BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
UMUM Jalan raya adalah suatu lintasan yang bermanfaat untuk melewatkan lalu lintas dan satu tempat ke tempat lain sebagai penghubung dalam satu daratan. Jalan raya sebagai sarana penghubung harus lancar dan aman untuk dilalui, serta memenuhi syarat-syarat secara teknis maupun ekonomis. Syarat-Syarat umum jalan yang harus dipenuhi adalah: a. Segi kontruksi
: Jalan harus kuat, awet, kedap air.
b. Segi pelayanan
: Rata, tidak licin, dan geometrik yang memadai.
c. Segi ekonomis
: Jalan tersebut tidak mahal dan mudah dikerjakan.
Persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya desain perkerasan jalan yang sesuai dengan kondisi perencanaan (kelas jalan, moda yang lewat, waktu pelaksanaan, biaya). Lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan pada konstruksi jalan itu sendiri. Dengan demikian memberikan kenyamanan kepada pengguna jalan selama masa pelayanan
jalan
tersebut.
Untuk
itu
dalam
perencanaannya
perlu
dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi perkerasan tersebut, antara lain: a. Fungsi Jalan b. Kinerja Perkerasan c. Umur Rencana
6
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
7
d. Lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan e. Sifat dasar tanah f. Kondisi lingkungan g. Sifat dan material tersedia di lokasi yang akan digunakan untuk perkerasan h. Bentuk geometrik lapisan perkerasan.
Berdasarkan jenis pengikatnya konstruksi perkerasan jalan dibedakan atas: a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Lapis Permukaan Lapis Pondasi
Lapis Pondasi Bawah
Gambar 2.1 Perkerasan Lentur b. Kontruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. Plat beton
Plat beton Lean Concrete/CTSB
Gambar 2.2 Perkerasan Kaku
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
8
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau sebaliknya. AC Wearing Course Plat beton
Plat beton
Lean Concrete/CTSB
Gambar 2.3 Perkerasan Komposit Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini Tabel 2.1 Perbedaan Antara Perkerasan Kaku dan Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku Perkerasan Lentur 1 Bahan Pengikat Semen Aspal 2 Biaya Pembuatan Relatif lebih mahal Relatif lebih murah Awal 3 Biaya Perawatan Relatif lebih murah Relatif lebih mahal 4 Akibat beban Timbul retak-retak pada Timbul rutting (lendutan menyebabkan permukaan pada jalur roda) 5 Penurunan akibat Bersifat sebagai balok di Jalan bergelombang Tanah dasar atas perletakan (mengikuti tanah dasar) 6 Akibat Perubahan Modulus kekakuan tidak Modulus kekakuan temperatur berubah. berubah. Timbul tegangan dalam Timbul tegangan dalam yang besar yang kecil Selain itu perbedaan penyebaran beban terhadap perkerasan lentur dan perkerasan kaku adalah sebagai berikut :
(a) Perkerasan Lentur (b) Perkerasan Kaku Gambar 2.4 Skema Pembagian Beban Pada Perkerasan Jalan Raya Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
9
Untuk semua jenis perkerasan, penampilan dipengaruhi terutama oleh kendaraan berat dan beberapa faktor lainnya antara lain : a. Konfigurasi Sumbu dan Ekivalensi Kerusakan akibat kendaraan tergantung pada : •
Jarak Sumbu
•
Jumlah Roda / Sumbu
•
Beban Sumbu
Untuk kebutuhan perencanaan kendaraan yang diperhitungkan adalah empat jenis, sebagai berikut : •
Sumbu Tunggal roda tunggal
•
Sumbu tunggal roda ganda
•
Sumbu tandem roda ganda
•
Sumbu triple roda ganda
b. Lajur Rencana Pembangunan lapisan perkerasan yang baru atau pelapisan tambahan akan dilaksanakan pada 2 lajur atau lebih yang kemungkinan bisa berbeda kebutuhannya terhadap ketebalan lapisan, tetapi untuk praktisnya dibuat sama. Untuk itu dibuat lajur rencana yaitu lajur yang menerima beban terbesar. c. Umur Rencana Umur rencana adalah jangka waktu dalam tahun sampai perkerasan harus diperbaiki atau ditingkatkan. Perbaikan terdiri dari pelapisan ulang, penambahan, atau peningkatan.
