BAB 2 PENELUSURAN TEORITIS
1. Ibu Struktur keluarga menggambarkan peran masing – masing anggota keluarga baik di dalam keluarganya sendiri maupun perannya di lingkungan masyarakat. Semua tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh anggota keluarga menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini dalam keluarga. Bagaimana cara dan pola komunikasi diantara orang tua, orang tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam keluarga besar (Setiawati, 2008). Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga. Jantung dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apabila jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Perumpaan ini menyimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa, 2000). Peran ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anakanaknya, mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak – anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu, ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya (Effendy, 1998). Menurut Friedman dalam Effendy (1998), peran ibu didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengasuh, mendidik dan menentukan nilai kepribadian. Peran pengasuh adalah peran dalam memenuhi kebutuhan
7 Universitas Sumatera Utara
8
pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya terpelihara sehingga diharapkan mereka menjadi anak – anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Selain itu peran pengasuh adalah peran dalam memberikan kasih sayang, perhatian,
rasa
aman,
kehangatan
kepada
anggota
keluarga
sehingga
memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya. Realitas peran ibu kini adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab utama atas anak maupun pekerjaan rumah tangga dan bentuk lainnya dari pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu (Barnard & Martell, 1995 dalam Santrock, 2007) 1.1 Ibu bekerja Ibu bekerja adalah ibu yang melakukan suatu kegiatan di luar rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu salah satu tujuan ibu bekerja adalah suatu bentuk aktualisasi diri guna menerapkan ilmu yang telah dimiliki ibu dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya (Santrock, 2007). Beberapa alasan yang mendukung tujuan ibu bekerja menurut Gunarsa (2000) adalah: (1) karena keharusan ekonomi, untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Hal ini terjadi karena ekonomi keluarga yang menuntut ibu untuk bekerja. Misalnya saja bila kehidupan ekonomi keluarganya kurang, penghasilan suami kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari keluarga sehingga ibu harus bekerja, (2) karena ingin mempunyai atau membina pekerjaan. Hal ini terjadi sebagai wujud aktualisasi diri ibu, misalnya bila ibu seorang sarjana akan lebih
memilih
bekerja
untuk
membina
pekerjaan,
(3)
proses
untuk
mengembangkan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang lain dan
Universitas Sumatera Utara
9
menambah pengalaman hidup dalam lingkungan pekerjaan, (4) karena kesadaran bahwa pembangunan memerlukan tenaga kerja baik tenaga kerja pria maupun wanita. Hal ini terjadi karena ibu mempunyai kesadaran nasional yang tinggi bahwa negaranya memerlukan tenaga kerja demi melancarkan pembangunan, (5) pihak orang tua dari ibu yang menginginkan ibu untuk bekerja, (6) karena ingin memiliki kebebasan finansial, dengan alasan tidak harus bergantung sepenuhnya pada suami untuk memenuhi kebutuhan sendiri, misalnya membantu keluarga tanpa harus meminta dari suami, (7) bekerja merupakan suatu bentuk penghargaan bagi ibu, (8) bekerja dapat menambah wawasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pola asuh anak – anak. Alasan – alasan diatas menjadi dasar terjadinya pergeseran nilai peran seorang ibu. Ibu harus menjalankan peran ganda dalam melaksanakan perannya sebagai sosok seorang ibu. Peran ganda ini berpengaruh positif maupun negatif terhadap kondisi keluarga terutama terhadap anak. Pengaruh ibu yang bekerja pada hubungan anak dan ibu, sebagian besar bergantung pada usia anak pada waktu ibu mulai bekerja. Jika ibu mulai bekerja sebelum anak telah terbiasa selalu bersamanya, yaitu sebelum suatu hubungan tertentu terbentuk, maka pengaruhnya akan minimal. Tetapi jika hubungan yang baik telah terbentuk, anak itu akan menderita akibat deprivasi maternal, kecuali jika seorang pengganti ibu yang memuaskan tersedia, yaitu seorang pengganti yang disukai anak dan yang mendidik anak dengan cara yang tidak akan menyebabkan kebingungan atau kemarahan di pihak anak (Hurlock, 2007).
