BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Persediaan Menurut Rangkuti (2000, p1) persediaan adalah suatu aktiva yang meliputi
barang – barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha tertentu, atau persediaan barang-barang yang masih dalam pengerjaan atau proses produksi, ataupun persediaan bahan baku yang menunggu penggunanya dalam suatu proses produksi. Persediaan adalah stok yang akan digunakan pada masa yang akan datang (Bronson et al., 1997, p259) . Persediaan didefinisikan sebagai bahan baku, barang dalam proses dan perakitan, dan barang jadi yang ada dalam sistem produksi pada suatu waktu tertentu (Elsayed, 1994, p63). Menurut Sipper et al.(1997, p206) definisi persediaan adalah sejumlah komoditas atau barang dagangan dalam hal pengontrolan dari sebuah perusahaan, disimpan selama beberapa waktu untuk memenuhi permintaan yang akan datang. Menurut Schroeder (2000, p304) Persediaan adalah stok dari suatu material yang digunakan untuk memudahkan produksi dan memenuhi persediaan pelanggan.
2.2
Manfaat Persediaan Menurut Mulyono (2002, p300), ada banyak alasan mengapa perusahaan
memiliki persediaan, antara lain:
8 1. Untuk memenuhi permintaan konsumen yang telah diramalkan. Karena permintaan tak diketahui dengan pasti, dapat dimiliki persediaan tambahan yang dinamakan safety or buffer stock untuk memenuhi lonjakan permintaan yang diramalkan. Faktor musim sangat berpengaruh terhadap gejolak permintaan. Dengan demikian safety stock dapat menghindari shortage. 2. Untuk mendapatkan potongan harga jika membeli dalam jumlah banyak. 3. Untuk menghindari resiko akibat kenaikan harga. 4. Persediaan barang mentah dapat menjaga kelancaran produksi karena dapat menghindari stock out jika terjadi kelambatan pengiriman, kerusuhan massa atau bencana alam. Sedangkan menurut Ballou (2004, pp405-406), beberapa alasan diadakannya persediaan berkaitan dengan pelayanan konsumen atau untuk meminimalkan biaya yang secara tidak langsung dihasilkan dari usaha memuaskan pelanggan. Secara singkat dapat dipaparkan sebagai : 1. Meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Sistem pengendalian persediaan yang dijalankan oleh perushaan tidak selalu dapat bereaksi secara cepat dan ekonomis terhadap permintaan konsumen atau jasa, yang jika diperhitungkan secara benar dapat memenuhi fluktuasi permintaan yang tinggi akan produk maupun jasa. Adanya persediaan berpengaruh pada peningkatan penjualan. 2. Mengurangi biaya operasional, agar : a. Pelaksanaan produksi lebih ekonomis karena persediaan bertindak sebagai penyangga antara jumlah yang harus diproduksi dengan variasi permintaan.
9 b. Dapat mengurangi biaya transportasi dan menyeimbangkan biaya dari sejumlah kuantitas yang dibeli dengan penurunan harga pasar. c. Pembelian dalam jumlah yang besar semakin mendekati kuantitas kebutuhan yang mendesak. d. Persediaan bertindak sebagai penyangga terhadap variasi waktu antara produksi dan pengiriman. e. Persediaan dapat mengantipasi masalah pemogokan buruh, bencana alam, keterlambatan pengiriman.
2.3
Jenis-jenis Persediaan Penanganan modal dalam persediaan mempermudah perusahaan untuk
melancarkan proses produksi dan untuk mengantisipasi permintaan yang mudah berubah. Persediaan dapat digolongkan dalam dua bentuk, yaitu berdasarkan proses yang dialami.
2.3.1 Persediaan Berdasarkan Fungsi Jenis-jenis persediaan yang umum dimiliki pada suatu perusahaan diantaranya adalah sebagai berikut (Tersine, 1994, pp7-8): 1. Working Stock (Cycle atau Lot Size Stock) Adalah persediaan yang diperlukan dan di simpan sebelum diperlukan agar pemesanan dapat dilakukan dalam bentuk lot sejumlah yang diinginkan. Ukuran lot ini bertujuan untuk meminimalisasikan biaya pemesanan dan penyimpanan, dan mendapatkan potongan harga. Secara umum, jumlah rata-
10 rata persediaan di “tangan” yang dihasilkan dari ukuran lot membentuk stok aktif suatu organisasi. 2. Safety stock (Buffer atau Fluctuation Stock) Adalah persediaan yang disimpan untuk mengantisipasi kemungkinan supply dan demand yang tidak pasti. Dalam siklus pemenuhan kembali, stok ini berfungsi sebagai tameng terhadap kekurangan stok. 3. Anticipation Stock (Seasonal atau Stabilization Stock) Adalah persediaan yang digunakan untuk menghadapi permintaan musiman yang memuncak, keperluan sampingan (promosi, pemogokan buruh, penutupan karena libur). Stok ini disediakan atau diproduksi sebelum diperlukan dan berkurang selama permintaan puncak, dengan harapan agar tingkat produksi rata-rata tetap tercapai dan jumlah tenaga kerja tetap stabil. 4. Pipeline stock ( work in process ) Adalah persediaan yang ada dalam perjalanan dan membutuhkan waktu dari penerimaan barang pada saat masuk, pengiriman bahan dalam proses produksi, pengiriman barang sampai ke outputnya. Secara external pipeline stock dapat digambarkan persediaan dalam perjalanan di truk, kapal atau alat angkut lainnya. Sedangkan secara internal, merupakan proses menuggu diproses dan dipindahkan 5. Decoupling stock Merupakan persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier.
11 6. Physics stock Merupakan persediaan barang yang diadakan dalam bentuk pajangan untuk mendorong pembelian dan stock ini bersifat sebagai seorang sales yang berdiam diri.
2.3.2 Persediaan Berdasarkan Proses Produksi Persediaan dapat dikelompokkan menurut bentuknya, dimana hal ini berkaitan dengan jenis dan posisi barang tersebut dalam urutan pengerjaan produk, yaitu (Sofjan Asauri, p222-223): 1. Persediaan bahan baku (Raw Materials) Yaitu persediaan dari barang-barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi, barang mana dapat diperoleh dari sumber-sumber alam ataupun dibeli dari pemasok atau perusahaan yang dihasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik yang menggunakannya. 2. Persediaan komponen (Component Part) Yaitu persediaan yang terdiri dari komponen-komponen yang diterima dari perusahaan lain, yang dapat secara langsung dirakit dengan komponen lain, tanpa melalui proses produksi sebelumnya. 3. Persediaan barang setengah jadi atau persediaan barang dalam proses (Work in process) Yaitu persediaan barang-barang yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu pabrik atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses kembali untuk kemudian dijual sebagai barang jadi.
