BAB 2 SENI DAN SPIRITUALITAS
2.1. Pandangan Tentang Eksistensi Manusia Sebelum penulis membahas beberapa pandangan tentang eksistensi manusia, perlu dimengerti lebih dahulu apakah hakikat manusia itu. Untuk itu kita harus mengerti apakah hakikat itu. Hakikat secara sederhana berarti sesuatu yang mendasar, sesuatu yang esensial dan substansial, yang penting dan yang diutamakan. Hakikat merupakan syarat dari sebuah eksistensi. Hakikat dapat dimengerti sebagai SESUATU yang harus ada pada sesuatu yang jikalau SESUATU itu tidak ada maka sesuatu itu pun tidak terwujud. Dapat juga diterangkan dalam sebuah rumusan, SESUATU ditambah sesuatu sama dengan eksistensi, sedangkan sesuatu dikurangi SESUATU sama dengan noneksistensi, (S + s = E) atau (s – S = NE). Sesuatu (huruf besar) merupakan syarat yang menentukan ada tidaknya sesuatu (garis bawah), sedangkan sesuatu (garis bawah) merupakan simbolsimbol bereksistensi yang eksistensinya ditentukan di dalam diri sesuatu (huruf besar).4 Jadi tidak ada hakikat maka tidak akan ada eksistensi. Eksistensi dimengerti sebagai perwujudan manusia, bagaimana manusia mewujud atau meng-ada di dalam dan terhadap dunia. Sedangkan hakikat sifatnya lebih mendasar atau substansial, yaitu apa yang menjadikan manusia itu ada. Dengan mempertanyakan hakikat manusia, kita sebenarnya sedang menanyakan apakah manusia itu?, dan bagaimana manusia itu ada? Pertanyaan tersebut walaupun jawabannya telah dipikirkan dan diupayakan sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, tetap merupakan pertanyaan 4
Manusia, Filsafat, dan Sejarah, Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum., Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 14.
x
yang penting untuk selalu ditanyakan. Mempertanyakan bukan karena seolah belum ada jawabannya, tetapi bertanya sebagai tindakan perenungan untuk lebih menyadari dan mendalami posisi dan peran manusia di bumi. Menurut Socrates (470-399 sbl.M.) hal yang pertama harus diselesaikan adalah kenalilah dirimu, siapa saya? Mengenal dengan baik siapa saya dapat mengantar kepada pengenalan terhadap di luar saya yang lebih asasi. Socrates dapat dinilai sebagai filsuf pertama yang secara serius menjadikan manusia salah satu tema sentral dalam pemikirannya. Ia beranggapan bahwa hanya dengan mengetahui dan mengenal siapa manusia, kita menjadi sadar tentang kedirian kita. Mengenal diri penting artinya untuk membebaskan manusia dari keterasingan terutama keterasingan terhadap diri sendiri. Yang dimaksud dengan mengenal diri disini bukan hanya mengenal manusia secara fisik pada taraf anatomi, tetapi mengenal hakikatnya yang mendasar. .…hanya dengan cara melepaskan pikiran dari manusia, jalan untuk sampai pada hakikat dapat diretas jelas. Ketika pikiran masih berada dalam manusia maka esensi tentang manusia baru berada dalam taraf anatomi fisis (organisme). Oleh sebab itu, yang paling mendasar dilakukan bagi manusia adalah “Memasukkan manusia dalam pikiran, dan bukan sebaliknya memasukkan pikian dalam manusia”.5 Merujuk pada pernyataan Dr. Juraid tersebut, hanya dengan jalan ‘manusia masuk dalam pikiran’ manusia dapat melakukan pengenalan atas kediriannya. Jika cara yang dilakukan masih pada taraf ‘pikiran masuk dalam manusia’ maka pengenalan yang diperoleh hanya sampai pada taraf fisik. Sedangkan yang terutama adalah mengenal hakikat, hal yang paling hakiki dan mendasar yang membawa kepada pencerahan kemanusiaan.