Universitas Sumatera Utara
10
1.2 Ibu tidak bekerja Ibu yang tidak bekerja memiliki tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga. Dalam konteks inilah peran seorang ibu berlaku, yaitu mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak – anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya (Santrock, 2007). Ibu yang tidak bekerja dapat lebih memahami bagaimana sifat dari anak – anaknya. Karena sebagian besar waktu yang dimiliki ibu yang tidak bekerja dihabiskan di rumah sehingga bisa memantau kondisi perkembangan anak. Kebanyakan pekerjaan yang dilakukan ibu di rumah meliputi membersihkan, memasak, merawat anak, berbelanja, mencuci pakaian, dan mendisiplinkan. Dan kebanyakan ibu yang tidak bekerja seringkali harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus (Santrock, 2007). Namun, karena ikatan kasih sayang dan melekat dalam hubungan keluarga pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh ibu memiliki arti yang kompleks dan juga berlawanan (Villiani, 1997 dalam Santrock, 2007). Banyak perempuan merasa pekerjaan rumah tangga itu tidak cerdas namun penting. Mereka biasanya senang memenuhi kebutuhan orang – orang yang mereka kasihi dan mempertahankan kehidupan keluarga, karena mereka merasa aktivitas tersebut menyenangkan dan memuaskan. Pekerjaan keluarga bersifat positif dan negatif bagi perempuan. Mereka tidak diawasi dan jarang dikritik, mereka merencanakan dan mengontrol pekerjaan mereka sendiri, dan mereka hanya perlu memenuhi standart mereka sendiri. Namun, pekerjaan rumah tangga perempuan sering kali menyebalkan,
Universitas Sumatera Utara
11
melelahkan, kasar, berulang – ulang, mengisolasi, tidak terselesaikan, tidak bisa dihindari, dan sering kali tidak dihargai (Santrock, 2007). Namun, semua perempuan secara kodrat harus menerima peran yang harus dijalankan, yaitu sebagai istri sekaligus ibu dari anak – anaknya dan menjalankan perannya sebagai ibu dalam keluarga yang memiliki tanggung jawab penuh untuk megatur rumah tangga.
2. Pola Asuh Pola asuh adalah cara – cara atau bentuk pengasuhan anak. Menurut Chabib Thoha (1997, dalam Puspitasari, 2006) bahwa pola asuh merupakan suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak. Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik – baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000 dalam Puspitasari, 2006). Menurut Nuraeni (2006) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak dan memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Setiap anak tumbuh dan berkembang melalui proses belajar tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Proses pembelajaran ini berlangsung dan
Universitas Sumatera Utara
12
berkesinambungan terus selama masa hidup seseorang, sejak anak usia bayi sampai mencapai usia dewasa. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten. Kewajiban anak adalah merespon sesuai dengan inisiatif dari orang tua dan mempertahankan hubungan positif dengan orang tua (Santrock, 2007). Pola asuh yang tepat dari orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi proses pembelajaran ini. Diperlukan kesabaran dan kebijakan orang tua untuk dapat memberikan pertimbangan terbaik dalam pengambilan keputusan – keputusan penting di dalam kehidupan anak. Masing – masing ibu tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Contohnya, pola asuh ibu yang bekerja sebagai petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh ibu yang berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh ibu yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola asuh yang keras/ kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Ada yang memakai pola asuh yang lemah lembut dan kasih sayang dan ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Pola asuh yang diterapkan tiap – tiap orang tua akan sangat mempengaruhi pada bentuk – bentuk penyimpangan perilaku anak (Sunarti, 2004).