12 4. Persediaan barang jadi (Finished goods) Yaitu persediaan yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap dijual kepada pelanggaan atau perusahaan lain. 5. Persediaan bahan-bahan pembantu (Supplies Stock) Yaitu persediaan barang atau bahan yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya produksi atau yang dipergunakan dalam bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.
2.4
Komponen – Komponen Biaya Persediaan Kriteria performansi dari sistem persediaan akan dievaluasi berdasarkan Total
Inventory Costs (TIC) yang paling kecil, dimana variabel keputusannya akan meliputi (Wignjosoebroto, 2003, p388): a. Kapan suatu pesanan harus dibuat b. Berapa banyak volume pesanan setiap kali pemesanan akan dilakukan (Q) Kedua variabel tersebut diantisipasikan untuk memenuhi laju permintaan (D) pada tingkat biaya yang minimal (TC). Sedangkan menurut Siagian (1987, p17), titik pusat dari sistem pengendalian persediaan adalah pembentukan model yang sesuai dan dapat menjelaskan hubungan antara variabel diatas. Keputusan berupa jawab optimal dari model persediaan merupakan masalah pokok dalam manajemen persediaan. Terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pembentukan model persediaan, tetapi ternyata faktor biaya yang sangat dominan dalam pembentukan model. Meskipun analisis biaya cukup sukar dilakukan karena sulitnya perincian dan penaksiran, namun analisis biaya tetap sebagai
13 pusat dari analisis persediaan. Karenanya, keputusan optimal ditujukan terhadap keputusan yang meminimumkan biaya. Wignjosoebroto (2003, p388) menyatakan, kinerja dari perencanaan persediaan akan sangat ditentukan oleh keputusan yang berorientasi pada struktur biaya persediaan (Total Costs – TC, atau Total Inventory Costs – TIC) yang minimal. Besar nilai TC dapat dihitung berdasarkan biaya penyimpanan (holding costs), biaya kelangkaan (shortage costs), biaya pengadaan/pemesanan (ordering/replenishment costs) dan biaya/harga produk yang dibeli (purchase costs) dalam jumlah yang harus disediakan. Untuk melakukan perencanaan dan pengendalian persediaan, maka harus diketahui terlebih dahulu komponen – komponen biaya yang akan dijadikan dasar perhitungannya, yaitu sebagai berikut:
2.4.1
Ordering Costs Menurut Wignjosoebroto (2003, p388), biaya pemesanan (ordering /
replenishment costs) yaitu semua biaya yang meliputi biaya administrasi untuk pembelian/pemesanan kepada pemasok (supplier/vendor) dari luar, atau penggantian stok material yang dipakai untuk kegiatan produksi (setting-up). Besar kecilnya biaya pemesanan akan sangat bergantung pada seberapa sering pesanan akan dibuat dengan jumlah/volume pesanan barang sedikit per pesanan atau sekaligus dalam jumlah besar sekali pesan dengan maksud untuk meminimalkan biaya pemesanan itu sendiri. Menurut Mulyono (2002, p301), ordering costs adalah biaya yang berhubungan dengan penambahan persediaan yang dimiliki. Biaya ini biasanya dinyatakan dalam rupiah per pesanan dan tidak terkait dengan volume pemesanan. Jadi ordering costs berhubungan positif dengan frekuensi persediaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah
14 biaya pengiriman, pesanan beli, inspeksi penerimaan dan pencatatan. Ordering costs biasanya berhubungan terbalik dengan carrying costs, jika volume pesanan bertambah, ordering costs berkurang tapi carrying costs bertambah. Biaya pemesanan (ordering costs) mecakup biaya-biaya pasokan, formulir, pemrosesan pesanan, tenaga kerja, dan sebagainya. Pada saat produk pesanan dibuat, timbul pula biaya pemesanan, tetapi biaya ini dikenal dengan nama biaya pemasangan (Render dan Heizer, 2001, p319) Sedangkan Subagyo et al. (2000, p207) menyatakan, ordering costs merupakan total biaya pemesanan dan pengadaan bahan sehingga siap untuk dipergunakan atau diproses lebih lanjut dengan kata lain, mencakup pula biaya-biaya pengangkutan, pengumpulan, pemilikan, penyusunan dan penempatan di gudang, sampai kepada biayabiaya manajerial dan klerikal yang berhubungan dengan pemesanan sampai penempatan bahan / barang di gudang.
2.4.2
Holding / Carrying Costs Render dan Heizer (2001, p319) menyatakan, biaya penyimpanan (holding costs)
adalah biaya-biaya yang berkaitan dengan penyimpanan atau penahanan (carrying) persediaan sepanjang waktu tertentu. Oleh karena itu, biaya penyimpanan juga mencakup biaya yang berkaitan dengan gudang, seperti biaya asuransi, staffing tambahan, dan pembayaran bunga. Siagian (1987, p18) menyatakan, holding costs atau biaya penyimpanan terdiri dari semua ongkos yang berhubungan dengan biaya penyimpanan barang dalam stok. Biaya ini meliputi bunga modal yang tertanam dalam persediaan, sewa gudang, asuransi,
15 pajak, ongkos bongkar muat, harga penyusutan, harga kerusakan, dan penurunan harga. Biasanya biaya ini sebanding dengan jumlah persediaan dalam stok. Holding costs atau carrying costs timbul karena perusahaan menyimpan persediaan. Biaya ini sebagian besar merupakan biaya penyimpanan (secara fisik), di samping pajak dan asuransi barang yang disimpan. Seringkali biaya penyimpanan dinyatakan per satuan nilai persediaan (Subagyo et al., 2000, p208). Mulyono (2002, p301) mendefinisikan, carrying costs adalah biaya untuk memiliki dan menyimpan persediaan selama periode tertentu. Biaya ini berhubungan positif dengan jumlah persediaan dan terkadang dengan waktu penyimpanan. Termasuk dalam kelompok ini adalah bunga atas dana yang ditanamkan dalam persediaan, sewa gudang, penyusutan, dan lain-lain. Carrying costs dapat dinyatakan dalam dua cara, pertama, yang paling sering, adalah dinyatakan dalam rupiah per unit persediaan per periode waktu. Kedua, dinyatakan sebagai persentase tertentu dari nilai persediaan, biasanya antara 10-40 persen. Fogarty (1991, pp185-192) menyatakan, holding costs ditimbulkan oleh hal – hal yang berhubungan dengan penyimpanan barang. Resiko – resiko penyimpanan diantaranya adalah modal yang ditanamkan, kerusakan barang yang disimpan, kadaluarsa kualitas, dan lain-lain. Resiko – resiko ini menimbulkan biaya – biaya yang menjadi komponen holding costs. Komponen – komponen holding costs adalah: a. Capital Costs Biaya ini timbul karena hilangnya kesempatan penggunaan modal untuk pembelian aset – aset lain yang lebih menguntungkan bagi perusahaan. b. Pajak Pajak ini dikenakan terhadap barang yang disimpan.
