Bab 1
PENDAHULUAN Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with special needs) membutuhkan suatu pola tersendiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, yang berbeda antara satu dan lainnya. Dalam penyusunan program pembelajaran untuk setiap bidang studi, hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya. Data pribadi yakni berkaitan dengan karakteristik spesifik, kemampuan dan kelemahannya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembangannya. Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan sensorimotor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi sosial, serta kreativitasnya. Untuk mengetahui secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa, seorang guru terlebih dahulu melakukan skrining atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan. Tujuannya agar saat memprogramkan pembelajaran, sudah dipikirkan mengenai bentuk intervensi pembelajaran yang dianggap cocok. Asesmen di sini adalah proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif. Kegiatan ini biasanya memerlukan penggunaan instrumen khusus secara baku atau dibuat sendiri oleh guru kelas. Guru yang "mumpuni" adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan belajar-mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa. Pola kegiatan pembelajaran ini kita kenal dengan nama lain sebagai individualized educational program (IEP). Selama proses kegiatan pembelajaran, guru kelas ditantang untuk dapat memberikan intervensi khusus guna mengatasi bentuk kelainan-kelainan perilaku yang muncul, agar pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Guru hendaknya dapat menyusun program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didiknya. Program tersebut berisikan cara atau bentuk intervensi yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada saat pembelajaran berlangsung. Intervensi khusus yang dipersiapkan guru bisa berbentuk suatu pola latihan khusus. Dapat juga disusun dalam bentuk motivasi yang menggunakan cara reinforcement, disertai dengan pemberian petunjuk-petunjuk khusus (signal cues) yang dilakukan dengan keterarahan wajah bagi anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara (hearing and language impairment). Cara pemberian reinforcement oleh guru atau penguatan perilaku terhadap peserta didik dapat dicapai secara optimal apabila guru kelas benar-benar memahami dan mengetahui secara tepat perilaku sasaran (target behavior) dari masing-masing siswa. Umumnya guru bersangkutan secara terus-menerus harus mampu mempelajari dan memahami pengetahuan tentang teori belajar yang menerapkan operant conditioning (antecedent, behavior, dan consequences atau ABC Model (Wallace & Kauffman, 1978 dalam Patton, 1986:97; Schloss, 1984:83). Operant conditioning merupakan cara pemberian motivasi belajar melalui modifikasi perilaku sasaran yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan, serta disusun secara sistematik. Terdapat tiga motivasi belajar, yaitu sebagai berikut. 1. Social reinforccment misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan anak, atau memeluk dengan penuh perasaan. 2. Tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan seperti diberikannya suatu kegiatan bermain, pemberian waktu bebas, atau mendengarkan musik kesukaannya.
3.
Negative consequences, diberikan jika muncul perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, misalnya pemberian "time out" atau istirahat dari kegiatan yang sedang berlangsung terhadap anak yang menunjukkan perilaku suka mengamuk, atau mengganggu.
Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta didik berkebutuhan butuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut memiliki kemampuan berkaitan dengan cara mengombinasikan kemampuan dan bakat setiap anak dalam beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut meliputi kemampuan berpikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara bersosialisasi. Hal-hal tersebut diarahkan pada keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku ke arah pendewasaan. Kemampuan guru semacam itu, merupakan kemahiran seorang guru dalam menyelaraskan keberadaan siswanya dengan kurikulum yang ada, kemudian diramu menjadi sebuah program pembelajaran individual. Program pembelajaran individual tersebut diarahkan pada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa. Kemandirian setiap peserta didik sangat berguna bagi diri peserta didik untuk dapat hidup dan menghidupi diri pribadinya tanpa bantuan khusus dari orang lain. Bantuan khusus yang dimaksudkan adalah pertolongan-pertolongan khusus dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah peserta didik menyelesaikan program pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran semacam ini secara konseptual mengarahkan para siswa berkebutuhan khusus untuk mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berperilaku adaptif. Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat mengatasi keadaankeadaan yang terjadi dalam lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan kemampuan berperilaku merespon tuntutan lingkungan, yakni melalui komposisi beberapa aspek perilaku dan fungsinya dengan melibatkan salah satu kemampuan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Beberapa kombinasi yang terlibat dalam proses penyesuaian meliputi aspek-aspek intektual, fisik, gerak, motivasi diri, sosial dan sensori (Smith, et al., 2002:95; Patton, et al., 1986:131; Kelly & Vergason, 1978:5). Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus, yang dipersiapkan oleh para guru di sekolah, ditujukan agar peserta didik mampu untuk berinteraksi terhadap lingkungan sosial. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik yang paling dominan dan didasarkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi sesuai dengan "Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan”, yang telah dicanangkan oleh menteri pendidikan nasional tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari-hari, dan kompetensi akademik (Greenspan, 1997:131, dalam Smith et al., 2002:95). Model bimbingan terhadap peserta didik berkebutuhan khusus seyogianya difokuskan dahulu terhadap perilaku nonadaptif atau perilaku menyimpang sebelum mereka melakukan kegiatan program pembelajaran individual. Bimbingan semacam ini dapat diterapkan melalui upaya-upaya pengondisian lingkungan yang dapat mencapai perkembangan optimal dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku efektif sesuai dengan tugastugas perkembangannya. Tentunya dengan mengacu pada teori-teori tentang perkembangan kepribadian dari Freud, Erickson, dan Maslow yang dikembangkan sesuai dengan "keberadaan" peserta didik di sekolah (Gumaer, J., 1984:7; Kartadinata, S., 2002:1).
Bab 2
PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL Sebutan populer untuk program pembelajaran individual seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan adalah individualized educational program (IEP). Program tersebut diprakarsai oleh Samuel Gridley Howe pada tahun 1871 (Abdurrahman, M. 1995:1). Bentuk pembelajaran semacam ini merupakan layanan yang lebih memfokuskan pada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. IEP sangat erat kaitannya dengan tiga komponen utama, yaitu sebagai berikut. 1. Tingkat kemampuan atau prestasi (performance level), yang diketahui setelah dilakukan asesmen melalui pengamatan dan tes-tes tertentu. Melalui informasi berkaitan dengan tingkat kemampuan atau prestasi, maka diharapkan para guru kelas dapat mengetahui secara pasti kebu-tuhan pembelajaran yang sesuai dengan siswa yang bersangkutan. Informasi umumnya berkaitan dengan kemampuan-kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampilan untuk menolong diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bakat vokasional, dan tingkat kemampuan berkomunikasi. Tingkat prestasi mengacu pada pernyataan yang bersifat data spesifik tentang bidang studi yang dapat dipakai sebagai sasaran pembelajaran, dan lebih menekankan pada informasi aspek-aspek positif dari setiap peserta didik. Artinya memandang anak didik dengan kebu-tuhan khusus dengan apa yang bisa ia lakukan, bukan dengan memandang "kelainan" yang ia sandang dan menjadi hambatan pembelajarannya. 2. Sasaran program tahunan (annual goals). Komponen ini merupakan kunci komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka panjang selama kegiatan sekolah, dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran antara (terminal goals) yang dituangkan ke dalam program semester. 3. Sasaran jangka pendek atau Short-Term Objective. Sasaran jangka pendek ini bersifat "sasaran antara" yang diterapkan setiap semester dalam tahun yang berjalan. Sasaran ini seharusnya sudah dikonsepkan oleh guru kelas sebelum penerapan program IEP, sehingga dipakai sebagai acuan dalam proses pembelajaran dan dikembangkan guna mencapai kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik (dapat diamati dan dapat diukur). Kemampuan spesifik itu berorientasi pada kebutuhan siswa (student-oriented), dan mengarah pada hal-hal yang positif. Kemampuan spesifik itu hendaknya dapat memenuhi kriteriakriteria keberhasilan tertentu untuk suatu tugas yang disampaikan kepada peserta didik dalam upaya mencapai sasaran tahunan saat disampaikan dalam proses pembelajaran (Polloway, E. A. & Patton J,R,; 1993:41-45). Perlu diperhatikan bahwa tugas-tugas yang disampaikan dalam IEP hendaknya mengarah pada perkembangan kedewasaan anak sesuai dengan sasaran akhir jangka pendek yang konsisten dengan sasaran jangka tahunan. Sasaran-sasaran tersebut dipilah menjadi bagian-bagian sehingga tugas-tugas dapat mudah dilakukan oleh peserta didik (bersifat task-analysis). Dengan demikian maka IEP merupakan bentuk pembelajaran yang mengacu pada perkembangan keterampilan khusus, perilaku adaptif, dan sesuai dengan penggunaan model ABC pada Operant Conditioning. Program IEP mengacu pada satu sasaran utama, yaitu annual goals, maka dalam program semacam ini diperlukan perumusan tujuan pembelajaran khusus dengan menggunakan kata kerja operasional (umumnya
mengutamakan ranah psikomotor, daripada penggunaan ranah pengetahuan atau afektif) untuk setiap tujuan yang akan dicapai dalam program pembelajaran, melalui suatu kegiatan belajar-mengajar (Abdurrahman. M., 1995:4). Kemampuan, kelemahan, minat peserta didik, dan tujuan kurikuler yang ditetapkan, merupakan titik awal guna mengembangkan tujuan-tujuan khusus pembelajaran. Informasi untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan peserta didik, diperoleh melalui dari hal-hal berikut. 1. Hasil tes awal atau pre tes, sebelum peserta didik melaksanakan suatu program pembelajaran, dilakukan pengamatan oleh tim terpadu dari beberapa disiplin ilmu termasuk guru kelas dan orang tua peserta didik. Tes-tes tertentu sesuai dengan kondisi dan keberadaan peserta didik. 2. Hasil-hasil tes formal selama proses identifikasi dan seleksi. 3. Hasil evaluasi dan pengamatan informal dilakukan oleh guru kelas dan guru bidang studi. 4. Hasil survey tentang minat dan kebutuhan sebenarnya dari peserta didik bersangkutan. 5. Hasil evaluasi terhadap pendapat orang tua peserta didik melalui daftar cek atau kuesioner. 6. Hasil informasi dari berbagai sumber yang relevan misalnya data dari guru bidang studi, kepala sekolah, ahli terapi, kalangan medis, dan para-medis. Semua hasil analisis terhadap informasi tersebut dapat menentukan profil peserta didik. Hasil analisis sangat membantu guru kelas dalam membuat dan menentukan bentuk-bentuk intervensi program pembelajaran yang bersifat individu. Saat dilakukan kegiatan skrining pada calon siswa untuk ditentukan sebagai siswa berkebutuhan khusus, seorang guru perlu mempertimbangkan beberapa aspek hasil pantauan dan pengamatan yang tercantum, terutama yang berkaitan dengan konteks lingkungan. Secara administrasi siklus pengumpulan data dan penetapan seorang anak sebagai peserta didik berkebutuhan khusus akan menerima individualized educational program (IEP), dapat dilihat pada Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa pada halaman berikut. Menurut Salvia dan Ysseldyke (1981:3-4 dalam Delphie, 2005:36) bahwa skrining atau asesmen yang dipergunakan dalam lingkungan pendidikan luar biasa merupakan suatu proses yang beraneka segi (multifaceted process) yang melibatkan lebih dari sekadar administrasi tes. Proses yang beraneka segi melibatkan tiga aspek pokok, selain perilaku sasaran (target behavior), yakni: 1. kondisi sebelumnya yang melatarbelakangi perilaku nonadaptif, atau maladjustment disebut dengan nama lain: antecedent conditions; 2. karakteristik-karakteristik khusus dari orang/siswa bersangkutan yang bersifat pribadi, disebut dengan related personal characteristics; dan 3. konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima setelah dilakukannya program pembelajaran individual, disebut dengan consequences. Semua hasil identifikasi dari nomor 1 sampai dengan 3 tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan suatu perilaku sasaran yang akan dikembangkan ke arah perilaku positif dalam suatu program pembelajaran khusus.
