ayat (1) huruf b. 2.4.3 Aspek Pajak Penghasilan atas Pembangunan Properti Berdasarkan kesepakatan antara PT X dan PT Y diketahui bahwa salah satu kegiatan yang dilakukan KSO adalah melakukan pembangunan kawasan hunian (perumahan) beserta dengan sarana dan pra-sarananya dimana dalam proses pembangunan tersebut pihak KSO menggunakan jasa konstruksi. Atas
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25
pembayaran penggunaan jasa konstruksi yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, KSO wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 4(2) sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu PP No. 51 Tahun 2008 jo. PP No. 40 Tahun 2009 sebagai berikut:
a b c d e
Tabel 2.1 Tarif Pemotongan PPh Jasa Konstruksi Obyek Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha Jasa Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha Sumber: Data Diolah Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Tarif
Sifat
2% 4% 3%
Final
4% 6%
(PMK)
Nomor
184/PMK.03/2007 jo. PMK Nomor 80/PMK.03/2010, atas PPh Pasal 4(2) yang dipotong oleh KSO wajib disetorkan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak
berakhir
dan dilaporkan
dalam
Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. PPh Pasal 4(2) sebagaimana dimaksud akan mengurangi jumlah pembayaran dari KSO kepada pihak penyedia jasa konstruksi. Dengan demikian PPh Pasal 4(2) tersebut bukan merupakan beban pajak yang mengurangi laba bersih KSO.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26
2.4.4 Aspek Pajak Penghasilan atas Penjualan Properti Pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam PP Nomor 48 Tahun 1994 jo. PP Nomor 71 Tahun 2008. 1. Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut dijelaskan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan. 2. Pasal 1 ayat (2) menyebutkan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah. 3. Pasal 2 disebutkan bahwa Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang. 4. Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan. 5. Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. 6. Pasal 8 disebutkan bahwa bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia (KMK) Nomor 635/KMK.04/1994 jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) 243/PMK.03/2008 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan disebutkan bahwa: 1. Pasal 1 menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dengan memperhatikan Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah nomor 48 Tahun 1994 wajib dibayar sendiri oleh pribadi atau badan yang bersangkutan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang. Pada Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud wajib dicantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari orang pribadi atau badan yang bersangkutan. 2. Pada Pasal 2A ayat (2) ketentuan yang sama disebutkan bahwa dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran, maka Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pembayaran Pajak Penghasilan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran. 3. Lebih lanjut pada Pasal 4 ayat (1) ketentuan yang sama disebutkan bahwa Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran. Ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28
Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Bagian E huruf e dan f bahwa: Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO) / Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud pada huruf e telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masingmasing anggota KSO. 2.4.5 Aspek Pajak Penghasilan atas Laba Bersih Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa KSO bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam UU PPh. Dengan demikian maka KSO tidak berkewajiban utnuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 29. Pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa atas laba bersih yang diterima oleh KSO tidak dikenakan pajak penghasilan. Ketika laba bersih tersebut dibagikan kepada masing-masing badan yang bergabung dalam KSO, laba bersih tersebut akan menambah laba bersih masing-masing badan yang bergabung dalam KSO dan akan dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagi PT X dan PT Y selaku anggota KSO yang menerima pembagian laba bersih KSO sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya, laba bersih tersebut akan ditambahkan dalam laba bersih masing-
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29