Universitas Sumatera Utara
13
Menurut Baumrind (1967, dalam Nuraeni, 2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua: 1. Pola asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas – batas atau aturan – aturan yang telah ditetapkan orang tua. Orang tua juga selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006) Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu – ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokrasi ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan – aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006). Pola asuh demokratis memampukan anak mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal – hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung
Universitas Sumatera Utara
14
jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif. Jadi dalam pola asuh ini, terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran – pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Pada pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak – anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif terhadap orang lain (Yusniah, 2008). Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut; 1) menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan – alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak, 2) memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan, 3) memberikan bimbingan dengan penuh pengertian, 4) dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga, 5) dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga. 2. Pola asuh Otoriter Pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua. Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
Universitas Sumatera Utara
15
biasanya dibarengi dengan ancaman – ancaman tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006). Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi
proses
pendidikan
anak
terutama
dalam
pembentukan
kepribadiannya. Karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Pada pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas serta menarik diri (Yusniah, 2008). Perkembangan anak itu semata – mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu – ragu di dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua
Universitas Sumatera Utara
16
akan menekan daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman – temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama – lama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada, maka setelah dewasa pun masih akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak tidak berani memikul tanggung jawab (Yusniah, 2008). Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan – peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung memaksakan disiplin, 6) orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak. 3. Pola asuh Permisif Pola asuh permisif memberikan pengawasan yang sangat longgar yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Pola asuh permisif memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan
Universitas Sumatera Utara
17
oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh ini biasanya akan menghasilkan anak – anak yang manja, tidak patuh, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006) 4. Pola asuh Penelantar Orang tua pada pola asuh penelantar umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak – anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan kadangkala biaya pun dihemat – hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak – anaknya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak – anak yang kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006). Seorang ibu yang bekerja di luar rumah harus pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada umumnya tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Peran ibu dalam menerapkan pola asuh pada anak merupakan hal yang berpengaruh pada sikap keseharian anak. Menurut Child dan Whiting yang harus diperhatikan dalam proses mengasuh anak adalah orang – orang yang mengasuh dan cara penerapan larangan
Universitas Sumatera Utara
18
atau keharusan yang dipergunakan. Larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam tetapi, prinsipnya adalah cara pengasuhan anak harus mengandung sifat: pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 2004). Pengasuhan yang kompeten melibatkan dua faktor utama yaitu berkaitan dengan efektivitas metode sosialisasi dan berkaitan dengan penyediaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kognitif, perkembangan emosional, dan perkembangan sosial anak. Hasil kajian menunjukkan bahwa orang tua yang efektif adalah orang tua yang memperlakukan anak dengan hangat, mendukung anak secara positif, menetapkan batas – batasan dan nilai – nilai, dan mengikuti serta memonitor perilaku anak yang secara konsisten menegakkan aturan – aturan (Sunarti, 2004). Efektifitas pengasuhan dapat ditunjukkan dari indikator fisik seperti status gizi dan kesehatan dan dari indikator non – fisik seperti prestasi akademik, kecerdasan emosi, serta perilaku prososial anak. Seorang anak sangat beresiko mengembangkan perilaku yang bermasalah dan mendapat tekanan atau ketegangan psikologis jika orang tuanya gagal dalam pengasuhan. Pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai dua indikator utama dari kualitas anak, membutuhkan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, stabil, dan lingkungan yang tidak tegang. Lingkungan pengasuhan yang penuh cinta kasih dibutuhkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Sunarti, 2004). Ibu dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Ibu yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu saja ibu diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana
Universitas Sumatera Utara
19
atau menerapkan pola asuh yang setidak – tidaknya tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang 2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh a) Pendidikan Ibu Pendidikan merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup (Suharjo, 1999 dalam Puspitasari, 2006). b) Pengetahuan ibu Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan erat dengan pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi akan memungkinkan mendapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan baik (Kardyati dkk,1987 dalam Puspitasari, 2006). Membesarkan anak yang sehat tidak cukup dengan naluri kasih sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan keterampilan yang baik. Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh anak merupakan hal yang sangat penting dan harus diusahakan oleh ibu dalam rangka membesarkan anak – anaknya (Nadesul, 1996 dalam Puspitasari, 2006). Pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal, tetapi bisa juga dari informasi di media masa atau hasil dari pengalaman orang lain (Sobur, 1981 dalam Puspitasari, 2006). c) Aktivitas ibu Kebutuhan wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbeda – beda, ada beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran
Universitas Sumatera Utara
20
khususnya sebagai ibu rumah tangga. Bagi ibu tidak ada hal yang menyenangkan dari pada masa – masa kecil dan remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak – anaknya (Sobur, 1991 dalam Puspitasari, 2006). Banyak ibu yang berperan ganda selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karir, yang bertujuan untuk menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mencukupi sehingga mengakibatkan timbulnya pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama anaknya. Pada mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas dari pekerjaan semakin banyak sehingga ibu akan mengalami kesulitan untuk membagi waktu untuk anak – anaknya (Soeleman, 1994 dalam Puspitasari, 2006). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan, baik penuh atau paruh waktu, maka orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang yang mengetahui kebutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam memelihara dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anak – anaknya dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, jenis – jenis makanan juga lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada anak (Lestari, 1996 dalam Puspitasari, 2006). d) Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi dalam pengasuhan anak dipengaruhi oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya. Status sosial ekonomi ibu dari bawah dan menengah cenderung lebih demokratis (Puspitasari, 2006).
