7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Dalam terminologi bahasa Arab perkawinan adalah nikah, yang secara bahasa kata ‗nikah‘ bermakna ―himpunan atau kesatuan‖ dapat pula bermakna ―berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya‖. Adapun kata perkawinan menurut kamus bahasa Indonesia adalah ―perjanjian yang diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian dengan akad yang disaksikan beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan‖. Hal ini senada dengan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Yang dimaksud dengan ―arti‖ Perkawinan adalah: ―Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri‖, sedangkan ―tujuan‖ Perkawinan adalah: ―membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖.2
1
Siska Lis Sulistiani, 2015, Keududukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.9 2 K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.14
8
Dengan ―ikatan lahir-bathin‖ dimaksudkan bahwa Perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ―ikatan lahir‖ atau ―ikatan bathin‖ saja, tapi harus kedua-duanya.3 Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita.4 ―perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykhologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan‖.5 Pengertian ini juga diperkuat dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah pernikahan, di mana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidha untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.6 Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak.7 Pengertian perkawinan dari beberapa sarjana, sebagai berikut:8
3
Ibid Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, hlm.2 5 Ibid 6 Siska Lis Sulistiani, Loc.cit 7 Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.1 8 Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan 4
9
a. Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam
bukunya Hukum
Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan—Hukum Adat – Hukum Agama, mengemukaan: ―menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja sebagai ―perikatan perdata‖ tetapi juga merupakan ―perikatan adat‖ dan sekaligus merupakan ―perikatan kekerabatan dan ketetanggan.‖ Sedangkan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan suci (sekramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik desuai dengan ajaran agama masing-masing.‖ b. Sayuti Thalib, S.H., dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia memberikan pengertian pendek mengenai perkawinan yaitu: ―Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan‖. c. Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya hukum kekeluargaan mengatakan inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada nikah (perkawinan)
bilamana tidak ada
hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila tidak ada seksual antara suami isteri, maka tidak perlu ada tenggang waktu (iddah) untuk menikah lagi bagi bekas isteri itu dengan laki-laki lain.
10
d. Drs. HA. Zahry Hamid dalam bukunya pokok-pokok hukum perkawinan islam dan undang-undang perkawinan di Indonesia, memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam sebagai berikut: ―Pernikahan atau perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syariat Islam‖. Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena ia merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan.9 2. Tujuan Perkawinan Pada mula-mulanya dapat dipastikan bahwa perkawinan itu adalah suatu tindakan yang keramat yang mengesahkan hubungan seorang lelaki dan seorang perempuan , sebagai suami-isteri. Hubungan suami isteri itu mempunyai tujuan yaitu melangsungkan adanya keturunan. Di dalam kepercayaan orang Indonesia suatu perkawinan yang tiada menurunkan anak adalah suatu perkawinan yang tidak berhasil.
9
Ibid, hlm.8
11
Terdapat suatu kepercayaan di Jawa sini bahwa jika dari suatu perkawinan tidak dilahirkan seorang anak, maka si suami dan si isteri harus memperbaharui perkawinannya (bangun nikah) dengan harapan agar supaya dengan pemilihan hari yang lebih tepat, anak keturunan dapat dilahirkan. Suatu perkawinan yang disebut perkawinan in extremis bisa juga dilakukan. Di dalam hal ini ada perkawinan dengan orang yang telah hampir meninggal.10 Hal ini terbukti pada kenyataan, seperti yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:11 ―bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan ―In ex tremis‖, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia‖. Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa ‗untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
10
Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara, hlm.95-96 11 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, hlm.1-2
12
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
membantu
dan
mencapai
kesejahteraan spritual dan material‘.12 Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.13 Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bila kita rasakan sangat ideal. Karena tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan bathin antara suami dan isteri yang ditunjukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkawinan ―ikatan lahir bathin‖ dimaksud, adalah bahwa perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin saja. Akan tetapi hal ini harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan bathin yang merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Selanjutnya, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak
12
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.22 13 K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.15
13
boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila. Dalam hukum perdata, hubungan antara suami dan isteri hanya melihat dari segi lahirnya saja atau dari segi hubungan perdata, artinya yaitu terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama tertentu.14 Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.15 Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.16 3. Syarat Materiil dan Syarat Formil Perkawinan Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbaagi menjadi syarat intern (materill) dan syarat-syarat ektern (formal).17
14
Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, Op.Cit , hlm.4 Hilman Hadikusuma, Op.Cit , hlm 23 16 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.10 17 R. Soetojo Prawirihamidjojo, 1988, Prularisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Airlangga, hlm 39 15
14
a. Syarat Materiil Syarat materill adalah syarat yang berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sebelum melangsungkan perkawinan, maka calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana diatur Pasal 6-12 Undang-undang Perkawinan, dan khusus bagi mereka yang pegawai negeri sipil masih ditambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.18 Adapun syarat-syarat pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Ada persetujuan dari kedua calon mempelai Syarat yang pertama ini terdapat pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang didasarkan
atas
Perkawinan,
bahwa
perkawinan
harus
persetujuan
kedua
calon
akan
yang
melangsungkan perkawinan. Kedua calon itu masing-masing harus saling setuju untuk mengikat tali perkawinan dengan nya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan.19 Adanya persetujuan calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan, dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan.20
18
Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm 14-15 19 Ibid, hlm 15 20 Ibid, hlm 15
15
Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-undang Perkawinan, dapat kami hubungkan sistem perkawinan pada zaman dahulu, zaman kakek-nenek kita dan sebelumnya dimana pada waktu itu terjadi kawin paksa. Seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya.21 Untuk menanggulangi
kawin paksa Undang-Undang
perkawinan telah memeberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk Pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk kawin itu dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2) Umur calon mempelai, untuk laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, sedangkan umur wanitanya sudah mencapai 16 tahun Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan maka syaratnya bagi laki-laki umurnya minimal 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).22 Mengapa disyaratkan umur minimal seperti ini, dalam Perjelasan
Umum
menyebutkan
bahwa
Undang-undang Undang-undang
yang
bersangkutan
menganut
prinsip,
dengan umur tersebut calon sumi isteri itu dianggap telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, dan 21 22
Ibid, hlm 15 Ibid, hlm 16
16
dianggap telah mampu mewujudkan tujuan perkawinan secara baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.23 3) Ada izin dari kedua orang tua atau walinya bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun Mengenai izin untuk melakukan perkawinan dari kedua orang tua atau walinya hanya berlaku bagi mereka yang belum berumur 21 tahun. Undang-undang tidak memberi penjelasan mengapa ditentukan batas 21 tahun ke atas tidak perlu ada izin yang demikian. Hemat kami karena umur 21 tahun dianggap telah dewasa untuk melakukan tindakan hukum perkawinan ini sehingga tidak perlu meminta izin orang tua atau walinya.24 4) Tidak melanggar larangan perkawinan Untuk dapat melangsungkan perkawinan syarat berikutnya bahwa mempelai tidak boleh melanggar larangan perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan ada 6 (enam) point larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 yaitu :25 a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.;
23
Ibid, hlm 16 Ibid, hlm 17 25 Ibid, hlm 18 24
17
c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d) Berhubungan susuan, yaitu oarng tua susuan, anak susuan dan bibi/paman susuan; e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin; 5) Berlaku asas monogami Asas
ini
juga
menjadi
salah
satu
syarat
untuk
melangsungkan perkawinan. Seorang suami hanya dapat mempunyai satu orang isteri. Oleh karena itu calon mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu orang sekaligus. Kalaupun nantinya si suami hendak beristeri lebih dari seorang, harus ada alasan yang sah untuk itu.26 6) Berlaku waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Perkawinan, khusus bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena perceraian, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi
26
Ibid, hlm 19
18
mereka
yang
putus
perkawinannya
karena
kematian
suaminya.27 b. Syarat Formil Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut undang-undang tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu hanya di bawah tangan. Dan masih ada sebagian masyarakat yang melaksanakan seperti ini. Syarat- syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1) Pemberitahuan Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan.28 Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuannya disampaikan kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talat, dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama 27 28
Ibid, hlm 20 Ibid, hlm 21
19
Islam pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat.29 2) Penelitian Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP No 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan menurut Undang-undang. Selain itu berdasarkan ayat (2) nya pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan melakukan penelitian terhadap : a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai; b) Keterangan
mengenai
nama,
agama/kepercayaan,
pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c) Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun; d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
29
Ibid, hlm 22
20
e) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas minimum umur perkawinan; f) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan peceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seoang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata; h) Surat
kuasa otentik atau dibawah tangan yang di
sahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena
sesuatu
alasan
yang
penting,
sehingga
mewakilkan kepada orang lain..30 3) Pengumuman Setelah
dipenuhinya
tata
cara
dan
syarat-syarat
pemberitahuan serta tiada suatu halangan perkawinan, maka tahap
berikutnya
adalah
Pegawai
Pencatat
perkawinan
menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan.