masing perusahaan dan akan dikenakan PPh Badan sesuai dengan kententuan yang berlaku. Berdasarkan UU PPh Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2a) disebutkan bahwa: Besarnya Pajak Penghasilan (PPh) Terhutang bagi Wajib Pajak Badan dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang berlaku. Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. Tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak Badan adalah 25% (dua puluh lima persen). Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Berdasarkan Lampiran PER-34/PJ/2010 jo. PER-26/PJ/2013 disebutkan bahwa: 1. Untuk menghitung penghasilan neto fiskal yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum, penghasilan dari sumber di Indonesia yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak harus dikeluarkan kembali. Kemudian dilakukan penyesuaian fiskal positif dan negatif. 2. Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial. 3. Sedangkan yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenai PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial. Selain itu sesuai ketentuan UU PPh Pasal 31E ayat (1), bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dengan cara perhitungannya adalah sebagai berikut: a. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas = (Rp4.800.000.000,00 : Peredaran Bruto) x Penghasilan Kena Pajak b. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas = Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak yang memperoleh fasilitas c. Pajak Penghasilan yang terutang = (50% x 25% x Penghasilan Kena Pajak yang memperoleh fasilitas) + (25% x Penghasilan Kena Pajak yang tidak memperoleh fasilitas) Lebih lanjut dalam SE-66/PJ/2010 ditegaskan bahwa: 1. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut dan fasilitas tersebut bukan merupakan pilihan. 2. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi: a. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final; b. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan c. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. 2.5
Badan (Perseroan Terbatas) Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal
1 angka 1 disebutkan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 2.5.1 Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UU PPh Pasal 2 huruf b disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah badan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa badan adalah Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Perseroan Terbatas (PT) merupakan subjek pajak badan. Lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (2) ketentuan yang sama disebutkan bahwa Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Dengan demikian PT menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan. UU KUP Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor 20/PJ/2013 jo. PER38/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32
Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak disebutkan bahwa: 1. Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. 2. Lebih lanjut pada ayat (3) huruf c disebutkan bahwa Wajib Pajak yang wajib mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi. Dengan demikian PT wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Berdasarkan UU KUP disebutkan bahwa: 1. Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2. Pasal 1 angka 11 menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2.5.2 Aspek Pajak Penghasilan atas Penyertaan Modal Seperti yang telah dijelaskan pada bagian Latar Belakang, PT X akan melakukan penyertaan modal dalam bentuk tanah kepada PT baru. Dasar hukum yang mengatur tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1994 jo. PP Nomor 71 Tahun 2008.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33
1. Dalam Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut dijelaskan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan. 2. Ayat (2) menyebutkan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah. Atas penyertaan modal dalam bentuk tanah dari PT X kepada PT baru terutang pajak penghasilan dikarenakan terjadi pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan diatas. Lebih lanjut, dalam Latar Belakang juga disebutkan bahwa PT Y akan melakukan penyertaan modal dalam bentuk uang kepada KSO. Penyertaan modal tersebut bagi PT Y merupakan bentuk investasi sehingga tidak terutang pajak penghasilan. Sedangkan penerimaan modal baik dalam bentuk tanah maupun uang yang diterima oleh PT baru tidak terutang pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 4 ayat (3) yaitu yang dikecualikan dari objek pajak adalah harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 2.5.3 Aspek Pajak Penghasilan atas Pembangunan Properti Salah satu kegiatan yang dilakukan PT baru adalah melakukan pembangunan kawasan hunian (perumahan) beserta dengan sarana dan prasarananya dimana dalam proses pembangunan tersebut pihak PT baru menggunakan jasa konstruksi. Atas pembayaran penggunaan jasa konstruksi yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, PT baru wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 4(2) sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu PP No.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
