12 B BAB 2 TINJAUA AN PUSTAK KA
2.1.
Sistem Transporta asi Untuk
mendapatkkan
penge ertian
yang g
lebih
m mendalam
tentang t
perrmasalahan transporta asi perlu dilakukan sua atu pendeka atan secara sistem. Sec cara makro sistem tra ansportasi te erdiri atas beberapa ssistem transsportasi mikkro yang sa aling terkaitt dan saling g mempeng garuhi, yaitu u sistem ke egiatan, sisttem jaringa an prasaran na transporrtasi, sistem m pergerakkan lalulinta as, dan sisttem kelemb bagaan. Hu ubungan sisstem transp portasi terssebut dapatt dilihat pad da Gambar 2.
Gambar 2. Sistem Transportasi T i Makro (Tam min, 1997) Interakssi
antara
sistem
kkegiatan
d dan
sistem m
jaringan
akan
menghasilkan suatu pergerakan m manusia dan/atau bara ang dalam bentuk perrgerakan ken ndaraan. Pe erubahan pa ada sistem kegiatan akkan mempengaruhi sisttem jaringan melalui su uatu peruba ahan pada tingkat t pelayyanan pada a sistem perrgerakan. Begitu B juga a perubaha an pada sistem s jarin ngan akan dapat mempengaruhi sistem keg giatan melaiui peningka atan mobilita as dan akse esibilitas darri sistem pe ergerakan tersebut. t Selain itu, sistem s pergerakan mem megang perranan yang penting da alam meng gkombinasikkan suatu ssistem perg gerakan aga ar tercipta suatu s sistem m pergeraka an yang lancar, yang p pada akhirn ya juga passti akan me empengaruh hi kembali ssistem kegia atan dan sisstem jaringa an yang
13 ada. Keempat sistem mikro ini saling berinteraksi satu dengan yang lain yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro. Untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah, dan sesuai dengan lingkungannya, terdapat sistem kelembagaan yang terdiri atas beberapa individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro tersebut. Di Indonesia sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah Bappenas, Bappeda, Pemda, dan Bangda, yang memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan sistem kegiatan melalui kebijakan, baik wilayah, regional, maupun sektoral. Sedangkan kebijakan sistem
jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian
Perhubungan, baik darat, laut, maupun udara, serta Kementerian Pekerjaan Umum, melalui Direktorat Jenderal Bina Marga. Sistem pergerakan ditentukan oleh Dinas Lalulintas Angkutan Jalan (DLLAJ), Kementerian Perhubungan, Polantas, dan masyarakat sebagai pemakai jalan. Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui suatu peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan adanya suatu sistem penegakan hukum yang baik pula. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat seluruhnya dapat berperan dalam mengatasi masalah dalam sistem transportasi ini terutama dalam hal mengatasi masalah kemacetan. Keterkaitan antara kebijaksanaan Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan pada berbagai tingkat dapat digambarkan pada Gambar 3. RTRWN sebagai pedoman perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antara wilayah serta keserasian antara sektor. RTRWN ini diharapkan menjadi payung dan acuan bagi setiap provinsi dalam skala yang lebih kecil, yang dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Selanjutnya RTRWP menjadi acuan bagi rencana tata ruang yang lebih kecil, yaitu skala kabupaten atau kota (RTRWK), untuk menjadi acuan rencana tata ruang kabupaten atau kota tersebut.
14
RTRW NASIONAL
Sistem Transportasi Nasional
RTRW PROVINSI
Sistem Transportasi Regional Provinsi
RTRW KABUPATEN/KOTA
Sistem Transportasi Lokal
RTRW KAWASAN
Sistem Transportasi Kawasan
Gambar 3. Keterkaitan Kebijakan Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan Transportasi merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan manusia dan atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Karena itu jasa transportasi berhubungan dengan penyediaan jaringan jalan yang dapat melayani pergerakan, penyediaan ruangan dan lokasi tempat pemberhentian untuk bongkar muat barang ataupun penumpang, pengaturan kegiatan,
konsumsi,
dan
produksi,
serta
perencanaan
pengembangan
selanjutnya. Persoalan transportasi melibatkan banyak faktor, termasuk faktor-faktor manusia, sarana dan prasarana, administrasi, serta faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kondisi dan situasi wilayah perdesaan maupun wilayah perkotaan. Transportasi juga memberikan nilai yang lebih besar daripada nilai biaya yang dikeluarkan. Nilai-nilai yang diberikan, antara lain, adalah nilai waktu, nilai sosial, nilai ekonomi, dan nilai kualitas. Transportasi sangat berperan dalam kehidupan manusia. Peranan transportasi tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Dalam bidang ekonomi; tanpa adanya transportasi semua kegiatan yang ada dalam kegiatan ekonomi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
2.
Dalam bidang sosial; sangat penting bagi suatu negara yang sedang berkembang,
yang
sebagian
penduduknya
mempunyai
tingkat
perekonomian menengah atau lebih rendah sehingga transportasi berperan penting di bidang sosial. 3.
Dalam bidang politik; transportasi memainkan peranan penting di bidang politik, sehingga banyak pemilihan bentuk suatu sistem transportasi
15 dibuat dengan mempertimbangkan konsekuensi politik yang mungkin muncul. 4.
Dalam bidang lingkungan; dalam beberapa tahun belakangan semakin terbukti bahwa banyak kegiatan produktif manusia mempunyai pengaruh terhadap lingkungan alamiah. Pengaruh ini harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kegiatan tersebut secara keseluruhan. Salah satu kegiatan tersebut adalah aktivitas transportasi. Oleh karena itu peranan kegiatan transportasi dalam bidang lingkungan sangat penting, sehingga setiap kegiatan transportasi harus mempertimbangkan lingkungan yang ada. Kegiatan transportasi terjadi karena apa yang diperlukan oleh manusia
tidak terdapat di tempat manusia tersebut berada. Dilihat dari segi produksi dan perdagangan, keperluan akan transportasi dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi di sektor produksi, perdagangan, serta jasa ekonomi lainnya. Transportasi orang dan barang biasanya tidak dilakukan hanya untuk satu keinginan saja, tetapi juga untuk mencapai tujuan lainnya. Oleh karena itu kebutuhan akan transportasi disebut sebagai permintaan yang diturunkan (derived demand), yang datang dari satu komoditi atau pelayanan. Pada dasarnya transportasi diturunkan dari hal-hal sebagai berikut: 1.
Kebutuhan seseorang untuk berjalan dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk melakukan suatu kegiatan, misalnya belanja, sekolah, bekerja, dan Iain-lain.
2.
Kebutuhan untuk mengangkut barang tertentu sehingga barang tadi tersedia pada tempat-tempat lokasi barang-barang tersebut dapat digunakan oleh manusia. Sistem Pengembangan Transportasi untuk setiap model transportasi
tertentu mempunyai komponen-komponen kendaraan, jaringan jalan, terminal, dan rencana operasi. Di antara komponen-komponen tersebut tercipta suatu hubungan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain sehingga mempunyai kemampuan untuk memindahkan, mengendalikan pergerakan, dan kemampuan untuk melindungi objek. Dengan adanya suatu hubungan yang saling berkaitan tersebut maka terbentuk suatu sistem transportasi, karena adanya kebutuhan manusia untuk memakai jasa transportasi. Secara sederhana sistem transportasi dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
16 Komponen-komponen sistem transportasi akan saling berkaitan atau saling berhubungan. Dengan demikian sistem tersebut dapat melakukan proses guna menghasilkan jasa transportasi. Secara sederhana hubungan-hubungan tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Dalam Sistem Transportasi
Gambar 5. Komponen-Komponen Sistem Transportasi 2.2.
Jalan Tol di Indonesia Terdapat sejumlah konsep umum yang harus dipahami terlebih dahulu
dalam mengembangkan jaringan jalan tol di Indonesia. Secara khusus konsep tersebut terkait dengan konsep jaringan jalan tol yang akan dikembangkan dan konsep pengusahaan jalan tol. Hal ini akan terkait dengan peraturan perundangan yang berlaku, konsep jaringan jalan perkotaan, dan mekanisme pengusahaan jalan tol itu sendiri. Pada bagian berikut akan diuraikan beberapa hal yang terkait.
17 2.2.1. Peraturan Perundangan Jalan Tol Saat ini peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang jalan dan jalan tol adalah UU No. 38 Tahun 2004, tentang Jalan, dan PP No. 15 Tahun 2005, tentang Jalan Tol. Pada pasal 1 UU No. 38 Tahun 2004 dan PP No. 15 tahun 2005 disampaikan bahwa jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Sedangkan yang dimaksud dengan tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk pemakaian jalan tol. Rencana umum jaringan jalan tol ditetapkan oleh Pemerintah dan merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana umum jaringan jalan nasional. Lebih lanjut, mengenai penyelenggaraan jalan tol, dalam UU No. 38 Tahun 2004 disampaikan pada Bab V bagian ketiga, tentang wewenang penyelenggaraan jalan tol. Pada Pasal 45 disebutkan bahwa wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada pemerintah, yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol. Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol dilaksanakan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Dalam UU No. 38 Tahun 2004, Pasal 43, disebutkan juga bahwa jalan tol diselenggarakan untuk: a. memperlancar lalulintas di daerah yang telah berkembang; b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi; c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan. Disebutkan pula bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan usaha yang memenuhi persyaratan. Jalan tol harus memiliki spesifikasi atau tingkat pelayanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lintas jalan umum (UU No. 38 Tahun 2004, Pasal 44 ayat 3 dan PP No. 15 Tahun 2005 Pasal 5), sebagai jaminan kompensasi dari uang tol yang dibayarkan oleh para penggunanya. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan pula bahwa jalan tol yang digunakan untuk lalulintas antarkota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 (delapan puluh) kilometer per jam dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam. Selain itu
18 jalan tol juga didesain untuk mampu menahan Muatan Sumbu Terberat (MST) paling rendah 8 (delapan) ton. Spesifikasi jalan tol menurut PP No. 15 tahun 2005, Pasal 6 adalah sebagai berikut: a. tidak mempunyai persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan prasarana transportasi lainnya; b. jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara penuh; c. jarak antar simpang susun paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam perkotaan; d. jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah; e. menggunakan pemisah tengah atau median; dan f.
lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalulintas sementara dalam keadaan darurat. Syarat teknis lainnya, yang juga disebutkan dalam PP No.15 tahun 2005
adalah: a. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran dan dilengkapi dengan fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan. b. Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna, jalan tol harus diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan. c. Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan rambu lalulintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi isyarat lalulintas. d. Pada setiap jalan tol harus tersedia sarana komunikasi, sarana deteksi pengamanan lain yang memungkinkan pertolongan dengan segera sampai ke tempat kejadian, serta upaya pengamanan terhadap pelanggaran, kecelakaan, dan gangguan keamanan lainnya. e. Pada jalan tol antar-kota harus tersedia tempat istirahat dan pelayanan untuk kepentingan pengguna jalan tol. Tempat istirahat dan pelayanan disediakan paling sedikit satu untuk setiap jarak 50 (lima puluh) kilometer pada setiap jurusan.
19 Untuk
mencapai
spesifikasi
tersebut,
terdapat
sejumlah
standar
perencanaan yang harus dipenuhi dalam merancang suatu jalan tol. Standar perencanaan geometrik jalan tol yang digunakan pada penelitian ini adalah standar yang dikeluarkan oleh Bina Marga, yaitu: a. Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No. 38/T/BM/1997. b. Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Jalan Bebas Hambatan, 1976. c. Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1992. Selain itu digunakan pula standar yang digunakan oleh AASHTO, yaitu A Policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO 2001. Beberapa parameter standar desain tersebut ditampilkan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. Tabel 1. Standar Desain Geometrik Jalan Parameter Desain Kecepatan Rencana Superelevasi Maksimum Jari-Jari Minimum Kelandaian Relatif Jarak Pandang Henti minimum Jarak Pandang Menyusul Kelandaian Maksimum Panjang Kritis Jumlah Lajur dan Arah Lebar Lajur Minimum Lebar Bahu Luar Minimum Lebar Bahu Dalam MInimum Lebar Median Minimum
Nilai (70 – 120) km/jam 10 % 210 m 1/150 120 m 550 m (3-5) % 460 m 4 lajur 2 arah 3,50 m 2,00 m 0,75 m 1,50 m
Sumber: Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No. 38/T/BM/1997
Tabel 2. Standar Desain Geometrik untuk Ramp Parameter Rencana
Nilai
Kecepatan Rencana Minimum Superelevasi Maksimum Kemiringan Normal Lebar Lajur Minimum Lebar Bahu Minimum Gradien Maksimum Panjang Taper Minimum
50 km/jam 10 % 2% 3,50 m 0,50 m 4% 100 m
Sumber: Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1992.
Dalam PP No.15 tahun 2005, tentang Jalan Tol, disampaikan bahwa kebijakan perencanaan jalan tol disusun dengan memperhatikan pengembangan wilayah, perkembangan ekonomi, sistem transportasi nasional, dan kebijakan nasional sektor lain yang terkait dan merupakan landasan penyusunan rencana
20 umum jaringan jalan tol dengan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan kondisi lingkungan daerah sekitarnya. Kebijakan perencanaan jalan tol memuat tujuan dan sasaran pengembangan, dasar kebijakan, prioritas pengembangan, dan program pengembangan jaringan jalan tol.
