BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Normalisasi Alur Sungai Menurut Ichsan Syahputra (2015), normalisasi sungai merupakan usaha memperbesar kapasitas pengaliran dari sungai itu sendiri. Penanganan banjir dengan cara ini dilakukan pada hampir seluruh sungai bagian hilir. Faktor-faktor yang perlu pada cara penanganan ini adalah penggunaan penampang ganda dengan debit dominan untuk penampang bawah, perencanaan alur yang stabil terhadap proses erosi dan sedimentasi dasar sungai maupun erosi tebing dan elevasi muka air banjir.
2.1.2. Pengaturan Saluran Pengaturan saluran dimaksudkan agar dimensi (ukuran saluran) pada sungai diformulasikan sesuai dengan bentuk rancangan yang diperlukan untuk tujuan tertentu. Jadi lebar dan kedalaman saluran pada sungai diatur sedemikian rupa supaya profil tertentu tersebut dapat dipertahankan sepanjang tahun, lazim disebut “normalisasi sungai”. Tujuan normalisasi adalah untuk keperluan navigasi, melindungi tebing sungai karena erosi (kikisan), atau untuk memperluas profil sungai guna menampung banjir – banjir yang terjadi. Pekerjaan untuk normalisasi sungai antara lain menggunakan mesin pengerukan (dredging machine), pemasangan krib (groynes), pemasangan tanggul kanan kiri sungai (levee), pemasangan pelindung tebing (revetment), pemasangan ambang terendam (submerged sill) dan lain – lain. (Sudarman, 2011)
6
7
2.1.3. Pengaturan Debit Curah hujan sepanjang tahun selalu berubah – ubah tergantung pada musim, hal ini mempengaruhi banyaknya air yang mengalir di sungai. Maka kondisi ini akan menyulitkan pengaturan debit bagi keperluan navigasi, irigasi, tenaga air dan lain – lain. Maka untuk itu sungai – sungai yang fluktuasi debit sungai besar yaitu perbandingan debit maksimum dan minimum cukup besar, maka debit sungai perlu diatur. Pengaturan dilakukan dengan cara membangun bendungan besar, sehingga air ditampung dalam suatu waduk (reservoir) tahunan sedangkan debit sungai melalui outlet structure (bangunan pengeluaran) dapat diatur sepanjang tahun. Maka perlu dipasang peralatan debit hydrograph pada sungai di sebelah hilir (downstream) waduk. (Sudarman, 2011)
2.1.4. Pengaturan Muka Air Sungai Pengaturan muka air sungai ini dimaksudkan untuk meninggikan muka air sungai dengan membangun sebuah ambang pada palung sungai yang berupa “Bendung” (Weir) dan air yang dialirkan melalui saluran buatan. Maksud dan tujuan tersebut digunakan untuk berbagai tujuan seperti keperluan irigasi, pembangkit tenaga listrik, navigasi dan industri. (Sudarman, 2011)
2.1.5. Kedalaman Alur Sungai Selain faktor fluktuasi air, hal lain yang harus diperhatikan dalam penentuan kedalaman alur adalah sarat air (draft) kapal, squat (pengaruh penurunan muka air di sekitar kapal karena pergerakannya), trim (perbedaan antara draft haluan dan buritan), pergerakan kapal, massa jenis air sungai, tingkat kekerasan dan kerataan dasar atur serta koef clearance (jarak ruang kosong antara luas dan dasar kapal). Menurut ESCAP (Economic and Social Commission For Asia and The Pasific) (1989) dalam Abubakar Iskandar (2009), secara umum kedalaman alur pelayaran dapat ditentukan sebagaí berikut : 1.
Untuk alur normal, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan kecepatan normal serta kapal bermuatan rencana dapat mendahului
8
kapal di depannya dengan berhati-hati, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,4 kali draft kapal 2.
Untuk alur sempit, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan berhati-hati serta kapal tak bermuatan dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,3 kali draft kapal.
3.
Untuk alur tunggal, di mana terdapat satu lajur lalu líntas kapal yang berlayar, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,2 kali draft kapal
Menurut Nur Yuwono (1994) dalam Abubakar Iskandar (2009), kedalaman alur dapat ditentukan sebagai berikut: 1.
Untuk alur yang relatif tidak berfluktuasi, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,5 hingga 1,7 kali draft kapal
2.
Untuk alur yang berfluktuasi, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,2 hingga 1,5 kali draft kapal
3.
Untuk alur yang diketahui tinggi muka air rendahnya, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,2 kali draft kapal dihitung dari LWL.
Sementara itu, berdasarkan efisiensi daya dorong kapal, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,5 kali draft kapal. Adapun berdasarkan kemudahan dalam pengendalian kapal kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,6 hinggga 2,4 kali draft kapal.
Elevasi muka air rencana
Gambar 2.1 Syarat Kedalaman Alur Sungai (Nur Yuwono, 1994)
9
Dalam hal ini akan dipergunakan kedalaman mínimum alur sebesar 1,5 draft (h,jn = 1,5 × d) mengingat nilai ini cukup mewakili kondisi dari berbagai ketentuan di atas. Di samping itu, nilai ini dirasa sudah mencukupi di mana besar keel clearance adalah sebesar 0,5 kali draft kapal. Hal ini bukan hanya untuk sungai namun juga danau. Besarnya draft kapal sebaiknya diambil dari ukuran kapal yang dominan melintas atau setidaknya kapal terbesar.
