BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep Stroke
2.1.1 Defenisi Stroke WHO mendefinisikan stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Stroke sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak. Black dan Hawks (2005) mengatakan bahwa stroke adalah perubahan neorulogis yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah menuju kebagian – bagian otak tertentu. Stroke adalah gangguan aliran darah ke otak secara tiba-tiba atau mendadak (Stroke, center, 2017). Menurut Smeltezer & Bare 2008, stroke atau cedera Serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi Sistem Saraf Pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan aliran darah serebral. Stroke adalah defisit nuerologi yang menpunyai awitan mendadak dan berlangsung dalam waktu 24 jam sebagai sebab dari Sereberal VaskulerDisease (CVD) (Hudak, 1996). Dari semua defenisi di atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa stroke adalah terjadi perubahan pada beberapa fungsi neurologis yang ringan sampai berat yang diakibatkan oleh gangguan pembuluh darah otak. Gangguan diluar penyebab ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai stroke.
11
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.2 Etiologi stroke 1.
Trombosis serebral Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis dapat terjadi akibat aterosklerosis, hiperkoagulasi pada polisitemia, arteristis (radang pada arteri) dan emboli.
2.
Hemoragi (perdarahan) Pendarahan intrakraminal atau intraserebral temasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah diakibatkan oleh adanya aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema dan mungkin herniasi otak.
3.
Hipoksia umum Hipoksia umum disebabkan oleh hipertensi yang parah, henti jantung paru, dan curah jantung turun akibat aritmia yang mengakibatkan aliran darah ke otak terganggu.
Universitas Sumatera Utara
13
4.
Hipoksia setempat Hipoksia setempat diakibatkan oleh spasme arteri serebral yang disertai perdarahan subaraknoid dan vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.
Hudak, dkk. (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadinya disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian dibawah, yaitu: a.
Trombosis bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher, yaitu kemudian menyumbat darah aliran darah otak. Trombosis bersama dengan emboli hampir menjadi penyebab sekitar tiga perempat dari semua kasus stroke
b.
Emboli serebral yaitu bekuan darah atau lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah di bawa ke otak dan menyumbat aliran darah kebagian otak tertentu.
c.
Spasme pembuluh darah serebral yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area otak tertentu yang bersifat sementara. Biasanya akibat dari spasme pembuluh darah otak tertentu.
d.
Hemoragik serebral atau pendarahan serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak sehingga menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu pertiga dari seluruh kejadian stroke dan prosentasi penyebab kematian lebih besar dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik.
Universitas Sumatera Utara
14
Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Bebepara penyakit yang diakibatkan oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya stroke yaitu hipertensi,
diabetes
militus,
ganguan
jantug
(miokardium
infark)
dan
hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi terjadinya stroke. Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50 mmHg dan diatas 160 mmHg (LeMone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekut dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2005). Diabetes Militus (DM) merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius & Workman, 2006). Faktor resiko stroke lainnya yang dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia, merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke, tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke berulang (Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2005). Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya: usia, jenis kelamin, ras (American Heart Association, 2000 dalam Smeltzer&Bare, 2008) lebih lanjut dikatakan bahwa resiko tertinggi terjadinya stroke pada kelompok usia 55 tahun laki-laki lebih tinggi resiko mendapat serangan stroke dari pada wanita.
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.3 Klasifikasi Menurut Lumbantobing, (2004) menyatakan bahwa secara umum stroke dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke tersebut yaitu : 1) Stroke Iskemik Menurut
Lumbantobing,
(2004)
stroke
iskemik
secara
patofisiologis adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak
mencukupi.
Stroke
iskemik
disebabkan
penggumpalan
darah.Penyebab utamanya adalah aterosklerosis pembuluh darah dileher dan kepala.Stroke iskemik terdiri dari : a) Stroke Iskemik Trombotik: Stroke jenis ini terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah ke otak. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit ateroklerosis. b) Stroke Iskemik Embolik: terjadi tidak dipembuluh darah otak, melainkan ditempat lain, seperti jantung. Penggumpalan darah terjadi dijantung, sehingga darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak. c) TIA (Transient Ischemic Attack): serangan iskemik sementara. Gejalanya mirip stroke, tapi hanya terjadi dalam beberapa menit. Tidak sampai berjam- jam. Gejalanya antara lain: wajah pucat, tangan atau kaki – kanan atau kiri- lumpuh. Vertigo (sakit kepala) juga menjadi
Universitas Sumatera Utara
16
salah satu gejala, juga disfagia (sulit menelan), lemahnya kedua kaki, mual, dan ataksia (jalan sempoyongan). 2) Stroke Hemoragik Ini jenis stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh darah.Stroke hemoragik terdiri dari : a) Stroke Hemoragik Intraserebral: Pada kasus ini, sebagian besar orang yang mengalaminya bisa menderita lumpuh dan susah diobati. Pada stroke jenis ini pendarahan terjadi didalam otak.Biasanya mengenai basal ganglia, otak kecil, batang otak, dan otak besar.Jika yang terkena didaerah talamus, sering penderitanya sulit dapat ditolong meskipun dilakukan tindakan operatif untuk mengevakuasi perdarahannya. b) Stroke Hemoragik Subaraknoid: Memiliki kesamaan dengan stroke hemoragikintraserebral.
Yang
membedakannya,
stroke
ini
dipembuluh darah diluar otak, tapi masih didaerah kepala, seperti di selaput otak bagian bawah otak. Meski tidak didalam otak, perdarahan itu bisa menekan otak. Hal ini terjadi akibat adanya aneurisma yang pecah atau AVM (arteriovenous malformation). Peneliti memasukkan teori tentang klasifikasi stroke, dikarenakan hal ini memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab dari jenis jenis stroke yang dialami oleh penderita stroke.
Universitas Sumatera Utara
17
Stroke dapat diklasifikasikan menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya. a. Klasifikasi stroke menurut etiologinya 1.
Stroke non hemoragik adalah stroke yang menimbulkan jaringan otak mengalami iskemik dan berlanjut pada nekrosis. Terjadi karna adanya proses trombosis, emboli dan spasme pembuluh darah otak.
2.
Stroke hemoragik adalah stroke yang menimbulkan pendarahan pada intrakarnial seperti intraserebral hemoragik, epidural hematom, subdural hematom, subarachnoid hematom yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak baik karna hipertensi yang berlebihan atau pecahnya aniorisma serebral.
b. Klasifikasi stroke menurut perjalan penyakitnya Stroke diklasifikasikan juga sesuai dengan perjalan penyakitnya. Perjalanan tersebut juga dapat dilihat dari kronologis kejadian awal dan mulainya serangan stroke. Menurut perjalanan penyakitnya, maka stroke dapat diklasifikasikan menjadi : 1.
Transient ischemik attacks (TIA) TIA merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tibatiba dan pulih kembali dalam beberapa detik sampai beberapa jam, paling lama 24 jam. Tanda dan gejala dari kelompok ini adalah gangguan neurologis lokal, terjadi selama beberapa detik sampai beberapa jam dan gejala hilang sempurna kurang 24 jam.
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Reversible ischemik neurologic deficit (RIND) RIND mirip dengan TIA’s tetapi kejadiannya lebih lama dari pada TIA’s dimana gejala hilang lebuh dari 24 jam tetapi lebih dari satu minggu
3.
Stroke progresif (stroke in evalution) Stroke in evalution merupakan perkembangan stroke kearah yang lebih berat yang terjadi secara perlahan yang dapat menyebabkan kelainan neurologis menetap (permanen) dengan karakteristik seperti: selain gejala TIA’s diatas yang paling menonjol adalah muncul tanda dan gejala makin lama makin bertambah buruk yang dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
4.