Tabel 3. Standar Desain Geometrik untuk Interchange Parameter Rencana
Nilai
Kecepatan Rencana Minimum Superelevasi Maksimum Kemiringan Normal Lebar Lajur Minimum Lebar Bahu Minimum Gradien Maksimum Radius Minimum
50 km/jam 10 % 2% 3,50 m 0,50 m 4% 100 m
Sumber: Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1992.
Rencana ruas jalan tol, sebagai bagian jaringan jalan tol, ditentukan berdasarkan hasil prastudi kelayakan terhadap ruas-ruas yang tertera dalam rencana umum jaringan jalan tol. Prastudi kelayakan mencakup kegiatan analisis kelayakan, yang terdiri atas analisis sosial ekonomi, analisis proyeksi lalulintas, pemilihan koridor jalan tol, analisis perkiraan biaya konstruksi, serta analisis kelayakan ekonomi. Dengan kata lain, untuk menyelenggarakan jalan tol perlu dipahami beberapa pengertian sebagai berikut: a.
Jalan tol adalah jalan yang harus layak secara finansial pengusahaannya, sehingga penetapan lokasinya harus didesain sebagai alternatif dari lintas atau ruas jalan umum yang lalulintasnya padat, sehingga diharapkan jumlah pengguna jalan tol relatif besar.
b.
Untuk mengembangkan jaringan jalan tol perlu disediakan suatu rencana umum jaringan jalan yang memuat gambaran wujud jaringan jalan yang hendak dicapai disertai dengan tahapan pencapaiannya,
c.
Pengembangan jaringan jalan (tol) perlu diselaraskan dengan rencana pembangunan (Renstra dan lain-lain), RTRW, dan rencana jaringan transportasi (Sistem Transportasi Nasional atau Sistem Transportasi Wilayah) Pengembangan jaringan jalan tol idealnya dilakukan berdasarkan suatu
masterplan (jangka panjang atau jangka menengah) yang jelas, dan tidak didasarkan pertimbangan instant ataupun hit-and-run serta tidak didasarkan
21 kepada pandangan local-wise saja. Sebagai contoh, idealnya pengembangan jaringan jalan tol perkotaan juga dilakukan dengan memperhatikan konteksnya dalam jaringan transportasi maupun sistem ekonomi yang lebih besar, dalam skala Provinsi maupun skala Nasional.
Gambar 6. Konsep Perencanaan Jaringan Jalan Tol
2.2.2. Konsep Konfigurasi Jaringan Jalan Tol Jaringan jalan tol dalam kota pada prinsipnya merupakan pelengkap struktur jaringan jalan perkotaan. Terdapat beberapa model struktur jaringan jalan yang dapat diadopsi sebagai pola dasar sistem jaringan jalan perkotaan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7, dari A hingga E, terurut sesuai dengan tingkat efektivitasnya, dari yang paling buruk. Pada kenyataannya sistem jaringan jalan di wilayah Jabodetabek saat ini lebih mengarah kepada model weak-center-strategy, yang kelemahannya adalah memusatnya arah perjalanan ke pusat kota. Meskipun wilayah pengembangan di luar pusat kota Jakarta sudah direncanakan, namun hal ini belum banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan pola lalulintas. Jika strategi penyebaran pusat kegiatan dapat dijalankan dengan efektif, setidaknya akan membawa kondisi sistem ke arah perbaikan mendekati low-cost-strategy. Perkuatan akses jaringan jalan ke pusat kota akan mengarahkan sistem jaringan jalan menjadi model strong-center-strategy.
22
Sumber: Thompson, 1977
Gambar 7. Beberapa Strategi Pengembangan Pola Jaringan Jalan Perkotaan
2.2.3. Pengusahaan Jalan Tol Hingga saat ini telah terdapat 4 fase utama pada evolusi perkembangan bisnis jalan tol di Indonesia, yaitu: 1. Tahun 1978 hingga tahun 1983; pembiayaan, konstruksi, dan operasi jalan tol dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga. 2. Tahun 1983 hingga tahun 1990; pembangunan jalan tol dibiayai oleh dana pinjaman luar negeri. 3. Tahun 1987 hingga tahun 1993; sektor swasta dilibatkan melalui penunjukkan langsung dengan proyek Built-Operate-Transfer (BPT). 4. 1994 hingga sekarang; dilakukan tender terbuka Berdasarkan pengalaman investasi
jalan
tol di Indonesia dapat
dinyatakan beberapa besaran umum yang dapat dipakai sebagai acuan awal mengenai tingkat kelayakan pengembangan jalan tol. Meskipun besaran ini tidak mutlak belaku untuk semua ruas jalan tol, namun dapat dipakai sebagai perbandingan umum. Beberapa item rule-of-thumb tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Persyaratan Besaran Investasi; Financial Rate of Return lebih besar dari 18%, lama pinjaman (loan tenor) 10 tahun hingga 15 tahun, masa konsesi 25 tahun hingga 35 tahun, dan waktu untuk penyiapan pendanaan 6 bulan hingga 12 bulan.
23 2.
Persyaratan Volume Lalulintas; LHR jalan alternatif (50 ribu-60 ribu) kendaraan per hari dan angka perpindahan ke jalan tol minimal 40% atau (20 ribu hingga 25 ribu) kendaraan per hari
3.
Persyaratan Tarif; Pada saat pembukaan tarif yang dikenakan Rp. 300,per km hingga Rp. 400,- per km dan tarif harus disesuaikan berkala seiring laju inflasi
2.3.
Standar Pelayanan Minimal Jalan di Indonesia Dengan
diberlakukannya
kebijakan
otonomi
daerah,
kewenangan
penyelenggaraan jaringan jalan Provinsi dan Kabupaten didelegasikan ke daerah. Hal ini berimplikasi kepada adanya kewajiban bagi daerah untuk menyelenggarakan jaringan jalan yang mampu memenuhi kebutuhan minimal masyarakat terhadap jalan. Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat, dalam PP No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, pada pasal 3 butir (3) disebutkan bahwa “daerah wajib melaksanakan pelayanan minimal”. Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan kewenangan Pemerintah Pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). SPM diadakan untuk menjamin tersedianya pelayanan jalan untuk masyarakat dalam kondisi yang paling minimum. Dalam hal ini SPM penyediaan jaringan jalan, sebagai salah satu infrastruktur publik, juga disusun oleh kementerian teknis terkait, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum. Untuk bidang jalan, Kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Standar Pelayanan Minimum Bidang Jalan seperti yang disampaikan pada Tabel 4. SPM di bidang jalan ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan, dengan ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna. SPM dikembangkan dari 3 keinginan dasar pengguna jalan, yaitu: 1. kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang); 2. tidak macet (lancar sepanjang waktu); dan 3. dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan). Pada dasarnya item dalam SPM jalan hampir sama dengan kriteria kemantapan jalan, yang tujuannya adalah memelihara jalan dengan kondisi fisik minimal sedang (indikator International Roughness Index, IRI), tidak macet (indikator nilai rasio volume terhadap kapasitas atau Volume/Capacity ratio, VCR), lebar cukup,
24 dan jumlah panjang jaringan jalan yang mencukupi (aspek aksesibilitas dan mobilitas). Secara umum terdapat kaidah penentuan utilisasi SPM dalam menyusun kebutuhan penanganan jalan untuk semua ruas jalan Provinsi, yaitu: 1.
Untuk mencapai target 100% jalan mantap konstruksi, ruas jalan yang saat ini berada dalam kondisi baik ditangani dengan pemeliharaan rutin, ruas jalan yang saat ini dalam kondisi sedang ditangani dengan pemeliharaan berkala, dan ruas jalan yang saat ini dalam kondisi rusak ditangani dengan peningkatan struktur perkerasan jalan (restructuring).
2.
Untuk mencapai target 100% jalan mantap layanan lalulintas, ruas jalan yang saat ini dalam kondisi macet ditangani dengan peningkatan kapasitas atau pelebaran jalan.
3.
Kebutuhan pembangunan jalan baru ditentukan oleh tingkat aksesibilitas dan mobilitas
wilayah
dan
prediksi
kebutuhan
jaringan
jalan
untuk
pengembangan wilayah. Dalam kaitan ini penyelenggara jalan harus mengakomodir tuntutan publik terhadap SPM dengan mengikuti norma/kaidah/aspek di bidang investasi jalan, yang meliputi aspek-aspek efisiensi, efektivitas, ekonomi investasi, dan aspek kesinambungan. Untuk menentukan kondisi konstruksi jalan, Direktorat Jenderal Bina Marga memanfaatkan parameter IRI (International Roughness Index), seperti yang disajikan pada Tabel 5. Sedangkan untuk menentukan kondisi layanan lalulintas, kebutuhan pelebaran jalan hanya diperlukan untuk ruas jalan dengan rasio volume terhadap kapasitas (volume to capacity ratio, VCR) lebih besar daripada 0,8 yang merupakan batas maksimum ketika lalulintas dapat dikatakan dalam kondisi normal dan stabil. Standar Pelayanan Minimal untuk jalan tol telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392/PRT/M/2005. SPM ini merupakan ukuran yang harus
dicapai
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan
jalan
tol
dan
diselenggarakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengguna jalan tol. Dalam Permen PU ini disebutkan bahwa pelayanan minimal jalan tol meliputi substansi pelayanan (pasal 3) kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, dan unit pertolongan atau penyelamatan dan bantuan pelayanan. Cakupan dan tolak ukur standar pelayanan minimal jalan tol dijabarkan pada Tabel 6.
25
Tabel 4. Standar Pelayanan Minimal Jalan No.
Bidang Pelayanan
Cakupan
Standar Pelayanan Kuantitas Konsumsi/Produksi
Keterangan
Kualitas
1. Jaringan Jalan
A. Aspek Aksesibilitas
B. Aspek Mobilitas
seluruh jaringan
seluruh jaringan
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) sangat tinggi >5000 tinggi > 1000 sedang > 500 rendah > 100 sangat rendah < 100 PDRB per kapita (Juta Rp/kapita/tahun) sangat tinggi >10 tinggi > 5 sedang > 2 rendah > 1 sangat rendah < 1 pemakai jalan
C. Aspek Kecelakaan seluruh jaringan
2
Indeks Aksesibilitas >5,0 >1,5 >0,5 >0,15 >0,05 Indeks Mobilitas >5,0 >2,0 >1,0 >0,5 >0,2 Indeks Kecelakaan 1
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) sangat tinggi: > 5000 tinggi: 1000 - 5000 Indeks Kecelakaan 2 sedang: 500 – 1000 rendah: 100 – 500 sangat rendah: < 100
Panjang jalan/luas (km/km2)
panjang jalan per 1000 penduduk
Kecelakaan per 100.000 km. kend.
kecelakaan/km/tahun
Ruas Jalan
A. Kondisi Jalan
Lebar Jalan Min.
Volume Lalulintas (kend/hari)
2x7m
LHR > 20000
7m
8000 < LHR < 20000
6m
3000 < LHR < 8000
4,5m
LHR < 3000
Fungsi Jalan
Pengguna Jalan
arteri primer kolektor primer B. Kondisi Pelayanan lokal primer arteri sekunder kolektor sekunder Lokal sekunder
lalulintas regional jarak jauh lalulintas regional jarak sedang lalulintas lokal lalulintas kota jarak jauh lalulintas kota jarak sedang lalulintas lokal kota
Kondisi Jalan sedang; IRI < 6; RCI > 6,5 sedang; IRI < 6; RCI > 6,5 sedang; IRI < 8; RCI > 5,5 sedang; iIRI< 8; RCI > 5,5 Kecepatan Tempuh Min. 25 km/jam 20 km/jam 20 km/jam 25 km/jam 25 km/jam 20 km/jam
Sumber: Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001
26 Tabel 5. Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganannya Kondisi Jalan
IRI (m/km)
Kebutuhan penanganan
Baik
IRI rata-rata < 4,5
Pemeliharaan rutin
Sedang
4,5 < IRI rata-rata < 8,0
Pemeliharaan berkala
Rusak
8,0 < IRI rata-rata < 12,0
Peningkatan jalan
Rusak Berat
IRI rata-rata > 12,0
Peningkatan jalan
Macet VCR > 0,8 Sumber: Jasa Marga, 2010
Pelebaran jalan
Tabel 6. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol No. 1.
Substansi Pelayanan Kondisi Jalan Tol
2.
Kecepatan Tempuh Ratarata
3.
Aksesibilitas
4.
Mobilitas
Standar Pelayanan Minimum Cakupan/Lingkup Tolok Ukur • Seluruh ruas jalan • 0,33 µm tol • IRI ≤ 4 m/km • Seluruh ruas jalan • 100 % tol • Seluruh ruas jalan tol Kecepatan • 1,6 kali • Jalan tol dalam Tempuh rata-rata kecepatan kota tempuh rata-rata jalan non-tol • Jalan Tol luar kota • 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol • Gerbang tol • Kecepatan • ≤ 8 detik setiap sistem terbuka transaksi ratakendaraan rata • Gerbang tol sistem tertutup • Jumlah gardu tol - Gardu Masuk • ≤ 7 detik setiap kendaraan - Gardu Keluar • ≤ 11 detik setiap kendaraan • > 450 kendaraan • Kapasitas sistem per jam per gardu terbuka • Kapasitas sistem tertutup • > 500 kendaraan - Gardu Masuk per jam • > 300 kendaraan - Gardu Keluar per jam Indikator • Kekesatan • Ketidakrataan • Tidak ada lubang
Kecepatan penanganan hambatan lalulintas
• Wilayah pengamatan / observasi Patroli • Mulai informasi diterima sampai ke tempat kejadian
• 30 menit per siklus pengamatan • ≤ 30 menit
• Melakukan
27
No.