Universitas Sumatera Utara
21
2.2 Konsep Anak Mengenai Orang Tua Pada umumnya, anak bersifat egosentris sehingga tidak mengherankan bahwa konsep mengenai “orang tua” didasarkan atas perlakuan orang tua terhadap mereka, terutama di bidang disiplin, pengasuhan dan rekreasi (Hurlock, 2007). Menurut Hurlock (2007) konsep orang tua yang “baik” yaitu; a) melakukan berbagai hal untuk anak, b) anak dapat bergantung pada orang tua, c) bersikap cukup permisif dan luwes, d) adil dalam disiplin, e) menghargai individualitas anak, f) menciptakan suasana hangat bukan suasana penuh ketakutan, g) memberi contoh yang baik, h) menjadi kawan baik dan menemani anak dalam berbagai kegiatan, i) bersikap baik untuk sebagian besar waktu, j) menunjukkan kasih sayang terhadap anak, k) menaruh simpati bila anak merasa sedih atau mengalami kesulitan, l) mendorong anak untuk membawa kawannya ke rumah, m) berusaha membuat suasana rumah bahagia, n) memberikan kemandirian yang sesuai usia anak, o) tidak mengharapkan prestasi yang tidak masuk akal. Konsep orang tua yang “buruk” yaitu; a) menghukum secara kasar, b) sering dan tidak adil, c) menghalangi minat dan kegiatan anak, d) berusaha membentuk anak menurut suatu pola, e) memberikan contoh yang buruk, f) suka jengkel dan marah, g) menunjukkan sedikit kasih sayang terhadap anak, h) marah – marah bila anak tersebut membuat kesalahan yang tidak disengaja, i) menunjukkan sedikit perhatian terhadap anak atau kegiatan anak, j) melarang atau tidak mendorong teman sebaya untuk berkunjung, k) bersikap “jahat” terhadap teman anak, l) tidak mendorong atau melarang anak bermain dengan teman – temannya, m) berusaha “mengikat” anak, n) mempunyai harapan yang tidak realistik untuk anak, o)
Universitas Sumatera Utara
22
mengancam atau menyalahkan anak bila gagal, p) membuat suasana rumah tegang dan tidak menyenangkan bagi semua. Anak – anak biasanya memandang “ibu” sebagai individu yang melakukan sesuatu baginya, individu yang memenuhi kebutuhan fisiknya, memberi kasih sayang dan perhatian, hampir selalu berbahagia dan riang gembira, mentolerir sebagian besar kenakalan anak dan membantu mereka bila ada kesulitan. Dalam persepsi anak, ibu memiliki kuasa lebih besar atas mereka dari ayah (Hurlock, 2007). 2.3 Pengaruh Pengasuhan Orang Lain Terhadap Anak Ketika peran seorang ibu dalam hal pengasuhan anak mulai mengalami pergeseran nilai dikarenakan perubahan status ibu menjadi ibu pekerja di luar rumah, beberapa ibu akan mengambil keputusan untuk menyerahkan tanggung jawab pengasuhan anak tersebut ke orang lain, biasanya seperti orang terdekat dengan keluarga atau mempekerjakan orang lain untuk mengasuh anak selama ibu bekerja di luar rumah. Namun pengaruh ibu yang bekerja pada hubungan anak dan ibu, sebagian besar bergantung pada usia anak pada waktu ibu mulai bekerja. Jika ibu mulai bekerja sebelum anak telah terbiasa selalu bersamanya, yaitu sebelum suatu hubungan tertentu terbentuk, maka pengaruhnya akan minimal. Tetapi jika hubungan yang baik telah terbentuk, anak itu akan menderita akibat deprivasi maternal, kecuali jika seorang pengganti ibu yang memuaskan tersedia, yaitu seorang pengganti yang disukai anak dan yang mendidik anak dengan cara yang tidak akan menyebabkan kebingungan atau kemarahan di pihak anak (Hurlock, 2007).
