30
BAB 2 HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI (RIGHT OF SELF-DETERMINATION)
2.1. Hak Penentuan Nasib Sendiri (Right of Self-Determination) Dalam Perjanjian Internasional Dan Yurisprudensi International Court of Justice Hak penentuan nasib sendiri (right of self-determination) oleh suatu bangsa pada prakteknya berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis di abad kedelapan belas. Hak ini berkembang sejalan dengan perkembangan politik dunia, permasalahan etnis, dan pemberontakan dari etnis-etnis di Amerika dan Eropa.33 Pada faktanya, selama Perang Dunia I, konsep penentuan nasib sendiri menjadi instrumen penting dalam kelahiran suatu individual nation-state yang saat itu berjuang memisahkan diri dari Kerajaan Austro-Hungaria dan Kerajaan Utsmani. Meskipun demikian, hak penentuan nasib sendiri tidak pernah diakui sebagai suatu hak dalam praktek hukum internasional sampai diadopsinya hak ini dalam Piagam PBB Pasal 1 ayat (2) pada Juni 1945 dimana doktrin dari selfdetermination dikodifikasi, atau diberlakukan sebagai hukum internasional positif. Lima puluh tahun setelah pengadopsian Hak penentuan nasib sendiri dalam Piagam PBB, Mahkamah Internasional (ICJ) mengakui hak ini dalam kasus Timor Timur. ICJ menyatakan bahwa: “The principle of self-determination has been recognised by the United Nations Charter and in the jurisprudence of the Court … [and] is one of the essential principles of contemporary international law.”34 Dalam perumusan definisi hak penentuan nasib sendiri (right of selfdetermination) para sarjana hukum internasional umumnya tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Hak penentuan nasib sendiri (right of selfdetermination) dirumuskan:
33
Simpson, G.J., “The Diffusion of Sovereignty: Self -determination in the Post-colonial Age”, (32 Stanford Journal of International Law, 1996): 255 34
Case Concerning East Timor, ICJ Reports 1995.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
31
1.
Sebagai hak dari suatu bangsa dari suatu negara untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri internal (right of internal self-determination).
2.
Hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang merdeka atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri eksternal (right of external self-determination).35
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hak penentuan nasib sendiri, berikut adalah penjelasan tentang hak penentuan nasib sendiri dari beberapa perjanjian internasional dan yurisprudensi Mahkamah Internasional; 2.1.1. Piagam PBB
Meskipun Piagam PBB hanya sedikit memberikan pengaturan tentang ”self-determination,” akan tetapi Piagam PBB telah memberikan beberapa doktrin mengenai hak penentuan nasib sendiri. Prinsip-prinsip mengenai penentuan nasib sendiri dengan jelas disebutkan adalah pertama kali pada Pasal 1 ayat (2) dan kemudian pada Pasal 55 Piagam PBB. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah untuk “membangun hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat”.36 Pasal 55 mendorong PBB untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat dunia, mencari solusi terhadap masalah kesehatan dan kebudayaan masyarakat dunia, serta penghormatan universal terhadap Hak Asasi Manusia; “With a view to the 35
Lihat Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya; Suatu Kumpulan Karangan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Diadit Media, 2006), hal. 192. Dajena Kumbaro, The Kosovo Crisis in an International Law Perspective: SelfDetermination, Territorial Integrity and The NATO Intervention, (NATO Office of Information and Press 2001), hal. 8. Burak Cop and Dogan Eymirlioglu, The Right Of Self-Determination In International Law Towards The 40th Anniversary Of The Adoption Of ICCPR And ICESCR ( Galatasaray University Press,2005), hal.116. Patricia Carley, Self Determination, Sovereignity,Territorial Integrity, and the Right to Secession,(Washington D.C, United States of Peace: 1996), hal.3.
36
UN Charter Art.1 (2); “To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self determination of peoples,….”
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
32
creation of conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful and friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self determination of peoples....” Pengaturan dari penentuan nasib sendiri dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55 dari Piagam PBB kemudian dilengkapi oleh Bab XI tentang Deklarasi Mengenai Wilayah-wilayah tidak Berpemerintahan Sendiri dan Bab XII tentang Sistem Perwalian Internasional. Akan tetapi tidak satupun pasal dalam kedua Bab ini memberikan penjelasan terperinci tentang self-determination. Pasal 73 dari Bab XI dari Piagam PBB mendeskripsikan perkembangan dari pemerintahansendiri dalam wilayah tidak berpemerintahan sendiri (non-self-governing territories) sebagai “sacred trust”. Lebih lanjut Pasal 76 dari Bab XII yang menjelaskan dasar tujuan dari sistem perwalian (International Trusteeship System) yang antara lain adalah mengusahakan kemajuan yang pesat wilayah di bawah perwalian menuju pemerintahan sendiri atau kemerdekaan sesuai dengan keadaan masing-masing wilayah beserta rakyatnya, dan juga dengan kehendak yang dinyatakan secara bebas oleh rakyat yang bersangkutan. Dengan kata lain pasal ini mendorong perkembangan daerah yang berada di bawah perwalian menjadi wilayah yang berpemerintahan sendiri atau negara merdeka. Kesimpulannya adalah Piagam PBB merupakan dasar dari hak penentuan nasib sendiri. Piagam PBB yang pertama kali memasukkan ketentuan penentuan nasib sendiri ke dalam hukum internasional positif. Dengan dimasukkannya prinsip self determination dalam Pasal 1 ayat (2), maka pembentuk Piagam PBB mengidentifikasikan self determination sebagai salah satu dari tujuan utama, atau raisons d’être, dari organisasi PBB.37 Penentuan nasib sendiri dijalankan dalam konteks untuk menciptakan hubungan baik antar negara-negara dengan mengutakamakan kesamaan hak setiap bangsa di dunia. Piagam PBB dianggap berkontribusi menyumbangkan prinsip bahwa ”kedamaian dunia” adalah tidak mungkin terwujud tanpa self-determination.38
37
Antonio Cassese, Self-Determination of Peoples: A Legal Reappraisal, (Cambridge University Press,1995), hal.38. 38
Kumbaro, op.cit., hal.10.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
33
Pengaturan Piagam PBB ini secara keseluruhan masih belum lengkap dalam hal substansi dari self-determination. Penentuan nasib sendiri dalam Piagam PBB hanya terkesan sebagai sebuah prinsip saja dan bukan merupakan suatu hak yang dimiliki setiap bangsa di dunia. Piagam PBB tidak mengatur bagaimana hak suatu bangsa yang belum merdeka bisa mendapatkan kemerdekaannya.39Oleh karena itu mengenai penentuan nasib sendiri diatur lebih lanjut dalam konvensi-konvensi yang lahir berikutnya.
2.1.2. The United Nations Covenants on Human Rights (“Covenant on Civil and Political Rights 1966” dan”Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966” ) Kedua Kovenan memasukan pengaturan mengenai self-determination yang memiliki kata-kata yang identik sama.
Interpretasi dari Pasal mengenai Self-Determination Pasal 1 dari kedua Kovenan ini mengakui dan menetapkan isi dari hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) melalui pengaturan sebagai berikut: “1. All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. 2. All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence. 3. The State Parties to the present Covenant, including those having responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, shall promote the realization of the right of 39
Thornberry, P., The Democratic or Internal Aspect of Self-determination, dalam Tomuscat, C. (ed.), Modern Law of Self-Determination (Martinus Nijhoff Publishers, 1993), hal. 108.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
34
self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations.”
Penjelasan dari Pasal 1 yang cukup kompleks ini telah dijelaskan oleh Komite Hak Asasi Manusia pada sesi ke-21 dari General Comment ke-12.40 Self Determination didefinisikan sebagai “essential condition” untuk jaminan terhadap Hak Asasi Manusia serta untuk kemajuan dan peningkatan hak asasi manusia tersebut.41 Penentuan nasib sendiri ditempatkan terpisah dan di depan sebelum hak-hak lainnya dalam Kovenan.42 Lebih lanjut lagi, self-determination didefinisikan sebagai hak yang tak dapat dicabut dari semua bangsa dan mengandung kewajiban timbal balik dimana implementasi dari hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pengaturan hukum internasional lainnya.43 Sifat dari hak penentuan nasib sendiri dalam kedua Kovenan ini adalah universal. Kalimat dalam klausul pertama dari Pasal 1 ayat (1) dimana semua bangsa mempunyai hak penentuan nasib sendiri menegaskan sifat universalitas dari hak tersebut.44 General Comment yang dikeluarkan oleh Komite HAM mendukung asumsi fundamental pada Pasal 1 ini sebagai berikut: “...it imposes specific obligations on State Parties, not only in relation to their own peoples but vis-à-vis all peoples, which have not been able to exercise or have been deprived of the possibility of their right to self-determination.” Menurut Pasal 1 ayat 1 dari Kovenan, semua orang telah diberikan kebebasan untuk menentukan status politik, perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dengan kata lain, setiap bangsa adalah bebas untuk membangun institusi politik, membangun sumber daya ekonominya, dan untuk mengatur perubahan sosio-kulturalnya sendiri, tanpa ada intervensi dari bangsa lain. Meskipun demikian banyak usulan dari sarjana hukum internasional bahwa hak 40
UN DOC. CCPR/C/21/Add.3.
41
Ibid, paragraf 1.
42
Ibid.
43
Ibid., paragraf 2.
44
Thornberry, op.cit., hal.867
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
35
suatu bangsa untuk menentukan “status politik” harus dimasukkan dalam suatu pasal tersendiri di dalam Covenant on the Civil and Political Rights, dan serupa dengan itu, hak untuk menentukan status ekonomi, sosial dan kebudayaan juga harus dimasukkan dalam pasal tersendiri di dalam Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.45 Suatu bangsa atau negara yang tidak dapat menentukan sendiri status politiknya juga tidak dapat menentukan hak ekonomi, sosial dan kebudayaannya sendiri, dan sebaliknya. Pemilihan kata ”freely” dalam pasal 1 ayat (1) kedua kovenan ini bermakna ganda.46 Pertama, Pasal 1(1) menghendaki suatu bangsa memilih legislator dan pemimpin mereka sendiri bebas dari praktek manipulasi ataupun pengaruh tekanan dari otoritas yang berkuasa. Dengan kata lain, aspek kolektif dari hak penentuan nasib sendiri ini merepresentasikan kesatuan komponen dari hak individual. Ketika setiap individu memiliki hak individual, contoh; hak kebebasan berekspresi (Pasal 19), hak untuk kebebasan berserikat (Pasal 22), hak untuk memilih (Pasal 25b), hak untuk mengambil bagian dalam kegiatan publik langsung atau melalui pemilihan perwakilan secara bebas (Pasal 25a), maka suatu bangsa secara keseluruhan (gabungan dari individu-individu) mempunyai hak dalam hak penentuan nasib sendiri internal.47 Arti kedua dari kata ”freely” dalam Pasal 1 ayat (1) adalah tidak setegas dibandingkan dengan yang pertama. Pasal ini menghendaki institusi politik suatu Negara untuk bebas dari pengaruh luar. Pasal ini melarang suatu Negara untuk mencampuri urusan negara perserta lain yang dapat memeberikan tekanan atau pengaruh serius terhadap hak dari Negara untuk menentukan status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaannya sendiri.48 Hak atas kekayaan alam dan sumber daya alam adalah elemen berikutnya dari hak penentuan nasib sendiri. Menurut Pasal 1 ayat (2) termasuk di dalam prinsip hak penentuan nasib sendiri adalah prinsip dimana suatu bangsa haruslah 45
Kumbaro, op,cit.,hal. 13.