Gambar 2.1 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi Dan Penempatan Peserta Didik ke dalam Pendidikan Luar Biasa (Patton, et al., 1986:319 dalam Delphie, 2005:51)
Bab 3 Operant Conditioning
A. Pengertian Operant conditioning merupakan pengondisian karakteristik perilaku tertentu terhadap peserta didik berkebutuhan khusus. Secara alamiah, proses pengondisian karakteristik perilaku tertentu sangat diperlukan terhadap kejadian-kejadian yang berkaitan dengan perilaku yang mempunyai spesifikasi sulit. Kemungkinan diterapkannya operant conditioning terhadap perilaku-perilaku khusus berkaitan dengan seringnya muncul perilaku menyimpang berhubungan dengan waktu dan intensitasnya. Cohen, Liebson dan Fallace (1971) dalam penelitiannya telah memanfaatkan situasi kebiasaan minum minuman beralkohol terhadap para pemabuk berusia 39 tahun yang menjadi responden penelitiannya. Tujuan penelitian tersebut untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh alkohol terhadap perilaku tertentu. Sebagai alat intervensi adalah 24 ons ethanol setiap hari. Sedangkan keseluruhan minuman beralkohol yang dikonsumsi selama kegiatan, tergantung pada ukuran masing-masing responden. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh, subjek ditempatkan dalam lingkungan yang mengonsumsi susu kadar tinggi. Tindakan ini dilakukan jika subjek mengonsumsi kurang dari 5 ons ethanol setiap harinya. Pola penguatan atau reinforcement terhadap responden berupa negative consequences, yaitu jika subjek mengonsumsi lebih dari ukuran 5 ons ethanol setiap hari, yang bersangkutan akan kehilangan hak-hak istimewa untuk hari-hari berikutnya. Situasi minum sehari-hari memerlukan pengamatan terhadap perubahan-perubahan dalam cara minum. Hal ini sebagai fungsi dari kemungkinan-kemungkinan diterapkannya operant conditioning. Ketika operant conditioning mempunyai pengaruh, maka subjek atau pelaku diarahkan untuk meminum ethanol pada tingkat di bawah 5 ons perharinya. Operant conditioning ini dipergunakan juga untuk hal yang sama terhadap efek-efek penguatan melalui pemberian uang dan diberikannya kesempatan berkunjung ke teman kencan dalam upaya menurunkan kebiasaan meminum jenis minuman keras atau beralkohol tinggi. Seperti dipahami oleh Skinner (1938), operant conditioning merupakan intervensi pembelajaran yang esensial terhadap perilaku yang dapat memengaruhi consequences (s), yakni sebagai bentuk paradigma yang . sederhana untuk dipakai sebagai "penguatan yang bersifat positif" atau positive reinforcement: R SR R Kemungkinan yang muncul akibat reinforcement (S ) akan terjadi respon khusus (R). Kesatuan hubungan yang terjadi di antara respon dan reinforcement merupakan salah satu faktor operant yang sangat berbeda dari kondisi yang dilakukan oleh Pavlov. Di sisi lain secara esensial paradigma Thorndike (1911) berkaitan dengan "low of effect" menyatakan, bahwa respon-respon yang diikuti dengan adanya akibat (consequences) yang memuaskan, menjadikan hubungan situasi lebih kuat. Sebagai contoh, seekor tikus dalam operant chamber sebagai penguat diberi penguatan melalui makanan. Kemudian penguat lebih mendapatkan tekanan jika respon diberi penguatan
hanya sebagai bentuk rangsangan khusus berupa stimulus yang diskriminatif (SR), maka paradigma menjadi SD R SR. Sebagai contoh, tikus diberi penguatan (SR) sebagai bentuk penekanan terhadap respon (R) terhadap cahaya yang diberikan bersamaan dengan pemberian makanan (SD). Lebih jauh Skinner telah mengemukakan pendapatnya bahwa tugas utama ilmu psikologi hendaknya dapat menganalisis fungsional perilaku. Seorang ahli psikologi mampu menentukan fungsi dari perilaku penyebab (antecedents ) dan akibat perilaku (consequences). Pendekatan ini berdasarkan atas suatu model perilaku yang telah dipergunakan secara luas sebagai bentuk pendekatan operant terhadap perilaku manusia, sehingga pendekatan dalam mengarakteristikkan respon atau perilaku ini menjadi "model perilaku" yang menerapkan pendekatan pengkarakteristikkan perilaku manusia seperti berikut.
Operant conditioning merupakan faktor penting dalam pengembangan berbagai bentuk perilaku bermain dan perilaku sosial anak disamping dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan kontrol diri (Bijaou & Baer, 1967). Selanjutnya Skinner mengaplikasikan konsep-konsep operant untuk memahami kehidupan sehari-hari (1953) dan pengembangan masyarakat yang tidak praktis (1948). Aspek-aspek utama operant conditioning dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Acquisition atau kemahiran, merupakan tanggapan-tanggapan diikuti dengan penguatan dan peningkatan kekuatan respon hingga mencapai maksimal. 2. Extinction occurs atau terjadinya penghentian, jika respon yang terjadi tidak sesuai, dengan waktu tidak lama kegiatan yang sedang berlangsung dihentikan. Hal ini dimungkinkan terjadi penerimaan perilaku yang terjadi hanya sekali. 3. Spontaneous Recovery atau rekoveri secara spontan, dilakukan dalam situasi beberapa saat setelah extinction terjadi lagi respon-respon organ tubuh tetapi pada tingkat rendah. 4. Generalization and Discrimination atau penggeneralisasian dan diskriminasi, bila tanggapan-tanggapan mengarah pada terjadinya satu stimulus diskriminatif. Anak akan melakukan respon terhadap rangsangan atau stimulus yang sama tetapi secara eksplisit tidak terjadi penguatan dalam merespon terhadap stimulus kedua. Alat organ tubuh secara umum akan mempelajari respon hanya pada stimulus atau rangsangan yang pertama. 5. Punishment atau hukuman, tanggapan-tanggapan menjadi lebih rendah jika dilakukan hukuman positif atau penarikan rangsangan keinginan (yang bersifat hukuman negatif). Hukuman khusus berupa penguatan hukuman positif mempunyai variasi dari consequences yang tidak diinginkan. Dalam hal ini para ahli operant menyarankan cara lain berupa kontrol perilaku (behavioral control).
B. Isue-isue Penting dalam Operant Conditioning berupa: 1.
Nature of the Operant
Konsep-konsepnya berdasarkan suatu pandangan yang menyatakan bahwa, kita sering membicarakan tentang tanggapan-tanggapan konsep Skinner (1928). Tentang operant atau penguatan yang menitikberatkan hasil keluaran secara khusus, daripada hanya respon-respon atau tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan otot tertentu secara khusus. Bila anak menerima penguatan untuk melakukan dorongan terhadap panel (sebagai instrumen tertentu), maka dorongan terhadap panel merupakan pengondisian tertentu. Tidak perduli apakah anak menekan dengan menggunakan tangan yang kiri atau kanan, dengan kaki kiri atau kanan bahkan mungkin dengan hidungnya. Dalam keadaan seperti ini, pengaruh perilaku lebih dipentingkan daripada bentuk tanggapan atau respon.
2. Timing of Reinforcement and Punishment atau Waktu Untuk Melakukan Penguatan dan Hukuman Secara umum rangsangan penguatan dan hukuman dapat memengaruhi kinerja yang tinggi, jika segera diikuti dengan respon yang terjadi antara "target responses" dan "reinforcement", respon tersebut akan menjadi lebih dikuatkan. Hukuman seringkali lebih efektif, jika disampaikan terhadap anak ketika anak menunjukkan tanda-tanda perilaku yang tidak menyenangkan atau tidak diharapkan. Pada anak yang berusia lebih dewasa, waktu antara respon dan reinforcement atau punishment dapat dijembatani melalui ucapan-ucapan dari guru kelas selaku konselor. Sewaktu reinforcement dan punishment dilakukan, kata-kata yang digunakan hendaknya dapat mengarah pada situasi asli sewaktu perilaku anak bersangkutan muncul. Aronfreed (1968) telah mendemonstrasikan bagaimana seorang konselor meningkatkan keefektifan suatu hukuman yang ditunda dalam upaya menghambat perilaku menyimpang yang tidak diinginkan. 3 . Schedule of reinforcement Tanggapan atau respon hanya dapat diperkuat bersifat sementara, tidak bersifat secara terus-menerus. Misalnya, reinforcement dapat dilakukan setelah respon yang keempat dan tidak diberikan untuk setiap kali adanya respon. Salah satu penemuan Skinner yang menyatakan bahwa pemberian peng-uatan secara temporer atau bersifat sementara, dan dilakukan secara sistematik dapat meningkatkan perilaku yang baik secara terus-menerus. Pemberian penguatan terhadap respon secara bagian per bagian jauh lebih bersifat melawan terhadap pemunahan perilaku menyimpang daripada jika dilakukan secara 100% terhadap penguatan respon-respon. 4. Primary Vs Conditioned (Secondary) Reinforces Stimuli atau rangsangan yang berbeda merupakan penguatan yang diberikan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Dengan membuat penguatan-penguatan yang bersifat universal dan bersifat menyulitkan untuk diidentifikasi, mempunyai jenjang yang berbeda setiap reinforcer tertentu meskipun hanya beberapa bagian. Seperti permen karet mempunyai kegunaan yang tinggi untuk diterapkan terhadap beberapa anak muda. Keistimewaan yang dikandung dalam nilai-nilai reinforcers adalah dapat dipergunakan untuk menyusun prinsip-prinsip yang berhubungan dengan prinsip-prinsip metode pembelajaran yang bersifat mengaktifkan para peserta didiknya untuk melakukan penemuan sendiri (inquary). 5. Positive and Negative Reinforcement Penguatan yang diberikan terhadap peserta didik hendaknya dapat mening-katkan perilaku nonadaptif menjadi perilaku adaptif. Penguatan bersifat positif dapat terjadi ketika respon atau tanggapan diikuti dengan pemunculan kejadian-kejadian yang lebih baik. Penguatan negatif terjadi ketika tanggapan diikuti dengan penghentian dari kejadian yang tidak diharapkan. 6. Shaping atau pengondisian Terkadang tanggapan yang diinginkan tidak terjadi pada pengulangan perilaku. Pada suatu kasus yang tidak terjadi atau tidak diikuti dengan tanggapan atau respon, diperlukan penguatan. Seperti yang terjadi pada kasus operant psikologis dengan menggunakan shaping atau pengondisian. Kasus tersebut telah diteliti oleh Harris, Wolf dan Baer pada tahun 1964 dengan cara menga-mati anak remaja yang sedang asyik bermain sendirian tanpa teman.