Stroke komplet (stroke complete) Stroke komplet atau stroke lengkap adalah stroke yang menunjukkan gangguan neurologis yang permanen sejak awal serangan dan sedikit sekali memperlihatkan perbaikan. Karakteristik utama yang menjadi kriteria kelompok ini adalah berawal dari serangan TIA’s
yang
berulang diikuti oleh stroe in evalution. Kelainan neurologi yang terjadi bersifat menetap. Perbaikan gangguan neurologis terjadi sedikit dan akan banyak menimbulkan gejala sisa. Selanjutnya, mungkin akan menetap sampai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. 2.1.4 Patofisiologi Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang atau berhenti sama sekali ke daerah distal otak yang
Universitas Sumatera Utara
19
mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori berupa glukosa dan dan mineral lain serta oksigen. Iskemik terjadi ketika aliran darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit akibatnya neuron tidak bisa mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondri berubah menjadi respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan asam pH. Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron dalam memproduksi Adenosin Triphosepate (ATP) yang akan dijadikan sumber energi dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarasasi. Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya dearah penumbra dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu dearah otak yang iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan. Daerah ini dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju kedaerah tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibat yang timbul adalah kalsium dan glumat banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan menghasilkan redikal bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra dan memperberat gangguan neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan penumbra ini akan menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar penumbra dan infark sebagai akibat tekanan dan iskemia sehingga menyebabkan gangguan sistem saraf yang lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
20
Proses evolusi dari jaringan iskemik ke arah infark ini cukup cepat. Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil, sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dukta, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100gram permenit selama 4 jam akan menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan menimbulkan infark dalam waktu 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram permenit akan menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram permenit menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004). Stroke hemorogik terjadi sesuai dengan penyebab pendarahan otak dan lokasi pendarahannya. Pendarahan subaraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus wilis dan kelainan bentuk Arteri Vena (AVM). Pendarahan tersebut
dapat
menyebabkan
meningkatnya
tekanan
dalam
otak
yang
menimbulkan terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambahkan tekanan intrakranial semakin berat. Pendarahan subarakhnoid juga disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan tekanan perfusi dan vasospasme. Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien stroke dengan hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti oral antikoagulan dan ampehetamine. Perdarahan biasanya terjadi didaerah seperti lobus otak, basal
Universitas Sumatera Utara
21
ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat terjadi pada intraventrikuler (Black & Hawsk, 2005). 2.1.5 Tanda dan gejala Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering terjadi diantaranya adalah kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan ganguan keseimbangan. Tanda dn gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan mengenai satu sisi (LeMeno & Burke, 2008). Geoffery, et al (2008) menentukan bahwa sebagian besar pasien paksa serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penglihatan, gangguan bicara dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien paksa serangan stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas, ketakutan dan menarik diri dari kehidupan sosial. Menurut Hickey (1997) tanda dan gejala stroke iskemik dihubungkan dengan bagian arteri yang terkena sebagai berikut: a. Arteri karotis interna Lokasi lesi yang paling biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis yang bercabang menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna. Dapat timbul berbagai sindroma dan polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral yang berbentuk. Gejalanya yanag sering tampak adalah (1). Paralisis pada wajah, tangan dan kaki bagian yang
Universitas Sumatera Utara
22
berlawanan; (2). Gangguan sensori pada wajah, tangan dan kaki bagian yang berlawanan dan; (3). Afasia jika yang terkena adalah daerah hemisfer dominan (hemisfer kiri) khususnya area Broca’s atau Werhinic’s atau kedua-duanya b. Arteri serebri anterior Arteri ini paling jarang terkena dan bila terkena akan menimbulkan gejala sebagai berikut: (1) paralisis pada kaki sisi yang berlawana; (2). Gangguan keseimbangan; (3). Gangguan sensori pada kaki dan jari daerah berlawanan daerah terkena (4). Gangguan kognitif; dan (5) inkontinensia urin c. Arteri serebri posterior Gejala yang sering mencul pada kelompok ini khususnya dalam lobus otak tengah atau talamus adalah; (1). Gangguan kesadaran sampai koma; (2). Kerusakan memori; (3). Gangguan penglihatan d. Arteri serebral media Gejala dominan yang ditunjukan bila terkena pada daerah ini adalah (1). Hemiplegia kontralateral pada kedua ekstremitas; (2). Kadangkadang hemianopia kontralatreran (kebutaan) (3) afasia global (kalau hemisfier dominan yang terkena) yaitu gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
23
Menirut Geoffery, et al (2008), berdasarkan lokasinya gejala-gejala stroke terbagi menjadi berikut: 1) Bagian sistem saraf pusat: Kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah. 2) Cerebral corteks: aphasia (kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata), aproksia (tidak mampu melaksanakan instruksiinstruksi), daya ingat menurun, kebingungan. Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan sebagai Transient Ischemic Attack(TIA), dimana merupakan serangan kecil atau serangan awal stroke. 2.1.6 Faktor resiko stroke Utami (2009) mengemukakan factor resiko stroke yang tidak dapat diubah adalah sebagai berikut: 1. Keturunan Para ahli kesehatan meyakini terdapat hubungan antar resiko stroke dengan faktor keturunan, walaupun secara tidak langsung. Risiko stroke meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke. Seseorang dengan riwayat keluarga stroke lebih cenderung menderita diabetes dan hipertensi (Hertzberg, dkk, 2006). Hal ini mendukung hipotesa bahwa
Universitas Sumatera Utara
24
peningkatan kejadian stroke pada keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya factor risiko stroke. 2. Jenis kelamin Menurut studi kasus yang sering ditemukan, laki-laki lebih berisiko terkena stroke tiga kali lipat dibanding dengan wanita. Namun, menurut laporan American Heart Association Statistics Subcommittee and Stroke Statistics Subcommittee (2007) menyebutkan bahwa kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita dari pada laki-laki. Hal ini diduga akibat pengaruh hormone pasca monopouse didukung oleh penelitian dari Women’s Health Initiative (2004) yang mengemukakan bahwa pemakaian hormone esterogen dan progesterone pada wanita pasca monopouse meningkatkan risiko terjadinya stroke tipe iskemik sebesar 44%. 3. Umur Mayoritas stroke menyerang semua orang berusia diatas 50 tahun. Namun, dengan pola makan dan jenis makanan yang ada sekarang ini tidak menutup kemungkinan stroke bisa menyerang mereka yang berusia muda. Faktor risiko yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes, merokok, dislipidemia dan obesitas: 1. Hipertensi Hipertensi didefinisikan tekanan darah persistem dimana tekanan darah sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg.
Universitas Sumatera Utara
25
Sedangkan pada lansia dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan darahnya 160/90 mmHg. Hipertensi dapat mengakibatkan stroke khususnya stroke hemogarik (perdarahan) akibat tekanan yang kuat kepembuluh darah. Tekanan darah yang tinggi bisa diakibatkan oleh diameter pembuluh darah yang kurang elastis atau adanya sumbatan berupa thrombus dan emboli (Brunner & Suddarth 2002). Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut Badadero, dkk (2008): Tingkat
tekanan darah sistolik
I II III IV
tekanan darah diastolik
140-159 160-179 180-209 >210
90-99 100-109 110-119 >120
2. Diabetes Diabetes merupakan salah satu factor resiko stroke iskemik. Diabetes akan meningkatkan resiko stroke karena mengakibatkan peningkatan fiskositas darah sehingga mempermudah terbentuknya emboli. Peningkatan kadar gula darah berbanding lurus dengan resiko stroke artinya semakin tinggi kadar gula darah seseorang maka semakin mudah terkena stroke. Tabel 2.2 Klasifiasi Kadar Glukosa Darah (mg/dl) menurut (ACE, 2003) Jenis Pemeriksaan Gula
Normal
GTT
DM
Gula darah puasa
80-109
110-125
≥126
2 jam setelah beban glukosa
80-144
145-179
≥180
GTT : Gangguan toleransi glukosa
Universitas Sumatera Utara
26
DM : Diabetes mellitus 3. Merokok Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan peningkatan resiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke). Merokok memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. 4. Dislipidemia Banyak penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kolestrol darah yang tinggi dapat meningkatkan resiko stroke. Penelitian Amerenco, dkk (2006) pada 492 pasien stroke iskemik (sumbatan) menunjukkan bahwa kadar kolestrol LDL (kolestrol jahat) dan kolestrol total yang tinggi meningkatkan resiko stroke sampai dua kali lipat. 5.
Obesitas Seseorang dengan berat badan berlebih memiliki resiko yang tinggi untuk menderita stroke. Kurukulasuriya, atal (2006) mengatakan bahwa seseorang disebut mengalami obesitas jika indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 30 kg/m2. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa seseorang dengan indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2 memiliki resiko stroke 2,4 kali dibanding yang memiliki indeks massa tubuh < 30 kg/m2. Seseorang yang mengalami obesitas akan memicu terjadinya thrombosis, penyakit arteri koroner, dan meningkatkan resiko stroke.