30
Ibid, hlm 22-24
21
Adapun
mengenai caranya, surat pengumuman tersebut
ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.31 4) Pelaksanaan32 Sesuai ketentuan pemberitahuan akan kehendak calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan. Mengenai bagaimana tata cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepecayaannya itu, supaya sah. Peraturan Pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain itu perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang bewenang dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkannya pekawinan sesuai Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, selanjutnya kedua mempelai menandatangani akta pekawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat pekawinan. 4. Syarat Sah Perkawinan 31 32
Ibid, hlm 24-25 Ibid, hlm 25-26
22
Sahnya suatu pekawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila pekawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama pekawinan itu belum terdaftar, maka pekawinan itu belum di anggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama. Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan tersebut dan tidak menentukan sah atau tidak nya perkawinan.33 Apabila diteliti ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu.” Dinyatakan juga tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan perumusan tesebut berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Jadi pencatatan bukan syarat yang menentukan sahnya perkawinan.34 Sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan; berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan
33 34
Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, 1987, Op.Cit, hlm. 19 Ibid .hlm 20
23
kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.35 Pasal 2 Undang-undang Perkawinan berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang
berlaku
bagi
golongan
agamnya
dan
kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.36 Jadi bagi mereka yang memeluk agama Islam, maka yang menentukan sah tidaknya perkawinan itu adalah ketentuan-ketentuan hukum Islamn. Hal yang sama juga terdapat pada agama Nasrani dan Hindu Bali yaitu hukum agama merupakan yang menjadi dasar dari pelaksanaan sahnya suatu perkawinan.37
35
Ibid Ibid, hlm 20-21 37 Ibid, hlm 21 36
24
Prof. Dr. Hazairin, SH menjelaskan masalah tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dalam bukunya yang bejudul ―Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan‖ adalah sebagai berikut:38 “ jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia. Maka untuk suatu sahnya perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya.”
Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan pelaksanaan Peraturan Peraturan No. 9 Tahun 1975 adalah mutlak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan dari masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan; kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.39 5. Akibat Adanya Perkawinan Akibat dari adanya suatu perkawinan, maka dengan sendirinya menimbulkan bermacam-macam masalah. Namun masalah yang menonjol dan juga cukup penting adalah : masalah hubungan suami isteri, hubungan antara orang tua dengan anak serta masalah harta benda.
38 39
Ibid, hlm 21 Ibid
25
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, baik terhadap suami dan isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Akibat-akibat hukum perkawinan tersebut, adalah:40 a.
Akibat perkawinan terhadap suami isteri 1) Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UUP), 2) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UUP), 3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (Pasal 31 ayat [2] dan [3] UUP), 4) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat [1] UUP).
b.
Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan 1) Timbulnya harta bawaan dan harta bersama, 2) Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apa pun,
40
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.13-14
26
3) Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 UUP). c.
Akibat perkawinan terhadap anak 1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah adalah anak yang sah (Pasal 42 UUP) 2) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja.
