5
BAB 2 TINJAUAN PUSAKA
2.1.
Anatomi dan Fisiologi Paru
2.1.1.
Anatomi Paru Paru-paru dikelilingi oleh dinding dada. Dinding dada terdiri daripada iga
dan otot-otot antara iga. Paru-paru dipisahkan oleh mediastinum, dimana terletaknya jantung dan organ-organ lain. Di bawah paru-paru, terletaknya diafragma, iaitu lapisan otot tipis yang memisahkan rongga dada dari perut (Canadian Cancer Society, 2015).
Gambar 2.1. Anatomi Paru (Moore, Dalley dan Agur, 2010)
2.1.1.1.
Pleura Paru-paru dibungkus oleh lapisan pleura yang dibagi menjadi 2 jenis
yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Pleura viseral adalah pleura yang menempel erat pada dinding paru sedangkan pleura parietal adalah pleura yang tidak menempel langsung pada paru. Pleura parietal lebih tebal dibanding pleura viseral. Di antara pleura visceral dan pleura parietal terdapat rongga yang disebut kavum pleura (Moore, Dalley dan Agur, 2010).
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.1.2.
Paru Paru-paru dibagi menjadi 2 yaitu paru kanan dan paru kiri. Di paru
kanan terdiri dari 2 fissura: fissure horizontal dan fissura oblique yang membahagi paru kepada 3 lobus yaitu: lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Paru kanan lebih luas dan pendek karena dome diafragma kanan lebih tinggi dibanding dome diafragma kiri. Paru kiri terdiri dari 1 fissura yaitu fissura oblique dan 2 lobus. Fissura oblique terletak di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri. Di batas anterior paru kiri terdapat deep cardiac notch karena deviasi apeks jantung ke arah kiri (Moore, Dalley dan Agur, 2010).
2.1.1.3.
Bronkus Bronkus terdiri dari dua bagian yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Di setiap bronkus akan terbentuk lobar bronkus sekunder, dua di kiri dan tiga di kanan. Setiap lobar bronkus sekunder akan bercabang menjadi tertiary segmental bronchi yang kemudian akan membentuk bronkiolus. Di akhir brokiolus, terdapat jutaan kantung kecil udara yang disebut alveoli. Alveoli diselaputi oleh kapiler dan memiliki dinding yang tipis. Fungsi alveoli adalah untuk mentransportasi udara dan memastikan terjadinya pertukaran gas (Moore, Dalley dan Agur, 2010).
2.1.2.
Perdarahan Setiap paru mempunyai satu arteri pulmonari dan dua vena pulmonari. Arteri
pulmonari akan membawa darah yang kadar oksigennya kurang ke paru dan vena pulmonari akan mengalirkan darah yang mempunyai kadar oksigen yang tinggi dari paru ke jantung. Arteri bronkial menyuplai darah untuk kebutuhan metabolisme. Arteri bronkial merupakan cabang dari aorta torakalis. Vena bronkial kanan mengalirkan darah ke vena azygos dan vena bronkial kanan mengalirkan darah ke vena hemiazygos atau vena superior intercostalis kiri (Moore, Dalley dan Agur, 2010).
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.3.
Aliran Getah Bening Terdapat beberapa kumpulan nodus limfa yang merupakan bagian dari
sistem limfatik, drainase cairan yang diproduksi oleh paru (Canadian Cancer Society, 2015) i.
Nodus bronkial
: kelenjar getah bening di sekitar bronkus utama
ii.
Nodus hilus
: kelenjar getah bening di daerah di mana trakea terbagi menjadi bronkus utama
iii.
Nodus mediastinal (Superior) : kelenjar getah bening di bagian atas mediastinum
iv.
Nodus mediastinal subkarinal
: kelenjar getah bening di bawah trakea dimana
trakea
terbagi
menjadi
bronkus utama. v.
Nodus mediastinal (Inferior)
: kelenjar getah bening di bagian bawah mediastinum.
2.1.4.
Fisiologi Paru Fungsi utama paru-paru adalah untuk pertukaran gas. Udara masuk ke mulut
atau hidung ke trakea, bronki dan bronkiolus dan akhirnya alveoli. Di alveoli terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah di kapilari pulmonari dan sebaliknya. Oksigen akan berdifusi dari alveoli ke aliran darah sedangkan karbon dioksida akan berdifusi ke alveoli dari aliran darah. Saat inspirasi, terjadi pertukaran gas untuk menggantikan oksigen yang telah masuk ke dalam aliran darah dan karbon dioksida yang ada di alveolus (Ganong, 2010). Paru juga memainkan peranan dalam sistem pertahanan tubuh. Apabila terdapat benda asing yang masuk ke dalam bronki akan terjadi refleks bronkial konstriksi dan batuk. Di epitelium saluran nafas satu pertiga dari anterior hidung bronkiolus terdapat silia dan periciliary fluid. Dibahagian atas silia dan periciliary
Universitas Sumatera Utara
8
fluid dapat dijumpai lapisan mukus yang fungsinya untuk memerangkap dan mengeluarkan benda asing dengan bantuan silia (Ganong, 2010).