Universitas Sumatera Utara
27
2.1.7 Dampak stroke Gejala stroke yang muncul sangat tergantung pada bagian otak yang terganggu. Otak manusia terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak. Otak besar terdiri atas bagian besar yang disebut hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Fungsi bagian tubuh sebelah kanan dikendalikan oleh hemisfer kiri dan fungsi bagian tubuh bagian kiri dikendalikan oleh hemisfer kanan. Tabel 2.3 klasifikasi otak berdasarkan fungsinya (Sherwood, 2001): No
Bagian otak
Fungsi
1
Lobus frontal
Gerakan,
Dampak stroke pengambilan Kelumpuhan,
keputusan, pembauan
kelemahan
anggota
gerak
(hemiplegia), disartria 2
Lobus temporal
Pendengaran, emosi
3
Lobus parietal
memori, Gangguan
pendengaran,
dimensia, marah
Rasa kulit, pemahaman Gangguan sensori, aphasia bahasa
4
Lobus occipitas
Penglihatan
5
Cerebellum(ota
Keseimbangan
k kecil)
koordinasi
Batang otak
Menelan, pernapasan, dan Kematian,
6
fungsi vital
Gangguan pada bola mata dan Gangguan keseimbangan, inkontinensia kelumpuhan,
disfagia
Universitas Sumatera Utara
28
1. Kecacatan akibat stroke Kecacatan pasca-stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien untuk melanjutkan fungsinya kembali sebelum sakit dan kemampuan pasien untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang paling sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin. Tabel 2.4 Klasifikasi cacat stroke menurut Skala Rankin No
Klasifikasi
Kriteria
1
Tidak ada disabilitas yang Dapat melakukan tugas harian seperti biasa signifikan
2
Disabiitas ringan
Tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan
3
Disabilitas sedang
Memerlukan sedikit bantuan tetapi dapat berjalan tanpa bantuan
4
Disabilitas sedang-berat
Tidak dapat berjalan tanpa bantuan dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan
5
Disabilitas berat
Ditempat tidur bedrest, inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian
2. Letak Kelumpuhan Akibat Serangan Stroke a. Kelumpuhan sebelah kiri (Hemiparesis sinistra) Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak yang menyebabkan kelemahan tubuh bagian kiri.Pasien dengan kelumpuhan sebelah kiri sering
memperlihatkan
ketidakmampuan
persepsi
visuomotor,
Universitas Sumatera Utara
29
kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri.Penderita mamberikan perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihat (Harsono, 2006). b. Kelumpuhan sebelah kanan (Hemiparesis Dextra) Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak yang menyebabkan kelemahan atau
kelumpuhan
tubuh
bagian
kanan.Penderita
ini
biasanya
mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi verbal.Namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan tahap demi tahap secara visual.Dalam komunikasi kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh) (Harsono, 2006). c. Kelumpuhan kedua sisi (Paraparesis) Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan di ikuti satu sisi lain. Timbul gangguan seudobulber (biasanya hanya pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegic dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hiperaduksi (Markam, 2002). Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yang terbentuk akan diserap kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dalam waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau cacat.
Universitas Sumatera Utara
30
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke (Pinzon, 2006). Penurunan parsial total gerakan lengan dan tungkai, 90% bermasalah dalam berpikir dan mengingat, 70% menderita depresi, 30 % mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri. Stroke tak lagi hanya menyerang kelompok lansia, namun kini cenderung menyerang generasi muda yang masih produktif. Stroke juga tidak lagi menjadi milik warga kota yang berkecukupan, namun juga dialami oleh warga pedesaan yang hidup dengan serba keterbatasan. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga.
Selain
karena
besarnya
biaya
pengobatan
paska
stroke,(Pinzon, 2009). 2.1.8 Pencegahan Stroke Berdasarkan perspektif kesehatan masyarakat maka pencegahan stroke terdiri dari tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer ditujukan kepada populasi yang sehat dengan melakukan promosi kesehatan dan mengatasi factor resiko, social dan factor keturunan. Pencegahan sekunder ditujukan kepada populasi yang beresiko mengalami masalah kesehatan (stroke) yaitu dengan melakukan skrining pada individu yang
Universitas Sumatera Utara
31
beresiko stroke, mengandalikan factor resiko, dan melakukan intervensi dini. Sedangkan pencegahan tersier adalah untuk individu yang mengalami masalah kesehatan (stroke) yaitu dengan melakukan rehabilitasi, pencegahan komplikasi, meningkatkan kualitas hidup (Harsono, 2011). 1. Pencegahan primordial Upaya pencegahan primordial adalah upaya yang dimaksudkan memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit stroke tidak meningkat dengan adanya dukungan dasar dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor resiko lainnya, misalnya kebersihan lingkungan, yaitu terbebas dari polusi seperti asap rokok yang dapat menimbulkan penyempitan pembuluh darah. Hal ini didukung dengan peraturan pemerintah tentang bahaya rokok bagi kesehatan, seperti dilarang merokok ditempat umum terutama ruangan ber-AC dan pada bungkus rokok. Hal ini juga bisa dimulai dari membiasakan anak-anak untuk lebih memilih makanan-makanan tradisonal yang lebih aman dari zat-zat pengawet dan membatasi mengkonsumsi makanan-makanan siap saji sehingga dapat mengurangi resiko stroke. 2. Pencegahan primer Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko stroke bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
32
a). Gaya hidup: Bebas rokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam yang berlebihan, obat-obat golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya. b). Lingkungan: kesadaran atas stress kerja c).
Biologi: perhatian terhadap faktor resiko biologis (jenis kelamin, riwayat keluarga) efek aspirin.
d) Pelayanan kesehatan: health education dan pemeriksaan tensi, mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan penyakit vaskuler aterosklerotik. 3. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronik. Tindakan yang dilakukan adalah : a) Gaya hidup: manejemen stress, makanan rendah garam, berhenti merokok, penyesuaian gaya hidup b) Lingkungan: penggantian kerja jika diperlukan, family counseling c) Biologi : pengobatan yang patuh dan cegah efek samping d) Pelayanan kesehatan: pendidikan pasien dan evaluasi penyebab sekunder 4. Pencegahan tersier Tujuan pencegahan adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
Universitas Sumatera Utara
33
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan pencegahan tersier yang bertujuan untuk menjaga atau meningkatkan kemampuan fisik, ekonomi dan kemampuan untuk bekerja seoptimal mungkin (Thomas, 2005). 2.1.9. Perawatan pasien pasca stroke di rumah Merawat adalah memelihara, menjaga, mengurus, membela orang sakit.Merawat adalah mengobati memperlakukan, menghadiri, menyertai, mendampingi, memelihara, mendorong, membesarkan, mendidik. (Kamus Inggris-Indonesia,). 1. Perawatan mata dan mulut Pasien yang tidak dapat minum tanpa bantuan harus membersihkan mulutnya dengan sikat lembut, perawatan mulut yang teratur sangat penting, terutama untuk pasien yang sulit atau tidak dapat menelan, gunakan kain lembab yang bersih untuk membersihkan kelopak mata pasien jika diperlukan. 2. Pemberian makan Pasien stroke memerlukan makanan yang memadai, lezat dan seimbang dengan cukup serat, cairan (2 liter atau lebih sehari), dan mikronutrien. jika nafsu makan pasien berkurang, mereka dapat diberi makanan ringan, tinggi-kalori yang lezat dalam jumlah terbatas setiap 2-3 jam, bersama dengan minuman suplemen nutrisional. Untuk mencegah tersedak dan pneumonia aspirasi maka posisi pasien yang terbaik adalah posisi duduk. 3. Pengendalian buang air kecil
Universitas Sumatera Utara
34