2.1.6. Kelebaran Alur Sungai Pada umumnya, kelebaran sungai untuk keperluan navigasi telah cukup memadai. Meskipun demikian, karena sungai memiliki penampang melintang (cross section) yang berbeda-beda di sepanjang sungai maka kelebaran sungai pun akan bervariasi. Selain faktor fluktuasi air, hal lain yang harus diperhatikan dalam penentuan kedalaman alur adalah kecepatan kapal, angín melintang, arus melintang, arus membujur, gelombang akibat alam, visibilitas terhadap SBNP (Sarana Bantu Navigasi Pelayaran), permukaan dasar alur, tingkat bahaya muatan, kemampuan manuver kapal, jenis perkuatan tebing dan intensitas kepadatan lalu lintas kapal.
Menurut ESCAP (Economic and Social Commission For Asia and The Pasific) (1989) dalam Abubakar Iskandar (2009), secara umum kedalaman alur pelayaran dapat ditentukan sebagai berikut : 1.
Untuk alur normal, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan kecepatan normal serta kapal bermuatan rencana dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kelebaran alur sebaiknya minimum sebesar 4 kali lebar kapal
2.
Untuk alur sempit, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan berhati-hati serta kapal tak bermuatan dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kelebaran alur sebaiknya minimum sebesar 3 kali lebar kapal.
3.
Untuk alur tunggal, di mana terdapat satu lajur lalu lintas kapal yang berlayar, kelebaran alur sebaiknya minimum sebesar 2 kali lebar kapal.
10
Menurut Nur Yuwono (1994) dalam Abubakar Iskandar (2009), kelebaran alur dapat ditentukan sebagai berikut : 1.
Untuk alur di mana kapal yang melintas relatif seragam, kelebaran alur sebaiknya minimum adalah 5,2 hingga 8,2 kali lebar kapal.
2.
Untuk alur di mana kapal yang melintas relatif tidak seragam, kelebaran alur sebaiknya minimum adalah 3,5 kali lebar kapal. Dalam hal ini akan dipergunakan kedalaman minimum alur sebesar 3,5 kali lebar (we = 3,5 x B) kapal yang dominan melintas mengingat nilai ini cukup mewakili kondisi dari berbagai ketentuan di atas.
Gambar 2.2 Syarat Kelebaran Alur Sungai (Nur Yuwono, 1994) Hal ini hanya berlaku untuk sungai dan kanal karena aspek kelebaran pada danau dan laut umumnya tidak dipersoalkan. 2.1.7. Kecepatan Arus Arus sungai akan bertambah lambat apabila bergerak ke hilir (muara sungai). Semakin besar kecepatan arus maka akan makin berbahaya karena mengurangi kemampuan pengendalian kapal. Menurut PIANC (Permanent International Association of Navigation Congresses) dalam Abubakar Iskandar (2009), secara umum arus sungai dapat dibedakan sebagai berikut :
Arus lambat yaitu apabila lebih kecil dari 0,77 m/s
Arus sedang yaitu apabila sebesar 0,77 m/s hingga 1,54 m/s
Arus kuat/deras yaitu apabila lebih besar dari 1,54 m/s
11
2.1.8. Penelitian Terdahulu 1.
Menurut Dian Triastuti RM (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Kajian Kinerja Sistem Bangunan Air pada Ruas Kali Pepe di Kota Solo untuk Mitigasi Bencana Musim Hujan dan Kemarau, untuk debit banjir maksimum tanggal 22 April 2015 sebesar 325 m3/s setara dengan debit banjir maksimum 5 tahunan sebesar 326 m3/s. Untuk kontinuitas aliran selama musim kemarau, debit minimum rata-rata dan debit andalan untuk probabilitas 80% dan 95% secara berturut-turut sebesar 5,7 m3/s, 4,0 m3/s, dan 3,1 m3/s.
2.
Menurut penelitian Agatha Padma Laksitaningtyas (2009) dijelaskan bahwa hasil simulasi kejadian banjir yang terjadi pada akhir Desember 2007 genangan banjir yang terjadi di Kota Solo diakibatkan oleh luapan air sungai Bengawan Solo dan terhambatnya aliran drainase ke Kali Pepe Hilir ke hilir Pintu Air Demangan akibat kapsitas pompa yang tidak memadai.
3.
Hasil penelitian Ratih Kusuma Hartini (2012) menjelaskan bahwa kontribusi terbesar untuk Daerah Tangkapan Air di Kali Pepe hilir berasal dari inflow lateral Kali Jenes, dimana debit puncak kala ulang 2 tahun sebesar 30,3 m3/s.
4.
Hasil peneitian Ali Trusharyanto (2012) menjelaskan bahwa penyebab genangan di Kota Solo bukan karena limpasan dari sungai Bengawan Solo tetapi limpasan dari hujan setempat yang tidak mampu dialirkan ke Sungai Bengawan Solo. Pengaliran tidak dapat dilakukan karena ditutupnya Pintu Air Demangan untuk menahan backwater dari Bengawan Solo. Oleh karena itu peran pompa air di Pintu Air Demangan sangat penting dalam rangka mengurangi genangan di Kota Solo.
5.