5
Ibid., hal 15
xi
Dalam usaha untuk menjawab pertanyaan mengenai hakikat manusia, telah muncul banyak pemikiran dengan berbagai macam sudut pandang. Dan dari pemikiran demi pemikiran tersebut dapat ditemukan suatu kecenderungan yang membandingkan manusia dengan hewan. Usaha pendefinisian dengan cara membandingkan tersebut secara garis besar telah menghasilkan dua argumen. Yang pertama beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan, mereka berada dalam timbangan yang berimbang. Manusia dipandang seperti layaknya mesin yang terjadi dari sebab-sebab mekanis. Jiwa yang dimiliki manusia dipandang sebagai hasil pertumbuhan badan. Pandangan ini berkaitan dengan faham materialisme yang memandang tubuh sebagai wujud eksistensi manusia hanya dari sudut pandang materi. Anggapan yang kedua sangat berbeda dengan yang pertama. Manusia dikatakan sangat jauh berbeda dari hewan. Manusia tidak dapat disandingkan dengan hewan karena manusia memiliki jiwa. Jiwa manusia bukanlah hasil dari pertumbuhan badan, dan tidak ditentukan oleh badan. Jiwa manusia berasal dari Tuhan. Anggapan tersebut memandang hakikat manusia dari sudut pandang spiritualitas. Berikut penulis mengutip beberapa anggapan yang menyatakan dengan tegas perbedaan tersebut : “ Antara binatang dan manusia terdapat jurang yang tak terseberangi, setidaktidaknya sejauh menyangkut jiwa manusia, jiwa manusia adalah langsung berasal dari Tuhan.” (Frans Dahler 1971) “Manusia adalah tukang bertanya”; “Kesadaran manusia adalah bersifat bertanya yang sebenar-benarnya” (Prof. R. F. Beerling 1966) “ Perbedaan antara manusia dan hewan serta tumbuh-tumbuhan terletak dalam kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang menciptakan kebudayaan”. (J. Verkuyl 1960) 6
6
Kutipan ini diambil dari uraian Dr. Juraid Abdul latief dalam bukunya Manusia, Filsafat, dan Sejarah, penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal.18-19
xii
Anggapan-anggapan tersebut menyatakan dalam sudut pandang spiritualitas bahwa manusia adalah makhluk yang mulia sangat berbeda dengan hewan. Karena memiliki jiwa manusia memiliki kesanggupan untuk berbudaya dan mengembangkan kebudayaan, berbeda dengan binatang yang hanya hidup berdasarkan insting. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembahasan mengenai manusia bertumpu pada fenomena jasmani (tubuh) dan fenomena rohani (roh). Kedua hal ini terintegrasi dan melahirkan eksistensi. Setelah terintegrasi keduanya mulai saling mendominasi satu sama lain. Apabila tubuh fisik yang mendominasi maka cenderung nilai negatif lah yang dominan dari manusia, manusia akan cenderung untuk memanjakan keinginan tubuhnya dan menolak nilai-nilai spiritual. Tetapi sebaliknya jika roh mendominasi maka cenderung nilai positif lah yang dominan. Jika dibandingkan dengan penjelasan sebelumnya tentang pengertian hakikat, maka roh tersebut dapat dimengerti sebagai SESUATU (syarat yang menentukan adanya sesuatu), sedangkan tubuh fisik dapat dimengerti sebagai sesuatu (simbol bereksistensi yang eksistensinya ditentukan oleh SESUATU itu).
2.1.1. Pandangan Kristen Tentang Eksistensi Manusia. Sebagai salah satu landasan dan kerangka berpikir penulis mengambil beberapa pandangan dalam agama Kristen tentang eksistensi manusia. Telah diketahui berdasarkan uraian diatas bahwa dalam pembahasan mengenai hakikat manusia kita dapat menemukan fenomena tubuh dan roh yang terintegrasi dan melahirkan eksistensi. Jadi, jika kita kembali pada pertanyaan semula apakah sebenarnya yang menjadi hakikat manusia itu? Apakah tubuh semata atau roh semata? Jawabannya adalah kedua-duanya,
xiii
roh dan tubuh yang berintegrasi merefleksikan manusia. Tidak mungkin jika berkaitan dengan eksistensi kita hanya menekankan pada aspek roh saja atau tubuh saja sebagai hakikat manusia. Manusia menjadi manusia karena adanya integrasi tubuh dan roh. Agama Kristen pun memiliki pandangan yang sama, dapat dilihat dalam kutipan ayat berikut: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubumu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (I Korintus 6:19) 7 Dari kutipan tersebut kita dapat melihat fenomena tubuh dan roh yang bersatu. Agama Kristen memandang tubuh sebagai bait tempat berdiamnya Roh Allah. Tubuh dilihat dari sudut pandang spiritual sebagai tempat atau ruang yang kudus dan sakral. Keberadaan tubuh bukan hanya untuk dimanjakan atau dipuaskan keinginannya, tetapi tubuh didedikasikan dan dipersembahkan kepada Tuhan. Pernyataan “...tubuhmu adalah bait Roh Kudus...”, secara langsung menjelaskan bahwa pribadi manusia itu bersifat roh yang bersatu dalam tubuh. Sedangkan kalimat berikutnya yaitu “…,-dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” merupakan pernyataan yang menjelaskan eksistensi manusia. Dalam kalimat tersebut tidak lagi dikatakan “...tubuhmu…”, tetapi langsung dikatakan “…kamu…”, yang berarti tidak hanya menunjuk kepada tubuh saja atau pada roh saja, tetapi manusia secara keseluruhan, tubuh dan roh sebagai pribadi. Tubuh sebagai bait Allah berkaitan dengan konsep chabod dalam kebudayaan Yahudi yang berarti ‘kehormatan dan kemuliaan’. Bait Allah adalah chabod Allah. Sebagaimana Allah dalam Perjanjian Lama diceritakan memanifestasikan diri-Nya dengan berselubung cahaya lambang dari kemuliaan dan kehormatan. Bait Allah adalah
7
Alkitab Terjemahan Baru, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, cetakan ke-174, th.1999.