5.
Substansi Pelayanan
Keselamatan
Indikator
• Sarana Pengaturan Lalulintas - Perambuan
-
Marka Jalan
Guide post/ Reflektor - Patok Kilometer setiap 1 km • Penerangan jalan umum (PJU) wilayah perkotaan • Pagar rumija • Penanganan kecelakaan
Standar Pelayanan Minimum Cakupan/Lingkup Tolok Ukur penderekan ke • Penanganan pintu gerbang tol akibat kendaraan terdekat/ bengkel mogok terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis) • 30 menit per siklus • Patroli kendaraan pengamatan derek • Kelengkapan dan kejelasan perintah dan larangan serta petunjuk • Fungsi dan manfaat • Fungsi dan manfaat
• Jumlah 100 % dan reflektivitas / 80 % • Jumlah 100 % dan Reflektivitas / 80 % • 100 %
• Fungsi dan manfaat
• Lampu menyala 100 %
-
• Pengamanan dan penegakan hukum
6.
Unit pertolongan/ penyelamatan dan bantuan pelayanan
• Ambulans
• Kendaraan Derek
• Fungsi dan manfaat • Fungsi dan manfaat • Korban kecelakaan • Kendaraan kecelakaan
• Ruas jalan tol • Ruas jalan tol
• Ruas jalan tol : - LHR > 100.000 kend/hari - LHR ≤ 100.000 kend/hari
• Polisi Patroli
• 100 %
• Ruas jalan tol : - LHR > 100.000
• Keberadaan 100 % • Dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan • Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan tol) • Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam • 1 unit per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan paramedis) • 1 unit per 5 km atau minimum 1 unit • 1 unit per 10 km atau minimum 1 unit
28
No.
Substansi Pelayanan
Indikator Jalan Raya (PJR)
Standar Pelayanan Minimum Cakupan/Lingkup Tolok Ukur kend/hari • 1 unit per 15 km atau minimum 1 unit - LHR ≤ 100.000 kend/hari • 1 unit per 20 km atau minimum 1 unit • Ruas jalan tol
• Patroli Jalan Tol (operator)
• Ruas jalan tol
• Kendaraan Rescue
• Sistem Informasi
• Informasi dan Komunikasi kondisi lalulintas
• 1 unit per 15 km atau minimum 2 unit • 1 unit per ruas jalan tol (dilengkapi dengan peralatan penyelamatan) • Setiap gerbang masuk
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 392/PRT/M/2005
2.4.
Sistem Pergerakan Transportasi Sistem pergerakan (transportasi) adalah hasil interaksi antara sistem
kegiatan dengan sistem jaringan yang akan menghasilkan pergerakan kendaraan dan/atau orang dari sistem kegiatan yang satu ke sistem kegiatan yang lain dengan media sistem jaringan. Sistem pergerakan yang baik dan berwawasan lingkungan dapat tercipta apabila pergerakan tersebut dtatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalulintas yang baik (Tamin, 1994). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah perkotaan telah menarik arus urbanisasi yang tinggi pula, karena bagi banyak orang hal ini menjanjikan kesempatan kerja yang lebih luas. Dengan demikian pertumbuhan penduduk dan pekerja di perkotaan menjadi tinggi pula. Gejala demikian juga terjadi pada daerah penyangga di sekitar perkotaan tersebut, yang akan membuat bangkitan lalulintas bertumbuh tinggi pula (Tamin, 2005) Penggunaan kendaraan pribadi di perkotaan merupakan cerminan peningkatan taraf hidup seseorang yang dipicu juga oleh kebutuhan mobilitas yang tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang di satu sisi merupakan keberhasiian penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan) dengan peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, di sisi lain menimbulkan kerusakan kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi udara, dan polusi suara (Tamin, 2005)
29 Tingkat pertumbuhan pergerakan yang sangat tinggi dan yang tidak mungkin dihambat, sementara sarana dan prasarana transportasi sangat terbatas, mengakibatkan aksesibilitas dan mobilitas menjadi terganggu. Untuk mengatasi aksesibilitas dan mobilitas yang terganggu ini dibutuhkan biaya yang sangat besar, misalnya biaya untuk membangun jaringan jalan baru atau meningkatkan
kapasitas
jaringan
jalan
yang
ada.
Beberapa
alternatif
penanggulangan sementara dapat juga dilakukan dengan rekayasa dan manajemen
lalulintas,
pengaturan
efisiensi
transportasi
umum,
dan
penambahan armadanya (Tamin, 2005).
2.5.
Operasi dan Pemeliharaan Jalan Tol Biaya operasi dan pemeliharaan jalan tol yang dimaksud di sini adalah
pendanaan selama masa operasi, yaitu mulai dari dibukanya jalan tol sampai masa rencana infrastruktur jalan yang sudah diperhitungkan. Selama masa operasi jalan tol diperlukan pemeliharaan guna menjaga kenyamanan dan keamanan pengguna jalan tol sesuai dengan fungsi jalan tol tersebut agar tingkat pelayanan minimum jalan tol tercapai. Biaya pemeliharaan jalan tol meliputi biaya pemeliharaan rutin, biaya pemeliharaan berkala, dan biaya peningkatan. Pelaksanaan pemeliharaan jalan tol tidak boleh merugikan pengguna jalan, dan tidak menimbulkan gangguan terhadap kelancaran lalulintas maupun berdampak negatif terhadap lingkungan. Karena itu pemeliharaan jalan tol harus dilaksanakan menurut ketentuan teknik pemeliharaan jalan tol. Biaya Pemeliharaan Rutin dimaksudkan untuk pemeliharaan jangka pendek, yang meliputi penyiraman dan pemotongan tanaman, kebersihan jalan, penyediaan kebutuhan rutin kantor cabang, serta pemeliharaan gerbang dan gardu tol. Pemeliharaan rutin dapat dilaksanakan dengan periode mingguan atau bulanan bergantung kondisinya dan dapat pula dilakukan secara insidental, yang tidak dapat diperkirakan waktunya, seperti perbaikan rambu yang rusak akibat tertabrak lalulintas. Biaya
pemeliharaan
berkala
atau
periodik
diperuntukkan
untuk
pemeliharaan berjangka menengah, yang meliputi perbaikan sarana drainase, perbaikan bahu jalan, penggantian periodik perlengkapan gardu, kantor, dan gerbang tol, pemeliharaan kantor cabang, dan pemeliharaan kendaraan operasional.
30 Biaya peningkatan atau pemeliharaan khusus diperuntukkan untuk pemeliharaan berjangka panjang, yang meliputi perbaikan kerusakan akibat kondisi tanah, seperti badan jalan longsor atau penurunan badan jalan, sehingga memerlukan penanganan khusus atau adanya pembangunan struktur jembatan penyeberangan baru yang diperlukan akibat perkembangan dan tuntutan masyarakat setempat.
2.6.
Pola Penggunaan Lahan Sistem kegiatan merupakan sistem pola kegiatan tataguna lahan, yang
terdiri atas sistem pola-pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Berbagai aktivitas, seperti bekerja, sekolah, olahraga, belanja, dan bertamu yang berlangsung di atas sebidang tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah, dan lain lain) membentuk sistem kegiatan ini. Potongan-potongan lahan ini biasanya disebut juga dengan sistem tataguna lahan. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia meiakukan perjalanan di antara tataguna lahan tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi (misalnya berjalan kaki atau naik bus), sehingga hal ini menimbulkan pergerakan manusia, kendaraan, dan barang (Tamin, 2000). Pengembangan sistem transportasi untuk kelancaran mobilitas manusia antar-sistem kegiatan (tataguna lahan) dalam memenuhi kebutuhan kehidupan ekonominya adalah mengembangkan salah satu dari ketiga sub-sistem transportasi atau ketiganya secara bersamaan kalau keadaan memungkinkan, misalnya apabila dana tersedia melimpah. Sistem kegiatan ini disebut juga sistem kebutuhan akan transportasi. Sistem kebutuhan akan transportasi ini harus seimbang dengan sistem penyediaan jaringan transportasi (transport network) agar tidak terjadi kemacetan dan agar terjadi keserasian pergerakan antara sistem kegiatan yang satu dengan sistem kegiatan lainnya (Tamin, 2000). Sistem kelembagaan, seperti Bappenas, Bappeda, Bangda, dan Pemda berperan sangat penting datam menentukan sistem kebutuhan transportasi ini melalui kebijakan kebijakan yang dikeluarkan dalam mengatur sistem kegiatan atau kebutuhan transportasi, baik wilayah, regional, maupun sektoral. RTRWN sebagai pedoman perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional menjabarkan bahwa struktur dan pola ruang nasional harus mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar-wilayah serta keserasian antar-sektor, seperti kawasan-kawasan pariwisata, pertanian pangan
31 dan perkebunan, industri, pertambangan, serta pertahanan keamanan atau perbatasan. Dasar hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dalam penataan ruang adalah UU No.26 tahun 2008, tentang Penataan Ruang (Tamin. 2000). Kebijakan
tata
ruang
sangat
erat
kaitannya
dengan
kebijakan
transportasi. Ruang merupakan kegiatan yang berada di atas lahan kota, sedangkan
transportasi
merupakan
sistem
jaringan
yang
secara
fisik
menghubungkan satu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Jika akses transportasi ke suatu ruang kegiatan (persil lahan) diperbaiki, ruang kegiatan tersebut akan menjadi lebih menarik, dan biasanya menjadi lebih berkembang. Dengan berkembangnya ruang kegiatan tersebut, berkembang pula kebutuhan akan transportasi. Peningkatan ini kemudian menyebabkan kelebihan beban pada jaringan transportasi, yang harus ditanggulangi. Siklus akan terulang kembali bila aksesibilitas diperbaiki. Jenis tataguna lahan atau sistem kegiatan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda (Tamin, 2000). Ciri-ciri tersebut meliputi jumlah arus lalulintas, jenis lalulintas, dan waktu terjadinya lalulintas (orang ke kantor menghasilkan lalulintas pada pagi dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus talu lintas di sepanjang hari). Untuk mengetahui intensitas bangkitan perjalanan yang timbul dari suatu sistem kegiatan dapat dianaiisis dengan memberi ukuran intensitas pada masingmasing jenis kegiatan pada petak atau daerah lahan (Tamin, 2000). Sebagai contoh adalah sebagai berikut: a.
Petak
lahan
kegiatan
perumahan;
ukurannya
adalah
luas
lokasi
perumahan, banyaknya rumah masing-masing tipe,
dan kepadatan
penduduknya
(jumlah penghuninya). b.
Petak lahan kegiatan industri; ukurannya adalah luas daerah industri, jumlah bahan baku, jumlah produksi, dan jumlah ragam industri.
c.
Petak lahan perdagangan; ukurannya adalah luas lantai toko (plaza), parkir, jumlah perdagangan, dan ragam perdagangan.
32 d.
Petak lahan pariwisata; ukurannya adalah luasnya, jumlah fasilitasnya, jumlah kursinya, dan jumlah hotel yang dinyatakan dengan jumlah kamarnya. Pada penelitian ini akan dilihat perpindahan barang atau orang antara
dua jenis aktivitas tataguna lahan, yaitu zona untuk tempat tinggal (tataguna lahan perumahan) sebagai zona 1 dan zona untuk bekerja (tataguna lahan pusat perkantoran) sebagai zona 2. Antara guna lahan perumahan dengan guna lahan perkantoran tersebut akan terjadi pergerakan (perjalanan) setiap harinya. Pergerakan tersebut didukung oleh sistem jaringan berupa prasarana jalan (Tamin, 2000). Jumlah dan jenis lalulintas yang dihasilkan oleh setiap tataguna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi. Contoh di Amerika Serikat (Black, 1978 dalam Tamin, 2000) adalah sebagai berikut: a. 1 hektar perumahan menghasilkan (60-70) pergerakan kendaraan per minggu. b. 1 hektar perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari. c. 1 hektar tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari. Beberapa contoh lain di Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Beberapa Aktivitas Tataguna Lahan Rata-Rata Jumlah Pergerakan Kendaraan per 100 m2
Jumlah Kajian
Pasar swalayan
136
3
Pertokoan lokal*
85
21
Pusat pertokoan**
38
38
Restoran siap santap
595
6
Restoran
60
3
Gedung perkantoran
13
22
Rumah sakit
18
12
Perpustakaan
45
2
Daerah industry
5
98
Deskripsi Aktivitas Tataguna Lahan
*4.645-9.290 (m2) ** 46.452-92.903 (m2) Sumber: Black 1978, dalam Tamin, 2000
2.7.