B. Tinjauan Tentang Anak 1. Pengertian Anak Adanya anak menunjukan adanya bapak dan ibu yang melahirkan anak itu, atau dengan kata lain; adalah hasil dari terjadinya suatu persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah seorang anak yang mana laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu adalah ibunya.41 Keberadaan seorang anak diatur dalam peraturan hukum positif Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Hal ini 41
Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm.122
27
selaras dengan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak dan PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang pengangkatan anak. Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun. Dari pandangan sosial, Hadiotono
berpendapat bahwa anak
merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Dari beberapa terminologi tersebut pada prinsipnya, anak adalah pribadi yang memiliki peranan strategis dalam mengemban tanggung jawab masa depan bangsa, namun anak masih memerlukan peranan orang tua dalam memelihara, mendidik dan mengarahkan dalam mencapai kedewasaannya.42 Pengertian anak juga diatur dalam Konvensi Anak 1989. Konvensi tersebut diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990. Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi anak adalah: “setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anakanak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
42
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm 15-16
28
Adapun secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan spermatozoa dari laki-laki yang kemudian menjadi zygot,
lalu tumbuh menjadi janin.
Sehingga secara biologis tidak mungkin seorang anak lahir tanpa adanya kontribusi laki-laki dan perempuan. Tetapi hal ini berbeda dari sisi yuridis, seorang anak terkadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini terdapat dalam Undang-Undang perkawinan, di mana suatu kelahiran tanpa disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin), maka si anak hanya akan memiliki ibu sebagai orang tuanya, sedangkan KUHPerdata menganut prinsip yang lebih tegas
bahwa tanpa adanya
pengakuan dari kedua orang tuanya, maka si anak dapat dipastikan tidak memiliki tidak akan memiliki ayah maupun ibu secara yuridis.43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenal 2 (dua) macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin. Mengenai anak sah dan anak luar kawin dijelaskan didalam Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan. 2. Anak Sah Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah diberikan definisi antara lain, sebagai berikut:44 a.
Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ―anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah‖
43 44
Ibid, hlm.16 Ibid, hlm.18-19
29
b.
Pasal 250 KUHPerdata menyebutkan bahwa ―anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya‖.
c.
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah: ―anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut‖. Sedangkan berdasarkan teori para doktrinal anak sah memiliki
pengertian lain, menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.45 Menurut Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya. Maka seorang anak mendapatkan kedudukan sebagi anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Menurut makna etimologi dari beberapa kategori pengertian tersebut, antara lain:46 1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah,
45 46
Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.80 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm. 19
30
2) Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah, 3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan 4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri. 3. Anak Luar Kawin Seorang anak dikategorikan sebagai anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang perkawinan jika dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, ada dua kategori yang dirumuskan oleh UndangUndang untuk menunjukan keabsahan seorang anak, yaitu berdasarkan waktu kelahirannya dan sebab yang mengaitkan tumbuh nya anak di dalam rahim seorang perempuan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang perkawinan , perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bisa dikatakan bahwa pengertian anak luar kawin menurut Undang-undang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan bukan sebagai akibat perkawinan sah yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jika kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 250 KUHPerdata yang berbunyi, ―tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
31
sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya‖, maka substansi pengertian keduanya memiliki sedikit perbedaan, karena ketentuan Pasal 250 KUHPerdata lebih menekankan keabsahan anak semata-mata hanya pada hubungan kebapakan, hal ini dari kalimat terakhir yang berbunyi, ―...memperoleh si suami sebagai bapaknya‖. Disebutkan dalam Pasal 272 KUHPerdata bahwa, ―anak luar kawin kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau pernodaan darah disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri‖. Menurut DY Witanto beberapa faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak luar kawin antara lain:47 a.
Karena usia pelaku masih dibawah batas usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan,
b.
Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan,
c.
Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan (agama),
d.
Karena akibat tindak pidana (pemerkosaan),
e.
Karena tidak mendapat restu orang tua,
f.
Karena si laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat izin untuk melakukan poligami,
g.
47
Karena pergaulan seks bebas (free sex),
Ibid, hlm.20-21
32
h.
Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual. Menurut pasal di atas anak luar kawin dikelompokan menjadi 3
golongan antara lain: 1) Anak Zina Anak zina menurut pengertian dalam Pasal 284 KUHPerdata adalah, ―seorang pria yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya dan seorang wanita yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya. Sehingga menurut hukum Barat seseorang anak baru dapat dikategorikan sebagai anak zina jika anak tersebut lahir dari hubungan suami isteri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau keduanya sedang terikat perkawinan dengan yang lain. Sedangkan
anak
zina
dalam
ketentuan
KUHPerdata
menyatakan bahwa, anak zina dan anak sumbang tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sehingga secara hukum seorang yang dilahirkan dari perzinahan tidak akan memiliki hak keperdataan apaapa dari orang tua biologis kecuali seperti yang dinyatakan dalam Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata bahwa, sebatas hak untuk mendapatkan nafkah hidup seperlunya berdasarkan kemampuan orang biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah menurut Undang-Undang.