46
Cassesse,op.cit., hal.52
47
Kolodner, E., “Population Transfer: The Effects of Settler Infusion Policies on a Host Population’s Right to Self-determination”, (27 New York University Journal of International Law and Politics 159,1994) : 179 48
Cassesse, op.cit, hal.53
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
36
menjadi pemilik atas kekayaan dan sumber daya alamnya sendiri. Maksud dari pengaturan dalam pasal ini adalah. Pertama, semua bangsa-bangsa di dunia, baik mereka yang hidup dalam wilayah tidak berpemerintahan sendiri (non-selfgoverning territory) ataupun dalam sebuah Negara merdeka, memiliki hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam mereka sendiri tanpa bangsa mereka sendiri tereksploitasi secara politik.49 Kedua, hak dari suatu bangsa untuk memanfaatkan sumber daya alam juga harus memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional yang telah negara mereka lakukan. Pengaturan dalam pasal ini tidak bermaksud untuk menakut-nakuti investor asing yang akan berinvestasi di bidang eksplorasi sumber daya alam, karena suatu saat negara penerima investasi bisa saja melakukan ekspropriasi atau konfiskasi. Kedua kovenan ini bermaksud untuk membatasi eksploitasi asing yang dapat merugikan populasi lokal secara ekonomis. Tujuan dibalik kedua pengaturan ini tetap menekankan pada keharusan dimusnahkannya konsep dan prinsip kolonialisme, baik penjajahan secara ekonomi maupun politik, dari muka bumi.50 Menurut Pasal 1 ayat (3), semua Negara Anggota, termasuk negara yang mempunyai kewajiban administrasi dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri (Non-self-governing territory) dan wilayah perwalian menjalankan dua buah kewajiban: a) untuk mempromosikan perwujudan dari hak penentuan nasib sendiri
di
dalam wilayah
kedaulatannya,
dan
b)
untuk
menghormati
perkembangan dari hak tersebut di Negara-negara lain.51 Kedua Kovenan ini menandakan fase berikutnya dari kemajuan hukum internasional tentang konsep right of self-determination dari kewajiban hukum dalam konteks dekolonialisasi, menuju self-determination sebagai bagian tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia, dengan dua resolusi dari Majelis Umum
49
Yoram Dinstein, “Collective Human Rights of Peoples and Minorities” ,(25 International and Comparative. Law Quarterly,1976): 111. 50
Ibid.
51
Kumbaro, op.cit, hal.16
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
37
PBB52, sebagai jembatan. Para pembuat Kovenan membebankan negara anggota sebuah tugas untuk mengimplementasikan kewajiban penyelarasan dengan Piagam PBB. Hal tersebut tidak hanya untuk pengaturan tentang prinsip penentuan nasib sendiri dalam Pasal 1, pasal-pasal dalam Bab XI dan XII, akan tetapi juga terhadap Piagam PBB secara keseluruhan.
2.1.3. Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples 1960
Evolusi dari hak penentuan nasib sendiri dalam hukum internasional mencapai puncak dengan diadopsinya hak ini ke dalam Resolusi Majelis Umum PBB nomor 1514 pada 14 Desember 1960 atau yang lebih dikenal dengan judul Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples. Deklarasi
ini
diposisikan
sebagai
interpretasi
dari
Piagam
PBB
dan
pengimplementasian hak penentuan nasib sendiri sebagai dasar perjuangan kemerdekaan suatu bangsa hanya dalam konteks penjajahan atau kolonial bukan untuk upaya separatisme.53 Pertimbangan bahwa penggunaan hak penentuan nasib sendiri hanya digunakan sebagai dasar perjuangan kemerdekaan untuk bangsa terjajah dan bukan untuk upaya separatisme tersebut dinyatakan dengan bijak dalam pertimbangan deklarasi ini dengan kalimat “the necessity of bringing to a speedy and unconditional end colonialism in all its forms and manifestations.” Dalam poin kedua dari isi deklarasi ini ditegaskan bahwa setiap bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri dengan kalimat;”All peoples have the right to self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.” Deklarasi ini dianggap sangat penting oleh banyak bangsa-bangsa di Asia dan
52
Resolusi Majelis Umum PBB No.1514 (XV) atau yang lebih dikenal dengan nama the Declaration on Granting Independence to Colonial Countries and Peoples dan Resolusi Majelis Umum PBB No.1541 (XV) 53
Thornberry, op.cit., hal.874
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
38
Afrika yang pada saat itu sedang berjuang meraih kemerdekaannya dari negaranegara kolonial.54
2.1.4. The Declaration on Friendly Relations 1970 Empat tahun setelah pengadopsian Covenant on Human Rights, selfdetermination muncul dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.2625 (XXV) pada tanggal 24 Oktober 1970 dengan nama Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter (Declaration on Friendly Relations). Proses untuk mencapai persetujuan perumusan yang tepat mengenai selfdetermination untuk dimasukan ke dalam deklarasi ini tidaklah mudah. Dalam proses awal, terdapat perbedaan pendapat antara siapa yang berhak yang menerima hak penentuan nasib sendiri dan apakah Negara berkewajiban untuk memberikan hak ini terhadap bangsa-bangsa yang berada di wilayah negara tersebut. Serta perbedaan pendapat mengenai dasar hukum dari hak penentuan nasib sediri yang terdapat dalam deklarasi ini.55 Di dalam Deklarasi ini disebutkan bahwa; 1. Suatu bangsa dibawah kolonial atau dominasi asing mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), seperti untuk mendapatkan status atas negara berdaulat atau untuk status politik lain yang dengan bebas ditentukan oleh mereka sendiri; dan 2. Suatu bangsa dibawah rezim yang rasis mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri baik internal self-determination maupun external selfdetermination dengan mendapat hak atas pemerintahan sendiri ataupun berpisah dari negara yang rasis tersebut. 56
54
Rosenstock, “The Declaration on Principles of International Law”, (65 American. Journal of International Law, 1971): 732. 55
Ibid, hal.730.
56
Antonio Cassesse, The Helsinki Declaration and Self-determination, dalam Burgenthal, T., (ed.) (Human Rights International Law and The Helsinki Accord,1977), hal.92
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
39
Sejumlah otoritas hukum internasional menegaskan bahwa hak penentuan nasib sendiri dapat menjadi alas hak untuk pemisahan unilateral berdasarkan pada interpretasi dari paragraf 7 dalam deklarasi ini yang sering disebut sebagai “saving clause”, sebagai berikut: “Nothing in the foregoing paragraphs shall be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states conducting themselves in compliance with the principle of self-determination and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without distinction as to race creed or color. Every state shall refrain from any action aimed at the partial or total disruption of the national unity and territorial integrity of any other State or country.” Dasar pemikiran dari “saving clause” ini adalah bahwa ketika suatu bangsa dihalangi oleh pemerintahan yang berkuasa dalam menikmati hak penentuan nasib sendiri, maka sebagai jalan terakhir yang diperbolehkan dalam hukum internasional adalah melalui upaya melepaskan diri dari Negara tersebut.57 Akan tetapi harus ditegaskan bahwa pelepasan diri yang dimaksud dalam “saving clause” ini merujuk pada aplikasinya yang hanya untuk bangsa-bangsa yang hidup dalam rezim rasis, atau di bawah kolonial maupun okupasi asing dan bukan sebagai dasar pembenar terhadap upaya separatisme dari negara yang berdaulat. 58
2.1.5. The Helsinki Final Act Keputusan akhir dari Conference on Security and Co-operation in Europe (the Helsinki Final Act) yang pada tanggal 1 Agustus 1975, menghasilkan deklarasi yang bernama Declaration on the Principles Concerning Mutual Relations of the Participating States, dan dalam Prinsip VII dari deklarasi ini terdapat sebuah 57
58
Rosenstock, op.cit Kumbaro,op.cit., hal 19.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
40
referensi yang tegas mengenai internal dan eksternal self-determination, sebagai berikut : “By virtue of the principle of equal rights and self-determination of peoples, all peoples have the right in full freedom, to determine, when and as they wish, their internal and external political status, without external political interference, and to pursue as they wish their political, economic, social and cultural development.”
Perumusan ini bermaksud untuk menerangkan bahwa hak penentuan nasib sendiri merupakan hak berkelanjutan (continuing right), bukan hak sekali pakai yang digunakan oleh suatu bangsa hanya pada saat merebut kemerdekaan. Prinsip VII ini memfokuskan terhadap pengeturan mengenai internal self-determination dan komitmen terhadap sifat berkelanjutan dari hak penentuan nasib sendiri. Menurut interpretasi yang diberikan oleh Prinsip VII ini, hak penentuan nasib sendiri tidak merujuk kepada suatu suku bangsa minoritas tertentu saja, tapi kepada suatu kumpulan penduduk yang secara nyata-nyata berdiam dan menjadi populasi dari sebuah negara yang berdaulat.59 The Helsinki Final Act yang disetujui oleh 35 negara ini mewujudkan pemikiran bahwa penentuan hak nasib sendiri merupakan hak permanen dari setiap bangsa untuk memilih status sosial baru atau rezim politik yang sesuai dengan struktur sosial dan kehendak dari masing-masing bangsa. Dimana kehendak tersebut kemudian dapat direfleksikan dalam kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan yang berdaulat, sesuai dengan sifat berkelanjutan dari hak penentuan nasib sendiri yang tidak hanya berhenti setelah kemerdekaan berhasil diraih.60
59
Antonio Cassese, Political Self-determination – Old Concepts, New Developments, (UN Law Fundamental Rights, 1979) hal. 151. 60
Salmon.J., Internal Aspects of the right to Self-determination, dalam Tomuschat, op.cit., hal.268-269
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
41
2.1.6. Charter of Paris
Charter of Paris (Piagam Paris) yang ditandatangani pada November 1990 melalui pertemuan Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE), mempersempit perumusan dari hak penentuan nasib sendiri dan membatasi isinya. Piagam Paris menegaskan sekali lagi persamaan hak dari setiap bangsa dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan Piagam PBB dan norma hukum internasional yang relevan lainnya. Dalam Piagam ini, pengaturan mengenai penentuan nasib sendiri dimasukan dalam Bab mengenai “Friendly Relations among Participating States” dan bukan dalam Bab tentang “Human Dimension” yang merupakan salah satu perwujudan
komitmen
paling
penting
bagi
anggota
CSCE
dalam
pengimplementasian HAM. Bab mengenai Human Dimension dari Piagam ini seperti halnya Helsinki Act, memberi perhatian khusus mengenai hak bagi kaum minoritas, yang tidak termasuk dalam definisi dari penentuan nasib sendiri.61 2.1.7. The Vienna Declaration 1993 (Deklarasi Wina)
The Vienna Declaration and Program of Action yang disetujui pada tahun 1993 oleh UN Conference on Human Rights, mengkonfirmasi ulang dalam hubungannya dengan bagian Pasal 1 dari Kovenan PBB tentang HAM. Seperti halnya aturan dalam hukum internasional lainnya mengenai hak penentuan nasib sendiri, dalam Deklarasi Wina, setelah mengakui hak penentuan nasib sendiri suatu bangsa untuk menentukan status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaannya sendiri, hal yang harus diingat adalah hak tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembenar terhadap aksi-aksi separatis yang dapat memecah atau merusak, keseluruhan atau sebagian keutuhan wilayah dari sebuah negara yang berdaulat.62
61
Kumbaro, op.cit., hal.21
62
Carley, op.cit., hal.11
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
42
2.1.8. Yurisprudensi Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional telah mengakui prinsip dari penentuan nasib sendiri dalam sejumlah kasus terutama dalam konteks dekolonialisasi. Dalam Advisory Opinion terkait masalah Namibia, hak penentuan
nasib sendiri
sebagaimana dimaksudkan oleh PBB diakui; “the subsequent development of international law in regard to non-self governing territories, as enshrined in the Charter of the United nations, made the principle of self-determination applicable to all of them”63 ICJ kemudian juga berusaha untuk meperluas interpretasi yang sudah ada dari hak penentuan nasib sendiri serta memperhatikan pengaruh dari hak tersebut dalam Advisory Opinion mereka mengenai Sahara Barat. Merujuk kepada Resolusi Majelis Umum PBB No.1514 (XV), ICJ berpendapat bahwa: “The above provisions, in particular paragraph 2 [defining selfdetermination] requires a free and genuine expression on the will of the peoples concerned.”64 Kemudian jelas terlihat dari tulisan berikutnya dalam Advisory Opinion ini bahwa hak penentuan nasib sendiri harus selalu berasal dari kebebasan berekspresi dan kehendak suatu bangsa; “ …the need to pay regard to the freely expressed will of the peoples,…”65 Akan tetapi interpretasi yang diberikan oleh ICJ ini sangatlah minim dan tidak jelas. Interpretasi dari dua Advisory Opinion tersebut lebih terlihat sebagai sebuah pemberi semangat dan dorongan dalam penggunaan prinsip penentuan nasib sendiri daripada sebagai sebuah standar umum terhadap pemakaian hak
63
Legal Consequences for States of the Continued Presence of South Africa in Namibia (South West Africa) notwithstanding Security Council Resolution 276 (1970), Advisory Opinion, ICJ Reports 1971, hal.16 paragraf 52. 64
Western Sahara Advisory Opinion, ICJ Reports 1975, paragraf 55.