Lalulintas Jalan Tol Volume lalulintas (q) adalah banyaknya kendaraan (n) yang melalui suatu
titik pengamatan di jalan per satuan waktu (s) tertentu, misalnya hari, jam, atau
33 menit. Volume lalulintas merupakan variabel yang penting dan sangat dibutuhkan dalam perencanaan suatu jaringan jalan. Volume lalulintas dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: q =
n S
dengan: q = volume lalulintas, dalam kendaraan persatuan waktu n = banyaknya kendaraan yang melalui suatu titik pengamatan s = waktu Volume lalulintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar jalur adalah Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR), Volume Jam Perencanaan (VJP), dan Kapasitas. Volume lalulintas rata-rata dalam satu hari disebut Lalulintas Harian RataRata. Satuan volume lalulintas dapat berupa unit kendaraan, seperti kendaraan penumpang, bus, atau gabungan, persatuan waktu tertentu. Dari cara memperolehnya, Lalulintas Harian Rata-Rata dibagi menjadi dua jenis, yaitu Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) dan Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR) Lalulintas harian rata-rata tahunan (LHRT) adalah jumlah total lalulintas dua arah yang melalui suatu titik pengamatan dibagi dengan jumlah hari dalam satu tahun (365 hari). Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan dapat dihitung dengan rumus: LHRT = Jumlah Total Lalulintas 365 Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR) adalah volume lalulintas yang melalui suatu titik pengamatan selama periode waktu pengamatan tertentu, dengan waktu pengamatan tersebut lebih besar dari satu hari dan lebih kecil dari satu tahun. Lalulintas Harian Rata-Rata dapat ditulis dengan rumus:
LHR = Jumlah Lalulintas Selama Pengamatan Jumlah Hari Pengamatan
34
2.8.
Interaksi Sistem-Sistem Kegiatan - Jaringan Jalan Tol - Transportasi Transportasi atau sistem pergerakan bukan suatu tujuan akhir tetapi timbul
akibat adanya permintaan sistem kegiatan. Peran transportasi terhadap perkembangan dan pertumbuhan wilayah tercermin pada interaksi antara sistem jaringan, sistem pergerakan, dan sistem kegiatan wilayah. Setiap perubahan atau perkembangan sistem kegiatan akan menimbulkan perubahan atau kenaikan pergerakan (volume, jarak, dan sebagainya). Perubahan dan perkembangan ini dilayani melalui pengelolaan dan pengembangan sistem pergerakan (misalnya lalulintas dua arah menjadi lalulintas satu arah) dan/atau sistem jaringan (misalnya pelebaran jalan). Peningkatan fasilitas dan layanan transportasi akan meningkatkan perkembangan sistem kegiatan, meningkatkan bangkitan pergerakan, dan menimbulkan kemacetan baru, dan seterusnya. Siklus ini adalah peran "pasif” sistem pergerakan dan/atau sistem jaringan dalam melayani perubahan dan perkembangan sistem kegiatan. Sebaliknya sistem pergerakan dan/atau sistem jaringan dapat juga berperan "aktif” terhadap perkembangan sistem kegiatan. Pengelolaan serta pengembangan sistem pergerakan dan/atau sistem jaringan dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan sistem kegiatan. Misalnya adalah penerapan lalulintas satu arah serta pelarangan parkir di tepi jalan (on-street parking) pada suatu koridor jalan dapat mengakibatkan dampak negatif berupa matinya kegiatan ekonomi di sepanjang koridor tersebut, khususnya pada lokasi-lokasi yang tidak memiliki lahan parkir khusus atau off-street parking (Dardak, 2006). Sebaliknya pengalihan rute angkutan umum pada satu koridor dapat memberikan dampak positif dengan meningkatkan perkembangan sistem kegiatan sepanjang koridor tersebut (misalnya meningkatnya kegiatan transaksi kawasan perbelanjaan). Demikian pula pembangunan serta peningkatan kualitas jaringan jalan ke arah timur-barat dibarengi dengan penurunan kualitas jaringan jalan ke arah selatan akan memberikan dampak positif mendorong perkembangan sistem kegiatan ke arah timur-barat sekaligus dampak negatif terhadap perkembangan ke arah selatan. Pembangunan sistem jaringan juga dapat membelah kehidupan sosial suatu sistem kegiatan (Dardak, 2006). Peran "pasif dan aktif” sistem jaringan tersebut juga mengarahkan perencanaan dan pembangunan sistem infrastruktur lainnya (misalnya jaringan-
35 jaringan listrik, telepon, air bersih, dan limbah). Perencanaan dan pembangunan sistem jaringan juga merupakan perencanaan dan pembangunan struktur sistem kegiatan. Peran strategis sistem jaringan tersebut menyebabkan pembangunan sistem jaringan tidak saja kompleks, tetapi juga menyangkut dana besar serta sekali dibangun tidak akan mudah untuk diubah-ubah (Dardak, 2006). Sasaran umum perencanaan transportasi adalah membuat interaksi antara sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan menjadi semudah dan seefisien mungkin. Cara perencanaan transportasi untuk mencapai sasaran umum itu antara lain dengan menetapkan kebijakan tentang hal berikut ini (Tamin, 2000): a.
Sistem kegiatan; Rencana tataguna lahan yang baik, misalnya lokasi toko, sekolah, perumahan, pekerjaan yang benar, dapat mengurangi kebutuhan akan perjalanan yang panjang, sehingga membuat interaksi menjadi
lebih
mudah.
Perencanaan
tataguna
lahan
biasanya
memeriukan waktu yang cukup lama dan bergantung pada badan pengelola yang berwenang untuk melaksanakan rencanatataguna lahan tersebut. b.
Sistem jaringan; Hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada, misalnya dengan melebarkan jalan atau menambah jaringan jalan baru.
c.
Sistem pergerakan; Hal yang dapat dilakukan, antara lain, adalah dengan mengatur teknik dan manajemen lalulintas (jangka pendek), menyediakan fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah), atau membangun jalan baru (jangka panjang). Karakteristik serta keterkaitan ketiga sistem tersebut juga dipengaruhi oleh
keberadaan serta kesiapan sistem kelembagaan, yang terdiri atas (Dardak, 2006): a.
Aspek legal; yaitu kesiapan serta kesesuaian UU, PP, kebijakan, dan RTRW. Misalnya adalah kebijakan walikota untuk lebih mementingkan pembangunan plaza (pusat perbelanjaan) tanpa melihat pada sisi kemacetan yang mengakibatkan perubahan guna lahan
perumahan
penerapan
setoran dibandingkan dengan sistem gaji bulanan
sistem
menjadi
pusat
perbelanjaan, atau
mengakibatkan kemacetan akibat sopir angkutan umum mengejar setoran tanpa menghiraukan ketertiban serta rambu-rambu lalu-lintas.
36 b.
Aspek organisasi; yaitu kesiapan serta kejelasan pembagian tugas, tanggung jawab, serta koordinasi intra dan antar unit-unit organisasi pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat. Sebagai contoh adalah kemacetan yang ditimbulkan akibat buruknya koordinasi antar sektor dalam masalah klasik gali-tutup lubang jalan untuk listrik, air minum, dan telepon.
c.
Aspek sumber daya insani; yaitu kesiapan sumber daya insani, yang mencakup operator, user, non-user, dan regulator. Misalnya adalah pelanggaran RTRW karena ketidaksiapan sumber daya insani pengawasan atau pengendalian.
d.
Aspek keuangan; yaitu kesiapan serta kesesuaian pendanaan. Misalnya adalah terlambatnya pembangunan jalan layang karena adanya masalah pencairan dana pinjaman luar negeri.
2.9.
Aspek Psikososial dalam Transportasi Berbagai permasalahan yang juga berpotensi besar menimbulkan
kemacetan lalulintas di suatu ruas jalan tol adalah hal-hal yang terkait dengan aspek psikososial. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: a.
Perbaikan dan pemeiiharaan jaringan utilitas yang tidak terjadwal yang mengakibatkan berkurangnya kapasitas jalan. Hal ini dapat menimbulkan citra pekerjaan gali dan tutup lobang yang tidak kunjung selesai. Diperlukan suatu sistem koordinasi yang baik antara kontraktor-kontraktor terkait dan tidak menghambat para pengguna jalan tol.
b.
Ketidakdisiplinan
selalu
merupakan
alasan
utama
terjadinya
permasalahan transportasi. Saling serobot dan tidak mengindahkan pengemudi kendaraan lain akan mengakibatkan bertambah panjangnya kemacetan lalulintas. c.
Kendaraan yang diparkir di badan jalan akan mengurangi kapasitas jaringan jalan sehingga tidak sesuai lagi dengan kapasitas rencana semula.
2.10.
Pencemaran Lingkungan Akibat Transportasi
Udara yang tercemar dengan partikel dan gas dapat menyebabkan gangguan kesehatan dengan berbeda-beda tingkatan dan jenisnya, bergantung pada macam, ukuran, dan komposisi kimiawinya. Gangguan tersebut terutama terjadi
37 pada fungsi faal organ tubuh, seperti paru-paru dan pembuluh darah atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Pencemaran udara karena partikel debu biasanya menyebabkan penyakit pernafasan kronis, seperti emfiesma paru-paru, asma bronchial, dan bahkan kanker paru-paru. Sedangkan bahan pencemar gas yang terlarut dalam udara dapat langsung masuk ke dalam tubuh sampai ke paru-paru, yang pada akhirnya diserap oleh sistem peredaran darah. Kadar timah (Pb) yang tinggi di udara dapat mengganggu pembentukan sel darah merah. Gejala keracunan dini mulai ditunjukkan dengan terganggunya fungsi enzim untuk pembentukan sel darah merah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan lainnya, seperti anemia dan kerusakan ginjal. Sedangkan keracunan Pb bersifat akumulatif (Soedomo, 2001). Keracunan gas CO timbul sebagai akibat terbentuknya karboksi hemoglobin (COHb) dalam darah. Afinitas CO yang lebih besar dibandingkan oksigen (O2) terhadap Hb menyebabkan fungsi Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh menjadi terganggu. Bekurangnya penyediaan oksigen ke seluruh tubuh ini akan membuat sesak napas dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak segera mendapat udara segar kembali. Sedangkan bahan pencemar udara seperti SOx, NOx,
H2S dapat merangsang saluran pernapasan yang
mengakibatkan iritasi dan peradangan (Soedomo, 2001). Lapisan udara yang mengelilingi bumi merupakan suatu campuran gas dengan komposisi yang selalu berubah-ubah. Beberapa di antaranya, yang konsentrasinya paling bervariasi, adalah H2O dan CO2. Konsentrasi CO2 di udara selalu rendah, yaitu sekitar 0,03%. Konsentrasi ini kadang-kadang sedikit lebih tinggi pada tempat-tempat pembusukan sampah tanaman yang menghasilkan CO2, tempat pembakaran, atau ditempat kumpulan manusia dalam suatu ruang tertutup. Proses fotosintesis pada tanaman juga menyerap CO2 sehingga konsentrasi CO2 di tempat-tempat yang ‘hijau’ relatif lebih rendah. CO2 juga larut dalam air sehingga konsentrasi CO2 udara yang baru melewati lautan juga rendah (Fardiaz, 1992). Komposisi udara kering dengan semua uap air telah dihilangkan relatif konstan. Komposisi udara kering yang bersih, yang dikumpulkan di sekitar laut, dapat dilihat pada Tabel 8. Konsentrasi gas dinyatakan dalam persen atau per sejuta (part per million, ppm), tetapi untuk gas yang konsentrasinya sangat kecil biasanya dinyatakan dalam ppm. Selain gas-gas yang tercantum dalam Tabel
38 2.8, masih ada gas-gas lain yang mungkin terdapat di udara, tetapi jumlahnya sangat kecil, yaitu kurang dari 1 ppm (Fardiaz, 1992). Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali (Fardiaz, 1992). Proses-proses alami, seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, dan kebakaran hutan, dapat melepas beberapa gas, seperti SO2, H2S, dan CO ke udara sebagai produk sampingan. Selain itu partikelpartikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin, letusan vulkanik, atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pabrik dan transportasi. Tabel 8. Komposisi Udara Kering dan Bersih Komponen Nitrogen Oksigen Argon Karbon dioksida Neon Helium Metana Kripton
Formula/Lambang N2 O2 Ar CO2 NE HE CH4 Kr
Persen Volume 78,08 20,95 0,934 0,0314 0,00182 0,000524 0,0002 0,000114
Ppm 780.800 209.500 9.340 314 18 5 2 1
Sumber: Stoker dan Seager dalam Fardiaz, 1992
Polutan udara primer, yaitu polutan yang mencakup 90% dari jumlah polutan udara seluruhnya dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu: (1) Karbon monoksida (CO), (2) Nitrogen oksida (NOx), (3) Hidrokarbon (HC), (4) Sulfur dioksida (SO2), dan (5) Partikel (SPM). Menurut Fardiaz (1992), sumber polusi utama berasal dari transportasi, dengan sekitar 60% adalah karbon monoksida dan 15% hidrokarbon. Sumbersumber polusi lainnya meliputi pembakaran, proses industri, dan pembuangan limbah. Polutan yang utama adalah karbon monoksida, yang mencapai hampir setengah seluruh polutan yang ada. Tingkat toksisitas polutan tersebut berbedabeda, seperti tertera pada Tabel 9.
39 Tabel 9. Tingkat Toksisitas Polutan Polutan Level Toleransi ppm ug/m³ 32,0 40.000 CO 19.300 HC 0,50 1.430 Sox 0,25 514 NOx Partikel 375
Toksisitas Relatif 1,00 2,07 28,0 77,80 106,70
Sumber: Babcock (1971) dalam Fardiaz (1992)
Udara yang normal mengandung gas yang terdiri atas 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0,03% (300 ppm) karbondioksida, dan sisanya terdiri atas neon, helium, metan, dan hidrogen. Komposisi ini dapat mendukung kehidupan manusia. Karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) merupakan efek rumah kaca berguna bagi makhluk hidup di bumi. Jika tidak ada gas rumah kaca, temperatur di bumi rata-rata hanya -180C. Temperatur ini terlalu rendah bagi sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia. Tetapi dengan adanya efek rumah kaca temperatur rata-rata di bumi menjadi 330C lebih tinggi, yaitu 150C. Temperatur ini sesuai bagi kehidupan makhluk hidup (Soemarwoto, 1994). Karbondioksida merupakan gas rumah kaca yang paling dominan yang terjadi secara
ilmiah
dan
sangat
berperan
dalam
sistem
biologis
di
dunia.