Inkontinensia atau retensi pada umumnya terjadi pada pasien stroke terutama pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan kebingungan, saat mereposisi pasien, pembalut inkontinensia yang basah atau tercemar kotoran harus diganti, pasien yang dipasang kateter perlu diajarkan kepada keluarga tentang perawatan kateter tersebut untuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi. 4. Pengendalian buang air besar Sembelit adalah masalah yang umum dijumpai pada orang berusia lanjut dan pada orang yang mengalami stroke, beberapa obat (misalnya opioid) juga dapat menyebabkan sembelit. Cara terbaik untuk mengatur buang air besar adalah makanan yang memadai dan seimbang serta banyak cairan (paling tidak dua liter sehari) dan serat (buah dan sayuran), serta aktivitas fisik yang cukup. Pelunak tinja (laksatif, pencahar), supositoria, dan oedema dapat digunakan untuk sembelit yang terjadi sekali-kali. 5. Mencegah jatuh Faktor resiko yang mempermudah pasien jatuh antara lain masalah ayunan langkah dan keseimbangan, obat-obat sedatif, kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, inaktivitas, inkontinensia, gangguan penglihatan, dan berkurangnya kekuatan tungkai bawah. Apabila klien ingin berpindah dari tempat tidur maka pasien harus turun secara perlahan dan bertahap. Prinsip merawat pasien pasca stroke di rumah adalah sebagai berikut: 1) Menjaga kesehatan punggung pengasuh atau keluarga
Universitas Sumatera Utara
35
Keluarga beresiko mengalami cedera otot lumbal atau cedera punggung ketika mengangkat, memindahkan, atau mengubah posisi pasien pasca stroke yang mengalami imobilisasi. Untuk menghindari cedera punggung ini perlu diperhatikan : a) Posisi beban, tinggi objek, posisi tubuh, dan berat maksimum. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah anda dapat melakukannya sendiri atau membutuhkan bantuan. b) Mengangkat objek harus dari bawah pusat gravitasi, menempatkan
kedua
kaki
sedikit
terbuka
untuk
memperbesar dukungan, serta mempertahankan kesejajaran yang tepat pada kepala dan leher dengan vertebra, keluarga atau pengasuh harus menjaga tubuh untuk tetap tegak. c) Berdiri sedekat mungkin dengan objek untuk mencapai pusat gravitasi yang lebih dekap dengan objek. 2) Mencegah terjadinya luka dikulit pasien akibat tekanan Pasien
yang mengalami imobilisasi perlu dibalik dan
diposisikan secara reguler, bahkan pada malam hari hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya luka akibat tekanan. Bagi pasien yang hanya dapat berbaring atau duduk di kursi roda, bagian-bagian tubuh yang paling beresiko antara lain adalah punggung bawah (sakrum), bokong, paha, tumit, siku, dan tulang belikat (skapula). 3) Mencegah terjadinya kekakuan otot atau sendi
Universitas Sumatera Utara
36
Untuk mencegah kekakuan sendi keluarga perlu melakukan berbagai hal misalnya mengubah posisi lengan dan tungkai setiap 1-2 jam sepanjang siang dan malam hari, memijat tungkai yang lumpuh sekali atau dua kali sehari, menggerakkan semua sendi di tungkai yang lumpuh secara lembut dan perlahan-lahan (yaitu, lurus dan menekuk) 5-7 kali. 4) Mencegah terjadinya nyeri bahu (shoulder pain) Nyeri bahu merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien stroke dialami oleh sekitar 1 dari 5 pasien dalam waktu enam bulan setelah stroke (Agustina, dkk 2009). Komplikasi ini disebabkan oleh peregangan dan peradangan sendi bahu yang melemah, dan sangat sering pada pasien dengan tungkai bawah atau atas yang lemah, atau mereka yang memiliki riwayat gangguan tungkai atas, diabetes melitus, dan tinggal sendiri di rumah. Tindakan pencegahan terbaik adalah penempatan posisi dan reposisi di tempat tidur menopang lengan yang lemah (lumpuh) dengan bantal atau sandaran tangan jika mungkin, menghindari peregangan sendi bahu, terutama oleh tarikan pada lengan lemah dan menopang lengan yang lemah dengan lengan yang normal atau dengan menggunakan perban sportif saat berjalan sehingga lengan tersebut tidak terkulai ke bawah. 5) Memulai latihan dengan mengaktifkan batang tubuh atau torso Segera setelah pasien mampu, bantulah mereka dari tempat tidur dan duduk di kursi yang nyaman untuk jangka pendek.
Universitas Sumatera Utara
37
Peningkatan mobilitas pasien harus lambat dan bertahap, dan jika mungkin, mengikuti rangkaian berikut: bergerak di tempat tidur dengan tungkai ke bawah, berdiri di samping tempat tidur, berjalan ke kursi, duduk di kursi, berjalan di lantai yang rata. Pasien pada tahaptahap awal setelah stroke perlu di bantu untuk turun dari tempat tidur atau berpindah dari tempat tidur ke kursi. 2.1.10. Disabilitas Fungsional Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan, 2000): a.
Impairments menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
b.
Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh stroke.
c.
Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau disability” tersebut.
Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan,
Universitas Sumatera Utara
38
pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999; Weimar dkk, 2002). Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin.1.Tidak ada disabilitas yang signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa 2. Disabilitas ringan, tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan 3. Disabilitas sedang, memerlukan sedikit bantuan, tapi bisa berjalan tanpa bantuan 4. Disabilitas sedang-berat, tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhikebutuhannya sendiri tanpa bantuan5. Disabilitas berat di tempat tidur, inkontinensi memerlukan perawatan dan perhatian. Pasien dengan tingkat kecacatan yang berat tidaklah dapat mandiri. Sebagian besar aktivitas kehidupannya memerlukan bantuan, bahkan sampai aktivitas kehidupan yang paling dasar sekali pun (makan, berkemih, mandi) (Melcon, 2006). Stroke yang menunjukan derajat keparahan yang tinggi saat serangan lebih sering dihubungkan dengan kecacatan pasca stroke. Keparahan derajat stroke tentu pula berhubungan dengan kecepatan mendapat pertolongan medis yang adekuat (Johnston dan Wagner, 2006). Menurut Budijanto (2003) dalam Sugiharti (2010), disabilitas adalah ketidakmampuan atau kemunduran atau penurunan fungsi individu dalam melakukan suatu kegiatan/aktivitas sehar-hari yang didahului oleh keadaan impairment, dimana kegiatan/aktivitas tersebut sebelumnya dapat dilakukannya tanpa kesulitan atau dengan bantuan orang lain. Menurut Heikinnen (2003),
Universitas Sumatera Utara
39
disabilitas didefinisikan sebagai kesulitan dalam melakukan satu atau lebih aktifitas sehari-hari atau ADL (Activities of Daily Living) seperti aktifitas mandi, memakai baju, makan, ke WC, atau kesulitan dalam melakukan satu atau lebih aktivitas instrumental sehari-hari atau IADL (Instrumental Activities of Daily Livings) seperti aktifitas menggunakan telepon, belanja, menyiapkan makanan, dan mencuci. a.
Pengertian Fungsional Ridge dan Goodson (2000) menjelaskan bahwa status fungsional
mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi yang melihat karakteristik kemampuan individu untuk berperan penuh dalam memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan, serta kesejahteraan. Wilkinson (2010) menjelaskan status fungsional merupakan suatu konsep mengenai kemampuan individu untuk melakukan self care (perawatan diri), self maintenance (pemeliharaan diri), dan aktivitas fisik. Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa status fungsional merupakan suatu kemampuan individu untuk menggunakan kapasitas fisik yang dimilikinya untuk memenuhi kewajiban hidup meliputi kewajiban melaksanakan aktivitas fisik, perawatan diri, pemeliharaan dan kewajiban untuk dapat berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat meningkatkan kesehatan individu. b. Jenis-jenis pengukuran status fungsional Jenis-jenis pengukuran status fungsional Saltzman dalam Ropyanto (2011) menjelaskan status fungsional dapat dikaji melalui pengkajian
Universitas Sumatera Utara
40
fungsional dengan menggunakan alat ukur untuk mendapatkan gambaran indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kemampuan, dan kebutuhan individu terhadap perawatan, memonitor perubahan sepanjang waktu, serta untuk pantauan pemeliharaan. Pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat ukur status fungsional yaitu Indeks Katz, Indeks Kenny Self Care, The Index of Independence in Activities of Daily Living (IADL), Functional Independent Meassure (FIM), Indeks Barthel. c. Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke Faktor
yang
mempengaruhi
status
fungsional
pasien
stroke
Ketergantungan status fungsional sering menjadi permasalahan pada pasien stroke. Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional pada pasien stroke menurut Junaidi (2011) antara lain jenis stroke, komplikasi penyakit, dan usia. Ropyanto (2011) menambahkan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi status fungsional, yaitu motivasi, sistem support, kelelahan, kepercayaan diri, nyeri yang dirasakan, jenis stroke, usia perkembangan, dan jenis ketergantungan yang dialami. Status fungsional pada pasien stroke Abraham Maslow menjelaskan lima hirarki kebutuhan dasar manusia (five hierarchy of needs), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Maslow dalam Asmadi (2008) menjelaskan bahwa kebutuhan yang sangat primer yang dibutuhkan oleh manusia adalah kebutuhan fisiologis.