xiv
juga Rumah Allah tempat berdiamnya tabernakel, suatu tempat dimana para imam berkumpul dan menghadap Tuhan. Rumah Allah merupakan tempat dimana Tuhan dapat memanifestasikan diri-Nya. Pernyataan tubuh sebagai bait Allah juga menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari Allah, berasal dari Allah, dan memperoleh kehidupannya dari Allah. Dapat dikatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki sifat-sifat Allah secara kodratnya. Seperti yang tersirat dalam kutipan berikut: “Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kejadian 1: 26-27) 8 Kutipan ayat diatas menerangkan posisi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungannya. Thomas Aquinas9 dalam ajarannya memiliki konsep pikir yang sama. Ajarannya berkisar pada konsep ‘partisipasi’ (Inggris: participation) atau hal mengambil bagian. Maksudnya adalah segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah. Agama Kristen juga mengenal dualisme tubuh dan roh. Tubuh seringkali terkait pada perkara persanggamaan dan pengorbanan, kehidupan dan kematian, kejatuhan dalam dosa dan kebangkitan badan. Tubuh seringkali identik dengan keinginan-keinginan yang bersifat duniawi, dalam hal ini tubuh harus ditundukkan pada roh. Tetapi tubuh juga merupakan tempat kudus yang dipersembahkan kepada Tuhan. Jika manusia lebih mengarahkan dirinya pada hal-hal yang sifatnya materi atau keinginan-keinginan 8
ibid.
9
Thomas Aquinas (1225 – 1274) adalah filsuf dan teolog yang berpengaruh pada perkembangan filsafat abad pertengahan. Ia adalah murid dari Albertus agung (1205 – 1280) salah satu pempimpin besar Gereja pada masa patristik dan abad pertengahan. Beberapa pokok ajarannya adalah tentang penciptaan, pengenalan akan Allah, hilemorfisme (ajaran tentang materi dan bentuk), dan tentang manusia.
xv
duniawi, maka tubuh dekat dengan nilai negatif. Tetapi jika diarahkan pada hal-hal yang sifatnya rohani, maka tubuh dekat dengan nilai-nilail positif. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensi manusia lahir dari integrasi tubuh dan roh. Walaupun tubuh bersifat tidak kekal, tetapi tidak dapat dikesampingkan ia merupakan salah satu syarat dari sebuah eksistensi. Dalam integrasi tersebut keduaduanya harus diarahkan pada Tuhan untuk memuliakan Tuhan. Jadi dapat dikatakan manusia yang hadir di bumi (exist), kehadirannya atau eksistensinya itu adalah untuk Tuhan dan bukan dirinya sendiri. Dengan demikian maka manusia tidak akan terhilang dan kehilangan dirinya sendiri.
2.1.2. Interioritas dan Ekterioritas Tubuh Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa tubuh merupakan bagian dari eksistensi manusia. Bahwa eksistensi manusia merupakan integrasi antara tubuh dan roh. Memang pribadi manusia yang sesungguhnya adalah bersifat roh karena roh bersifat kekal. Tetapi roh tersebut mewujud di dalam tubuh. Jadi tubuh dan roh tidak dapat dipisahkan berkaitan dengan eksistensi. Dalam beberapa pemikiran fenomena tubuh dan roh ini dipisahkan secara tegas. Beberapa menekankan pada fenomena tubuh sebagai realitas materil dan sedikit mengesampingkan roh. Sedangkan pemikiran lain lebih menekankan pada fenomena roh. Dalam hal ini penulis memandang bahwa pemisahan secara tegas yang bertujuan untuk mementingkan keberadaan yang satu dari yang lain itu tidak perlu. Karena keberadaan keduanya terintegrasi sebagai satu kesatuan. Membicarakan eksistensi manusia tidak lepas dari persoalan tubuh dan roh.
