BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.
Kewirausahaan
2.1.1. Definisi Kewirausahaan (Entrepreneurship) Topik mengenai kewirausahaan merupakan topik yang sedang hangat, karena merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan sikap dan kemampuan berwirausaha. Menurut Hisrich et al., dalam Wijanto(2009:3) kewirausahaan merupakan sebuah proses menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai, dengan memanfaatkan usaha dan waktu yang diperlukan, dengan memperhatikan risiko sosial, fisik, dan keuangan, dan menerima imbalan dalam bentuk uang dan kepuasan personal serta independensi. Dari definisi ini dapat dilihat adanya empat aspek dasar dari kewirausahaan yaitu : 1. Kewirausahaan melibatkan proses penciptaan. Proses penciptaan disini berarti menciptakan sesuatu yang baru. Penciptaan harus memiliki sebuah nilai, baik untuk wirausaha sendiri maupun orang lain. 2. Kewirausahaan memerlukan waktu dan usaha. Hanya mereka yang melalui proses kewirausahaan menghargai waktu dan usaha yang mereka gunakan untuk menciptakan sesuatu yang baru. 3. Kewirausahaan memiliki risiko tertentu. Risiko ini mengambil berbagai bentuk pada area keuangan, psikologi, dan sosial. 4. Kewirausahaan melibatkan imbalan sebagai wirausaha. Imbalan yang penting adalah independensi, diikuti oleh kepuasan pribadi.
Menurut Coulter (Suryana dan Kartib, 2011: 25) “kewirausahaan sering dikaitkan dengan proses, pembentukan atau pertumbuhan suatu bisnis baru yang berorientasi pada pemerolehan keuntungan, penciptaan nilai, dan pembentukan produk atau jasa baru yang unik dan inovatif”. Zimmerer (Kasmir, 2011: 20) menyatakan bahwa “kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha)”. Senada dengan pendapat tersebut, Ropke (Suryana dan Kartib, 2011:25) mengemukakan bahwa “kewirausahaan merupakan proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang telah
11
12
ada (inovasi), tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi masyarakat”. Meredith (Suryana, 2008: 17) mengemukakan bahwa:
Berwirausaha berarti memadukan watak pribadi, keuangan, dan sumber daya. Oleh karena itu, berwirausaha merupakan suatu pekerjaan atau karier yang harus bersifat fleksibel dan imajinatif, mampu merencanakan, mengambil risiko, keputusan, dan tindakan untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat tersebut, terlihat ada kesamaan inti antara definisi kewirausahaan yang satu dengan definisi lainnya. Kewirausahaan merupakan proses penerapan kreativitas dan inovasi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan menggunakan waktu, modal, serta berani mengambil risiko untuk menghasilkan nilai tambah dan kesejahteraan bagi masyarakat.
2.1.2. Definisi Wirausaha (Entrepreneur) Ada banyak pemahaman mengenai apa itu wirausaha, ada yang menganggap sebagai orang yang berhasil mengambil resiko, orang yang berani menghadapi ketidakpastian, orang yang membuat rencana kegiatan sendiri, atau orang yang menciptakan kegiatan usaha dan kegiatan industri yang sebelumnya tidak ada (Alma, 2010: 25). Menurut Alma (2010: 5), wirausaha adalah seorang innovator, sebagai individu yang mempunyai naluri untuk melihat peluang-peluang, mempunyai semangat, kemampuan dan pikiran untuk menaklukan cara berpikir lamban Menurut Kuratko (2009: 21), wirausaha merupakan proses dinamis dari visi, perubahan, dan penciptaan yang membutuhkan usaha dan semangat terhadap penciptaan dan implementasi ide baru dan solusi kreatif. Secara terperinci Kuratko (2009: 4) menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang innovator atau pengembang yang mampu mengenali dan mengambil peluang; mengubah peluang tersebut menjadi ide yang workable/marketable; penambahan nilai pada ide tersebut melalui waktu, usaha, uang, atau keterampilan; mampu melihat resiko dari lingkungan yang kompetitif sebagai pertimbangan dari keputusan implementasi ide tersebut; dan mampu mengidentifikasi hasil atau penghargaan dari usaha yang dilakukan. Seperti yang dijelaskan Kuratko , menurut Meredith (Suryana dan Kartib, 2011: 28), wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan usaha mengumpulkan serta sumber daya yang dibutuhkan guna
13
mengambil keuntungan daripadanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan kesuksesan. Zimmerer, Scarborough, dan Wilson (2008: 4) menyatakan bahwa: Wirausahawan adalah seseorang yang menciptakan bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang signifikan dan menggabungkan sumber daya yang diperlukan sehingga sumber daya-sumber daya itu bisa dikapitalisasikan. Menurut Dewanti (2008: 4) wirausahawan adalah orang yang menciptakan bisnis dengan mengambil resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber daya yang diperlukan untuk mendirikannya. Pendapat senada disampaikan oleh Steinhoff dan Burgess (Suryana dan Kartib,2011: 27) yang menyatakan bahwa “wirausaha merupakan orang yang mengorganisasi, mengelola, dan berani menanggung risiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha”. Suryana (2008: 3) menyatakan bahwa “wirausaha adalah orang yang berani menghadapi
risiko
dan
menyukai
tantangan”.
Kasmir
(2011:19)
juga
mengungkapkan hal serupa bahwa “wirausahawan (entrepreneurs) adalah orang yang berjiwa berani mengambil risiko membuka usaha dalam berbagai kesempatan”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wirausaha adalah seseorang yang berani mengambil resiko dan memiliki kemampuan untuk melihat dan mengevaluasi peluang bisnis, serta mampu memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk mengambil keunggulan darinya dan berinisiatif mengambil tindakan yang tepat untuk mencapai kesuksesan.
2.1.3. Keuntungan dan Kelemahan Menjadi Wirausaha Pengambilan keputusan menjadi wirausaha memiliki sisi positif dan negatif yang dapat disebut sebagai keuntungan dan kelemahan menjadi wirausaha. Menurut Dewanti (2008: 9) manfaat menjadi wirausahawan dan pemilik bisnis yaitu: 1. Peluang untuk mengendalikan diri sendiri untuk menentukan sasaran yang penting. 2. Kesempatan melakukan perubahan yang dianggap penting.
14
3. Peluang untuk menggunakan potensi sepenuhnya. Bisnis merupakan alat aktualisasi diri dimana pertumbuhan diri hanya dibatasi oleh bakat dan kekuatan sendiri. 4. Peluang untuk meraih keuntungan tanpa batas.