16 c. Asuransi Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menanggung resiko kerusakan barang yang disimpan. d. Obsolescence Merupakan penyusutan kualitas dari produk yang disimpan. e. Storage Meliputi biaya yang dikeluarkan untuk fasilitas – fasilitas penyimpanan barang.
2.4.3
Shortage / Stockout Costs Menurut Wignjosoebroto (2003 ,p388), biaya kelangkaan atau shortage costs
yaitu biaya yang harus dikeluarkan sebagai konsekuensi kekurangan atau kelangkaan persediaan. Mulyono (2002, p301) menyatakan, shortage atau stockout costs tercipta jika permintaan tak dapat dipenuhi karena kekosongan persediaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah ketidakpuasan konsumen dan potensi keuntungan yang tak terealisasi. Sangat sulit memperkirakan shortage costs, sebagai gantinya dilakukan perkiraan subjektif. Shortage costs berhubungan terbalik dengan holding costs. Jika persediaan bertambah, holding costs bertambah sementara shortage costs berkurang. Siagian (1987, p18) menyatakan, shortage costs timbul akibat tidak terpenuhinya kebutuhan konsumen. Kalau konsumen mau menunggu, maka biaya terdiri dari ongkos produksi yang terburu-buru. Tetapi kalau kosumen tidak rela menunggu, maka biaya terdiri dari kehilangan untung dan lebih-lebih lagi kehilangan kepercayaan. Biaya dari
17 jenis ini umumnya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena akibatnya tidak segera terasa dan sifatnya merusak dan berlangsung secara lambat-laun. Fogarty (1991, p185) menyatakan, stockout terjadi apabila jumlah stok yang ada tidak dapat memenuhi permintaan. Akibat terjadinya stockout, kepercayaan konsumen menjadi berkurang atau hilang. Kerugian ini bersifat intangible yang menyebabkan stockout cost sulit untuk dihitung
2.5
Properti persediaan Secara universal, sistem persediaan selalu berkaitan dengan hal-hal berikut
sebelum pada akhirnya sampai pada penentuan jumlah pemesanan yang tepat dengan biaya total yang optimal, yaitu (Tersine, pp12-13): 1.
Permintaan (Demand) • Demand size merupakan ukuran skala magnitude dari permintaan, yang dibedakan antara konstan atau variabel dan deterministik atau probabilistik (diskrit atau kontinu). • Demand rate adalah ukuran permintaan per satu satuan waktu. • Demand pattern mengacu pada berapa banyak barang yang dikeluarkan dari persediaan.
2.
Waktu tunggu (Lead Time) Adalah tenggang waktu yang diperlukan antara saat pemesanan bahan baku dan datangnya bahan baku itu sendiri. Waktu tunggu ini dapat konstan, dapat juga bersifat probabilistik. (Elsayed and Boucher, pp64-65)
18 3.
Pemesanan kembali (Replenishment) a. Replenishment size mengacu pada kuantitas atau sejumlah barang yang akan diterima masuk kedalam persediaan. Ukurannya dapat konstan, dapat juga variabel tergantung dari tipe sistem persediaan. b. Replenishment pattern mengacu pada bagaimana sejumlah unit tertentu ditambahkan dalam persediaan. c. Replenishment lead time adalah tenggang waktu antara saat pemesanan suatu item dan penambahan sejumlah unit tersebut pada persediaan.
4.
Persediaan pengaman (Safety Stock) Adalah persediaan yang diadakan untuk mencegah terjadinya kekurangan persediaan ketika permintaan tidak pasti atau karena keterlambatan penerimaan bahan baku yang telah dipesan. Faktor-faktor yang menentukan besarnya persediaan ini adalah penggunaan bahan baku rata-rata selama periode tertentu sebelum barang yang dipesan datang dan waktu tunggu yang bervariasi. (Sofjan Assauri, Manajemen produksi, pp242-243)
2.6
Penentuan Sumber Daya Persediaan Keputusan yang berkaitan dengan penentuan sumber daya persediaan meliputi
dua hal, yaitu waktu pemesanan dan ukuran kuantitas pemesanan per sekali pesan. 2.6.1 Penentuan Titik Pemesanan (Reorder Point) Menurut Bowersox et al. (1996, p258), titik pemesanan (reorder point) merupakan suatu titik pada tingkat persediaan, dimana bagian pengadaan (procurement) harus melakukan pemesanan kembali sejumlah ukuran kuantitas pemesanan (lot size).