33
Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian anak tidak sah. Istilah ini dalam pengertian hukum perdata Barat dipengaruhi oleh asas monogami secara mutlak yang dianut oleh KUHPerdata, di mana pada waktu yang sama seorang laki-laki atau perempuan
hanya
boleh
terikat
perkawinan
dengan
seorang
perempuan atau seorang laki-laki saja, dan jelas hal ini berbeda dengan hukum Islam yang menerima asas poligami.48 Anak yang lahir karena zinah adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang lelaki, sedangkan perempuan atau lelaki itu ada dalam perkawinan dengan orang lain.49 2) Anak karena Pernodaan Darah (Sumbang) Anak sumbang (incest) atau sering disebut anak hasil dari penodaan darah yaitu anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana di antara keduanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan, baik karena terikat hubungan darah, hubungan semenda, hubungan persusuan (dalam hukum Islam) dan sebagainya.50 Anak yang lahir dalam sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu, yang dilarang kawin menurut Undang-Undang dengan seorang lelaki yang membenihkan anak itu.51 3) Anak Alam (natuurkijk kind)
48
Ibid, hlm 21-22 Ali Afandi, Op.Cit, hlm 147 50 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.22 51 Ali Afandi, Loc.Cit 49
34
Anak yang
lahir diluar perkawinan menurut istilah yang
dipakai atau di kenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurkijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Menurut sistem yang dianut BW (KUH Perdata) dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja, belum terjad suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengkuan terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof. Subekti. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurkijk kind.52 Yang dimaksud dalam pembahasan anak luar kawin lainnya adalah anak luar kawin selain anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin lainnya memiliki kesempatan untuk menjadi ahli waris dari orang tua biologisnya, meskipun bagian warisnya tidak sebesar ahli waris dari golongan anak sah dikarenakan mendapatkan pengakuan dari orang tua biologisnya, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 865 KUHPerdata. Di antara kategori anak luar kawin lainnya adalah:53 a)
Anak mula‘nah
b) Anak syubhat
52 53
Soerdharyo Soimin, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 40 Siska Lis Sulistiani, Loc.Cit, hlm.22
35
C. Pengakuan Anak Luar Kawin Anak yang dilahirkan diluar kawin, perlu diakui oleh ayah atau ibunya supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum. Jadi meskipun seorang anak itu jelas dilahirkan oleh seorang ibu, ibu itu harus dengan tegas mengakui anak itu. Kalau tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak. Pengakuan ini adalah suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan pengakuan seorang anak itu menjadi anak sah. Anak yang lahir di luar perkawinan itu, baru menjadi anak sah, jika kedua orang tuanya kemudian kawin, setelah mereka itu kedua-duanya mengakui anak itu, atau jika pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan itu sendiri. 54 Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 42, yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa pengakuan anak itu sangat penting sekali. Dalam hal akta Pengakuan Anak pada prinsipnya lebih ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata antara anak yang diakui dengan si pengaku.55 Status seorang anak sepanjang mengenai anak-anak luar kawin banyak dikupas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula
54
Ali Afandi, Op.Cit, hlm.146 Victor M. Situmorang, Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42 55
36
Undang-Undang Perkawinan menyingkap adanya kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.56 Undang-Undang Nomor
1
Tahun
1974
tentang Perkawinan