Karbondioksida bersama dengan air merupakan bahan baku fotosintetis. Aliran karbon dari atmosfer ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran dan penyerapan CO2 oleh tanaman. Secara alamiah berada di atmosfer bumi, berasal dari emisi gunung berapi dan aktivitas mikroba di tanah (perombakan bahan organik) dan respirasi tumbuhan serta hasil pernapasan manusia. Selain dari itu gas ini juga dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar minyak dan gas yang banyak di pergunakan menghasilkan jumlah emisi gas CO2 yang berbeda-beda.
40
Sumber : IPCC, 2007
Gambar 8. Efek Gas Rumah Kaca (1970 – 2004) Pada Tabel 10 dapat dilihat nilai emisi karbondioksida yang dihasilkan dari beberapa jenis bahan bakar, yang disebut juga sebagai faktor emisi atau nilai yang digunakan untuk mendapatkan berat karbondioksida berdasarkan besaran-besaran yang dinilai, misalnya minyak tanah, bensin, solar, LPG dan sebagainya.
Tabel 10. Emisi Gas CO2 Yang Dihasilkan Oleh Beberapa Macam Bahan Bakar No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Bahan Bakar Bensin Solar Minyak Tanah LPG
Jumlah Emisi
Satuan
23,1 2,68 2,52 1,51
kg/lt kg/lt kg/lt kg/kg
Sumber: DEFRA (2005)
Perhitungan emisi CO2 yang dihasilkan bahan bakar minyak solar dan gas adalah sebagai berikut: (1) solar mempunyai densitas 0,7329 kg/liter, (2) atom C diasumsikan sama dengan 12, dan (3) berat 1 liter solar sama dengan 0,7329 kg. Kandungan CO2 dalam 1 liter solar sama dengan 44/12 dikalikan dengan 0,7329 kg sama dengan 2,687 kg. Jadi faktor emisi solar adalah sebesar 2,687 kg CO2/liter, yang artinya setiap liter solar akan menghasilkan emisi 2,687
41 kg CO2. Deng gan cara ya ang sama, diperoleh d ha asil faktor e emisi untuk bensin, min nyak tanah, dan d LPG. Menurut Goth (20 005) diacu dalam Dah hlan (2007), manusia sebagai makhluk hidup juga menghasilkan gass CO2. Rata-rata manussia bernapass dalam adaan seha at dan tidakk bergerak sebanyak (12-18) ka ali per men nit yang kea ban nyaknya sekitar 500 ml m udara pa ada setiap tarikan nap pas. Jadi manusia m membutuhkan (6-9) liter ud dara dalam 1 menit atau u sekitar (360-540) liter dalam d 1 jam m. Jumlah gas CO2 yan ng dihasilka an dari pernapasan manusia dalam m 1 jam seb banyak 39,6 gr. Manusia a membutu uhkan bahan n bakar minyyak yang dip peroleh dari minyak bum mi. Minyak bumi b adalah suatu camp puran komple eks yang se ebagian besa ar terdiri atas atas hidrokarbon. Hidrokarbon H n yang terkkandung da alam minya ak bumi teru utama alkan na (CnH2n+2), kemudian sikloaltana (C ( nH2n). Min nyak mentah h (crude oil) mengandun ng sekitar 500 5 jenis hid drokarbon de engan jumla ah atom C-1 hingga 50. Dalam kimia organik, senyawa s hid drokarbon te erutama parrafinik dan aromatik a m ng, dengan n panjang rantai hidro okarbon mempunyai tittik didih masing-masin d densitasnya. Sema akin panjang g rantai berrbanding lurrus dengan titik didih dan hidrokarbon, semakin s be esar titik didih dan densitasnya. d . Oleh karrena itu murnian/refin ning minyakk bumi dila akukan mela alui destilassi bertingka at, yang pem memisahkan minyak m men ntah dalam kelompok-k kelompok (fraksi-fraksi). Fraksi nyak bumi setelah did destilasi berrdasarkan tiitik didihnya a dapat dib bedakan min menjadi bahan bakar minya ak dan gas.
Sumber : McKinsey, 2007 2
Gambar 9. Proporssi Konsumsi Energi Di In ndonesia
42
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senjawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa, dan pada temperatur udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, tetapi sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia, Korban monoksida yang berasal dari alam termasuk dari lautan, oksidasi metal di atmosfir, pegunungan, kebakaran hutan dan badai listrik alam. Sumber CO buatan, antara lain, adalah kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, jumlah CO dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60 juta ton per tahun. Separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak,
seperti pembakaran batubara
dan
minyak dari industri dan
pembakaran sampah domestik. Dalam laporan WHO (1992) dinyatakan bahwa paling tidak 90% dari CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Selain itu asap rokok juga mengandung CO, sehingga para perokok dapat merusak dirinya sendiri dari asap rokok yang sedang dihisapnya. Sumber CO dari dalam ruang (indoor) termasuk dari tungku dapur rumah tangga dan dari tungku pemanas ruang. Dalam beberapa penelitian ditemukan kadar CO yang cukup tinggi dalam kendaraan sedan maupun bus. Kadar CO diperkotaan cukup bervariasi bergantung pada kerapatan kendaraan bermotor dalam lalulintas yang menggunakan bahan bakar bensin dan umumnya ditemukan kadar maksimum CO yang bersamaan dengan jam-jam sibuk pada pagi dan malam hari. Selain cuaca, variasi kadar CO juga dipengaruhi oleh topografi jalan dan bangunan di sekitarnya. Pemajanan CO dari udara ambien dapat direfleksikan dalam bentuk kadar karboksi-haemoglobin (HbCO) dalam darah yang terbentuk dengan sangat pelahan, karena butuh waktu (4-12) jam untuk tercapainya keseimbangan antara kadar CO di udara dan HbCO dalam darah. Oleh karena itu kadar CO dalam lingkungan cenderung dinyatakan sebagai kadar rata-rata dalam 8 jam pemajanan. Data CO yang dinyatakan dalam rata-rata setiap 8 jam pengukuran sepajang hari (moving 8 hour average concentration) lebih baik dibandingkan dengan data CO yang dinyatakan dalam rata-rata dari 3 kali
43 pengukuran pada periode waktu 8 jam yang berbeda dalam sehari. Perhitungan tersebut akan lebih mendekati gambaran respons tubuh manusia terhadap keracunan CO yang berasal dari udara. Karbon monoksida yang bersumber dari dalam ruang (indoor) terutama berasal dari alat pemanas ruang yang menggunakan bahan bakar fosil dan tungku masak. Kadarnya akan lebih tinggi bila ruangan tempat alat tersebut bekerja tidak mempunyai ventilasi yang memadai. Namun umumnya kadar pemajanan yang berasal dari dalam ruangan lebih kecil dibandingkan dengan kadar CO hasil pemajanan asap rokok. Beberapa Individu juga dapat terpajan oleh CO karena lingkungan kerjanya. Kelompok masyarakat yang paling terpajan oleh CO termasuk polisi lalulintas atau tukang pakir, pekerja bengkel mobil, petugas industri logam, industri bahan bakar bensin, industri gas kimia, dan pemadam kebakaran. Pemajanan Co dari lingkungan kerja tersebut perlu mendapat perhatian. Misalnya kadar CO di bengkel kendaraan bermotor ditemukan mencapai 600 mg/m3 dan dalam darah para pekerja bengkel tersebut bisa mengandung HbCO sampai lima kali lebih tinggi daripada kadar nomal. Para petugas yang bekerja di jalan raya diketahui mengandung HbCO dengan kadar (4-7,6) % (porokok) dan (1,4-3,8) % (bukan perokok) selama bekerja sehari. Sebaliknya kadar HbCO pada masyarakat umum jarang yang melampaui 1 % walaupun studi yang dilakukan di 18 kota besar di Amerika Utara menunjukan bahwa 45 % masyarakat bukan perokok yang terpajan oleh CO udara, dalam darahnya terkandung HbCO melampaui 1,5%. Perlu juga diketahui bahwa manusia sendiri dapat memproduksi CO akibat proses metabolismenya yang normal. Produksi CO dalam tubuh sendiri ini (endogenous) bisa sekitar (0,1-1%) dari total HbCO dalam darah. Karakteristik biologik CO yang paling penting adalah kemampuannya untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengakut oksigen
keseluruh
tubuh.
karboksihaemoglobin
(HbCO)
Sifat yang
ini 200
menghasilkan kali
lebih
stabil
pembentukan dibandingkan
oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang stabil
44 tersebut. Dampak keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah. Dampak dari CO bervasiasi bergantung pada kondisi kesehatan seseorang pada saat terpajan. Beberapa orang yang berbadan gemuk dapat mentolerir pajanan CO sampai kadar HbCO dalam darahnya mencapai 40 % dalam waktu singkat. Tetapi seseorang yang menderita sakit jantung atau paruparu akan menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar (510) %. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular telah banyak diketahui. Namun respons masyarakat berbadan sehat terhadap pemajanan CO kadar rendah dan dalam jangka waktu panjang masih sedikit diketahui. Misalnya kinerja para petugas jaga, yang harus mempunyai kemampuan untuk mendeteksi adanya perubahan kecil dalam lingkungannya yang terjadi pada saat yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membutuhkan kewaspadaan tinggi dan terus menerus, dapat terganggu atau terhambat pada kadar HbCO kurang dari 10 % dan bahkan sampai 5 % (hal ini secara kasar ekivalen dengan kadar CO di udara masing-masing sebesar 80 mg/m3 dan 35 mg/m3) Pengaruh ini tidak terlalu terlihat pada perokok, karena kemungkinan sudah terbiasa terpajan dengan kadar yang sama dari asap rokok. Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5° C dan titik didih 1.740° C pada tekanan atmosfer. Senyawa Pb-organik, seperti Pb-tetraetil dan Pbtetrametil, merupakan senyawa yang penting karena banyak digunakan sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan secara ekonomi. PB-tetraetil dan Pb tetrametil berbentuk larutan dengan titik didih masing-masing 110° C dan 200° C. Karena daya penguapan kedua senyawa
tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan daya penguapan unsur-unsur lain dalam bensin, penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar P-tetraetil dan Pbtetrametil. Kedua senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan adanya sinar matahari dan senyawa kimia lain di udara, seperti senyawa holegen asam atau oksidator. Pembakaran Pb-alkil sebagai zat aditif pada bahan bakar kendaraan bermotor merupakan bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer. Berdasarkan estimasi, sekitar (80–90) % Pb di udara ambien berasal dari pembakaran bensin, dan kondisi ini tidak sama antara satu tempat dengan
45 tempat yang lain, karena bergantung pada kerapatan lalulintas kendaraan bermotor dan upaya untuk mereduksi kandungan Pb pada bensin. Penambangan dan peleburan batuan Pb di beberapa wilayah sering menimbulkan masalah pencemaran. Tingkat kontaminasi Pb di udara dan air sekitar wilayah tersebut bergantung pada jumlah Pb yang diemisikan tinggi cerobong pembakaran limbah. Senyawa Pb organik bersifat neurotoksik dan tidak menyebabkan anemia. Hampir semua Pb–tetraetil diubah menjadi Pb Organik dalam proses pembakaran bahan bakar bermotor dan dilepaskan ke udara. Pengaruh Pb dalam tubuh belum diketahui dengan lengkap tetapi perlu diwaspadai pemajanan Pb untuk jangka panjang. Timah Hitam dalam tulang tidak beracun tetapi pada kondisi tertentu bisa dilepaskan karena infeksi atau proses biokimia dan memberikan gejala keluhan. Garam Pb tidak bersifat karsiogenik terhadap manusia. Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin. Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut, muntah, atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, lelah, sakit kepala,
anemia,
kelumpuhan
anggota
badan,
kejang,
dan
gangguan
penglihatan.. Peleburan Pb sekunder, penyulingan dan industri senyawa dan barang-barang yang mengandung Pb, serta insinerator juga dapat menambah emisi Pb ke lingkungan. Karena batubara, seperti juga mineral lainnya, pada umumnya mengandung Pb dengan kadar rendah, kegiatan berbagai industri, terutama yang menghasilkan besi dan baja, peleburan tembaga, dan pembakaran batubara, harus dipandang sebagai sumber yang dapat menambah emisi Pb ke udara. Penggunaan pipa air yang mengandung Pb di rumah tangga, terutama pada daerah yang kesadahan airnya rendah (lunak), dapat menjadi sumber pemajanan Pb pada manusia. Demikian juga dengan rumah tua, yang masih banyak menggunakan cat yang mengandung Pb, dapat menjadi sumber pemajanan Pb. Pemajanan Pb dari industri telah banyak tercatat, tetapi kemaknaan pemajanan di masyarakat luas masih kontroversi. Kadar Pb di alam sangat bervariasi tetapi kandungan dalam tubuh manusia berkisar antara (100–400) mg. Sumber masukan Pb adalah makanan, terutama bagi mereka yang tidak bekerja
46 atau kontak dengan Pb. Diperkirakan rata-rata masukan Pb melalui makanan adalah 300 ug per hari, dengan kisaran antara (100–500) mg perhari. Rata-rata masukan melalui air minum adalah 20 mg, dengan kisaran antara (10–100) mg. Hanya sebagian asupan (intake) yang diabsorpsi melalui pencernaan. Pada manusia dewasa, absorpsi untuk jangka panjang berkisar antara (5–10) %. Bila asupan tidak berlebihan, kandungan Pb dalam tinja dapat untuk memperkirakan asupan harian karena 90% Pb dikeluarkan dengan cara ini. Kontribusi Pb di udara terhadap absorpsi oleh tubuh lebih sulit diperkirakan. Distribusi ukuran partikel dan kelarutan Pb dalam partikel juga harus dipertimbangkan. Biasanya kadar Pb di udara sekitar 2 mg/m3 dan dengan asumsi 30% mengendap di saluran pernapasan dan absorpsi sekitar 14 mg/per hari. Mungkin perhitungan ini bisa dianggap terlalu besar dan partikel Pb yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor ternyata bergabung dengan filamen karbon dan lebih kecil dari yang diperkirakan walaupun agregat ini sangat kecil (0,1 mm) dan jumlah yang tertahan di alveoli mungkin kurang dari 10 %. Uji kelarutan menunjukkan bahwa Pb berada dalam bentuk yang sukar larut. Hampir semua organ tubuh mengandung Pb dan kira-kira 90 % dijumpai di tulang. Kandungan Pb dalam darah kurang dari 1% dan dipengaruhi oleh asupan yang baru (dalam 24 jam terakhir). Manusia dengan pemajanan rendah mengandung (10–30) mg Pb per 100 g darah Manusia yang mendapat pemajanan kadar tinggi mengandung lebih dari 100 mg per 100 g darah. Kandungan Pb dalam darah sekitar 40 mg Pb per 100 g dianggap terpajan berat atau mengabsorpsi Pb cukup tinggi walau tidak terdeteksi tanda-tanda keluhan keracunan. Terdapat perbedaan tingkat kadar Pb di perkantoran dan perdesaan. Wanita cenderung mengandung Pb lebih rendah dibandingkan dengan pria, dan pada perokok lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok. Gejala klinis keracunan Pb pada individu dewasa tidak akan timbul pada kadar Pb yang terkandung dalam darah kurang dari 80 mg Pb per 100 g darah, namun hambatan aktivitas enzim untuk sintesis haemoglobin sudah terjadi pada kandungan Pb normal, yaitu (30–40) mg. Pb berakumulasi di rambut sehingga dapat dipakai sebagai indikator untuk memperkirakan tingkat pemajanan atau kandungan Pb dalam tubuh. Anakanak merupakan kelompok dengan risiko tinggi. Menelan langsung bekas cat yang mengandung Pb merupakan sumber pemajanan, selain emisi industri dan
47 debu jalan yang berasal dari lalulintas yang padat. Mungkin keracunan Pb ada juga hubungannya dengan keterbelakangan mental tetapi hingga saat ini belum ada bukti yang signifikan. Kendaraan di jalan mengeuarkan banyak emisi CO2 ke udara. Bila lalulintas dibiarkan tumbuh seperti sekarang dan kemacetan lalulintas yang terjadi dibanyak kota semakin parah, emisi CO2 total tahun pada 2020 yang dihasilkan oleh kendaraan di jalan diperkirakan mencapai sekitar 222 juta ton, atau ekivalen dengan berat 63 Candi Borobudur.