Tabel 2.1. Perbandingan Manfaat Antara Pekerja dan Pengusaha URAIAN Hasil
PEKERJA
minimal
yang Gaji + tunjangan
PENGUSAHA Keuntungan perusahaan
diterima Hasil maksimal yang Bonus atau insentif
Laba dari total omset
akan
bila Invetaris kendaraan
Investasi
dari
(milik sendiri)
diterima
mencapai
target
aktiva
tetap
pekerjaan (kontribusi ke perusahaan) Pendapatan dari usaha
Sebagian kecil milik Sebagian pribadi
besar
milik
perusahaan
Sumber : Hendro et, al (2006 : 38) 5. Peluang untuk berperan bagi masyarakat dan medapatkan pengakuan atas usaha sendiri. Memberikan citra yang baik bagi perekonomian nasional atau masyarakat sekitarnya adalah kepuasan pribadi baginya. 6. Peluang melakukan sesuatu yang disukai.
Pendapat serupa juga disampaikan Alma (2010: 4) keuntungan menjadi wirausaha adalah: 1. Terbuka peluang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki sendiri. 2. Terbuka peluang untuk mendemonstrasikan kemampuan serta potensi seseorang secara penuh. 3. Terbuka peluang untuk memperoleh manfaat dan keuntungan secara maksimal. 4. Terbuka peluang untuk membantu masyarakat dengan usaha-usaha konkrit. 5. Terbuka kesempatan untuk menjadi bos.
15
Lambing dan Kuehl (Suryana, 2009:70) berpendapat bahwa keuntungan berwirausaha adalah: 1. Otonomi. Pengelolaan yang bebas dan tidak terikat membuat wirausaha menjadi seorang “bos” yang penuh kepuasan. 2. Tantangan awal dan perasaan motif berprestasi. Tantangan awal atau perasaan bermotivasi yang tinggi merupakan hal yang menggembirakan. Peluang untuk mengembangkan konsep usaha yang dapat menghasilkan keuntungan sangat memotivasi wirausaha. 3. Kontrol finansial. Wirausaha memiliki kebebasan untuk mengelola keuntungan dan merasa kekayaan sebagai milik sendiri.
Ada beberapa kelemahan dalam berwirausaha. Menurut Dewanti (2008:9) manfaat menjadi wirausahawan dan pemilik bisnis yaitu: 1. Pendapatan yang tidak pasti 2. Resiko kehilangan seluruh investasi.
Tabel 2.2. Perbandingan Risiko Antara Pekerja dan Pengusaha URAIAN
PEKERJA
PENGUSAHA
Minimal
Diberi peringatan (SP)
Rugi
kecil
atau
tidak
untung Sedang
PHK
Maksimal
Tidak/belum
Rugi besar mendapat Bangkrut, namun sebelum
pekerjaan lagi
bangkrut tidak
pekerja
yang
berpotensi
akan
diberhentikan dahulu agar tidak
bangkrut
untuk
diganti dengan yang lebih baik Sumber : Hendro et, al (2006 : 38) 3. Bekerja lama dan kerja keras. 4. Mutu hidup yang rendah sampai bisnisnya mapan. 5. Ketegangan mental yang tinggi yang terjadi akibat penanaman modal yang berdampak pada kekhawatiran akan
16
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Alma (2010:4), kelemahan berwirausaha yaitu: 1. Memperoleh pendapatan yang tidak pasti, dan memikul berbagai risiko. 2. Bekerja keras dan waktu/jam kerjanya panjang. 3. Kualitas kehidupannya masih rendah sampai usahanya berhasil, sebab dia harus berhemat. 4. Tanggung jawabnya semakin sangat besar, banyak keputusan yang harus dia kurang menguasai permasalahan yang dihadapinya.
Kelemahan berwirausaha menurut Lambing dan Kuehl (Suryana, 2009:70) yaitu: 1. Pengorbanan personal. Pada awalnya, wirausaha, harus bekerja dengan waktu yang lama dan sibuk. 2. Beban tanggung jawab. Wirausaha harus mengelola semua fungsi bisnis, baik pemasaran, keungan, personal, maupun pengadaan dan pelatihan. 3. Kecilnya margin keuntungan dan besarnya kemungkinan gagal. Wirausaha menggunakan sumber dana miliknya sendiri, maka margin laba/keuntungan yang diperoleh relatif kecil.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa keuntungan menjadi wirausaha yaitu memiliki kesempatan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki sendiri, memiliki peluang untuk menggunakan potensi sepenuhnya, membantu masyarakat dengan usaha-usaha yang nyata, berkesempatan menjadi bos, bebas melakukan apapun pada usahanya, termotivasi untuk sukses, bebas mengelola keuangan sendiri, dan mendapatkan laba. Adapun kelemahan menjadi wirausaha yaitu pendapatan tak pasti, jam kerjanya panjang, tanggung jawab besar yang meliputi semua hal, pada awal usaha labanya kecil dan memiliki kemungkinan gagal.
17
2.2.
Intensi
2.2.1. Definisi Intensi Ajzen (Teo dan Lee, 2010), mengemukakan definisi intensi yaitu indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Intensi memiliki korelasi yang tinggi dengan perilaku, oleh karena itu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku (Ajzen, 2005). Lebih lanjut Krueger dan Carsrud (Vemmy,2012:119), menyatakan bahwa intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Choo dan Wong (Vemmy, 2012:119) menyatakan bahwa intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha. Bandura (Vemmy, 2012:119) menyatakan bahwa: Intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi menurutnya adalah bagian vital dari self regulation individu yang dilatarbelakangi oleh motivasi seseorang untuk bertindak. Intensi berkaitan dengan indikasi akan seberapa susah seseorang mencoba untuk memahami, seberapa besar usaha seseorang dalam merencanakan sesuatu, untuk melakukan suatu perilaku tertentu (Hisrich, Peters dan Shepherd, 2010:38) Van Gelderen, et al. (Vemmy, 2012:120) intensi diwakili oleh empat faktor, yaitu : desires, preferences, plans dan behavior expectancies. Desires adalah sesuatu dalam diri seseorang yang berupa keinginan untuk memulai suatu usaha. Preferences adalah suatu dalam diri seseorang yang menujukkan bahwa berwirausaha adalah suatu kebutuhan yang harus dicapai. Plans adalah suatu harapan yang ada dalam diri seseorang untuk memulai suatu usaha dimasa akan datang. Sedangkan behavior expectancies adalah suatu kemungkinan untuk berwirausaha dengan diikuti oleh target memulai usaha. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan indikator penting yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu perubahan perilaku di masa mendatang karena intensi mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan perilaku yang diinginkan.