19 Titik pemesanan ini biasanya sebesar total stok yang ada ditambah dengan barang yang sedang dalam pemesanan, sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:
R = D ×T dengan:
R = Reorder point (unit) D = Permintaan rata-rata tahunan (unit/tahun) T = Panjang siklus performansi (tahun)
Formulasi diatas digunakan jika permintaan serta siklus performansi besarnya konstan, namun pada kenyataannya permintaan cenderung bervariasi, begitu juga dengan siklus performansinya. Variasi tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian. Dengan adanya ketidakpastian tersebut maka diperlukan pengaman persediaan, yang disebut dengan safety stock. Safety stock ini akan memenuhi permintaan konsumen yang lebih tinggi dari permintaan rata – rata atau yang memiliki siklus performansi lebih panjang. Formulasi titik pesanan untuk kasus ini menjadi: R = D × T + SS
dimana :
R
= reorder point (unit)
D
= permintaan rata-rata tahunan (unit/tahun)
T
= panjang siklus performansi rata-rata (tahun)
SS
= Safety stock (unit)
Perhitungan safety stock dalam model probabilistik sistem persediaan dengan permintaan yang independent, sangat bergantung pada keadaan demand dan lead time, apakah sifatnya konstan atau bervariasi, serta kebijakan perusahaan mengenai permintaan yang tidak dapat dipenuhi. Pada sistem persediaan dengan permintaan yang bervariasi dan lead time yang tetap, serta dengan mengasumsikan semua kekurangan
20 persediaan sebagai kehilangan permintaan (lost sale), safety stock dapat dihitung sebagai R
SS = ∫ (R − z )h( z )δz
berikut:
0
dengan :
SS
= safety stock (unit)
z
= permintaan selama lead time (unit)
h(z)
= fungsi distribusi permintaan selama lead time
R
= reorder point (unit)
Persamaan diatas dapat diuraikan menjadi: ∞
∞
0
0
SS = R ∫ h( z )δz − ∫ ( z )h( z )δz
= R−z dengan : z = rata-rata permintaan selama lead time (unit) Ekspektasi jumlah kekurangan diformulasikan sebagai berikut: ∞
E ( z > R ) = ∫ ( z − R )h( z )δz R
2.6.2
Penentuan Ukuran Kuantitas Pemesanan (Lot Size) Dengan EOQ Pada dasarnya, konsep untuk ukuran lot size ini digunakan untuk
menyeimbangkan antara biaya simpan persediaan dengan biaya pemesanan. Hubungan diantara kedua biaya itu digambarkan melalui hubungan antara persediaan rata – rata dengan kuantitas pemesanan. Persediaan rata – rata adalah sama dengan setengah dari kuantitas pemesanan. Hal ini didasarkan pada persediaan yang menurun secara konstan dari ukuran lot maksimum (Q) ke ukuran lot minimum yaitu 0. Sehingga persediaan rata-rata sama dengan (Q+0)/2 atau Q/2. Maka dari itu, semakin besar kuantitas pemesanan, semakin besar pula persediaan rata – rata, sehingga akibatnya semakin besar
21 biaya penyimpanan tiap tahunnya. Namun, semakin besar kuantitas pemesanan, semakin kecil pesanan yang dibutuhkan untuk tiap periode yang direncanakan, dan akibatnya semakin kecil total biaya pemesanan. Tingkat persediaan di-review setiap transaksi dilakukan dan ketika posisi persediaan mencapai titik tertentu, maka pesanan untuk sejumlah unit, yang sifatnya tetap, dilakukan. Secara garis besar sistem ini dapat digambarkan sebagai berikut: Stok yang tersedia
Terjadi permintaan
Penentuan tingkat stok
tidak
Apakah tingkat stok reorder point ? ya Pesan gambar 2.1 Fixed Order System
Titik dimana jumlah dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan minimal, menggambarkan biaya total terendah. Dimana pada titik tersebut akan didapatkan kuantitas pemesanan atau periode, yang meminimasi biaya total dari penyimpanan dan pemesanan persediaan. Kuantitas pada titik tersebut diistilahkan dengan EOQ (Economic Order Quantity). Untuk menentukan EOQ ini maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
•
Biaya total sama dengan biaya pemesanan (persiapan) ditambah dengan biaya penyimpanan.
22
•
Biaya pemesanan sama dengan biaya per pemesanan dikalikan dengan jumlah pemesanan per periode.
•
Biaya penyimpanan sama dengan kuantitas persediaan rata – rata dikalikan dengan biaya penyimpanan per unit per periode, atau kuantitas persediaan rata– rata dikalikan dengan tarif (rate) biaya angkut per unit untuk periode tersebut.
Hubungan diatas dapat diformulasikan sebagai:
TC = PR +
CR HQ + 2 Q
atau
TC = PR +
CR PFQ + 2 Q
dimana: TC
= biaya total per periode
C
= biaya pesan
R
= jumlah kebutuhan per periode (unit)
H
= biaya simpan per unit per periode
P
= biaya pembelian per unit
F
= tarif biaya angkut per unit per periode
Q
= ukuran lot pemesanan
dengan mengingat bahwa EOQ merupakan kuantitas saat biaya simpan sama dengan biaya pesan, maka:
δTC (Q) H CR = − =0 2 Q2 δQ sehingga ukuran pemesanan kuantitas ekonomi (economic order quantity) adalah sebagai berikut: Q=
2CR = H
2CR PF
23 Dalam EOQ sederhana ini terdapat asumsi – asumsi utama yaitu: •
Permintaan diketahui secara pasti dan konstan.
•
Tidak ada shortage.
•
Lead time (waktu antara penempatan pesanan dan penerimaannya) diketahui dan konstan.
2.7
•
Sekali pesan sekali terima.
•
Tidak ada potongan harga karena membeli dalam jumlah banyak.
Supply Chain Management (SCM)
SCM pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982. Menurut The Council of Logistics Management yang dikutip Pujawan (2005, p7), “Supply Chain Management is the systematic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across business within the supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the individual company and the supply chain as a value”. Manajemen rantai suplai merupakan manajemen aktivitas yang merubah bahan baku menjadi barang intermediate dan produk akhir, dan pengiriman produk akhir kepada pelanggan. Manajemen rantai suplai berkaitan erat dengan proses distribusi produk akhir hingga ke tangan konsumen. Aktivitas yang terlibat dalam manajemen rantai suplai dari pembelian, manufaktur, logistik, distribusi, dan transportasi ke pasar. Manajemen rantai suplai memiliki tiga aspek utama yaitu:
24 •
Rantai suplai sebagai entitas fungsi-silang (cross-functional). Rantai suplai bertanggung jawab terhadap segala aktivitas rantai suplai dari area fungsi berbeda.
•
Rantai suplai sebagai pengguna strategis dari inventori dan sumber daya produksi.
Rantai
suplai
dapat
digunakan
sebagai
alat
efektif
dalam
menyeimbangkan kebutuhan permintaan dan kebutuhan kapasitas. •
Rantai suplai sebagai integrator dan koordinator pada kegiatan produksi dan logistik. Merupakan esensi dari manajemen rantai suplai, dan merupakan cara mencapai efisiensi operasional dengan biaya, lead time, dan tingkat pelayanan tertentu. aliran barang fisik Supplier
Manufaktur
Wholesaler
Retailer
aliran informasi permintaan gambar 2.2 Aliran barang dan informasi pada Rantai Suplai Linier Semakin meningkatnya tingkat persaingan pasar menyebabkan pihak perusahaan perlu memikirkan cara – cara yang lebih baik. Sedikitnya terdapat tiga tantangan yang harus diantisipasi oleh perusahaan, yaitu: 1. Keinginan konsumen akan kepuasan tidak hanya atas produk yang baik melainkan waktu pelayanan merupakan salah satu parameter tingkat pelayanan yang baik pula. 2. Industri global. 3. Integrasi antar perusahaan.
