Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pernikahan dan Keluarga 2.1.1 Definisi pernikahan dan keluarga. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, didalam bab 1 pasal 1 dinyatakan definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Olson dan DeFrain (2006) mendefinisikan pernikahan adalah komitmen yang terkait dengan emosi dan hukum dari dua orang untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, bermacam-macam tugas, dan sumber ekonomi. Strong, DeVault, dan Cohen (2008) mendefinisikan pernikahan sebagai pengakuan secara hukum penyatuan antara dua orang, umumnya laki-laki dan perempuan, yang mana mereka bersatu secara seksual, bergabung dalam keuangan, dan mungkin melahirkan, mengadopsi, atau membesarkan anak. Keluarga menurut Winch (dalam DeGenova, 2008) adalah sekumpulan orang yang terkait satu sama lain melalui hubungan darah, pernikahan, atau adopsi yang tinggal bersama dan merupakan penganti fungsi dasar bermasyarakat. Dari definisi pernikahan dan keluarga di atas, dapat digambarkan bahwa pernikahan jika dikaitkan dengan keluarga berarti sebuah proses yang mengikat dua orang yang lazimnya adalah pria dan wanita secara hukum dan agama sehingga ikatan tersebut membuat mereka disebut sekumpulan yang tinggal bersama dan yang berguna untuk memerankan fungsi dasar bermasyarakat dengan cara melebur secara emosional, fisik, keuangan, seksual dan pengasuhan.
2.1.2 Bentuk keluarga. Terkait dengan tempat tinggal maka ada tiga cara keluarga membangun tempat tinggalnya (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006): 1. Neolocal-tinggal dirumah sendiri. Neolocal menjelaskan situasi dimana pasangan baru menikah membangun tempat tinggalnya sendiri. 2. Patrilocal-tinggal dengan keluarga suami. Pola ini yang paling sering digunakan diseluruh dunia. Jenis ini mengartikan situasi dimana pasangan baru menikah tinggal dirumah keluarga suami. 3. Matrilocal-tinggal dengan keluarga istri. Pola ini yang jarang digunakan. Jenis ini mengartikan situasi dimana pasangan baru menikah tinggal dirumah keluarga istri. 2.1.3 Tahapan keluarga. Carter dan McGoldrick (dalam Santrock, 2008) mengambarkan siklus kehidupan bagi keluarga, yaitu: 1. Meninggalkan rumah dan menjadi dewasa muda yang lajang Tahap awal ini termasuk meluncurkan seorang remaja yang baru saja menjadi dewasa muda keluar dari keluarga asalnya. Perpisahan ini tidak mengartikan memutusakan ikatan dan emosional. Pelepasan dewasa muda ini juga merupakan waktu dimana memikirkan tujuan hidup, mengembangkan identitas, dan menjadi lebih mandiri sebelum menerima orang lain masuk dalam kehidupannya dan memiliki keluarga sendiri. 2. Bergabung dalam keluarga yang baru Pernikahan merupakan penyatuan dua sistem keluarga, sehingga muncul sistem keluarga ketiga berikutnya. Tahapan ini termasuk mengatur ulang teman dan kerabat. Penyatuan berbagai hal (peran gender, perbedaan budaya, dan jarak antar
pasangan) yang dibawa atau yang diperoleh saat menikah oleh masing-masing pasangan terkadang bisa menjadi beban bagi pasangan untuk mengartikan hubungan tersebut bagi diri mereka sendiri. 3. Menjadi orang tua dan keluarga dengan kehadiran anak Tahapan ini menjadikan seseorang berpindah generasi menjadi pengasuh anak yang paling awal. Masuk tahap yang paling panjang ini membutuhkan komitmen sebagai orang tua, pemahaman tentang peran orang tua, dan bersedia menyesuaikan dengan perkembangan anak. Dalam tahap ini pasangan akan mengalami banyak permasalahan tentang tanggung jawab sebagai orang tua. 4. Keluarga dengan anak remaja Remaja adalah masa dimana seseorang ingin menjadi mandiri dan mencari pengembangan jati diri. Proses ini berlangsung lama setidaknya 10 sampai 15 tahun. Pendekatan paling baik dalam mengatasi masa remaja ini adalah fleksibel dengan cara menyesuaikan dengan keadaan anak. Terkadang anak butuh untuk ditekan dan disisi lain dibebaskan. 5. Keluarga di masa pertengahan Pada tahap ini maka pasangan harus melepas anaknya, untuk masuk dalam generasi baru, dan menyesuaikan dengan perubahan. Dengan melepaskan anak yang sudah dewasa dapat membuat kehidupan masa pertengahan lebih bebas untuk melakukan berbagai aktifitas lainnya. 6. Keluarga di masa terakhir Pensiun mengubah gaya hidup keluarga, sehingga pada tahap ini diperlukan adaptasi. Ciri dari tahapan ini salah satunya adalah pasangan akan masuk ketahapan menjadi kakek-nenek.