Universitas Sumatera Utara
41
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat utama yang harus dipenuhi untuk memelihara homeostatis biologis dan kelangsungan kehidupan bagi setiap manusia, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi kebutuhan lain. Jadi, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap manusia (Asmadi, 2008). Status fungsional atau yang lebih dikenal dengan kemampuan fungsional merupakan salah satu bagian dalam kebutuhan fisiologis dalam kehidupan manusia. Status fungsional atau kemampuan fungsional pada pasien stroke berada pada tahap terendah dari sebelumnya. Perawat dan keluarga mempunyai tugas yang sangat penting untuk memfasilitasi kemampuan fungsional pasien stroke. Pasien stroke pada umumnya cenderung memerlukan bantuan orang disekitarnya untuk dapat beraktivitas dan melakukan perawatan diri, seperti mandi, toileting, makan, minum, mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan maupun berpindah tempat (Junaidi, 2011). Status fungsional pada pasien stroke dapat diukur salah satunya adalah dengan menggunakan Indeks Barthel sebagai istrumen untuk mengukur kategori ketergantungan kemampuan fungsi yang dialami. Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan disalah satu atau kedua anggota ekstremitas atas (tangan) pasti mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan fisiologis, makan. Gangguan makan pada pasien stroke tidak hanya dapat berakibat pada sistem pencernaan dan energinya tetapi dapat berakibat juga dengan penurunan
Universitas Sumatera Utara
42
konsentrasi atau penurunan kognitif pasien. Orang terdekat pasien seperti perawat maupun keluarga harus memperhatikan gizi yang terkandung dalam makanan pasien, maupun diet yang disarankan oleh dokter pada pasien stroke (Sutrisno, 2007). Mandi juga merupakan kebutuhan fisiologis yang harus didapat oleh pasien stroke. Pasien stroke yang mengalami ketergantungan sedang hingga ketergantungan total mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan mandi. Mandi merupakan praktik menjaga kebersihan tubuh dengan menggunakan agen pembersih seperti sabun, shampo, air, odol, penyikat gigi, dan shower puff digunakan untuk membersihkan tubuh dari kotoran, keringat, dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang dapat menempel di kulit (Ropyanto, 2011). Berpakaian dan berhias juga merupakan salah satu perawatan diri yang perlu dilakukan pada pasien stroke. Penggunaan celana dan baju dapat dipakai dengan mengenakannya pada bagian ekstremitas yang sakit terlebih dahulu dan melepaskannya dari ekstremitas yang sehat. Orang terdekat seperti keluarga dan perawat dapat membantu terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan berhias pada pasien stroke, sehingga pasien stroke dapat terawat, rapi, dan bersih walaupun dalam keterbatasan fisik yang dialami (Ropyanto, 2011). Kebutuhan fisiologis seperti eliminasi urin BAK dan BAB atau aktivitas toileting pada pasien stroke dapat dibantu oleh perawat maupun keluarga. Namun, apabila pasien stroke masih dalam ketegori ketergantungan
Universitas Sumatera Utara
43
ringan hingga sedang, yang masih memungkinkan pasien untuk beraktivitas toileting mandiri dapat dilakukan tanpa bantuan. Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan tubuh akan mengalami kesulitan dalam aktivitas toileting karena minimnya gerakan tubuh yang dilakukan sehingga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien. Hal ini menyarankan perawat maupun keluarga untuk dapat memastikan diberikannya makanan yang bergizi dengan serat yang tinggi untuk membantu memperlancar eliminasi (Ropyanto, 2011). Mobilitas atau pergerakan (berpindah) pada pasien stroke perlu dilakukan secara teratur. Dalam hal ini perawat maupun keluarga harus dapat memotivasi dan memberikan semangat pada pasien untuk melakukan pergerakan, agar dapat melatih kemampuan fungsi tubuh. Keteraturan dalam mengikuti fisioterapi perlu diperhatikan untuk dapat meningkatkan status fungsi tubuh pasien, namun tidak langsung diperoleh secara instan, tetapi diperoleh secara perlahan dan dibutuhkan kesabaran (Ropyanto, 2011). d. Pengukuran status fungsional pasien stroke dengan Indeks Barthel Penelitian ini menggunakan Indeks Barthel untuk mengkaji status fungsional pasien stroke. Indeks Barthel merupakan instrumen pengukuran status fungsional yang digunakan pada dewasa yang sedang dalam perawatan klinis maupun dalam area rehabilitasi (Loretz, 2005 dalam Ropyanto, 2011). Indeks Barthel ini merupakan skala yang dinilai berdasarkan observasi oleh tenaga kesehatan, dapat diambil dari catatan medis pasien, maupun pengamatan langsung (Sugiarto, 2005). Domain dalam instrumen ini meliputi makan, berpindah tempat, kebersihan diri, aktivitas toileting seperti
Universitas Sumatera Utara
44
mengontrol defekasi dan berkemih, mandi, makan, berjalan di jalan datar, naik turun tangga, dan berpakaian.
2.2. Dukungan Pasangan 2.2.1. Definisi Dukungan Pasangan Menurut (Sarafino, 2008) dukungan adalah suatu bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang yang berarti, baik secara perorangan maupun kelompok. Dukungan dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal, dukungan sosial eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Dukungan adalah informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan, yang nyata atau tingkah laku diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya atau dukungan adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orangorang yang diandalkan, menghargai dan menyayangi kita (Kuntjoro, 2002). Dukungan pasangan merupakan dukungan yang diberikan pasangan dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Pasangan adalah orang pertama dan utama dalam memberi dorongan dan dukungan kepada pasangan sebelum pihak lain turut memberikannya. Dukungan pasangan
Universitas Sumatera Utara
45
merupakan dorongan, motivasi terhadap pasangan, baik secara moral maupun material (Bobak, 2005). Perkawinan
selalu
dianggap
sebagai
hal
yang memuaskan
dan
berharga.Dalam setiap hubungan seperti perkawinan, masalah tidak selalu dapat dihindarkan (Rini, 2001), karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian, maupun karakter yang berbeda.Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia. Pada pernikahan dua orang menjadi satu kesatuan yang saling merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling melayani, saling memberi dorongan dan dukungan (Gunarsa, 2000). Banyak fungsi-fungsi yang dilakukan pasangan yang berkeluarga antara lain memberikan kasih sayang, rasa aman dan perhatian (Al-Maqassary, 1998). Dukungan dari pasangan dipercaya dapat membantu para penderita untuk menghadapi penyakit yang dideritanya. Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga dimana dukungan tersebut bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri, dukungan dari saudara kandung, dukungan dari anak dan dukungan keluarga eksternal, seperti dukungan dari sahabat, tetangga, sekolah, keluarga besar, tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang kehidupan,
Universitas Sumatera Utara
46
dimana dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk meningkatkan
kesehatan
dan
adaptasi
keluarga
dalam
kehidupan
(Friedman,1998). Dukungan sosial yang diterima seseorang tidak selalu menguntungkan. Status menikah tidak menjamin seseorang mempunyai sumber dukungan sosial. Ketika seorang menderita penyakit yang sudah lama dan serius, keluarganya mungkin terlalu melindungi, sehingga menghambat keinginan pasien untuk menjadi lebih aktif atau bekerja kembali (Rustiana, 2006). Hal ini dapat mengacaukan program pengobatan dan membuat penderita makin tergantung dan tak mampu berbuat apa-apa. Beberapa penulis meletakkan dukungan sosial terutama pada konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan (Winnubst dkk, dalam Rustiana 2006). Menurut Jacobson (dalam Nurmalasari dan Putri, 2007) dukungan sosial adalah suatu bentuk tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa ia dihormati, dihargai, dicintai dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan. Menurut Cooper & Watson (Nurmalasari dan Putri, 2007) dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh individu secara terus menerus dari individu lain, kelompok dan masyarakat luas. Perubahan natural berkaitan dengan perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dalam kehidupan normal, dan perubahan ini dapat dipahami dan diterima oleh individu. Perubahan-perubahan ini muncul seiring dengan bertambahnya jumlah usia dan jumlah anak, tuntutan peran sebagai ibu dan ayah.
Universitas Sumatera Utara
47
Perubahan yang kedua adalah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat
diprediksi
sebelumnya.
Perubahan
ini
akan
menyebabkan
ketidakseimbangan pada perkawinan dan bisa menjadi bayangan kehancuran. Misalnya ketika terjadi kecelakaan, bencana alam, dan serangan penyakit.Salah satu penyakit yang tiba-tiba terjadi adalah stroke. Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver. Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik dan teknik penggunaan alat bantu perawatan, menemukan sumber home care, menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011). Pasangan dari penderita stroke seringkali berperan sebagai primary caregiver
sedangkan
anak
dari
penderita
lebih
berperan
sebagai
secondarycaregiver (Messecar dalam Cempaka, 2012). Primary caregiver adalah individu yang bertanggung jawab pada sebagian besar tugas pengasuhan secara langsung, termasuk dukungan emosional. Sedangkan, secondarycaregiver atau pengasuh cadangan yang bertugas memberikan dukungan dan membantu tugas pengasuh utama baik secara langsung dan tidak langsung (Ferrell, 2009). Dengan demikian, kecenderungan pasangan yaitu berperan sebagai primary caregiver karena tidak hanya memberikan perawatan secara fisik namun juga harus menjaga dan mendukung kondisi penderita stroke secara emosional.