65
Ibid, Paragraf 59
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
43
penentuan nasib sendiri terhadap bangsa-bangsa terjajah yang berjuang meraih kemerdekaan pada tahun 1960an saat itu.66 Yang terbaru, sebagai telah disebutkan di awal pembahasan, hak penentuan nasib sendiri kembali diakui oleh ICJ dalam kasus menyangkut Timor Timur, ICJ berpendapat bahwa penentuan nasib sendiri merupakan salah satu dari prinsip esensial dari Hukum Internasional saat ini.
2.2. Aspek-Aspek Yang Terkandung Dalam Hak Penentuan Nasib Sendiri
Setelah mengetahui tempat hak penentuan nasib sendiri dalam perjanjian internasional dan yurisprudensi Mahkamah Internasional, hal berikutnya yang harus diketahui adalah aspek-aspek yang terkandung dalam hak penentuan nasib sendiri. Bentuk pertama dari hak penentuan nasib sendiri adalah Right of Internal Self-Determination. Sumber Hukum Internasional yang diakui membenarkan bahwa hak suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri melalui internal selfdetermination merupakan upaya suatu bangsa untuk mendapatkan pengakuan status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam kerangka satu kesatuan negara yang berdaulat. Dimana aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan tersebut dalam hak penentuan nasib sendiri saling berhubungan dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Saling ketergantungan setiap aspek tersebut dapat dilihat melalui pengakuan penuh dan implementasi dari masingmasing aspek tersebut. •
Aspek Politik menunjukan sebuah pemikiran bahwa termasuk di dalam hak penentuan nasib sendiri adalah kemampuan dari suatu kelompok orang untuk menentukan secara kolektif, nasib politiknya melalui cara-cara yang demokratis.67 Definisi dari penentuan nasib sendiri termasuk kepada hak suatu bangsa yang terorganisir dalam suatu wilayah yang tetap untuk menentukan nasib politiknya dalam cara demokratis, atau hak dari suatu bangsa yang hidup dalam negara yang merdeka dan berdaulat untuk bebas 66
Cassese.,op.cit. , hal.89
67
Franck, T.M., “The Emerging Right to Democratic Governance”, (86 American Journal of International Law, 1992): 52
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
44
memilih pemerintahannya, untuk mengangkat institusi perwakilan dan untuk secara periodik memilih perwakilannya dengan prinsip kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih kandidat ataupun partai politik yang ada.68 •
Aspek ekonomi dari hak penentuan nasib sendiri pertama kali dimanifestasikan, dalam bentuk hak bagi semua bangsa untuk menentukan sistem ekonomi sendiri dalam rezim pemerintahan yang berkuasa dengan semangat kemerdekaan dan kedaulatan. Lebih jauh, dari sudut pandang ekonomi, hak tersebut juga termasuk penggunaan secara permanen oleh suatu bangsa kedaulatan atas pemanfaatan sumber daya alam, dan melindungi wilayah mereka dari kegiatan-kegiatan eksploitasi oleh perusahaan multinasional yang dapat merugikan secara ekonomis suku bangsa asli yang mendiami wilayah tersebut. Bagaimanapun juga, penghormatan terhadap prinsip kedaulatan harus tetap dapat memberikan jaminan terhadap investasi asing.69
•
Aspek sosial mengandung arti bahwa setiap bangsa di dunia mempunyai hak untuk memilih dan menentukan sistem sosial di wilayah mereka berdiam. Aspek ini terutama berkaitan dengan tegaknya keadilan sosial, dimana semua bangsa memilikinya, dan lebih luas lagi, termasuk kepemilikan efektif atas hak sosial masing-masing bangsa tanpa adanya diskriminasi.70
•
Aspek budaya berhubungan dengan pembentukan adat-istiadat dan kebudayaan masing-masing bangsa, yang merupakan elemen sangat penting dari hak penentuan nasib sendiri. Hal tersebut termasuk pengakuan akan hak untuk memperoleh, menikmati dan menurunkan warisan
68
Eide, A., “Minority situations: In search for peaceful and Constructive Solution”, (66 Notre Dame Law Review, 1991) : 1335 69
Kumbaro, op.cit., hal.24
70
Report of the Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities on its twenty-sixth session, E/CN.4/1128, paragraf 28
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
45
kebudayaan, serta penegasan akan hak bagi semua orang untuk memperoleh pendidikan.71 Bentuk berikutnya dari Right of Self-Determination adalah Right of External Self-Determination. Hak penentuan nasib sendiri secara eksternal ini timbul dalam kasus-kasus yang ekstrim dan ditetapkan dalam keadaan-keadaan tertentu (umumnya dalam konteks dekolonisasi). External self-determination ini telah ditentukan bentuknya dalam Declaration on Friendly Relations , yaitu : ”the establishment of a sovereign and independent State, the free association or integration with an independent State or the emergence into any other political status freely determined by a people constitute modes of implementing the right to selfdetermination by that people.”
2.3. Pemegang Hak Penentuan Nasib Sendiri
Instrumen hukum internasional menerangkan bahwa hak penentuan nasib sendiri dimiliki oleh ”peoples.” Disamping berarti sekumpulan orang dalam jumlah yang besar, tidak ada arti yang tepat untuk mendefinisikan
istilah
“peoples” ini. Istilah ”peoples” bisa saja berarti semua orang yang ada pada sebuah Negara berdaulat, atau bisa saja didefinisikan sebagai sekelompok orang yang pengelompokannya dapat berdasarkan ras, etnis, atau bahkan agama. Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “people” didefinisikan; “A nation on in its collective and political capacity. The aggregate or mass of the individuals who constitute the state. In a more restricted sense, and as generally used in constitutional law, the entire body of those citizns of a state or nation who are invested with political power for political purposes.” Keputusan Mahkamah Agung Kanada dalam kasus pelepasan Quebec mencoba untuk memastikan pengertian dari istilah “people” (dalam bentuk tunggal) untuk penggunaannya dalam hak penentuan nasib sendiri sebagai berikut:
71
Ibid
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
46
“ It is clear that a “people” may include only a portion of the population of an existing state. The right to selfdetermination has developed largely as a human right, and is generally used in documents that simultaneously contain references to ‘nation’ and ‘state’. The juxtaposition of these terms is indicative that the reference to “people” does not necessarily mean the entirety of a state’s population.”72 Walaupun Mahkamah Agung Kanada dalam keputusannya tersebut tidak memberikan definisi mengenai istilah “people”, Mahkamah tersebut dengan wewenangnya menegaskan bahwa “people” dapat merujuk kepada kelompokkelompok individual tertentu saja dalam suatu negara dan bukan keseluruhan penduduk dari suatu negara. Mahkamah Agung Kanada tersebut menyampaikan alasan dari pernyataan mereka sebagai berikut: “To restrict the definition of the term to the population of existing states would render the granting of a right to selfdetermination largely duplicative, given the parallel emphasis within the majority of the source documents on the need to protect the territorial integrity of the existing states, and would frustrate its remedial purpose.”73 Usaha untuk memberikan definisi atas istilah “people” atau “peoples” sudah muncul sejak proses pembentukan Piagam PBB. Pemegang penentuan nasib sendiri dalam Piagam PBB merujuk ke “peoples”.” Sekretariat PBB, dalam upaya untuk menginterpretasi istilah “nation” dan “peoples”, menyarankan sebagai berikut; “...’nations’ is used in the sense of all political entities, States and non-States, whereas ‘peoples’ refers to groups of human beings who may, or may not, comprise States or nations.”74 Usaha selanjutnya untuk mendefinisikan arti dari kata “people” muncul dalam proses pembentukan Covenants on Human Rights 1966 (terdiri atas dua 72
Decision of the Supreme Court of Canada Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996, paragraf 124 73
Ibid.
74
UNCIO DOCS, Vol.XVIII, hal.657-658.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
47
Kovenan yaitu Covenant on Civil and Political Rights 1966 dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966), dimana dalam kedua kovenan ini hak penentuan nasib sendiri merujuk kepada istilah ”all peoples”. Untuk istilah ini, panitia pembentuk Kovenan menyarankan bahwa arti kata tersebut adalah : 1. peoples in all countries and territories, whether independent, trust or nonself-governing, 2.
large compact groups
3. ethnic, religious or linguistic minorities 4.
racial units inhabiting well-defined territories75 Tentu saja, sangat sulit untuk mendefiniskan istilah “people.” Istilah ini
harus bisa dilihat dari dua dasar pembentuknya, yaitu dasar obyektif dan dasar subyektif. Dasar obyektif dari istilah ”people” adalah bahwa keberadaan suatu kelompok entitas pasti dihubungkan berdasarkan kesamaan sejarah. Sekelompok orang tertentu yang tidak memiliki kesamaan tradisi tidak dapat dikategorikan sebagai ”people”. Ada pula dasar subyektif, dimana dasar pembentuk ”people” tidak cukup hanya berdasarkan fakta keetnisan ataupun sejarah, tetapi juga berdasarkan kesamaan semangat, jiwa dan watak dari suku bangsa-suku bangsa yang ada di sebuah negara. Tampak nyata bahwa telah banyak dilakukan bermacam-macam upaya untuk meleburkan
dan menyelaraskan bermacam-macam definisi dari terminologi
”peoples” atau ”people” ini. Suatu bangsa bisa lahir atas kesadaran diri dari sekelompok orang yang mempunyai persamaan rasial, kebudayaan atau karakteristik sejarah yang membedakan kelompok ini dari bangsa yang lain. Lebih jauh lagi, sebagaimana disoroti oleh negara-negara peserta Covenant on Civil and Political Rights 1966 dalam laporan mereka kepada Human Rights Committee, syarat lainnya agar suatu suku bangsa berhak untuk mengklaim hak mereka atas penentuan nasib sendiri adalah dengan menunjukkan hubungan mereka yang erat dan sudah berlangsung lama dengan wilayah kediaman mereka
75
Bossuyt, M.J., Guide to the “Travaux Prepatoires” of the International Covenant on Civil and Political Rights, (Martinus Nijhoff Publishers,1987) hal.32.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
48
sendiri.76 Implikasi praktis dari persayaratan ini adalah bahwa tidak mungkin muncul hak penentuan nasib sendiri oleh suatu bangsa tanpa bangsa tersebut memiliki tempat kediaman yang jelas (wilayah) dimana mereka bisa mengklaim dan menikmati hak tersebut.
2.4. Hak Untuk Melepaskan Diri ( Right of External Self-Determination) Dan Kewajiban Menghormati Keutuhan Wilayah Sebuah Negara Dalam konteks pembahasan kemerdekaan negara Kosovo, maka yang akan ditelaah lebih jauh adalah mengenai upaya suatu bangsa untuk melepaskan diri (external self-determination) dari suatu Negara yang berdaulat. Karena internal self-detrmination right lebih ke upaya upaya suatu bangsa untuk mendapatkan pengakuan status politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam kerangka satu kesatuan negara yang berdaulat dan bukan bertujuan untuk mendirikan negara baru dengan jalan pemisahan diri. Walaupun hukum internasional tidak secara spesifik memberikan hak kepada suatu bangsa untuk memisahkan diri dari Negara asal yang berdaulat dan harus dihormati keutuhan wilayahnya, hukum internasional juga tidak menyangkal secara tegas akan keberadaan hak tersebut.77 Hukum internasional selain melindungi dan menghormati keutuhan wilayah suatu Negara, secara bersamaan juga memberikan ”keleluasaan” untuk lahirnya negara-negara baru. Fakta yang tidak terbantahkan saat ini adalah pemisahan diri merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri. Dan banyak negaranegara baru lahir dengan berdasarkan kepada hak ini.78 76
Third Periodic Report of France to the Human Rights Committee, 15 Mei 1997, Fourth Periodic Report of the Russian Federation to the Human Rights Committee, 22 Februari 1995, dan Initial report of the United States of America to the Human Rights Committee, 24 Agustus 1994.