Berdasarkan perkembangan sosial anak, maka pengondisian terhadap anak remaja dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sasaran perilaku atau "behavior target". Misalnya, melalui permainan interaktif bersama dengan anak-anak lain. Kegiatan permainan ini diarahkan oleh guru pada tingkat Sekolah Dasar, agar guru dapat melakukan penguatan dengan cara memperhatikan dan menyetujui saat individu melakukan permainan interaktif. Guru hendaknya tidak bersikap "acuh" saat peserta didiknya bermain sendirian tanpa teman, tetapi berilah penguatan terhadap peserta didiknya terutama saat bersangkutan melihat anak-anak lain sedang bermain bersama-sama. Selanjutnya arahkan individu untuk turut serta dalam permainan bersama teman-temannya. Permainan secara interaktif dalam kegiatan pembelajaran tertentu sangat sukses khususnya saat dilakukan pengendalian perilaku tertentu atau shaping. 7. Implication for Educators atau implikasi untuk para guru Para guru dan orang yang menangani anak-anak berperilaku tertentu, hendaknya lebih sensitif saat mereka berinteraksi. Perilaku peserta didik yang kurang hati-hati seringkali perlu mendapat penguatan atau hukuman. Lebih jauh, penentuan persepsi peserta didik bersangkutan apakah diperlukan bentuk-bentuk pemberian hadiah atau hukuman. Misalnya, guru kelas selaku konselor memberikan teriakan-teriakan terhadap peserta didik yang berkelakuan menyimpang yang dianggap tidak baik. Teriakan guru tersebut dapat menjadi suatu hukuman bagi peserta didik bersangkutan. Sangat mungkin terjadi pemberian penguatan hanya bersifat sementara terhadap perilaku menyimpang, yang kemunculannya tidak diinginkan. Hal ini dapat diterapkan sepanjang memberikan peningkatkan secara terus-menerus bentuk "pemadaman" atau penghentian perilaku yang tidak diinginkan, bersifat extinction. Dalam mengatasi peserta didik berkebutuhan khusus, khususnya mereka yang menyandang kelainan hambatan perkembangan mental, diharapkan guru kelas lebih banyak memberikan penguatan yang bersifat "tangible' dalam upaya pembentukan kinerja peserta didik.
Bab 4
KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru menurut Kauffman & Hallahan ( 2005:28-45), antara lain sebagai berikut. 1. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hen-daya perkembangan (Child with development impairment). 2. Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific Learning Disability). 3. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive). 4. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder). 5. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness) 6. Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan. 7. Anak Autistik (Autistic children). 8. Tunadaksa (Physical disability). 9. Tunaganda (Multiple Handicapped). 10. Anak berbakat (Giftedness and special talents).
A. ANAK TUNAGRAHITA (ANAK DENGAN HENDAYA PERKEMBANGAN) 1.
Karakteristik
Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata. Selain itu juga mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan batasan dari AAMD (Grossman,1983:11) sebagai berikut. “Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior and manifested during the developmental period" (Smith, Ittenbach, and Patton, 2002:54; Hallahan & Kauffman, 1991:80).
Definisi AAMD (1983) mengisyaratkan adanya kemampuan intelektual jika diukur dengan WISC-RIII (1991), mempunyai skor IQ 70, dan mempunyai hambatan pada komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adaptif (adaptive behavior). Dewasa ini berdasarkan hasil penelitian dari Greenspan's (1997) berkaitan dengan keterampilan praktis, keterampilan konseptual, dan keterampilan sosial, maka pengertian perilaku adaptif mengalami perubahan pandangan. Semula perilaku adaptif hanya bersifat komponen pelengkap yang dianggap kurang penting dibandingkan dengan kemampuan intelektual. Namun, saat ini perilaku adaptif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam menentukan seseorang termasuk sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang perilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi meliputi hal-hal sebagai berikut. a. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum, menyuap, berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara kesehatan diri. b. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak (gross dan fine motor). c. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. d. Keterampilan sosial, meliputi keterampilan bermain, keterampilan berin-teraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan, perilaku seksual, tanggungjawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang, dan ekspresi emosi. e. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti penge-tahuan tentang warna), membaca, menulis, fungsi-fungsi pengenalan terhadap angka, waktu, uang, dan pengukuran. f. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka, berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, kesela-matan diri, memelihara diri secara praktis. g. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, kegiatan di bank, dan cara mengatur pembelanjaan. h. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan memperbaiki barang-barang yang ada di rumah, cara membersihkan atau mencuci, keterampilan dapur, dan menjaga keselamatan rumah tangga. i. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan, memanfaatkan sumber-sumber lingkungan, penggunaan telepon, dan menjaga keselamatan lingkungan. j. Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta perilakunya, keterampilan mencari pekerjaan, penampilan diri sebagai karyawan/pekerja, perilaku sosial dalam pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja. (Smith dkk, 2002:99). Berdasarkan definisi tersebut, maka karakteristik anak dengan hendaya perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut. a. Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita. b. Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy for filure).
c. d. e. f. g. h. i. j. k. 2.
Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness). Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri. Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (social beha-vioral). Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar. Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan. Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik. Kurang mampu untuk berkomunikasi. Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak. Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al., 2002:278-289). Perspektif Berdasarkan Definisi
Dewasa ini definisi American Association on Mental Disorder (AAMD) dari Grossman (1983), bergeser dan digantikan dengan definisi American Association of Mental Retardation dari Luckasson (1992). Definisi AAMR (1992) menyatakan bahwa: Mental Retardation "refers to substantial limitations in present functioning. It is characterized by significantly subaverage intellectual functioning, existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive skills areas: communication, selfcare, home living, social skills, community use, self direction, health and safety, functional academic, leisure and work. Mental retardation menifests before age 18" (Luckasson, 1992:1 dalam Snith, et al. 2002:56).
Secara implisit definisi tersebut mengemukakan adanya empat fungsi yang esensial dan perlu mendapatkan perhatian saat penerapan di lapangan. Keempat fungsi tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. a. Saat proses asesmen diterapkan, asesmen dapat dikatakan valid bila penggunaan instrumen dan proses kegiatannya memperhatikan aspek-aspek budaya dan perbedaan linguistik, dan cara melakukan komunikasi serta faktor-faktor berkaitan dengan perilaku. b. Terjadinya keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri (adaptive behavior) berkaitan erat dengan lingkungan kehidupan yang bersifat khu-sus dari pasangan seumurnya. Keterbatasan penyesuaian diri dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa anak dengan hambatan perkembangan memerlukan bantuan layanan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. c Keterbatasan dalam menyesuaikan diri selalu diikuti dengan kemunculan kemampuan pribadi lainnya. d. Melalui bantuan layanan dalam periode waktu yang cukup lama secara terus-menerus, keberfungsian kehidupan pribadi anak dengan hambatan perkembangan pada umumnya dapat meningkat. Terdapat beberapa perubahan signifikan yang muncul pada definisi AAMR (Luckasson, 1992) yang belum nampak pada definisi AAMD (Grossman, 1983), antara lain sebagai berikut. a. Spesifikasi perilaku nonadaptif ditentukan dengan melihat adanya dua atau lebih "kelainan" yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan adaptif, yakni komunikasi, bina diri, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah, keterampilan sosial, kemampuan menggunakan peralatan yang ada di rumah, mengatur diri sendiri, menjaga kesehatan dan keselamatan diri, kemampuan akademik, pekerjaan, dan cara menggunakan waktu luang.
b.
c.
d.
Terdapat tiga langkah prosedur pemberian layanan anak dengan hendaya perkembangan berkaitan dengan pola mendiagnosis, pola mengklasi-fikasikan, dan pola mengidentifikasi. Langkah-langkah dari ketiga prosedur tersebut adalah: 1. melakukan diagnosis berkaitan dengan ketidakmampuan diri terhadap sepuluh daerah keterampilan (dua atau lebih); 2. melakukan klasifikasi dan pendeskripsian kemampuan atau kelemahan dan kebutuhan terhadap layanan khususnya; dan 3. menentukan profil dan intensitas kebutuhan khusus, meliptui tiga dimensi yakni berupa keberfungsian intelektual dan keterampilan dalam penyesuaian diri, mempertimbangkan faktor psikologis dan emosional, mempertimbangkan kesehatan pribadi atau etiologi, serta pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Terdapat sistem baru dalam pengklasifikasian setiap pribadi anak yang mempunyai hendaya perkembangan berkaitan dengan rekomendasi sampai sejauhmana "tingkat keberadaannya" apakah sewaktu-waktu, secara terbatas, secara meluas, atau menembus sesuai dengan keperluan-nya. Ini berarti klasifikasi tidak berdasarkan atas skor intelligence quotients. Perkembangan profil kebutuhan layanan akan berdasarkan pada empat dimensi yaitu: 1. keberfungsian intelektual dan kemampuan beradaptasi; 2. Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan psikologikal atau emosional; 3. Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kesehatan atau etiologi; dan 4. pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.