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
10
Beberapa tipikal umur rencana : •
Lapisan perkerasan aspal baru, 20 – 25 tahun
•
Lapisan perkerasan kaku baru, 20 – 40 tahun
•
Lapisan tambahan (aspal, 10-15 tahun), (batu pasir,10-20 tahun)
d. Angka Pertumbuhan Lalu lintas Jumlah lalu lintas akan bertambah baik pada keseluruhan usia rencana atau pada sebagian masa tersebut. Angka pertumbuhan lalu lintas dapat ditentukan dari hasil survey pada setiap proyek. e. Metode Perhitungan Lalu Lintas Rencana Metode yang akan digunakan tergantung dari data lalu lintas yang ada dan prosedur perencanaan yang digunakan. Secara ideal data lalu lintas harus mencakup jumlah dan berat setiap jenis sumbu dalam arus lalu lintas.
2.2
PERKERASAN LENTUR Yang dimaksud perkerasan lentur (flexible pavement) dalam perencanaan ini adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya. Bagian perkerasan jalan umumnya meliputi tanah dasar, lapis pondasi bawah (subbase course), lapis pondasi (base course), dan lapis permukaan (surface course) :
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
11
a. Tanah Dasar Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut : •
Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu lintas.
•
Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
•
Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.
•
Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari macam tanah tertentu.
•
Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
Untuk sedapat mungkin mencegah timbulnya persoalan di atas maka tanah dasar harus dikerjakan sesuai dengan “Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya”.
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
12
b. Lapis Pondasi Bawah Fungsi lapis pondasi bawah antara lain : •
Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda.
•
Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
•
Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi.
•
Sebagai lapisan pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar, dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR > 20 %, PI < 10 %) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan. c. Lapis Pondasi Fungsi lapis pondasi antara lain : •
Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda.
•
Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
13
bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan
dan
pertimbangan
sebaik-baiknya
sehubungan
dengan
persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan alam / bahan setempat (CBR > 50 %, PI < 4 %) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur. d. Lapis Permukaan Fungsi lapis permukaan antara lain : •
Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda.
•
Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca.
•
Sebagai lapisan aus (Wearing Course).
Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
14
Parameter yang digunakan dalam perhitungan perencanaan tebal perkerasan lentur adalah : a. Umur Rencana Umur rencana adalah jangka waktu dalam tahun sampai perkerasan harus diperbaiki atau ditingkatkan. Perbaikan terdiri dari pelapisan ulang, penambahan, atau peningkatan. b. Angka Pertumbuhan Lalu lintas Jumlah lalu lintas akan bertambah baik pada keseluruhan usia rencana atau pada sebagian masa tersebut. Angka pertumbuhan lalu lintas dapat ditentukan dari hasil survey pada setiap proyek. c. Lalu Lintas •
Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel 2.2 di bawah ini Tabel 2.2. Jumlah Jalur Berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan (L) Jumlah Jalur (n) L < 5,50 m 5,50 m < L < 8,25 m 8,25 m < L < 11,25 m 11,25 m < L < 15,00 m 15,00 m < L < 18,75 m 18,75 m < L < 22,00 m
1 2 3 4 5 6
Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur
Sumber : SNI 1732-1989-F
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar di bawah ini :
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
15