xvi
Di bagian ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan dua kecenderungan yang berkaitan dengan fenomena tubuh. Yaitu tubuh sebagai interioritas dan tubuh sebagai eksterioritas. Keduanya yang memang tampak bertentangan sebenarnya bergantung pada dari sudut mana tubuh tersebut dialami dan dipersepsi. Tubuh sebagai interioritas adalah bagaimana tubuh tersebut dialami secara subjektif oleh si pemilik tubuh. Ada berbagai pemikiran tentang hal ini. Salah satunya kekristenan sebagai tulang punggung kultur barat klasik memandang tubuh sebagai semacam rumah atau tempat yang sifatnya sementara bagi roh yang sifatnya kekal. Tubuh harus ditaklukkan pada roh, tubuh juga berkaitan dengan tindakan pengorbanan kepada Tuhan. Tubuh dipandang sebagai realitas sementara sedangkan realitas yang sejati adalah roh. Manusia dibuat dari debu dan tanah, lalu Tuhan menghembuskan nafas hidup, maka manusia pertama pun jadilah. Demikian Alkitab menjelaskan bagaimana manusia itu pertama kali terbentuk. Dari pernyataan ini dapat dimengerti bahwa tubuh fisik bukanlah realitas yang sejati. Tubuh manusia merupakan kumpulan dari zat-zat yang terdapat juga di alam. Apabila seseorang meninggal maka tubuhnya yang mati akan membusuk dan terurai zat-zat pembentuknya ketika dikuburkan di dalam tanah. Jadi roh yang dikatakan nafas hidup itulah yang membuat tubuh tersebut hidup. Karena itu roh dipandang sebagai realitas yang kekal dan paling sejati. Karena kejadian manusia itu merupakan inisiatif Tuhan, dan Tuhanlah yang memberikan bagian dari diri-Nya yang membuat manusia itu hidup, maka tubuh bernilai sakral dan transenden. Tubuh bukan untuk diarahkan pada kepentingan duniawi semata, bukan juga hanya untuk dipuaskan keinginannya, atau untuk dinilai hanya dari fungsinya saja. Tetapi tubuh harus
xvii
ditempatkan pada posisi dimana terdapat semangat cinta akan Tuhan sehingga tubuh dipersembahkan kepada Tuhan. Penjelasan ini tidak bermaksud memisahkan dua fenomena tersebut dan menekankan hanya pada salah satunya. Tubuh dan roh tetap sebagai satu kesatuan integrasi totalitas kedirian. Tubuh sebagai interioritas ini berkaitan erat dengan transendensi tubuh. Modernitas yang mengusung semangat rasionalisme dan individualisme telah membawa manusia pada budaya materialisme, yaitu penekanan pada realitas materil. Modernitas telah membawa manusia pada pengutamaan rasio dan mulai meninggalkan pengalaman yang bersifat transenden. Perkembangan modernitas tidak lepas dari apa yang terjadi pada awal abad 18 yaitu yang dikenal sebagai masa Aufklärung yang berarti masa pencerahan. Orang Inggris menyebutnya dengan Enlightenment. Pada masa ini manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Ini adalah masa dimana semangat untuk mengutamakan rasio menjalar pada manusia barat yang sebenarnya sudah dimulai pada masa Renaissance. Rene Descartes dan Immanuel Kant adalah tokoh yang pemikirannya berpengaruh besar pada awal masa ini. Kepercayaan akan rasio pada abad 18 ini menyebabkan munculnya kecenderungan untuk meluputkan diri dari kewibawaan Wahyu Ilahi dan Gereja. Pada masa ini salah satu gejala Aufklärung yang terjadi di Inggris yang patut disebut adalah deisme. Yang dimaksud dengan deisme adalah pendirian pemikirpemikir yang sungguhpun menerima adanya Allah, tetapi beranggapan bahwa Allah tidak menghiraukan penyelenggaraan dunia. Penyelenggaraan dunia dapat dijelaskan dengan prinsip mekanistis. Karena itu mereka yang termasuk dalam gejala ini mengingkari segala hal yang adikodrati, misalnya wahyu dan mukjizat.10 Ini titik awal manusia mulai memandang alam sebagai objek yang harus dieksploitasi dan dikuasai sehingga alam 10
Ringkasan Sejarah Filsafat, Dr. K. Bartens, Yayasan Kanisius, Jakarta, 1976, hal. 51-52
xviii
mengalami desakralisasi. Demikian juga dengan tubuh, tubuh kehilangan makna sakralnya. Pengalaman akan tubuh bukan lagi dilihat dari segi spiritualitas tetapi dari sudut pandang yang duniawi. Tubuh menjadi objek untuk wahana kesenangan, untuk dinikmati, untuk bermain, dan bahkan untuk dibeli sebagai komoditas. Dalam hal ini tubuh lebih dilihat sebagai eksterioritas. Yaitu bagaimana tubuh tersebut dialami dari dunia luar. Modernitas telah mensubordinasikan interioritas tubuh pada eksterioritas. Tubuh tidak lagi ditaklukkan oleh roh tetapi roh dan jiwa ditaklukkan oleh tubuh. Hedonisme pun masuk sebagai ekses dari modernitas dimana manusia terobsesi pada kesenangankesenangan jasmani atau duniawi dan pada penampilan fisik. Disisi lain juga individualisme telah membuat manusia terjebak dalam alienasi atau keterasingan. Di tahap inilah ketika tubuh mengalami desakralisasi, maka manusia kehilangan pengalaman spiritual dan transenden-nya akan tubuh. Citra diri dalam masyarakat modern bertransformasi menjadi citraan tubuh. Manusia modern kehilangan kepekaan dan kesadarannya akan makna kehadiran (presence). Fenomena ini dapat dilihat dikota-kota besar seperti di pertokoan atau perkantoran, ketika manusia-manusia berkumpul, berpapasan, saling melihat tetapi dengan sikap yang terkesan dingin. Masing-masing pribadi menjadi terasing dan terjebak dalam kesendirian sehingga tercipta atmosfer yang dingin. Manusia-manusia ini menjadi tidak refleksif. Sebuah paradoks jika dibandingkan dengan apa yang diyakini oleh para pemikir modern, yaitu bahwa ciri utama modernitas yang matang adalah munculnya citra diri yang refleksif (refleksif self).