Instrumen asesmen yang menghasilkan skor IQ yaitu Wechsler Intelligence Scale for Children Revised (WISCR), dan The AAMD Adaptive Behavior Scale-School Edition atau The Adaptive Behavior Inventory for Children (ABIC) yang menghasilkan informasi berkaitan dengan perilaku adaptif yang bersifat nonakademik, sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia . Termasuk dalam penentuan klasifikasi terhadap anak dengan hendaya perkembangan serta patokan dalam pemberian layanan khusus terhadapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pendapat para ahli yang menyatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan jika bentuk tes tersebut di terapkan pada wilayah di luar Amerika Serikat. Hallahan dan Kauffman (1991:93), menyatakan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan pada kedua tes, yaitu: WISCR dan AAMD Adaptive Behavior Scale School Edition atau Adaptive Behavior Inventory for Children akan diterapkan di lapangan, antara lain sebagai berikut. a. Kemampuan individu akan berubah secara dramatis dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan skor IQ berubah pula. b. Seluruh item tes IQ akan menemui kesulitan bila diterapkan pada anak-anak yang berlatar belakang di luar budaya bangsa Amerika tempat instrumen tersebut dibuat. c. Tes IQ terhadap anak usia dini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan, padahal validitasnya cukup tinggi. Terhadap anak usia muda dan dewasa tes IQ mempunyai validitas dan reliabilitas berkecenderungan sangat rendah. d. Tes IQ bukan "merupakan titik awal dan titik akhir" atau "Be all and end all" untuk dipergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kemampuan individu secara menyeluruh dalam fungsi kehidupan sosial. 3.
Perspektif Sosiologikal Anak dengan Hendaya Perkem Perkembangan kembangan
Jane Mercer (1973 dalam Patton, 1986:48) kurang menyetujui penggunaan suatu pendekatan yang berhubungan dengan pembatasan atau definisi mengenai "ketunagrahitaan" seperti yang telah dikemukakan
oleh Heber (definisi tahun 1959 dan 1961) maupun Grossman (definisi tahun 1973 dan 1983) dalam menentukan apa yang disebut dengan "ketidaknormalan perilaku." Pendekatan atau definisi Heber dan Grossman merupakan pandangan yang bersifat tradisional atas dasar perspektif klinis dan patologis/ medis, dan model statistik. Model patologis memandang suatu "ketunagrahitaan" sebagai bentuk "kelainan" akibat penyakit atau a disease, ditandai dengan kemunculan gejalagejala (symptoms). Model statistik selalu mengidentifikasikan satu bagian tertentu dari suatu populasi yang dianggap abnormal. Model statistik membuat perbedaan antara seorang individu dengan cara membandingkan prestasi individu dengan prestasi yang dianggap kelompok "normal." Pendekatan patologis dan statistik semestinya hanya cocok dipergunakan dalam kegiatan mengidentifikasi terhadap kasus-kasus atau pokok-pokok persoalan yang ada pada anak dengan hendaya perkembangan. Dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam definisi AAMD (Grossman, 1983) kurang memuaskan karena mengandung aspek-aspek pendekatan tradisional ke arah patologis dan statistik. Sebagai alternatif pemecahan, Jane Mercer mengemukakan perspektif sistem sosial ( a social system perspective). Sistem ini dapat dipakai sebagai pencapaian status sosial seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu tempat individu bersangkutan tinggal. Ia menyatakan sebagai berikut. "The status of mental retardate is associated with a role which person occupaying that status are expected to play. A person's career in acquaring the status playing the role of mental retardate can be described in the same fashion as the career of a person who acquaries any other status such as lawyer, bank president or teacher" (Mercer, 1974 dalam Patton, 1986:46).
Berdasarkan pernyataan Mercer tersebut, maka pendekatan dengan sistem sosial memungkinkan diterapkan sebagai pola keseimbangan dalam masyarakat. Pendekatan ini dilakukan terhadap sejumlah anakanak usia sekolah dari kelompok sosial ekonomi yang rendah dan budaya minoritas. 4.
Perspektif Psikometrik Anak dengan Hendaya Perkembangan
Psikometrik merupakan ukuran variabel patologis berkaitan dengan inteligensi, kemampuan berperilaku adaptif, dan kelainan atau gangguan emosional. Memperhatikan definisi anak dengan hendaya perkembangan dari Grosman (1983) maka akan nampak secara jelas kelemahan-kelemahan dari definisi ini. Hal ini terjadi disebabkan dalam definisi tersebut hanya bersifat perbandingan secara garis besar dari individu tertentu yang diidentifikasikan sebagai "anak dengan hendaya perkembangan". Dapat dikatakan bahwa definisi tersebut kurang dapat mewakili sebagai bentuk diagnosis secara objektif. Alasan untuk hal ini antara lain sebagai berikut. a. Tidak praktis atau susah dalam penerapannya, karena dalam definisi tidak dilengkapi dengan keobjektifan diagnosis. b. IQ tes tidak mampu untuk menguji rasa takut (anxiety), kesehatan yang rendah (poor healthy), dan kelangkaan motivasi (lack of motivation). Keadaan yang berkaitan dengan rasa takut dan kelangkaan motivasi sesungguhnya berkaitan dengan prestasi seseorang. c. IQ tes dilakukan sepenuhnya dengan secara lisan (verbal). Ini berarti bahwa terhadap anak berkebutuhan khusus, IQ tes tidak dapat diterapkan karena sebagian besar mereka tidak mampu untuk melakukan tanyajawab secara tatap muka seperti anak "normal", kecuali dilakukan dengan cara observasi langsung. Faktor lainnya, tidak dapat diterapkannya IQ tes disebabkan oleh faktor bahasa (linguistik yang tidak terstandar seperti Inggris-Amerika). Jika dipaksa diterapkan, secara otomatis individu yang bersangkutan langsung menjadi "mentally retarded."
c.
IQ memberikan pandangan yang berat sebelah dalam asesmen berkaitan dengan inteligensi bagi anakanak yang berasal dari golongan yang berbudaya minoritas dan kelompok ekonomi sosial yang rendah (Patton, et al., 1986:50).
Banyak ahli psikologi kurang menyetujui terhadap berbagai aspek yang ada dalam definisi Grossman (1983), mereka menyatakan sebagai berikut. a. Landasan dasar pemilihan terhadap kesepuluh wilayah keterampilan berperilaku adaptif sebagai patokan penentuan perilaku nonadaptif merupakan tindakan yang sewenang-wenang. b. Ada beberapa kemampuan perilaku adaptif yang bukan merupakan hal penting untuk dilakukan suatu diagnosis, seperti: keterampilan menggu-nakan waktu luang (leisure time). c. Keseluruhan pengukuran yang berkaitan dengan perilaku adaptif anak dengan hendaya perkembangan hanya bersifat teknis (Smith, et al., 2002:101). 5.
Perspektif Analisis Perilaku Sosial Anak dengan Hendaya Perkembangan
Sidney Bijou (1966:2) memandang keterbelakangan perkembangan perilaku merupakan fungsi interaksi seseorang yang diukur sejalan dengan keadaan sosial, fisik, dan lingkungan biologis dari diri bersangkutan (dalam Patton, 1986:50), seperti pernyataan berikut. "Developmental retardation be treated as observable, objectively defined stimulus-response relationships without recourse to hypothetical mental concepts such as "defective intelligence" and hypothetical biological abnormalities such as "clinically inferred brain injury". From this point of view a retarded individual is one who has limited repertory of behavior shaped by events that constitute the history."
Sejalan dengan pendapat Bijou, Repp (1983) berpendapat mengenai perspektif analisis perilaku sosial sebagai berikut. a. Semua perilaku adaptif dan maladaptif diperoleh dan diputuskan berda-sarkan prinsip-prinsip belajar yang sama terhadap anak hendaya perkem-bangan yang mampu belajar, walaupun mereka akan belajar lebih lambat dibandingkan dengan anak "normal". Jadi sebaiknya mereka tidak belajar dengan petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan tertentu yang ber-beda dengan keberadaannya; b. Sudah merupakan suatu asumsi dasar bahwa perilaku seseorang tergan-tung pada kondisi-kondisi lingkungan" (dalam Patton, 1986:50). Pendekatan analisis perilaku untuk anak dengan hendaya perkembangan dari Bijou sangat bijaksana bila diterapkan di Indonesia. Dengan demikian maka yang paling logis berkaitan dengan pemberian definisi anak dengan hendaya perkembangan adalah,"Sampai sejauhmana kemampuan seseorang mampu mengubah perilakunya sehingga sesuai dengan kondisi di sekitarnya?" Kemampuan mengubah perilaku sesuai dengan kondisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dengan intervensi-intervensi yang mengarah kepada penyembuhan. Intervensi yang bersifat penyembuhan dapat dilakukan dengan menerapkan permainan terapeutik dan pola gerak. Hal itu dikarenakan intervensi ini bersifat naturalistik dan mudah diterapkan terhadap anak berkebutuhan khusus (Bijou, 1966; Ullman & Krasner, 1969; Repp, 1983; Mercer, 1975: a.b.; dalam Patton, et al., 1986:52). Orientasi perilaku sosial meluas melampaui prinsip-prinsip perilaku yang mendasar yaitu: motivasi emosional, kognitif bahasa, dan sensorimotor. Ketiga dasar perilaku itu sangat berguna untuk diterapkan pada situasi belajar-mengajar. Belajar merupakan suatu bentuk penjabaran tentang suatu sistem perkembangan perilaku yang kompleks, diperoleh melalui interaksi individu dengan faktor-faktor lingkungan. Berdasarkan hal ini maka ketiga bentuk dasar perilaku tersebut dapat dipergunakan saat berlangsungnya proses pembentukan perilaku seseorang (Staats, 1975; dalam Patton, et al.,1986:52). Konsekuensi dari pandangan tersebut, fokus
utama orientasi perilaku sosial bagi anak dengan hendaya perkembangan mengacu pada perkembangan keterampilan atau kecakapan, kondisi-kondisi pembelajaran (berupa faktor-faktor lingkungan, dan pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengoperasiannya), dan bentuk-bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran sedang berlangsung (Staat & Burn, 1981:290 dalam Patton, 1986:52).
B. ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR (LEARNING DISABILITY) DAN ANAK BERPRESTASI RENDAH 1.
Anak dengan Kesulitan Belajar atau Berprestasi Rendah (Learning Disability)
Anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya kita temui di sekolah, karena mereka pada umumnya tidak mampu menguasai bidang studi tertentu yang diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Ada sebagian besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran sangat rendah ditandai pula dengan tes IQ berada di bawah re-rata normal. Untuk golongan ini disebut dengan slow learners. Pencapaian prestasi rendah umumnya disebabkan oleh faktor minimal brain dysfunction, dyslexia, atau perceptual disability. Di Amerika Serikat anak yang berprestasi rendah disebut dengan istilah Specific Learning Disability, dengan batasan sebagai berikut. "Specific learning disability means a disorder in one or more of the basic physiological processes involved in understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculations. The term includes such condition as perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, and developmental aphasia. The term does not include children who have learning problems, of mental retardation, of emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic disadvantage" (US Office of Education, 1977: p.65 083; Ashman and Elkins, 1994:242; Hallahan & Kauffman, 1991:126).