Tabel 2.3. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **) Jumlah Jalur 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah 1 Jalur 1,00 1,00 1,00 1,00 2 Jalur 0,60 0,50 0,70 0,50 3 Jalur 0,40 0,40 0,50 0,475 4 Jalur -0,30 -0,45 5 Jalur -0,25 -0,425 6 Jalur -0,20 -0,40 *) Berat Total < 5 ton, misalnya : bus penumpang, pick up, mobil hantaran. **) Berat Total > 5 ton, misalnya : bus, truk, traktor, semi trailler, trailler. Sumber : SNI 1732-1989-F
d. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus daftar di bawah ini :
⎛ Beban satu sumbu (Kg) ⎞ Angka Ekivalen Sumbu Tunggal = ⎜ ⎟ 8160 ⎝ ⎠
4
….... (2.1) 4
⎛ Beban satu sumbu (Kg) ⎞ Angka Ekivalen Sumbu ganda = 0.086⎜ ⎟ .... (2.2) 8160 ⎠ ⎝ Tabel 2.4. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Beban sumbu Angka Ekivalen Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda 1000 2205 0,0002 2000 4409 0,0036 0,0003 3000 6614 0,0183 0,0016 4000 8818 0,0577 0,0050 5000 11023 0,1410 0,0121 6000 13228 0,2933 0,0251 7000 15432 0,5415 0,0466 8000 17637 0,9328 0,0794 Sumber : SNI 1732-1989-F
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
Lanjutan Tabel 2.4 Beban sumbu Kg Lb 8160 18000 9000 19841 10000 22046 11000 24251 12000 26455 13000 28660 14000 30864 15000 33069 16000 35276
16
Angka Ekivalen Sumbu Tunggal Sumbu Ganda 1,0000 0,0860 1,4798 0,1273 2,2555 0,1940 3,3022 0,2840 4,6770 0,4022 6,4419 0,5540 8,6447 0,7452 11,4184 0,9820 14,7815 1,2712 Sumber : SNI 1732-1989-F
e. Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen •
Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah pada jalan dengan median.
•
Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan rumus sebagai berikut: n
LEP = ∑ LHR j xC j xE j
……………………
(2.3)
j =1
Catatan : j = Jenis kendaraan •
Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dihitung dengan rumus sebagai berikut : n
LEA = ∑ LHR(1 + i) UR xC j xE j
……………...
(2.4)
j =1
Catatan : i = Perkembangan lalu lintas j = jenis kendaraan •
Lintas Ekivalen Tengah (LET) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
LET =
LEP + LEA 2
…………………………..
(2.5)
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
•
Lintas Ekivalen Rencana (LER) dihitung dengan rumus sebagai berikut : LER = LET × FP
•
17
………………………….
(2.6)
Faktor penyesuaian (FP) tersebut di atas ditentukan dengan rumus : FP =
UR 10
………………………………….
(2.7)
f. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi antara CBR dengan DDT. Yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan atau CBR laboratorium. Jika digunakan CBR lapangan maka pengambilan contoh tanah dasar dilakukan dengan tabung (undistrub), kemudian direndam dan diperiksa harga CBR-nya. Dapat juga mengukur langsung di lapangan (musim hujan / direndam). CBR lapangan biasanya digunakan untuk perencanaan lapis tambahan (overlay). Jika dilakukan menurut Pengujian Kepadatan Ringan (SKBI 3.3.30.1987/UDC, 624.131.43 (02)) atau Pengujian Kepadatan Berat (SKBI 3.3.30.1987/UDC, 624.131.53 (02)) sesuai dengan kebutuhan.
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
18
Gambar 2.5 Korelasi CBR – DDT (Sumber SNI 1732 – 1989 – F)
CBR laboratorium umumnya dipakai untuk perencanaan pembangunan jalan baru. Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya kepada pengukuran nilai CBR. Cara-cara lain hanya digunakan bila telah disertai data-data yang dapat dipertanggung jawabkan. Cara-cara lain tersebut dapat berupa : Group Index, Plate Bearing Test atau R-Value. Harga yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan, ditentukan sebagai berikut :
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
19
•
Tentukan harga CBR terendah.
•
Tentukan berapa banyak harga CBR yang sama dan lebih besar dari masing-masing nilai CBR.
•
Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 %. Jumlah lainnya merupakan persentase dari 100 %.
•
Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi.