2.1.4 Tahap awal pernikahan. Ted Huston dan Heidi Melz (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyatakan bahwa awal pernikahan diisi dengan kasih sayang, sehingga sedikit menimbulkan
konflik.
Pada
satu
tahun
pertama,
pasangan
sudah
dapat
menunjukkan kasih sayangnya lebih dalam yaitu terutama terkait dengan seksual. Frekuensi dan intensitas terjadinya konflik juga berkurang, karena ketika pertengkaran terjadi maka pasangan diawal pernikahan ini akan menunjukkan kasih sayangnya, sehingga muncul adanya rasa bersalah. 2.1.4.1 Menetapkan peranan dan tugas sebagai suami-istri. Penetapan peran ini biasanya diharapkan berdasarkan peran gender dan pengalaman. Weitzman (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) mengungkap ada empat asumsi tradisional mengenai tanggung jawab suami-istri: suami adalah kepala rumah tangga, suami bertanggung jawab mendukung keluarga, istri bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah tangga, dan istri bertanggung jawab untuk mengurus anak. Namun, asumsi tradisional ini tidak selalu digambarkan dalam realitas pernikahan. Pasangan awal memulai dengan sejumlah tugas untuk suami-istri agar pernikahannya terbangun dan sukses. Tugas untuk penyesuaian yang terutama termasuk: • Menetapkan peranan suami-istri dalam pernikahan dan keluarga • Menyediakan dukungan emosional bagi pasangan • Menyesuaikan kebiasaan pribadi • Negosiasi peran gender • Menetapkan prioritas keluarga dan pekerjaan
• Mengembangkan kemampuan berkomunikasi • Mengelolah anggaran belanja dan finansial • Menetapkan hubungan dengan sanak-saudara • Berpartisipasi dalam komunitas besar Whitebourne dan Ebmeyer (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) memaparkan bahwa pernikahan memiliki bentuk yang berbeda dalam membagi, menyelesaikan, dan memisahkan tugas. Oleh karena itu pasangan dalam pernikahan akan merasakan kesulitan lebih dari yang mereka pikirkan sebelumnya. Namun, ketika tugas-tugas ini dikerjakan dengan cinta dan kebersamaan, maka akan mengembangkan, memperkaya dan makin mengikat pernikahan tersebut. Dalam melakukan tugas tersebut, pasangan suami-istri memulainya dengan perundingan akan identitas yang akan dibawa dalam kehidupan rumah tangga. Menurut Blumstein (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) perundingan tentang identitas adalah proses interaksi untuk penyesuaian peran. Cara melakukan perundingan identitas dibagi menjadi tiga tahap (Strong, DeVault, & Cohen, 2008), yaitu: masing-masing pasangan mengidentifikasi peranan yang dilakukannya, masing-masing pasangan harus memperlakukan yang lain sesuai dengan peranannya, dan pasangan harus saling membicarakan untuk perubahan peranan. 2.1.4.2 Keadaan dan tekanan sosial. Bradbury dan Karney (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyatakan bahwa kesuksesan pernikahan secara garis besar dipengaruhi oleh hal-hal yang dari luar dan yang ada di sekeliling pasangan menikah tersebut. Keadaan-keadaan yang berpengaruh seperti pekerjaan, pengasuhan, kesehatan, teman, keuangan, sanaksaudara, dan pengalaman pekerjaan dapat mempengaruhi kualitas hubungan