Sumber : Susantono, 2011
Gambar 10. Estimasi Emisi CO2 Nasional Tahun 2020 akibat Transportasi Jalan Bila Kemacetan Lalulintas Dibiarkan Bertumbuh Seperti Sekarang (Do Nothing) Masalah pencemaran udara di kota-kota besar sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu topografi, kependudukan, iklim dan cuaca, serta tingkat atau angka perkembangan sosio-ekonomi dan industrialisasi. Keadaan masalahmasalah ini akan meningkat jika jumlah penduduk perkotaan semakin meningkat, yang mengakibatkan jumlah penduduk yang terpapar polusi udara juga meningkat. Perkiraan PBB menunjukkan bahwa sampai tahun 2000 terdapat 47 % jumlah keseluruhan populasi tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun1990, terdapat 60 kota di dunia yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 3 juta orang dan pada tahun 2000 diproyeksikan 85 kota-kota akan termasuk jenis kategori ini. Pertumbuhan polusi kota dan tingginya tingkat industrialisasi yang membutuhkan
energi
yang
lebih
besar,
umumnya
akan
menghasilkan
pembuangan limbah atau zat pencemar lebih banyak. Pembakaran bahan bakar fosil, untuk pemanasan rumah tangga, untuk pembangkit tenaga listrik,
48 ken ndaraan berrmotor, dala am proses–proses indu ustri, dan pe embuangan limbah pad dat dengan pembakaran n, merupaka an sumber utama u pemb buangan limb bah zatzat pencemar di d daerah pe erkotaan.
Sumber:: Kementerian n Perhubunga an RI, 2011
Gambar 11. Konstrribusi Sektorr Terhadap Polusi P Udara a di Indonesi Menurut Pusat Informasi Riset Bencana Allam, Kementerian Negara Riset dan n Teknologi (PIRBA), meningkatny m a temperatu ur rata-rata atmosfer, la aut, dan darratan bumi menyebabka m an terjadinya a pemanasan global. Se elama seratu us tahun tera akhir, rata-ra ata tempera atur ini telah meningkat sebesar 0,6 6 derajat Ce elsius (1 derrajat Fahrenheit). Dalam m laporan yang dikeluark kan Intergovernmental Panel P on Clim mate Chang ge (IPCC) pada tahun 2001, 2 disimp pulkan bahw wa perubahan iklim teru utama diseb babkan oleh h aktivitas manusia m yan ng menamb bah gas-gass rumah kac ca ke atmossfer. IPCC memprediks m si peningkattan tempera atur rata-rata a global aka an meningka at (1,4-5,8) derajat Ce elsius pada tahun 2100 0. Akibat kenaikan k tem mperatur ini, jika seluruh bangsa di d dunia tidak melakukan m a apa-apa, es di kutub aka an mencairr, yang mengakibatka m an meningkkatkan volu ume lautan n serta menaikkan perrmukaannya a sekitar (9-1 100) cm, yang akan me enimbulkan banjir b di dae erah pantai atau bahkkan dapat menenggela amkan pula au-pulau. Indonesia seb bagai negara a kepulauan n patut khaw watir dengan n peningkatan perubahan iklim ini. Selain itu, daerah dengan d iklim m yang hang gat akan menerima cura ah hujan yan ng lebih ting ggi, tetapi tanah t juga lebih cepat kering dan n potensial menjadi gurrun, yang menyebabka m n kerusakan n pada tana aman bahka an menghancurkan
49 suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan dan menyebarnya penyakit tropis, seperti malaria ke daerah-daerah baru karena bertambahnya populasi serangga, akan menyebabkan daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena arus pengungsian.
Sumber: IPCC, 2007
Gambar 12. Perubahan Temperatur Bumi Tahun 1970 - 2004 Selain karena penambahan gas rumah kaca ke atmosfer, pemanasan yang cepat ini disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, dan minyak bumi. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, maka atmosfer semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Sedangkan penggunaan batu bara, yang dinilai paling berpengaruh dalam pemanasan global, saat ini mencapai 5,3 milyar ton dengan produksi gas buang berupa karbon dioksida untuk setiap kilogram batubara sebanyak 2,7 kilogram. Karena itu lebih dari 13 milyar ton gas CO2 yang dilepas ke atmosfir setiap tahunnya. Hal inilah yang berdampak pada perubahan iklim dunia.
50 2.11.
Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kepmen LH No.48 Tahun 1996) atau semua suara yang tidak dikehendaki, yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmen Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999). Menurut Poernomosidhi (1995), pada umumnya terdapat tiga sumber kebisingan, yaitu kebisingan lalulintas atau transportasi, kebisingan pekerjaan atau industri, dan kebisingan penduduk atau permukiman. Semua kebisingan tersebut dapat menghasilkan kerusakan fisik dan psikologis. Kebisingan lalulintas bersifat konstan dan menyebar luas, sehingga menimbulkan masalah-masalah yang lebih serius. Pada umumnya kecepatan kendaraan yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat kebisingan yang lebih tinggi pula, dan permukaan jalan yang makin kasar juga akan menghasilkan kebisingan yang makin tinggi. Bunyi yang paling keras timbul di daerah persimpangan (intersection area) karena adanya kendaraan yang berhenti atau mengerem serta kendaraan yang mulai berjalan. Di antara pencemaran lingkungan yang lain, pencemaran atau polusi kebisingan dianggap istimewa dalam hal: (1) penilaian pribadi dan subjektif sangat menentukan untuk mengenali suara sebagai pencemaran kebisingan atau tidak, dan (2) kerusakannya setempat dan sporadis dibandingkan dengan pencemaran udara dan pencemaran air, dengan bising akibat pesawat terbang merupakan pengecualian. Apabila bel dibunyikan, seseorang menangkap ‘nyaring’, ‘tinggi’, dan ‘nada’ suara yang dipancarkan. Ini merupakan suatu tolok ukur yang menyatakan mutu sensorial suara dan dikenal sebagai ‘tiga unsur suara’. Ukuran fisik ‘kenyaringan’ adalah amplitudo dan tingkat tekanan suara. Untuk ‘tinggi’ suara adalah frekuensi. Sedangkan ‘nada’ adalah sejumlah besar ukuran fisik. Kecenderungan saat ini adalah menggabungkan segala yang merupakan sifat suara, termasuk tingginya, nyaringnya, dan distribusi spectral sebagai ‘nada’. Decibel (dB) adalah ukuran energi bunyi atau kuantitas yang dipergunakan sebagai unit-unit tingkat tekanan suara berbobot A. Pengukuran tingkat
51 kebisingan diperlukan untuk menghitung bertambah atau berkurangnya tingkat tekanan suara berbobot A rata-rata. Meskipun pengaruh suara banyak kaitannya dengan faktor-faktor psikologis dan emosional, ada kasus-kasus ketika akibatakibat serius, seperti kehilangan pendengaran, terjadi karena tingginya tingkat kenyaringan suara pada tekanan suara berbobot A dan karena lamanya telinga terpapar kebisingan itu (Susanto, 2006). Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kepmen LH No.48 Tahun 1996). Pada Tabel 11 dapat dilihat jenis-jenis akibat kebisingan yang diderita oleh seseorang akibat terpapar kebisingan
dalam
waktu yang cukup lama. Baku mutu tingkat kebisingan untuk berbagai lokasi, sesuai Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.587/1980, tanggal 7 Juni 1980, dapat dilihat pada Tabel 12. Kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari, untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu, adalah 85 dB(A) (Kepmen Tenaga Kerja No.51/1999), seperti yang terdapat pada Tabel 13. Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan, perlu diambil tindakan seperti pengguanaan peredam pada sumber bising, penyekatan, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan bukit buatan, atau pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.
52 Tabel 11. Akibat Fisik dan Psikologis Kebisingan Tipe Akibat lahiriah
Akibat psikologis
Kehilangan Pendengaran
Uraian Perubahan ambang batas sementara akibat kebisingan dan perubahan ambang batas permanen akibat kebisingan
Akibat fisiologis
Rasa tidak nyaman atau stres meningkat, tekanan darah meningkat, sakit kepala, dan bunyi dering
Gangguan emosional
Kejengkelan dan kebingungan
Gangguan gaya hidup
Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja, dan mambaca.
Gangguan pendengaran
Merintangi kemampuan mendengarkan TV, radio, percakapan, dan telpon.
Sumber: Susanto, 2006
Tabel 12. Kriteria Ambien Kebisingan Derajat Kebisingan (dbA) Peruntukan Perumahan Industri/Perkantoran
Maksimum yang diinginkan
Maksimum yang diperkenankan
45 70
60 70
Pusat Perdagangan 75 85 Rekreasi 50 60 Campuran Perumahan/Industri 50 50 Sumber: Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No.587/1980
53 Tabel 13. Batas Kebisingan Yang Dapat Diterima oleh Tenaga Kerja Waktu pernapasan per hari 8
Jam
Intensitas Kebisingan dB(A) 85
4 2
88 91
1
94
30 15 7,5
Menit
97 100 103
3,75 1,88
106 109
0,94
112
28,12 14,06 7,03
Detik
115 118 121
3,52 1,76 0,88 0,44 0,22
124 127 130 133 136
0,11
139
Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dB(A) walaupun sesaat Sumber: Kepmen Tenaga Kerja No.51 Tahun 1999
2.12.
Studi-Studi Terdahulu Tentang Pengelolaan Transportasi Medawati (1996), dalam penelitiannya mengenai pengembangan model
pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman, mengemukakan bahwa karakteristik emisi pencemar udara di daerah perkotaan, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, ditentukan oleh besarnya sektor-sektor yang menggunakan bahan bakar. Sektor yang paling dominan di ketiga kota tersebut adalah sektor transportasi. Kontribusi pencemar CO, HC, NOx, SPM, dan SOx dari sektor transportasi tidak saja ditentukan oleh volume lalulintas dan jumlah kendaraan, tetapi juga oleh pola lalulintas dan sirkulasinya di dalam kota, khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan. Pengendalian pencemaran udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan penanaman pohon-
54 pohon angsana, bougenvile, dan flamboyan. Emisi CO dapat lebih diserap oleh kerimbunan tanaman-tanaman tersebut dibandingkan dengan emisi SOx. Santoso
et
al.