Menurut laporan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (2016) dalam hasil wawancara terkait bangunan air di sepanjang ruas Kali Pepe Hilir untuk kondisi Bendung Karet Tirtonadi mengalami kebocoran kecil, jika dikembungkan maka dalam waktu 2 - 3 jam tekanannya berkurang bahkan cenderung mengempis habis. Saat dikembungkan daerah bantaran dibagian hulu tergenang. Untuk pengaturan besarnya debit yang mengalir ke arah Kali
12
Anyar maupun ke arah Kali Pepe Hilir untuk standar operasional prosedur (SOP) tidak tersedia. Kondisi Pintu Air Tirtonadi saat ini yang berfungsi hanya 2 pintu dengan tinggi bukaan 50 cm dan terbuka setiap saat. Namun secara garis besar sistem pengeoperasian bendung karet dan pintu airnya sudah tidak optimal dan diperlukan revitalisasi pada bendung karet dan pintu airnya supaya dapat mengatur besarnya debit yang masuk ke Kali Pepe Hilir maupun yang di alirkan ke Kali Anyar. Kondisi Pintu Air Demangan untuk saat ini masih berfungsi normal dan masih bisa dioperasikan untuk menahan backwater dari Sungai Bengawan Solo ketika banjir. Pompa air yang berada di pintu air Demangan semuanya juga masih berfungsi normal untuk memompa debit air yang tidak dapat mengalir ketika pintu air ditutup untuk menahan luapan banjir Sungai Bengawan Solo saat musim hujan. Untuk pos pencatat debit rata-rata pada semua anak sungai di Kota Solo terutama untuk Kali Pepe Hilir belum tersedia, sehingga tidak diketahui berapa besar debit lateral inflow yang masuk ke Kali Pepe Hilir.
13
2.2.
Landasan Teori
2.2.1. Siklus Hidrologi Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. (Soemarto, 1987)
Gambar 2.3 Siklus Hidrologi (Soemarto, 1987) 2.2.2. Presipitasi Menurut Suripin (2004), presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondensasi dan jatuh dari atmosfir ke bumi dalam segala bentuknya dalam rangkaian siklus hidrologi. Jika air yang jatuh berbentuk cair disebut hujan (rainfall) dan jika berupa padat disebut salju (snow). Menurut Bambang Triadmojo (2008) presipitasi adalah turunnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi yang bisa berupa hujan, hujan salju, kabut, embun, dan hujan es. Dalam bagian ini hanya akan dibahas tentang hujan.
14
Menurut Bambang Triadmodjo (2008) berdasarkan proses terjadinya hujan dibagi menjadi tiga tipe, sebagai berikut : 1.
Hujan Konvektif Di daerah tropis pada musim kemarau udara yang berada di dekat permukaan tanah mengalami pemanasan yang intensif. Pemanasan tersebut menyebabkan rapat massa udara berkurang, sehingga udara basah naik ke atas dan mengalami pendinginan sehingga terjadi kondensasi dan hujan. Hujan yang terjadi karena proses ini disebut hujan konvektif, yang biasanya bersifat setempat, mempunyai intensitas tinggi dan durasi singkat.
2.
Hujan Siklonik Jika massa udara panas yang relatif ringan bertemu dengan massa udara dingin yang relatif berat, maka udara panas tersebut akan bergerak di atas udara dingin. Udara yang bergerak ke atas tersebut mengalami pendinginan sehingga terjadi kondensasi dan terbentuk awan dan hujan. Hujan yang terjadi disebut hujan siklonik, yang mempunyai sifat tidak terlalu lebat dan berlangsung dalam waktu lebih lama.
3.
Hujan Orografis Udara lembab yang tertiup angin dan melintasi daerah pegunungan akan naik dan mengalami pendinginan, sehingga terbentuk awan dan hujan. Sisi gunung yang dilalui oleh udara tersebut banyak mendapatkan hujan dan disebut lereng hujan, sedang sisi belakangnya yang dilalui udara kering (uap air telah menjadi hujan di lereng hujan) disebut lereng bayangan hujan. Daerah tersebut tidak permanen dan dapat berubah tergantung musim (arah angin). Hujan ini terjadi di daerah pegunungan (hulu DAS) dan merupakan pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai.
Dari ketiga jenis tipe hujan, yang banyak terjadi di Indonesia adalah hujan konvektif dan orografis. Jumlah hujan yang jatuh di permukaan bumi dinyatakan dalam kedalaman air (biasanya mm), yang dianggap terdistribusi secara merata pada seluruh daerah tangkapan air. Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam suatu satuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalam mm/jam.
15
Durasi hujan adalah waktu yang dihitung dari saat hujan mulai turun sampai berhenti, yang biasanya dinyatakan dalam jam. Data hujan durasi pendek, jam atau menit, dapat diperoleh dari automatic rainfall recorder.
Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perencanaan hidrologi meliputi: a.
Intensitas i, adalah laju hujan = tinggi air persatuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, atau mm/hari.
b.
Lama waktu (durasi) t, adalah panjang waktu di mana hujan turun dalam menit atau jam.
c.
Tinggi hujan d, adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi hujan dan, dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.
d.
Frekuensi adalah frekuensi kejadian dan biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return period) T, misalnya sekali dalam 2 tahun.
e.
Luas adalah luas geografis daerah sebaran hujan.
Secara kualitatif, intensitas curah hujan disebut juga derajat curah hujan, sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 2.1 Tabel 2.1 Derajad Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan Derajad curah Hujan Hujan sangat lemah
Intensitas curah Hujan (mm/jam)
Kondisi
<1,20
Tanah agak basah atau dibasahi sedikit
Hujan lemah
1,20 – 3,00
Hujan normal
3,00 – 18,00
Hujan deras
18,0 – 60,0
Hujan sangat deras
>60,0
Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit membuat puddle Dapat dibuat puddle dan bunyi hujan Kedengaran Air tergenang diseluruh permukaan tanah dan bunyi keras hujan terdengar berasal dari genangan Hujan seperti ditumpahkan, sehingga saluran dan drainase meluap
(Sumber: Suripin 2004)
16
2.2.3. Tata Guna Lahan Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C),yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar Antara 0 sampai 1. Pada DAS yang masih baik, harga C mendekati nol dan semakin rusak suatu DAS, maka harga C makin mendekati satu. Masalah banjir pada suatu perkotaan juga tidak lepas dari semakin cepat berkurangnya daerah resapan air dalam hal ini perubahan tata guna lahan.