pernikahan. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas pernikahan membutuhkan juga untuk memperbaiki dan mengurus keadaan yang ada. 2.1.4.3 Perubahan Individu. Strong, DeVault, & Cohen (2008) memaparkan bahwa dalam usai 30an maka situasi dalam pernikahan akan berubah. Anak sudah mulai sekolah sehingga orang tua bisa sedikit lebih fokus pada karirnya. Wanita biasanya kembali bekerja dan mendapatkan kembali kekuasaannya dalam pernikahan. Laki-laki sudah mendapatkan posisi yang mapan dalam pekerjaannya. Mungkin pengalamannya tentang pekerjaan yang terdahulu terkadang membuatnya tertekan, namun kekecewaan tersebut dapat diatasi dengan kepuasan dan pemenuhan emosi dari keluarga. Seperti yang dijelaskan pada pasangan muda dengan usai 20-40 tahun yang umumnya berada pada tahapan awal pernikahan, maka banyak hal yang tidak diduga akan terjadi sebelumnya oleh pasangan. Pembagian tugas dan tanggung jawab, identitas, perubahan dan tekanan sosial, dan perubahan individu membuat banyak perubahan kehidupan awal pernikahan (Strong, DeVault, & Cohen, 2008). Hal utama yang mempengaruhi hubungan pernikahan dan juga merupakan hasil dari faktor-faktor tersebut adalah tuntutan bagi wanita untuk bekerja. 2.2 Kepuasan Pernikahan 2.2.1 Definisi kepuasan pernikahan. Kepuasan pernikahan menurut Bradbury, Fincham, dan Beach (dalam Minnotte, Mannon, Stevens, & Kiger, 2008) merupakan pusat kesejahteraan bagi individu dan keluarga, serta dapat mempengaruhi tingkat perceraian. Schoen, Astone, Rothert, Standish, dan Kim (2002) mendefiniskan kepuasan pernikahan sebagai penilaian keseluruhan pada keadaan pernikahan dan refleksi untuk
kebahagiaan dan fungsi perkawinan. Sedangkan dari prespektif revolusioner, Shackelford dan Buse (dalam Zainah, Nasir, Hashim, & Yusof, 2012) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan dapat dilihat dari sisi keadaan pengaturan mekanisme psikologis yang membantu melihat manfaat atau kerugian pernikahan pada orang tertentu. 2.2.2 Aspek-aspek kepuasan pernikahan. Dalam pengukuran PREPARE/ENRICH customized version digambarkan aspek-aspek yang terkait dengan kepuasan perkawinan (Olson, Larson, & Olson, 2009): 1. Komunikasi adalah kepercayaan, perasaan, dan sikap tentang hubungan komunikasi dengan pasangannya. Fokusnya pada perasaan nyaman satu dengan yang lain untuk mampu membagikan emosi dan pendapat penting, persepsinya pada kemampuan pasangan mendengarkan dan merbicara dan persepsi pada kemampuan sendiri untuk berkomunikasi dengan pasangan. 2. Penyelesaian konflik adalah kepercayaan, perasaan, dan sikap tentang keadaan dan pemecahan masalah dalam hubungan. Fokusnya pada keterbukaan pasangan dalam mengakui dan menyelesaikan isu-isu, strategi dan proses untuk mengakhiri perdebatan, dan tingkat kepuasan terhadap cara penyelesaian masalah. 3. Gaya dan kebiasaan pasangan adalah persepsi dan kepuasan dengan kebiasaan pribadi dan sifat perilaku pasangan. Fokus pada sifat, suasana hati, dan sikap keras kepala, serta bagi melihat secara keseluruhan/umum, keteguhan, dan kecenderungan diharapkan untuk dikendalikan. 4. Keluarga dan teman adalah perasaan dan perhatian tentang hubungan dengan rekan, sanak-saudara, dan teman. Fokus pada sikap keluarga dan
teman terhadap pernikahan, harapan terkait jumlah waktu yang dihabiskan bersama keluarga dan teman, perasaan nyaman dengan keberadaan teman dan keluarga pasangan, dan persepsi untuk situasi yang dihasilkan karena konflik atau kepuasan. 5. Pengelolahan finansial adalah sikap dan perhatian mengenai cara mengelolah isu-isu ekonomi dalam hubungan dengan pasangan. Fokus pada apakah individu cenderung menyimpan atau menghabiskan uang, kesadaran dan perhatian tentang isu-isu kredit dan hutang, pehatian dengan bagaimana keputusan finansial untuk pembelian dibuat, perjanjian terkait berbagai hal finansial, pengelolahan keuangan, dan kepuasan dengan status ekonomi. 