2.2.
Kanker Paru
2.2.1.
Definisi dan Jenis Apabila sel dalam satu bagian tubuh tumbuh tanpa terkontrol, seseorang itu
dikatakan mengidap kanker. Kanker adalah kumpulan penyakit dimana terdapat pertumbuhan yang abnormal dan pembelahan sel yang tidak terkontrol dan sel-sel itu menyebar ke dalam jaringan yang sehat. Terdapat dua jenis kanker paru, yaitu Karsinoma Paru Bukan Sel Kecil (KPBSK) dan Karsinoma Paru Sel Kecil (KPSK). Sekitar 80% kanker paru adalah KPBSK dan dapat dibagikan dalam tiga subkategori tergantung pada ukuran, bentuk dan komposisi sel kimia. Subkategori ini termasuk sel skuamus karsinoma, adenokarsinoma, dan sel besar karsinoma yang tidak berdiferensiasi. Sel skuamus karsinoma sebanyak 25% hingga 30 %. Adenokarsinoma sekitar 32-40% dari semua kanker paru. Sel besar karsinoma yang tidak berdiferensiasi sekitar 8% hingga 16% dari semua jenis kanker paru ( Zarogoulidis, 2013). Sekitar 10% hingga 15 % dari semua tipe kanker paru adalah kanker paru sel kecil yang dapat menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh . Kanker tipe ini biasanya bermula di bronkus yang berdekatan dengan dada dan dapat berdiferensiasi dengan cepat membentuk tumor-tumor yang besar dan menyebar ke nodus limfa dan organ seperti tulang, otak, dan hati (Helvie et al., 2011).
2.2.2.
Epidemiologi Pada hasil studi Eastern Mediterranean Health Journal, sekitar 8,95 per
100.000 yaitu sebanyak 15,2 per 100.000 pada pria dan 3,95 per 100.000 pada wanita terdiagnosa dengan kanker paru. Rata-rata didagnosa dengan kanker paru pada umur 57,5 tahun. Banyak pasien pada saat diagnosis merupakan perokok atau telah berhenti merokok yaitu sekitar 82,5 %. Adenokarsinoma merupakan tipe kanker paru yang
Universitas Sumatera Utara
9
paling dominan dengan meliputi sekitar 43,9% berbanding dengan tipe kanker paru yang lain. Kebanyakan kasus pada saat diagnosa merupakan kanker paru pada stadium akhir yaitu sekitar 64,2% pada stadium IV ( Ibrahim, 2010).
2.2.3.
Etiologi
2.2.3.1. Merokok Rokok menyebabkan sekitar 82% hingga 90% kanker paru pada pria dan 79% kanker pada perempuan. Efek daripada merokok merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan kanker paru dibandingkan faktor-faktor lain. Hasil studi menunjukkan perokok mempunyai resiko 22 kali lebih tinggi untuk didiagnosis dengan kanker paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan mortalitas kanker paru. Resiko kanker paru tergantung pada jumlah rokok yang dihisap yang disebut sebagai pack years yaitu (jumlah rokok yang dihisap dalam satu hari × jumlah tahun yang dirokok). Jumlah tahun yang dirokok lebih tinggi resikonya dibandingkan dengan jumlah rokok yang dihisap dalam sehari. Efek rokok terhadap kanker paru tergantung pada jenis rokok yang dihisap yang meliputi kriteria seperti kandungan tar serta adanya filtrasi atau tidak. Seseorang yang menghisap rokok yang tidak difiltrasi mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menghisap jumlah batang rokok yang sama tetapi rokoknya telah difiltrasi. Pipa dan cerutu mempunyai resiko yang lebih rendah dibandingkan rokok karena perokok pipa dan cerutu kurang menghisap rokok dan kurang menarik nafas dalam ketika merokok, namun mempunyai resiko tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Rokok mengandungi sekitar 4000 jumlah bahan kimia, di mana minimal 43 daripada bahan tersebut adalah karsinogen (Churg, 2005).