Universitas Sumatera Utara
23
Namun, bagaimana pun juga keluarga inti adalah standar terbentuknya pribadi anak, begitu juga peran seorang ibu. Peran pengganti ibu yang mengambil alih pengasuhan dan pendisiplinan anak akan melakukan apa yang mereka anggap tepat dalam hal pengasuhan terhadap anak, misalnya peran pengasuhan ibu digantikan oleh nenek, maka nenek tidak akan berlaku layaknya ibu kepada anak melainkan berlaku layaknya nenek kepada cucu. Peran ini mencakup perlakuan khusus dan hadiah – hadiah dan sikap “lepas tangan” dalam pendidikan. Peran ini ditandai dengan hubungan tidak formal yang diperankan oleh nenek kepada cucunya dalam hal pengasuhan dan pendisiplinan anak. Namun walau demikian pembentukan watak anak juga sangat dipengaruhi oleh peran ibu meskipun ibu bekerja di luar rumah, karena bagaimanapun juga ibu adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak meski anak telah diasuh oleh orang lain (Hurlock, 2007). Pengaruh orang lain yang mengasuh anak sebagai pengganti peran ibu dapat mempengaruhi hubungan keluarga, dan dalam hal ini mempengaruhi hubungan ibu dengan anak, bergantung pada dua kondisi: banyaknya waktu yang dihabiskannya dengan anak, dan bagaimana reaksi anak terhadapnya. Jika anak memiliki pengasuh luar hanya untuk jangka waktu pendek, dan jika perannya terutama menjaga anak supaya aman dan bahagia, hanya akan sedikit pengaruh pada hubungan anak dengan ibu atau dengan keluarga. Anak – anak mungkin merasa heran dan mengeluh mengapa ibu mereka tidak bermain dengan mereka seperti pengasuhnya, tetapi sebaliknya pengaruh mereka pada hubungan keluarga akan sedikit saja (Hurlock, 2007).
Universitas Sumatera Utara
24
Namun jika pengganti ibu menggunakan metode pendidikan anak yang berbeda dari metode orangtuanya atau seandainya anak merasa diabaikan bila hadir seorang pengganti orang tua, mereka tidak akan menyukai pengalihan pengasuhan mereka dari ibu ke orang lain. Bila anak menyukai orang yang mengasuh mereka, satu – satunya pengaruh terhadap hubungan keluarga adalah membuat ibu merasa cemburu terhadap pengganti ibu untuk sementara waktu. Sebaliknya ketidaksukaan dengan pengganti ibu dapat menyebabkan malapetaka dalam hubungan keluarga. Pada anak timbul perasaan tidak senang terhadap ibu sebab ibu mengalihkan pengasuhannya kepada orang yang tidak disukainya. Hal ini mengakibatkan hubungan ibu – anak yang buruk dan suasana rumah yang diwarnai perselisihan (Hurlock, 2007). Studi – studi menunjukkan bahwa reaksi anak terhadap bentuk pengasuhan dari pihak pengganti peran ibu dalam hal pengasuhan anak akan berubah dengan bertambahnya usia anak (Hurlock, 2007). Faktor yang menjadi alasan mengapa hampir semua ibu bekerja akan menyerahkan tanggung jawab pengasuhan anak kepada orang lain yang telah menjadi kepercayaan keluarga adalah untuk mengatasi deprivasi maternal yang akan dialami anak ketika ibu harus bekerja, mencegah terjadinya perilaku kriminalitas yang dapat terjadi pada anak ketika ibu bekerja, membantu anak untuk memenuhi semua kebutuhannya ketika ibu bekerja, mengawasi tingkah laku dan perkembangan sosial yang terjadi pada anak (Ahmadi, 2005). 2.4 Penilaian Terhadap Perilaku Anak Menjalin hubungan emosional dengan anak bukan suatu hal yang mudah, karena seringkali anak membuat orang tua menjadi marah karena penyimpangan
Universitas Sumatera Utara
25
perilaku yang dilakukan anak. Anak sering sekali bertingkah laku tidak sesuai dengan yang orang tua harapkan. Beberapa jenis penyimpangan perilaku yang sering dilakukan anak yaitu suka jahil, iri hati, mencela, rewel, agresif, gagap, takut, protes dan malas belajar. Sifat – sifat ini yang sering sekali membuat orang tua khususnya ibu menjadi marah dan kesal bahkan tidak jarang orang tua menjadi risih dan malu terhadap tanggapan orang lain. Semua orang tua tentu berharap anak mereka dapat menunjukkan perilaku yang manis, patuh, cerdas, mampu berempati, mampu menyesuaikan diri, tidak banyak menuntut, punya pengertian, mandiri, kreatif, punya sikap hormat dan ramah (Surya, 2004). Dibutuhkan kesabaran dan pengambilan keputusan yang tepat untuk menentukan pola asuh yang paling benar sesuai dengan tingkat usia anak. Menghukum anak atas kesalahan dan perbuatan yang anak lakukan tidak selalu merupakan jalan keluar yang paling tepat. Sering kali anak bukan menunjukkan perubahan perilaku menjadi perilaku yang lebih baik melainkan memberi reaksi perlawanan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung tentunya anak akan melawan secara verbal maupun fisik, seperti membalas dengan katakata kasar dan melawan dengan anggota tubuhnya atau menepis dengan tangannya atau memukul balik. Secara tidak langsung tentunya akan menunjukkan reaksi non – verbal, seperti menunjukkan wajah cemberut, mata melotot, murung, menangis keras dan mengurung diri. Bila kondisi seperti ini yang terjadi kepada anak, orang tua dikatakan gagal memperbaiki penyimpangan perilaku anak dan hubungan emosional dengan anak semakin memburuk. Bahkan, intensitas penyimpangan perilaku anak akan semakin memburuk (Surya, 2004).