6. Aktifitas waktu luang adalah mengevaluasi pilihan pribadi dalam pengunaan waktu luang. Fokus pada aktifitas sosial dibandingkan dengan pribadi, aktifitas aktif dibandingkan dengan pasif, pilihan atau harapan yang saling berbagi dibandingkan dengan pribadi, serta apakah waktu luang harus dihabiskan bersama atau seimbang antara aktifitas bersama dan terpisah. 7. Harapan berhubungan seksual adalah perasaan dan perhatian mengenai kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangan. Fokus pada kepuasan
mengekspresikan
kasih
sayang,
tingkat
kenyamanan
mendiskusikan isu-isu seksual, sikap terhadap perilaku seksual, keputusan pengendalian angka kelahiran/rencana keluarga, dan perasaan tentang kesetiaan berhubungan seksual. 8. Kepercayaan spiritual adalah sikap, perasaan, dan perhatian tentang arti dari kepercayaan religius dan praktek dalam keadaan hubungan dengan pasangan. Fokus pada arti dan pentingnya agama, termasuk aktifitas di
tempat ibadah, dan peranan kepercayaan religius yang diharapkan dimiliki dalam pernikahan. 9. Harapan pada pernikahan adalah harapan individual mengenai cinta, komitmen, dan konflik dalam hubungan. Fokus pada tingkatan harapan tentang pernikahan adalah realistis dan didasarkan pada gagasan objektif. 10. Peran dan tanggung jawab adalah kepercayaan, sikap, dan perasaan individu tentang peran dan tanggung jawab pernikahan dan keluarga. Fokus pada kepuasan dengan bagaimana tugas rumah tangga dan pengambilan keputusan dibagi. 11. Memaafkan adalah persepsi pasangan untuk kemampuannya memaafkan yang lain setelah konflik, penghianatan, atau dilukai. Melihat bagaimana pasangan meminta dan memberi maaf dalam hubungan. Bertanggung jawab, meminta maaf, membangun kembali kepercayaan, dan bergerak maju adalah hal yang paling penting. Menurut Thomas, Albrecht, dan White (dalam Sadarjoen 2004) dijabarkan aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan: 1. Emosi, merupakan perasaan aman bersama yang dirasakan karena adanya kasih sayang diantara pasangan. 2. Intelektual, kesamaan dalam kemampuan kognitif sehingga permasalahan dalam
rumah
tangga
ataupun
kerja
yang
dimiliki
bersama
dapat
didisukusikan dengan menyenangkan. 3. Seksual, adanya ketertarikan seskual yang terjaga dan menghasilkan kehidupan seksual yang memuaskan. 4. Rekerasi, perasaan yang nyaman melalui hari-hari bersama dengan aktifitas yang menyenangkan.
5. Finansial, keterbukaan dalam mengurus dan mengelolah penghasilan keluarga secara bersama-sama. 6. Spiritual, tingkat kepatuhan bersama pada Tuhan, saling menghormati, dan kesungguhan menjalankan ritual. 7. Keintiman sosial, merasakan kenyamanan atas pergaulan dari pasangan kita. Sedangkan menurut Rumondor, Paramita, Geni, dan Francis (2012) dalam membangun Alat Ukur Kepuasan Pernikahan Masyarakat Urban menjelaskan ada sembilan aspek kepuasan pernikahan: 1. Komunikasi Komunikasi yang khas dan memuaskan karena, satu dengan yang lain saling memahami maksud masing-masing pasangannya. Baik dalam hal pekerjaan atau pendidikan yang dijalani oleh pasangannya. 2. Keseimbangan pembagian peran Peranan yang seimbang diantara pasangan. 3. Kesepakatan Diskusi yang setara diantara pasangan dan diantarannya yang lebih mamahami
situasi
dapat
mengambil
keputusan
sehingga
mencapai
kesepakatan bersama. 4. Keterbukaan Bersedia mengungkapkan informasi tentang diri, pikiran, dan perasaan secara terbuka terhadap pasangan, termasuk didalamnya perencanaan keuangan dan gaji.