34
51 Tahun 2008 jo. PP No. 40 Tahun 2009 sama seperti yang telah dijelaskan pada bagian KSO. PPh Pasal 4(2) sebagaimana dimaksud akan mengurangi jumlah pembayaran dari PT baru kepada pihak penyedia jasa konstruksi. Dengan demikian PPh Pasal 4(2) tersebut bukan merupakan beban pajak yang mengurangi laba bersih PT baru. 2.5.4 Aspek Pajak Penghasilan atas Penjualan Properti Pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam PP Nomor 48 Tahun 1994 jo. PP Nomor 71 Tahun 2008. 1. Dalam Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut dijelaskan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan. 2. Ayat (2) menyebutkan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah. 3. Pasal 2 ketentuan yang sama disebutkan bahwa Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang. 4. Kemudian pada Pasal 4 ayat (1) ketentuan yang sama disebutkan bahwa besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan. 5. Pasal 4 ayat (2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. 6. Pasal 8 disebutkan bahwa bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia (KMK) Nomor 635/KMK.04/1994 jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) 243/PMK.03/2008 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan: 1. Pasal 1 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dengan memperhatikan Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah nomor 48 Tahun 1994 wajib dibayar sendiri oleh pribadi atau badan yang bersangkutan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang. Pada Surat Setoran Pajak (SSP) sebagaimana dimaksud wajib dicantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari orang pribadi atau badan yang bersangkutan. 2. Pada Pasal 2A ayat (2) ketentuan yang sama disebutkan bahwa dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran, maka Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pembayaran Pajak Penghasilan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran. 3. Lebih lanjut pada Pasal 4 ayat (1) ketentuan yang sama disebutkan bahwa Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36
2.5.5 Aspek Pajak Penghasilan atas Laba Bersih Atas Laba Bersih PT baru akan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan UU PPh Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2a) sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian aspek pajak penghasilan atas Laba Bersih KSO yang dibagikan kepada anggota KSO. Dikarenakan penghasilan PT baru berupa penjualan perumahan telah dikenakan PPh Final sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka seharusnya tidak terdapat pajak penghasilan badan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2a). Hal tersebut didasarkan pada PP Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 13 yang menyebutkan bahwa: Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk: a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang: 1 bukan merupakan objek pajak; 2 pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau 3 dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan. b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan. Dengan demikian beban pajak penghasilan yang mengurangi laba bersih PT baru adalah PPh Final yang telah dibayarkan atas penjualan perumahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 2.5.6 Aspek Pajak Penghasilan atas Dividen Atas laba bersih yang diterima oleh PT baru akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Atas dividen yang diterima oleh Wajib
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
37
Pajak ada yang merupakan objek pajak penghasilan dan ada yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh sebagai berikut: 1. Pasal 4 ayat (1) huruf g yaitu yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 2. Pasal 4 ayat (3) huruf f disebutkan bahwa yang dikecualikan dari objek pajak adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. 3. Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1 disebutkan bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g. Lebih lanjut berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa: 1. Pasal 70 menyebutkan bahwa perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan. Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor. 2. Pasal 71 menyebutkan bahwa seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
38
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembagian dividen atas laba bersih PT Baru yang dilakukan bukan atas seluruh jumlah laba bersih PT baru namun harus dikurangkan cadangan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2.6
Contoh Kasus: Perjanjian KSO antara PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk dengan PT Jaya Real Property, Tbk (KSO Pembangunan Jaya Property) Perjanjian KSO antara PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk dengan PT Jaya