2.2.4. Pengukuran Hujan Dalam analisis diperlukan data hujan yang akurat, bukan hanya hujan kumulatif harian, namun juga diperlukan data hujan jam-jaman. Hal ini dikarenakan hujan sangat bervariasi terhadap waktu dan tempat, dan setiap perubahannya berpengaruh terhadap aliran sungai. Hujan di suatu daerah dapat diukur di beberapa titik yang ditetapkan dengan menggunakan alat pencatat hujan, baik berupa alat pencatat hujan manual (ordinary raingauge) maupun berupa alat pencatat hujan otomatis (automatic raingauge).
2.2.5. Kualitas Data Hujan Kualitas data hujan sangat beragam tergantung pada alat, pengelola, dan sistem arsip : 1.
Kelengkapan Data Dalam proses pencatatan data hujan terkadang ada data hujan yang hilang. Berdasarkan pengujian yang dilakukan di sejumlah DAS di Pulau Jawa, mengenai data hujan yang hilang jika dilakukan pengisian maka akan mengacaukan perhitungan lain. Hal ini disebabkan karena variabilitas hujan yang tinggi. Oleh sebab itu, disarankan untuk tidak melakukan pengisian data yang hilang (Sri Harto, 1993).
17
2.
Kepanggahan Data yang diperoleh dari alat pencatat bias jadi tidak panggah karena : a. Alat pernah rusak b. Alat pernah pindah lokasi
2.2.6. Analisis Hujan Titik menjadi Hujan Wilayah Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan titik (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut (Suripin, 2004). Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rerata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam atau di sekitar kawasan. Bambang Triatmodjo (2008) menerangkan bahwa ada tiga cara yang digunakan dalam menghitung hujan rerata kawasan, yaitu: 1.
Metode Rerata Aljabar Metode ini paling sederhana dibanding metode lain. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS. Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila : a. Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS dalam jumlah yang cukup. b. Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS.
2.
Metode Thiessen Metode ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua pos penakar hujan. Cara ini berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garisgaris sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung di antara dua buah pos penakar, Contoh Gambar Poligon Thiessen dapat dilihat pada Gambar 2.4.
18
Gambar 2.4 Cara Poligon Thiessen (Bambang Triatmodjo, 2008)
𝑑= =
𝐴1.𝑑1+𝐴2.𝑑2+𝐴3.𝑑3… 𝐴𝑛.𝑑𝑛 𝐴 ∑𝐴1.𝑑1 𝐴
................................................................................... (2.1)
Keterangan : A : Luas areal (km2) d : Tinggi curah hujan rata-rata areal d1, d2, d3, ... dn : Tinggi curah hujan di pos 1,2,3, ..... n A1,A2,A3, ... An : Luas daerah pengaruh pos 1,2,3, .... n 3.
Metode Isoyet Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketebalan hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut. Metode isohyet membutuhkan data yang dapat mendukung disusunnya Isohyet, baik dalam hal jumlah stasiun dan kualitas serta kuantitas data hujan. Contoh gambar dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Cara Garis Isoyet (Bambang Triatmodjo, 2008)
19
Dari ketiga cara tersebut dipilih metode Thiessen karena cara pertama dipandang terlampau kasar hasilnya. Adapun cara yang ketiga tidak didukung oleh data yang tersedia di lapangan.
2.2.7. Karakteristik DAS (Daerah Aliran Sungai) Suripin (2004), menyatakan karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan, meliputi : 1) luas dan bentuk DAS, 2) topografi, dan 3) tata guna lahan. 1.
Luas dan Bentuk DAS Laju dan volume permukaan aliran akan bertambah dengan bertambahnya luas DAS. Tetapi, apabila aliran permukaan tidak dinyatakan sebagai jumlah total dari DAS, melainkan sebagai laju dan volume persatuan luas, besarnya akan berkurang dengan bertambah luasnya DAS. Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh bentuk DAS terhadap aliran permukaan dapat ditunjukkan dengan memperhatikan hidrograf-hidrograf yang terjadi pada dua buah DAS yang bentuknya berbeda namun mempunyai luas yang sama dan intensitas hujan yang sama. Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk melebar atau melingkar.
2.
Topografi Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan saluran, dan bentuk cekungan mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan saluran dan adanya cekungan.
3.
Tata guna lahan Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan.
20
2.2.8. Analisis Frekuensi Analisis frekuensi bertujuan untuk mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap frekuensi kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas kontinyu. Ada beberapa bentuk fungsi distribusi kontinyu (teoritis) yang sering digunakan dalam analisis frekuensi untuk hidrologi yaitu, distribusi Normal, Log Normal, Gumbel, Pearson, dan log Pearson. Sebelum menganalisis data hujan dengan salah satu distribusi di atas, perlu pendekatan dengan parameter-parameter statistik untuk menentukan distribusi yang tepat digunakan. Parameter-parameter tersebut meliputi : a)
=
................................................. (2.2)
b) Simpangan baku (S)
=
........................................... (2.3)
c)
=
........................................................ (2.4)
d) Koefisien skewness (Cs) =
..................................... (2.5)
e)
Rata-rata (X)
Koefisien variasi (Cv)
Koefisien ketajaman (Ck) =
............................. (2.6)
Dengan : n
= Banyaknya data atau jumlah kejadian.
Xi = hujan maksimum harian rata-rata (mm).
a.