2.2.3.2. Perokok pasif Bukti hasil studi menunjukkan asap rokok yang dihisap oleh orang yang merokok untuk masa yang lama meningkatkan resiko pada orang di sekitarnya yang
Universitas Sumatera Utara
10
tidak merokok dan menghirup asap tersebut yaitu sebanyak 0,3 hingga 1,0. Sekitar 25 % dari kanker paru pada orang yang tidak merokok disebabkan oleh perokok pasif (Churg, 2005).
2.2.3.3. Polusi udara dan pekerjaan yang terpapar karsinogen Insidensi dan mortalitas kanker paru lebih tinggi di kawasan perindustrian yang memicu terjadinya kanker paru disebabkan oleh polusi udara. Kanker paru terjadi pada pekerja yang terpapar dengan bahan-bahan karsinogen seperti asbestos. Polusi udara menyebabkan 10% daripada kanker paru di negara berkembang (Churg, 2005). Beberapa substansi di tempat kerja telah dibuktikan bersifat karsinogenik pada paru. IARC telah mengidentifikasikan arsen, asbestos, berilium, kadmium, klorometil ester, kromium, nikel, radon, silika dan vinyl chloride sebagai karsinogen. Pada tahun 2000, diketahui terdapat sekitar 10% kematian kanker paru antara pria yaitu sekitar 88.000 kematian dan sekitar 5% kematian pada perempuan dengan sekitar 14.300 kematian di seluruh dunia disebabkan terpapar dengan 8 jenis bahan yang bersifat karsinogenik pada paru yaitu asbestos, arsen, berilium, kadmium, kromium, nikel, silika dan diesel. Steeland dan colleagues memperkirakan sekitar 6.800 hingga 17.000 kanker paru disebabkan oleh paparan bahan kimia di tempat kerja (Cruz et al., 2011).
2.2.3.4. Gas radon Gas radon menyebabkan kanker paru pada pekerja yang bekerja di kawasan pertimahan. Environmental Agency’s risk memprediksi 20.000 daripada kematian kanker paru setiap tahun disebabkan oleh gas radon dan harus diambil langkah keselamatan awal menguranginya sebanyak 25% (Churg,2005).
2.2.3.5. Parut dan fibrosis Karsinoma
perifer,
terutamanya
adenokarsinoma
subpleura
dan
bronkioalveolar disebabkan oleh parut. Parut ini mengandungi kolagen dan akan
Universitas Sumatera Utara
11
menyebabkan kerutan pada lapisan pleura. Parut yang terjadi disebabkan oleh penyakit-penyakit
seperti
bronchiectacis,
tuberkulosis
atau
trauma.
Studi
menunjukkan 3 hingga 7% karsinoma paru disebabkan oleh jaringan parut dan sekitar tiga perempat daripada karsinoma paru ini adalah adenokarsinoma (Churg, 2005). Dari 1.186 karsinoma parut tersebut 23,2% berasal dari riwayat tuberkulosis. Harus dicatat bahwa data ini berasal dari Amerika Serikat dimana insiden tuberkulosis paru hanya 0,015 % atau ± 1/20 insiden tuberkulosis di Indonesia (Alsagaff.H et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitian Journal of Cardiothoracic Surgery, didapati penyakit tuberkulosis paling umum terdapat pada karsinoma sel skuamus yaitu sekitar 51.6% dan pada adenokarsinoma sekitar 43.8% ( Zhou,2013).
2.2.4.