•
Nilai CBR yang mewakili adalah yang didapat dari angka persentase 90% 100 90 80 % Jumlah
70 60 50 40 30 20 10 0 0
2
4
CBR yang dipakai
6
8
CBR
Gambar 2.6 Contoh Pengambilan Nilai CBR Persentase 90 % nilai CBR dapat dicari menggunakan pengurutan data dan persamaan numerik menggunakan metode Polinom Newton. Untuk korelasi nilai CBR – DDT selain dengan grafik dapat dicari juga menggunakan persamaan garis berdasarkan grafik yang dapat dirumuskan dengan
interpolasi
titik
menjadi
persamaan
garis
menjadi
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
DDT = 1.71428571 + (1.89228309 × ln(CBR ) ) ,
20 namun
karena
tingkat
ketelitian pada saat CBR di atas 10 perlu lebih akurat maka rumus tersebut berubah
menjadi
DDT = 1.64285714 + (1.89228309 × ln(CBR ) ) .
Pada
aplikasinya penggunaan rumus tersebut di kombinasikan menjadi : •
Untuk CBR < 10 maka, DDT = 1.71428571 + (1.89228309 × ln(CBR ) ) ……………….
•
(2.8)
Untuk CBR ≥ 10 maka, DDT = 1.64285714 + (1.89228309 × ln(CBR ) ) ………………..
(2.9)
11
9
DDT
7
5
3
1 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
CBR Rumus 2.8
Rumus 2.9
Hasil Korelasi CBR-DDT
Gambar 2.7 Hubungan CBR-DDT g. Faktor Regional Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, bentuk alinyemen, serta persentase kendaraan dengan berat > 13 ton, dan kendaraan yang berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata-rata per tahun. Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
21
Mengingat persyaratan penggunaan disesuaikan dengan “Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya”, maka pengaruh keadaan lapangan yang menyangkut permeabilitas tanah dan perlengkapan drainase dapat dianggap sama. Dengan demikian dalam penentuan tebal kekerasan ini, Faktor Regional hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan), persentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim (curah hujan sebagai berikut : Tabel 2.5. Faktor Regional (FR) Kelandaian I (< 6 %) % kendaraan berat ≤ 30 > 30 Iklim I 0,5 1,0 – 1,5 ≤ 900 mm/th Iklim II 1,5 2,0 – 2,5 > 900 mm/th Catatan :
Kelandaian II (6 – 10 %) % kendaraan berat ≤ 30 > 30 % 1,0 1,5 – 2,0 2,0
2,5 – 3,0
Kelandaian III (> 10 %) % kendaraan berat ≤ 30 > 30 % 1,5 2,0 – 2,5 2,5
3,0 – 3,5
Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian, atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,4. Pada daerah rawarawat FR ditambah dengan 1,0. Sumber : SNI 1732-1989-F
h. Indeks Permukaan Indeks permukaan ini menyatakan nilai daripada kerataan / kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah ini : IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
22
IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap. IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik. Dalam menentukan Indeks Permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah Lintas Ekivalen Rencana (LER), menurut daftar di bawah ini : Tabel 2.6. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP) LER : Lintas Klasifikasi Jalan Ekivalen Rencana *) Lokal Kolektor Arteri < 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 > 1000 2,0 – 2,5 2,5
Tol 2,5
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal. Catatan : Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT / Jalan Murah, atau jalan darurat maka IP dapat diambil 1,0. Sumber : SNI 1732-1989-F
Dalam menentukan indeks permulaan awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut daftar di bawah ini :
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
23
Tabel 2.7. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo) Roughness *) Jenis Lapis Perkerasan IPo (mm / km) ≥4 LASTON 3,9 – 3,5 ≤ 1000 3,9 – 3,5 LASBUTAG 3,4 – 3,0 > 1000 3,9 – 3,5 HRA ≤ 2000 > 2000 3,4 – 3,0 ≤ 2000 3,9 – 3,5 BURDA > 2000 3,4 – 3,0 BURTU ≤ 2000 3,4 – 3,0 LAPEN < 2000 2,9 – 2,5 ≤ 3000 2,9 – 2,5 LATASBUM > 3000 2,9 – 2,5 BURAS 2,9 – 2,5 LATASIR < 24 JALAN TANAH < 24 JALAN KERIKIL *) Alat pengukur roughness yang dipakai adalah ROUGHOMETER NAASRA, yang dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 Station Wagon, dengan kecepatan kendaraan ± 32 km per jam. Sumber : SNI 1732-1989-F
Gerakan sumbu belakang dalam arah vertikal dipindahkan pada alat roughometer melalui kabel yang dipasang di tengah-tengah sumbu belakang kendaraan, yang selanjutnya dipindahkan kepada counter melalui “flexible drive”. Setiap putaran counter adalah sama dengan 15,2 mm gerakan vertikal antara sumbu belakang dan body kendaraan. Alat pengukur roughness tipe lain dapat digunakan dengan mengkalibrasikan hasil yang diperoleh terhadap roughometer NAASRA. i. Koefisien Kekuatan Relatif (a) Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
24
bahan yang distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Jika alat Marshall Test tidak tersedia, maka kekuatan (stabilitas) bahan beraspal bisa diukur dengan cara lain seperti Hveem Test, Hubbard Field, dan Smith Triaxial. Nilai koefisien kekuatan relatif berkembang seiringnya penelitian terhadap bahan lapisan perkerasan itu sendiri, sehingga angka koefisien kekuatan relatif dapat diubah sesuai dengan bahan yang digunakan.