25 Salah satu cara pengantisipasian tersebut maka di dalam sistem logistik melahirkan konsep baru yang dikenal sebagai Supply Chain Management (SCM). Fokus SCM adalah pada bentuk kerjasama, kepercayaan, dan manajemen yang sesuai. 2.7.1
Fungsi Supply Chain Management
Ada dua fungsi SCM, yaitu (Zabidi, 2001, p5) : 1. SCM secara fisik mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi dan menghantarkannya ke pemakai akhir. Fungsi pertama ini berkaitan dengan ongkos-ongkos fisik, yaitu ongkos material, ongkos penyimpanan, ongkos produksi, ongkos transportasi, dan sebagainya. 2. SCM sebagai mediasi pasar, yakni memastikan bahwa apa yang disuplai oleh rantai suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau pemakai akhir tersebut. Fungsi kedua ini berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar, perancangan produk, serta biaya-biaya akibat tidak terpenuhinya aspirasi konsumen oleh produk yang disediakan oleh sebuah rantai suplai. Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos markdown, yakni penurunan harga produk yang tidak laku dijual dengan harga normal, atau ongkos kekurangan supply yang dinamakan dengan stockout cost.
2.8
Sistem Persediaan Bertingkat ( Multiechelon Inventory)
Secara luas, teori multiechelon inventory ditujukan pada berbagai masalah inventori yang melibatkan dua atau lebih suplai atau fasilitas produksi yang saling berkaitan. Eselon sendiri memiliki definisi sistem yang terdiri dari stok yang terdapat pada instalasi tersebut ditambah stok yang terdapat pada tempat penyimpanan atau persediaan pada instalasi level bawahnya (Hadley dan Whitin, 1963, p4).
26 2.8.1
Struktur Sistem Multiechelon Inventory
Struktur paling umum dari sistem persediaan multieselon adalah satu keterlibatan sejumlah pengecer (toko, fasilitas, instalasi, basis) dalam bisnis untuk memenuhi permintaan pelanggan untuk produk. Sistem multi inventori dapat juga digambarkan sebagai jaringan langsung dimana node mewakili berbagai aktivitas atau fasilitas dalam sistem dan linkage mewakili aliran barang. Bila jaringan memiliki paling banyak satu hubungan kedatangan untuk tiap node dan alirannya bersifat acyclic (tidak terdapat loop dalam jaringan), maka dikatakan struktur pohon terbalik atau arborescene. Bila dipandang sebagai jaringan langsung, tampak bahwa dapat terjadi sistem yang sangat kompleks. Pengecer dapat memperoleh suplai lebih dari satu wholesaler, atau wholesaler dapat membeli lebih dari satu pabrik, atau mungkin pengecer dapat menyuplai pengecer lainnya. Jumlah kombinasi tersebut sangat besar. Namun, kebanyakan teori multiechelon inventory dibatasi pada struktur arborescene. Produksi
Pabrik
Barat
Pusat
Distributor/
Timur
Toko / …
…
…
Pengecer
Gambar 2.3 Contoh sistem distribusi pada struktur arborescene Pada struktur arborescene, berbagai level sistem diidentifikasi sebagai eselon dan permasalahan ditujukan pada keseluruhan multiechelon. Terdapat dua macam struktur arborescene yang biasa digunakan dalam literatur. Seperti pada gambar,
27 pertama adalah struktur seri, terdiri dua atau lebih aktivitas dengan tiap eselon hanya menyuplai satu pada eselon bawahnya. Kedua, struktur paralel yang terdiri dari sejumlah aktivitas pemenuhan kebutuhan eksternal secara independent.
Sumber
Sumber
….
Struktur aktivitas seri
Struktur aktivitas Paralel Gambar 2.4 Jenis struktur arborescene
2.8.2
Permasalahan Pengendalian Inventori Multi-aktivitas
Dipandang sebagai jaringan aktivitas, dengan permintaan eksternal terjadi pada beberapa aktivitas, permasalahan pengendalian inventori multi-aktivitas yang dasar mengikuti aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan, yang menjadikan fungsi jaringan sebagai fungsi waktu dan pemenuhan objektif tertentu, seperti minimasi biaya atau memenuhi level pelayanan pelanggan. Pasangan kebijakan, untuk tiap sistem, biasanya meliputi kebijakan pemesanan (ordering) dan kebijakan suplai (supply). Situasi yang menyebabkan perbedaan kebijakan keduanya adalah dimana terjadi stok yang tak mencukupi (pada demand yang random atau penyebab lainnya).
28 2.9
Model Persediaan Bertingkat yang Telah Dikembangkan
Model-model persediaan multiechelon yang telah dikembangkan, diantaranya: 2.9.1
Model Optimasi Integral Sistem Rantai Nilai 3 Eselon oleh Nur Bahagia
Model optimasi integral sistem rantai nilai 3 eselon ini merupakan model persediaan 3 eselon yang terdiri atas 1 unit produksi, 1 depot, dan n pengecer, dan setiap pengecer hanya memiliki 1 alternatif jalur pasokan, yaitu dari depot. Berikut adalah gambar representasi objek kajian: Unit Produksi
depot
1
2
pengecer
3
…
n
pengecer
Gambar 2.5 Representasi Objek Kajian Nur Bahagia Fungsi minimasi total biaya tahunan model yang dihasilkan untuk sistem di atas adalah sebagai berikut:
29 n
MinC =
⎡
∑ ⎢A j =1
⎣⎢
+ Ai
+
Dj ⎤ ⎞ ⎛ Qj + H j ⎜⎜ + SS j ⎟⎟ + B j M j ⎥ Qj Q j ⎥⎦ ⎠ ⎝ 2 Dj
j
