BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wanita selalu merasa tertekan untuk menjadi sosok yang cantik dan sempurna. Tren sosok sempurna bagi wanita berubah dari tahun ke tahunnya. Saat ini bentuk tubuh yang dianggap ideal yakni bentuk tubuh kurus layaknya supermodel. Selain itu aktivitas karir atau profesi tertentu juga turut mempengaruhi wanita dalam memperhatikan penampilan tubuhnya (Yahoo, 2013). Penampilan fisik dengan berat badan dan bentuk tubuh yang langsing nampaknya menjadi ukuran keberhasilan dan kebahagiaan dalam kehidupan karir seseorang (Cornier dalam Kemala, 2000; Kurnia, 2005). Salah satu dari karir atau profesi tersebut adalah penari (Wolf, 2004 dalam Kurnia, 2005). Seni tari adalah suatu ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan lewat gerakgerak yang ritmis dan indah (Soedarsono, 1999). Tari merupakan salah satu cabang seni, dimana media ungkap yang digunakan adalah tubuh, oleh karena itu tubuh sebagai media ungkap sangat penting perannya bagi tari (Radar Banjarmasin, 2013). Berbagai macam jenis tarian dapat dikelompokkan, salah satunya adalah Ballet. Menurut Grant (1982; 2008) dan American Ballet Theatre, ballet adalah sebuah karya teater atau hiburan di mana koreografer mengungkapkan ide-idenya ke dalam sebuah tarian kelompok dan solo dengan diiringi oleh musik, disertai dengan kostum, pemandangan dan pencahayaan yang sesuai. Ballet identik dengan keanggunan dan keindahan gerakannya serta merupakan suatu bentuk kegiatan yang mengutamakan kelenturan tubuh, sehingga baik diajarkan sejak usia dini. Proporsi tubuh yang ideal sangat penting bagi penari ballet karena terlepas dari pertimbangan estetika, penting hal-nya memiliki tubuh 1
2 proporsional agar mampu menanggung stress dan tekanan pada tubuh yang dibutuhkan pada saat latihan dan perform. Pada tari ballet dibutuhkan kekuatan dari kaki untuk melakukan bermacam gerakannya terutama untuk mencapai pointe-work yaitu berjinjit menggunakan jari kaki. Untuk mencapai pointe tentu ada beberapa kualifikasi dasar yaitu memiliki kaki, jari, telapak kaki yang kuat serta memiliki tubuh yang ringan agar dapat melakukan gerakan yang lumayan susah seperti pirouettes dan sebagainya. Pada kenyataannya, tubuh yang ideal untuk seorang penari ballet klasik wanita adalah tubuh yang ramping dengan leher jenjang, torso yang pendek serta memiliki tangan dan kaki yang jenjang (Nolan, 2011). Penampilan tubuh akan lebih disadari oleh para penari ballet karena pada setiap kelas atau latihan yang dihadiri, umumnya pakaian yang dipakai berupa pakaian ketat seperti stocking dan leotard yang menunjukkan lekuk tubuhnya, menari di hadapan cermin hampir setiap hari dan secara tidak langsung terus melihat diri mereka sendiri sehingga menjadi sadar akan bentuk tubuh mereka serta membandingkan diri mereka dengan orang lain yang berada di ruangan yang sama (Nolan, 2011). Selain itu pada saat berada di dalam kelas, berat badan dari para penari dicatat dan seringkali hasilnya dibacakan dengan keras dihadapan seluruh kelas (Gordon, 1983). Perusahaan atau company yang memperkerjakan para penari umumnya membuat persyaratan akan berat badan dan bentuk tubuh yang ideal. Alasan estetika dan etika mewajibkan para penari untuk memiliki berat yang telah ditentukan agar menunjang performanya, karena pada umumnya penari dengan bentuk badan yang lebih gemuk akan susah untuk mendapatkan peran di atas panggung (Nolan, 2011). George Balanchine, pelatih yang selalu melontarkan kata “eat nothing” dan “must see the bones” terhadap penarinya, memperkenalkan norma yang dibuatnya