77
Decision of the Supreme Court of Canada Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996,paragraf 112 78
Thornberry, P.,”Self-Determination, Minorities, Human Rights,: A Review of International Instruments”, (38 International and Comparative Law Quarterly, 1989): 98.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
49
Tidak bisa dibantah bahwa hak untuk melepaskan diri dengan kedok bermacam-macam nama merupakan sebuah pengecualian terhadap prinsip keutuhan wilayah. Akan tetapi yang perlu ditekankan adalah prinsip keutuhan dan kedaulatan wilayah sebuah negara juga merupakan sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah negara selalu menjadi konsiderans utama dalam penyusunan setiap Konvensi Internasional. Oleh karena itu, Hak penentuan nasib sendiri tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembenar terhadap aksi-aksi separatis yang dapat memecah atau merusak, keseluruhan atau sebagian keutuhan wilayah dari sebuah negara yang berdaulat.79 Menurut Mahkamah Agung Kanada, hak penentuan nasib sendiri tidaklah dapat dibenarkan jika pemerintah yang berkuasa dari suatu negara yang berdaulat benar-benar mencerminkan aspirasi dari rakyat penduduknya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan serta memerintah secara adil dan tidak diskriminatif. Jika suatu negara memenuhi kriteria-kriteria tersebut maka keutuhan wilayah dan kedaulatan negara tersebut harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat.80 Telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak untuk memisahkan diri bisa muncul dalam keadaan-keadaan khusus tertentu, selain dalam konteks dekolonisasi. Yaitu, ketika suatu bangsa dihalangi haknya oleh pemerintahan yang berkuasa dalam menikmati internal self-determination right (untuk mendapatkan status politik,ekonomi, sosial dan budaya), maka sebagai jalan terakhir yang diperbolehkan dalam hukum internasonal adalah melalui upaya melepaskan diri dari Negara tersebut (external self-determination right). Sebagaimana Mahkamah Agung Kanada menegaskan dalam kasus Quebec: “The international law right to self-determination generates at best, a right to self determination...where a people is 79
Cassesse, op.cit., hal.222
80
Decision of the Supreme Court of Canada Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996, paragraf 130.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
50
oppressed... or where a definable group is denied meaningful access to government to pursue their political, economic, social and cultural development. In all three situations, the people in question are entitled to the right to external self-determination because they have been denied the ability to exert internally their right to self-determination”.81 Pada faktanya terdapat beberapa bukti
dimana hukum kebiasaan
internasional mendukung hak untuk pelepasan diri. Hal ini bisa dilihat dalam praktek hukum internasional terkait lahirnya Negara baru dalam beberapa dekade terakhir, yang bisa memberi kesan diakuinya hak untuk melepaskan diri dalam situasi-situasi khusus tertentu. Contohnya adalah kejatuhan Uni Sovyet yang kemudian terpecah-pecah menjadi banyak negara dan perpecahan Republik Yugoslavia. Harus dicatat, bahwa sukses dari klaim untuk melepaskan diri Negara-negara baru adalah sebagian besar karena kehendak komunitas internasional untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Respons dari masyarakat internasional melawan tuntutan pelepasan diri (secession) oleh secessionist (rakyat yang ingin melepaskan diri) dapat terdiri dari beberapa elemen sebagai berikut: •
Hak untuk melepaskan diri tidak diberikan secara eksplisit dan juga tidak ditolak oleh sistem internasional. Pengakuan oleh komunitas internasional untuk pemerintahan yang dibentuk oleh secessionist dapat timbul jika 1) pemerintahan telah menunjukkan kemampuan mengontrol wilayahnya secara berkelanjutan 2) pemerintahan tersebut telah membuat aturan untuk menerima kewajiban
internasional, dan 3) telah diambil langkah
konstitusional untuk memastikan otonomi politik bagi kelompok minoritasnya jika kelompok minoritas tersebut menginginkannya. •
Kekerasan fisik yang hebat dan luas dari otoritas yang berkuasa untuk melawan kekuatan secessionist dianggap dapat memberikan ancaman kepada keamanan dan kedamaian internasional. Hal ini berarti bahwa, aliran pengungsi, hilangnya nyawa manusia,dan kacaunya perdagangan internasional dari dan ke daerah konflik, dapat mengubah perang sipil dari level domestik ke level internasional.
81
Ibid, paragraf 138.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
51
•
Negara baru yang diciptakan melalui pelepasan diri diberikan batasan wilayah negara yang telah dipakai secara administratif sebelum kemerdekaan diraih, ketika negara baru tersebut masih merupakan bagian dari negara asal (uti possidetis iuris).82
Berikut
adalah
beberapa
pembahasan
yang
mencoba
untuk
mengidentifikasi dan mendiskusikan gerakan pelepasan diri dari Eritrea dan Timor Timur, yang difokuskan dalam pola kebiasaan negara-negara yang kemudian dapat mengkristal menjadi hukum kebiasaan internasional. 2.4.1. Kasus Eritrea83
Kasus Eritrea merupakan masalah dekolonisasi yang memiliki sifat khusus. Eritrea adalah bekas koloni Negara Italia, dan Ethiopia sebagai negara bekas jajahan Italia mengklaim bahwa mereka mempunyai legitimasi atas Eritrea dan menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari wilayah Ethiopia. Sementara itu, bangsa Eritrea berpegang bahwa mereka mempunyai hak penentuan nasib sendiri, yang mana hak tersebut tidak pernah diakui oleh Ethiopia Antara abad ke-sebelas dan ke-sembilan belas, Eritrea menjadi bagian dari wilayah Ethiopia. Pada 1885-1889 Eritrea dijajah oleh Italia, dan secara berangsur-angsur berubah menjadi koloni Italia berdasarkan Traktat Uccialli pada tahun 1889, yang ditandatangani Italia dengan Ethiopia. Berdasarkan traktat tersebut, Ethiopia setuju untuk memberikan kedaulatan atas Eritrea kepada Italia. Sehingga wilayah tersebut menjadi unit kolonial Italia. Ketika
penguasaan
kolonial
Italia
berakhir,
Britania
Raya
mengadministrasikan Eritrea dibawah perwalian mereka hingga tahun 1952. Ketika perwalian Britania Raya belum berakhir, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi nomor 390(V) tanggal 2 Desember 1950, yang memutuskan bahwa Eritrea merupakan bagian dari Ethiopia. Majelis Umum PBB dalam mengeluarkan resolusi ini dianggap tidak mempertimbangkan kehendak 82
Franck, T.M., op.cit., hal. 5.
83
Hasil rangkuman/kesimpulan dari berbagai sumber pustaka.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
52
dari penduduk lokal Eritrea, melainkan hanya mendengar pendapat dari elit-elit partai politik lokal tanpa pernah mengadakan referendum untuk mengetahui kehendak sebenarnya dari bangsa Eritrea. Rakyat Eritrea sejak 1961 membentuk pergerakan pembebasan, Eritrean Liberation Front (Front Pembebasan Eritrea), yang kemudian diikuti oleh pergerakan militer lain pada 1970 untuk melepaskan diri dari Ethiopia. Setelah kejatuhan dari pemerintahan Mengitsu, rakyat Eritrean memperoleh kendali penuh atas Eritrea, dan setelah referendum pada 1993 Eritrea memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tahun 1952 ketika PBB memutuskan Eritrea bergabung menjadi bagian wilayah Ethiopia, PBB tidak mendengarkan kehendak dari penduduk lokal Eritrea. Jadi, pada saat itu, hak penentuan nasib sendiri yang dimiliki oleh bangsa Eritrea tidak pernah mereka nikmati. Pada saat referendum diadakan pada 1993, barulah bangsa Eritrea benar-benar mendapatkan apa yang sebenarnya mereka inginkan yaitu kemerdekaan. Sehingga nyata terlihat dalam kasus ini, bahwa bangsa Eritrea berhasil dalam tuntutannya untuk meraih kemerdekaan dengan alasan sebagai berikut: 1) pergerakan pembebasan Eritrea berlangsung di wilayah asli bangsa Eritrea; 2) Hak mereka untuk menentukan nasib sendiri pada masa lampau tidak diimplementasikan karena kesalahan dari komunitas internasional (PBB) yang memutuskan Eritrea bergabung dengan Ethiopia. Jadi, dalam kasus ini klaim atas keutuhan wilayah dikesampingkan oleh hak penentuan nasib sendiri bangsa Eritrea.
2.4.2. Kasus Kemerdekaan Timor Timur
Pulau Timor terletak di utara Australia, di bagian selatan tengah dari rangkaian pulau-pulau Republik Indonesia. Bagian barat dari pulau itu adalah jajahan Blanda dan menjadi bagian Indonesia ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, sementara Timor Timur adalah jajahan Portugis. Pada tahun 1960, Majelis Umum PBB menempatkan Timor Timur dalam daftar wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Tahun 1974, dengan
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
53
mengakui hak penentuan nasib sendiri dari rakyat Timor Timur, Portugal berupaya membentuk pemerintahan sementara dan mendirikan majelis rakyat, yang akan menentukan status Timor Timur. Tetapi sebelum status Timor Timur ditentukan, perang saudara meletus tahun 1975 antara partai-partai politik yang baru terbentuk. Portugal menarik diri dari Timor Timur, dan menegaskan bahwa mereka tidak bisa menguasai keadaan di sana. Salah satu pihak yang bertikai dalam perang saudara tersebut, memproklamasikan kemerdekaan dan mengumukan bahwa Timor Timur berdiri sebagai sebuah negara sendiri. Sementara pihak yang lain mengumumkan bahwa rakyat Timor Timur menginginkan untuk berintegrasi dengan Indonesia. Pada tanggal 8 Desember 1974, Presiden Indonesia Soeharto dengan resmi menyatakan ”Sikap Dasar” Indonesia terhadap masalah Timor Timur sebagai berikut: •
Tidak mempunyai ambisi territorial
•
Menghormati hak rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri
•
Bila rakyat Timor Timur ingin bergabung dengan Indonesia maka tidak mungkin bergabung sebagai negara, melainkan akan menjadi sebagian wilayah dari negara kesatuan Republik Indonesia.84
Bulan Desember 1975, tentara militer Indonesia mendarat di Timor Timur, dan dibentuklah pemerintahan sementara untuk menguasai keadaan di sana. Akibat tindakan Indonesia tersebut, Portugal memutuskan hubungan dengan Indonesia dan membawa masalah Timor Timur ke depan Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB meminta Indonesia untuk menarik pasukannya, dan mendesak semua negara untuk menghormati integritas wilayah Timor Timur, serta hak-hak rakyatnya untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples 1960. Permintaan Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB tersebut diabaikan oleh Indonesia. Indonesia berdalih bahwa pada waktu Portugal menarik diri dari
84
Soekanto, Integrasi;Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur, (Jakarta;Yayasan Parkesit,1976), hal.99.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
54
Timor Timur, dan menegaskan bahwa mereka tidak bisa menguasai keadaan di sana,maka secara definitif telah terjadi kekosongan kekuasaan atau vacuum power theory atau terra nullius. Karena itu rakyat Timor Timur berdaulat sepenuhnya terhadap wilayahnya sendiri dan mempunyai kebebasan untuk menentukan status politiknya sendiri.85 Pemerintahan sementara Timor Timur dibentuk Indonesia pada tahun 1976 dan menyelenggarakan pemilihan untuk pembentukan majelis, yang kemudian bersidang memutuskan untuk menyerukan integrasi dengan Indonesia. Indonesia pun kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur untuk mengesahkan integrasi wilayah Timor Timur. Gerakan militer pro kemerdekaan pun mulai melancarkan perlawanan dan kampanye melalui dunia internasional. Dalam kampanye mereka, gerakan pro kemerdekaan berpendapat bahwa rakyat Timor Timur belum melaksanakan dan mendapatkan hak penentuan nasib sendiri. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia merupakan suatu bentuk pencaplokan wilayah. Sementara Indonesia berpendapat bahwa proses dekolonisasi telah berakhir dengan keluarnya Portugal dari wilayah tersebut, dan rakyat Timor Timur melalui majelis yang dibentuk melaui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat Timor Timur sendiri telah memutuskan untuk berintegrasi dengan Indonesia. Berarti rakyat Timor Timur telah melaksanakan hak penentuan nasib mereka sendiri. Akan tetapi, PBB tidak mengakui legitimasi dari majelis yang dibentuk pada masa pemerintahan sementara Indonesia tersebut, dan menganggap apa yang dilakukan oleh Indonesia merupakan suatu bentuk aneksasi, serta tetap mengakui Portugal sebagai negara pengurus (administering) yang sah dari wilayah Timor Timur. Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu usaha yang cukup kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Semua kenyataan obyektif dapat membenarkannya. Baik kenyataan historis, geografis etnologis, genealogis, dan kultural, yang ditambah dengan aspirasi rakyat Timor Timur sendiri. 85
Suryokusumo, op.cit., hal.98
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
55
1. Historis Penelusuran sejarah membuktikan bahwa dahulu Timor Timur merupakan wilayah kerajaan Sriwijaya, dan juga kemudian merupakan wilayah Majapahit. Baik Sriwijaya maupun Majapahit, keduanya merupakan kerajaan yang dalam dunia internasional diakui sebagai cikal bakal Indonesia sebelum datangnya era kolonialisme. Sejarah juga mencatat bahwa terpisahnya Timor Timur dari kesatuan wilayah Indonesia karena adanya perselisihan wilayah jajahan antara Portugal dan Belanda.