n ⎛Q ⎞ Di + H i ⎜⎜ i + ∑ (Lij D j + SS j )⎟⎟ Qi ⎝ 2 j =1 ⎠
n ⎛⎛ D ⎞ Q ⎛⎛ Q ⎞⎞ A0 D0 ⎞ + H 0 ⎜⎜ ⎜1 − 0 ⎟ 0 + ∑ ⎜⎜ ⎜ 0 + L0i + Lij ⎟ D j + SS j ⎟⎟ ⎟⎟ Q0 K ⎠ 2 ⎠ j =1 ⎝ ⎝ K ⎠⎠ ⎝⎝
[
+ ∑ (C 0i + C ij )D j n
]
j =1
dimana: n
D0 = D d = ∑ D j j =1
Q Q Q0 = N 0 d d = N 0 d N dj j Dj Dd D0 Q0 , Qd ,Q j ≥ 0; ∀ j N 0 d , N dj ≥ 1; ∀ j integer
Keterangan parameter persamaan-persamaan diatas: Aj : biaya pemesanan dari pengecer j ke depot (RP/pesan) Dj : permintaan rata-rata tahunan pada pengecer j (unit/tahun) Qj : ukuran lot pemesanan pada pengecer j (unit) Hj : biaya simpan per unit per satuan waktu pada pengecer j (RP/unit/tahun) Bj : biaya kekurangan barang per unit pada pengecer j (Rp/unit) Mj : banyaknya kekurangan barang pada setiap siklus (Qj/Dj) pada pengecer j SSj : Safety Stock pada pengecer j (unit)
30 Ai : biaya pemesanan dari depot ke unit produksi (Rp/pesan) Di : permintaan rata-rata tahunan pada depot (unit/tahun) Qi : ukuran lot pemesanan pada depot (unit) Hi : biaya simpan per unit per satuan waktu pada depot (RP/unit/tahun) A0 : biaya produksi di unit produksi (Rp/pesan) D0 : Permintaan rata-rata tahunan pada unit produksi (unit/tahun) Q0 : ukuran lot produksi pada unit produksi (unit) H0 : biaya simpan per unit per satuan waktu pada unit produksi (RP/unit/tahun) L0i : lead time dari unit produksi ke depot (tahun) Lij : lead time dari depot ke pengecer j (tahun) K : kapasitas produksi per tahun produksi (unit/tahun) C0i : biaya angkut dari unit produksi ke depot (Rp/unit) Cij : biaya angkut dari depot ke pengecer j (Rp/unit)
2.9.2
Model Persediaan Tiga Eselon: Satu Depot, n Pengecer oleh L.Toruan
Model persediaan tiga eselon ini melibatkan satu unit produksi, satu depot dan n pengecer, tetapi masing-masing pengecer memiliki 2 alternatif jalur pasokan, yaitu jalur pasokan langsung dari unit produksi dan jalur pasokan tidak langsung melalui depot. Berikut ini adalah gambar representasi objek kajian:
31
Unit Produksi
depot
1
2
…
pengecer
n
pengecer Gambar 2.6 Representasi Objek Kajian L.Toruan
Fungsi minimasi total biaya tahunan model yang dihasilkan untuk sistem tersebut adalah sebagai berikut:
n ⎡ Dj Dj ⎤ ⎛ Qj ⎞ + H j ⎜⎜ + SS j ⎟⎟ B j M j MinC = ∑ ⎢ A j ⎥X 0 j Q j ⎥⎦ j =1 ⎣ ⎢ Qj ⎝ 2 ⎠ n ⎡ Dj Dj ⎤ ⎛ Qj ⎞ + ∑ ⎢ Aj + H j ⎜⎜ + SS j ⎟⎟ B j M j ⎥ X ij Q Q 2 j =1 ⎢ ⎥⎦ j j ⎝ ⎠ ⎣ n ⎡⎧ n ⎛Q ⎞⎫⎪ ⎤ ⎪ D + ∑ ⎢⎨ Ai i + H i ⎜⎜ i + ∑ (Lij D j + SS j )⎟⎟⎬ X ij ⎥ j =1 ⎢ ⎪ ⎝ 2 j =1 ⎠⎪⎭ ⎥⎦ ⎣⎩ Qi n ⎛⎛ D ⎞ Q ⎞ ⎛⎛ Q ⎞ AD ⎞ + 0 0 + H 0 ⎜⎜ ⎜1 − 0 ⎟ 0 + ∑ ⎜⎜ ⎜ 0 + L j ⎟ D j + SS j ⎟⎟ X 0 j ⎟⎟ Q0 K ⎠ 2 ⎠ j =1 ⎝ ⎝ K ⎠ ⎝⎝ ⎠ n ⎛ ⎛⎛ Q ⎞ ⎞ ⎞ + H 0 ⎜⎜ ∑ ⎜⎜ ⎜ 0 + L0i + Lij ⎟ D j + SS j ⎟⎟ X ij ⎟⎟ ⎠ ⎠ ⎠ ⎝ j =1 ⎝ ⎝ K
[
]
[
]
+ ∑ (C 0 j )D j X 0 j + ∑ (C 0i + C ij )D j X ij n
j =1
n
j =1
32 dengan: n
Do = ∑ D j j =1 n
Di = ∑ D j X ij j =1
Q Q Q0 Q = N 0 i i = N 0 i N ij j = N 0 j j ; ∀ i ∀ j D0 Di Dj Dj Q0 , Qi , Q j ≥ 0; ∀ j N 0 i , N ij , N 0 j ≥ 1; ∀ j integer X 0 j ; X ij = 0,1; ∀i X oj + X ij = 1; ∀j
Keterangan parameter persamaan-persamaan diatas: Aj : biaya pemesanan dari pengecer j ke unit produksi maupun depot (RP/pesan) Dj : permintaan rata-rata tahunan pada pengecer j (unit/tahun) Qj : ukuran lot pemesanan pada pengecer j (unit) Hj : biaya simpan per unit per satuan waktu pada pengecer j (RP/unit/tahun) Bj : biaya kekurangan barang per unit pada pengecer j (Rp/unit) Mj : banyaknya kekurangan barang pada setiap siklus (Qj/Dj) pada pengecer j SSj : Safety Stock pada pengecer j (unit) Ai : biaya pemesanan dari depot ke unit produksi (Rp/pesan) Di : permintaan rata-rata tahunan pada depot (unit/tahun) Qi : ukuran lot pemesanan pada depot (unit) Hi : biaya simpan per unit per satuan waktu pada depot (RP/unit/tahun) A0 : biaya produksi di unit produksi (Rp/pesan) D0 : Permintaan rata-rata tahunan pada unit produksi (unit/tahun) Q0 : ukuran lot produksi pada unit produksi (unit)
33 H0 : biaya simpan per unit per satuan waktu pada unit produksi (RP/unit/tahun) L0j : lead time dari unit produksi ke pengecer j (tahun) L0i : lead time dari unit produksi ke depot (tahun) Lij : lead time dari depot ke pengecer j (tahun) K : kapasitas produksi per tahun produksi (unit/tahun) C0j : biaya angkut dari unit produksi ke pengecer j (Rp/unit) C0i : biaya angkut dari unit produksi ke depot (Rp/unit) Cij : biaya angkut dari depot i ke pengecer j (Rp/unit)
Kedua model persediaan diatas dibangun dengan memanfaatkan tiga pendekatan, yaitu:
Melakukan perencanaan terkoordinasi
Menerapkan konsep echelon stock
Menerapkan kebijakan single cycle policy
2.10
Definisi dan Karakteristik Piranti Lunak
Menurut Pressman (2002, p10), definisi piranti lunak adalah: 1. Perintah (program komputer) yang bila dieksekusi akan memberikan fungsi dan unjuk kerja seperti yang diinginkan. 2. Struktur data yang memungkinkan program memanipulasi informasi secara proporsional. 3. Dokumen yang menggambarkan operasi dan kegunaan program.