Universitas Sumatera Utara
48
Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada kondisi pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan hubungan, dan harmonisasi perkawinan selalu menurun (Newman, 2006).Penyakit strokebisa merepotkan pihak keluarga pasien.Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien dalam mensejahterakan keluarganya. Pihak keluarga bahkan akan merasa terbebani karena biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan pasien tersebut (Sutrisno, 2007). Kondisi pasien strokeini membuat pasangan mendapatkan dampak dari kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami pasangannya, dimana pasien mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpuhan, kesulitan dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif dan kesulitan dalam penyesuaian emosi (Sarafino, 2006). Keterbatasan fisik dan psikologis pasien strokeseperti yang telah dialami pasangan, dapat mengurangi kebersamaan dalam mengisi waktu senggang bersama pasangan. Paul &Stephanie (2008) mengatakan bahwa pasangan sebagai caregiveryang menderita strokeakan merasakan berkurangnya waktu luang untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika pasangan belum terserang stroke. Dengan demikian kebutuhan sosial pasangan kurang terpenuhi. Istri maupun suami yang bertugas sebagai primary caregiver akan merasakan dampak dari kondisi fisik dan psikologis yang dialami oleh pasangannya pasca serangan stroke. Stephens & Clark (1997) mengatakan bahwa menyesuaikan diri dengan pasangan yang mengalami penyakit kronis dan fatal
Universitas Sumatera Utara
49
memberikan tantangan serius bahkan pada pasangan yang paling bahagia. Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kondisi pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan hubungan dan harmonisasi perkawinan selalu menurun (Newman dalam Rodiatul & Dewi 2010). Peran sebagai primary caregiver yang dilakukan oleh pasangan dapat menimbulkan dampak yang positif dan juga negatif. Dampak positif yang dirasakan antara lain pasangan merasa lebih dibutuhkan kehadirannya dalam membantu kegiatan pasien sehari- hari, mengurus dan menjaga pola makan pasien, serta mendampingi pasien saat terapi, merasa lebih berguna dengan memberikan
makna
lebih
bagi
kehidupan
pasangannya,
memperkuat
hubungannya dengan orang lain, meningkatkan kualitas diri secara spiritual, dan juga memperkuat komitmen yang lebih intens terhadap pasangan melalui kegiatan caregiving yang diberikan kepada pasangan, (Robert, 2006; Teasell, Foley, Salter, Bhogal, Juntai & Speechley, 2011; Cempaka 2012). Selain dampak positif, peran pasangan sebagai primarycaregiver memberikan dampak negatif, terkait aspek fisik, emosional, sosial dan finansial. Dengan sedikit persiapan dan dukungan secara professional yang terbatas, ketegangan dari pasangan yang menjadi pengasuh dapat mengarah ke distress level yang tinggi. Stres negatif yang tinggi ini akan menghasilkan bentuk stres yang bermacam-macam seperti depresi, kecemasan, kemarahan, terganggunya gaya hidup serta hubungan dengan orang lain, kelelahan dan perasaan terisolasi (Anderson, dkk dalam Robert. J, dkk, 2006).
Universitas Sumatera Utara
50
Seperti yang telah diuraikan mengenai dampak positif dan negatif dalam merawat yang dirasakan oleh pasangan sebagai primarycaregiver, maka proses caregiving dapat menjadi hal yang menekan. Proses caregiving dapat menyebabkan pasangan mengalami depresi, perasaan sedih dan tertekan, kelelahan fisik, dan perubahan pada hubungan sosial. Berbagai tekanan dalam menjalani keseharian sebagai perawat pasien stroke membuat pasangan mengalami stres yang bersumber dari respon fisik dan psikologisnya. Seiring dengan berjalannya waktu, stres dan beban tugas yang dirasakan oleh caregiver berubah menjadi strain, yang merupakan persepsi atau perasaan kesulitan atas tugas dan tanggung jawab yang berhubungan dengan peran sebagai caregiver (Oncology Nursing Society, 2008). Dampak fisik, psikologis serta sosial yang dialami pasien stroke mempengaruhi ketergantungan penderita pada orang lain khususnya pihak keluarga. Pihak keluarga dituntut agar dapat mengupayakan dukungan semaksimal mungkin sebagai usaha untuk mencapai kesembuhan pada penderita stroke ditengah kondisi pasca serangan yang dialaminya. Dukungan utama bagi penderita penyakit kronis, salah satunya stroke biasanya diperoleh dari keluarga langsung (immediate family) yaitu anak atau pasangannya (Sarafino, 2008). Kualitas komunikasi dan dukungan emosional dari dalam keluarga dan lingkungan sosial langsung memiliki efek besar pada tingkat tekanan fisik dan psikologis yang dialami oleh pasien yang berada pada fase pemulihan dari gangguan seperti penyumbatan miokardium/otot jantung dan stroke (Weinman, 1997).
Universitas Sumatera Utara
51
2.2.2 Komponen Dukungan Pasangan Menurut Hause Kahn (1985) dan Caplan (1976) dalam Friedman (1998) bahwa komponen-komponen dukungan pasangan terdiri dari: a. Dukungan Penilaian Dukungan penilaian meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian depresi dengan baik, sumber depresi dan strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan penilaian yang diberikan berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Sehingga dukungan yang diberikan dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan strategi – strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek – aspek yang positif. Dalam
dukungan
penilaian,
kelompok
dukungan
dapat
mempengaruhi persepsi individu akan ancaman dengan mengikutsertakan individu untuk membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang mengalami hal yang lebih buruk. Dukungan keluarga dan pasangan membantu individu dalam melawan keadaan yang dialami individu dengan membantu mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan memberikan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. b. Dukungan Nyata/Instrumental Bentuk dukungan ini melibatkan penyediaan dukungan material seperti pelayanan, bantuan keuangan, atau barang. Benda atau jasa yang diberikan akan membantu memecahkan masalah, seperti saat seseorang memberi uang, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit,
Universitas Sumatera Utara
52
menyediakan peralatan yang dibutuhkan. Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pada dukungan nyata keluarga merupakan sumber untuk mencapai tujuan praktis dan konkrit c. Dukungan Informasi Informasi dapat membantu individu memahami peristiwa stres yang lebih baik dan menentukan sumber daya dan strategi penanganan yang dapat dihimpun untuk menghadapinya. Dukungan informasi meliputi pemberian solusi dari masalah, pemberian nasehat, pengarahan, saran, ideide, dan umpan balik tentang apa yang dilakukan d. Dukungan Emosional Dukungan emosional yang diberikan oleh pasangan atau orang lain dapat membuat individu merasa tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang terdekat dalam hal ini pasangan, keluarga atau orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, dan empati terhadap
persoalan
yang
dihadapinya,
bahkan
mau
membantu
memecahkan masalah yang dihadapinya. Keluarga dapat memberikan dukungan emosional dengan meyakinkan penerima dukungan bahwa ia adalah individu yang berharga. Kehangatan kasih sayang yang diberikan dapat memungkinkan kelompok penerima dukungan untuk didekati. Dukungan emosional dapat berupa dukungan simpati, empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Menurut Kuntjoro (2002) bentuk-bentuk dukungan pasangan yang dapat diberikan pada pasangannya adalah adanya kedekatan emosional,
Universitas Sumatera Utara
53
pasangan mengijinkan pasangan terlibat dalam suatu kelompok yang memungkinkannya untuk berbagi minat, perhatian, pasangan menghargai atas kemampuan dan keahlian pasangan, pasangan dapat diandalkan ketika pasangan membutuhkan bantuan, dan pasangan merupakan tempat bergantung untuk menyelesaikan masalah pasangannya. Dengan adanya dukungan pasangan, tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan dan membahagiakan. Sebaliknya, jika pasangan dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari. 2.2.3 Fungsi Dukungan Pasangan Menurut Caplan dalam Friedman & Jones (2010) keluarga dalam hal ini pasangan memiliki fungsi pendukung yaitu meliputi: a. Dukungan sosial dimana pasangan berfungsi sebagai pencari dan penyebar informasi mengenai dunia. b. Dukungan penilaian dimana pasangan bertindak sebagai sistem pembimbing umpan
balik, membimbing dan memerantarai pemecahan masalah, dan
merupakan sumber serta validator identitas anggota. c. Dukungan tambahan dimana pasangan adalah sumber bantuan praktis dan konkrit. d. Dukungan emosional dimana pasangan berfungsi sebagai tempat istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan emosional dan meningkatkan moral keluarga.