Berdasarkan definisi tersebut, maka peserta didik yang tergolong dalam specific learning disability mempunyai karakteristik sebagai berikut. a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehingga meng-ganggu kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis. b. Pada umumnya mereka tidak mampu untuk menjadi pendengar yang baik, untuk berpikir, untuk berbicara, membaca dan menulis, mengeja huruf, bahkan perhitungan yang bersifat matematika. c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil tes IQ atau tes prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di sekolah. d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh perceptual handicapes, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental aphasia. e. Mereka tidak tergolong ke dalam penyandang tunagrahita, tunalaras, atau mereka yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau faktor ekonomi. g. Mempunyai karakteristik khusus berupa kesulitan di bidang akademik (academic difficulties), masalahmasalah kognitif (cognitive problems), dan masalah-masalah emosi sosial (social emotional problems). Kesulitan yang mereka dapatkan pada bidang akademik antara lain membaca (Berry & Kirk, 1980), menulis dalam menyampaikan ide, mengeja suatu tulisan yang bersifat cerita, melakukan komunikasi melalui tulisan atau surat-menyurat; dan matematika. Terutama pemahaman terhadap konsep-konsep dan cara melakukan perhitungan angka-angka (Bourke & Reevers, 1977; Mercer & Miller, 1992). Pada bidang kognitif, berkaitan erat dengan kemampuan berpikir. Umumnya peserta didik yang berprestasi rendah menunjukkan kekurangmampuan dirinya dalam mengadaptasi proses informasi yang datang pada dirinya. Baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun persepsi tubuhnya (visual, auditory and spatial perception). Mereka memerlukan latihan untuk dapat mengefektifkan daya ingatannya, perhatian dan kesadaran
dirinya terhadap tugas-tugas sesuai dengan karakteristik kelainannya (yang bersifat memory, attention, and metacognition). Pada perkembangan emosi sosial, ada empat lingkup yang memerlukan perhatian guru di sekolah, berupa: a. konsep diri terhadap fisiknya, daya berpikirnya, dan sosialnya (self concept); b. kepercayaan terhadap kesuksesan dalam melakukan tugas (causal attributions); c. berhubungan dengan keyakinan dirinya yang kurang menaruh perhatian penuh terhadap sesuatu (learned helpessness); dan d. kemampuan untuk bergaul atau berteman (social interaction). Frustasi selalu dirasakan oleh anak-anak dengan kesulitan belajar. Hal ini disebabkan mereka mempunyai masalah belajar di sekolah. Walaupun kemampuan inteligensinya tidak lebih rendah dengan teman-teman sekelasnya yang normal. Umumnya anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai kesulitan belajar satu atau lebih pada bidang akademik. Mereka juga dimungkinkan mempunyai hendaya penyerta hiperaktif dan kurang atensi. Indikasi untuk anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan atau terhambatnya perkembangan dalam satu atau beberapa bagian dari proses belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih pada proses-proses dasar pemahaman atau penggunaan bahasa tulis maupun lisan. Contohnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan dalam membaca, menulis, matematika, mengeja huruf, mendengarkan, berpikir dan mengingat-ingat, penyimpangan dalam keterampilan persepsi, keterampilan gerak, atau pada aspek-aspek belajar lainnya. Oleh karena itu sebagian besar para ahli banyak menggunakan istilah kesulitan belajar-khusus (specific learning disability) (Geddes, D., 1981:111; Reynolds, C.R. & Mann, L., 1987:1483; Lerner, J.W., 1985:7; Ashman, A. & Elkins, J., 1994:241; PL-USA. 94-142). Istilah kesulitan belajar khusus (specific learning disablity) banyak diterapkan oleh para pendidik yang menunjukkan pada indikasi bahwa anak yang bersangkutan secara jelas mempunyai masalah khusus dalam proses belajar. Sebagai contoh, anak yang tergolong ke dalam tipe disleksia visual, yaitu ketidakmampuan membedakan secara visual menjadi penyebab tidak mampu mengidentifikasi huruf yang bentuknya hampir serupa, seperti huruf "b" dengan huruf "d". Walaupun beberapa anak dengan kesulitan belajar khusus menunjukkan bukti-bukti yang kuat adanya cedera pada sistem saraf pusat, dibandingkan dengan teman-teman yang normal, namun sesungguhnya mereka hanya mempunyai sistem saraf pusat yang tidak berfungsi (dysfunction). Hal ini dicirikan dengan adanya ketidakberfungsian otak bukan disebabkan adanya cedera pada lapisan otak. Para ahli menyatakan dengan istilah dysfunction disebabkan tidak ditemukan bukti adanya cedera pada sistem saraf pusat secara nyata saat dilakukan diagnosis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:123). Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar juga mempunyai permasalahan dalam bidang sosial emosional. Oleh karena itu pembuatan program pembelajarannya hendaknya lebih menitikberatkan pada penyesuaian sosial. Melalui latihan-latihan persepsi dimungkinkan dapat meningkatkan keterampilan perseptualnya. Umumnya latihan-latihan persepsi berkaitan erat dengan gerak atau perceptual motor (Hallahan & Kauffman, 1991:123). Kekurangan dalam pengalaman satu atau lebih dari komponen-komponen dasar dalam proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor (sensory motor & perceptual motor) (Geddes, D., 1981:112; Lerner, J., 1985:265). Kekurangan itu dapat dijembatani dengan memanfaatkan pola gerak (motor pattern) dan keterampilan gerak (motor skills) sebagai salah satu upaya intervensi guru dalam pembelajaran individual terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar. Dengan hal tersebut, dikemudian hari siswa yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kemampuan secara umum dan memperoleh
peningkatan dalam kehidupannya. Pola gerak (motor pattern) dan keterampilan gerak (motor skills) merupakan landasan utama dalam gerak irama (body movement) setiap individu. 2. a.
Konsep Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar (Learning Disability) Pengertian Anak dengan Kesulitan Belajar
Permasalahan berkaitan dengan “arti kata” muncul saat memberikan definisi terhadap istilah kesulitan belajar (learning disability). Hal tersebut terjadi saat proses belajar ditinjau berdasarkan orientasi yang bersifat pendidikan dan klinis. Para ahli klinis menyebutnya dengan istilah "ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera pada otak" (minimal cerebral dysfunction or brain injured) (Geddes, D., 1981:111; Lerner, J., 1985:51), ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain dysfunction) (Kelly & Vergason, 1978:91; Lerner, J., 19885:35), disleksia (dyslexia) dan ketidakmampuan perseptual (perceptual disability)(Ashman, A & Elkins, J., 1994:238). Di sisi lain, para pendidik menyebutnya dengan istilah “hambatan dalam pendidikan (educationally handicapped)”, atau hambatan berkaitan dengan persepsi (perceptually handicapped). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar, secara umum mempunyai inteligensi yang berada di re-rata normal atau di bawah rerata normal. Mereka yang dikategorikan sebagai anak dengan inteligensi di bawah normal, tidak diklasifikasikan sebagai tunagrahita. Ada dua definisi tentang kesulitan belajar (learning disability) yang sangat berperan dalam penyusunan definisi yang ada pada Public Law (PL) 94-142, the Education for All Handicapped Children Act (Departemen Pendidikan Amerika Serikat, 1977). Kedua definisi tersebut adalah: 1. definisi dari hasil kongres panitia penasihat nasional untuk anak-anak luar biasa di Amerika Serikat, dikenal dengan nama Congres of the National Advisory Committee on Handicapped Children (1968), dan 2. definisi dari panitia kerja sama nasional untuk kesulitan belajar, dikenal dengan nama: the National Joint Committee on Learning Disabilities (NJCLD) tahun 1981. 1.
2.
3.
4.
1. 2.
Konsep-konsep dasar utama dalam definisi pertama (PL 94-142), memuat empat hal sebagai berikut. Seseorang dinyatakan mempunyai hendaya kesulitan belajar dalam satu atau lebih dari proses dasar psikologis (proses mengacu pada kemampuan hakiki sebagai prasyarat penguasaan suatu keterampilan, seperti memori, persepsi pendengaran, persepsi penglihatan, dan berbahasa secara lisan). Seseorang mempunyai hambatan dalam belajar, khususnya berkaitan dengan berbicara, mendengarkan, menulis, membaca (seperti, keteram-pilan mengenali huruf dan pemahamannya), dan matematika (berupa penghitungan dan mengemukakan alasan-alasan). Masalah kesulitan belajar yang ada bukan disebabkan oleh kasus-kasus utama seperti hendaya visual dan pendengaran, kelainan gerak, tuna-grahita, gangguan emosional, gangguan ekonomi, lingkungan, atau keadaan yang merugikan yang diperoleh dari suatu budaya. Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok di antara potensi nyata belajar anak dan pencapaian kecakapan taraf rendah dari anak yang bersangkutan. Sedangkan konsep-konsep utama dari definisi kedua (NJCLD), meliputi hal-hal sebagai berikut. Hendaya kesulitan belajar merupakan kelompok kelainan yang beraneka-ragam. Seseorang dengan hendaya kesulitan belajar banyak memun-culkan permasalahan yang berbeda. Permasalahan yang terjadi merupakan masalah yang benar-benar hanya ada pada perorangan. Diartikan bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi akibat adanya faktor yang ada pada diri sendiri bukan dari faktorfaktor eksternal seperti sistem lingkungan atau sistem pendidikan.
3. 4.
Perhatian terhadap hendaya kesulitan belajar hendaknya tertuju pada ketidakberfungsian sistem saraf pusat. Karena telah dikenali sebagai masalah yang mendasar dari faktor biologis. Hendaya kesulitan belajar, umumnya diikuti dengan kondisi kelainan lain. Telah diketahui secara nyata bahwa umumnya seseorang dengan hendaya kesulitan belajar diikuti dengan hendaya penyerta seperti kelainan emosional pada saat yang bersamaan.