34 Piranti lunak adalah suatu elemen sistem yang bersifat logic, bukan fisik, jadi piranti lunak memiliki karakteristik yang berbeda dengan perangkat keras (hardware). Adapun karakteristik dari piranti lunak menurut Pressman (2002, pp10-13) adalah: 1. Piranti lunak dibangun dan dikembangkan, tidak dibuat dalam bentuk yang klasik. 2. Piranti lunak tidak pernah usang, tidak mudah rusak dan tidak habis pakai. 3. Piranti lunak dibuat secara custom – built / khusus, serta tidak dapat dirakit dari komponen yang sudah ada.
2.10.1 Dasar Perancangan Piranti Lunak
Menurut Mahyuzir (1991, p78), perancangan merupakan proses penerapan bermacam – macam teknik dan prinsip dengan tujuan untuk mendefinisikan peralatan, proses atau sistem secara rinci. Perancangan dilakukan dalam tahap awal pengembangan.
2.10.2 Konsep Dasar Rekayasa Piranti Lunak 2.10.2.1 Pengertian Rekayasa Piranti Lunak
Pengertian rekayasa piranti lunak pertama kali diperkenalkan oleh Fritz Bauer sebagai penetapan dan penggunaan prinsip – prinsip rekayasa dalam usaha mendapatkan piranti lunak yang ekonomis, yaitu piranti lunak yang terpercaya dan bekerja efisien pada mesin atau komputer (Pressman, 1992, p19).
35 Tujuan perancangan adalah menghasilkan model yang akan dibuat. Perancangan piranti lunak mengalami perubahan jika didapatkan metode yang baru, analisis yang baik dan penyusunan pengertian yang lebih luas.
2.10.2.2 Paradigma Rekayasa Piranti Lunak
Terdapat lima paradigma (model proses) dalam merekayasa suatu piranti lunak, yaitu Prototyping Model, Spiral Model, The Classic Life Cycle atau sering juga disebut Waterfall Model, Fourth Generation Techniques (4GT), dan Combine Model. Pada penulisan skripsi ini dipergunakan Waterfall model. Menurut Pressman (1997, p19) piranti lunak telah menjadi elemen kunci dari evolusi computer based-system dan computer product. Selama lebih dari empat dekade terakhir, piranti lunak telah berkembang dari sebuah pemecahan berorientasi permasalahan dan alat analisis informasi menjadi sebuah industri sendiri. Namun kebiasaan pemrograman awal dan sejarah telah dengan sendirinya menciptakan sekumpulan masalah yang hingga kini masih ada. Piranti lunak telah menjadi faktor pembatas dalam evolusi computer-based systems. Berangkat dari itulah dikembangkan metode yang menyediakan framework untuk membangun piranti lunak dengan kualitas lebih tinggi. Rekayasa piranti lunak (Software Engineering) berdasarkan Pressman (1997, p23) adalah studi pendekatan untuk pengaplikasian secara sistematis, pendekatan terukur untuk pengembangan, operasi, dan pemeliharaan dari sebuah piranti lunak.
36 2.10.2.3 Fase Pengembangan Piranti Lunak
Metode pengembangan Prototyping menawarkan pendekatan alternatif yang menghasilkan model piranti lunak yang dapat dijalankan sehingga kebutuhan calon pengguna dapat direvisi kembali. Sebagai konsekuensinya, spesifikasi kebutuhan dianalisis kembali. Review bersama antara pengembang sistem dan calon pengguna akhir sangat penting sehingga mereka memiliki persepsi yang sama terhadap sistem. Pada Spiral model, langkah – langkahnya meliputi komunikasi dengan user atau customer untuk mengetahui kebutuhan mereka, planning (tahap perencanaan), risk analysis (tahap menganalisa masalah teknis dan yang mungkin terjadi), engineering (tahap membuat aplikasi), construction and release (tahap untuk mengimplementasikan aplikasi yang sudah jadi) dan yang terakhir evaluasi dari pengguna (Pressman, 2002, p47). Fourth Generation Techniques (4GT) merupakan suatu deretan dari software tools yang mempunyai satu kesamaan, yaitu semuanya memungkinkan software engineer untuk menspesifikasikan karakteristik tertentu dari sebuah piranti lunak pada level tinggi. Sedangkan Combine model merupakan kombinasi dari model – model lainnya yang dianggap sesuai dengan kebutuhan pengguna (Pressman, 2002, pp44-45). Salah satu cara perancangan piranti lunak adalah dengan menggunakan waterfall model (model air terjun), Model ini mengusulkan sebuah pendekatan kepada pengembangan piranti lunak yang sistematik dan sekuensial yang mulai pada tingkat dan kemajuan sistem pada seluruh analisis kebutuhan, desain, implementasi, integrasi, pengujian, pengoperasian dan pemeliharaan. Menurut Sommerville (1996), tahap–tahap utama dalam Waterfall model dapat digambarkan dalam aktivitas dasar pengembangan seperti berikut ini:
37 1. Analisis Kebutuhan Pada tahap ini, dianalisis apa yang menjadi kebutuhan dan yang menjadi tujuan dari dibuatnya piranti lunak ini. 2. Desain sistem dan piranti lunak Proses desain sistem terbagi dalam kebutuhan perangkat keras dan piranti lunak. Hal ini menentukan arsitektur piranti lunak secara keseluruhan. Desain piranti lunak mewakili fungsi sistem piranti lunak dalam suatu bentuk yang dapat ditransformasikan ke dalam satu atau lebih program yang dapat dieksekusi. 3. Implementasi dan pengujian unit Dalam tahap ini, desain piranti lunak direalisasikan dalam suatu himpunan program atau unit – unit program. Pengujian unit mencakup kegiatan verifikasi terhadap setiap unit sehingga memenuhi syarat spesifikasinya. 4. Integrasi dan pengujian sistem Unit program secara individual diitegrasikan dan diuji sebagai satu sistem yang lengkap untuk memastikan bahwa kebutuhan piranti lunak telah terpenuhi. Setelah pengujian, sistem piranti lunak disampaikan kepada pengguna. 5. Pengoperasian dan Pemiliharaan Secara normal, walaupun tidak selalu diperlukan, tapi merupakan tahap siklus hidup yang terpanjang. Sistem telah terpasang dan sedang dalam penggunaan. Pemeliharaan mencakup perbaikan kesalahan yang tidak ditemukan dalam tahaptahap sebelumnya, meningkatkan implementasi unit – unit sistem dan mempertinggi pelayanan sistem sebagai kebutuhan baru yang ditemukan.