Universitas Sumatera Utara
54
2.2.4. Dukungan Pasangan pada Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas Fungsional Dukungan Pasangan ada secara biologis, fisiologis, psokososial, sosial dan spiritual. Dukungan secara biologis terdiri dari: untuk meneruskan keturunan, memeliharan dan membesarkan anak, memelihara dan merawat keluarga. Fungsi psikologis terdiri dari: memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga, memberikan identitas keluarga. Fungsi Sosial terdiri dari: membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. Fungsi biologis terdiri dari: memenuhi kebutuhan gizi keluarga, perhatian dari suami atau istri termasuk kedalam kelompok dukungan internal yang sangat membantu pemulihan kesehatan bagi pasangannya yang dirawat (Friedman, 1998). Ketiadaan pasangan sangat mempengaruhi kondisi psikologis pasien paska stroke, dimana pasien menjadi lebih menurun kesehatannya dan kurang kooperatif berbeda dengan pasien yang didampingi oleh pasangan mereka dimana pasien menjadi lebih bersemangat dan memiliki harapan untuk mencapai kesembuhan (Anggraeni & Ekowati, 2010). Gangguan psikologis yang dialami penderita stroke berhubungan dengan depresi, cemas, marah, dan harga diri rendah serta dukungan emosional yang rendah. Penderita stroke mengalami tingkat depresi mulai dari ringan sampai berat dengan kualitas hidup yang rendah. Ketakutan yang dialami penderita stroke berhubungan dengan kematian, kekambuhan penyakit, gambaran diri yang rendah,
Universitas Sumatera Utara
55
perubahan feminitas, seksualitas dan ketertarikan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan psikologis baik setelah didiagnosa maupun setelah menjalani pengobatan (Reich et al, 2007). Handayani (2009) juga mengemukakan bahwa seseorang yang menderita stroke dan telah dilakukan pengobatan memiliki citra diri yang cenderung negatif. Namun citra diri pada pasangan penderita stroke dapat menjadi positif karena mendapatkan dukungan yang besar dari pasangan. Stroke juga memberikan dampak pada penampilan fisik bagi pasien, yang membawa akibat cukup serius terhadap keharmonisan hubungan suami dan istri (Anggraeni & Ekowati, 2010). 2.3. Landasan Teori Konsep Self-Care Deficit Orem Menurut Orem, asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kabutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya, oleh karena itu teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan diri) atau Self Care Defisit Teori. Orang dewasa dapat merawat diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia, dan orang sakit membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas Self Care mereka. Menurut teori keperawatan Self-Care adalah pelayanan manusia yang berpusat kepada kebutuhan manusia untuk mengurus diri bagaimana mengaturnya secara terus menerus untuk dapat menunjang kesehatan dan kehidupan, sembuh dari penyakit dan menanggulangi akibat-akibatnya (Orem, 1971).Menurut Orem, asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi
Universitas Sumatera Utara
56
kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya, oleh karena itu teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan diri) atau Self Care Defisit Teori. Orem memulai pengembangan keperawatan dengan memunculkan arti keperawatan
dan mengidentifikasi situasi saat seorang klien membutuhkan
perawat. Orem kemudian mempunyai kesimpulan bahwa sesorang membutuhkan tindakan keperawatan saat seseorang tersebut tidak bisa merawat dirinya sendiri (Ladner, 2002). Pada tahun 1971 Orem memunculkan theory Self Care DeficitTheory of Nursing (SCDTN) dalam buku Nursing Concepts of Practice. Teori keperawatan self care deficit sebagai grand teori keperawatan terdiri dari tiga teori terkait yaitu teori self care, self care deficit, dan system keperawatan. Teori ini mempunyai beberapa elemen konsep yaitu self care, agency/agen, dan keperawatan. Dalam teorinya orem menetapkan empat konsep yang pada akhirnya bersama theory keperawatan yang lain membentuk metaparadigma keperawatan, yaitu: human being, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan. Pandangan Teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktek keperawatan Orem mengembangkan tiga bentuk teori Self care di antaranya: 1.
Perawatan Diri Sendiri (Self Care) Dalam teori self care, Orem mengemukakan bahwa self care meliputiSelf Care itu sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu serta dilaksanakan oleh individu itu sendiri dalam
Universitas Sumatera Utara
57
memenuhi
serta
mempertahankan
kehidupan,
kesehatan
serta
kesejahteraan. Perawatan diri sendiri dibagi pada 3 kelompok yaitu: a. Self Care Agency, merupakan suatu kemampuan individu dalam melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia, perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain. Adanya tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang tepat. Kebutuhan Self Care merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya mempertahankan fungsi tubuh. b. Kebutuhan self care therapeutik(Therapeutic self care demand) adalah merupakan totalitas dari tindakan self care yang diinisiatifdan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan self care dengan menggunakan metode yang valid yang berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan. c. Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self care requisite. 2. SelfCare Defisit Merupakan hal utama dari teori general keperawatan menurut Orem. Dalam teori ini keperawatan diberikan jika seorang dewasa (atau
Universitas Sumatera Utara
58
pada kasus ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam melakukan self care secara efektif. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat
berkurang
atau
tidak
dapat
terpenuhi
atau
adanya
ketergantungan. Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam membantu self care: a. Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain. b. Memberikan petunjuk dan pengarahan. c. Memberikan dukungan fisik dan psychologis. d.Memberikan
dan
memelihara
lingkungan
yang
mendukung
pengembangan personal. e. Pendidikan, perawat dapat membantu individu dengan menggunakan beberapa atau semua metode tersebut dalam memenuhi self care. Merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum dimana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan yang diterapkan pada anak yang belum dewasa, atau kebutuhan
yang melebihi kemampuan serta adanya perkiraan
penurunan
kemampuan
dalam
perawatan
dan
tuntutan
dalam
peningkatan self care baik secara kualitas. Dalam pemenuhan perawatan diri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah. Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi support, meningkatkan pengembangan lingkungan pribadi serta mengajarkan atau mendidik pada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
59
Dalam praktek keperawatan Orem melakukan identifikasi kegiatan praktek dengan melibatkan pasien dan keluarga dalam pemecahan masalah (contohnya, masalah yang terjadi pada pasien atau keluarga yaitu masalah penyakit stroke). Menentukan kapan dan bagaimana pasien memerlukan bantuan secara teratur bagi pasien dan mengkoordinasi serta mengintegrasikan keperawatan dalam kehidupan sehari-hari dan asuhan keperawatan diperlukan ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan dan sosial. 3. Teori Sistem Keperawatan Merupakan teori yang menguraikan secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien sendiri yang didasari pada Orem yang mengemukakan tentang pemenuhan kebutuhan diri sendiri kebutuhan pasien dan kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri. Dalam pandangan teori sistem ini Orem memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan diantaranya : a. Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory system) Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan pasien dalam
memenuhi
tindakan
perawatan
secara
mandiri
yang
memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan, dan ambulasi serta adanya manipulasi gerakan.
Universitas Sumatera Utara
60
b. Sistem bantuan sebagian (Partially Compensatory System ) Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri secara sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara minimal seperti pada pasien yang Stroke dimana pasien ini tidak memiliki kemampuan seperti cuci tangan, gosok gigi, cuci muka akan tetapi butuh pertolongan perawat atau pasangan dalam melakukan perawatandiri. Contohnya perawatan pada
pasien
strokedimana pasien tidak memiliki kemampuan untuk melakukan BAB dan BAK karena mengalami gangguang mobilitas. c. Sistem Suportif dan Edukatif Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar pasien mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan pembelajaran. Contoh pemberian pendidikan kesehatan pada ibu dan bapak (keluarga) yang memerlukan informasi tentang perawatan pasien stroke. Fokus dalam ketiga teori ini adalah perawatan diri yang didefinisikan sebagai “praktik atau aktivitas individu memulai dan menunjukkan keperluan mereka sendiri dalam memelihara hidup, kesehatan, dan kesejahteraan” (Orem, 1985, hlm. 84). Perawatan diri tidak terbatas pada seseorang yang memberikan perawatan untuk dirinya sendiri, hal ini termasuk perawatan yang ditawarkan oleh orang lain untuk keperluan orang lain. Perawatan mungkin ditawarkan oleh
Universitas Sumatera Utara
61
anggota keluarga atau orang lain hingga orang tersebut mampu untuk melakukan perawatan diri. Perawatan diri mempunyai tujuan dan berperan terhadap integritas struktural, fungsi, dan perkembangan manusia (Orem, 1985, hlm. 86). Tujuan yang ingin dicapai adalah keperluan universal, perkembangan, dan perawatan kesehatan akibat penyimpangan kesehatan. Ketiga tipe keperluan perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah universal, perkembangan, dan penyimpangan kesehatan. Keperluan perawatan diri universal ditemukan pada seluruh manusia dan dihubungkan dengan proses kehidupan
dan
kesejahteraan
umum
mereka.