5. Keintiman Waktu dihabiskan dengan pasangan untuk melakukan aktifitas bersamasama, tanpa ada kehadiaran dari pihak yang lain. 6. Keintiman sosial dalam relasi Perasaan
nyaman
sebagai
pasangan
untuk
secara
bersama-sama
melakukan kegiatan yang terkait dengan lingkup sosial, seperti: menghadiri acara keluarga atau membantu kerabat/teman yang perlu bantuan. 7. Seksualitas Secara bebas pasangan menentukan aktifitas seksualnya, baik dari tempat dan waktu, untuk memenuhi kebutuhan seksual dan timbul juga kesetiaan dalam berhubungan seksual dengan pasangan. 8. Finansial Pemenuhan kebutuhan finansial keluarga baik dari jumlah dan pembagian akan tanggung jawab finansial dengan pasangan. 9. Spriritualitas Pemenuhan kebutuhan spiritualitas tercukupi selama ada dalam ikatan pernikahan dengan pasangan. 2.2.3 Kepuasan pada tahap awal pernikahan. 2.2.3.1 Tahap permulaan. Di awal pernikahan kebanyakan pasangan mengalami kejutan karena menurut Sarnoff dan Sarnoff (dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006) mereka tidak lagi bertanggungjawab atas hidupnya sendiri namun harus saling terkait, bertanggungjawab, dan mengidentifikasikan diri dengan yang lain. Namun menurut Glenn; Vaillant dan Vaillant; Benin (dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006) bahwa pasangan ini masih merasakan kepuasan yang sangat tinggi. Menurut
Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006) ada perubahan yang terjadi 2-3 tahun sebelum kehadiran seorang anak: 1. Perundingan identitas mengartikan bahwa dalam pernikahan pasangan diharuskan menyesuaikan harapan yang ideal diantara satu dengan yang lain. (Blumstein dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006) 2. Hilangnya kemandirian bahwa terkadang membuat pasangan menjadi sangat frustasi karena tanggung jawab dan kekangan yang ada dalam pernikahan. Namun, meskipun keseluruhannya tidak setara, pasangan muda selalu menganggap kehidupan pernikahannya memiliki persamaan (KnudsonMartin & Mahoney dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006) 3. Teman dan keluarga baru merupakan hal yang ditemukan ketika memutuskan untuk menikah karena kita juga diharuskan mengenal keluarga dan teman pasangan kita. Hal ini bisa menjadi beban karena seorang istri tidak lagi bisa bertemu dengan sahabat-sahabatnya lagi, tetapi harus hadir dalam upacara dan bersama dengan sanak keluarga. 4. Karir dan peranan ibu rumah tangga salah salah satu penyebab konflik dalam kehidupan pertama pernikahan pasangan, karena harapan dari masing-masing individu atas perananya. Secara tradisional suami bekerja dan istri mengurus rumah tangga, Namun sekarang banyak istri yang bekerja (Fustenberg dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa kepuasan pernikahan akan berkurang dari waktu ke waktu. Melalui penelitian yang panjang pada pasangan yang baru menikah, Lawrence Kurdek (dalam Olson & DeFrain, 2006) menemukan bahwa diawal 4 tahun pertama, suami dan istri mengalami penurunan kepuasan
dalam angka yang mirip. Kepuasan pernikahan ini turun terutama karena deperesi yang dialami terutama oleh wanita akibat pembagian peran yang tidak seimbang. 2.3 Waktu luang bersama keluarga dan fungsi keluarga Waktu luang adalah waktu yang tidak digunakan untuk bekerja dan secara bebas mengikutsertakan pilihan kegiatan yang memuaskan (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006). Gordon,dkk (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) mendefinisikan waktu luang sebagai kegiatan yang dipilih dengan kebebasan, yang termasuk didalamnya bersantai, bersenang-senang, pencarian kreatifitas, dan kepentingan untuk menyampaikan nafsu. Hawks; Holman dan Epperson; Orthner dan Mancini (dalam Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012) menghasilkan penelitian yang konsisten bahwa terdapat hubungan positif pada waktu luang bersama keluarga dan variabel-variabel fungsi keluarga dalam beberapa tahun. Olson (dalam Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah keseimbangan antara kesatuan atau kedekatan keluarga dan penyesuaian keluarga dalam menghadapi tantangan dan perubahan di lingkungan. Orthner dan Mancini (dalam Dodd, Zabriskie, Widner, & Egget, 2009) mendefinisikan fungsi keluarga sebagai penilaian dan interpretasi melalui perspektif teoritis sistem keluarga. Teori sistem keluarga sendiri berfokus pada kedinamisan keluarga yang termasuk didalamnya kekuasaan, hubungan, struktur, batasan, pola dan peran komunikasi (Rothbaum, Rosen, Ujiie, & Uchida dalam Dodd, Zabriskie, Widner, & Egget, 2009). Core and Balance Model of Family Leisure Functioning mengindikasikan terdapat dua kategori dasar atau pola waktu luang bersama keluarga, yaitu: core and balance. Model ini menunjukkan tentang bagimana keluarga bersatu untuk menemukan kebutuhan untuk stabilitas dan perubahan, dan memfasilitasi fungsi