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
25
Tabel 2.8. Koefisien Kekuatan Relatif (a) Koefisien Kekuatan Bahan Kekuatan Relatif MS Kt CBR A1 a2 A3 (Kg) (Kg/cm) (%) 0,40 0,35 0,32 0,30 0,35 0,31 0,28 0,26 0,30 0,26 0,25 0,20 Catatan :
0,28 0,26 0,24 0,23 0,19 0,15 0,13 0,15 0,13 0,14 0,13 0,12 -
0,13 0,12 0,11 0,10
744 590 454 340 744 590 454 340 340 340 590 454 340 -
22 18 22 18 -
100 80 60 70 50 30 20
Jenis Bahan
Laston
Lasbutag
HRA Aspal Macadam Lapen (mekanis) Lapen (manual) Laston Atas Lapen (mekanis) Lapen (manual) Stab tanah dengan semen Stab tanah dengan kapur Batu pecah (kelas A) Batu pecah (kelas B) Batu pecah (kelas C) Sitru / pitrun (kelas A) Sitru / pitrun (kelas B) Sitru / pitrun (kelas C) Tanah/lempung Kepasiran
Kuat tekan stabilisasi tanah dengan semen diperiksa pada hari ke 7. Kuat tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21. Sumber : SNI 1732-1989-F
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
26
j. Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Indeks tebal perkerasan untuk perkerasan lentur didapatkan dengan menarik garis pada grafik nomogram yang sudah disediakan pada SNI 1732 1989 – F dalam lampiran 1. Dimana nilai daya dukung tanah dasar (DDT), lintas ekivalen rata-rata (LER), faktor regional (FR) saling berpengaruh. Langkah-langkah penggunaan nomogram tersebut adalah : •
Menentukan titik nilai DDT yang didapat dari korelasi dengan CBR.
•
Menentukan titik nilai LER yang didapat dari perhitungan.
•
Kemudian tarik garis lurus mengenai 2 titik (DDT & LER ) hingga mengenai garis ITP.
•
Tentukan titik nilai FR dari perhitungan sebelumnya
•
Dari tititk ITP yang didapat sebelumnya disambungkan dengan garis mengenai FR hingga menuju garis ITP Nomogram yang disediakan ada 9 (sembilan) macam, tergantung pada
nilai Indeks Permukaan awal (IPo) dan Indek Permukaan akhir (IPt).