Kebutuhan
perkembangan
berhubungan dengan tahapan-tahapan yang berbeda yang dialami manusia. Kebutuhan yang ketiga disusun hasil dari atau dikaitkan dengan penyimpangan dalam aspek struktur dan fungsi manusia (Orem, 1991, hlm. 125). Orem mengoperasionalkan masing-masing dari kebutuhan-kebutuhan ini. Fokus keperawatan
adalah
pada
pengidentifikasian
kebutuhan
perawatan
diri,
perancangan metode dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan, dan “totalitas kebutuhan untuk tindakan perawatan diri” (Orem, 1985, hlm. 88). Pemberi perawatan diri, apakah diri sendiri maupun orang lain, disebut “agen perawatan diri”. Hal ini merupakan suatu kesatuan yang digambarkan dalam perkembangan dan dapat dioperasionalkan, yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan latar belakang genetik, kultural, dan pengalaman, dan dalam istilah keadekuatan.
Hal
yang
paling
terakhir
dapat
dievaluasi
dengan
mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan perawatan diri (Orem, 1987).
Universitas Sumatera Utara
62
Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor internal(dari dalam diri individu) dan eksternal(dari luar diri individu), faktor internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan, agama, pendidikan dan pekerjaan. Adapun faktor luar meliputi dukungan keluarga dan budaya masyarakan dimana klien tinggal. Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat kontinun atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai kondisi yang sejahtera. Klien membutuhkan tiga kebutuhan self care berdasarkan teori Orem yaitu: 1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri secara menyeluruh) seperti pada pasien stroke dimana membutuhkan perawatan total harus dengan bantuan orang lain baik perawat dan keluarga terlebih dari pasangan. 2. Development
self
care
requisites
(kebutuhan
perawatan
diri
pengembangan) fungsi klien sesuai dengan fungsi perannya. Perubahan fisik pada klien dengan stroke antara lain menimbulkan ketidakmampuan dalam melakukan sebagian saja dimana pasien tidak mampu makan, mandi, memakai baju, BAK, BAB, ke WC dan berjalan harus dengan bantuan orang lain. 3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan) penyimpangan kesehatan seperti adanya stroke yang disertai dengan penyakit lain seperti DM dan dipertensi yang dapat menimbulkan
kehilangan
cairan
dan
elektrolit
(dehidrasi),
Universitas Sumatera Utara
63
hipotensi(tekanan darah rendah),perubahan sensorik (perubahan pada indera perasa), takikardi (frekuensi jantung yang meningkat) dan hemiparesis (kelumpuhan separu badan). Pasien Stroke akan mengalami penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi kerharmonisan pasangan dalam melakukan hubungan intim. Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang di alami oleh pasien dengan Stroke menurut Orem disebut dengan self care-deficit. Menurut Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifisikannya sesuai dengan klafisikasi kemampuan pasien. Dukungan dan perawatan dari orang lain terutama pasangan merupakan hal yang utama atau teori pertama dari konsep ini dimana gambaran konseptual penerima perawatan sebagai manusia yang tidak mampu melakukan perawatan diri secara kontinyu dan independen dikarenakan hal-hal yang terkait dengan kesehatan atau keterbatasan (Orem, 1985, hlm. 34). Teori kedua, “teori perawatan diri” berdasar pada ide sentral bahwa suatu hubungan muncul antara tindakan perawatan diri yang dipertimbangkan serta perkembangan dan fungsi individu dan kelompok. Teori ketiga, “teori sistem keperawatan” yang menggambarkan kebutuhan perawatan diri terapeutik dan tindakan-tindakan serta sistem-sistem yang terlibat dalam perawatan diri dalam konteks hubungan interpersonal dan yang dibangun dalam diri manusia dengan defisit perawatan diri (Orem dan Taylor, 1986, hlm. 44).
Universitas Sumatera Utara
64
Dalam penelitian ini pasangan mempunyai dukungan dan peranan dalam memberikan perawatan diri kepada pasangan yang mengalami suatu penyakit seperti stroke dimana salah satu tujuan keperawatan model Orem adalah Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) yaitu pasangan bagi pasien untuk memberikan asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care deficit.
Relationship
Self – Care Tidak mampu merawat diri sendiri Mempunyai tingkat ketergantungan Tidak mampu melakukan pengobatan dengan mandiri
Relationship Self – Care Agency
< Deficit
Relationship
Nursing Agency Pasanganmerupakan nursing agency
Relationship
Self – CareDemands Terpenuhinya kebutuhan pasien selama sakit Tingkat Ketergantungan teratasi Pengobatan berjalan dengan baik Beban pasien berkurang selama sakit
Relationship
2.1 Skema Model Konseptual Orem
Universitas Sumatera Utara
65
2.4. Konsep Studi Fenomenologi Fenomenologi adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Husserl, 1965; Merleau & Ponty, 1956 dalam Chamberlain, 2009). Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti berusaha mengeksplorasi pengalaman informan melalui pengumpulan data dan peneliti berusaha masuk kedalam dunia informan, dengan demikian peneliti dapat merasakan pengalaman informan dengan cara yang sama. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), dan partisipation observation, sedangkan alat pengumpulan data utama adalah peneliti sendiri, dan alat bantu lainnya seperti panduan wawancara, panduan observasi, catatan lapangan, dan alat perekam suara atau gambar (Polit & Beck, 2008 ; Denzin & Lincoln, 2009). Menurut Fochtman (2008 dalam Sosha, 2011; Polit & Beck, 2008), fenomenologi terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
66
a. Fenomenologi deskriptif Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman. Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1998), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Perbedaan antara ketiga fenomenologist tersebut yaitu: Collaizi menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah diperoleh peneliti dari informan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada informan untuk memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya. b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik Fenomenologi interpretif-hermeneutik dikembangkan oleh Heidegger pada tahun 1962. Inti dari fenomenologi ini adalah pemahaman dan penafsiran, bukan sekedar deskripsi dari pengalaman manusia tetapi menemukan pemahaman dengan cara masuk kedalam dunia partisipan (Sosha, 2012). Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi interpretifhermeneutik adalah Van Manen (1990). Menurut Guba & Lincoln (1990 dalam Shenton, 2003) bahwa penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan keabsahan data melalui empat kriteria yaitu
Universitas Sumatera Utara
67
credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Keabsahan data akan dijelaskan sebagai berikut : a. Credibility Menjamin credibility merupakan salah satu yang paling penting dilakukan. Credibility dilakukan untuk mengetahui apakah proses dan hasil penelitian kredibel, dapat dipercaya dan diterima. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan suatu hal yang esensial. Kredibilitas dapat dicapai dengan prolonged engagement, catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi data dan member checking. b. Transferability Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Seorang peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan penelitiannya sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya ke dalam konteks yang berbeda. c. Dependability Keabsahan data pada dependability harus menunjukkan bahwa jika penelitian ini diulang dengan konteks, metode dan peserta yang sama maka akan diperoleh hasil yang sama, oleh karena itu dependability sangat bergantung pada credibility. Hal ini berarti proses dari penelitian tersebut dapat diaudit. Auditability menjadi kriteria kepadatan data ketika menghadapi konsistensi data.
Universitas Sumatera Utara
68
d. Confirmability Confirmability merupakan salah satu kriteria yang menunjukkan interpretasi telah didapat pada saat penelitian. Confirmability dipertahankan ketika credibility, transferability, dan dependability tercapai. Confirmability juga dapat diartikan objektivitas, dimana ada persamaan tentang akurasi data, relevansi atau makna yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, hal ini dapat dilakukan dengan cara audit trial. Dalam penelitian audit trial dilakukan oleh pembimbing.
Universitas Sumatera Utara