18
2.2.2. Teori Planned Behavior Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari theory of reasoned action yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Fokus utama dari teori planned behavior ini sama seperti teori reasoned action yaitu intensi individu untuk melakukan perilaku tertentu. Intensi dianggap dapat melihat faktor-faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras orang mau berusaha untuk mencoba dan berapa besar usaha yang akan dikeluarkan individu untuk melakukan suatu perilaku. Theory of reasoned action mengatakan ada dua faktor penentu intensi yaitu sikap individu terhadap perilaku dan norma subjektif . Sikap merupakan evaluasi positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu (Ajzen, 2012 : 441). Sedangkan norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 2012 : 443). Namun Ajzen (2012) berpendapat bahwa teori reasoned action belum dapat menjelaskan tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol seseorang. Karena itu dalam theory of planned behavior Ajzen menambahkan satu faktor yang menentukan intensi yaitu perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan persepsi individu terhadap kontrol yang dimilikinya sehubungan dengan perilaku tertentu (Ajzen, 2012 : 447). Faktor ini menurut Ajzen (2012) mengacu pada persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya memunculkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu dan juga hambatan yang diantisipasi. Menurut Ajzen (2012: 448) ketiga faktor ini yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control dapat memprediksi intensi individu dalam melakukan perilaku tertentu.
Gambar 2.1. Theory of Planed Behavior Sumber : Azjen (2005)
19
2.2.3. Aspek-Aspek Intensi Aspek intensi merupakan aspek-aspek yang mendorong niat individu berperilaku seperti keyakinan dan pengendalian diri. Terbentuknya perilaku dapat diterangkan dengan teori planned behavior yang telah dijabarkan sebelumnya. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar (Azjen, 2012), yaitu: 1. Sikap terhadap perilaku Menurut Ajzen (2012:441) sikap terhadap perilaku didefinisikan sebagai derajat penilaian positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh kombinasi antara behavioral belief dan outcome evaluation. Behavioral belief adalah belief individu mengenai konsekuensi positif atau negatif dari perilaku tertentu dan outcome evaluation merupakan evaluasi individu terhadap konsekuensi yang akan ia dapatkan dari sebuah perilaku. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Sumber: Azjen (2012:441) Berdasarkan rumus di atas sikap terhadap perilaku (AB) didapat dari penjumlahan hasil kali antara belief terhadap outcome yang dihasilkan (bi) dengan evaluasi terhadap outcome (ei) (Ajzen, 2012:441). Dapat disimpulkan bahwa individu yang percaya dan memiliki evaluasi yang positif terhadap outcome atau konsekuensi dari sebuah perilaku maka individu tersebut akan memiliki sikap yang positif terhadap sebuah perilaku, begitu juga sebaliknya ,semakin individu percaya dan memiliki evaluasi yang negatif terhadap outcome atau konsekuensi dari sebuah perilaku maka individu tersebut akan memiliki sikap yang negatif terhadap sebuah perilaku tersebut
2. Norma Subjektif Ajzen (2012:443) mengatakan norma subjektif merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut normative belief dan motivation to comply. Normative belief yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau ketidaksetujuan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap suatu perilaku. Sedangkan
20
motivation to comply adalah motivasi seseorang untuk mengikuti seseorang atau kelompok yang menjadi referensi (Azjen, 2005). Norma subjektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2012 : 443). Norma subjektif ditentukan oleh kombinasi antara normative belief individu dan motivation to comply.
Sumber : Azjen (2012:443) Berdasarkan rumus di atas norma subjektif (SN) didapat dari penjumlahan hasil kali dari normative belief (ni) dengan motivation to comply (mi). (Ajzen, 2012 :443). Dapat disimpulkan, individu yang percaya bahwa referent akan mendukung dan adanya motivasi untuk melakukan sebuah perilaku akan merasakan tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut, dan begitu juga sebaliknya.
3. Perceived Behavioral Control Perceived behavioral control menggambarkan tentang perasaan self efficacy atau kemampuan diri individu dalam melakukan suatu perilaku. Perceived behavioral control adalah persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 2005). Azjen (2012, 446) menerangkan bahwa perceived behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara control belief dan perceived power control. Control belief merupakan belief individu mengenai faktor pendukung atau penghambat untuk memunculkan sebuah perilaku. Belief ini didasarkan pada pengalaman terdahulu individu tentang suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu tentang suatu perilaku yang diperoleh dengan melakukan observasi pada pengetahuan yang dimiliki diri maupun orang lain yang dikenal individu, dan juga oleh berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam melakukan suatu perilaku. Sedangkan perceived power control adalah persepsi individu akan kekuatan setiap faktor pendukung atau penghambat tersebut. Hubungan antara control belief dan perceived power control dapat dilihat pada rumus berikut:
21
Sumber : Azjen (2012:448) Berdasarkan rumus di atas perceived behavioral control (PBC) didapat dari penjumlahan hasil kali control belief (ci) dengan perceived power control (pi) (Azjen, 2012 :448). Semakin besar persepsi mengenai kesempatan dan sumber daya yang dimiliki individu maka semakin besar Perceived Behavioral Control yang dimiliki orang tersebut.
2.3.
Intensi Berwirausaha
2.3.1. Definisi Intensi Berwirausaha (Entrepreneurial Intention) Menurut Lee dan Wong (Suharti dan Sirine, 2011:126) Entrepreneurial intention atau intensi berwirausaha dapat diartikan sebagai langkah awal dari suatu proses pendirian sebuah usaha yang umumnya bersifat jangka panjang (Lee & Wong, 2004). Menurut Krueger (Suharti dan Sirine, 2011:126) intensi berwirausaha mencerminkan komitmen seseorang untuk memulai usaha baru dan merupakan isu sentral yang perlu diperhatikan dalam memahami proses kewirausahaan pendirian usaha baru. Menurut Ramdhani (Srimulyani, 2013:98) intensi berwirausaha adalah faktor motivasional yang mempengaruhi individu - individu untuk mengejar hasil hasil wirausaha. Carsrud dan Brannback (2009:55) juga memberikan definisi dari intensi berwirausaha yaitu keinginan untuk memulai suatu bisnis, untuk menciptakan suatu usaha baru. Dari definisi diatas dan dari pemahaman akan definisi intensi serta wirausaha
sebelumnya
dapat
disimpulkan
bahwa
intensi
berwirausaha
(entrepreneurial intention) merupakan niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan tindakan kewirausahaan.