Menurut Nathan (1963), istilah kesulitan belajar (learning disability) diberikan kepada anak yang mengalami kegagalan dalam situasi pembelajaran tertentu. Dalam hal ini belajar didefinisikan sebagai "perubahan perilaku yang terjadi secara terus-menerus yang tidak diakibatkan oleh kelelahan atau penyakit" (dalam Cruickshank & Hallahan, 1975:4). Maka setiap karakteristik yang bersifat individu merupakan hasil dari perpaduan pengaruhpengaruh lingkungan dan kondisi-kondisi genetika. Dengan demikian variabel-variabel organismik, dan genetika sangat berpengaruh terhadap perilaku selama lingkungan juga turut berpengaruh. Pengaruh organismik dan genetika memerlukan adanya respon lingkungan yang efektif (Throne, 1970, 1972 dalam Cruickshank & Hallahan, 1975:4). Perubahan-perubahan dalam perilaku dan belajar setiap individu dapat terjadi melalui manipulasi variabel lingkungan dan genetika pada situasi khusus dari suatu perkembangan yang bersifat individu. Dengan demikian terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), tunagrahita (mentally retarded), dan cerebral palsy mempunyai dampak terhadap kemampuan mengatasi kondisi-kondisi lingkungan secara luar biasa yang berbeda dengan anak-anak normal. Jika inteligensi didefinisikan secara operasional sebagai "proses melalui pembelajaran terhadap anak yang menggunakan sarana budaya dalam upaya untuk mengetahui dan melakukan manipulasi lingkungan", maka dapat dikatakan bahwa setiap perkembangan inteligensi secara langsung berkaitan dengan dukungan yang berhubungan dengan azas keturunan (genetika) dari perseorangan dan beberapa lingkungan tempat anak hidup. Perbedaan lingkungan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan inteligensi. Dan secara relatif proporsi genetika dan lingkungan akan berbeda-beda pula hasilnya dalam tes inteligensi. Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak-anak. Perhatian terhadap perbedaan-perbedaan dalam strategi belajar yang memasukkan pengaruh-pengaruh lingkungan dan perkembangan mental merupakan aspek-aspek kualitatif dari perilaku anak-anak. Konsep dasar dalam kesehatan anak menyatakan bahwa pemberian makanan secara tepat dalam kuantitas dan kualitas merupakan prasyarat bagi pertumbuhan dan perkembangan optimal bagi bayi dan anak. Dengan demikian malnutrisi saat kehidupan dini mempunyai kontribusi terhadap keberfungsian di bawah normal dan ketidakmampuan belajar di kemudian hari (Cruickshank & Hallahan, 1975:27). Interpretasi dari peran nutrisi terhadap perkembangan mental dan belajar merupakan hal yang rumit. Hal tersebut terjadi karena malnutrisi merupakan hasil akhir (out come) ekologis. Sebagai ilustrasi (pada halaman berikut), digambarkan beberapa hubungan antara faktor-faktor biologis, sosial, budaya, dan ekonomi yang menghasilkan malnutrisi pada masa bayi. Proses belajar pada seorang anak dilakukan melalui penerimaan secara selektif dan diterima sebagai masukan sensori yang memberikan informasi berkaitan dengan lingkungan hidup. Untuk mendapatkan makna, stimuli sensori yang bekerja harus mampu melakukan proses, dapat menghubungkan, dan berintegrasi dalam kulit lapisan otak (cortex) untuk menyalurkan informasi dan mendapatkan pengertian yang sama. Informasi diperoleh melalui kemampuan persepsi dan keterampilan kesadaran tubuh, disimpan di otak untuk nantinya digunakan sebagai bentuk respon. Tipe respon antara lain berbicara, menulis, mengeja huruf, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerak, keterampilan khusus psikomotor (seperti memukul bola). (Lihat Diagram 7.1!) Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah. (Cruickshank & Hallahan, 1975:30).
Selanjutnya, tingkat kemampuan persepsi perlu adanya pertimbangan terhadap tingkat yang paling rendah pada jenjang pengalaman-pengalaman belajar dalam kognisi. Privalensi terjadinya hendaya kelainan belajar pada seorang anak bervariasi dan sangat sulit. Hal ini disebabkan adanya permasalahan berkaitan dengan semantik (ilmu berkaitan dengan arti kata) yang terlibat saat memberikan definisi. Kirk (1972, dalam Geddes. D., 1981:112) menyatakan bahwa privalensi berkisar 3 hingga 15 persen bahkan lebih dari seluruh populasi anak-anak usia sekolah. Lerner, J. (1985:16) menyatakan bahwa sekitar satu hingga 30 persen dari populasi anak-anak usia sekolah. Sedangkan Departemen Pendidikan Amerika Serikat (1989, dalam Hallahan & Kauffman, 1991:127) menyatakan sekitar 4,41 persen dari populasi anak-anak usia sekolah yang berumur di antara 6 hingga 17 tahun. Penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar (Geddes, 1981:113) adalah faktor organ tubuh (organically based etiologies), dan lingkungan (environmentally based etiologies). Ahli lainnya menyebutkan bahwa penyebab terjadi anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah disebabkan oleh tiga kategori, yaitu: 1. faktor organik dan biologis (organic and biological factors), 2. faktor genetika (genetic factors), dan 3 faktor lingkungan (environmental factors) (Hallahan & Kauffman, 1991:128).
1. 2.
3. 4.
5.
Penyebab dari faktor organ tubuh (Geddes, D., 1981:113), disebabkan adanya faktor-faktor berikut. Konsep tentang minimal disfungsi otak. Kegiatan otak yang berada di bawah optimal tidak terjadi dikarenakan adanya cedera pada struktur lapisan luar otak (cortex). Faktor patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi-kondisi seperti cerebral hemorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan pada kepala, kelahiran prematur, anoxia (kelangkaan oksigen), ketidaksesuaian faktor Rh, kecacatan bawaan, dan faktor-faktor genetika. Hubungan di antara tipe-tipe disfungsi otak keterampilan neural di bawah optimal menyebabkan terjadinya hendaya pada daerah cerebral berkaitan dengan manifestasi tanda-tanda yang bersifat neurologis halus. Hubungan antara disfungsi otak dan kelainan belajar khusus anak dimungkinkan menunjukkan: a. gejala-gejala disfungsi otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai ketidakmampuan belajar, b. kedua-duanya, baik disfungsi otak dan ketidakmampuan belajar, atau c. adanya ketidakmampuan belajar tetapi tanda-tanda adanya malfungsi otak tidak teramati (Myers & Hammill, 1976 dalam Geddes, D, 1981:113). Adanya kelainan-kelainan yang bersifat medis dewasa ini (Kauffman & Hallahan, 1976), lebih menititkberatkan pada kegiatan melakukan hipotesis tentang kasus-kasus yang meliputi: kelainan kelenjar, hypoglycemia, narcolepsy complex, penyimpangan penggunaan vitamin, dan alergi.
Sedangkan etiologi berdasarkan atas faktor lingkungan (Geddes,D., 1981:113), meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Pengaruh dari gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan masalah-masalah emosional berkecenderungan mempunyai kelemahan dalam persepsi, bicara, dan mata pelajaran akademik (Myers & Hammill, 1976). 2. Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh sebelumnya. Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensori motor untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan perseptual (oleh karena itu dalam setiap program yang berkaitan dengan persepsi-gerak selalu diimplementasikan sensori motor guna meningkatkan keterampilan perseptual) (Myers & Hammill, 1976). 3. Kehilangan lingkungan (Kauffman & Hallahan, 1976). Kecenderungan kehilangan lingkungan bagi seorang anak akan menimbulkan masalah belajar yang mungkin menjadi penyebab adanya pengalaman-
pengalaman belajar yang kurang memadai, kegiatan belajar yang sangat rendah, rendahnya perawatan yang bersifat medis menjadikan seorang anak mempunyai cedera pada otak. Faktor organik dan biologis sebagai penyebab anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:128), adalah sebagai berikut. 1. Adanya pengembangan terhadap suatu teori yang menyatakan bahwa mixed dominance sebagai indikasi dari patologi otak sebagai penyebab adanya kesulitan membaca. Mixed dominance merupakan istilah yang diterapkan terhadap seseorang yang mempunyai kondisi yang mengu-tamakan penggunaan secara tetap campuran sisi anatomisnya, sehingga memberikan gambaran adanya perkembangan tidak normal pada otak. Contohnya, kegiatan yang dilakukan lebih mengutamakan menggunakan gerak campuran dari beberapa anggota tubuh secara bersamaan, seperti tangan kanan dengan mata sebelah kiri (Orton, 1937 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128; Kelly & Vergasson, 1978:91). 2. Kebanyakan anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai getaran otak yang tidak normal, jika diukur dengan komputer digital dan dilakukan analisis dengan electroencephalogram (EEG). Pencatatan kegiatan elektris pada otak dengan menempatkan elektrode pada lokasi yang berbeda di kepala anak bersangkutan. 3. Melalui penggunaan metode baru, seperti penggunaan computerized tomographic scans (CT scans), bertujuan untuk meninjau sampai sejauh-mana fisiologi otak. CT scans merupakan suatu teknik menggunakan komputer bersamaan dengan X-ray untuk dapat melihat sampai sejauh-mana gambaran tentang otak seseorang (anak) yang menyebabkan adanya ketidaknormalan secara neurologis pada anak dengan hendaya kesulitan belajar (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128). Dari ketiga pendapat hasil penelitian tersebut, para ahli mempercayai bahwa ketidakberfungsian otak (the brain dysfunction) merupakan penyebab utama (the root of) dari hendaya kesulitan belajar. Di sisi lainnya menyatakan juga bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi diakibatkan adanya gangguan terhadap perkembangan sel saraf pada saat perkembangan seorang bayi pada usia dini (Hynd & Semrud-Clikeman, 1989 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:128). Menurut Hallahan & Kauffman (1991:128), faktor genetika menunjukkan bahwa keturunan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar, khususnya pada hambatan membaca. Misalnya, seringkali terjadi ketika salah satu anak kembaran mempunyai ketidakmampuan membaca, kembaran lainnya juga sama mempunyai ketidakmampuan membaca. Mereka yang bersangkutan dikatakan mempunyai monozygotic dari telur yang sama. Monozygotic terjadi dari adanya pemisahan dari satu telur saat pembuahan sehingga diidentifikasi sebagai komposisi genetik (Kelly & Vergasson, 1978:92). Sedangkan faktor lingkungan (Hallahan & Kauffman, 1991:129), menyatakan bahwa kasus lingkungan sebagai kasus yang dianggap sulit untuk didokumentasikan. Namun yang paling memungkinkan pada kasus lingkungan sebagai penyebab hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan penanganan belajar (poor teaching). Apabila anak dengan hendaya kesulitan belajar dapat ditangani semenjak usia sekolah secara dini, dimungkinkan hendaya kesulitan belajar tersebut dapat dihindari. Karakteristik anak dengan hendaya kesulitan belajar khusus, sangat berbeda dengan anak-anak lain. Oleh karena itu beberapa tipe umum dari karakteristik mereka sering dipakai oleh para pendidik, karakteristik tersebut sebagai berikut. 1. Kemampuan persepsi yang rendah. 2. Kesulitan menyadari tubuh sendiri. 3. Kelainan gerak. 4. Tingkat atensi yang tidak tepat.