Universitas Sumatera Utara
26
Kurang bijaksana bila orang tua juga bertindak kasar terhadap perilaku menyimpang anak. Yang harus orang tua lakukan adalah tindakan proaktif untuk menemukan cara yang tepat untuk mengatasi perilaku anak. Orang tua harus mengenali dan menganalisa penyebab penyimpangan perilaku pada anak kemudian mencari solusi untuk mengatasi penyimpangan tersebut (Surya, 2004).
3. Suku Jawa 3.1 Kebudayaan Suku Jawa Salah satu budaya tradisional di Indonesia yang sudah cukup tua adalah budaya Jawa, dianut turun – temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi – bagi, akan tetapi dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan (Sujamto, 1997: 26 dalam Gauthama et al, 2003). Setiap wilayah kebudayaan mempunyai karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasi falsafah – falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan sehari – hari. Selain kondisi geografis, beragamnya karakteristik keseharian di dalam implementasi budaya Jawa juga disebabkan oleh masuknya pengaruh nilai – nilai agama maupun budaya lain. Sejarah menunjukkan bahwa pada awalnya budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Salah satu contoh seni budaya Jawa yang dipengaruhi oleh agama Hindu yaitu pementasan wayang. Alur cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan
Universitas Sumatera Utara
27
Mahabharata. Pada tahap berikutnya, ketika Islam masuk ke Pulau Jawa, nilai – nilai dalam agama Islam turut pula mewarnai budaya Jawa (Gauthama et al, 2003). Budaya Jawa di daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa (mulai dari Banyuwangi hingga Pekalongan) memiliki corak yang berbeda dengan budaya Jawa yang berasal dari daerah pedalaman (Surakarta atau Yogyakarta). Pada umumnya, budaya masyarakat di daerah pantai seringkali lebih terbuka, mudah menerima perubahan dan bersifat majemuk dibandingkan budaya masyarakat di daerah pedalaman (Gauthama et al, 2003). Keanekaragaman budaya Jawa tampak pula pada berbagai dialek bahasa, jenis kesenian, makanan, dan upacara adat, meskipun jika ditinjau lebih jauh masih terdapat beberapa persamaan diantara unsur budaya masyarakat yang satu dengan lainnya, terutama yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai suatu sistem budaya (Mattulada, 1993; 32 dalam Gauthama et al, 2003) Beberapa ahli ilmu sosial membedakan keberagaman budaya Jawa bedasarkan wilayah kebudayaan (culture area), yaitu Nagarigung, Mancanagari, Banyumasan, dan Pesisiran. Kebudayaan Pesisiran kemudian dibagi lagi menjadi Pesisiran Kilen dan Pesisiran Wetan (Koentjaraningrat, 1998: 25- 28 dalam Gauthama et al, 2003). Selain keempat wilayah kebudayaan tadi, masih ada beberapa wilayah kebudayaan lainnya yang memiliki kekhasannya tersendiri, tetapi wilayah penyebarannya tidak terlalu luas, yaitu wilayah kebudayaan Ponorogo, Surabaya, Tengger, Osing, Dulangmas, dan Blambangan (Gauthama et al, 2003).