Real Property, Tbk yang selanjutnya disebut KSO merupakan salah satu contoh kerjasama operasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Perjanjian KSO ini digunakan sebagai salah satu contoh kasus dalam penelitian ini dikarenakan relevansinya dengan penelitian ini serta keterikatannya dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. KSO ini didirikan dalam rangka pembangunan hunian dan komersial di kawasan Ancol Barat beserta dengan sarana dan prasarananya. Modal awal proyek KSO terdiri dari bidang tanah kawasan ancol barat yang disetorkan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk (PJA) sebesar Rp 56.712.074.210,- dan penyetoran dana oleh PT Jaya Real Property, Tbk (JRP) sebesar Rp 77.868.632.692,- dengan persentase kepemilikan PJA sebesar 65% dan JRP sebesar 35%. Berdasarkan perjanjian disebutkan bahwa KSO ini merupakan suatu badan usaha yang terpisah dari para pendirinya dan akan memiliki hak dan kewajiban sendiri termasuk melakukan tindakan korporasi atas nama dirinya sendiri. KSO
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
39
ini merupakan satu-satunya pihak yang sah dan memiliki hak serta kewenangan penuh untuk melaksanakan, mengelola, dan menyelesaikan pembangunan dan pengembangan kawasan ancol barat. Dalam manajemen dan pengurusan seharihari organisasi KSO dibentuk Manajemen SBU. Manajemen SBU adalah perwakilan yang sah dan sepenuhnya dari dan oleh karenanya untuk dan atas nama KSO, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan berwenang sepenuhnya untuk dan atas nama serta mewakili KSO melakukan hubungan hukum dan ekonomis dengan pihak ketiga manapun untuk kepentingan dan atas nama KSO berdasarkan perjanjian KSO ini. Pembagian keuntungan atau kerugian yang dialami dari pelaksanaan dan penyelesaian proyek KSO akan dibebankan kepada masing-masing pihak sesuai dengan besaran penyertaan modal yaitu PJA memiliki hak dan kewajiban atas keuntungan atau kerugian dari proyek KSO sebesar 65% dan JRP memiliki hak dan kewajiban atas keuntungan atau kerugian dari proyek KSO sebesar 35%. Pembagian keuntungan dari pelaksanaan dan penyelesaian proyek KSO akan dilaksanakan berdasarkan pada hasil total keuntungan proyek KSO setelah dikurangi pajak atau earning after tax untuk satu tahun masa fiskal. Setiap dan seluruh pajak yang timbul dalam rangka pelaksanaan proyek KSO akan menggunakan NPWP atas nama KSO Pembangunan Jaya Propety sendiri. Tahun fiskal yang digunakan adalah periode 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember pada tahun takwim yang sama. KSO berkewajiban melakukan pemotongan, menerbitkan dan menyerahkan bukti potong sendiri atas nama KSO kepada rekanan, kontraktor, subkontraktor, vendors atau supplier atau
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
40
pihak ketiga manapun atas withholding tax (potong pungut) sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. KSO Pembangunan Jaya Property, untuk dan atas nama masing-masing (PJA dan JRP), akan membayarkan PPh Final berdasarkan UU PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari pendapatan atas setiap transaksi penjualan produk KSO kepada konsumennya, dengan dasar pengenaan pajak yang dipergunakan adalah nilai tertinggi dari nilai transaksi penjualan atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada waktu itu. KSO Pembangunan Jaya Property wajib menyetorkan pembayaran atas PPh Final berdasarkan UU PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang terhutang tepat pada waktunya dengan ketentuan yaitu atas nama PJA sebesar 65% dan atas nama JRP sebesar 35% dari Dasar Pengenaan Pajak. Jangka waktu kerjasama operasi berlaku sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian KSO ini dan akan berakhir apabila pelaksanaan proyek KSO telah selesai dengan dibuktikan telah habisnya masa pemeliharaan dan pengelolaan proyek KSO, serta seluruh hak dan kewajiban antara KSO dengan seluruh konsumen, pihak ketiga dan/atau instansi pemerintah yang terkait dan berwenang dalam rangka pelaksanaan dan penyelesaian proyek KSO telah terpenuhi semuanya tanpa menimbulkan tunggakan kewajiban atau permasalahan yang tertunda. Juga apabila telah diselesaikannya setiap dan seluruh hak dan kewajiban PJA dan JRP dalam kerjasama operasi yang ditandai dengan berakhir dan selesainya seluruh tahapan dan proses dari proyek KSO serta berdasarkan persetujuan tertulis PJA dan JRP untuk mengakhiri perjanjian KSO ini pada setiap
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
41
waktu setelah penandatanganan perjanjian KSO ini dengan mempertimbangkan seluruh hal yang terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
2.7