1. Kemampuan Persepsi yang Rendah (poor perceptual abilities) Kemampuan persepsi yang rendah, berkaitan dengan: a. persepsi pendengaran, b. persepsi visual, dan c. persepsi taktil. Kekurangan dapat terjadi pada kemampuan persepsi pendengaran (auditory perception) menyangkut: a. membedakan pendengaran, yaitu kemampuan untuk dapat membedakan suara, bunyi hidup (vowel), dan bunyi mati (konsonan) yang sama, b. pengakhiran pendengaran, kemampuan untuk melakukan sintesis bunyi-bunyi dari bagian keseluruhan (contohnya, mendengar bagian suatu kata, dan kemudian mengetahui apa yang ada dalam seluruh kalimat), c. bentuk dasar pendengaran, kemampuan untuk menghiraukan latar belakang suara yang tidak selaras, dan d. atensi dan penglokasian pendengaran, kemampuan untuk mengetahui lokasi sumber suara dan arah suara. Di antara tipe-tipe umum dari kekurangan persepsi pendengaran adalah "auditory agnosia", yaitu ketidakmampuan untuk mengenal suara atau kombinasi bunyi dengan memperhatikan maknanya. Sedangkan yang lainnya, adalah "auditory dissociation" (disosiasi pendengaran) yaitu bunyi dapat didengar dan dikenali tetapi tidak mampu untuk diartikan secara keseluruhan. Pada persepsi visual (visual perception), kekurangan kemungkinan terjadi dalam kemampuan-kemampuan persepsi visual seperti berikut. 1. Klosur visual (visual closure). Pola melengkapi, mekanisme tanggung jawab untuk melengkapi secara otomatis terhadap simbol-simbol visual yang sudah dikenal (contohnya, melihat bagian yang tidak lengkap suatu gambar dan tahu bagaimana bentuk keseluruhan dari gambar tersebut). Diartikan sebagai kemampuan untuk menggambarkan keseluruhan hanya dengan melihat sebagian dari bentuk keseluruhan. Latihan klosur visual sangat berguna bagi anak-anak yang mempunyai kesulitan dalam menghubungkan bagian-bagian tertentu yang merupakan suatu bagian utuh secara menyeluruh (Kelly & Vergasan, 1978:142) 2. Membedakan secara visual (visual discrimination). Kemampuan untuk mengetahui perbedaan antara benda-benda yang bentuknya sama, surat-surat, atau kata-kata (seperti huruf "b" dan "d" dapat ditangkap berbeda oleh anak). 3. Membedakan bentuk secara visual (visual form discrimination). Kemam-puan untuk dapat membedakan adanya perbedaan antara bentuk auditori masa kini (contohnya, dapat membedakan antara segi tiga dan bentuk gambar intan pada sebuah kartu gambar). 4. Menghubungkan figur dasar secara visual (visual figure ground relationship). Mampu mengidentifikasi satu bentuk figur seseorang (misalnya: gadis) dari gambar yang memunculkan tiga figur yang sama. 5. Persepsi terhadap ukuran (size perception). Kemampuan untuk merasakan secara tepat tentang ukuran suatu benda dengan kemampuan visual. 6. Perspesi mengenai jarak dan kedalamannya (depth and distance perception). Kemampuan terhadap persepsi ukuran, panjang, kedalaman, dan jarak dari berbagai benda dan mampu melihat benda-benda yang bergerak. 7. Mengenali suatu benda (object recognition), kemampuan untuk meng-integrasikan rangsang visual ke dalam bentuk secara keseluruhan.
Pada persepsi taktil (tactile perception), kemampuan persepsi taktil yang utama adalah membedakan benda dengan meraba. Kemampuan untuk mengenal benda-benda yang dikenal, atau tekstur dan lokasi dari anggota badan yang dapat disentuh oleh seseorang. Jenis-jenis taktil antara lain: 1. taktil agnosia (astereognosis), yaitu ketidakmampuan untuk mengenal benda-benda melalui sentuhan, 2. agnosia jari-jari (finger agnosia), yaitu ketidakmampuan untuk mengenali suatu objek melalui jari-jarinya tanpa melihat terlebih dahulu, 3 tactile defensiveness, yaitu ketidaktepatan, tanggapan yang bersifat berlebihan terhadap masukan taktual. Dalam hal ini dimungkinkan tanggapannya terlalu negatif untuk dapat diraba atau menghindari kontak dengan permukaan yang dapat dipakai sebagai masukan taktual yang kuat, seperti bahan-bahan untuk permadani dan sikat. 2. Kesulitan Menyadari Tubuh Sendiri (body awareness difficulties) Kesadaran terhadap tubuh didefinisikan sebagai konsep dan pemahaman bahwa adanya saling keterhubungan yang erat antara tubuh seseorang dengan lingkungannya selama proses perubahan perilaku. Faktor-faktor yang terlibat dalam perkembangan kesadaran terhadap tubuh adalah kinesthesia, asimilasi, dan perlengkapan visual. Kesulitan-kesulitan terhadap kesadaran tubuh dimungkinkan terjadi dalam wilayah keterampilan gerak, sebagai berikut. 1. Orientasi ruang (spatial orientation), yaitu pemahaman terhadap ruang sekitar diri seseorang berkaitan dengan jarak, arah, dan posisi. 2. Secara kesamping (laterality), yaitu mengetahui yang mana sisi kiri atau kanan dari tubuh. 3. Secara tegak lurus (vertically), yaitu konsep tentang arah ke atas dan ke bawah. 4. Terhadap kesan tubuh (body image) yairu konsep pemahaman bagian-bagian tubuh. 5. Berkaitan dengan garis tengah tubuh (midline body), yaitu konsep tentang garis tengah tubuh secara tegak lurus dari tubuh manusia yang memisah-kan tubuh ke dalam dua sisi yang sama. Permasalahan yang sering dijumpai dalam pemahaman tubuh antara lain: a. kelainan tubuh untuk melakukan orientasi dan ketidakmampuan untuk mengenal bagianbagian tubuh (autotopegnosis), dan b. ketidakmampuan untuk mengenali jari-jari selama dilakukan tes lokalisasi jari-jari (finger agnosia). 3. Kelainan Kegiatan Gerak (disorder of motor activity) Kelainan gerak seringkali dapat diamati pada anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar. Hal itu dimungkinkan karena masalah gerak dan kesulitan belajar mempunyai etiologi yang sama (Myeres & Hammill, 1976 dalam Geddes, D., 1981:116). Kelainan gerak dapat diamati melalui: 1. kegiatan saat mempertahankan keseimbangan dan bentuk tubuh (balance and postural mainbtenance), yaitu dalam kesulitan untuk duduk, berdiri, mempertahankan postur dan keseimbangan khusus; 2. gerak dasar dan gerak lokomotor (locomotion and basic movement), kekurangan terjadi pada keterampilan untuk berjalan, berlari, memanjat, mekanisasi tubuh, melompat, meloncat-loncat, dan pola-pola gerak tubuh secara gross motor.
1. 2.
Termasuk tipe-tipe umum kelainan gerak antara lain: hyperactivity (hyperkinethesis), yaitu mobilitas yang resah, tidak menentu, secara serampangan, dan mobilitas yang berlebihan; hypoactivity (hypokinethesis), yaitu sifat pendiam, tidak aktif, dan kegiatan geraknya kurang cukup;
3. 4. 5.
6. 4.
1.
2.
3.
1. 2.
3.
4.
clumsiness, yaitu sifat kesulitan dalam mengontrol gerak dengan adanya ketidakserasian dan ketidakefisien perilaku gerak dalam bentuk kekakuan secara fisik dan tidak ada koordinasi gerak; apraxia (dyspraxia), yaitu ketidakmampuan untuk berinisiatif atau mela-kukan gerak dalam pola-pola gerak yang rumit, seperti serangkaian tugas gerak untuk melakukan loncatan; ketekunan (perseveration), yaitu sifat yang secara otomatis dan sering kali secara suka rela untuk menindaklanjuti perilaku yang dapat diamati sewaktu melakukan kegiatan berbicara, menulis, membaca secara oral, menggambar dan melukis; dan adiadochokinesia, yaitu ketidakmampuan untuk melakukan gerak alter-natif dan gerak cepat. Kesulitan dalam keterampilan psikomotor sangat erat hubungannya dengan ketidakberfungsian persepsi khusus, antara lain sebagai berikut. Respon psikomotor yang lemah terhadap petunjuk yang diperoleh mela-lui pendengaran berupa perbedaan suara dengan kegiatan yang berbeda, seperti kata-kata "talk" dan "walk" dalam bahasa Inggris, "jalan" dengan "jualan" dalam bahasa Indonesia. Respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah. Kemampuan persepsi visual yang spesifik penyebab adanya respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah, dapat menyebabkan seseorang tidak mampu membedakan bola putih yang dilambungkan di udara dengan latar belakang awan sehingga yang bersangkutan tidak dapat menangkap bola putih dengan baik. Rendahnya respon psikomotor terhadap persepsi taktil. Ketidaktepatan respon psikomotor terhadap ciri-ciri khusus taktil menjadi penyebab kesalahan membedakan benda-benda dengan cara taktil. Contohnya, seorang anak tidak mampu membedakan dua nikel dalam kumpulannya dengan dua perempat nikel yang ada di atas meja.
Kesulitan berikutnya adalah dalam memanipulasi, berkaitan dengan hal-hal berikut. Ketidaktepatan dalam keterampilan fine motor tangan saat digunakan untuk memanipulasi gerak. Misalnya, koordinasi tubuh dengan mata saat memegang sesuatu benda (pinsil, crayon) secara tepat. Kekurangan tingkat atensi menyebabkan daya atensi yang kurang atau atensi yang berlebihan. Atensi yang tepat merupakan prasyarat motivasi yang sangat diperlukan dan pencapaian prestasi yang berhasil. Ada dua tingkat atensi yang kurang tepat, yaitu: a. atensi yang kurang cukup, yaitu ketidakmampuan untuk menggambarkan ekstra rangsangan, sering disebut dengan istilah "kekacauan pikiran" (distractibility), pemahaman yang berlebihan (hyperawareness), lekas marah secara berlebihan (hyperirritability) atau waktu atensi yang pendek; dan b. atensi yang berlebihan, ketidaknormalan perasaan yang mendalam saat atensi terhadap perincian-perincian yang dianggap tidak penting saat munculnya kejadian-kejadian yang tidak perlu. Kestabilan emosi, sering diiringi dengan kesulitan belajar sebagai akibat adanya hendaya gerak, dan frustasi disebabkan karena kegagalan dalam melakukan kontak hubungan dengan orang lain. Dampak dari itu seorang anak akan mempunyai persepsi sosial yang tidak pada tempatnya. Kesulitan dalam memori berupa jangka pendek dan jangka panjang. Kesulitan memori ini bisa terjadi saat asimilasi, penyimpanan dan atau pencarian informasi. Kesulitan itu berkaitan dengan kemampuan taktual, visual, pendengaran, dan sistem belajar. Misalnya, seorang anak tidak mampu menghubungkan secara tepat antara ingatan pendengaran ter-hadap kata yang pernah ia dengar, dengan kata yang sama saat ia mende-ngarkan dalam waktu berikutnya. Dengan demikian yang bersangkutan mempunyai hendaya ingatan visual;
5.
6.