Distribusi Normal
Distribusi normal disebut pula distribusi Gauss. Secara sederhana, persamaan distribusi normal dapat ditulis sebagai berikut: X T = X + K T ´ S ............................................................................... (2.7)
21
dimana : XT
= Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan,
X
= Nilai rata-rata hitung variat,
S
= Deviasi standar nilai variat,
KT
= Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang. Nilai KT dapat dilihat pada tabel nilai variabel reduksi Gauss.
Tabel 2.2 Nilai variabel reduksi Gauss Periode Peluang KT Ulang 1 1,001 0,999 -3,05 2 1,005 0,995 -2,58 3 1,010 0,990 -2,33 4 1,050 0,950 -1,64 5 1,110 0,900 -1,28 6 1,250 0,800 -0,84 7 1,330 0,750 -0,67 8 1,430 0,700 -0,52 9 1,670 0,600 -0,25 10 2,000 0,500 0 11 2,500 0,400 0,25 (Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin 2004) No
No 12 2 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Periode Ulang 3,330 4,000 5,000 10,000 20,000 50,000 100,000 200,000 500,000 1000,000
Peluang
KT
0,300 0,250 0,200 0,100 0,050 0,020 0,010 0,005 0,002 0,001
0,52 0,67 0,84 1,28 1,65 2,05 2,33 2,58 2,88 3,09
b. Distribusi Log Normal Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Persamaan distribusi log normal dapat ditulis dengan: U T = U + K T ´ S ............................................................................... (2.8) dimana : YT
= Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan YT = Log X
………………………………........................... (2.9)
U
= Nilai rata-rata hitung variat,
S
= Deviasi standar nilai variat,
22
KT
= Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang. Nilai KT dapat dilihat pada tabel nilai variabel reduksi Gauss.
c.
Distribusi Log-Person III
Persamaan distribusi Log-Person III hampir sama dengan persamaan distribusi Log Normal, yaitu sama-sama mengkonversi ke dalam bentuk logaritma. U T = U + K T ´ S .............................................................................. (2.10) Dimana besarnya nilai KT tergantung dari koefisien kemencengan Cs. Tabel 2.3 memperlihatkan harga KT untuk berbagai nilai kemencengan Cs. Jikanilai Cs sama dengan nol dsitribusi kembali ke distribusi Log Normal. Tabel 2.3 Nilai KT untuk distribusi Log-Person III
23
Tabel 2.3 Nilai KT untuk distribusi Log-Person III (Lanjutan)
(Sumber: Suripin, 2004)
d. Distribusi Gumbel Bentuk dari persamaan distribusi Gumbel dapat ditulis sebagai berikut : XTr = C + K . S ............................................................................ (2.11) Besarnya faktor frekuensi dapat ditentukan dengan rumus berikut :
𝐾=
𝑌𝑇𝑟−𝑈𝑛 𝑆𝑛
............................................................................... (2.12)
dimana : XT
= Besarnya curah hujan untuk periode tahun berulang Tr tahun (mm),
T
= Periode tahun berulang (return period) (tahun),
C
= Curah hujan maksimum rata-rata selama tahun pengamatan(mm),
S
= Standard deviasi,
K
= Faktor frekuensi,
YTr
= Reduced variate,
Yn
= Reduced mean,
24
Sn
= Reduced standard.
Besarnya nilai Sn, Yn, dan YTr dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut : Tabel 2.4 Reduce Mean (Yn) N 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 0,4952 0,5236 0,5362 0,5436 0,5485 0,5521 0,5548 0,5569 0,5586 0,5600
1 0,4996 0,5252 0,5371 0,5442 0,5489 0,5524 0,5550 0,5570 0,5587 0,5602
2 0,5035 0,5268 0,5380 0,5448 0,5493 0,5527 0,5552 0,5572 0,5589 0,5603
3 0,5070 0,5283 0,5388 0,5453 0,5497 0,5530 0,5555 0,5574 0,5591 0,5604
4 0,5100 0,5296 0,5396 0,5458 0,5501 0,5533 0,5557 0,5576 0,5592 0,5606
5 0,5128 0,5309 0,5403 0,5463 0,5504 0,5535 0,5559 0,5578 0,5593 0,5607
6 0,5157 0,5320 0,5410 0,5468 0,5508 0,5538 0,5561 0,5580 0,5595 0,5608
7 0,5181 0,5332 0,5418 0,5473 0,5511 0,5540 0,5563 0,5581 0,5596 0,5609
8 0,5202 0,5343 0,5424 0,5477 0,5515 0,5543 0,5565 0,5583 0,5598 0,5610
9 0,5220 0,5353 0,5436 0,5481 0,5518 0,5545 0,5567 0,5585 0,5599 0,5611
(Sumber: Suripin, 2004) Tabel 2.5 Reduce Standard Deviation (Sn) N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 20
0,9496
0,9676
0,9833
0,9971
1,0095
1,0206
1,0316
1,0411
1,0493
1,0565
1,0628
1,0696
1,0754
1,0811
1,0864
1,0915
1,0961
1,1004
1,1047
1,1080
30
1,1124
1,1159
1,1193
1,1226
1,1255
1,1285
1,1313
1,1339
1,1363
1,1388
40
1,1413
1,1436
1,1458
1,1480
1,1499
1,1519
1,1538
1,1557
1,1574
1,1590
50
1,1607
1,1623
1,1638
1,1658
1,1667
1,1681
1,1696
1,1708
1,1721
1,1734
60
1,1747
1,1759
1,1770
1,1782
1,1793
1,1803
1,1814
1,1824
1,1834
1,1844
70
1,1854
1,1863
1,1873
1,1881
1,1890
1,1898
1,1906
1,1915
1,1923
1,1930
80
1,1938
1,1945
1,1953
1,1959
1,1967
1,1973
1,1980
1,1987
1,1994
1,2001
90
1,2007
1,2013
1,2020
1,2026
1,2032
1,2038
1,2044
1,2049
1,2055
1,2060
100
1,2065
1,2069
1,2073
1,2077
1,2081
1,2084
1,2087
1,2090
1,2093
1,2096
(Sumber: Suripin, 2004) Tabel 2.6 Reduce Variate (YTr) Periode Ulang Tr (tahun) 2 5 10 20 25 50 75
Reduced Variate YTr 0,3668 1,5004 2,2510 2,9709 3,1993 3,9028 4,3117
(Sumber: Suripin, 2004)
Periode Ulang Tr (tahun) 100 200 250 500 1000 5000 10000
Reduced Variate YTr 4,6012 5,2969 5,5206 6,2149 6,9087 8,5188 9,2121
25
Tabel 2.7 Karakteristik distribusi frekuensi Jenis distribusi frekuensi
Syarat distribusi
Distribusi Normal
Cs = 0 dan Ck = 3
Distribusi Log Normal
Cs >0 dan Ck >3
Distribusi Gumbel
Cs = 1,139 dan Ck =5,402
Distribusi Log-Person III
Cs antara 0 – 0,9
(Sumber: Soewarno, 1995)
Untuk memilih distribusi yang sesuai dengan data yang ada, perlu dilakukan uji statistik. Pengujian kesesuain distribusi yang sering dilakukan yaitu uji SmirnovKolmogorov.