xix
2.2. Spiritualitas Dalam Seni 2.2.1. Seni Spiritual Perkembangan seni tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan. Seni dalam berbagai bentuk selalu berkaitan dengan persoalan kehidupan manusia. Sebagai bagian dari kebudayaan seni memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi personal, sosial, dan fisik. Sebagaimana manusia pun merupakan makhluk individual dan juga makhluk sosial. Seni yang memiliki fungsi sosial merupakan seni yang ditujukan untuk kemajuan masyarakat, seniman dipandang sebagai seorang yang mengemban suatu amanat dari masyarakat sedangkan karya seni merupakan instrumennya yang memuat pesan-pesan dan nilai-nilai moral dan sosial. Sedangkan seni yang memiliki fungsi personal adalah seni yang ditujukan untuk ekpresi personal dari seniman. Dalam hal ini karya seni dianggap sebagai media yang dapat merekam dan menggambarkan ekspresi, perasaan, dan persepsi seniman yang sangat personal terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di dunia luar. Disini karya seni dibayangkan menjadi semacam jendela bagi setiap orang untuk dapat melihat berbagai persoalan dari sudut pandang dan persepsi seniman yang sangat personal. Sehingga mereka yang melihatnya, dapat merasakan apa yang dirasakan oleh seniman. Salah satu bagian dari fungsi personal seni adalah fungsi spiritual. Sebelumnya kita perlu membedakan antara karya seni yang memiliki fungsi spiritual atau seni spiritual dengan seni religius. Seni religius pada umumnya merepresentasikan nilai-nilai kolektif religius dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Seni religius berkaitan erat dengan ajaran agama. Karya-karya seni religius biasanya berisi ajaran-ajaran atau cerita dalam kitab suci, yang ditujukan untuk membangun iman dan mengarahkan
xx
manusia pada perilaku yang sesuai dengan kebenaran dan norma dalam kitab suci. Lukisan-lukisan kaligrafi atau lukisan-lukisan fresco pada dinding gereja di Eropa merupakan salah satu contoh karya seni religius. Jika dilihat dari sudut spiritualitas, karya seni religius dapat memunculkan kualitas spiritual tertentu, terutama apabila sebagai instrumen, karya tersebut berhasil mencapai tujuannya di masyarakat. Tetapi berbeda dengan seni spiritual, dimana tema atau subject matter dalam karya tersebut tidak harus berisi ajaran-ajaran atau cerita-cerita dari kitab suci tetapi dapat memunculkan kualitas spiritual. Kategori seni spiritual merujuk pada praktek seni yang lebih mengutamakan pencarian terhadap spiritualitas manusia. Pencarian tersebut berkisar pada persoalan filosofis tentang hakikat manusia dalam hubungannya dengan sesamanya, dengan alam semesta, dan dengan Tuhan. Furthermore, spiritual art expresses the questions an artist may have about man’s place in the universe, whereas religious are tends to deal with the answers which have been institutionally established. We might define spiritual concern, so far as the present discussion is concerned, as the personal search for values through art.11 Seni spiritual dapat dikatakan merepresentasikan pertanyaan-pertanyaan seputar eksistensi manusia. Sedangkan seni religius secara langsung merepresentasikan jawabanjawaban atas pertanyaan tersebut berdasarkan norma-norma dalam kitab suci. Dilihat dari akar katanya spirit dapat berarti jiwa, sukma, atau roh dan spiritual berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, atau moral. Dalam bahasa inggris kedua kata tersebut berarti:
11
Art as Image and Idea, Edmund Burke Feldman, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1967, hal. 24.
xxi
Spirit : the force or principle of life that animates the body of living things. Spiritual : relating to the spirit or soul and not to physical nature or matter; intangible.12 Jadi dapat diartikan bahwa spiritualitas berkaitan dengan sesuatu yang tidak kasat mata, tidak dapat disentuh tetapi dapat dirasakan, semacam energi atau tenaga yang membuat makhluk hidup memiliki kehidupannya. Karya-karya seni spiritual adalah karya-karya yang memiliki atau dapat memunculkan kualitas tersebut. Walaupun tetap harus dibedakan dengan hal-hal yang bersifat mistis. Peng-kategori-an seni spiritual disini tidak dimaksudkan untuk mengartikan seni yang mistis yang dekat dengan dunia roh, itu adalah persoalan yang berbeda sama sekali. Kategori tersebut dimaksudkan untuk mendefiniskan kecenderungan dari praktek seni yang baik tema atau gagasan dan objek seni nya secara objektif dapat menghasilkan kesan-kesan yang sublim. Kata sublim, dalam bahasa inggris sublime berarti : of high moral, intellectual, or spiritual value; noble; exalted.13 Kesan seperti itu dapat dilihat dalam karya Van Gogh yang cukup terkenal “The Starry Night” (lihat gambar 1), cara Van Gogh menggambar objek dalam lukisan tersebut dengan brush stroke yang tegas, memberikan kesan hidup, objek tersebut seolah bergerak. Seolah dia ingin membawa kita untuk memasuki suatu ruang hidup yang lain yang belum pernah kita masuki. Hal ini terlihat juga dalam objek-objek lain yang ia gambarkan baik itu benda bernyawa atau tidak, ia membuat seolah-olah objek tersebut terlihat hidup, bergerak dan memiliki nyawa bagi orang yang melihatnya. Kesan seperti ini merupakan kualitas yang membuat karya nya dapat dikategorikan sebagai karya dengan kecenderungan kearah spiritualitas. Demikian juga dengan karya-karya Edvard 12
The Collins Dictionary and Thesaurus, William T McLeod, HarperCollins Publishers, Great Britain, 1992. 13 Ibid.