2. Geografis Adanya kesatuan geografis antara Timor Timur dan Indonesia tampak jelas dalam peta geografis. Timor Timur terletak di bagian timur pulau Timor yang merupakan salah satu pulau dari rangkaian kepulauan Indonesia. 3. Etnologis, Genealogis dan Kultural Semua suku bangsa yang ratusan jumlahnya di kepulauan Indonesia dahulunya berasal dari satu tempat, yaitu di Teluk Tonkin. Antara tahun 2000 s/d 1500 SM, nenek moyang bangsa Indonesia mulai menyebar termasuk sampai di pulau Timor. Itulah sebabnya sampai sekarang masih jelas benar, bahwa ratusan suku yang ada di Indonesia menunjukkan adanya kesatuan etnologis dan kultural. Bahkan antara rakyat Timor Timur dan Timor bagian barat (Nusa Tenggara Timur, salah satu provinsi Indonesia), masih jelas adanya kesatuan genealogis. Mereka adalah satu turunan yang masih sangat dekat. Mereka tetap saling berhubungan dan saling kunjung-mengunjungi sebagai suatu keluarga.86 Berdasarkan permintaan Majelis Umum PBB, Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1983 memulai perundingan dengan Indonesia dan Portugal untuk menyelesaikan masalah Timor Timur
secara adil dan komprehensif dengan
memperhatikan sepenuhnya hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur. Perundingan ini berlarut-larut dan mengalami maju mundur hingga memakan waktu bertahun-tahun. Baru pada tanggal 5 Mei 1999 di New York dicapai kesepakatan pelaksanaan jajak pendapat, yang memberikan rakyat Timor Timur
86
Ibid., hal.101-102.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
56
kesempatan untuk memilih antara status otonomi khusus di dalam wilayah Indonesia atau transisi menuju kemerdekaan di bawah pengurusan PBB.87 Berdasarkan kesepakatan itu, Dewan Keamanan PBB membentuk United Nations Administration Mission in East Timor (UNAMET) dengan tugas mengorganisasikan dan menyelenggarakan pendaftaran pemilih referendum. Dalam referendum yang berlangsung pada 30 Agustus 1999, 78,5 persen dari 450.000 pemilih yang terdaftar menolak usulan otonomi dan akhirnya rakyat Timor Timur dengan hak penentuan nasib sendiri memulai proses transisi menuju kemerdakaan. Indonesia meninggalkan Timor Timur pada 28 September 1999, Indonesia dan Portugal sepakat bahwa PBB mengambil alih otoritas atas Timor Leste. Pada 25 Oktober di tahun yang sama, Dewan Keamanan memutuskan melalui Resolusi 1272 (1999) untuk membuat UN Transitional Administration in East Timor (UNTAET) dengan tugasnya membentuk pemerintahan sipil di seluruh wilayah Timor Timur, membantu membangun pelayanan sosial, membantu dalam upaya rekonstruksi, dan membangun kapasitas Timor Timur menuju pembentukan satu negara.
87
“Basic Facts; About the United Nations,” (News and Media Division United Nations Departmenr of Public Information, 2000): 283.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
57
BAB 3
INTERVENSI MILITER NATO DALAM KONFLIK KOSOVO
3.1. Intervensi Militer Dalam Hukum Internasional
Jika membahas intervensi militer yang dilakukan NATO dalam konflik Kosovo maka kita akan tiba pada pembahasan mengenai suatu bidang yang relatif baru dalam hukum internasional, yaitu Hukum Humaniter Internasional. Istilah Hukum
Humaniter
Internasional
atau
lengkapnya
disebut
international
humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum bersengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Lauterpacht secara singkat menjelaskan pengertian hukum perang; ”Laws of war are the rules of the law of nations respecting warfare” 88 Starke memberikan definisi terhadap hukum perang; “The laws of war consist of the limits set by International law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principles there under governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict.” 89
Herzegh merumuskan International Humanitarian Law sebagai berikut; ”Part of the rule of public international law which serves as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them-but must be clearly distinguished from these, its purpose and spirit being different.”90
.88 H. Lauterpacht (Ed), International Law Vol.II, 1955, hal 226, Dalam Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Ed. Kushartoyo, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005), hal.6. 89
90
J.G. Starke, op.cit., hal.585 Geza Herzegh, Recent Problem of International Humanitarian Law, 1977, hal.86. Dalam
Haryomataram,op.cit., hal.6
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
58
3.1.1. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
Perang dikenal sebagai suatu jalan keluar terakhir apabila terdapat ketidaksesuaian atau perbedaan kepentingan antar negara. Namun, perang juga membawa kerugian yang luar biasa, khususnya bagi rakyat sipil yang negaranya sedang berperang. Beranjak dari pemikiran untuk mengurangi kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh perang tersebut, hampir setiap suku bangsa dan budaya mengeluarkan sejumlah aturan mengenai perang.91 Sun Tzu ( 298-238 S.M ), seorang filsuf asal China, pernah menuangkan pendapat dan pemikirannya yang lengkap mengenai peperangan. Adapun doktrinnya yang terkenal adalah: “To capture the enemy’s army is better than to destroy it; to take intact a battalion, a company or fiveman squad is better than to destroy them. For to win one hundred victories in one hundred battles in not to acme of skill. To subdue the enemy witout fighting is the acme of skill.”92 Ajaran semacam Sun Tzu ini dapat pula ditemukan dalam kebudayaan lain. Misalnya pada kebudayaan Hindu India, ajaran tentang perang dituangkan dalam kitab yang berjudul The Book of Manu, pada tahun kira-kira 600 S.M. Doktrin yang terkenal dalam kitab ini adalah: “Let him not strike … one who is naked, nor one who is disarmed, nor one who looks without taking part in the fight.”93
Dari kedua ajaran dari peradaban kuno sebelum masehi tersebut dapat dilihat bahwa sejak dahulu sudah ada kecenderungan untuk memasukkan unsur kemanusiaan (humanity), yang merupakan karakter khas dari hukum internasional
91
Hans-Peter Gasser, International Humanitarian Law; An Introduction, (Vienna: Paul Haupt Publishers,1993), hal. 6 92
Sun Tzu, The Art of War, ditejemahkan oleh Samuel B.Griffith (New York University Press,1971), hal.77. 93
Nicholas Rostow, “The International Use of Force After the Cold War”, (32 Harvard International Law Journal,1991): 411.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
59
humaniter masa kini, dalam peraturan mengenai perang. Ajaran dari The Book of Manu tersebut di atas, misalnya, merupakan perintis lahirnya principle of distinction atau asas pembedaan antara masyarakat sipil dengan tentara.94 Adapun upaya, pada peradaban modern, untuk membuat peraturan yang mengikat mengenai perang dimulai pada abad 19. Upaya ini dirintis oleh JeanJacques Rousseau (1712-1778), seorang filsuf dan politikus asal Perancis, yang menuangkan idenya mengenai perang dalam bukunya The Social Contract (1762). Rousseau mengemukakan asas-asas yang melandasi hukum internasional, seperti dikutip berikut ini: “War is in no way relationship of man with man but a relationship between States, in which individuals are only enemies by accident, not as men, but which individuals are only enemies by accident, not as men,but as soldiers. …Since the aim of war is to subdue a hostile State, a combatant has the right to kill the defenders of the State while they are armed; but as soon as they lay down their arms and surrender, they ceade to be either enemies or instruments of the enemy; they become simply men once more, and no one has any longer right to take their lives.” 95 Inti dari ajaran Rousseau tersebut adalah pentingnya pembedaan antara masyarakat sipil (non-kombatan) dengan tentara militer (kombatan), karena tujuan perang adalah untuk menghancurkan angkatan bersenjata negara musuh, bukan untuk menghansurkan negara musuh, apalagi rakyat sipilnya. Setelah ajaran Rousseau, muncullah tokoh-tokoh yang mencoba mewujudkan gagasan Rosseau ke dalam hukum internasional. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi pionir perkembangan hukum perang yang kemudian menjadi hukum humaniter internasional.
1) Francis Lieber (1800-1872) Pada masa perang saudara Amerika Serikat tahun 1863, Presiden Abraham Lincoln
mengeluarkan Instruction for the Government of
94
Chris af Jochnick and Roger Normand, “The Legitimation of Violence: A Critical History of the Laws of War”, (35 Harvard International Law Journal 1994): 49. 95
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, diterjemahkan oleh Maurice Cranston (Penguin Books, 1968), hal.57.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
60
Armies of the United States in the Field.96 Instruksi ini sering juga disebut sebagai Lieber Code karena yang menyusun teks instruksi Presiden Lincoln tersebut adalah Francis Lieber, seorang pengacara berkebangsaan Jerman yang beremigrasi ke Amerika. Instruksi ini berisi sejumlah peraturan yang rinci mengenai peperangan di darat, mulai dari pelaksanaan perang hingga masalah perawatan korban masyarakat sipil. Walaupun instruksi ini bersifat lokal, Lieber Code ini di kemudian hari menjadi sumber inspirasi bagi kodifikasi hukum perang.
2) Jean Henri Dunant (1828-1910) Pedagang asal Jenewa ini menjadi saksi nyata kekejaman perang kemerdekaan Italia yang memakan korban luka 40.000 warga Austria, Perancis dan tentara Italia dalam pertempuran di Solferino, Italia Utara, pada tahun 1859.97 Bersama para sukarelawan lain, Henri Dunant merawat korban yang terluka. Pengalaman yang sangat membekas tersebut kemudian dituangkan beliau ke dalam buku berjudul Un Souvenir de Solferino yang diterbitkan pada tahun 1862. Ternyata buku ini mampu membuka mata masyarakat Eropa tentang pentingnya hukum perang dan terutama pengaturan bagi mereka yang terluka akibat perang. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1864, Henri Dunant bersama rekan-rekannya yang peduli terhadap kemanusiaan dalam kondisi perang mendirikan International Committe of the Red Cross (ICRC) di Jenewa, Swiss. Pada tanggal 22 Agustus tahun yang sama, Konferensi ICRC melahirkan Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field, yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa I.
3.1.2. Sumber Hukum Humaniter Internasional Hukum
Humaniter
dapat
ditemukan
dalam
berbagai
perjanjian
internasional, yang biasanya bersifat multilateral. Mengingat banyaknya 96
U.S. War Department, General Orders No.100, Instructions for the Government of Armies of the United States in the Field 1863. 97
Frits Kalshoven, Constrains on the Waging of War, 2nd ed., (Jenewa: International Committee of Red Cross, 1991),hal.8.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
61
perjanjian-perjanjian yang memuat hukum humaniter, maka dalam tulisan ini akan disebutkan sumber utama saja, yaitu: 1) Konvensi-Konvensi Den Haag 1907
Konvensi-konvensi ini dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian I di Den Haag, Belanda, pada tahun 1899, yang kemudian disempurnakan dalam Konferensi Perdamaian kedua pada tahun 1907. Rangkaian konvensi ini terutama mengatur alat dan cara berperang, yang sebagian besar mengatur tentang perang dilaut, dan hanya ada satu konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konferensi Perdamaian II di den Haag tahun 1907 menghasilkan 13 konvensi dan 1 deklarasi antara lain; 1. Convention I for the Pacific Settlement of Disputes, 2. Convention II respecting the limitation of the employment of force for the recovery of Contract Debts, 3. Convention III relative to the Opening of Hostilities, 4. Convention IV respecting the laws and customs of War on land 5. Convention V respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in case of War on Land, 6. Convention VI relating to the status of Enemy Merchant Ships at the outbreak Hostilities, 7. Convention VII relating to the Convention of Merchant Ships into War Ships 8. Convention VIII relating to the Lying of Automatic Submarine Contract Mines, 9. Convention IX concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War, 10. Convention X for the Adoption to Maritime Warfare of the Principles of the Geneva Convention 11. Convention XI relative to Certain Restrictions with regard to the exercise of the Right of Capture in Naval War,
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
62
12. Convention XII relative to the Creation of an International Prize Court, 13. Convention XIII concerning the Rights and Duties of Neutral Powers in Naval War. 14. Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Ballons.