38
Analisis Kebutuhan Desain sistem dan piranti lunak Implementasi dan pengujian unit Integrasi dan pengujian sistem Pengoperasian dan pemeliharaan Gambar 2.7 Waterfall Model
2.11
State Transition Diagram (STD)
State Transition Diagram merupakan sebuah modeling tool yang digunakan untuk mendeskripsikan sistem yang memiliki ketergantungan terhadap waktu. STD merupakan suatu kumpulan keadaan atau atribut yang mencirikan suatu keadaan pada waktu tertentu. Komponen – komponen utama STD adalah: a. State, disimbolkan dengan State merepresentasikan reaksi yang ditampilkan ketika suatu tindakan dilakukan. Ada dua jenis state, yaitu: state awal dan state akhir. State akhir dapat berupa beberapa state, sedangkan state awal tidak boleh lebih dari satu. b. Arrow, disimbolkan dengan Arrow sering disebut juga dengan transisi state yang diberi label dengan ekspresi aturan, label tersebut menunjukan kejadian yang menyebabkan transisi terjadi.
39 c. Condition dan Action, disimbolkan dengan Condition Action
State 1
State 2
Gambar 2.8 Simbol Condition dan Action Untuk melengkapi STD diperlukan dua hal lagi, yaitu Condition dan Action seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.10 diatas. Condition adalah suatu event pada lingkungan eksternal yang dapat dideteksi oleh sistem, sedangkan action adalah yang dilakukan oleh sistem bila terjadi perubahan state atau merupakan reaksi terhadap kondisi. Aksi akan menghasilkan keluaran atau tampilan.
2.12
Interaksi Manusia Komputer
Saat ini sistem atau program yang interaktif lebih populer dan digemari, karena itu penggunaan komputer telah berkembang pesat sebagai suatu program yang interaktif dan membuat orang tertarik untuk menggunakannya. Program yang interaktif ini perlu dirancang dengan baik sehingga pengguna dapat merasa senang dan juga ikut berinteraksi dengan baik dalam menggunakannya. Interaksi Manusia dan Komputer (IMK) atau Human-Computer Interaction (HCI) adalah disiplin ilmu yang berhubungan dengan perancangan, evaluasi, dan implementasi sistem komputer interaktif untuk digunakan oleh manusia, serta studi fenomena – fenomena besar yang berhubungan dengannya.
40 2.12.1 Program Interaktif
Suatu program yang interaktif dan baik harus bersifat user friendly. Shneiderman (1998, p15) menjelaskan lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu program yang user friendly, yaitu: 1. Waktu belajar yang tidak lama. 2. Kecepatan penyajian informasi yang tepat. 3. Tingkat kesalahan pemakaian rendah. 4. Penghafalan sesudah melampaui jangka waktu. 5. Kepuasan pribadi. Suatu program yang interaktif dapat dengan mudah dibuat dan dirancang dengan suatu perangkat bantu pengembang sistem antarmuka, seperti: Macromedia Flash MX, Visual Basic, Borland Delphi dan sebagainya. Keuntungan penggunaan perangkat bantu untuk mengembangkan antarmuka menurut Santosa (1997, p7) yaitu: 1. Antarmuka yang dihasilkan menjadi lebih baik. 2. Program antarmukanya menjadi lebih mudah ditulis dan lebih ekonomis untuk dipelihara.
2.12.2 Pedoman untuk Merancang User Interface
Terdapat beberapa pedoman yang dianjurkan dalam merancang program guna mendapatkan suatu program yang user friendly. User Interface atau antarmuka pemakai adalah bagian sistem komputer yang memungkinkan manusia berinteraksi dengan komputer.
41 2.12.2.1 Delapan Aturan Emas (Eight Golden Rules)
Menurut Shneiderman (1998, p74) untuk merancang sistem interaksi manusia dan komputer yang baik, harus memperhatikan delapan aturan utama dibawah ini, yaitu: 1. Strive for consistency (berusaha untuk konsisten) 2. Enable frequent user to use shortcuts (memungkinkan pengguna sering memakai shortcut) 3. Offer informative feed back (memberikan umpan balik yang informatif) 4. Design dialogs to yield closure (pengorganisasian yang baik sehingga pengguna mengetahui kapan awal dan akhir dari suatu aksi) 5. Offer simple error handling (memberikan pencegahan kesalahan dan penanganan kesalahan yang sederhana) 6. Permit easy reversal of actions (memungkinkan pembalikan aksi (undo) dengan mudah) 7. Support internal locus of control (memungkinkan pengguna untuk menguasai dan mengontrol sistem) 8. Reduce short term memory load (mengurangi beban ingatan jangka pendek, dimana manusia hanya dapat mengingat 7 ± 2 satuan informasi sehingga perancangannya harus sederhana agar pengguna tidak perlu banyak menghapal)
2.12.2.2 Pedoman Merancang Penampilan Data
Beberapa pedoman yang disarankan untuk digunakan dalam merancang tampilan data yang baik menurut Smith and Mosier yang dikutip Shneiderman (1998, p80) yaitu: 1. Konsistensi tampilan data, istilah, singkatan, format, dan sebagainya harus standar.
42 2. Beban ingatan yang sesedikit mungkin bagi pengguna. Pengguna tidak perlu mengingat informasi dari layar satu ke layar yang lain. 3. Kompatibilitas tampilan data dengan pemasukan data. Format tampilan informasi perlu berhubungan erat dengan tampilan pemasukan data. 4. Fleksibilitas kendali pengguna terhadap data. Pemakai harus dapat memperoleh informasi dari tampilan dalam bentuk yang paling memudahkan.
2.12.2.3 Teori Waktu Respon
Waktu respon dalam sistem komputer menurut Shneiderman (1998, p352) adalah jumlah detik dari saat pemakai memulai aktivitas (misalnya dengan penekanan tombol enter atau tombol mouse) sampai ditampilkannya hasil pada display atau printer. Beberapa pedoman yang disarankan mengenai kecepatan waktu respons pada suatu program menurut Shneiderman (1998, p367) yaitu: 1. Pemakai lebih menyukai waktu respons yang lebih pendek. 2. Waktu respons yang panjang (lebih dari 15 detik) menggangu. 3. Waktu respons yang lebih pendek menyebabkan waktu pengguna berpikir lebih pendek. 4. Langkah yang lebih cepat dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat meningkatkan tingkat kesalahan. 5. Waktu respons harus sesuai dengan tugasnya. a. Untuk mengetik, menggerakan kursor, memilih dengan mouse: 50 – 150 milidetik. b. Tugas sederhana yang sering: <1 detik c. Tugas biasa: 2-4 detik.
43 d. Tugas kompleks: 8-12 detik. 6. Pemakai harus diberitahu mengenai penundaan yang panjang.