xxii
Munch salah satunya yang cukup terkenal berjudul “The Scream” (lihat gambar 2). Karya-karyanya memperlihatkan suatu ketakutan, depresif, labil, dan gelisah, menggambarkan pengalaman-pengalaman yang ia alami semasa hidupnya. Ada alasan mendasar dan latar belakang yang kuat mengapa karya-karyanya seperti itu, karena ia berangkat dari pengalaman personalnya, ketakutan dan penderitaan yang ia alami pada saat ibu dan kakak perempuannya meninggal. Kesan-kesan seperti itu dapat merangsang publik untuk bersikap refleksif terhadap hidup. Terutama jika kita mengetahui latarbelakang kondisi sosial politik dimana Edvard Munch hidup. Yang dimaksud dengan sikap refleksif adalah karya tersebut dapat membawa orang untuk menyadari nilai-nilai mendasar
yang
berkaitan
dengan
hidup.
Lukisannya
secara
tidak
langsung
memperlihatkan simbolisasi spiritual yang berdasarkan perenungannya akan hidup dan dapat membawa kepada semacam sublimasi.
“The Starry Nigh”, Vincent Van Gogh (Sumber: http:/ www.vincentvangoghgallery.com)
xxiii
“The Scream”, Edvard Munch (Sumber: http:/www.edvard-munch.com)
Penulis mengambil contoh kedua seniman tersebut sebagai contoh bahwa dalam seni spiritual, seniman tidak harus memunculkan ikon-ikon dan simbol yang berkaitan dengan agama tetapi tetap dapat memasuki wilayah spiritual, terutama bila karya tersebut berkaitan dengan pengalaman personal seniman. Sebenarnya dalam kacamata yang lebih umum dapat dikatakan sebagian besar karya seni dalam seni rupa modern dapat memiliki kualitas spiritual. Sebelum masa modern agama menyediakan jawaban bagi persoalanpersoalan spiritual manusia, dalam hal ini kekristenan sebagai tulang punggung kebudayaan barat. Tetapi setelah memasuki masa modern posisi agama mulai bergeser sedikit demi sedikit dan disaat yang sama seni mulai menggantikan posisi tersebut. Penulis tidak mengatakan bahwa seni menggantikan agama atau secara langsung seni sama dengan agama. Tetapi karena di masa modern pertanyaan akan persoalan spiritualitas itu pun tetap ada dalam diri manusia, maka manusia modern menemukannya
xxiv
dalam seni. Istilah fine art yang berarti seni yang halus, yang tinggi, atau seni yang memiliki kualitas sublim, menjelaskan persoalan ini. Karya seni dalam konsep fine art merupakan sarana untuk terjadinya pertukaran nilai-nilai antara seniman dengan audiens. Bicara mengenai pertukaran nilai atau makna sebuah karya seni dapat memiliki beberapa lapisan makna. Dimulai dari lapisan makna yang paling pertama atau yang paling luar. Makna yang terbentuk di tahap ini berkaitan erat dengan intensi awal seniman dalam membuat karya tersebut. Jadi jika seorang seniman secara sadar membuat sebuah karya sebagai respon terhadap persoalan sosial politik maka dalam lapisan awal, kecenderungan makna yang dimunculkan memungkinkan karya tersebut menjadi karya seni yang instrumentalis. Tetapi kemudian dapat muncul makna berikutnya yang mungkin saja mengarah pada spiritualitas. Hal ini dapat disadari oleh seniman pada saat membuat karyanya ataupun tidak. Penulis dapat melihat hal tersebut dalam karya Hachivi Edgar Heap of Birds yang berjudul: “Building Minnesota” (lihat gambar 3). Karya tersebut terdiri dari instalasi plat aluminium sebanyak 40 buah yang berjajar di sepanjang pinggir sungai Missisippi. Masing-masing plat bertuliskan nama-nama warga suku Indian yang menjadi korban pembunuhan etnis oleh warga kulit putih Amerika pada tahun 1862-1865 atas dasar kebencian ras dan keserakahan warga kulit putih untuk merebut potensi ekonomi suku Indian yang hidup saat itu. Dalam plat tersebut tertulis nama korban, tahun mereka dibunuh, dan bagaimana mereka dibunuh, termasuk siapa yang memerintahkan aksi pembunuhan itu. Dalam lapisan makna yang paling luar karya tersebut dapat dikatakan karya seni instrumentalis karena merupakan sebuah kritikan sosial terhadap pemerintah Amerika. Tetapi karya tersebut juga memiliki kemungkinan untuk memunculkan kualitas spiritual karena karya tersebut mengingatkan publik pada
xxv
persoalan hak hidup dan kematian. Publik diharapkan dapat disadarkan oleh fakta yang tertera pada karya tersebut. Sehingga dapat muncul simpati yang mengarah pada empati dalam diri publik, hal ini dapat disebut sebagai katarsis berkaitan erat dengan kesan sublim yang telah disebutkan sebelumnya. Jadi hal ini bergantung pada intensi awal seniman. Beberapa seniman tidak secara langsung mengolah tema spiritual dalam karyanya tetapi kemudian karya tersebut memiliki kualitas spiritual. Sedangkan beberapa seniman secara langsung merespon persoalan-persoalan spiritualitas dalam karyanya. Berikutnya penulis akan membahas secara lebih spesifik bagaiamana karya seni mengetengahkan persoalan spiritualitas yang langsung berkaitan dengan manusia sebagai subject matter-nya.