3 yaitu “The Balanchine Body” atau “Anorexic Look” yakni persyaratan untuk para penari yaitu harus memiliki anggota tubuh yang panjang dengan tulang-tulang yang menonjol terutama tulang selangka, leher yang jenjang, serta tidak adanya payudara dan pinggul (Gordon, 1983, Benn & Walter, 2001, Kirkland, 1986). Beberapa pelatih bahkan pimpinan American Ballet Theatre mengadopsi norma Balanchine sehingga mereka tidak menoleransi bentuk tubuh selain tipe “Balanchine Body” tersebut dan dapat dengan segera memecat anggota penari ballet (corps de ballet) jika dirasa anggota tersebut terlalu gemuk dan ia tidak tahan untuk melihatnya berada di panggung. Penghinaan di depan umum sudah menjadi hal yang biasa dalam dunia ballet (Hamilton, 1998; Benn & Walters, 2001). Ada pelatih yang mengharuskan penarinya untuk menurunkan berat badan dalam kurun waktu tiga minggu sehingga para penari umumnya mengambil jalan dengan tidak memakan apapun dan kemudian usahanya tersebut dihargai dengan peran dari ballet company. Para penari belajar sejak usia dini bahwa imbalan dan hukuman (reward dan punishment) didasarkan pada berat badan. Jika berhasil menurunkan berat badan maka akan diberi reward berupa peran dalam pementasan ballet, sebaliknya apabila tidak berhasil maka akan ia tidak akan mendapatkan peran apapun (Gordon, 1983). Para pengajar pun menganggap kurusnya tubuh penari dihargai sebagai tanda dedikasi untuk seni (Benn & Walters, 2001). Berdasarkan hasil wawancara dengan 6 murid tari ballet pada 20 Mei 2013, umumnya mereka merasa tidak puas dengan tubuh mereka dan sering membandingkannya dengan tubuh penari lainnya karena merasa tubuh mereka masih belum ideal. Mereka juga mengatakan bahwa pelatih cukup sering memperhatikan penampilan tubuh mereka dan menyuruh mereka untuk menurunkan berat badan.
4 Bagi kebanyakan penari, dorongan untuk memiliki berat badan dan tubuh yang ideal serta sempurna menjadi tekanan untuk terus menjaga bentuk tubuhnya agar selalu kurus. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang beresiko untuk mengembangkan kecenderungan eating disorders. Tekanan untuk menjadi kurus, untuk menjadi sempurna, dapat mendistorsi persepsi seseorang mengenai tubuhnya dan mengubah pikiran seseorang terhadap tubuhnya sendiri (Massachusetts psychologists, 2008). Terdapat sejumlah penelitian mengenai penari khususnya penari ballet yang mengkaitkannya dengan kecenderungan eating disorders. Eating disorders adalah pikiran mengenai diet, upaya untuk kurus dan obsesi terhadap makanan yang dapat menjadi ekstrem serta menimbulkan distress (Jones, Bennett, Olmsted, Lawson & Rodin, 2001; APA, 2005 dalam Hanisah, 2010). Diketahui jumlah pasien dengan eating disorders telah meningkat secara global sejak 50 tahun yang lalu. Di Indonesia, gangguan makan seperti anorexia dan bulimia cenderung terjadi pada remaja putri serta orang muda. Sedangkan binge eating disorder umumnya ditemukan pada pria dan wanita, mulai dari usia muda hingga 40 tahun (Metro TV, 2013). Di tahun 2013 ini sudah ada 38% orang di Indonesia yang memiliki gangguan pola makan. yang kebanyakan penderitanya adalah perempuan. Ini terjadi karena banyak orang yang mau melakukan hampir apa saja untuk menjaga berat badan idealnya (Kawanku, 2013). Prevalensi binge eating disorder pada 100 pasien yang peduli berat badan dari penelitian Shape Up Indonesia tahun 2013 adalah terdapat 70% orang dengan binge eating. Sedangkan yang berpotensi sebesar 13%. Di sisi lain, penelitian menemukan 32% orang yang menderita karena anoreksia dan bulimia, sisanya tidak normal, tetapi 15% orang berkecenderungan bulimia (Agustina, 2013).