Klasifikasi histopatologi
Gambar 2.2. Karsinoma sel skuamus (Travis, 2011)
2.2.4.1. Karsinoma sel skuamus Berciri khas proses keratinisasi, pembentukan bridge intersellular dan pembentukan mutiara. a)
Papillary
b)
Clear cell
c)
Small cell
d)
Basaloid
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.3. Karsinoma sel kecil (Travis, 2011) 2.2.4.2. Karsinoma sel kecil Pembentukan sarang, trabekula, dan menbentuk rosette. Disebut juga oat cell carcinoma karena bentuknya mirip biji gandum. Sel-sel bermitosis dengan banyak sekali. Tidak mempunyai nukleoli dan terdapat gambaran nekrosis. a)
Combined small cell carcinoma
Gambar 2.4. Adenokarsinoma (Travis, 2011) 2.2.4.3. Adenokarsinoma Sel tumor memasuki ruang alveoli. Tidak mempunyai sel kohesif. Khas dengan bentuk formasi glandular dan kecenderungan ke arah pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk musin, dan sering tumbuh dari bekas kerusakan jaringan paru (scar). a)
Adenocarcinoma, mixed subtype
b)
Acinar adenocarcinoma
c)
Papillary adenocarcinoma
Universitas Sumatera Utara
13
d)
Bronchioalveolar
carcinoma:
nonmucinous,
mucinous,
mixed
nonmucinous and mucinous or indeterminate e)
Solid adenocarcinoma with mucin production : fetal adenocarcinoma, mucinous carcinoma, mucinous cystadenocarcinoma, signet ring adenocarcinoma, clear cell adenocarcinoma
Gambar 2.5. Karsinoma sel besar (Travis, 2011) 2.2.4.4. Karsinoma sel besar Ini suatu subtipe yang gambaran histologisnya dibuat secara ekslusi. Sel ini kurang berdiferensiasi dan mempunyai sitoplasma dan nukleoli. Sel ini tidak ada gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular (Travis, 2011). a)
Large cell neuroendocrine carcinoma - Combined large cell neuroendocrine carcinoma
b)
Basaloid carcinoma
c)
Lymphoepithelioma–like carcinoma
d)
Clear cell carcinoma
e)
Large cell carcinoma with rhabdoid phenotype
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.5.
Patogenesis
NORMAL EPITHLEIUM
METAPLASIA
MILD DYSPLASIA
SEVERE DYSPLASIA
CARCINOMA Gambar 2.6. : Patogenesis (Fisheman et al., 2008) 2.2.6.
Gejala Klinis Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila telah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Menurut Journal of Chest, gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk dengan sekitar 8-75%, kehilangan berat badan 0-68%, dipsnea 3-60%, nyeri dada 20-49%, hemoptisis 6-35%, nyeri tulang 6-25%, demam 0-20% dan mengi sekitar 0-2% (Spiro, 2007).
2.2.7.
Prosedur Diagnostik dan Diagnosis
2.2.7.1. Pemeriksaan sitologi Pemeriksaan sitologi dikerjakan terutama bila pasien ada keluhan seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil yang positif karena ia tergantung dari letak tumor terhadap bronkus, jenis tumor, teknik pengeluaran sputum,
Universitas Sumatera Utara
15
dan jumlah sputum yang diperiksa. Dianjurkan pemeriksaan 3-5 hari berturut-turut dan pada waktu pemeriksaan,sputum harus segar. Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai 67-85% pada karsinoma sel skuamus. Pemeriksaan sitologi sputum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dan skrining untuk diagnosis dini kanker paru, dan saat ini sedang dikembangkan diagnosis dini pemeriksaan sputum memakai immune staining dengan MAb dengan antibodi 624H untuk antigen KPSK (Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil) dan antibodi 703 D untuk antigen KPKBSK (Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil). Laporan dari National Cancer Institute USA teknik ini memberikan hasil sensitivitas 91% dan spesifitas 88%. Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker paru dapat dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening servikal, supraklavikula, bilasan, dan sikatan bronkus pada bronkoskopi (Sudoyo, 2009).
2.2.7.2. Pemeriksaan histopatologi Menurut Sudoyo (2009), pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker paru untuk mendapatkan spesimennya dapat dengan cara biopsi melalui bronkoskopi: Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat berupa: a.
Transbronchial Lung Biopsy (TBLB) dengan tuntutan fluroskopi, atau ultrasonografi
b.
Belakangan
ini
sedang
dikembangkan
pemeriksaan
fluorescence
bronchoscopy dengan memakai fluorescence exchanging agent seperti HpD (hematoporphyrin derivative) memberikan konsentrat fluoresensi pada jaringan kanker. Teknik yang lebih baru lagi adalah dengan auto fluorescence bronchoscopy. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan 50% lebih sensitif daripada white light bronchoscopy untuk deteksi karsinoma in situ dan displasia berat.
Universitas Sumatera Utara
16
c.
Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada saat ini untuk mendeteksi tumor perifer, tumor endobronkial, kelenjar getah bening mediastinum dan lesi daerah hilus.
d.
Hasil positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95% untuk tumor yang letaknya sentral dan 70-80% untuk tumor yang letaknya perifer.
e.
Trans–bronchial Needle-Aspiration (TBNA). Dikerjakan pada nodul getah bening di hilus atau mediastinum. Hasilnya akan lebih baik bila dituntun dengan CT scan.