membedakan kedudukan seorang anak dalam hubungannya dengan perkawinan orang tuanya, sebagaimana dikemukakan pada pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu atau sebab perkawinan yang sah.57 Kemudian dalam pasal 43 ayat pertama mengemukakan sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.” Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian dan lain sebagainya. Maka melalui pengakuan anak ini ditimbulkan hubungan hukum perdata baru. Biasanya dengan dilangsungkan perkawinan orang tuanya, diterbitkan akta pengakuan anak. 58 Orang membedakan pengakuan anak luar kawin dalam 2 (dua) kelompok :59 1. Pengakuan secara suka rela
56
Ibid Ibid 58 Ibid, hlm 43 59 J. Satrio, 2000, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.109 57
37
Pengakuan anak secara suka rela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu pernyataan, yang mengandung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya.60 Ada 3 (tiga) cara uuntuk mengakui anak luar kawin secara suka rela, yaitu :61 a) Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan; b) Di dalam akta perkawinan; c) Di dalam akta otentik. Karena pengakuan itu baru sah, kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai Catatan Sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat kita katakan, bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam suatu akta otentik.62 Karena tidak disyaratkan , bahwa akta otentik yang bersangkutan maksudnya yang dibuat dihadapan akta notaris, harus semata-mata memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapat diberikan didalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris.63 60
Ibid Ibid, hlm 111 62 Ibid 63 Ibid 61
38
Cara yang kedua adalah pengakuan yang diberikan dalam akta perkawinan dari ayah dan ibu si anak luar kawin. Hal itu berarti, bahwa lelaki dan perempuan yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikah secara sah, dan sekaligus mengakui anak luar kawin itu.64 Cara yang ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam suatu otentik, yang dimaksud dengan akta otentik disini adalah akta notaris. Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindak lanjuti dengan melaporkannya kepada kantor Catatan Sipil, di mana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan.65 2. Pengakuan karena terpaksa Pengakuan karena terpaksa terjadi, kalau hakim, dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak atas dasar persangkaan, bahwa seorang laki-laki tertentu adalah ayah dari anak tertentu menetapkan , bahwa orang laki-laki itu adalah ayah dari anak yang bersangkutan. Karena didasarkan atas ketetapan pengadilan, maka pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa.66
64
Ibid , hlm 112 Ibid , hlm 113 66 Ibid , hlm 126 65
39
Didalam doktrin terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat daripada pengakuan anak luar kawin, yaitu bersifat deklaratif saja, ataukah ia bersifat konstitutif.67 Pengakuan bersifat deklaratif, mereka yang menganut pendapat, bahwa pengakuan merupakan sarana bukti saja, berangkat dari anggapan , bahwa yang mengakui anak yang bersangkutan adalah memang ayah atau ibu biologisnya. Karena ia hanya merupakan bukti keturunan, maka sifatnya hanya deklaratif saja. Akibatnya, kedudukan si anak sebagai keturunan orang yang mengakuinya memang sudah ada sejak anak itu lahir.68 Pengakuan sebagai tindakan hukum, kalau pengakuan itu merupakan suatu tindakan hukum, dengan mana orang menerima kedudukan sebagai ayah/ibu atas nama anak yang diakuinya, maka dengan pengakuan itu baru tercipta hubungan kekeluargaan antara yang mengakui dengan yang diakui dan karenanya dikatakan bersifat konstititif.69 Akibat
daripada
pengakuan
adalah
:70 a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya Akibat hukum dari adanya pengakuan adalah lahirnya hubungan hukum antara yang mengakui dengan yang di akui.
