BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi perdagangan saat ini, kemajuan suatu negara tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan negara tersebut melakukan ekspor barang dan jasa yang dihasilkannya (Hariyani dan Serfianto, 2010 : 1). Menurut Tri Wibowo dan Hidayat Amir (2005:1) dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, hubungan ekonomi antarnegara akan menjadi saling terkait dan mengakibatkan peningkatan arus perdagangan barang maupun uang serta modal antarnegara. Perkembangan ekonomi internasional ini secara tidak langsung akan mempengaruhi permintaan dan penawaran terhadap suatu mata uang asing atau valuta asing yang sangat dibutuhkan dalam melakukan transaksi perdagangan secara internasional. Pengertian valuta asing atau foreign exchange adalah mata uang negara lain (foreign currency) dari suatu perekonomian, misalnya, valuta asing bagi perekonomian Indonesia adalah mata uang lain selain rupiah, misalnya yen Jepang, ringgit Malaysia, dan bath Thailand (Rahardja dan Manurung, 2008:91). Mata uang yang sering digunakan sebagai alat pembayaran dalam transaksi ekonomi keuangan internasional disebut dengan hard currency, yaitu mata uang yang berasal dari negara maju dan nilainya relatif stabil serta kadang mengalami apresiasi atau kenaikan nilai dibanding mata uang dari negara lainnya. Mata uang hard currency yang umum dipakai dalam transaksi perdagangan internasional adalah USD (dollar Amerika Serikat), Euro, dan Yen. Sebaliknya mata uang yang
1
berasal dari negara berkembang atau negara dunia ketiga jarang digunakan sebagai alat pembayaran antar negara karena nilainya relatif tidak stabil dan kadang mengalami depresiasi atau penurunan nilai, mata uang tersebut sering disebut dengan soft currency. Rupiah merupakan salah satu contoh soft currency. Dalam melakukan transaksi perdagangan internasional sering dijumpai terjadinya pertukaran beberapa mata uang yang berbeda, dimana mata uang suatu negara diukur berdasarkan mata uang negara lain. Pertukaran antara dua mata uang yang berbeda yang merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut disebut dengan kurs (exchange rate) (Triyono, 2008:157). Menurut Sukirno (2006:397) kurs valuta asing atau kurs mata uang asing menunjukkan harga atau nilai mata uang suatu negara dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain, atau dapat juga didefinisikan sebagai jumlah uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Nilai tukar atau kurs biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa depresiasi dan apresiasi. Depresiasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat artinya suatu penurunan harga rupiah terhadap dollar AS. Depresiasi mata uang suatu negara membuat harga barang-barang domestik menjadi lebih murah bagi pihak luar negeri. Sedangkan apresiasi rupiah terhadap dollar AS adalah kenaikan harga rupiah terhadap dollar AS. Apresiasi mata uang suatu negara membuat harga barang-barang domestik menjadi lebih mahal bagi pihak luar negeri (Sukirno, dalam Triyono, 2008). Menurut Madura, dalam Haryanto, Wibisono, dan Sutrisno (2000:15), perubahan atau pergerakan nilai tukar ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti :
2
1) Tingkat inflasi. 2) Tingkat pendapatan masyarakat. 3) Suku bunga. 4) Kontrol pemerintah atas perekonomian. 5) Harapan
atau
perkiraan
masyarakat
mengenai
kondisi-kondisi
perekonomian di masa yang akan datang. Sementara, menurut Sukirno (2006:402), faktor-faktor yang mempengaruhi kurs diantaranya : 1) Perubahan dalam citarasa masyarakat. 2) Perubahan harga barang ekspor dan impor. 3) Kenaikan harga umum (inflasi). 4) Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi. 5) Pertumbuhan ekonomi. Dengan diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang penuh/bebas (freely floating system) yang dimulai sejak Agustus 1997, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (khususnya US$) ditentukan oleh mekanisme pasar (Tri Wibowo dan Hidayat Amir, 2005:1). Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap US$ pasca diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang terus mengalami kemerosotan. Pada bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ berada pada posisi Rp 3.035 per US$, terus mengalami tekanan sehingga pada Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ melemah menjadi Rp 4.650 per US$. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah tercatat melemah dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp 10.375 per US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar
3
rupiah sempat menembus level Rp 14.900 per US$ yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar rupiah terhadap US$ tahun 1999 melakukan recovery menjadi sebesar Rp 7.810 per US$, kemudian pada tahun 2000 kembali melemah sebesar Rp 8.530 per US$, dan tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp 10.265 per US$. Namun pada tahun 2002 nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 9.260 per US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp 8.570 per US$, dan pada tahun 2004 kembali melemah menjadi Rp 8.985 per US$. Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia yang sempat menembus level US$ 70 per barrel memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya permintaan valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap US$ dan berada kisaran Rp 9.200 sampai Rp 10.200 per US$ (Tri Wibowo dan Hidayat Amir, 2005:2). Tabel 1.1 memperlihatkan nilai dari tahun ke tahun pergerakan kurs dollar Amerika Serikat pada tahun 1991-2010 selama 20 tahun. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa kurs rupiah terhadap dolar mengalami fluktuasi dari tahun 1991 hingga tahun 2010. Pada tahun 1992 nilai rupiah melemah dibanding tahun sebelumnya dan relatif stabil dengan arah melemah hingga tahun 1996. Pada tahun 1997 nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp 4.650 per US$ dan merosot tajam pada tahun 1998 menjadi Rp 8.025 per US$ sebagai akibat dari krisis moneter yang melanda Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 1999 nilai rupiah menguat terhadap dolar AS dibanding tahun sebelumnya, namun pada tahun 2000 nilai rupiah melemah kembali menjadi Rp 9.595 per US$ dan melemah lagi menjadi Rp 10.400 per
4
US$ pada tahun 2001. Sejak memasuki tahun 2002, kurs rupiah relatif stabil, namun sempat merosot kembali pada tahun 2008 menjadi Rp 10.950 per US$ sebagai imbas dari adanya krisis global yang melanda perekonomian dunia. Namun pada tahun-tahun berikutnya nilai rupiah terus mengalami penguatan hingga menjadi Rp 9.400 per US$ pada tahun 2009 dan menguat lagi menjadi Rp 8991 per US$ pada tahun 2010. Tabel 1.1 Nilai Kurs Dollar Amerika Serikat Tahun 1991-2010 Tahun
Kurs Dollar AS Perkembangan (Rp/US$) (%) 1991 1.992 1992 2.062 3,51 1993 2.110 2,33 1994 2.200 4,27 1995 2.308 4,91 1996 2.383 3,25 1997 4.650 93,24 1998 8.025 127,84 1999 7.100 -23,48 2000 9.595 19,50 2001 10.400 8,39 2002 8.940 -14,04 2003 8.465 -5,31 2004 9.290 9,75 2005 9.830 5,81 2006 9.020 -8,24 2007 9.419 4,42 2008 10.950 16,25 2009 9.400 -14,16 2010 8.991 -4,35 Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia,Bank Indonesia Banyak teori menyebutkan bahwa pergerakan kurs dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang berasal dari luar negeri (eksternal) dan faktor yang berasal dari dalam negeri (internal). Seperti yang telah disebutkan diatas, pergerakan nilai
5
kurs rupiah terhadap dollar AS dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat inflasi, suku bunga, tingkat pendapatan atau PDB, jumlah cadangan devisa, jumlah uang beredar, perubahan harga barang ekspor, ekspektasi masyarakat, dan lain-lain. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan nilai kurs selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, apakah mengalami penurunan atau depresiasi maupun penguatan atau apresiasi. Inflasi (inflation) adalah suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus menerus (Nanga, 2005:237). Pada konteks ini, menurut Bank Indonesia, kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Secara teoritis, apabila suatu negara luar negeri lebih tinggi inflasinya dibandingkan domestik (Indonesia), maka rupiah akan ditukarkan dengan lebih banyak valas. Jika inflasi meningkat, untuk membeli valuta asing yang sama jumlahnya harus ditukar dengan rupiah yang semakin banyak atau depresiasi rupiah (Herlambang, dkk, 2001:282). Tri Wibowo dan Hidayat Amir (2005:5) mengatakan bahwa tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi daripada tingkat inflasi luar negeri dengan nilai kurs yang tidak berubah akan menyebabkan harga ekspor barang dan jasa domestik menjadi relatif lebih mahal dan tidak mampu berkompetisi dengan barang dan jasa dari luar negeri. Ekspor akan cenderung menurun sedangkan impor dari negara lain cenderung meningkat. Dampaknya, mata uang domestik akan mengalami tekanan dan terdepresiasi atau mata uang asing akan mengalami apresiasi terhadap mata uang domestik. Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa inflasi memiliki hubungan