“Building Minnesota”, Hachivi Edgar Heap of Birds, 1990. (Sumber: http:/www.heapofbirds.com)
xxvi
2.2.2. Spiritualitas Manusia Dalam Seni Pada penjelasan sebelumnya penulis telah memberikan gambaran tentang seni spiritual secara umum. Penulis telah menjelaskan secara singkat beberapa hal yang menjadi alasan bahwa suatu karya seni dapat dikatakan sebagai seni spiritual atau karya seni yang memiliki kualitas spiritual. Suatu karya dapat dikatakan memiliki kualitas spiritual jika apa yang coba diungkapkan oleh seniman dalam karya tersebut berkaitan dengan nilai-nilai yang esensial dalam hidup manusia. Juga telah dijelaskan bahwa suatu karya dapat memiliki beberapa lapisan makna, bergantung pada intensi awal seniman. Pada sub-bab ini penulis akan sedikit membahas karya seni yang dalam lapisan makna yang pertama langsung mengacu pada persoalan spiritualitas, dimana manusia menjadi subject matter-nya. Sebuah karya seni yang mengangkat persoalan spiritualitas manusia adalah karya yang secara langsung mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan seputar eksistensi manusia. Pertanyaan seperti siapa kita?, bagaimana kita ada?, apa yang membuat kita ada?, merupakan pertanyaan yang secara intens ditanyakan dalam karya-karya seperti ini. Atau juga pertanyaan-pertanyaan seputar takdir manusia, kehidupan dan kematian , tentang nilai-nilai abstrak dalam hidup manusia. Pertanyaan seperti ini memang sudah sering sekali ditanyakan dalam seni. Seniman berusaha untuk mengaitkan persoalan seni dan kehidupan, saat itulah karya seni memiliki potensi spiritual. Dalam tulisan ini penulis memilih Antony Gormley sebagai contoh seniman yang karya-karya nya membahas persoalan spiritualitas. Dalam karya-karyanya Antony Gormley secara intens membahas persoalan eksistensi manusia. Penulis akan membahas apa yang menjadi gagasan dasar dalam karya-karya nya dan hal-hal apa saja yang
xxvii
membuat karya-karya nya memiliki intensitas spiritual yang cukup kuat. Pembahasan ini bersifat referensial terhadap karya yang akan dibuat oleh penulis. Antony Gormley adalah salah satu seniman yang secara intens mengolah persoalan figur manusia dalam kaya-karya patungnya. Gormley lahir tahun 1950 di London, Inggris dan sampai saat ini bekerja dan berdomisili disana. Pada tahun 19711973 ia mempelajari vipassana bersama S N Goenka di India. Vipassana adalah teknik ber-meditasi yang diajarkan oleh penganut agama Budha. Kata ‘insight’ seringkali digunakan untuk menerjemahkan arti kata ‘vipassana’. Teknik meditasi ini mengajarkan seseorang akan kesadaran dan konsentrasi terhadap ruang dalam atau batin manusia. Melalui maditasi ini seseorang dilatih untuk dapat merasakan sebuah sensasi bagaimana kita dapat berada didalam tubuh, untuk dapat menyadari ruang dalam atau interioritas tubuh. Teknik ini dilakukan dengan melatih konsentrasi pikiran. Hal inilah yang tampaknya berpengaruh besar pada gagasannya dalam berkarya. Gormley memandang tubuh sebagai sebuah ruang atau space. Pemikirannya akan space dipengaruhi oleh pandangan Aristotle. Menurut Aristotle space terbuat dari place (untuk lebih jelas penulis akan menggunakan istilah dalam bahasa Inggris space dan place). Dan place dari sebuah tubuh adalah permukaan paling dalam dari container atau tempat dimana tubuh tersebut berada. Untuk lebih jelas dapat dijelaskan dengan analogi sebuah batu yang dimasukan kedalam air. Place dari batu itu bukanlah air yang telah massanya telah tergantikan oleh batu tersebut, tetapi permukaan dalam dari massa air yang langsung bersentuhan dengan batu tersebut. Jadi menyerupai kulit yang membungkus. Menurutnya place bukanlah suatu ruang kosong dari suatu objek dimana sesuatu dapat ditaruh didalamnya, seperti buah yang ditaruh dalam mangkuk. Karena
xxviii
menurutnya buah tersebut pada saat ditaruh bukan tidak menggantikan apapun, tetapi menggantikan udara yang mengisi mangkuk tersebut. 14 Bagi Antony Gormley tubuh menjadi suatu kesatuan dengan alam atau ruang dimana tubuh tersebut berada. Karyanya menekankan pada kesadaran akan eksterioritas tubuh dan interioritasnya. Baginya tubuh dipandang sebagai vessels atau tempat semacam container yang menyediakan ruang dan sekaligus menempati ruang. Gormley mencetak tubuhnya sendiri untuk memperoleh sensasi ruang dalam tersebut dan mencoba mematerialkan sensasi tersebut. Dia mengajak publik untuk merasakan kehadiran dari sosok figur berkaitan dengan ruang tertentu. “That for me is the real challenge of sculpture. How do you make something out there, material, separate from you, an object amongst other objects, somehow carry the feeling of being-for the viewer to somehow make a connection with it. In a way, where you ended in Art and Illusion is where I want to begin. That idea that in some way there are things that cannot be articulated, that are unavailable for discourse, which can be conveyed in a material way, but can never be given a precise word equivalent for.”15 Dalam karyanya ia mencoba untuk mengajak publik menyadari kehadiran (presence)
yang
immaterial dari
sosok
manusia
melalui
material.