e.
Uji Smirnov-Kolmogorov
Prosedur pelaksanaan untuk uji Smirnov-Kolmogorov adalah sebagai berikut : 1.
Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut. X1 = P(X1) X2 = P(X2) X3 = P(X3) dan seterusnya.
2.
Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya). X1 = P’(X1) X2 = P’(X2) X3 = P’(X3) dan seterusnya.
3.
Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antar peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D maksimum
4.
= P(Xn) – P’(Xn) ..................................................... (2.13)
Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan harga Do.
26
Tabel 2.8 Nilai kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov Derajat kepercayaan (a) 0,20 0,10 0,05 5 0,45 0,51 0,56 10 0,32 0,37 0,41 15 0,27 0,30 0,34 20 0,23 0,26 0,29 25 0,21 0,24 0,27 30 0,19 0,22 0,24 35 0,18 0,20 0,23 40 0,17 0,19 0,21 45 0,16 0,18 0,20 50 0,15 0,17 0,19 N>50 1,07 1,22 1,36 0,5 0,5 N N N 0,5 (Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin 2004) N
0,01 0,67 0,49 0,40 0,36 0,32 0,29 0,27 0,25 0,24 0,23 1,63 N 0,5
Apabila nilai Dmaksimum lebih kecil dari Do, maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Apabila Dmaksimum lebih besar dari Do, maka secara teoritis pula distribusi yang digunakan tidak dapat diterima.
2.2.9. Hujan Rencana Setelah ditentukan pola distribusi yang sesuai dengan data yang ada dan dipilih jenis distribusi probabilitas hujan yang cocok sesuai dengan hasil uji statistik, maka hujan rencana dapat dihitung menggunakan persamaan: Y T = X + K T . S y ............................................................................ (2.14) dengan : YT = hujan rencana, X
= rerata,
Sy = standar deviasi, KT = koefisien faktor frekuensi
27
2.2.10. Intensitas Hujan Dalam perhitungan Qmaks dengan menggunakan metode rasional diperlukan data intensitas hujan yaitu tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin besar dan makin tinggi periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. (Suripin, 2004). Maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus modiefed Mononobe, yaitu :
𝐼1 =
𝑅24 24 2/3 24
(𝑡)
.......................................................................... (2.15)
dimana : I
= intensitas hujan (mm/jam),
t
= lamanya curah hujan (jam),
R24
= curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm).
2.2.11. Waktu Konsentrasi Kirpich
(1940)
dalam
Suripin
(2004)
mengembangkan
rumus
dalam
memperkirakan waktu konsentrasi, dimana dalam hal ini durasi hujan diasumsikan sama dengan waktu konsentrasi. Rumus waktu konsentrasi tersebut dapat ditulis sebagai berikut: 0,87 𝑥 𝐿2
0,385
𝑡𝑐 = ( ) 1000 𝑥 𝑆
.................................................................... (2.16)
dimana : tc
= waktu konsentrasi (jam),
L
= panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (km),
S
= kemiringan rata-rata saluran
28
2.2.12. Metode Rasional Metode ini adalah untuk menentukan laju aliran permukaan puncak. Metode ini sangat simpel dan mudah penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran kecil yaitu kurang dari 300 ha (Goldman et.al, 1986 dalam Suripin, 2004), sedangkan menurut standar PU digunakan dengan DAS yang berukuran < 5000 ha (Lily Montarcih, 2010 dalam Ribur Aritonang, 2012). Persamaan Metode Rasional dapat ditulis dalam bentuk : Q = 0,2778 C . I . A ...................................................................... (2.15) dimana : Q
= laju aliran permukaan (debit) puncak (m 3/s),
I
= intensitas hujan (mm/jam),
A
= luas DAS (km2),
C
= koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1).