Universitas Sumatera Utara
28
Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh individu atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Falsafah hidup biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian dari falsafah hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berlainannya pemahaman akan falsafah hidup tersebut (Hariyono dan Suseno, 1999 dalam Gauthama et al, 2003). 3.2 Falsafah Hidup Masyarakat Jawa 1. Hakekat Hidup Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep – konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya, agama (Hindu dan Islam), dan pada batas – batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya (Gauthama et al, 2003). Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa – apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka
Universitas Sumatera Utara
29
harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan. Pada masyarakat Jawa tradisonal, terutama yang berpendidikan rendah (wong cilik), falsafah ini menimbulkan sikap yang cepat menyerah pada suatu keadaan yang sulit sehingga biasanya menerima keadaan tersebut sebagai nasib. Sedangkan pada masyarakat Jawa yang berpendidikan tinggi (priyayi), pengertian falsafah ini sudah berubah. Mereka mengartikan bahwa orang tidak lagi harus pasrah, melainkan harus lebih giat berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik. (Gauthama et al, 2003). Falsafah Nrima ing pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam cara bertindak, apakah tindakan yang dilakukan seseorang sudah benar dan telah sesuai dengan norma – norma dan tata nilai yang berlaku atau belum. Sikap mawas diri, seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Falsafah ini sering pula digunakan dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (Gauthama et al, 2003). 2. Hakekat Kerja Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Makna yang terkandung dari hakekat kerja adalah berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup, karena itu di kalangan masyarakat Jawa kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk dapat makan (Hariyanto, 1994: 34 dalam Gauthama et al, 2003). Sebaliknya, pada masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat Jawa kelas atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu
Universitas Sumatera Utara
30
dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Falsafah yang banyak dipahami oleh masyarakat Jawa kelas menengah dan atas adalah jer basuki mawa beya. Artinya, bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita – citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh – sungguh. Dengan falsafah ini, masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat kelas atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita – cita diperlukan biaya (termasuk pengorbanan dalam bentuk uang) (Gauthama et al, 2003). Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi ing pamrih rame ing gawe. Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa mengharap pujian dan imbalan materil (Gauthama et al, 2003). 3. Hakekat Waktu Banyak orang berpendapat bahwa budaya Jawa kurang menghargai hakekat waktu. Pendapat ini muncul akibat pemahaman yang salah terhadap falsafah alon – alon waton kelakon. Dalam masyarakat Jawa tradisional yang tergolong ke dalam kelas masyarakat bawah, falsafah tersebut sering diartikan bahwa bekerja tidak perlu terburu – buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu pekerjaan dengan perlahan – lahan memang sudah merupakan sifat orang Jawa. Selain itu, seringkali mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi memang sudah ada waton-nya yakni ketentuan yang memang telah digariskan (Gauthama et al, 2003). Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon – alon waton kelakon diartikan secara positif ketika mengerjakan sesuatu, individu harus berhati – hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul
Universitas Sumatera Utara
31
pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan, dan tahapan rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, agar tercapai hasil yang diinginkan (Gauthama et al, 2003). Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lampau (Gauthama et al, 2003). 4. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan yang saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga (masyarakat). Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik. Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 1999: 38 dalam Gauthama et al, 2003).
Universitas Sumatera Utara
32
Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh (jangan sok) dan tepa salira (tenggang rasa). Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang – wenang sekehendak hati sehingga lupa diri, dan jangan memandang rendah orang lain agar hubungan baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain. Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang – wenang jika ia menjadi pemimpin (Gauthama et al, 2003). 5. Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning bawana (Gauthama et al, 2003). Pada masyarakat Jawa tradisional (umumnya kelas bawah), falsafah ini memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pada masyarakat modern (umumnya kelas menengah dan kelas atas), falsafah ini dikembangkan dengan pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dunia menjadi aman dan tenteram (Gauthama et al, 2003).
Universitas Sumatera Utara
33
Di samping memayu hayuning bawana, falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia dengan alamnya adalah gugontuhon. Falsafah ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati – hati dan selalu memohon kepada Tuhan agar segala sesuatu yang dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang. Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan kepercayaan orang Jawa pada takhayul dan magis yang seringkali ditandai dengan pemikiran – pemikiran tidak logis (Gauthama et al, 2003).
Universitas Sumatera Utara