Karyanya
memperlihatkan usaha untuk mempertanyakan kembali eksistensi manusia, mengajak publik untuk menyadari eksistensinya dan merefleksikan kediriannya. Bahwa eksistensi manusia terikat pada ruang dan waktu. Karya-karyanya figur-figur yang berdiri sendiri tanpa ekspresi mengingatkan kita pada persoalan keterasingan dan kesendirian manusia. Keterasingan merupakan permasalahan yang sering sekali dibicarakan ditengah
14
Dikutip dari tulisan Stephen C levinson “Space and Place” dalam Some Of The Fact-Antony Gormley, katalog pameran yang diterbitkan oleh Tate St. Ives Gallery th.2001. 15 Dikutip dari wawancara E.H. Gombrich dengan Antony Gormley, Antony Gormley, Phaidon Press Limited, London, 2000, hal 12.
xxix
masyarakat modern. Itu menjadi semacam efek samping dari modernitas, dari kehidupan masyarakat perkotaan yang cenderung individual. Figur manusia atau tubuh manusia telah menjadi tema yang sering dibicarakan dalam banyak karya patung dalam ruang lingkup seni modern. Dalam banyak karya seni tersebut tubuh diperlakukan sebagai objek yang mengalami deformasi, dekonstruksi, dan fragmentasi atau mutilasi. Tubuh diangkat sebagai metaphor dari persoalan gender, identitas, permasalahan ras, sebagai objek dari kesenangan atau kesaktian dan penderitaan. Tubuh menjadi objek bukan lagi sebagai subjek. Dalam karya-karya Antony Gormley tidak diangkat sebagai objek tetapi sebagai subjek, dimana dia menggunakan tubuhnya sendiri sebagai media yang dicetak. Karya-karya nya tidak mengarahkan kita pada persoalan gender atau identitas seperti banyak karya-karya patung dengan figur atau tubuh manusia sebagai subject matter-nya. Tetapi menekankan pada aspek kehadiran yang immaterial dan bagaimana sosok manusia tersebut dapat meng-ada. Seperti yang dinyatakan oleh John Hutchinson: “Gormley, like Merleau-Ponty, is much drawn to the idea of correspondence between the visible and invisible; he has also said that his interest in the body was aroused because embodiment, or being-in-the-world, provided him with a way of escaping from the dualism of dialectics. In other words, to Gormley the body is the articulation of meaning; it is that in which sense is given and out of which sense emerges.”16 Apa yang ingin disampaikan lewat figur-figur nya adalah sebuah embodimentperwujudan dari sense of being-kesadaran akan eksistensi tubuh. Tubuh dalam karya Gormley merupakan artikulasi dari makna. Ia ingin agar terjadi komunikasi antara apa yang ia rasakan dengan apa yang audiens rasakan, dimana sosok tubuh yang diam itu menjadi media komunikasi. Dia ingin agar audiens merasakan juga tubuhnya sendiri pada 16
Surveys with John Hutchinson, Antony Gormley, Phaidon Press Limited, London, 2000, hal.42.
xxx
saat berada diantara figur-figur tersebut. Karya Antony Gormley diantaranya adalah “Land, Sea and Air II” dan “Fathers & Sons, Monuments & Toys, Gods & Artists“.
“Land, Sea and Air II”, 1982, lead, fiberglass, Land (crouching) 45x103x53cm, Sea (standing) 191x50x32cm, Air (kneeling) 118x69x52cm.
“Fathers & Sons, Monuments & Toys, Gods & Artists”, 1985-86, lead, plaster, fiberglass, air, Large figure 245x57,6x48cm, Small figure 108x24x22cm. (Gambar 2.4 & 2.5, sumber: Antony Gormley, Phaidon Press Limited, London, 2000)
xxxi