Dengan nilai koefisien C disajikan dalam Tabel 2.10 berikut : Tabel 2.9 Nilai Koefisien C untuk Metode Rasional. Deskripsi lahan/ karakter permukaan Business Perkotaan Pinggiran Perumahan Rumah tunggal Multiunit, terpisah Multiunit, tergabung Pekampungan Apartemen Industri Ringan Berat Perkerasan Aspal dan beton Batu-bata, paving Atap Halaman, tanah berpasir Di lanjutkan
Koefisien aliran, C 0,70 – 0,95 0,50 – 0,70 0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40 0,50 – 0,70 0,50 – 0,80 0,60 – 0,90 0,70 – 0,95 0,50 – 0,70 0,75 – 0,95
29
Lanjutan Datar, 2% Rata-rata, 2-7% Curam, 7% Halaman kereta api Taman tempat bermain Taman, pekuburan Hutan Datar, 0-5% Bergelombang, 5-10% Berbukit, 10-30% (Sumber: McGuen, 1989 dalam Suripin, 2004)
0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,25 – 0,35 0,10 – 0,35 0,20 – 0,35 0,10 – 0,25 0,10 – 0,40 0,25 – 0,50 0,30 – 0,60
Tabel 2.10 menggambarkan nilai C untuk penggunaan lahan yang seragam, di mana kondisi ini sangat jarang dijumpai untuk lahan yang relatif luas. Jika DAS terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan koefisien aliran permukaan yang berbeda, maka C yang dipakai adalah koefisien DAS yang dapat dihitung dengan persamaan berikut :
𝐶𝐷𝐴𝑆 =
∑ 𝐴𝑖 .𝐶𝑖 ∑ 𝐴𝑖
.......................................................................... (2.16)
dimana : Ai
= luas lahan dengan jenis penutup tanah i,
Ci
= koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i,
n
= jumlah jenis penutup lahan.
Metode Rasional pada awalnya hanya menghitung debit puncak tanpa memberikan informasi debit aliran dari waktu ke waktu. Pada perkembangannya debit puncak yang terjadi pada waktu ke waktu dapat digambarkan dalam grafik hidrograf rasional (Ponce, 1989 dan Wanielista 1990 dalam Sobriyah, 2012). Di bawah ini terdapat 3 jenis hidrograf Rasional berdasarkan hubungan antara waktu konsentrasi (tc) dengan durasi hujan (dh), seperti berikut :
30
1.
Hidrograf Rasional dengan tc = dh
Debit puncak (Qp) yang terjadi berada pada puncak hidrograf segitiga sebagaimana dinyatakan oleh Williams, Pogan dan Mitchi (Wanielista, 1990 dalam Sobriyah, 2012). Hidrograf segitiga ini terjadi apabila waktu konsentrasi (t c) = durasi hujan (dh). Contoh gambar hidrograf dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Hidrograf Aliran Tipikal dengan tc = dh (Sobriyah, 2012) Dari Gambar 2.6 di atas dapat dituliskan dalam bentuk : V1 = C . I . dh . A V2 = Qp1 . t c V1 = V2 dan t c = dh , sehingga persamaan debit puncak (Qp) dapat dituliskan : Qp1 = 0,2778 C . I . A ................................................................................... (2.17) 2.
Hidrograf Rasional dengan tc < dh
Untuk t c < dh maka hidrograf alirannya berbentuk trapesium (Wanielista, 1990 dalam Sobriyah, 2012). Contoh gambar hidrograf dapat dilihat pada Gambar 2.7.
31
Gambar 2.7 Hidrograf Aliran Tipikal dengan tc < dh (Sobriyah, 2012) Dari Gambar 2.7 di atas dapat dituliskan dalam bentuk : V1 = C . I . dh . A V2 = Qp2 . d h V1 = V2 , sehingga persamaan debit puncak (Qp2) dapat dituliskan : Qp2 = 0,2778 C . I . A Qp2 = Qp1 ...................................................................................................... (2.18) 3.
Hidrograf Rasional dengan tc > dh
Jika t c > dh maka hidrograf alirannya berbentuk trapesium tetapi debit puncaknya tidak sama dengan debit puncak pada kondisi yang lain (Sobriyah dan Purwanti,1998 dalam Sobriyah, 2012). Contoh gambar hidrograf dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Hidrograf Aliran Tipikal dengan tc > dh (Sobriyah, 2012)
32
Dari Gambar 2.8 di atas dapat dituliskan dalam bentuk : V1 = C . I . dh . A V2 = Qp3 . tc V1 = V2 , sehingga persamaan debit puncak (Qp2) dapat dituliskan : Qp3 = 0,2778 (dh / tc) . C . I . A Qp3 = Qp1 ...................................................................................................... (2.19)
2.2.13. Model Hidraulik Sungai Analisis hidrolika sungai digunakan untuk mengetahui kondisi profil muka air sungai dengan beberapa debit banjir rencana, debit sungai saat musim kemarau dan musim hujan serta digunakan juga untuk melakukan beberapa simulasi pada sungai supaya dapat menghasilkan permodelan untuk sarana transportasi air. Perhitungan analisis hidrolika sungai dalam penulisan ini menggunakan software Hydrologic Engineering Centre-River Analysis System (HEC-RAS) versi 4.1.0 yang dikembangkan oleh Hydrologic Engineering Center milik U.S Army Corps of Engineers. HEC-RAS adalah system perangkat lunak terpadu dirancang untuk penggunaan interaktif dalam lingkungan multi tugas. Sistem terdiri dari Graphic User Interface (GUI), komponen terpisah analisis hidrolik, penyimpanan data dan kapabilitas manajemen, fasilitas pelaporan dan grafis. Sistem HEC-RAS mempunyai 3 komponen analisa hidrolika satu dimensi untuk : 1.
Perhitungan profil permukaan air steady flow
2.
Simulasi steady flow dan unsteady flow
3.