2.3.2. Faktor-Faktor Pembentuk Intensi Berwirausaha Alma (2007:9) menyatakan terdapat 3 faktor kritis yang berperan dalam intensi berwirausaha yaitu: 1. Personal Yaitu menyangkut aspek-aspek kepribadian seseorang. David Mcceland dalam Alma (2009:13) dalam bukunya the achieving society menyatakan bahwa
22
seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki keinginan berprestasi yang sangat tinggi dibandingkan orang yang tidak berwirausaha. Juga Alma (2009:13) menyatakan dalam suatu peenlitian di Inggris menyatakan bahwa minat dan motivasi seseorang membuka bisnis adalah 50% ingin mempunyai kebebasan dengan berbisnis sendiri, hanya 18% menyatakan ingin memperoleh uang dan 10% menyatakan jawaban membuka bisnis untuk kesenangan, hobi, tantangan atau kepuasan pribadi dan melakukan kreatifitas.
2. Sociological Yaitu menyangkut masalah hubungan dengan keluarga dan hubungan sosial lainnya. Alma (2009:7) menyatakan masalah hubungan keluarga ini dapat dilihat dari orang tua, pekerjaan , dan status social. Faktor sosial yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha ialah masalah tanggung jawab terhadap keluarga. Selain itu terhadap pekerjaan orang tua seringkali terlihat bahwa ada pengaruh dari orang tua yang bekerja sendiri, dan memiliki usaha sendiri cenderung anaknya jadi pengusaha pula. Keadaan ini seringkali memberi inspirasi pada anak kecil (Alma 2009:8). Lingkungan dalam bentuk “role model” juga berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Role model ini biasanya melihat kepada orang tua, saudara, keluarga yang lain (kakek, paman , bibi, anak), teman-teman, pasangan atau pengusaha sukses yang diidolakannya. Dorongan teman cukup berpengaruh terhadap semangat berwirausaha, karena kita dapat berdiskusi dengan bebas, dibandingkan orang lain , teman biasa, memberi dorongan, pengertian, bahkan bantuan, tidak perlu takut terhadap kritikan, di samping ini ada lagi faktor social lainnya yang berpengaruh.
3. Environmental Yaitu menyangkut hubungan dengan lingkungan. Suryana (2008:63) menyatakan faktor yang berasal dari lingkungan di antaranya adalah model peran, peluang, aktivitas, selain itu di pengaruhi juga oleh pesaing, sumber daya, dan kebijakan pemerintah. Seperti yang di contohkan oleh Alma (2009:13) bahwa ada beberapa lokasi atau daerah yang banyak wirausahanya, seperti di daerah silicon valley di Amerika Serikat di mana dijumpai banyak pengusaha-pengusaha besar, di daerah tersebut dijumpai kegiatan wirausaha membeli dan menjual barang, transportasi, pergudangan, perbankan, dan berbagai jasa konsultan. Suasana macam
23
ini
sangat
berpengaruh
kepada
masyarakat
untuk
menumbuhkan
intensi
berwirausaha. Selain itu Tjahjono (2008:46) juga menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa bagi banyak orang Keputusan untuk berwirausaha merupakan perilaku dengan keterlibatan (high involvement) yang akan melibatkan beberapa faktor di antaranya yaitu: •
Faktor Internal seperti kepribadian , persepsi, motivasi dan pembelajaran(sikap)
•
Faktor Eksternal seperti keluarga, teman , tetangga dan lain sebagainya. Dan menurut David Mclleland dalam Suryana (2008:62) mengemukakan
bahwa kewirausahaan ditentukan oleh motif berprestasi, optimisme, sikap nilai dan status kewirausahaan atau keberhasilan.
2.3.2.1. Karakter Wirausaha Menurut Baharuddin (2009:193) karakter adalah suatu keadaan jiwa yang tampak dalam tingkah laku dan perbuatan sebagai akibat pengaruh pembawaan dan lingkungan. Dengan kata lain, karakter tergantung pada kekuatan dari luar (eksogen). Scerenco (Samani dan Hariyanto, 2012:2) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang,suatu kelompok atau bangsa. Sedangkan menurut Hermawan Kartajaya (Asmani, 2012:28) karakter adalah ciri khas yang dimiliki seseorang dan ciri khas tersebut adalah asli mengakar pada kepribadian seseorang
tersebut,dan
merupakan
mesin
pendorong
bagaimana
sesorang
bertindak,bersikap, berujar,dan merespon sesuatu. Jadi karakter individu merupakan ciri khas yang dimiliki seseorang yang membedakan dirinya dengan individu lain dalam bertindak , besikap , berujar dan merespon sesuatu. Seperti yang sudah disimpulkan sebelumnya , pada umumnya wirausaha adalah seseorang yang berani mengambil resiko dan memiliki kemampuan untuk melihat dan mengevaluasi peluang bisnis , serta mampu memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk mengambil keunggulan darinya dan berinisiatif mengambil tindakan yang tepat untuk mencapai kesuksesan. Maka dapat disimpulkan bahwa karakter wirausaha adalah ciri khas yang dimiliki wirausaha dalam melakukan kegiatan kewirausahaan seperti mengambil resiko , melihat peluang , mengevaluasi bisnis serta memperoleh sumber daya.
24
(Merdeka, 2011) membuktikan bahwa karakter individu mempengaruhi intensi berwirausaha. Hal ini juga diperkuat dengan penemuan (Mustofa, 2014) dalam skripsinya yang menyatakan bahwa karakter wirausaha mempengaruhi intensi berwirausaha secara positif dan signifikan. Geoffrey G. Meredith et al (Darpujinto, 2014:23) mengemukakan daftar ciriciri dan sifat-sifat sebagai profil wirausaha sebagaimana tersusun dalam tabel 2.3.
Tabel 2.3. Ciri dan Watak WIrausaha Ciri-ciri
Watak
Percaya Diri
Keyakinan,
ketidaktergantungan,
individualitas , optimis. Berorientasikan tugas dan hasil
Kebutuhan akan prestasi, berorientasi laba, ketekunan, ketabahan , tekad kerja keras,
mempunyai
dorongan
kuat,
energetic, dan inisiatif. Pengambilan Risiko
Kemampuan mengambil resiko, suka pada tantangan.