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
27
Gambar 2.8 Contoh Bentuk Nomogram (Sumber SNI 1732 – 1989 – F)
ITP (Indeks Tebal Perkerasan) selain dapat dicari dengan nomogram dapat dicari juga dengan rumus yang dikembangkan dari AASHTO’72. Dari analisa data yang dikembangkan oleh AASHTO didapatkan 4 persamaan antara lain : a. Gt = Log
( IPo − IPt ) = β ( Log Wt − Log ρ ) ………… ( IPo − 1,5)
(2.10)
dimana : Gt = fungsi logaritma dari perbandingan antara kehilangan tingkat pelayanan dari IPo sampai IPt dengan kehilangan tingkat pelayanan sebesar 1,5
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
28
IPo = indeks permukaan pada awal umur rencana, yang besarnya tergantung pada jenis dan mutu lapis permukaan. Untuk jalan dengan lapis permukaan aspal beton maka, IPo = 4,2 IPt = indeks permukaan pada akhir umur rencana β = fungsi dari desain dan variasi beban sumbu yang berpengaruh
terhadap bentuk grafik IP terhadap Wt Wt = beban lalu lintas ρ = fungsi dari desain danvariasi beban sumbu yang menyatakan jumlah perkiraan banyaknya lintasan sumbu yang diperlukan sehingga permukaan perkerasan mencapai tingkat pelayanan IP=1,5 b.
Log (β − 0,40 ) = Log 0,081 + 3,23 Log ( L1 + L 2) − 5,19 Log ( ITP'+1) − 3,23 Log ( L 2)
………
(2.11)
dimana : L1 = beban sumbu tunggal atau ganda dalam 1000 pon, karena digunakan beban sumbu tunggal 18.000 pon maka L1 = 18 L2 = kode sumbu (untuk sumbu tunggal L2 = 1, untuk sumbu ganda L2= 2) karena digunakan sumbu tunggal 18.000 pon, maka L2 selalu = 1. ITP= Indeks Tebal Perkerasan dalam kelipatan 2,54 cm (1 inci) untuk perkerasan sesuai kondisi penelitian. c.
Log ρ = 5,93 + 9,36 Log ( ITP'+1) − 4,79 Log ( L1 + L 2) + 4,33 Log ( L 2)
…….
(2.12)
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
29
d. Log Wt18 = Log Nt18 (FR) …………………………………..
(2.13)
dimana : Wt18 = beban lalu lintas selama umur rencana atas dasar beban sumbu tunggak 18.000 pon yang telah diperhitungkan terhadap faktor regional Nt18 = jumlah lintas sumbu 18.000 pon FR
= Faktor regional
Dari keempat persamaan di atas (2.8, 2.9, 2.10 dan 2.11) diperoleh rumus dasar sebagai berikut :
Log Wt18 = 9,36 Log ( ITP + 1) − 0,20 +
Gt 1094 0,40 + ( ITP + 1) 5,19
……. (2.14)
Persamaan dasar tersebut hanya berlaku untuk kondisi lingkungan dan keadaaan tanah dasar seperti pada jalan yang diamati. Guna dapat dipergunakan secara umum, maka dimasukkan faktor regional (FR) dan daya dukung tanah dasar (DDT) sehubungan dengan perbedaan kondisi lingkungan dan tanah dasar, maka rumus tersebut menjadi : Log Wt18 = 9,36 Log ( ITP + 1) − 0,20 +
Gt 1094 0,40 + ( ITP + 1) 5,19 ………
(2.15)
+ Log FR + 0,372 ( DDT − 3,0) dimana : DDT = Daya dukung tanah dasar FR
= Faktor Regional Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
30
Berdasarkan uji coba persamaan dasar (2.15) di atas nilai ITP belum sesuai dengan nomogram yang ada, maka perlu dilakukan penyesuaian rumus dengan experiment dimana dilakukan penyesuaian satuan yang dipakai dan sedikit modifikasi terhadap rumus dasar menjadi : Log Wt18 = 9,36 Log (
ITP + 1) − 0,20 + 2.54
Gt 1094 0,40 + ITP ...….. ( + 1) 5,19 2.54
(2.16)
+ 0,372 ( DDT − 3,0)
dimana : Log Wt18 = Log (LER × 365 × 10 × FR ) ……………………………. (2.17)
Untuk Log FR pada ruas kanan dihilangkan karena akan menambahkan angka yang seharusnya tidak perlu. Dan ITP dibagi dengan 2,54 cm karena pada rumus AASHTO’72 masih menggunakan satuan inci. k. Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Pada Perkerasan Lentur Setiap lapisan, baik itu lapisan permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah memiliki batas minimum berdasarkan Indeks Tebal Perkerasan yang didapat dari nomogram, Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan, antara lain dapat dilihat pada tabel berikut :