Dari tiga belas konvensi dan satu deklarasi, Konvensi den Haag IV yang dipandang sebagai pedoman utama dalam menentukan arah hukum internasional humaniter. Karena konvensi tersebut memberikan batasan yang lebih tegas terhadap sarana dan metode peperangan. Prinsip penting yang terdapat dalam Konvensi-konvensi den Haag adalah prinsip yang lazim disebut “Martens Clause”, yang terdapat dalam Preamble Konvensi den Haag. Martens Clause tersebut berbunyi sebagai berikut; “Until a more complete code of the laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection and the rule of the principles of the law of nations, as they result from the usages established among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.” Dalam Martens Clause ini diakui bahwa ketentuan-ketentuan yang dihasilkan belumlah sempurna/lengkap karena masih mungkin ada kejadiankejadian yang belum diatur. Namun demikian dalam keadaan semacam itu, baik penduduk maupun pihak-pihak berperang tetap akan mendapat perlindungan dari hukum internasional, maupun dari kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional yang berhubungan dengan kemanusiaan.98
2) Konvensi-Konvensi Jenewa
Konvensi-Konvensi Jenewa yang jumlahnya ada 4 Konvensi merupakan hasil dari perkembangan hukum perang sesudah Perang Dunia II. Keempat Konvensi tersebut adalah sebagai berikut: 98
Haryomataram, op.cit., hal.46.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
63
1. Konvensi Jenewa I atau Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded Armies in the Field yang dihasilkan dalam Konferensi ICRC 1864, yang kemudian diamandemen pada Konferensi ICRC tahun 1906 dan1929, dan terakhir diamandemen dalam Konfensi Diplomatik Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 bersama dengan Konvensi Jenewa II dan Konvensi Jenewa III. 2. Konvensi Jenewa II atau Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea yang dihasilkan dalam Konferensi ICRC 1899, yang kemudian diamandemen pada tahun 1907, dan terakhir diamandemen dalam Konfensi Diplomatik Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 bersama dengan Konvensi Jenewa I dan Konvensi Jenewa III. 3. Konvensi Jenewa III atau Treatment of Prisoners of War Convention yang dilahirkan dalam Konferensi ICRC 1929, dan kemudian diamandemen dalam Konfensi Diplomatik Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 bersama dengan Konvensi Jenewa I dan Konvensi Jenewa II. 4. Konvensi Jenewa IV atau Protection of Civilian Persons in Time of War Convention 1949 yang dilahirkan dalam Konferensi Diplomatik Jenewa 12 Agustus 1949.
Keempat Konvensi Jenewa tersebut kemudian ditambah dengan dua protokol yang diadopsi tanggal 8 Juni 1977 pada saat berlangsungnya Diplomatic Conference
on
the
Reaffirmation
and
Development
of
International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflicts yang diadakan di Jenewa. Kedua protokol tersebut yaitu: 1. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protokol I) 2. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protokol II)
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
64
3.1.3. Asas-Asas Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional mengenal lima asas utama, yaitu; 1) Asas kepentingan militer (military necessity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. 2) Asas Perikemanusiaan (humanity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan
perikemanusiaan,
dimana
mereka
dilarang
untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 3) Asas Kesatriaan (chivalry) Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.99 4) Asas Pembedaan (distinction) Asas ini membagi penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata (armed conflict) ke dalam dua kategori, yaitu kombatan dan penduduk sipil (civilians).100 5) Asas Proporsionalitas (proportionallity) Black’s Law Dictionary memberikan definisi terhadap asas ini sebagai berikut: “The principle that the use of force should be in proportion to the threat or grievance provoking the use of force.”101
99 100
Joseph L.Kunz, The Changing Law of National,. hal.17 Haryomataram, op.cit, hal.73.
101
Bryan A. Garner, ed., Black’s Law Dictionary, 7th ed., (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1999), hal.1235.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
65
3.1.4. Intervention Menurut Hukum Internasional
Intervention atau dalam Bahasa Indonesia berarti Intervensi, secara umum digunakan untuk menunjukkan adanya tindakan campur tangan oleh pihak asing terhadap urusan internal suatu negara. Dalam hukum internasional, pada dasarnya tidak ada intervensi kepada suatu negara berdaulat yang dapat dibenarkan dan bersifat sah. Pengecualian untuk hak ini adalah suatu intervensi yang terjadi di bawah suatu perjanjian antar negara yang memberikan hak suatu negara untuk mengintervensi negara lain ataupun suatu intervensi yang ditujukan pada suatu negara, yang karena tindakan sewenang-wenang atau kelalaian negara tersebut dipandang salah menurut hukum internasional. Jika dilihat dari sudut hukum, Intervensi dapat dibagi ke dalam tiga kategori,
yaitu:
bela diri
(self
defence), pembalasan
(reprisals),
dan
mempergunakan hak yang diberikan oleh suatu perjanjian.102 Ketiga kategori tersebut dapat dikatakan merupakan pembenaran terhadap dilakukannya suatu intervensi atas negara yang berdaulat. Tentunya pembenaran tersebut tetap dibatasi oleh berbagai peraturan hukum internasional yang berlaku. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teori Intervensi dalam hukum internasional, maka selanjutnya akan dibahas mengenai ketentuan dalam Piagam PBB tentang Intervensi.
3.1.5. Ketentuan Dalam Piagam PBB Tentang Larangan Intervensi Terhadap Urusan Dalam Negeri Suatu Negara Berdaulat (Non-Intervensi)
Dalam Piagam PBB keberadaan prinsip Non-Intervensi dapat ditemukan pada pasal 2 ayat (7): ”Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervence in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any State or shall require the Members 102
Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa: Suatu Pengantar Diterjemahkan oleh Moh.Radjah (Jakarta: Bharatara,1996), hal.259.
Hukum
Internasional,
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
66
to submit such matters to settlement under the present Charter, but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII.” Pasal 2 ayat (7) ini menentukan bahwa Piagam PBB tidak memberikan hak dalam hal apapun kepada PBB untuk ikut campur tangan dalam persoalanpersoalan yang pada hakekatnya menjadi hak suatu negara untuk menjalankan unrusan internal dalam negerinya dengan upaya dan kemampuan sendiri. Tetapi jika suatu negara dalam menjalankan urusan dalam negerinya menimbulkan suatu keadaan yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional atau melanggar hukum internasional maka dapat diadakan tindakan-tindakan paksaan sesuai dengan Bab VII Piagam PBB.103 Pada prakteknya, Pasal 2 ayat (7) ini sering dipakai oleh pihak yang berkepentingan melakukan intevensi sebagai alasan untuk membantah yurisdiksi domestik suatu negara. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa di bawah Piagam PBB hanya berlaku bagi persoalan yang pada pokoknya termasuk dalam “urusan dalam negeri suatu negara.” Suatu permasalahan dalam negeri yang mungkin atau bahkan telah mengancam perdamaian, keamanan dan keselamatan internasional bukan lagi permasalahan “urusan dalam negeri,” melainkan persoalan yang bersifat internasional.104 Kemudian daripada itu, mengenai tindakan khusus ataupun kewenangan yang dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB atau Majelis Umum terhadap masalah-masalah dalam negeri suatu negara berdaulat, menurut PBB tidak dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi, karena hanya terbatas pada bentuk tindakan penyelidikan, pendiskusian, dan pengusulan.105 Piagam PBB sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan domestic jurisdiction dan penafsiran diserahkan kepada masing-masing negara. Menurut Akerhurst’s hal yang tidak termasuk domestic jurisdiction bila tindakan itu melanggar hukum internasional, pelanggaran berat hak asasi manusia, atau sehubungan hak menentukan nasib sendiri dalam kaitannya dengan penjajahan. 103
Djatikusumo, Pemandangan,1956), hal.56. 104 Ibid. 105
Hukum
Internasional
Bagian
Damai,
(Jakarta:
Penerbit
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
67
Namun faktor-faktor politik sering mempengaruhi suara suatu negara dan ini tidak selalu konsisten. Menurut Akerhust’s ketentuan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB ini adalah prinsip untuk tidak intervensi pada masalah-masalah dalam negeri dan ini tidak boleh menghalangi Bab VII Piagam PBB. Dikatakan juga oleh Akerhurst’s bahwa sebetulnya Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB sudah tidak perlu lagi, karena pelanggaran perdamaian, ancaman terhadap perdamaian dan tindakan agresi pada saat
sekarang
secara
otomatis
diperlakukan
bukan
sebagai
domestic
jurisdiction.106 Sementara itu, intervensi dengan kekuatan militer bersenjata dari suatu negara terhadap negara lain yang berdaulat merupakan sesuatu yang dilarang dalam hukum internasional, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB: ”All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsisten with the Purposes of the United Nations.” 107 Pasal ini menegaskan bahwa setiap negara anggota PBB, dalam hubungan internasional mereka, harus menghindarkan dirinya dari penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap integritas territorial atau kemerdekaan politik suatu negara, atau dengan cara apapun bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB. Pelarangan umum ini juga dikuatkan oleh Putusan ICJ dalam kasus Corfu Channel (1949) dan Case Concerning Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua (1986). Hal ini termasuk dalam jus cogens, sebagai norma yang pasti, yang tidak ada subjek hukum internasional dapat melanggarnya.108 Peraturan-peraturan yang dibuat oleh PBB tersebut (baik mengenai larangan non-intervensi maupun pengaturan lainnya), hanya dapat dimodifikasi dengan hukum internasional yang memiliki kekuatan legislatif yang sama.
106
Peter Malaczuk Akehurst’s, Modern Introduction to International Law, 7th Edition (New York: Routledge, 1999), hal.369. Dalam Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006, hal 132-133. 107
United Nations Charter, Chapter I, Article 2 (4)
108
Under No Circumstances Humanitarian Intervention Could Be Justified Under International Law
, diakses pada 2 Oktober 2008, 12.30 Wib.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
68
Artinya hukum regional tidak dapat membatalkan aturan-aturan tersebut, khususnya jika melihat fakta bahwa Piagam PBB mengikat negara anggotanya baik sebagai individu maupun anggota organisasi internasional.109
3.1.6.
Prinsip
Non-Intervensi
Dalam
Declaration
on
Principles
of
International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter 1970.
Selain dalam Piagam PBB, prinsip non-intervensi diperkuat dengan adanya Resolusi Majelis Umum PBB No.2625 (XXV) pada tanggal 24 Oktober 1970 dengan nama Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter (Declaration on Friendly Relations). Prinsip Non-Intervensi Declaration on Friendly Relations 1970 ini terdapat dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “The pinciple concerning the duty not to intervence in matters within the domestic jurisdiction of any State, in accordance with the Charter.” 110 Dari pasal tentang prinsip non-intervensi tersebut jelas terlihat bahwa Declaration on Friendly Relations 1970 ini sangat menjunjung tinggi eksistensi setiap negara untuk tidak diintervensi oleh negara lain.111 Intervensi bersenjata ataupun segala macam bentuk intervensi lainnya yang dapat mengancam kedaulatan dan kemerdekaan negara lain (termasuk kemerdekaan ekonomi, politik, sosial dan budaya) merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional.112
109
Ibid.
110
Declaration on Friendly Relations 1970, Pasal 1 ayat (3)
111
United Nations Publication, United Nations Yearbook 1970, hal.784.