Kepemimpinan
Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain, menanggapi saran-saran dan kritik.
Keorisinilan
Inovatif
dan
kreatif,
fleksibel,
mengetahui banyak. Orientasi masa depan
Pandangan jauh ke depan
Sumber : Geoffrey G. Meredith et al, (Darpujinto, 2014:23)
2.3.2.2. Motivasi Sardiman (2007: 73), menyebutkan motif dapat diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan Menurut Uno (2008:1) ,motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam
25
dirinya. Ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi yaitu faktor intrinsik yang terdiri kebutuhan, pengetahuan untuk kemajuan sendiri, aspirasi atau cita-cita dan faktor ekstrinsik yang terdiri dari ganjaran, hukuman, persaingan atau kompetisi. Menurut Uno (2008:23), motivasi yang timbul karena faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik memiliki indikator yaitu adanya hasrat dan keinginan berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan dalam berwirausaha, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya penghargaan dalam berwirausaha, adanya kegiatan yang menarik dalam berwirausaha. Sarosa (Rosmiati, Junias, dan Munawar, 2015:22) motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu, termasuk menjadi young entrepreneur. Kebanyakan orang yang berhasil di dunia ini mempunyai motivasi yang kuat yang mendorong tindakan-tindakan mereka. Mereka mengetahui dengan baik yang menjadi motivasinya dan memelihara motivasi tersebut dalam setiap tindakannya. Motivasi merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan (Robbins dan Timothy, 2009:222). Seseorang yang mempunyai motivasi tinggi akan berusaha melakukan yang terbaik, memiliki kepercayaan terhadap kemampuan untuk bekerja mandiri dan bersikap optimis, tidak cepat puas atas hasil yang telah diperoleh serta mempunyai tanggung jawab yang besar atas perbuatan yang dilakukan sehingga seseorang yang mempunyai motivasi yang tinggi pada umumnya akan lebih cepat meraih keberhasilan.Dalam hal ini motivasi yang tinggi dibutuhkan dalam meraih keberhasilan usaha. Baum, Frese, and Baron (Rosmiati, Junias, dan Munawar, 2015:22) menjelaskan bahwa motivasi dalam kewirausahaan meliputi motivasi yang diarahkan untuk mencapai tujuan kewirausahaan, seperti tujuan yang melibatkan pengenalan dan eksploitasi terhadap peluang bisnis. Motivasi menjadi entrepreneur adalah sesuatu yang melatar belakangi atau mendorong seseorang melakukan aktivitas dan memberi energi yang mengarah pada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidakseimbangan dengan membuka suatu usaha atau bisnis (Zimmerer,2008). McClelland dalam Alma (2006) menyatakan bahwa ada tiga motif sosial yang mempengaruhi tingkah laku seseorang jika ia berhubungan dengan orang lain di dalam suatu lingkungan yakni:
26
a.
Motif afiliasi (affiliation motive). Keinginan untuk bergaul dengan
orang lain secara harmonis, penuh keakraban, dan disenangi. Orang ini akan berbahagia jika ia bisa diterima lingkungannya dan mampu membina hubungan yang harmonis dengan lingkungannya. Orang seperti ini biasanya merupakan teman yang baik dan menyenangkan. b.
Motif kekuasaan (power motive). Orang yang memiliki motivasi
berkuasa tinggi suka menguasai dan mempengaruhi orang lain, ia mau orang lain melakukan apa yang diminta /diperintahkannya, ia cenderung tidak mempedulikan perasaan orang lain, baginya keharmonisan bukanlah hal yang utama, ia memberikan bantuan kepada orang lain bukan atas dasar belas kasihan akan tetapi supaya orang yang dibantunya menghormati dan kagum kepadanya sehingga ia bisa menunjukkan kelebihannya kepada orang lain dan agar orang lain mau terpengaruh oleh mereka sehingga bisa diperintah dan diaturnya. c.
Motif berprestasi (achievement motive). Orang yang memiliki motif
berprestasi fokus pada cara-cara untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. Segumpan dan Zahari (Al-Harrasi, Al-Zadjali, dan Al-Salti, 2014) menyebutkan bahwa kebutuhan akan pendapatan yang lebih tinggi dan keinginan untuk status sosial dan profesional yang lebih tinggi adalah motivasi untuk memulai bisnis. Ditemukan bahwa keinginan akan pendapatan yang lebih tinggi dan kurangnya kesempatan kerja yang sesuai adalah motivator kunci untuk memulai bisnis (Perri dan Chu, 2012). Pengusaha termotivasi untuk memulai bisnis mereka sendiri untuk memberikan keamanan bagi mereka dan keluarga mereka dan untuk meningkatkan pendapatan (Stefanovic , Prokie dan Rankovic, 2010) .Status mengacu pada posisi relatif individu terhadap orang lain dalam situasi sosial tertentu (AlHarrasi, Al-Zadjali, dan Al-Salti, 2014).
2.3.2.3. Self-efficacy Menurut King (2012: 153), efikasi diri adalah keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan berbagai hasil positif”. Lebih lanjut, King (2012: 153) menjelaskan bahwa “efikasi diri membantu orang-orang dalam berbagai situasi yang tidak memuaskan dan mendorong mereka untuk meyakini bahwa mereka dapat berhasil
27
Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006:99) self - efficacy merupakan keyakinan pribadi mengenai kemampuan diri untuk menyelesaikan suatu tugas dengan berhasil. Faktor yang berperan penting dalam pengembangan self efficacy seseorang adalah pengalaman masa lalu. Jika pada masa lalu seseorang berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas, seseorang akan lebih memiliki rasa percaya diri dan keyakinan yang meningkat dalam kemampuannya untuk melaksanakan tugas dengan baik. Self - efficacy berhubungan dengan kinerja seseorang dalam pekerjaan, pilihan karier, pembelajaran dan pencapaian, serta kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru. Menurut Bandura dalam Luthans (2006:338) efikasi diri adalah mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu.Individu yang memiliki efikasi tinggi berfokus pada peluang yang layak dikejar dan melihat rintangan sebagai hal yang dapat diatasi. Individu dengan efikasi diri tinggi pasti akan mengharapkan keberhasilan dan mendapatkan yang diinginkan dan insentif hasil yang positif. Seseorang yang mempunyai kepercayaan bahwa orang tersebut akan menjadi seorang entrepreneur yang sukses maka semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk menjadikan entrepreneurship sebagai pilihan dalam berkarier (Lambing dan Kuehl, 2007:21). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri (self-efficacy) merupakan keyakinan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Apabila seseorang tidak yakin dapat memproduksi hasil yang mereka inginkan, mereka memiliki sedikit motivasi untuk bertindak. Seseorang yang memiliki efikasi diri (self-efficacy) tinggi mempunyai potensi untuk dapat mengubah kejadian di lingkungannya, akan lebih mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin untuk menjadi sukses daripada orang yang mempunyai efikasi diri (self-efficacy) yang rendah.