(2001)
dalam
penelitiannya
mengenai
“tinjauan
aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan, studi kasus kota Semarang” meneliti tentang aksesibilitas transportasi di lingkungan perumahan dan perbedaan aksesibilitas antara perumahan yang satu dengan yang lain. Pengambilan data dilakukan dengn cara survei wawancara
terhadap 179
responden rumah tangga di 4 lokasi perumahan yang dipilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesibilitas transportasi perumahan yang satu tidak sama dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik perumahan maupun karakteristik penghuninya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aksesibilitas transportasi perumahan adalah kepemilikan sepeda motor dalam keluarga, kepemilikan mobil dalam keluarga, tingkat kemudahan mendapatkan angkutan umum, dan kondisi jalan. Avianto (2002) dalam penelitiannya tentang transportation green house gasses (emisi gas buang kendaraan) dan akibatnya pada pencemaran udara yang
berpotensi
mengurangi
kunjungan
wisatawan
ke
kota
Bandung
mengemukakan bahwa dari 4 alternatif kebijakan yang ada, yaitu basic (tanpa perubahan), urban greening (penghijauan kota), parking area (penyediaan parkir), dan public transportation (angkutan umum). Dengan simulasi sistem dynamics diperoleh hasil bahwa alternatif kebijakan terbaik adalah alternatif 4, yaitu peningkatan pertumbuhan angkutan umum dan pengurangan kendaraan pribadi. Menurut model yang dibuat oleh peneliti, kebijakan tersebut akan membuat pertumbuhan wisatawan di kota Bandung berkelanjutan dan mengurangi pencemaran udara secara signifikan. Purwaamijaya (2005) dalam penelitiannya mengenai pola perubahan lingkungan yang disebabkan oleh prasarana dan sarana jalan mengemukakan bahwa pola perubahan lingkungan yang disebabkan oleh prasarana dan sarana jalan mengenali 3 tahap pembangunan dan operasional jalan yang pengelolaan dan
pemantauan
ekonomis
wilayah,
lingkungannya mengurangi
harus
mempertimbangkan
perubahan
bentang
alam,
peningkatan mengurangi
penurunan kualitas lingkungan, mengurangi keresahan masyarakat, dan mengurangi penurunan keaneka ragaman hayati. Pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologis, dan sosial politis dalam pembangunan dan operasional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan.
55 Umadevi (2006), dalam penelitiannya mengenai “sistem dynamics modeling for land use transport interaction” meneliti tentang interaksi antara tataguna lahan dan transportasi serta alternatif kebijakan untuk pengelolaan transportasi dari suatu kawasan tataguna lahan di kota metropolitan. Peneliti ini membagi pengelolaan transportasi di suatu tataguna lahan menjadi 3 (tiga) submodel, yaitu sub-model population, sub-model land use, dan sub-model transportation. Hasil peneliti ini, dengan peningkatan peran “public transport” dan pengawasan pada penggunaan tataguna lahan akan diperoleh penurunan bangkitan perjalanan, dari 4.621 menjadi 2.017 (turun sekitar 50%). Wismadi (2008), dalam penelitiannya tentang “studi tipologi land use sebagai pendekatan input bangkitan dan tarikan perjalanan pada pemodelan transportasi, studi kasus di Yogyakarta”, melakukan perhitungan estimasi volume lalulintas jalan dengan memperhatikan dinamika aktivitas tataguna lahan dari sisi tata ruang. Penelitian ini menghasilkan model generik yang diharapkan dapat diimplementasikan di kota atau di daerah lain. Variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut harus dikalibrasi dengan kondisi setempat sebelum model ini dapat dimanfaatkan dan menghasilkan nilai prediksi yang tepat. Abeto (2008), dalam penelitiannya mengenai tingkat kemacetan di kota Bandar Lampung, mengemukakan bahwa dari hasil analisis dan pembahasan perilaku derajat kejenuhan jalan di kota Bandar Lampung dengan menggunakan metodologi sistem dynamics, diperoleh hasil bahwa kebijakan yang cocok dipakai untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi di kota Bandar Lampung adalah dengan penerapan skenario kebijakan pengembangan sistem angkutan umum massal, kebijakan pembatasan umur kendaraan bermotor, dan dengan pembuatan lajur khusus sepeda motor. Masri
(2009),
dalam
penelitiannya
mengenai
“kajian
perubahan
lingkungan di zona buruk untuk perumahan, studi kasus: Kawasan Bandung Utara”, mengemukakan bahwa dari analisis special zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di Kawasan Budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang, dan Cimenyan (perumahan di kawasan Bandung Utara) menunjukkan bahwa 68,22% dari total luas lahan untuk perumahan berada di zona buruk untuk perumahan. Sedangkan hasil analisis spasial evaluasi lokasi untuk perumahan eksisting menunjukkan bahwa 45,90% luas terbangun berada di zona buruk untuk perumahan dengan faktor pembatas drainase (buruk sampai sangat buruk), kepekaan terhadap erosi (sedang sampai berat), bencana banjir (jarang sampai
56 sangat sering), kemiringan lereng (berbukit sampai sangat curam), tekstur tanah (halus sampai agak halus), batuan dan kerikil (banyak sampai sangat banyak), dan kedalaman efektif tanah (dalam sampai sedang). Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan di kawasan lindung menjadi kawasan perumahan. Seluas 78,49% kawasan perumahan berada di daerah hutan lindung dan 21,51% nya berada di daerah konservasi. Tabel 14. Matriks Beberapa Penelitian Yang Pernah Dilakukan Tentang Transportasi dan Pencemaran Udara di Perkotaan No.
Nama Peneliti
1.
Medawati
Tahun Penelitian 1996
Tujuan dan Sasaran Penelitian Pengembangan model pengendaiian pencemaran udara di Kawasan permukiman.
Ruang Lingkup
Hasil Penelitian
Penelitian mengenai karakteristik emisi pencemar udara di perkotaan dari sektor transportasi dan rumah tangga, serta pengendaliannya dengan menggunakan tanaman hijau.
Kontribusi pencemar CO, HC, NOx, SPM, dan Sox dari sektor transportasi tidak saja diteniukan oleh volume lalulintas dan jumlah kendaraan, tetapi juga oleh pola lalulintas dan sirkulasinya di dalam kota, khususnya di daerah pusat kota dan perdagangan.
2.
Santoso et al.
2001
Tinjauan aksesibitas transportasi lingkungan perumahan; studi kasus Kota Semarang.
Penelitian tentang aksesibilitas transportasi lingkungan perumahan dan perbedaan aksesibilitas antara perumahan yang satu dengan yang lain.
3.
Avianto
2002
PeneJitian tentang Gas Rumah Kaca yang disebabkan oleh transportasi.
Penelitian tentang gas rumah kaca yang disebabkan oleh transportasi dan pengaruhnya terhadap kunjungan wlsatawan di Bandung.
Pengendaiian pencemaran udara di kawasan permukiman dapat dilakukan dengan pohon Angsana, Bougenviie dan Flamboyan. Emisi CO dapat tebih diserap oleh Kerimbunan tanamantanaman Tersebut dibandingkan dengan emisi SOx. Aksesibilitas transportasi perumahan yang satu tidak sama dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik perumahan maupun karakteristik penghuninya. Faktor-faktor yang berpengruh terhadap aksesibilitas transportasi perumahan adalah kepernilikan sepeda motor dalam keluarga, kepemilikan mobil dalam keluarga, tingkat kemudahan mendapatkan angkutan umum dan kondisi jalan. Kebijakan terbaik adalah peningkatan pertumbuhan angkutan umum dan pengurangan kendaraan pribadi. Menurut model yang dibuat oleh peneliti, kebijakan tersebut akan membuat pertumbuhan
Kaitan dengan Penelitian ini Hanya meneliti tentang pencemaran akibat transportasi dan sistem tataguna lahan, tidak membahas tentang sistem pergerakan, sistem jaringan dan sistem sarana transportasi.
Penelitian tentang transportasi, tidak membahas pencemaran udara.
Membahas tentang sistem sarana transportasi (kendaraan) dan pencemaran udara. Tidak membahas sistem tataguna Iahan, sistem pergerakan dan
57 No.
4.
Nama Peneliti
Tahun Penelitian
Tujuan dan Sasaran Penelitian
Ruang Lingkup
Purwaamijaya
2005
Menelitipola perubahan Lingkungan yang diaktbatkan oleh prasarana dan sarana jalan.
Penelitian tentang pola perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan prasarana jalan pada tahap perencanaan, pembangunan. dan operasionalisasi jalan.
5.
Umadevi
2006
Merancang model sistem dinamik untuk interaksi antara tataguna lahan dengan transportasi.
6.
Wismadi
2008
Melakukan studi tipologi land use sebagai pendekatan input bangkitan dan tarikan perjalanan pada pemodelan transportasi; studi kasus di Yogyakarta
Meneliti tentang interaksi antara tataguna lahan dan transportasi serta attematif kebijakan untuk pengelolaan transportasi dart suatu kawasan tataguna lahan di kota metropolitan. Melakukan perhitungan estimasi volume lalulintas jalan dengan memperhatikan dinamika aktivitas tataguna lahan dari sisi tataruang.
7.
Abeto, M.
2008
Menganalis ist'ngkat kemacetan di kota Bandar Lampung
Menganalisis dan membahas perilaku derajat kejenuhan jalan di kota Bandar Lampung dengan Menggunakan metodologi system dynamic
8.
Masri
2009
Mengkaji perubahan lingkungan di zona buruk untuk perumahan dengan studi kasus: Kawasan Bandung Utara.
Analisis spasial zonasi kesesuaian lahan untuk perumahan di kawasan budidaya Kecamatan Lembang, Cilengkrang, dan Cimenyan (perumahan di Kawasan Bandung Utara)
Hasil Penelitian
Kaitan dengan Penelitian ini
wisatawan di kota Bandung berkelanjutan dan mengurangi pencemaran udara secara signifikan. Pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologts dan soslal politis dalam pembangunan dan opersional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan.
sistem jaringan jalan.
Dengan peningkatan peran dari "public transport" dan pengawasan pada penggunaan tataguna lahan akan diperoleh penurunan bangkitan perjalanan dari 4621 menjadi 2017 (turun sekitar 50%). Model generik yang diharapkan dapat diimplementasikan di kota atau daerah lain, dengan variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut harus dikalibrasi dengan kondisi setempat sebelum model ini dapat dimanfaatkan dan menghasilkan nilai prediksi yang tepat Penerapan kebijakan pengembangan sistem angkutan umum massa! dan kebijakan pembatasan umur kendaraan bermotor dan pembuatan lajur khusus sepeda motor, yang bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi di kota Bandar Lampung. Terjadi konversi lahan di kawasan findung menjadi kawasan perumahan. Seluas 78,49 % kawasan perumahan berada di daerah hutan lindung, dan 21,51% nya berada di daerah konservasi.
Penelitian tentang pencemaran udara dan air akibat transportasi perkotaan, tidak membahas tentang tataguna lahan, sistem pergerakan, sistem jaringan jalan dan sistem sarana kendaraan. Penelitian tentang interaksi antara tataguna lahan dengan transportasi. Tidak membahas tentang pencemaran udara.
Penelitian tentang Transportasi (tataguna lahan), tidak membahas sistem jaringan jalan, sistem pergerakan dan sistem sarana.
Penelitian tentang sistem tataguna lahan, sistem pergerakan, sistem jaringan jalan dan sistem sarana, tidak membahas tentang pencemaran udara.
Penelitian tentang pencemaran udara, pencemaran air dan kesesuaian lahan untuk perumahan di pinggiran kota. Tidak secara khusus membahas sistem jaringan jalan, sistem pergerakan, dan tataguna lahan.
58
2.13.
Teori Sistem Dinamis Sebagai salah satu pendekatan dalam pemodelan kebijakan, analisis
sistem dinamis telah dan sedang berkembang sejak diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forrester pada dekade 50-an. Metodologi ini muncul sewaktu kelompok
Jay
Forrester
melakukan
riset
di
MIT
dengan
mencoba
mengembangkan manajemen industri guna mendesain dan mengendalikan sistem industri (yang merupakan sebuah sistem sosial yang kompleks). Mereka mencoba mengembangkan metode manajemen untuk perencanaan industri jangka panjang. Sebagai obyek, sistem dapat didekati dengan berpikir sistemik yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 jenis yang berbeda, yaitu: (1) sistem hidup (manusia), (2) sistem fisik (dinding bata, jalan raya), dan (3) sistem non-fisik (organisasi, lembaga, instansi). Menurut Muhammadi (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antarunsur sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Apabila dalam aljabar 1 ditambah 1 adalah 2, dalam sistem 1 ditambah 1 tidak sama dengan 2 dan nilainya bisa tak berhingga. Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk atau struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit maupun abstrak, yang menyusun obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur. Gangguan pada salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem ini disebut juga bagian sistem atau sub-sistem. Pengertian obyek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar batas sistem adalah lingkungan sistem. Pada umumnya semakin luas bidang bidang perhaian semakin kabur batas sistem. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa batas obyek dengan lingkungan cenderung bersifat konseptual, terutama terhadap obyek-obyek non-fisik.