Perhitungan transport sedimen batas yang movable.
2.2.14. Komponen Aliran dan Persamaan dalam HEC-RAS Komponen-komponen aliran dalam HEC-RAS adalah sebagai berikut ;
33
a.
Aliran Seragam (Steady flow)
Komponen pada model ini digunakan untuk menghitung profil muka air pada kondisi aliran Seragam (steady). Sistem ini dapat digunakan pada sebuah saluran, jaringan, atau sebuah jaringan besar termasuk saluran dan saluran kecil lainnya. Komponen pada steady flow dapat dimodelkan pada kondisi aliran subkritis, superkritis, dan system gabungan profil muka air. Dasar perhitungan komputer didasarkan pada solusi satu dimensi energi. Energi yang hilang disebabkan oleh gesekan (persamaan Manning) dan penyempitan dan pelebaran (koefisien tambahan dari perubahan dalam tinggi kecepatan). Persamaan Momentum bermanfaat dalam situasi dimana profil muka air mengalami perubahan tiba-tiba. Situasi ini termasuk dengan system perhitungan aliran gabungan (contoh : lompatan air) atau aliran pada jembatan dan perubahan muka air pada pertemuan saluran (arus di persimpangan). b. Aliran tidak Seragam (Unsteady flow) Komponen untuk aliran tidak langgeng dikembangkan untuk perhitungan aliran subkritis. Perhitungan hidrolik untuk cross-section, jembatan, gorong-gorong dan struktur hidrolik lainnya yang dikembangkan untuk komponen aliran langgeng digabung dengan perhitungan aliran tidak langgeng. Komponen untuk aliran tidak langgeng digunakan untuk model tampungan dan hubungan hidrolik dengan tampungan. c.
Profil muka air pada aliran steady
HEC–RAS dapat melakukan perhitungan profil muka air satu dimensi untuk aliran steady berubah lambat laun pada saluran alami dan buatan. Subkritis, superkritis dan sistem gabungan aliran profil muka air dapat dianalisis.
34
2.2.15. Persamaan Dasar dalam HEC-RAS Profil muka air dihitung dari satu potongan melintang ke potongan selanjutnya dengan menyelesaikan persamaan Energi dengan prosedur iterasi disebut metode langkah standar (standard step metode) seperti pada persamaan 2.20. ...................................................... (2.20)
dengan : Y1 , Y2 = kedalaman air di potongan melintang (m) Z1 , Z2 = elevasi invert saluran utama (m) V1 , V2 = kecepatan rata-rata (m/s) α1 , α2 = koefisien pemberat kecepatan g
= kecepatan gravitasi (m/s2)
he
= kehilangan tinggi energi
Dari persamaaan di atas dapat dilihat dalam bentuk gambar, seperti Gambar Persamaan Energi pada Gambar 2.9 di bawah ini.
Gambar 2.9 Garis Persamaan Energi (Sumber: HEC-RAS River Analysis System 2005)
Kehilangan tinggi energi (he) antara dua potongan melintang terdiri dari kehilangan gesekan dan kehilangan kontraksi atau ekspansi.
35
Persamaan untuk kehilangan tinggi energi bisa dilihat dari persamaan (2.21). ...................................................................... (2.21)
dengan : L
= panjang ruas pemberat debit (m)
Sf = mewakili kemiringan friksi antara dua bagian C
= koefisien kehilangan ekspansi atau kontraksi
Jarak panjang ruas pemberat, L, dihitung sebagai : ................................................................... (2.22)
dengan : Llob , Lch , Lrob = panjang ruang potongan melintang ditentukan untuk aliran di tebing kiri, saluran utama, dan tebing kanan (m) Qlob , Qch , Qrob
= rata-rata aritmatika aliran antara bidang-bidang untuk tebing kiri, saluran utama, dan tebing kanan (m3/s)
2.2.16. Bangunan Pengatur Tinggi Muka Air Pada setiap jaringan saluran dioperasikan sedemikian rupa sehingga muka air di saluran dapat diatur pada batas-batas tertentu oleh bangunan pengatur yang dapat bergerak. Bangunan pengatur tinggi muka air antara lain seperti pintu skot balok dan pintu sorong. (Kriteria Perencanaan Irigasi, 2010) 1.
Pintu Skot Balok Dilihat dari segi konstruksi, pintu skot balok merupakan peralatan yang sederhana. Balok - balok profil segi empat itu ditempatkan tegak lurus terhadap potongan segi empat saluran. Balok - balok tersebut disangga di dalam sponeng / alur yang lebih besar 0,03 m sampai 0,05 m dari tebal balok - balok itu sendiri. Aliran pada skot balok dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan tinggi debit berikut :
36
...................................................................
(2.23)
Dimana : Q = Debit (m3/s) Cd = Koefisien debit Cv = Koefisien kecepatan datang g = Percepatan gravitasi (m/s2) b = Lebar normal (m) h1 = Kedalaman air di atas skot balok (m)
2.
Pintu Sorong Pintu sorong atau biasa disebut pintu air adalah suatu alat untuk mengontrol aliran pada saluran terbuka. Pintu menahan air di bagian hulu dan mengizinkan aliran ke arah hilir melalui bawah pintu dengan kecepatan tinggi. Aliran pada pintu sorong dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan tinggi debit berikut :
................................................................... (2.24)
Dimana : Q = Debit (m3/s) K = Faktor aliran tenggelam Cv = Koefisien debit a = Bukaan pintu (m) b = Lebar pintu (m) h1 = Kedalaman air di depan pintu di atas ambang (m) g = Percepatan gravitasi (m/s2)