keluarga. Waktu luang jenis core adalah yang bersifat umum, setiap hari, murah, mudah diakses, merupakan aktifitas rumah tangga yang sering dilakukan. Kegiatankegiatan yang dilakukan dalam jenis ini bersifat konsisten, tidak berbahaya dan selalu bersifat positif dimana hubungan keluarga dapat dicapai dan kedekatan dalam keluarga dapat meningkat. Aktifitas yang termasuk dalam jenis core adalah makan malam keluarga, menonton televisi/video di rumah, permainan, dan aktifitas di taman (Zabriskie & McCormick dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012). Waktu luang jenis balance meliputi aktifitas yang di luar dari keseharian dan jenisnya bukan bersifat pekerjaan rumah serta memberikan elemen yang baru. Kegiatan ini cenderung keluar dari kebiasaan sehari-hari dan bersifat tidak dapat diprediksi atau baru, serta mengharuskan anggota keluarga bernegosiasi dan beradaptasi dengan pengalaman dan hal baru. Selain itu merupakan kegiatan yang keluar dari kehidupan sehari-hari, sehingga memerlukan tambahan waktu, usaha atau biaya yang lebih. Aktifitas yang termasuk di dalam waktu luang jenis balance adalah acara komunitas, aktifitas di luar rumah, aktifitas berhubungan dengan air, aktifitas menantang, dan pariwisata/bepergian (Zabriskie & McCormick dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012). Waktu luang jenis core cenderung memfasilitasi kedekatan perasaan, keterikatan personal, identitas keluarga dan keterikatan antar keluarga. Jenis waktu luang
balance
menyediakan
kebutuhan-kebutuhan
yang
menantang,
mengembangkan, menyesuaikan, meningkatkan keluarga dan mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan tantangan dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Jadi, waktu luang jenis core terkait erat dengan kesatuan keluarga dan jenis balance
terkait erat dengan penyesuaian keluarga (Zabriskie & McCormick dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012). Model core dan balance merupakan kerangka yang dapat menyediakan pengetahuan untuk memahami hubungan antara jenis waktu luang pasangan dan kepuasan pernikahan (Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006). Model core dan balance mengusulkan pada keluarga untuk secara teratur berpartisipasi pada dua jenis aktifitas waktu luang tersebut yang membuat fungsi keluarga menjadi lebih baik dan memiliki kepuasan keluarga yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak berpartisipasi dalam sejumlah besar atau kecil salah satu dari kedua kategori tersebut (Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006). 2.4 Inisiasi berhubungan seksual Inisiasi berhubungan seksual dapat didefinisikan sebagai langkah awal yang diambil oleh pasangan untuk menyampaikan perhatian atau gairah untuk aktifitas seksual secara verbal atau non-verbal, meskipun pada akhirnya nanti bisa diakhiri dengan kegiatan seksual ataupun tidak (Gossmann, Mathieu, Julien, & Chartrand, 2003). Olson dan DeFrain (2006) memaparkan hasil bahwa 50% suami memulai untuk melakukan hubungan seksual, namun hanya 12% istri yang memulai melakukan hubungan seksual. Hal ini diperkuat oleh pernyataan O’Sullivan dan Byers (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) bahwa pola peran gender secara tradisional mengharapkan laki-laki yang memiliki inisiatif untuk berhubungan seksual, seperti mencium, petting, atau intercourse. Sesuai dengan pola peran gender tersebut, Cupach dan Metts (dalam Hill, 2008) memaparkan bahwa secara tradisional laki-laki yang memberikan inisiatif dan wanita yang berhak menolak atau menerima, namun dalam kenyataanya wanita juga
mempunyai inisiatif dalam melakukan hubungan seksual. Inisiatif yang dilakukan pasangan bisa langsung dan tidak langsung, tetapi jarang yang melakukan inisiatif langsung untuk menghindari muncul rasa takut akan penolakan dan rasa malu. Kebanyakan dilakukan secara tidak langsung seperti: berdekatan secara fisik dengan pasangan, mencium, memeluk, memegang daerah tubuh pasangan yang tidak secara langsung terkait dengan seksual, memainkan musik, dan menyediakan minuman. Gossmann, Mathieu, Julien, dan Chartrand (2003) dalam membangun SIS (Sexual Initiation Scale) membagi inisiasi seksual dalam dua subskala utama yaitu: verbal atau non-verbal dan langsung atau tidak langsung. 2.5 Pasangan Bekerja 2.5.1 Wanita bekerja. Glass
(dalam
DeGenova,
2008)
menyatakan
dari
penelitiannya
menghasilkan ada perbedaan antara wanita yang bekerja di luar rumah dengan yang tidak. Wanita yang tidak bekerja di luar rumah akan fokus pada pekerjaan rumah tangga dan kehidupan seksualnya. Wanita yang bekerja separoh waktu maka memiliki anak lebih banyak dan tinggal dalam rumah tangga yang pemasukannya rendah. Wanita yang bekerja waktu penuh akan memiliki pendidikan yang lebih tinggi, memiliki sedikit anak, dan pemasukannya paling besar diantara yang lainnya. DeGenova (2008) menyatakan alasan ibu untuk bekerja bisa disebabkan karena masalah ekonomi maupun tidak. Alasan utama adalah kebutuhan finansial sehingga menyebabkan kedua pasangan harus bekerja. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah inflansi, tingginya biaya hidup, dan keinginan untuk hidup lebih baik. Alasan yang bersifat non-ekonomi adalah pemenuhan pribadi, sehingga alasan ini muncul sebagai motif utama dari dalam diri.