2.3.2.4. Entrepreneurial Learning Menurut Rae dan Carswell (Susetyo dan Lestari, 2014:188) kemampuan untuk belajar penting dalam mengembangkan kemampuan kewirausahaan, dengan keberhasilan pembelajaran, keterampilan, pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan, pengembangan usaha dapat dilakukan. Entrepreneurial Learning di dalam
(Rae dan Wang, 2015: 16) didefinisikan sebagai pembelajaran yang
28
memberikan informasi pada wirausaha dalam mencari peluang baru (Franco and Haase,2009), bagaimana wirausaha menambah dan memperbarui pengetahuan (Minniti
dan
Bygrave
,2001),
pembelajaran
untuk
bekerja
dengan
cara
kewirausahaan (Rae, 2000), pembelajaran yang dialami oleh wirausaha selama pembuatan dan pengembangan usaha baru atau bentuk pembelajaran yang bisa digambarkan sebagai kewirausahaan (Cope, 2005), pembelajaran yang dialami oleh pengusaha (Cope,2003; Cope and Watts,2000), dan apa , bagaimana dan mengapa wirausaha belajar (Parker,2006) Jadi dapat disimpulkan bahwa Entrepreneurial Learning adalah mengenai apa dan bagaimana seorang wirausaha melakukan pembelajaran yang berhubungan dengan kewirausahaan. Berdasarkan pengertian sebelumnya maka Entrepreneurial learning dapat didefinisikan dalam 2 aspek (Susetyo dan Lestari, 2014) yaitu entrepreneurial knowledge dan entrepreneurial experience. Entrepreneurial knowledge adalah kursus bisnis yang disampaikan dalam ruang kelas. Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan siswa pengetahuan tentang bisnis dan kewirausahaan. Menurut Ackoff (Susetyo dan Lestari, 2014) definisi pengetahuan adalah sebagian besar terkait dengan terminologi data, informasi, kecerdasan, kecakapan, ide, intuisi atau wawasan,di mana mereka semua tergantung pada konteks kata pengetahuan digunakan. Sedangkan entrepreneurial experience merupakan kegiatan yang mendorong siswa untuk memiliki praktik bisnis dengan menyediakan beberapa event bisnis untuk menerapkan pengetahuan bisnis mereka. Tujuan berlatih bisnis untuk siswa adalah untuk memperkaya pengalaman dan wawasan siswa dalam mengembangkan kegiatan usaha (Susetyo dan Lestari, 2014). Menurut Azjen
(Khuong dan An, 2016:105) adanya kontak dengan
pendidikan kewirausahaan sebelumnya memiliki dampak tertentu pada sikap siswa terhadap kewirausahaan dan intensi untuk memilih kewirausahaan sebagai profesi masa depan mereka. Dalam penelitian lain
(Mai dan Anh, 2013) pengaruh isi
program perkuliahan untuk kewirausahaan benar-benar penting untuk meningkatkan kesadaran kewirausahaan.
29
2.3.2.5. Entrepreneurial Support Turker dan Selcuk (Denanyoh, Adjei, dan Nyemekye, 2015) mengembangkan Entrepreneurial
Support
Model
(ESM)
yang
menyatakan
bahwa
intensi
berwirausaha merupakan fungsi dari dukungan struktural, dukungan akademik dan dukungan sosial. Menurut Global Entrepreneurship Monitor Report (2012) dukungan struktural berhubungan dengan dukungan dari lingkungan budaya dan kelembagaan terhadap
pengembangan
aktivitas
kewirausahaan.
Kelley
et
al
(2012)
merekomendasikan kebijakan yang meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja, komunikasi dan keterbukaan pasar serta menghilangkan birokrasi untuk mendorong tingkat kewirausahaan di masyarakat. Dukungan akademik berhubungan dengan dukungan dari pihak akademik seperti lingkungan universitas meliputi sarana, informasi kampus maupun dukungan infrastruktur yang memadai. Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009), dukungan akademik mengacu pada faktor-faktor yang berkaitan dengan dukungan bagi seorang pelajar untuk mencapai dan menyelesaikan tugas-tugas studi dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan. Sedangkan dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial yang akrab dengan individu yang menerima bantuan (Suharti dan Sirine, 2011). Dukungan sosial merupakan kepercayaan dan ekspetasi seseorang bahwa ia akan mendapatkan dukungan untuk memulai sebuah bisnis baru dari kerabat dekat “belonging group” (orangtua, saudara kandung dan pasangannya) dan dari kelompok “reference” seperti teman, kolega dan dosen (Leon et al., 2007). Temuan
(Denanyoh,
Adjei,
dan
Nyemekye,
2015) menyatakan
bahwa
entrepreneurial support berhubungan positif dengan intensi berwirausaha.