5 Sejumlah penelitian telah mengemukakan hal-hal yang berhubungan dan dapat menyebabkan eating disorders baik dari faktor psikologis, traits, faktor fisik atau genetik, pengalaman emosi negatif dan faktor-faktor lainnya. Salah satu yang dapat menyebabkan eating disorders dari faktor psikologis adalah self-esteem yang rendah (APA, 2011). Ghaderi (2001) menyimpulkan bahwa self-esteem yang rendah, bersama dengan faktor lain, tidak hanya menempatkan wanita pada risiko yang lebih besar
untuk
mengembangkan
eating
disorders,
tetapi
juga
berfungsi
mempertahankan eating disorders tersebut. Sejumlah laporan mendukung pendapat bahwa self-esteem yang rendah seringkali hadir sebelum timbulnya eating disorders, dan self-esteem yang rendah merupakan faktor risiko yang signifikan bagi bulimia dan anoreksia bahkan pada anak muda, anak perempuan usia sekolah (Ghaderi, 2001). Self-esteem tampaknya menjadi faktor risiko utama yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan faktor risiko lain terhadap eating disorders. Sebagai contoh, beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa berkembangnya bulimia diperkirakan oleh kecenderungan perfeksionis dan body-dissatisfaction di kalangan wanita dengan self-esteem yang rendah, sedangkan wanita dengan self-esteem yang tinggi tidak menunjukkan faktor risiko tersebut dan tidak mengembangkan bulimia (Vohs, Voelz, Pettit, Bardone, Katz, Abramson, Heatherton, & Joiner, 2001; Vohs, Bardone, Joiner, Abramson, & Heatherton, 1999; Joiner, Heatherton, Rudd, & Schmidt, 1997). Eating disorders dan self-esteem berhubungan dua arah yaitu self-esteem dapat memunculkan eating disorders dan sebaliknya eating disorders menimbulkan self-esteem yang rendah. Kebanyakan wanita yang mengalami eating disorders membandingkan diri mereka dengan perempuan lainnya dengan menganggap orang lain lebih baik dari dirinya sehingga hal ini dapat membuat self-esteem mereka menjadi lebih rendah (Smith, 2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa self-
6 esteem yang rendah dapat ditemukan pada individu yang memiliki gangguan psikiatris yaitu depresi, gangguan makan, gangguan kecemasan, dan penyalahgunaan zat (Guillon et al, 2003; Silverstone et al, 2003). Adapun definisi dari self-esteem sendiri adalah perasaan penerimaan diri (self-acceptance), penghargaan diri (selfrespect), dan evaluasi diri yang positif yang dikonseptualisasikan sebagai karakteristik yang relatif menetap (Rosenberg, 1965). Dalam penelitian yang dilakukan di Inggris pada pertengahan 2012 mengenai perbandingan state dan trait self-esteem, ditemukan bahwa penari ballet memiliki level self-esteem yang lebih rendah dibandingkan penari lainnya (Lovatt & Horncastle, 2012). Sementara banyak penelitian mengungkapkan bahwa self-esteem merupakan faktor risiko yang signifikan memunculkan eating disorders, sebuah penelitian menemukan bahwa body dissatisfaction menjadi prediktor terkuat terhadap gejala eating disorders (Button, Sonuga-Barke, Davies, & Thompson, 1996). Adapun selfesteem terkait erat dengan body image. Self-esteem yang rendah berkontribusi terhadap distorsi body image dan body image yang terdistorsi tidak akan dapat sepenuhnya diperbaiki sampai masalah self-esteem diperbaiki (Eating Disorders Venture,
2006).