Kecenderungan wanita bekerja membuat mereka merasa terbebani, karena diharuskan bekerja dan mengurusi pekerjaan rumah tangga. Bagi pasangannya yaitu suami, hal ini bukan hal yang berpengaruh pada pekerjaan rumah suami. Namun, menurut Scanzoni (dalam DeGenova, 2008) wanita akan mencapai kepuasannya ketika suami mau berbagi pekerjaan rumah tangga dengannya secara adil. Terdapat pula beberapa hambatan yang dialami oleh wanita dalam perkembangan pekerjaanya (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006): 1. The Glass Celling. Kendala yang tidak terlihat terkait dengan prasangka, sehingga kesulitan pihak minoritas dan perempuan untuk naik tingkat dalam pekerjaannya. 2.
The mommy track. Hochschild (dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006) menyatakan bahwa hal ini dapat membuat wanita menjadi fleksibel namun membuat mereka terpaksa melepaskan ambisi dan cita-citanya. Tantangan ini mengharuskan wanita membagi pekerjaanya dalam dua wilayah yaitu pekerjaan dan keluarga. 2.5.2 Pernikahan dual-earner. Perubahan ekonomi menyebabkan kenaikan angka pernikahan dual-earn
(pendapatan ganda). Pekerjaan wanita masih berada di tingkat bawah, sehingga pemenuhan secara pribadi yang dikorbankan tidak setara dengan pemasukan yang diperoleh untuk diberikan pada keluarga. Namun, mereka merasa bahwa keluarga merupakan hal yang lebih penting. Dual-earn berarti istri-suami memiliki orientasi pada pencapaian, menekankan pada kesamaan, dan keinginan yang kuat untuk menggunakan kemampuannya. Namun, sayangnya pasangan ini kesulitan untuk mencapai kesuksesan diantara keduanya yaitu antara pekerjaan dan keluarga (Strong, DeVault, & Cohen, 2008).
Blair; Pina dan Bengston; Suitor (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan hanya diperoleh ketika ada ikatan yang adil dalam pembagian tugas rumah tangga. Hochschild; Perry-Jenkins dan Folk; Suitor (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyarankan untuk pasangan yang keduanya bekerja, seharusnya membagi pekerjaan rumah tangga secara adil sehingga memperoleh kesuksesan. Meskipun keikutsertaan ayah dalam merawat anak memang bertambah, namun pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan oleh istri lebih mengarah pada pekerjaan yang tidak menyenangkan (seperti: mencuci, mengepel, menggosok, dan memasak). Hal ini membuat pembagian kerja dalam mengurus rumah tangga belum seimbang. Maka, yang utama perlu diperhatikan bahwa pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak adalah dua hal yang berbeda (Strong, DeVault, & Cohen, 2008). 2.6 Dewasa Muda Papalia, Olds, dan Feldman (2007) dalam menjelaskan perkembangan psikososisal dewasa muda (20-40 tahun) memaparkan tahap ke-enam dari delapan tahap perkembangan psikososial milik Erick Erikson. Pada tahapan ini, dewasa muda mengalami intimacy versus isolation. Dewasa muda yang pada tahap sebelumnya yaitu remaja, tidak memiliki komitmen, maka akan mengalami perasaan terasing, sedangkan yang menemukan identitasnya akan lebih muda menyatukan identitasnya dengan orang lain. Pada tahap ini dewasa muda diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keintiman, persaingan, dan jarak dengan orang lain. Intimasi yaitu pengorbanan dan persetujuan bersama. Dewasa muda yang dapat menyelesaikan tahapan ini akan mendapatkan “virtue”: cinta dalam hal kesetiaan diantara pasangan yang memilih tinggal bersama, memiliki anak, dan menjaga perkembangan anak.