2.2.7.3. Diagnosis Kanker Paru Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi intratorakal tersebut sebagai tumor jinak atau ganas. Bila fasilitas ada dengan teknik Positron Emission Tomography (PET) dapat dibedakan antara tumor jinak dan ganas serta untuk menentukan staging penyakit. Kemudian ditentukan apakah letak lesi sentral atau perifer, yang bertujuan untuk menentukan bagaimana cara pengambilan jaringan tumor. Untuk lesi yang letaknya perifer, kombinasi bronkoskopi dengan biopsi, sikatan, bilasan, transtorakal biopsi / aspirasi dan tuntunan USG atau CT Scan akan memberikan hasil yang lebih baik. Sedangkan untuk lesi sentral, langkah pertama sebaiknya dengan pemeriksaan sitologi sputum diikuti bronkoskopi fleksibel. Secara radiologis dapat ditentukan ukuran tumor (T), kelenjar getah bening torakal (N) dan metastasis ke organ lain (M) ( Sudoyo, 2009).
2.2.8.
Stadium Kanker Paru
Tabel 3.1 : Stadium Kanker Paru (TNM Staging, 2009) Tumor primer TX
Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak nampak secara radiologis atau bronkoskopik
Universitas Sumatera Utara
17
T0
Tidak ada bukti ada tumor primer
Tis
Karsinoma in situ
T1
Tumor < 3cm
T1a
Tumor < 2 cm
T1b
Tumor antara 2 – 3 cm
T2
Tumor antara 3-7 cm
T2a
Tumor antara 3 – 5 cm
T2b
Tumor antara 5 – 7 cm
T3
Tumor lebih dari ≥7cm
T4
Tumor menyebar ke mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, pleura, efusi pleura maligna.
Tabel 3.2. : Stadium Kanker Paru (TNM Staging, 2009) Metastasis jauh (M) M0
Tak ditemukan metastasis jauh
M1
Ditemukan metastasis jauh
M1a
Metastase di daerah intratoraks
M1b
Metastase di daerah extratorakal
Tabel 3.3. : Stadium Kanker Paru (TNM Staging, 2009) Kelenjar getah bening regional (N) NX
Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
N0
Tidak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1
Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial atau hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung
N2
Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral atau KGB subkarina
N3
Metastasis pada mediastinal kontralateral, skalenus atau supraklavikula
Universitas Sumatera Utara
18
Tabel 3.4. : Anatomic Stage TNM (American Joint Committee on Cancer) ANATOMIC STAGE / PROGNOSTIC GROUPS Occult Carcinoma
TX
N0
M0
Stage 0
Tis
N0
M0
Stage IA
T1a
N0
M0
T1b
N0
M0
Stage IB
T2a
N0
M0
Stage IIA
T2b
N0
M0
T1a
N1
M0
T1b
N1
M0
T2a
N1
M0
T2b
N1
M0
T3
N0
M0
T1a
N2
M0
T1b
N2
M0
T2a
N2
M0
T2b
N2
M0
T3
N1
M0
T3
N2
M0
T4
N0
M0
T4
N1
M0
T1a
N3
M0
T1b
N3
M0
T2a
N3
M0
T2b
N3
M0
T3
N3
M0
T4
N2
M0
T4
N3
M0
Stage IIB
Stage IIIA
Stage IIIB
Universitas Sumatera Utara
19
Stage IV
Any T
Any N
M1a
Any T
Any N
M1b
2.2.9.
Penatalaksanaan
a)
Radioterapi
b)
Radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvant /paliatif pada tumor. Pengobatan ini mempunyai nilai kuratif sekitar 20% pada karsinoma sel skuamus dan kesembuhan pasien diprediksi selama 5 tahun. Terapi paliatif dilaksanakan pada sel besar karsinoma. Nilai kuratifnya rendah pada sel adenokarsinoma. Radioterapi mengurangi ukuran tumor pada karsinoma sel kecil.
c)
Kemoterapi
d)
Pengobatan ini mempunyai respon yang terbatas pada karsinoma sel skuamus dan karsinoma sel besar. Kemoterapi mempunyai respon yang kurang baik pada adenokarsinoma namun mempunyai respon yang baik pada karsinoma sel kecil.
e)
Pembedahan
f)
Pembedahan mempunyai nilai kuratif sekitar 25% pada karsinoma sel skuamus dan survival pasien selama 5 tahun serta penyakitnya terbatas. Cara ini membawa keuntungan yang kurang pada karsinoma sel besar dibandingkan pada karsinoma sel skuamus. Pada adenokarsinoma, kesembuhan pasien rendah dan pada karsinoma sel kecil, pembedahan dilakukan untuk mengurangi ukuran tumor (Spiro, 2005).
Universitas Sumatera Utara