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
31
Tabel 2.9. Tebal Minimum Lapis Permukaan Berdasarkan ITP ITP Tebal Minimum Bahan (cm) Lapis pelindung: (Buras / Burtu / Burda) 5 < 3,00 Lapen / Aspal mcacadam, HRA, 5 3,00 – 6,70 7,5 6,71 – 7,49 Lasbutag. Laston. 7,75 7,50 – 9,99 Lapen / Aspal Macadam, HRA, lasbutag. 10 > 10,00 Laston. Lasbutag, laston. Laston. Sumber : SNI 1732-1989-F
Tabel 2.10. Tebal Minimum Lapis Pondasi Berdasarkan ITP Bahan ITP Tabel minimum (cm) < 3,00 15 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur. 3,00-7,49 20 *) Batu pecah, stabilisasi tanah dengan kapur laston atas. 7,50-9,99 10 Laston atas 20 Batu pecah,stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam. 10-12,14 15 Laston atas 20 Batu pecah,stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, lapen, laston atas. ≥ 12,25 25 Batu Pecah, Stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston atas *) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan material berbutir kasar. Sumber : SNI 1732-1989-F
Tabel 2.11. Tebal Minimum Lapisan Pondasi Bawah Berdasarkan ITP Untuk setiap ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm. Sumber : SNI 1732-1989-F
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
2.3
32
PERKERASAN LENTUR UNTUK LAPIS TAMBAHAN
Konstruksi jalan memiliki masa pelayanan hingga umur rencana yang ditentukan, sehingga perlu dilakukan penggantian jalan baru atau dengan perbaikan. Jalan yang telah mencapai umur yang telah direncanakan maka jalan tersebut sudah mencapai indeks permukaan akhir yang diharapkan pada awal perencanaan. Pada kondisi ini maka jalan tersebut perlu diberikan lapis tambahan untuk dapat kembali melayani dengan tingkat kenyamanan, keamanan, tingkat kekedapan air dan kecepatannya dalam mengalirkan air seperti pada jalan baru tanpa harus membongkar dan mengganti jalan yang lama dengan jalan baru. Sebelum dilakukan perencanaan tebal lapisan tambahan, perlu dilakukan survei kondisi permukaan jalan dengan menggunakan alat roughmeter maupun secara visual dan survei kelayakan structural konstruksi jalan dengan alat
benkelman beam. Menurut SNI 1732 – 1989 – F kerusakan pada jalan lama dibagi oleh beberapa definisi berdasarkan pengamatan visual dan bantuan survei - survei yang dilakukan. Sehingga didapatkan persentase kondisi perkerasan jalan yang lama. Untuk perhitungan pelapisan tambahan (overlay), kondisi perkerasan jalan lama (existing pavement) dinilai sesuai daftar dibawah ini:
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
33
Tabel 2.12. Nilai Kondisi Perkerasan Jalan 1. Lapis Permukaan : Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur roda
90-100 %
Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun 70-90 %
masih tetap stabil Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada
50-70 %
dasarnya Masih menunjukkan kestabilan Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda,
30-50 %
menunjukkan gejala ketidak stabilan 2.
Lapis Pondasi : Pondasi aspal beton atau penetrasi macadam. Umumnya tidak retak
90-100%
Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil
70-90 %
Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan
50-70 %
Retak banyak, menunjukkan gejala ketidak stabilan
30-50 %
Stabilisasi tanah dengan semen atau kapur Indek plastisitas (Plasticity Index=PI) < 10
70-100 %
Pondasi macadam atau batu pecah Indek plastisitas (Plasticity Index=PI) < 6 3.