2.7 Dinamika Teoritis 2.7.1 Waktu luang bersama keluarga dan kepuasan pernikahan. Agate, Zabriskie, Agate, dan Poff (2009) menyatakan bahwa waktu luang bersama keluarga dapat memberikan kesempatan bagi keluarga untuk terikat satu sama lain, menyelesaikan masalah dan memperkuat hubungan. Shaw dan Dawson (dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) menyatakan bahwa waktu luang bersama keluarga dapat meningkatkan hubungan dalam keluarga. Hawkes; Holman dan Epperson (dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) menyatakan bahwa lebih dari 70 tahun para peneliti mengidentifikaskan dan menemukan adanya hubungan yang positif antara waktu luang bersama keluarga dengan dampak positifnya bagi keluarga. Selanjutnya, jika dilihat lebih spesifik pada aktivitasnya, Well, dkk (dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) menemukan bahwa rekreasi sebagai salah satu cara meluangkan waktu bersama keluarga dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam kemampuannya mengerjakan tugas dan bekerja sama dalam grup, menyelesaikan konflik dan memecahkan masalah bersama. Huff, dkk (dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa orang tua dan remaja yang berpartisipasi dalam outdoor recreation bersama dapat meningkatkan interaksi, kepercayaan, dukungan, komunikasi, kasih sayang dan sikap baik. Sejalan dengan pernyataan di atas, maka Zabriskie dan McCormick (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa waktu luang bersama keluarga terkait erat dengan kepuasan dalam rumah tangga. Holman; Holman dan Jacquart; Miller; Orthner; Smith, Snyder, dan Monsma (dalam Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006) menyatakan bahwa secara konsisten penelitian menghasilkan bahwa suami-istri yang berbagi waktu luang bersama akan lebih puas dengan pernikahannya
dibanding yang tidak. Baldwin,dll (dalam Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006) menyatakan bahwa bahkan ketika pasangan tidak memiliki komitmen yang sama pada suatu aktivitas, dorongan yang muncul dari pasangan dapat membantu menguatkan peranan pasangan lain dan menghasilkan kepuasan pernikahan. Dorongan ini bisa ditunjukkan dalam berbagai cara, seperti berbincang-bincang tentang partisipasi apa yang dilakukan pasangan, mengatur waktu, atau memberi peralatan yang terkait dengan aktivitas. 2.7.2 Inisiasi berhubungan seksual dan kepuasan pernikahan. Untuk dapat melakukan hubungan seksual yang terus berlanjut maka, Harvey,
Wenzel,
dan
Sprecher
(2004)
menyarankan
pasangan
harus
mengkomunikasikan apa yang disukai dan kurang disukai terkait dengan hubungan seksual kepada pasangannya. Komunikasi tersebut dapat disampaikan dengan cara pasangan menunjukkan inisiasi berhubungan seksualnya. Byers dan Heinlein (dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher, 2004) menyatakan bahwa kepuasan seksual yang tinggi akan diperoleh ketika penerimaan terhadap inisiasi juga tinggi dan diikuti peningkatan kepuasan pernikahan. Sebaliknya, ketika penolakan akan inisiasi tinggi maka akan mengurangi kepuasan seksual dan pada akhirnya juga merendahkan kepuasan pernikahan. Oleh karena itu ketiga hal ini sebenarnya saling mempengaruhi. Ketika pasangan merasa puas akan hubungan seksual dan pernikahannya maka akan lebih tinggi dalam penerimaan inisiasi berhubungan seksual, dan begitu juga sebaliknya ketika pasangan tidak puas dengan pernikahan dan seksualnya maka akan cenderung tinggi dalam penolakan inisiasi berhubungan seksual. Gossmann, Mathieu, Julien, dan Chartrand (2003) menyatakan bahwa banyak literatur yang menyatakan inisiasi hubungan seksual selain merupakan
kualitas, juga menyangkut kuantitas dalam kegiatan seksual. Meskipun dalam definisinya, inisasi hubungan seksual sebenarnya dinyatakan sebagai langkah awal yang diambil oleh pasangan untuk menyampaikan perhatian atau gairah untuk aktifitas seksual secara verbal atau non-verbal, yang pada akhirnya nanti bisa diakhiri dengan kegiatan seksual ataupun tidak. Mengarah pada kuantitas berhubungan seksual, maka Olson dan DeFrain (2006) menyatakan frekuensi berhubungan seksual berpengaruh pada kepuasan pernikahan. Sebaliknya, ketika pernikahan puas maka frekuensi berhubungan seksual juga meningkat. Sprecher dan Cate (dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher, 2004) menyatakan hal yang serupa bahwa frekuensi seksual berhubungan dengan keseluruhan kepuasan dalam hubungan pernikahan. National Survey of Families and Households (dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher, 2004) menyatakan bahwa ada variabel yang lain terkait
frekuensi berhubungan seksual terhadap kepuasan
pernikahan yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, dan kehadiaran anak.