112
Ibid., hal.791.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
69
3.1.7. Pengecualian Terhadap Prinsip Non-Intervensi Dalam Piagam PBB
Piagam PBB memiliki pengecualian terhadap prinsip non-intervensi, yaitu dua keadaan yang dapat dijadikan alasan diperbolehkannya penggunaan kekuatan militer bersenjata. Pertama, dalam pasal 51, yang memberikan hak bagi negara untuk menggunakan kekuatan senjata jika negara tersebut merupakan korban agresi dan tindakan tersebut merupakan upaya untuk menjaga wilayah, kedaulatan, dan kemerdekaannya: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”113 Dalam pasal ini dijelaskan bahwa tidak ada satu ketentuanpun dalam Piagam PBB yang merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap negara anggota PBB, hingga Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Adapun tindakan yang diambil negara anggota PBB dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan PBB dan dengan cara apapun tidak dapat menyinggung kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan PBB, menurut Piagam PBB, untuk sewaktu-waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Kedua, terdapat dalam Pasal 42 Piagam PBB, yaitu: “Should the Security Council consider the measures provided for in Article 41 would be inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international peace and security. Such action may include
113
United Nations Charter, Chapter VII, Article 51.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
70
demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces of Members of the United Nations.” 114 Dalam pasal ini dijelaskan bahwa apabila Dewan Keamanan PBB menganggap bahwa tindakan-tindakan yang ditentukan dalam pasal 41 Piagam PBB115 terbukti tidak cukup, maka dapat diambil tindakan dengan menggunakan kekuatan angkatan udara, laut atau darat, bila tindakan dengan kekuatan militer ini dianggap perlu untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan militer ini termasuk di dalamnya demonstrasi kekuatan militer, blokade, dan tindakan-tindakan lainnya dengan menggunakan angkatan bersenjata udara, laut ataupun darat dari negara-negara anggota PBB.
3.2. Tinjauan Umum Terhadap North Atlantic Treaty Organization (NATO)
Setelah mengetahui tentang kedudukan dan status hukum intervensi militer dalam hukum internasional, pembahasan selanjutnya adalah mengenai NATO sebagai organisasi internasional regional yang melakukan intervensi militer dalam konflik Kosovo.
3.2.1. Sejarah Singkat Pembentukan NATO
NATO berawal dari adanya kekhawatiran negara-negara di Eropa Barat, antara lain Belgia, Perancis, Inggris, Luksemburg, dan Belanda, bahwa peranan PBB adalah kurang efektif dalam menjaga stabilitas dan perdamaian dunia, dengan semakin banyaknya ancaman-ancaman baru yang muncul dan tidak mungkin semua ancaman tersebut ditangani oleh PBB sendirian. Terlebih lagi
114
United Nations Charter, Chapter VII, Article 42
115
United Nations Charter, Chapter VII, Article 41: “The Security Council may decide what measures not involving the use of armed force are to be employed to give effect to its decisions, and it may call upon the Members of the United Nations to apply such measures. These may include complete or partial interruption of economic relations and of rail, sea, air, postal, telegraphic, radio, and other means of communication, and the severance of diplomatic relations.”
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
71
dengan adanya acaman keamanan yang ditimbulkan oleh Uni Soviet yang berusaha untuk melakukan ekspansi di negara-negara Eropa Timur. Setelah kekalahan Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia II, Uni Soviet berusaha memanfaatkan kekosongan kekuasaan di wilayah bagian barat dan timur Uni Soviet. Uni Soviet menggunakan pasukan “red army”
dan “world
communism” nya untuk melakukan kebijakan ekspansi secara besar-besaran yang tentu saja tindakan ini diangggap sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan di Eropa. Uni Soviet, terus berusaha untuk mengembangkan kekuatan militernya. Pada tahun 1945 kekuatan pasukannya telah melebihi 4 juta orang. Uni Soviet dengan cepat dapat menguasai negara-negara di Eropa Timur seperti Albania, Bulgaria, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Polandia, dan Cekoslawakia, serta menjadikan negara-negara tersebut sebagai negara satelitnya. Kebijakan Presiden Stalin, yang notabene menggunakan ideologi komunis, mencapai puncaknya pada bulan Maret 1948, ketika terjadi kudeta di Cekoslowakia yang dilakukan oleh partai komunis menumbangkan pemerintahan yang demokratis. Contoh lain kebijakan ideologi komunis Uni Soviet yang terkenal pada tahun 1948 tersebut adalah tindakan memberlakukan Blokade Berlin (Blockade Berlin), dimana Uni Soviet memblokade seluruh akses lalu lintas darat antara Berlin Barat dan Jerman Barat. Blokade inilah yang memisahkan Jerman menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur.116 Oleh karena terancam dengan adanya tindakan ekspansif dari Uni Soviet itu negara-negara Eropa bermaksud membentuk suatu organisasi pertahanan yang dapat membantu tugas PBB dalam menjaga dan mempertahankan stabilitas keamanan dunia. Piagam PBB sendiri (dalam Pasal 51, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya), memberikan hak kepada negara anggota PBB baik itu secara individu maupun kolektif untuk membentuk suatu pertahanan terhadap setiap ancaman yang mungkin muncul. Pada bulan Maret 1948, perwakilan-perwakilan dari negara Belgia, Perancis, Luksemburg, Belanda, dan Inggris bertemu di Brussel,Belgia, untuk
116
Philippe Sands and Pierre Klein, Bowett’s Law of International Institution. 5th ed. (London: Sweet & Maxwell Ltd., 2001), hal.191
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
72
membahas masalah ekspansif Uni Soviet ini. Dalam pertemuan ini Perdana Menteri Belgia, Paul Henri Spaak mengatakan: “There is but one Great Power that emerged from the war having conquered other territories, and that power is USSR.”117 Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan Brussels Treaty 1948, dimana hasil perjanjian tersebut berisikan kesepakatan dari kelima negara yang bertemu untuk membentuk sistem pertahanan bersama dan juga melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi dan budaya. Pada tanggal 30 April 1948, menteri pertahanan dari seluruh negara peserta Brussels Treaty 1948 bertemu di London untuk membahas seberapa besar jumlah peralatan militer yang dibutuhkan dan seberapa besar bantuan tambahan yang harus diminta kepada Amerika Serikat.118 Rencana pembentukan organisasi pertahanan oleh negara Eropa yang bertemu di London 30 April 1948 tersebut mendapat tanggapan positif dari Amerika Serikat. Pada tanggal 11 April 1948 Sekretaris Negara Amerika Serikat, Jenderal George C. Marshall bersama-sama dengan Arthur H.Vandenbergh dan Tom Connaly mulai melakukan serangkaian pembicaraan mengenai masalah keamanan di wilayah Atlantik Utara. Dalam pembicaraan itu dihasilkan suatu kesepakatan untuk melakukan kerjasama menjaga dan memelihara stabilitas keamanan dan perdamaian dunia dengan berlandaskan pasal 51 Piagam PBB. Akhirnya, pada tanggal 4 April 1949 di Washington, ditandatangani Perjanjian Atlantik Utara (North Atlantic Treaty) oleh 12 negara anggota yaitu Belgia, Perancis, Luxemburg, Belanda, Inggris, Denmark, Italia, Norwegia, Irlandia, Portugal, Amerika Serikat, serta Kanada. Perjanjian ini diratifikasi oleh negara-negara anggota dalam waktu 5 bulan. Pada tahun 1952 Yunani, Turki, dan Jerman menyusul masuk menjadi anggota NATO, diikuti Spanyol tiga puluh tahun kemudian tepatnya 1982. Sampai tahun 2008 keanggotaan NATO mencapai 26 negara, yaitu 12 anggota penandatangan NATO Treaty pertama ditambah Yunani, Turki, Jerman, Spanyol, 117
NATO Facts and Figure: NATO Information Service, 1971 hal.12.
118
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang paling diandalkan untuk membangun kembali Eropa dari kehancuran yang dideritanya yang ditimbulkan dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
73
Hungaria, Polandia, Republik Ceko, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Rumania, Slovakia dan Slovenia.119
3.2.2. Tugas Utama NATO
Yang menjadi tugas utama NATO adalah: 1. Foundation for stability and security; Tugas yang pertama ini adalah untuk menjamin keamanan negara-negara anggota NATO khususnya, dan dunia internasional pada umumnya dengan berdasarkan demokrasi dan kepercayaan bahwa selalu ada caracara damai untuk menyelesaikan suatu konflik 120 2. Consultation and Coordination; Tugas yang kedua ini memberikan kesempatan kepada negara-negara anggotanya untuk saling berkonsultasi satu sama lain dalam setiap hal yang dapat mempengaruhi kepentingan negara-negara anggotanya, termasuk perkembangan yang dapat mengancam keamanannya, dan juga memfasilitasi kerjasama berdasarkan kepentingan bersama.121 3. Collective Defense; NATO berfungsi sebagai penangkal dan pertahanan secara bersama-sama dari setiap agresi militer yang dapat mengancam wilayah-wilayah negara anggotanya.122 119
diakses 13 November 2008 11.00 Wib.
120
Tugas ini didasarkan atas pengaturan dalam pasal 1 NATO Treaty: ” The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle any international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered, and to refrain in their international relations from the threat or use of force in any manner inconsistent with the purposes of the United Nations” 121
Tugas ini didasarkan atas pengaturan dalam Pasal 4 NATO Treaty: “The Parties will consult together whenever, in the opinion of any of them, the territorial integrity, political independence or security of any of the Parties is threatened.” 122
Tugas ini didasarkan atas pengaturan dalam Pasal 5 ayat (1) NATO Treaty: “The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or North America shall be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
74
Tugas utama inilah yang menyokong anggota NATO tersebut adalah ikatan
untuk
bekerjasama
menjaga
keutuhan
dan
perdamaian
Eropa.
Kesetiakawanan dan kesatuan antar anggota memastikan tidak ada anggotanya yang sendirian saja dalam menghadapi gangguan keamanan yang mengancam. Adapun tugas-tugas di luar tugas utama tersebut disesuaikan dengan kondisi dunia pada umumnya yang secara periodik dituangkan dalam NATO Strategic Concept.
3.2.3. NATO Treaty dan Hubungannya dengan Piagam PBB
Sebagaimana disebutkan di awal NATO dibentuk dengan berlandaskan pasal 51 Piagam PBB yang berbunyi: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”123 Adapun tujuan dari pembentukan NATO adalah sejalan dengan tujuan PBB. Hal ini sudah dapat dilihat sejak Preamble paragraf pertama NATO Treaty: “The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all governments.” Hal ini dipertegas kembali pada
Pasal
1
NATO
Treaty,
yang
merupakan deklarasi kebutuhan untuk membatasi ancaman atau penggunaan kekuatan dalam tingkat apapun yang tidak konsisten dengan tujuan PBB; “The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle any international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered, and to refrain in necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area. 123
United Nations Charter, Chapter VII, Article 51.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
75
their international relations from the threat or use of force in any manner inconsistent with the purposes of the United Nations.” Pasal 7 NATO Treaty pun juga menyebutkan bahwa negara-negara yang tergabung dalam Aliansi NATO wajib mematuhi ketentuan dalam Piagam PBB dan mengakui kewenangan utama dari Dewan Keamanan PBB dalam menangani masalah-masalah yang menyangkut perdamaian dan keamanan internasional; “This Treaty does not affect, and shall not be interpreted as affecting in any way the rights and obligations under the Charter of the Parties which are members of the United Nations, or the primary responsibility of the Security Council for the maintenance of international peace and security.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada pada pasal-pasal dari NATO Treaty tersebut jelaslah terlihat bahwa NATO sebagai organisasi internasional regional dalam setiap tindakannya adalah tunduk kepada Piagam PBB.
3.3. Intervensi Militer NATO Dalam Konflik Kosovo; Alasan NATO Dan Status Hukumnya Sebelum melakukan intervensi militer melalui serangan udara, NATO membuat beberapa pertemuan untuk membahas langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk menghentikan konflik di Kosovo. Langkah-langkah melalui perundingan ini antara lain: 1) Pembicaraan Informal Tingkat Menteri Luar Negeri NATO di Luxemburg, 28 Mei 1998 Diawali dengan pertemuan yang dihadiri oleh menteri luar negeri NATO yang mengkhawatirkan kondisi yang tengah berlangsung di Kosovo dan membawa dampak negatif bagi keamanan dan stabilitas wilayah di sekitarnya. Upaya
pencarian solusi politik disepakati bahwa pihak internasional harus
menghormati keutuhan wilayah dan kedaulatan Serbia dan melindungi hak-hak warga sipil etnis manapun. NATO menyarankan agar Presiden Serbia Slobodan Milosevic dan pemimpin etnis Albania-Kosovo segera melakukan upaya konstruktif melalui pembicaraan damai.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
76
Tujuan pertemuan ini adalah: •
Mengakomodir aspirasi komunitas internasional untuk mencari resolusi perdamaian
•
Mendukung stabilitas keamanan wilayah sekitar terjadinya konflik; Albania, Macedonia, dan Italia, dengan mengamankan daerah perbatasan.