2.3.2.6. Instrumental Readiness Ketersediaan modal merupakan hal yang sangat penting. Demikian pula ketersediaan sumber daya lainnya, termasuk sumber daya manusia (SDM) dengan pengalaman serta keterampilan yang sesuai, sumber daya informasi seperti bank data, serta sumber daya infrastruktur seperti lokasi yang tepat. Perhatian media juga penting, khususnya sebagai sarana untuk menerbitkan cerita seputar model peran yang sesuai serta cerita tentang kesuksesan yang diraih (Susanto dalam Wijanto, 2009:395). Kesiapan instrumentasi ialah tiga faktor lingkungan yang dipercaya
30
mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas jaringan sosial yang dimiliki (Indarti dalam Wijanto, 2009:395). Hal ini juga dibuktikan dengan temuan
(Agustina dan Sularto, 2011) dan
(Darmanto dan
Wahyudi, 2014) yang diketahui bahwa kesiapan instrumental (instrumental readiness) mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa. 1. Akses Kepada Modal. Menurut Madura (2007:11) modal meliputi mesin, peralatan, perlengkapan dan fasilitas fisik yang digunakan oleh sumber daya manusia untuk menghasilkan produk. Dalam membangun suatu usaha diperlukan modal yang cukup untuk membiaya operasional usaha (Rini, 2006:168). Dalam kamus Bahasa Indonesia “modal” didefinisikan sebagai uang pokok yang dipakai untuk berdagang. Modal merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk memulai usaha. Penelitian oleh beberapa peneliti seperti Marsden, Meier dan Pilgrim, Steel (Wiyanto, 2014:395) menyatakan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara berkembang. Kristiansen (Wiyanto, 2014:395) menyatakan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha. Sesen (2012:628) access to capital merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan suatu usaha baru. Menurut Indarti et al. (Wiyanto, 2014:395) akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat. 2. Ketersediaan Informasi. Menurut Madura (2007:322) seorang entrepreneur harus mempertimbangkan seluruh kondisi pasar sebelum memutuskan untuk menciptakan suatu usaha baru seperti pesaing, permintaan, tenaga kerja, peraturan dan perundang - undangan. Berbagai sumber dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai bisnis. Menurut Griffin dan Ebert, (2007:10) business information memainkan peranan penting dalam membangun suatu usaha. Suatu bisnis bergantung pada prediksi pasar, orang - orang dengan keahlian tertentu, serta berbagai bentuk data ekonomi untuk mendukung dalam menjalankan proses bisnis.
31
Menurut Sesen (2012:628) ketersediaan tentang business information merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memulai suatu usaha. Seorang yang ingin membangun sebuah bisnis membutuhkan informasi mengenai pasar untuk dapat berkompetisi di pasar. Ketersediaan dari business information dibutuhkan pada saat ingin membangun suatu usaha (Gomezelj dan Kusoe, 2013:911). Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna (Wiyanto, 2014:395) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari sumber daya sosial dan jaringan. Indarti (Wiyanto, 2014:395), ketersediaan informasi baru akan tergantung pada karakteristik seseorang, seperti tingkat pendidikan dan kualitas infrastruktur, meliputi cakupan media dan sistem telekomunikasi. Pengertian ketersediaan informasi kewirausahaan dalam penelitian ini adalah tersedianya informasi yang dibutuhkan dan mendukung kegiatan kewirausahaan secara memadai. 3. Jaringan Sosial. Campur tangan orang lain dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam dunia bisnis. Relasi bisnis memiliki prinsip berbanding lurus, artinya semakin banyak jumlah relasi bisnis, semakin cepat seseorang mencapai sukses dalam berusaha, begitu juga sebaliknya (Sudjatmoko, 2009:25). Ketersediaan jaringan sosial tentunya dapat mempengaruhi seseorang dalam berwirausaha karena para wirausahawan akan semakin percaya diri dalam memulai usaha. Menurut Sesen (2012:629) social networks dapat dimanfaatkan bagi seorang entrepreneur untuk memperoleh sumber daya yang dapat digunakan dalam menjalankan atau membangun bisnis. Seorang entrepreneur mungkin kekurangan sumber daya seperti modal dan informasi bisnis, walaupun demikian entrepreneur tersebut dapat memanfaatkan social networks yang dimilikinya untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Mazzarol
(Wiyanto,
2014:395)
menyebutkan
bahwa
jaringan
sosial
mempengaruhi intensi kewirausahaan. Jaringan sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup: (a) Komunikasi atau penyampaian
32
informasi dari satu pihak ke pihak lain, (b) Pertukaran barang dan jasa dari dua belah pihak, dan (c) Muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter atau atribut khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan merupakan alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki akses terhadap ide-ide bisnis, informasi dan modal. Hal senada diungkap oleh Kristiansen (Wiyanto, 2014:395) yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.
2.4.
Analisis Faktor
2.4.1. Definisi Analisis Faktor Menurut Taufik Hidayat dan S.N., (2011:12) Dalam statistik multivariate, analisis faktor adalah suatu teknik interdependensi. Disebut interdependensi karena variabel dalam faktor analisis tidak dibedakan menjadi variabel bebas dan variabel tidak bebas, tetapi setiap variabel mempunyai tingkatan yang sama. Sedangkan menurut (Santoso, 2012:57) Analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang awalnya saling independen satu dengan yang lain, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Contohnya jika ada 10 variabel yang independen satu dengan yang lain, dengan analisis faktor mungkin bisa diringkas hanya menjadi 3 kumpulan variabel baru. Kumpulan variabel tersebut disebut faktor, di mana faktor tersebut tetap mencerminkan variabel-variabel aslinya. (Matsunaga, 2010:98) Analisis faktor adalah istilah yang luas yang mewakili berbagai teknik statistik yang memungkinkan untuk memperkirakan struktur tingkat populasi yang mendasari variasi variabel yang diamati dan hubungannya. Analisis faktor menyediakan alat diagnostik untuk mengevaluasi apakah data yang dikumpulkan sejalan dengan pola teoritis yang diharapkan. Berdasarkan pengertian dari para ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa analisis faktor yang mana dalam penelitian ini merupakan exploratory factor analysis
adalah
teknik
statistik
yang
dapat
mereduksi
variabel
dengan
mengelompokan variabel-variabel yang mempunyai hubungan kedalam 1 faktor baru.
33
2.4.2. Konsep Dasar Analisis Faktor Analisis faktor merupakan teknik statistika yang bertujuan menerangkan struktur hubungan di antara variabel-variabel yang diamati dengan jalan membangkitkan beberapa faktor yang jumlahnya lebih sedikit dari pada banyaknya variabel asal (mereduksi data dari banyak variabel menjadi sedikit variabel), misalnya dari 15 variabel menjadi 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable). (Supranto, 2010:114) Analisis faktor dipergunakan dalam situasi sebagai berikut (Supranto, 2010:114): a. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari atau faktor yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel b. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi , yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set variabel asli yang saling berkorelasi didalam analisis multivariate selanjutnya. c. Mengenali atau mengidentifikasi satu set variabel yang penting dari suatu set variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan didalam analisis multivariate selanjutnya.
2.4.3. Tujuan Analisis Faktor Menurut (Santoso, 2012:58) tujuan analisis faktor adalah: o Data Summarization Mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi. Jika korelasi dilakukan antar variabel, analisis tersebut dinamakan R Factor Analysis. Namun jika korelasi dilakukan antar responden atau sampel, analisis disebut Q factor analysis, yang juga popular disebut Cluster Analysis. o Data Reduction Setelah melakukan korelasi, dilakukan proses membuat sebuah variabel set baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan sejumlah variabel tertentu.