6
yang negatif terhadap kurs mata uang domestik dan positif terhadap kurs valuta asing. Santosa (2008), menyimpulkan hasil yang sedikit berbeda. Santosa menggunakan model Purchasing Power Parity dan menarik kesimpulan bahwa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang variabel inflasi tidak dapat menjelaskan perilaku nilai tukar. Hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Inflasi merupakan suatu kondisi dimana harga-harga barang secara keseluruhan meningkat secara umum dan berlangsung terus-menerus. Dalam teori kuantitas (Irving Fisher), inflasi disebabkan karena kenaikan jumlah uang beredar, kenaikan jumlah uang beredar dalam negeri (relatif terhadap stok uang luar negeri) akan meyebabkan kelebihan penawaran uang (excess supply). Dalam masa krisis ekonomi, hal tersebut menyebabkan kenaikan permintaan mata uang asing (US Dollar) untuk mengamankan likuiditasnya atau untuk mendapatkan keuntungan. Dampak selanjutnya yang terjadi adalah penurunan mata uang dalam negeri (depresiasi). Lebih lanjut Santosa mengemukakan bahwa dalam jangka pendek, perilaku nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS tidak dapat dijelaskan dengan variabel inflasi, ini berarti tidak sesuai dengan teori Purchasing Power Parity. Hal ini dapat dijelaskan karena asumsi-asumsi (tidak ada biaya transportasi serta barang homogen) yang mendasari teori ini dalam realitas riil tidak terpenuhi. Dampaknya inflasi pada berbagai negara tidak mencerminkan perilaku harga yang sama pada banyak negara, sehingga teori One Low Price yang mendasari tidak terbukti. Selain itu realitas riil menunjukkan bahwa biaya transportasi barang antar negara pasti ada, sehingga harus diperhitungkan dalam penghitungan inflasi (dalam teori PPP tidak diperhitungkan). Akan tetapi, Triyono (2008) dalam
7
penelitiannya menyimpulkan hasil yang berbeda, dimana dalam jangka pendek inflasi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kurs, sedangkan dalam jangka panjang inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kurs dengan arah positif, yang berarti apabila inflasi meningkat atau mengalami kenaikan, kurs juga akan mengalami kenaikan. Tabel 1.2 memperlihatkan pergerakan tingkat inflasi di Indonesia selama 1991-2010. Tabel 1.2 Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 1991-2010 Tahun Inflasi (%) Perkembangan (%) 1991 9,52 1992 4,94 -4,58 1993 9,77 4,83 1994 9,24 -0,53 1995 8,64 -0,60 1996 6,47 -2,17 1997 11,05 4,58 1998 77,63 66,58 1999 2,01 -75,62 2000 9,35 7,34 2001 12,55 3,20 2002 10,03 -2,52 2003 5,06 -4,97 2004 6,40 1,34 2005 17,11 10,71 2006 6,60 -10,51 2007 6,59 -0,01 2008 11,06 4,47 2009 2,78 -8,28 2010 6,96 4,18 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 1991-2010 Tabel 1.2 menunjukkan bahwa tingkat inflasi di Indonesia selama 20 tahun terakhir cukup fluktuatif. Tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 77,63 persen, dikarenakan kondisi moneter yang sangat buruk dan krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1999, laju inflasi dapat dikendalikan sebesar
8
2,01 persen. Pada tahun 2001 dan 2002 inflasi kembali berada di atas 10 persen, masing-masing sebesar 12,55 persen dan 10,03 persen. Inflasi kembali dapat ditekan pada tahun 2003 dan 2004, masing-masing sebesar 5,06 persen dan 6,40 persen sebelum kemudian mengalami kenaikan lagi menjadi 17,11 persen pada tahun 2005. Tetapi pada tahun 2006 dan tahun 2007 inflasi sudah kembali terkendali di bawah 10 persen tidak terlepas dari perkembangan nilai tukar rupiah yang cukup stabil. Namun, pada tahun 2008, inflasi kembali mengalami peningkatan menjadi 11,06 persen dan pada tahun 2009 mengalami penurunan drastis sampai di bawah 5 persen menjadi 2,78 persen. Terakhir, pada tahun 2010 inflasi kembali mengalami peningkatan menjadi 6,96 persen. Tingkat pendapatan atau Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai barangbarang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara tersebut dalam satu tahun tertentu atau nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara negara tersebut dan negara asing (Sadono Sukirno, 2006 : 34-35). Dalam suatu perekonomian, barang dan jasa diproduksikan bukan saja oleh perusahaan milik penduduk negara tersebut, tetapi juga oleh penduduk negara lain. Menurut Badan Pusat Statistik, PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB biasanya dihitung untuk periode satu tahun, baik atas dasar harga berlaku maupun harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar
9
harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Tabel 1.3 memperlihatkan nilai PDB Indonesia atas dasar harga konstan tahun 1991-2010. Berdasarkan Tabel 1.3 dapat diketahui bahwa nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia dan tingkat pertumbuhannya mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Tingkat pertumbuhan paling tinggi terjadi pada tahun 1994, dimana nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia meningkat sebesar 153,10 persen menjadi Rp 345.640,80 milyar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 140.116,70 milyar. Kemudian, nilai PDB Indonesia terus mengalami peningkatan hingga tahun 1999, kecuali pada tahun 1998, dimana nilai PDB Indonesia mengalami pertumbuhan negatif. Peningkatan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2000 sebesar 421,77 persen disebabkan oleh perbedaan tahun dasar yang digunakan dalam menghitung besarnya nilai PDB. Pada tahun tersebut sudah menggunakan tahun dasar 2000 sebagai dasar untuk menghitung PDB, sedangkan tahun-tahun sebelumnya menggunakan tahun dasar 1993 sebagai dasar perhitungan. Setelah mengalami pertumbuhan negatif sebesar 27,23 persen pada tahun 2001, nilai dan pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2002 hingga 2010 mengalami fluktuasi dengan arah peningkatan.
10
Tabel 1.3 Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1991-2010 Tahun
PDB Perkembangan (Milyar Rupiah) (%) 1991 123.181,10 1992 131.101,60 6,42 1993 140.116,70 6,87 1994 354.640,80 153,10 1995 383.792,30 8,22 1996 413.797,90 7,82 1997 433.245,90 4,70 1998 376.374,90 -13,13 1999 379.352,50 0,79 2000 1.979.340,30 421,77 2001 1.440.400,70 -27,23 2002 1.505.216,40 4,50 2003 1.577.171,30 4,78 2004 1.656.516,80 5,03 2005 1.750.815,20 5,69 2006 1.847.126,70 5,50 2007 1.964.327,30 6,35 2008 2.082.456,10 6,01 2009 2.178.850,40 4,63 2010* 2.313.838,00 6,19 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 1991-2010 Keterangan : * = Angka Sementara
Cadangan Devisa (Foreign Exchange Reserves) adalah valuta asing yang dicadangkan Bank Sentral di Indonesia (Bank Indonesia) untuk keperluan pembiayaan dan kewajiban luar negeri antara lain pembiayaan impor dan pembayaran lainnya pada pihak asing (Hady, 2001:24). Sementara, menurut Salvatore dalam Asmanto dan Suryandari (2008:125), international reserves merupakan asset-asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi pemerintah atau negara yang
11
merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi atau pembayaran internasional. Devisa atau valuta asing atau lazim disebut alat pembayaran luar negeri atau foreign exchange sesungguhnya merupakan tagihan terhadap luar negeri yang dapat dipergunakan untuk membantu kegiatan ekspor dan impor, menjaga kestabilan nilai tukar, serta pembayaran utang luar negeri (Amir, 2001 : 13). Sebagai alat pembayaran luar negeri, tentunya besarnya cadangan devisa yang dimiliki oleh suatu negara menjadi determinan penting bagi negara tersebut untuk melakukan transaksi perdagangan internasional dengan negara lain. Biasanya, transaksi impor yang akan dilakukan oleh suatu negara didasarkan pada besarnya cadangan devisa yang dimiliki, sementara transaksi ekspor yang dilakukan akan menambah cadangan devisa yang dimiliki. Jhingan dalam Asmanto dan Suryandari (2008:124) menyatakan bahwa “International liquidity (generally used as a synonym for international reserves) is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held by the central bank to settle a deficit in a country’s balance of payments”. Secara harfiah, dapat diartikan bahwa cadangan devisa (International reserves) merupakan asset dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and Foreign Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa international reserves didefinisikan sebagai seluruh aktiva luar negeri yang dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan setiap waktu guna membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka stabilitas moneter