59 Pengertian batas antara sistem dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup tersebut hanya ada di dalam anggapan (untuk analisis), karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan lingkungan, atau sebagai sebuah sistem terbuka.
BATAS Unsur A
Unsur F
Unsur B
Unsur E
Unsur C Unsur D
Lingkungan Sistem Sumber: Muhammadii (2001)
Gambar 13. Diagram Sistem Pengertian tujuan adalah unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja yang teramati tersebut merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Di lain pihak, unjuk kerja yang diinginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan dalam sistem melalui keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Perumusan tujuan sistem ini akan membantu memudahkan menarik garis batas sistem yang menjadi perhatian. Unjuk membangun model yang bersifat sistemik, ada lima langkah yang perlu dilakukan (Muhammadi, 2001), yaitu: 1.
Identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; yaitu mengungkapkan pemikiran tentang bagaimana proses yang terjadi sehingga menghasilkan suatu kejadian di alam nyata.
2.
Identifikasi kejadian yang diinginkan; yaitu memikirkan kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan, atau yang direncanakan.
60 3.
Identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; adalah memikirkan tingkat kesenjangan antara kejadian aktual dengan yang seharusnya. Kesenjangan tersebut adalah masalah yang harus dipecahkan. Perumusan masalah ini secara konkrit, bisa dinyatakan secara kualitatif atau kuantitatif.
4.
Identifikasi dinamika menutup kesenjangan; yaitu aliran informasi tentang keputusan-keputusan yang telah
bekerja
dalam
sistem. Keputusan-
keputusan tersebut pada dasarnya adalah pemikiran yang dihasilkan melalui proses pembelajaran yang dapat bersifat reaktif (berdasarkan pengalaman masa lampau) atau kreatif (bisa berbeda dengan pengalaman masa lampau dan berorientasi pada masa depan (visionary). 5.
Analisis kebijakan; yaitu menyusun alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual transformation) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan (desired state). Berdasarkan lima langkah tersebut, untuk membangun model yang
didasarkan pada sistem dinamis dapat disusun tahapan-tahapan pembuatan model (Saeed, 1995), yaitu: a. Identifikasi dan definisi masalah; b. Konseptual sistem; c. Perumusan model; d. Analisis perilaku model; e. Pengujian dan pengembangan model; f.
Analisis kebijakan; dan
g. Implementasi model Langkah-langkah tersebut dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 14. Selanjutnya tahapan pemodelan sistem dinamik menurut Tasrif (1985) dalam Mulyana (1999) dapat diuraikan penjelasannya sebagai berikut: (1) Identifikasi dan Definisi Masalah; yaitu mendefinisikan masalah juga mencakup penentuan data yang diperlukan, termasuk data historis. Untuk mendapatkan inti permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diungkapkan, yaitu: (a) Pola Referensi (Reference Mode); pada langkah ini diidentifikasikan pola historis atau pola hipotesis yang menggambarkan perilaku persoalan
61 (problem behavior). Pola referensi ini merupakan gambaran perubahan variabel-variabel penting dan variabel lain yang terkait, dari waktu ke waktu. Berdasarkan pola historis variabel-variabel ini, akan dihasilkan inti masalah untuk suatu kajian system dynamics.
DEFINISI MASALAH
KONSEPTUAL
KONSEPTUALISASI SISTEM
PENGGAMBARAN MODEL
PERBAIKAN
PERILAKU MODEL
TEKNIS
EVALUASI MODEL
ANALISIS MODEL DAN PENGGUNAAN MODEL Sumber: Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Kimpraswil, 2003
Gambar 14. Tahapan Pembuatan Model Dengan Sistem Dinamik (b) Hipotesis Dinamik; langkah ini memberikan hipotesis awal tentang interaksi-interaksi perilaku yang mendasari pola referensi. Beberapa formulasi, perbandingan dengan bukti empiris dan reformulasi akan diperlukan untuk sampai pada satu hipotesis yang logis dan sahih secara empiris. (c) Batas Model; menggambarkan cakupan analisis dan akan berdasarkan kepada isu-isu yang ditunjukkan oleh analisis tersebut dan akan meliputi semua interaksi sebab akibat yang berhubungan dengan isu tersebut, (d) Jangkauan Waktu; menunjukkan dalam periode waktu yang mana aspek-aspek perubahan menjadi suatu masalah.
62 (2) Konseptualisasi Sistem; yaitu tahapan penyusunan unsur-unsur yang dianngap
berpengaruh
dalam
struktur
sistem,
mengenali
saling
keterkaitannya, serta menggambarkan causal loop serta diagram alirnya. (3) Perumusan Model; yaitu setelah unsur-unsur diketahui kemudian disusun dalam bentuk persamaan yang dituangkan ke dalam program komputer, dengan mempertimbangkan komponen level, rate, dan alirannya: (a) Persamaan Level; menyatakan akumulasi yang terdapat dalam sistem yang besarnya dipengaruhi oleh nilai awalnya dan perbedaan aliran (rate) masuk dan aliran keluar. Level pada suatu loop hanya bisa didahului oleh rate , tetapi bisa diikuti oleh auxialiary atau rate. Level tidak bisa dipengaruhi secara langsung oleh level lainnya. (b) Persamaan rate; menyatakan formulasi aliran yang bisa mengubah level (masuk atau keluar level) dan nilainya dipengaruhi oleh informasiinformasi yang datang kepadanya. Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya level. Ada rate masuk menambah
akumulasi
dalam
level
dan
rate
keluar
yang
menghubungkan panah menunjuk pada ‘sink’. (c) Persamaan auxiliary; adalah persamaan bantu di dalam merumuskan persamaan rate, yang digunakan untuk mendefinisikan faktor-faktor yang menentukan persamaan rate secara terpisah. Persamaan tambahan yang disubtitusikan satu sama lain, serta dapat disubtitusikan pada beberapa persamaan rate yang berbeda. (d) Persamaan sisipan (suplementary); digunakan untuk mendefinisikan variabel-variabel yang bukan merupakan bagian dari struktur model, tetapi dibutuhkan dalam pencetakan dan pembuatan grafik dari nilai-nilai yang diperlukan tentang perilaku model. (e) Persamaan nilai awal (initial value); digunakan untuk mendefinisikan harga awal dari semua level, kadang-kadang harga awal rate, yang harus diberikan sebelum siklus pertama perhitungan persamaan model. (f) Persamaan eksogen; yaitu suatu metode untuk menghasilkan masukanmasukan yang hanya merupakan fungsi terhadap waktu. Persamaan ini bermanfaat jika dapat dilakukan aproksimasi terhadap data historis yang ada. Biasanya dipakai sebagai masukan uji model. (g) Aliran material; yaitu aliran dari level satu ke level lain yang besarnya ditentukan oleh persamaan rate.
63 (h) Aliran informasi; yaitu suatu struktur yang berperan dalam fungsi-fungsi keputusan yang tidak mempengaruhi variabel secara langsung. (4) Analisis Perilaku Model; yaitu mensimulasikan model yang telah terbentuk untuk mengetahui perilakunya terhadap waktu. (5) Pengujian
dan
Pengembangan
Model;
karena
model
merupakan
penyederhanaan dari sistem dunia nyata, maka perlu dilakukan pengujian model yang berupa verifikasi (pengujian kebenaran dan ketepatan) dan validasi
(pengujian
hasil
kesimpulan)
dari
model
tersebut,
yaitu
membandingkan model yang sudah disimulasikan dengan kondisi dunia nyata termasuk perilakunya, untuk menyatakan bahwa model yang dibuat adalah sahih dan bisa dipergunakan selanjutnya. Selain replika data historis, pengujian seharusnya dilakukan juga untuk mengenali keterbatasan kinerja model sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan model dalam rangka penyelesaian masalah (Hartrisari, 2007). (6) Analisis Kebijakan dan Implementasi Model; yaitu tahap menganalisis kebijakan dari model yang telah dinyatakan sahih atau model dimaksud digunakan untuk menganalisis kebijakan. Konsekuensi kebijakan yang diambil dapat terpantau pada model yang sahih. Fenomena dunia nyata bila hendak dideskripsikan, merupakan model yang sangat luas dan kompleks. Perlu batasan-batasan, sehingga fokus analisis khususnya dalam kebijakan analisis kebijakan dapat tepat sasaran tanpa keluar dari koridor dunia nyata atau realitas yang ada.
2.13.1. Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop) Untuk memahami struktur dan perilaku sistem digunakan diagram lingkar sebab akibat (causal loops) dan diagram alir (flow chart). Diagram lingkar sebab akibat dibuat dengan cara menentukan peubah penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke peubah akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua peubah saling mempengaruhi. Diagram ini berguna untuk (Hartrisari, 2007): 1.
Secara tepat memberikan gambaran sifat dinamik dari sistem yang dikaji;
2.
Memberikan dasar untuk pembentukan persamaan pada model; dan
3.
Mengidentifikasi faktor yang penting dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
64 Pada sistem dinamis, diagram lingkar sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar
untuk
membuat
diagram
alir
yang
akan
disimulasikan
dengan
menggunakan program model sistem dinamis. Pembuatan diagram lingkar sebab-akibat adalah proses perumusan mekanisme peubah-peubah yang bekerja dalam suatu sistem ke dalam bahasa gambar, sekaligus merupakan langkah awal dari identifikasi sistem yang digunakan untuk menyederhanakan kerumitan dalam rangka menciptakan sebuah konsep model. Dua terminologi penting dalam pembuatan diagram lingkar sebab-akibat adalah keadaan (level) dan proses (rate). Prinsip dasar pembuatan diagram lingkar sebab akibat dalam penerapan berfikir sistem adalah dengan logika: proses sebagai sebab yang menghasilkan keadaan (proses → keadaan), atau sebaliknya keadaan sebagai sebab yang menghasilkan proses (keadaan → proses). Informasi tentang hal ini menghasilkan pengaruh sebab akibat yang dapat
secara searah (+) maupun berlawanan arah (-). Pada
Gambar 15 disajikan konsep diagram lingkar sebab akibat secara.
‐
K1 +
P1
P2
+ K2
-
Keterangan : K1 = keadaan (level) 1 K2 = keadaan (level) 2 P1 = proses (rate) 1 P2 = proses (rate) 2 Sumber: Hartisari, 2007
Gambar 15. Konsep Diagram Lingkar Sebab Akibat
65 Menurut Hastrisari (2007), hubungan antar-variabel pada diagram lingkar sebab akibat tidak menunjukkan mekanisme sebenarnya yang terjadi dalam sistem. Hubungan antar vraiabel hanya menunjukkan “apa yang akan terjadi bila” (what will happen if....) terjadi perubahan pada variabel bebas. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) Suatu variabel terikat memiliki lebih dari satu input (variabel bebas). Untuk mengetahui apa yang terjadi pada variabel terikat perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana semua input yang mempengaruhi dapat berubah. (2) Diagram lingkar sebab akibat tidak akan membedakan mana laju (rate) dan akumulasi dari laju (stock). Pembuatan diagram lingkar sebab akibat hanya sebagai alat bantu untuk memperjelas kaitan antar elemen sistem, terutama pada sistem yang bersifat kompleks. Seorang analis sistem yang telah memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem tidak perlu membuat diagram lingkar sebab akibat.
2.13.2. Diagram Input-Output Diagram Input-Output menggambarkan hubungan antara output yang akan dihasilkan dengan input tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan (Hartrisari, 2007). Diagram input-output sering disebut diagram kotak gelap (black box), karena diagram ini tidak menjelaskan bagaimana proses yang akan dialami input menjadi output yang diinginkan. INPUT TAK TERKONTROL
INPUT LINGKUNGAN
OUTPUT YANG DIINGINKAN
P R O S E S
INPUT TERKONTROL
OUTPUT YANG TAK DIINGINKAN
UMPAN BALIK Sumber: Hartrisari, 2007
Gambar 16. Diagram Input-Output
66 Output adalah tujuan yang harus dicapai oleh sistem. Output dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu output yang diinginkan dan output yang tidak diinginkan. Output yang tidak diinginkan ini akan menjadi umpan balik untuk perbaikan input dan memodifikasi input sehingga dapat lebih memperbanyak output yang diinginkan dan meminimalkan output yang tidak diinginkan. Input terdiri atas input terkendali (input yang berada dibawah kontrol analis) dan input tak terkendali (input yang diluar kontrol dan tidak dapat dikendalikan oleh analis). Input lainnya adalah input lingkungan, yaitu merupakan elemenelemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam mencapai tujuan. Struktur model akan memberikan bentuk pada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal kausal (causal loops) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya, dapat disederhanakan menjadi struktur dasar, yaitu mekanisme masukan proses, keluaran, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk kinerja (level) suatu model sistem dinamis. 2.13.3. Diagram Alir (Struktur Model) Pembuatan
diagram
alir
model
(struktur
model)
didasarkan
atas
persamaan sistem dinamik yang mencakup keadaan (level), aliran (flow), auxiliary, dan konstanta (constant) dan digambarkan dengan simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut digunakan dalam pembuatan diagram alir model untuk operasi komputer dalam melakukan simulasi. Terdapat satu tipe operasi komputer umum yang dapat digunakan dalam melakukan simulasi sistem dinamik.
Gambar 17. Simbol-Simbol Diagram Alir