67
Ibid, hlm 126 Ibid, hlm 127 69 Ibid, hlm 129 70 Ibid, hlm 129 68
40
Anak luar kawin tersebut dengan pengakuan itu selanjutnya mendapatkan status sebagai ―anak luar kawin yang diakui‖.71 Adanya hubungan hukum antara anak yang bersangkutan dengan ayah dan ibu yang mengakuinya, membuat akibat yang lebih lanjut dalam hukum, seperti :72 1) Keharusan minta izin kawin; 2) Ada kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang mengakuinya; 3) Adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya, yang terjadi demi hukum; 4) Adanya hak mewaris dari anak yang diakui dengan ayah dan ibu yang mengakuiya; 5) Adanya hak mewaris dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta warisan dari anak yang diakui olehnya. b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang mengakuinya Hubungan hukum itu terbatas sekali, hanya antara yang mengakui dan anak yang diakui. Antara anak luar kawin dengan keluarga ayah ata ibu yang mengakuinya, tidak ada hubungan hukum apa-apa. Antara mereka keadaannya sama seperti antara 2
(dua) orang lain. Konsekuensinya, kalau
saudara dari ayah yang mengakuinya (atau saudara ibu yang 71 72
Ibid, hlm 132-133 Ibid, hlm 133
41
mengakuinya) meninggal dunia, maka bagi anak luar kawin itu tidak ada dasar sama sekali untuk mempunyai kesempatan mewaris dari saudara ayah atau ibu itu, sekalipun si mati tidak meninggalkan keturunan.73 D. Pengesahan Anak Luar Kawin Jika kita menyebut seorang anak itu seorang anak sah, maka anak itu dilahirkan atau dibuahkan di dalam suatu perkawinan yang sah. Demikian isi dari Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah tidak sah. Meskipun demikian anak yang demikian itu kemudian bisa disahkan.74 Suatu syarat guna pengesahan ialah, bahwa pada waktu nikah dilakukan atau sebelumnya harus adanya suatu pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan bapak.75 Dalam hal Akta Pengakuan Anak taupun Akta Pengesahan ini pada prinsipnya ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata antara anak yang diakui dengan si pengaku. Sedangkan Akta Pengesahan Anak adalah semacam pernyataan bahwa anak tersebut setelah di sahkan menjadi anak sah, dalam pengertian hukum perdata. Supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya dan mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa pengakuan sangat penting sekali mendapat pengesahan dari suatu lembaga yang berwenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari
73
Ibid, hlm 133 Ali Afandi, Op.Cit, hlm.148 75 Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, Op.Cit, hlm.125 74
42
pengakuan kedua orang tuanya tadi. Jika anak yang diakui tersebut, telah mendapat pengesahan, maka status atau kedudukan anak tersebut menjadi sama (tidak berbeda) dengan anak sah dalam segala hal. Melalui pengesahan anak ini ditimbulkan hubungan hukum perdata baru. 76 Dari bentuk Akta Pengesahan Anak itu sendiri, sebenarnya bukan merupakan suatu akta dalam bentuk tersendiri. Pada awalnya akta kelahiran biasa, dengan adanya pengesahan anak kemudian dicantumkan data pengesahan anak, yang dikenal dengan istilah populer ―catatan pinggir‖. Disebut catatan pinggir, karena catatan tentang perubahan status anak tersebut dicatat pada bagian pinggir dari akta kelahiran semula. ―Catatan pinggir‖ pada suatu Akta Catatan Sipil pada dasarnya berisi perubahan data dan informasi atas akta semula.77 ―Catatan pinggir‖ ini dapat diterapkan pada semua jenis dan macam Akta Catatan Sipil, dengan adanya ―catatan pinggir‖ pada suatu akta, berarti data dan informasi lama tidak berlaku lagi, sedangkan yang dipergunakan sebagai data selanjutnya adalah tercantum dalam ―catatan pinggir‖.78 Penerbitan akta bercatatan pinggir, biasanya dilakukan berhubung adanya peristiwa baru yang oleh undang-undang dinyatakan mempunyai kekuatan hukum baru. Misalnya terjadi karena adanya Keputusan Pengadilan Negeri karena ganti nama, perubahan dan pembetulan tanggal dan bulan serta tahun
76
kelahiran
serta
pembetulan
nama,
Victor M. Situmorang, Cormentyna Sitanggang, Op.Cit, hlm. 42 Ibid, hlm.43 78 Ibid 77
juga
karena
perubahan
43
kewarganegaraan karena proses mengikuti suami, ataupun karena pengakuan dan pengesahan anak.79 Lembaga Catatan Sipil adalah juga lembaga yang berwenang melakukan pengesahan anak. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Presiden bahwa Lembaga Catatan Sipil juga berfungsi untuk Pencatatan dan Penerbitan Kutipan Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak (Pasal 5 ayat 2 Kepres No.12 Tahun 1983).80 Dengan demikian, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan ―Surat Pengesahan‖ (Brieven van wettingin) oleh Kepala Negara.81 Peristiwa pengakuan atau pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan ) atau dapat juga dalam suatu akta tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil.82 Pada pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan pula bahwa : ―Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang‖.
79
Ibid Ibid, hlm.44 81 Ibid 82 Ibid 80
44
Pengesahan merupakan sarana hukum, dengan mana seorang anak luar kawin diubah status hukumnya sehingga mendapatkan hak-hak seperti yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang anak sah.83 Unsur-unsur pengesahan :84 1.