Body
image
yang
terdistorsi
dapat
menimbulkan
body
dissatisfaction. Tekanan untuk terus menjaga bentuk tubuh dapat menjadi salah satu faktor yang beresiko untuk mengembangkan body dissatisfaction (Garner, Rosen & Barry, 1998). Kepuasan citra tubuh (body image satisfaction) yang rendah pada wanita diduga berhubungan kuat dengan self-esteem yang rendah atau low self esteem. Hasil penelitian dari Irmayanti (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara body dissatisfaction dan self-esteem, dimana semakin tinggi tingkat body dissatisfaction seseorang, maka semakin rendah tingkat selfesteem yang dimilikinya. Sebaliknya, apabila individu memiliki tingkat body
7 dissatisfaction yang rendah maka akan cenderung memiliki tingkat self-esteem yang tinggi. Body dissatisfaction adalah kesenjangan antara persepsi individu terhadap ukuran tubuh ideal dengan ukuran tubuh mereka sebenarnya atau dapat juga dideskripsikan sebagai perasaan tidak puas terhadap bentuk dan ukuran tubuh (Ogden dalam Adlard, 2006). Body dissatisfaction merupakan salah satu faktor yang berisiko dalam memunculkan eating disorders. Hasil penelitian Maria, Prihanto dan Sukamto (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ketidakpuasan tubuh (body
dissatisfaction)
dengan
gangguan
makan
(eating
disorders)
yaitu
kecenderungan anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Hasil penelitian Kurnia (2005) menunjukkan bahwa tingkat kepuasan citra tubuh (body image satisfaction) yang rendah dapat memperediksi gejala eating disorders, atau sebaliknya tingkat kepuasan citra tubuh yang tinggi tidak dapat memprediksi gejala eating disorders pada kelompok subjek pramugari, penari dan model. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Garner & Kearney-cooke (1996). Penari ballet menghadapi beberapa resiko kesehatan yang unik terkait dengan konflik antara penampilan, kekuatan, ketahanan, dan status kesehatan yang optimal (appearance, strength, endurance dan optimal health status). Penelitian awal pada penari menunjukkan bahwa murid ballet professional menunjukkan masalah dengan diet yang berlebihan serta tingginya angka insiden anoreksia nervosa. Para peneliti juga mencatat bahwa penari yang berada dalam lingkungan yang lebih kompetitif, memiliki berat badan lebih rendah dibandingkan yang berada dalam lingkungan yang kurang kompetitif (Garner & Garfinkel, 1980). Bettle et al. (1998) menyatakan bahwa penari ballet wanita dengan semua bentuk tubuh, berusaha untuk mengurangi berat badan serta terdapat hubungan yang
8 cukup besar antara berat badan aktual dan berat badan yang diinginkan oleh penari ballet remaja dengan resiko untuk mengembangkan eating disorders. Penelitian yang dilakukan oleh Garner et al. (1987) menemukan bahwa kira-kira sebanyak 41% dari penari ballet memiliki eating disorders maupun pola makan yang menyimpang. Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa penari ballet, bahkan yang bukan pada level profesional, menunjukkan gangguan pada body image mereka dan memiliki masalah eating disorders terkait dengan estetika yang ideal (Ravaldi et al., 2003). Eating disorders nampaknya merupakan masalah yang signifikan pada populasi penari terutama pada penari ballet. Tingginya angka prevelensi kasus eating disorders di Amerika Serikat terus merambah ke benua Asia, tidak terkecuali Indonesia. Menurut Fairburn et al (1999), sejak tahun 1980-an, terjadi peningkatan prevalensi eating disorders dalam populasi Asia (dalam Ho, 2006). Perilaku makan yang tidak sehat sudah mulai terlihat dalam beberapa penelitian sebelumnya di Indonesia dan sangat besar potensi hal tersebut juga terjadi pada kalangan penari ballet. Dengan segala tekanan dan masalah dalam menjaga bentuk tubuhnya serta minimnya laporan dan penelitian di Indonesia mengenai penari ballet, menjadi alasan dilakukannya penelitian terutama karena penari ballet merupakan salah satu populasi yang rentan terjadi kasus eating disorders. Adapun pada penelitian ini yang akan diteliti lebih mengarah pada kecenderungan eating disorders, karena perilaku eating disorders tidak dapat terlihat hanya melalui pengisian survey melainkan harus melalui beberapa tahapan seperti observasi dan wawancara. Penelitian ini dilakukan di Jakarta karena Jakarta merupakan kota besar dan kompetitif dimana lingkungan yang lebih kompetitif sangat berpotensi besar mendukung terjadinya gangguan makan atau eating disorders.
9 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah Apakah Self-esteem dan Body Dissatisfaction dapat memprediksikan kecenderungan Eating Disorders pada penari ballet.
1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah Self-esteem dan Body Dissatisfaction dapat memprediksikan kecenderungan Eating Disorders pada kalangan penari ballet di Jakarta. 2. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh dari Self-esteem dan Body Dissatisfaction terhadap kecenderungan Eating Disorders. 3. Untuk mengetahui apakah Self-esteem dan Body Dissatisfaction, secara sendiri (parsial) maupun bersamaan dapat memberikan pengaruh terhadap Eating Disorders.