80-100 %
Lapis Pondasi bawah Indek plastisitas (Plasticity Index=PI) < 6
90-100 %
Indek Plastisitas (Plasticity Index=PI) > 6
70-90 % Sumber : SNI 1732-1989-F
Dari nilai-nilai tersebut maka indeks tebal perkerasan (ITP) pada perkerasan existing (yang sudah ada) dinilai dengan mengalikan persentase perkerasan yang ada dengan bahan dan koefisien bahan tersebut. Dengan perhitungan sama dengan perencanaan jalan baru, data-data lalu lintas saat dilakukan overlay (perkerasan tambahan) dihitung hingga didapatkan
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
34
nilai ITP (Indeks Tebal Perkerasan). Nilai ITP yang didapatkan kemudian dikurangi dengan nilai ITP hasil perhitungan jalan yang sudah ada. Hasil pengurangan tersebut adalah nilai ITP yang dibutuhkan untuk perkerasan tambahan.
2.4
PERKERASAN LENTUR UNTUK KONSTRUKSI BERTAHAP
Konstruksi bertahap digunakan pada keadaan tertentu, antara lain : a. Keterbatasan biaya untuk pembuatan tebal perkerasan sesuai rencana (misalnya: 20 tahun). Perkerasan dapat direncanakan dalam dua tahap, misalnya tahap pertama untuk 5 tahun, dan tahap berikutnya untuk 15 tahun. b. Kesulitan dalam memperkirakan perkembangan lalu lintas untuk jangka panjang (misalnya: 20 sampai 25 tahun) dengan adanya pentahapan, perkiraan lalu lintas diharapkan tidak jauh meleset. c. Kerusakan setempat (weak spots) selama tahap pertama dapat diperbaiki dan direncanakan kembali sesuai data lalu lintas yang ada. Pada perhitungan kontruksi bertahap, pada prinsipnya sama dengan perhitungan pada perkerasan tambahan, hanya dalam perhitungan perkerasan bertahap perkerasan yang sudah ada tidak dikalikan dengan nilai kondisi perkerasan. Metode perencanaan konstruksi bertahap didasarkan atas konsep “sisa umur” perkerasan berikutnya direncanakan sebelum perkerasan pertama mencapai keseluruhan “masa fatique” untuk itu tahap kedua diterapkan bila jumlah kerusakan (culmulative damage) pada tahap pertama sudah mencapai, K.1. 60 %. Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
35
Dengan demikian “sisa umur” tahap pertama tinggal K.1. 40% Untuk menetapkan ketentuan di atas maka perlu dipilih waktu tahap pertama antara 25%-50 % Dari waktu keseluruhan. Misalnya: UR = 20 tahun, maka tahap I antara 5- 10 tahun dan tahap II antara 10-15 tahun. Perumusan konsep “sisa umur” ini dapat diuraikan sebagai berikut: a. jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur (sudah mencapai fatique, misalnya timbul retak), maka tebal perkerasan tahap I di dapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER. b. Jika pada akhir tahap II diinginkan adanya sisa umur K.1 40 % maka perkerasan tahap 1 perlu ditebalkan dengan memasukkan lalu lintas sebesar X LER, c. Dengan anggapan sisa umur linear dengan sisa lalu lintas, maka: x LER = 1 + LER1 + LER 1 (tahap I plus) (tahap I) (sisa tahap I) diperoleh x = 1,67 d. Jika pada akhir tahap I tidak ada sisa umur maka tebal perkerasan tahap II di dapat dengan memasukkan lalu lintas sebesar LER2 e. Tebal perkerasan tahap I + II di dapat denganmemasukkan lalu lintas sebesar y LER2, karena 60% y LER2 sudah dipakai tahap I maka: y LER2 = 60% y LER2 + LER2 (tahap I + II) (tahap I) (sisa tahap II) diperoleh y = 2,5 f. Tebal perkerasan tahap II diperoleh dengan mengurangkan tebal perkerasan tahap I + II (lalu lintas y LER2) terhadap tebal perkerasan I (lalu lintas x LER1).
Artha Wirya Bakti (0600673002)
Universitas Bina Nusantara Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Sipil
36
g. Dengan demikian pada tahap II diperkirakan ITP 2 dengan rumus: ITP2 = ITP - ITP1 ITP dapat dari nomorgram dengan LER = 2,5 LER2 ITP1 didapat dari nomorgram dengan LER = 1,67 LER1
Artha Wirya Bakti (0600673002)