Pengakuan Tindakan pengesahan dilakukan pertama-tama, disamping pernikahan (kedua) orang tuanya dengan cara mengakui anak luar kawin yang bersangkutan. Jadi, pengakuan disamping pernikahan orang tua merupakan syarat adanya pengesahan
2.
Pernikahan Syarat kedua untuk pengesahan adalah, bahwa ayah yang mengakui anak luar kawinnya, menikah dengan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Kalau pengakuan itu diberikan dalam akta nikah, maka dengan pernikahan kedua orang tua itu, pengakuan itu langsung berubah dan mempunyai akibat sebagai suatu pengesahan.
Cara melakukan pengesahan:85 1. Pengakuan dan perkawinan Cara pengesahan pertama adalah dengan pengakuan disertai dengan perkawinan dari orang tua anak luar kawin yang mengakuinya. 2. Melalui surat pengesahan
83
J Satrio, Op.Cit.,hlm 164 Ibid., hlm. 165-167 85 Ibid., hlm 171-174 84
45
Pengesahan anak luar kawin bisa juga dilakukan melalui surat pengesahan presiden. Dari diadakannya lembaga pengesahan anak luar kawin melauli Surat Pengesahan, orang menyimpulkan, bahwa pembuat Undang-Undang hendak mengupayakan agar sebanyak mungkin anak-anak luar kawin, yang orang tuanya saling menikahi, memperoleh status anak sah. 3. Dalam hal ada kelalaian Karena undang-undang tidak menyebutkan alasan dari kelalaian orang yang akan mengesahkan anak, maka kita bisa menafsirkan nya dengan luas, baik karena sengaja ataupun kelalaian termasuk dan untuk gampangnya ketidaktahuan dari orang tua. Ini bukan alasan mengadaada, tetapi merupakan kelalaian yang ada dan bisa diduga banyak muncul dalam praktek. 4. Karena halangan Halangan yang dimaksud adalah halangan perkawinan dari ayah yang mau mengesahkan dengan ibu si anak luar kawin yang bersangkutan. 5. Peranan Presiden dan Mahkamah Agung Sudah tentu untuk anak-anak luar kawin, baik yang sudah maupun belum diakui sebelum perkawinan, harus dilampirkan
bukti
pengakuan itu, beserta dengan surat kawin kedua orang tua, yang mau mengesahkan anak, kalau mereka lalai untuk sekaligus mengaku dan sekaligus mengesahkan anak mereka dalam akta perkawinan. Akta kematian dari salah satu dari calon suami isteri tentunya juga perlu
46
disodorkan, untuk membuktikan, bahwa mereka atas dasar kematian itu, terhalang untuk
melangsungkan
perkawinan
yang sudah
direncanakan. Presiden,
sebelum
memberikan
keputusan,
akan
meminta
pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Mahkamah agung, sebelum memberikan advisinya, kalau dipandang perlu dapat memanggil para keluarga sedarah dari pemohon, untuk didengar pendapat mereka tentang permohonan pengesahan
yang diajukan oleh yang
bersangkutan. Mahkamah agung juga bisa memerintahkan Pengadilan yang ada di bawahnya untuk mendengar pendapat dari keluarga sedarah pemohon, terutama kalau para anggota keluarga tersebut tinggal di tepat jauh dari tempat tinggal pemohon. Selanjutnya, Mahkamah Agung dapat memerintahkan, agar pemohon itu diumumkan dalam Berita Negara. Maksudnya tidak lain, agar mereka yang berkepentingan diberikan kesempatan untuk mengajukan perlawanan terhadap permohoan tersebut. Agar diingat, bahwa kita tidak tahu, apakah yang mengajukan permohonan pengesahan adalah betul ayah biologis dari anak yang bersangkutan. Kalau tidak ada yang melawan, memang tidak jadi masalah, apakah yang mau mengesahkan benar-benar ayah anak yang bersangkutan atau bukan, tetapi kalau ada orang lain yang merasa, bahwa dialah ayah dari anak itu, maka pernyataan dan keberatannya perlu diselidiki kebenaran.