Perencanaan dan Pengambilan Keputusan Pada bagian Latar Belakang telah dijelaskan bahwa akan dilakukan
analisis pajak penghasilan terhadap dua alternatif yang dapat menghasilkan efisiensi biaya pajak penghasilan yang paling tinggi. Hal ini merupakan salah satu cara untuk melakukan perencanaan pajak. Perencanaan sendiri didefinisikan oleh Robbins dan Coulter (2002) yang dikutip oleh Sule & Saefullah (2005: 97) yaitu: Sebuah proses yang dimulai dari penetapan tujuan organisasi, menentukan strategi untuk pencapaian tujuan organisasi tersebut secara menyeluruh, serta merumuskan sistem perencanaan yang menyeluruh untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan seluruh pekerjaan organisasinya hingga tercapai tujaun organisasi. Menurut Sule & Saefullah (2005: 99-102) dijelaskan bahwa proses perencanaan melibatkan dua elemen penting yaitu tujuan dan rencana. 1. Dari segi keluasan dan waktu pencapaian, tujuan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Tujuan strategis adalah tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dalam jangka waktu yang relatif lama, biasanya antara 3 hingga 5 tahun atau juga lebih. b. Tujuan taktis adalah tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dalam jangka waktu menengah, relatif lebih singkat dari tujuan strategis. Biasanya pencapaian tujuan ini antara 1 hingga 3 tahun. c. Tujuan operasional adalah tujuan yang ingin dicapai dalam satu periode kegiatan perusahaan, biasanya antara 6 bulan hingga 1 tahun. Secara jelas dapat dilihat keterkaitan dalam ketiga jenis tujuan tersebut. Tujuan operasional akan mendukung tercapainya tujuan taktis, dan tujuan taktis akan mendukung tercapainya tujuan strategis. 2. Dari segi keluasan dan waktu pencapaian, rencana dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Rencana strategis atau jangka panjang adalah rencana yang akan dijalankan oleh seluruh komponen dalam organisasi atau perusahaan
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
42
dan dibuat dalam rangka pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. b. Rencana taktis atau jangka menengah adalah rencana yang dijalankan untuk mencapai tujuan jangka menengah dan sebagai dorongan tercapainya jangka panjang. c. Rencana operasional atau jangka pendek adalah rencana yang dijalankan untuk mencapai tujuan jangka pendek dan sebagai dorongan tercapainya tujuan jangka menengah. Lebih lanjut setelah melakukan analisis atas alternatif perencanaan pajak yang ada, tentu akan dilakukan pengambilan keputusan terhadap pemilihan dari alternatif tersebut. Dengan demikian perencanaan pajak juga tidak lepas dari teori mengenai pengambilan keputusan. Menurut Sule & Saefullah (2005: 116-119): 1. Keputusan pada dasarnya merupakan proses memilih satu penyelesaian dari beberapa alternatif yang ada. Keputusan yang tepat pada dasarnya adalah keputusan yang bersifat rasional, sesuai dengan nurani, dan didukung oleh fakta-fakta yang akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 2. Dalam dunia bisnis, keputusan yang tepat bukan saja ditentukan oleh banyaknya pengalaman dan keahlian yang kita miliki tetapi juga didukung dengan kelengkapan informasi terkait permasalahan yang akan diselesaikan. Secara umum informasi dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan keadaannya yaitu keadaan yang pasti, keadaan yang tidak pasti, dan keadaan yang mengandung resiko. Berdasarkan pembagian ini maka pengambilan keputusan dapat dibagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut: 1. Pengambilan keputusan di saat keadaan yang pasti Keadaan yang pasti adalah keadaan dimana seseorang atau organisasi berhadapan dengan informasi yang lengkap mengenai suatu keadaan lingkungan yang dihadapinya sehingga estimasi mengenai masa depan dapat dipastikan. Sekalipun keadaan ini juga berarti tetap mengandung ketidakpastian, namun ketidakpastian tersebut relatif sangat kecil dikarenakan informasi yang terkait tersedia dengan lengkap. 2. Pengambilan keputusan di saat keadaan yang tidak pasti Keadaan yang tidak pasti adalah keadaan dimana seseorang atau sebuah organisasi berhadapan dengan informasi yang tidak lengkap atau seseorang atau sebuah organisasi tersebut tidak memiliki informasi mengenai masalah yang dihadapi. Dalam situasi seperti ini, pengambil keputusan tidak tahu persis apa yang akan terjadi dimasa yang akan dating bahkan untuk memperkirakannya sekalipun.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
43
3. Pengambilan keputusan pada keadaan yang mengandung resiko Keadaan yang mengandung resiko adalah keadaan dimana seseorang atau organisasi berhadapan dengan informasi yang dimiliki, namun relatif tidak lengkap jika dibandingkan dengan keadaan yang pasti, namun relatif memadai jika dibandingkan dengan keadaan yang tidak pasti.
TESIS
ANALISIS PERENCANAAN PAJAK .....
NATALIA KARTIKA