12
(Asmanto dan Suryandari, 2008:124). Perkembangan nilai cadangan devisa Indonesia selama kurun waktu 20 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Jumlah Cadangan Devisa Indonesia Tahun 1991-2010 Tahun
Cadangan Devisa Perkembangan (Juta USD) (%) 1991 9,868 1992 11,611 17,66 1993 12,352 6,38 1994 11,720 -5,12 1995 14,674 25,20 1996 19,125 30,33 1997 21,418 8,87 1998 23,762 36,35 1999 27,054 13,85 2000 29,394 8,64 2001 28,016 -4,68 2002 31,571 9,77 2003 36,246 12,97 2004 36,321 4,54 2005 34,724 -4,40 2006 42,586 22,64 2007 56,920 33,66 2008 51,639 -9,28 2009 66,105 28,00 2010 96,207 45,54 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 1991-2010 Berdasarkan Tabel 1.4 dapat diketahui bahwa cadangan devisa dari tahun 1991 hingga 2010 mengalami peningkatan, kecuali untuk tahun 1994, 2001, 2005, dan tahun 2008 yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Cadangan devisa yang paling tinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 96.207 Juta USD dengan perkembangan yang paling tinggi pula, yaitu sebesar 45,54 persen. Sedangkan penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2008, dimana jumlah cadangan devisa Indonesia turun sebesar 9,28 persen dari tahun sebelumnya.
13
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Apakah tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010 ? 2) Bagaimanakah pengaruh tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa secara parsial terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 19912010 ? 3) Yang manakah diantara tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa yang berpengaruh dominan terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010 ? 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui pengaruh tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa secara bersama-sama terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010. 2) Untuk mengetahui pengaruh tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa secara parsial terhadap kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010.
14
3) Untuk mengetahui pengaruh dominan dari variabel tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa terhadap nilai kurs dollar Amerika Serikat periode 1991-2010. 1.2.2 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1) Kegunaan teoritis Kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah untuk membuktikan dan menerapkan teori yang didapat pada masa perkuliahan dengan kenyataan pada penelitian yang dilakukan. 2) Kegunaan Praktis (1) Bagi Mahasiswa Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih
luas
kepada
mahasiswa
serta
dapat
mengaplikasikan
atau
mempraktekkan ilmu yang didapat di bangku perkuliahan terhadap kondisi riil. (2) Bagi Perguruan Tinggi Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya bahan pustaka atau referensi bagi penelitian selanjutnya, baik sebagai pelengkap maupun bahan perbandingan, terutama yang berkaitan dengan pengaruh tingkat inflasi, tingkat pendapatan, dan cadangan devisa terhadap kurs dollar Amerika Serikat.
15
(3) Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan nilai tukar mata uang, terutama nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. 1.3 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang mendukung pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yang meliputi pengertian dan teori kurs valuta asing, sistem kurs valuta asing, teori purchasing power parity (PPP), faktor-faktor yang mempengaruhi kurs, pengertian inflasi, jenis inflasi, dampak inflasi, hubungan antara inflasi dan kurs, pengertian produk domestik bruto, cara perhitungan pendapatan nasional, hubungan antara produk domestik bruto dan kurs, pengertian cadangan devisa, hubungan antara cadangan devisa dan kurs, pembahasan hasil penelitian sebelumnya, dan rumusan hipotesis.
Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data,
16
metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV Pembahasan Hasil Penelitian Bab ini membahas tentang gambaran umum kurs dollar Amerika Serikat di Indonesia dan pembahasan hasil penelitian dari pengolahan data yang memuat perhitungan-perhitungan yang dilakukan sesuai dengan teknik analisis data yang digunakan. Bab V
Penutup Bab ini berisi kesimpulan dari analisis yang dilakukan serta saran-saran yang diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
17