2) Pertemuan Tingkat Menteri Pertahanan NATO di Brussel, 11 Juni 1998 Dalam pertemuan ini, NATO mengeluarkan beberapa keputusan, yaitu; a. Kewenangan militer NATO untuk memperhitungkan kemungkinan dilakukannya operasi militer b. Mendukung upaya badan intenasional, OSCE (Organization for Security Cooperation in Europe) dan PBB, untuk memantau perkembangan situasi di Kosovo. c. Melakukan pertemuan dengan Rusia untuk membicarakan langkahlangkah yang dapat ditempuh selanjutnya.124 3) Activation Warning (ACTWARN) 24 September 1998 Tindakan NATO selanjutnya ini menekankan kepada pemerintah Serbia untuk; •
Menghentikan kekerasan terhadap warga sipil Kosovo,
•
Tetap berupaya mencarikan solusi politik yang berbasiskan negosiasi,
•
Mengambil
langkah
komprehensif
untuk
mengurangi
tragedi
kemanusiaan125 4) Exercised Determined Falcon, 15 Juni 1998 124
Roberts, Adam, “NATO’s Humanitarian War Over Kosovo’, (Survival; The International Institute for Strategic Studies, Vol.41 No.3, Autumn 1999), hal 59 125
US and NATO Objectives and Interest in Kosovo, Fact Sheet Released by the US Department of State Washington DC, March 26, 1999, diakses 11 November 2008 pukul 01.00 WIB.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
77
Exercised Determined Falcon ini adalah bagian dari strategi militer NATO di Kosovo, melalui latihan militer udara NATO di bawah Allied Europe Command Structure, di atas wilayah Albania dan Macedonia. Latihan ini digunakan untuk memberi peringatan kepada pemerintahan Yugoslavia.126 5) Activation Order (ACTORD), 20 Desember 199b Activation Order merupakan ultimatum tertinggi NATO tentang kesiapan untuk meluncurkan operasi militer, jika tetap tidak ada perubahan sikap dari pemerintah Yugoslavia dalam mengatasi krisis Kosovo. Ultimatum ini juga merupakan cikal bakal dikeluarkannya Operation Allied Force 24 Maret 1999.127 6) Perundingan Rambouillet Pada tanggal 24 Februari 1999 NATO mengupayakan peace making dengan tujuan mencapai penyelesaian komprehensif untuk mengembalikan perdamaian, dan mendorong terbentuknya pemerintahan sendiri di Kosovo. Negosiator Serbia dan perwakilan dari etnis Kosovo-Albania dipertemukan untuk berunding di Chateau de Rambouillet, Perancis dengan mediasi dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeline Albright. Adapun klausula yang ditawakan: •
Democratic Self-Government; yaitu terbentuknya pemerintahan yang demokratis, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi, dan memiliki sistem pemerintahan yang mandiri di Kosovo.
•
Security; Tentara internasional dan polisi lokal dapat membantu memulihkan stabilitas keamanan pasca konflik.
126
Clark Glen Wes, “ When Force is Necessary: NATO’s military Response to the Kosovo Crisis,” (NATO Review,Summer 1999), hal.15 127
NATO: Operation Allied Force , diakses 11 November 2008 pukul 12.20 WIB.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
78
•
Mechanism for final settlement; Mekanisme keputusan tetap dapat ditentukan melalui sebuah pertemuan lanjutan setelah tiga bulan diberlakukannya kesepakatan perundingan perdamaian.128 Negosiasi antara kedua pihak rupanya tidak berjalan lancar karena pihak
Yugoslavia
menolak
untuk
menandatanganinya.
Klausula
yang
paling
memberatkan pihak Serbia adalah klausula yang mengisinkan pasukan internasional untuk memiliki akses penuh di wilayah Kosovo dan klausula yang menegaskan otonomi daerah Kosovo.129 Serangkaian
perundingan
tambahan
yang
menyusul
Perjanjian
Rambouillet tidak berhasil menggoyahkan niat Presiden Milosevic untuk mundur dari Kosovo, akhirnya NATO memutuskan untuk melancarkan serangan udara pada tanggal 24 Maret 1999 yang disebut Operation Allied Force . 3.3.1. Alasan NATO Melakukan Intervensi Militer Alasan NATO untuk melancarkan Operation Allied Force adalah sebagai berikut: Pertama, operasi militer ini merupakan pemenuhan mandat dari resolusiresolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB sebelumnya sehubungan dengan situasi keamanan di Kosovo, yaitu Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor1199 tanggal 23 September 1998 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1203 tanggal 24 Oktober 1998. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor1199 tanggal 23 September 1998 berisi mandat untuk menghentikan kekerasan terhadap masyarakat sipil, memerintahkan mundurnya pasukan Serbia, repatriasi para pengungsi dan orangorang yang kehilangan tempat tinggal serta akses yang bebas dan tak terbatas
128
Understanding the Rambouillet Accords, (Fact Sheet yang dirilis oleh the Bureau of European Affairs, US Department of State, Washington DC, 1 Maret 199). 129
Bruce R. Nardulli ,et.al, Disjointed War, Millitary Operations in Kosovo, 1999, (Santa Monica: Rand,2001), hal.18
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
79
bagi organisasi-organisasi humaniter yang bertujuan membantu korban yang terluka di Kosovo.130 Adapun Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1203 tanggal 24 Oktober 1998 berisi kewajiban-kewajiban yang diarahkan kepada pemimpin etnis Kosovo-Albania untuk menghentikan aksi terorisme dan mencapai tujuan dengan cara damai, serta Pemerintah Serbia untuk menyadari tanggung jawab utama menjamin kesalamatan dan keamanan personel diplomatik dan pengembalian pengunsi dengan selamat.131 Kedua, adalah adanya hak untuk membela diri secara kolektif sesuai dengan Pasal 7 NATO Treaty. Adanya konflik di Kosovo merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan di negara-negara Eropa karena konflik ini berpotensi meluas ke berbagai wilayah Eropa, yang notabene merupakan negaranegara anggota NATO. Apalagi Yunani dan Italia, anggota NATO berbatasan langsung dengan daerah konflik. Oleh sebab itu NATO berhak untuk menjaga perdamaian
dan
keamanan
wilayah
negara-negara
anggotanya
dengan
melancarkan Operation Allied Force. Alasan ini didukung oleh Pasal 51 Piagam PBB yang menjadi pengecualian prinsip non-intervensi sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. 3.3.2. Status Hukum Intervensi Militer NATO Alasan pertama dari NATO bahwa operasi militer mereka di Kosovo merupakan pemenuhan mandat dari resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dapat menimbulkan pedebatan. Bab VII Piagam PBB menegaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum Dewan Keamanan PBB memberikan mandat bagi penggunaan kekuatan bersenjata, yaitu; Pertama, Dewan Keamanan PBB harus memastikan adanya ancaman terhadap
perdamaian,
pelanggaran
terhadap
perdamaian
atau
tindakan
130
Catherine Guicher, International Law and the War in Kosovo, Survival, The IISS Quarterfly, Vol.41., No.2 (1199), hal.26. 131
Christine M.Chinkin, NATO’s Kosovo Intervention: A “Good”or “Bad” War?, 93 American Journal of International Law. 841 (1999), hal.842.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
80
agresi.132Kedua, sesuai Pasal 42 Piagam PBB yang mewajibkan Dewan Keamanan PBB untuk memastikan apakah upaya-upaya yang tercantum dalam Pasal 41 Piagam PBB tidak cukup untuk menghentikan ancaman, gangguan atau tindakan agresi yang dihadapi.133 Syarat pertama telah dipenuhi dengan dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1199 tanggal 23 September 1998 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1203 tanggal 24 Oktober 1998 yang menunjukkan bahwa Dewan Keamanan menyadari dan telah memastikan adanya ancaman terhadap perdamaian dalam konflik Kosovo. Akan tetapi syarat kedua pemberian mandat tidak dapat dipenuhi. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1199 tanggal 23 September 1998 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1203 tanggal 24 Oktober 1998 merupakan upaya PBB untuk menyelesaikan konflik Kosovo dengan cara-cara diplomatik, bukan dengan kekuatan militer. Oleh karena itu Negara-negara anggota PBB seharusnya tidak boleh menyimpulkan begitu saja resolusi-resolusi dari Dewan Keamanan PBB merupakan izin kewenangan untuk melakukan tindakan kekerasan.134 Sebagai tambahan dengan tindakan NATO melakukan intervensi militer di Kosovo, maka NATO telah melanggar beberapa hukum internasional, antara lain; •
Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang berisi prinsip pelarangan bagi setiap anggota PBB untuk menggunakan kekuatan senjata melawan keutuhan wilayah dari
132
United Nations Charter, Chapter VII, Article 39; “The Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security.” 133
United Nations Charter, Chapter VII, Article41;“The Security Council may decide what measures not involving the use of armed force are to be employed to give effect to its decisions, and it may call upon the Members of the United Nations to apply such measures. These may include complete or partial interruption of economic relations and of rail, sea, air, postal, telegraphic, radio, and other means of communication, and the severance of diplomatic relations” . United Nations Charter, Chapter VII, Article42; “Should the Security Council consider that measures provided for in Article 41 would be inadequate or have proved to be inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international peace and security. Such action may include demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces of Members of the United Nations.” 134
Walter Gary Sharp, Operation Allied Force: Reviewing the Lawfulness of NATO’s Use of Military Force to Defend Kosovo,23 Md.Journal of International Law & Trade 295 (1999), hal.323.
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
81
suatu negara, atau tindalam-tindakan lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan PBB; “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”. •
Pelanggaran terhadap pasal 33 ayat 1 Piagam PBB yang menyatakan para pihak yang bertikai pertama kali harus mencari jalan keluar untuk berdamai baik itu melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi atupun jalan damai lain sesuai keinginan mereka; “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.”
•
Pelanggaran terhadap pasal 37 ayat 1 Piagam PBB yang menyatakan bahwa jika jalan yang ditempuh dalam pasal 33 Piagam PBB gagal, maka Dewan Keamanan PBB mengambil alih keadaan; “Should the parties to a dispute of the nature referred to in Article 33 fail to settle it by the means indicated in that Article, they shall refer it to the Security Council.”
•
Pelanggaran terhadap pasal 39 Piagam PBB yang berisi Dewan Keamanan PBB (bukan NATO, organisasi internasional lain ataupun satu negara) yang menyatakan sebuah ancaman akan mengganggu keamanan dan perdamaian internasional dan akan mengambil langkah yang dianggap perlu; “The Security Council shall determine the existence of any threat to the peace, breach of the peace, or act of aggression and shall make recommendations, or decide what measures shall be taken in accordance with Articles 41 and 42, to maintain or restore international peace and security”
•
Pelanggaran terhadap pasal 42 Piagam PBB yang menyatakan bahwa Dewan Keamanan PBB adalah badan satu-satunya yang dapat melakukan serangan udara, darat dan laut atas anggota PBB lainnya;
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009
82
“Should the Security Council consider that measures provided for in Article 41 would be inadequate or have proved to be inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international peace and security. Such action may include demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces of Members of the United Nations.” •
Pelanggaran terhadap Pasal 7 NATO Treaty yang merupakan perjanjian pembentukan NATO sendiri menegaskan bahwa negara-negara yang tergabung dalam Aliansi NATO wajib mematuhi ketentuan dalam Piagam PBB dan mengakui kewenangan utama dari Dewan Keamanan PBB dalam menangani masalah-masalah yang menyangkut perdamaian dan keamanan internasional; “This Treaty does not affect, and shall not be interpreted as affecting in any way the rights and obligations under the Charter of the Parties which are members of the United Nations, or the primary responsibility of the Security Council for the maintenance of international peace and security.”
UNIVERSITAS INDONESIA Kemerdekaan negara..., Donny Taufiq, FHUI, 2009