2.4.4. Fungsi Analisis Faktor Terdapat 3 fungsi analisis faktor menurut Suliyanto (2005), diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dimensi-dimensi mendasar yang dapat menjelaskan korelasi dari serangkaian variabel.
34
2. Mengidentifikasi variabel-variabel baru yang lebih kecil, untuk menggantikan variabel tidak berkorelasi dari serangkaian variabel asli yang berkorelasi. 3. Mengidentifikasi beberapa variabel kecil dari sejumlah variabel yang banyak untuk dianalisis multivariat lainnya.
2.4.5. Principal Factor Analysis Principal Factor Analysis atau common factor analysis yang biasa disebut juga dengan metode Principal Axis Factoring merupakan metode analisis faktor yang mengestimasi faktor berdasarkan pada common variance , communalities dimasukkan dalam matriks korelasi .Selain berfungsi untuk mereduksi data Principal Factor Analysis dapat juga digunakan untuk mengenali/mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan common variance yang menarik perhatian (Supranto, 2010:125) Varian-varian yang ada pada matriks korelasi adalah kunci dalam menjelaskan analisis faktor. Total varian yang dicerminkan oleh sebuah item pertanyaan terdiri dari dua komponen: (1) yang sama dengan dimiliki item lain (common variance), dan (2) yang memang spesifik dimiliki item tersebut, tidak dimiliki item lain (unique variance).Selain dua varian ini, biasanya terdapat satu lagi yang spesifik ke item tertentu tetapi tidak bisa diandalkan, sehingga disebut “error” atau random variance. Proporsi jumlah common variance yang hadir dalam satu item disebut sebagai “communality”.Jadi item yang tidak punya varian yang spesifik akan memiliki nilai communality “1”, sedangkan item yang tidak mempunyai common variance (tidak punya varian yang sama dengan item lain) akan memiliki nilai communality “0”. (Amir, 2015:130) Dalam metode PFA , matriks korelasi commmunalities-nya juga dihitung dengan cara (Amir, 2015:131) : •
Perhitungan yang berulang dari communalities
•
Memperkirakan communalities menggunakan squared multiple correlation. Secara ringkas pada Principal Factor Analysis , setelah faktor pertama
diekstrak, signifikansi dari residual matriks harus diuji. Residual matriks menunjukkan sejauh mana prediksi model yang dihipotesiskan dengan indikasi yang diperoleh dari data yang ada. Uji ini membantu mengetahui apakah koefisien residual ini bisa ditingkatkan lagi peluangnya menjadi semakin kecil (semakin kecil nilai residualnya, berarti semakin mirip model yang dihipotesiskan dengan informasi yang diperoleh dari data). Jika memang cukup signifikan , faktor kedua kemudian bisa
35
diekstraksi dan begitu juga selanjutnya sampai residual matriks tidak lagi signifikan secara spesifik (Amir, 2015:132) Principal Factor Analysis tidak menjelaskan semua varian di sebuah matriks karena metode ini tidak mengasumsikan bahwa semua varian yang ada adalah common variance, sebaliknya metode ini hanya memperhatikan common variance yang ada. (Amir, 2015:130). Hal ini memberikan kelebihan , karena secara teori tidak mungkin suatu faktor bisa menjelaskan semua varian yang ada di matriks tertentu, karena semua korelasi selalu memiliki komponen error di dalamnya. (Amir, 2015:132) Menurut Costello dan Osborne (dalam Amir, 2015) Principal Axis Factor merupakan metode yang lebih sesuai untuk analisis faktor , karena kita selalu berasumsi adanya hubungan antara faktor yang menjadi landasan setiap butir pertanyaan. Selain itu , metode Principal Axis Factoring secara umum memberikan hasil terbaik pada data yang berdistribusi normal maupun tidak. Ini juga menjadi keunggulan Principal Axis Factor karena tidak semua metode analisis faktor dapat memberikan hasil terbaik pada data yang berdistribusi tidak normal.
2.4.6. Jumlah Sampel Ideal dan Jenis Data Untuk Analisis Faktor Secara umum, jumlah sampel dalam analisis faktor minimal 50 pengamatan. Bahkan seharusnya ukuran sampel sebanyak 100 atau lebih besar. Biasanya ukuran sampel dalam analisis ini dianjurkan memiliki paling sedikit 5 kali jumlah variabel yang akan diamati, karena semakin banyak sampel yang dipilih akan mencapai patokan rasio 10:1, dalam arti untuk satu variabel ada 10 sampel (Hair, Black, Babin, dan Anderson, 2010). Dalam pengertian SPSS, hal ini berarti untuk setiap 1 kolom yang ada, seharusnya terdapat 10 baris data, sehingga jika ada 5 kolom (variabel), minimal seharusnya ada 50 baris data (sampel). Data dalam analisis faktor minimal adalah interval, sehingga apabila data yg diperoleh berupa data ordinal, harus ditransformasikan menjadi data interval, misalnya dengan menggunakan metode successive interval (Suliyanto,2005).
2.4.7. Penamaan Faktor yang Terbentuk Menurut Suliyanto (2005) untuk menamai faktor yang telah dibentuk dalam analisis faktor, dapat dilakukan dengan cara berikut.
36
1. Memberikan nama faktor yang dapat mewakili nama-nama variabel yang membentuk faktor tersebut. 2. Memberikan nama faktor berdasarkan variabel yang memiliki nilai factor loading tertinggi. Hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan untuk memberikan nama faktor yang dapat mewakili semua variabel yang membentuk faktor tersebut.
2.5.
Kerangka Pemikiran
Faktor 2
Faktor 1
Faktor 3
Faktor 2
Faktor 4 Faktor 5
Analisis Faktor
In Depth Interview
Analisis Domain dan Taksonomi
Faktor 1
Faktor 3 Faktor 4
Faktor 6 Faktor n Faktor n
T-1
T-2 Faktor 40 Gambar 2.2. Kerangka Penelitian Sumber : Peneliti (2015)
Keterangan : T-1 : Untuk mengidentifikasi apa saja faktor-faktor pembentuk intensi berwirausaha pada mahasiswa jurusan manajemen angkatan 2012-2013 Universitas Bina Nusantara. T-2 : Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor pembentuk intensi berwirausaha pada mahasiswa jurusan manajemen angkatan 2012-2013 Universitas Bina Nusantara setelah direduksi menggunakan metode Principal Factor Analysis.