Kesulitan dalam melakukan simbolisasi, baik secara verbal maupun dalam proses simbolis verbal. Kesulitan simbolisasi terdiri atas hal-hal berikut. a. Simbolisasi penerimaan pendengaran (receptive-auditory simbolization). Anak tidak memahami kata-kata dalam pembicaraan atau kebingungan terhadap perintah-perintah verbal. Contohnya, echolalia; b. Simbolisasi daya tangkap visual (receptive-visual symbolization). Contohnya, daya ingat visual terhadap pola-pola kata dan tulisan (strephosymbolia), dan ketidaktepatan antara masukan visual berupa kata-kata tertulis dengan kesan pendengaran terhadap huruf-huruf (dislexia visual). Misalnya pada huruf o, e, c, b, p, d, h, dan n atau pada kata "pot" dibacanya "top"; c. Simbolisasi ucapan yang bersifat pernyataan perasaan (expressiveoral symbolization). Anak tidak mampu mengartikan ucapan mengenai suatu benda atau fungsi-fungsinya, karena tidak memahami ten- tang kalimat (syntax) dan ekspresi ide-ide secara ucapan; d. Simbolisasi gerak yang menyatakan perasaan (expressive motor symbolization). Anak tidak mampu mengekspresikan dirinya melalui berbicara, menulis, atau melalui ekspresi gerak-tubuh atau gerakmimik muka (dysgraphia, yaitu ketidakmampuan mengekspresikan pikirannya melalui tulisan, surat dengan tendensi sering menghilangkan kata atau tulisan yang tidak benar). Kesulitan dalam kemampuan untuk mengategorikan dan melakukan perbedaan-perbedaan klasifikasi. Misalnya, perbedaan tingkat perkem-bangan terhadap konsep ke arah konkret (seperti, apel dan jeruk kedua-duanya berbentuk bulat), ketidakmampuan membedakan keberfungsian (bahwa apel dan jeruk kedua-duanya dapat dimakan), dan melakukan abstraksi (seperti, apel dan jeruk adalah buah-buahan).
b. Perspektif Teori Bagi Anak dengan Kesulitan Belajar Beberapa teori sebagai kerangka dasar untuk mengevaluasi dan mengajar anak dengan hendaya kesulitan belajar dan implikasinya, adalah teori-teori yang mencakup pandangan terhadap perspektif perkembangan kedewasaan, proses secara psikologis, penguasaan kemampuan akademik, dan pendekatan kognitif. Memahami sebuah teori sebagai landasan pengetahuan terhadap hendaya kesulitan belajar merupakan dasar yang sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menginterpretasikan berbagai cabang ilmu. Selain itu, dapat juga membantu para pendidik untuk menyeleksi dan mengevaluasi terhadap hal-hal yang sangat membingungkan dalam penggunaan dan pengaplikasian suatu media baru, teknik-teknik, instrumen elektronik, dan metode. Tujuan suatu teori adalah untuk menyajikan bentuk, hubungan, dan arti tentang apa yang diamati dalam kenyataan yang sebenarnya. Teori juga merupakan tuntunan praktis dalam kegiatan, menciptakan katalisator untuk penelitian lanjutan, membangun teori baru dan mengklarifikasi, serta membentuk proses berpikir. Maka peran suatu teori adalah menyajikan kerangka dasar kreatif guna melakukan penyesuaian dari hendaya kesulitan perilaku. Secara umum, teori-teori merupakan lanjutan dari lapangan (dalam hal ini adalah sekolah) untuk memahami dan membantu guru khusus untuk mempelajari aplikasi secara signifikan, khususnya di sekolah-sekolah luar biasa dan sekolah reguler yang menerapkan sistem pembelajaran inklusif. Pandangan lebih jauh terhadap suatu hendaya kesulitan belajar (learning disablity) dibentuk oleh adanya konsep-konsep perkembangan psikologi, berdasarkan analisis cara berpikir anak melalui penelitian dan perkembangan secara bertahap berkaitan dengan kemampuan kognitifnya. Dalam pandangan perkembangan anak dinyatakan bahwa kemampuan gerak maju secara normal terjadi dalam suatu kondisi-kondisi yang cocok. Oleh karena itu memahami suatu perkembangan kemajuan dan perkembangan kognitif anak secara normal dapat dijadikan landasan perbandingan guna memahami permasalahan anak yang mempunyai hambatanhambatan belajar yang dikenal dengan istilah anak dengan hendaya kesulitan belajar.
Berdasarkan konsep keterlambatan kematangan diri ditinjau dari aspek perkembangan neurologis, seorang anak mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya adalah fungsi kognitif (Bender, 1957 dalam Lerner, J. 1985:168). Seorang anak yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian di antara berbagai kemampuan tidak semata-mata disebabkan oleh adanya ketidakberfungsian sistem saraf pusat atau adanya cedera pada otak. Agaknya ketidaksesuaian itu dapat juga menunjukkan adanya berbagai kemampuan yang mengacu pada kematangan pada tingkat yang berbeda. Dengan demikian hipotesis terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak berbeda dengan hipotosis terhadap anak-anak lain tanpa adanya ketidakberfungsian dari sistem saraf pusat. Konsep tentang kelambatan kematangan diri, menunjukkan bahwa beberapa hendaya kesulitan belajar yang muncul pada diri seorang anak dapat saja terjadi disebabkan oleh adanya perilaku-perilaku masyarakat yang ada di sekitarnya. Perilaku masyarakat tersebut dapat menjadi suatu "tekanan" pada diri seorang anak sebelum anak tersebut siap menghadapi kegiatan pencapaian prestasi akademiknya. Hal ini dibuktikan oleh suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 177 siswa-siswa dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability) dalam kelas-kelas khusus. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka secara signifikan menunjukkan adanya "perkembangan yang lambat" dalam pencapaian prestasi akademiknya (Koppitz, 19721973 dalam Lerner, J., 1985:168). Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya ketidakberkembangan dan sangat rendahnya pengintegrasian diri mereka, sehingga mereka membutuhkan waktu belajar yang lebih banyak dalam upaya untuk melakukan kompensasi diri terhadap kelambatan dalam perkembangan neurologisnya. Pada umumnya mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun atau lebih untuk menyelesaikan pendidikan yang diterima di sekolah dibandingkan dengan siswa lain. Menurut Koppitz, apabila anak dengan hendaya kesulitan belajar diberikan waktu tambahan yang cukup dan dilakukan bantuan-bantuan dalam pembelajaran pada umumnya, anak bersangkutan dapat menyelesaikan prestasi akademiknya dengan baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sovern Hagin (1966) terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar yang ada di klinik Bellevue Hospital Hygiene menunjukkan bahwa anak remaja dengan hendaya kesulitan belajar usia 17 hingga 24 tahun tidak menunjukkan adanya hambatan dalam orientasi terhadap simbolsimbol, membedakan berdasarkan pendengaran, atau membedakan antara sisi kiri dan kanan. Beberapa anak dengan hendaya kesulitan belajar tersebut, tidak mempunyai hambatan belajar lagi setelah melalui suatu proses perkembangan dirinya. Pada anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar di usia taman kanak-kanak diprediksi mempunyai kelemahan dalam membaca, dan mengeja huruf. Selanjutnya, penelitian dari deHirsch, Jansky dan Langford (1966) telah membuktikan bahwa teori tentang keterlambatan kematangan diri anak merupakan faktor yang sangat penting saat memperkirakan tingkat pencapaian kemampuan membaca (dalam Lerner, J., 1985:168). Mengenai tingkat perkembangan kedewasaan anak, Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam serangkaian tingkatan yang tetap dan dalam keadaan saling ketergantungan. Setiap tingkatan, anak hanya mampu belajar pada tugas-tugas kognitif tertentu (Piaget, 1970 dalam Lerner, J., 1985:169). Kemampuan berpikir dan belajar anak akan berubah sesuai dengan umurnya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan berpikir dan belajar anak dicapai melalui serangkaian perkembangan pada tingkat perkembangan kedewasaannya. Selama belajar akan terjadi tingkatan-tingkatan perkembangan fungsi kemampuan dalam kuantitas, kualitas, kedalaman, dan keluasan belajar. Tingkat perkembangan anak berdasarkan teori Piaget (1970, dalam Lerner, J., 1981:169-171) secara sistematis menunjukkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut. 1. Periode pertama disebut dengan periode sensori motor (sensorimotor period). Periode ini terjadi pada usia satu hingga dua tahun. Selama masa ini anak belajar melalui indera dan gerak serta melakukan interaksi dengan lingkungan secara fisik. Pada masa ini, mereka belajar melalui cara memin-dahkan, menyentuh, memukul, menggigit, dan memanipulasi benda-benda secara fisik. Anak mulai mempelajari tentang ruang,
waktu, lokasi, ketetapan dan sebab-akibat. Pada anak dengan hendaya kesulitan belajar, perkembangan gerak difokuskan pada gerak sensori (sensory-motor) dan gerak persepsi (perceptual motor). Misalnya, dalam gerak keseimbangan seorang anak dengan hendaya kesulitan belajar akan terlihat ketidakmampuannya dalam melakukan koreksi terhadap posisi tubuh dan hubungan tubuhnya dengan gaya berat. Umumnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak mampu melakukan koordinasi gerak dalam kegi-atan-kegiatan yang menggunakan gross motor (gerak dengan menggu-nakan otot-otot besar). Dalam koordinasi gerak yang menggunakan fine motor (gerak dengan menggunakan otot-otot halus), anak dengan hendaya kesulitan belajar kurang memahami kemampuan tubuh sendiri, tidak tahu arah, serta merasa bingung untuk melakukan gerak secara menyamping (Lerner, J., 1985:266). 2. Periode kedua disebut dengan periode preoperasional (preoperational period). Periode ini terjadi pada usia dua hingga tujuh tahun. Pada masa ini anak mulai melakukan pertimbangan-pertimbangan intuisi tentang hubungan-hubungan antarobjek dan berpikir tentang simbol-simbol. Bahasa menjadi hal yang amat penting, karena anak mulai belajar menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan dunia nyata (concrete world). Anak mulai mempelajari lambang dan sifat objek yang ada di sekitar dirinya. Daya berpikir anak didominasi oleh pemikiran yang berkaitan dengan persepsi, khususnya dimensi ruang dan waktu. Dalam menghadapi benda-benda secara simbolik, anak memerlukan pengamatanpengamatan ter-hadap waktu dan ruang serta hubungan antara keduanya terhadap objek dan kejadiankejadian yang ada. Untuk kepentingan ini, program-program berkaitan dengan pengembangan kemampuan konsep dan kognitif banyak dilakukan sebagai upaya pendekatan pendidikan terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar. Pendekatan pendidikan tersebut dilakukan melalui upaya pengaplikasian teori-teori tentang gerak persepsi. Persepsi merupakan keterampilan yang perlu dipelajari oleh anak dengan hendaya kesulitan belajar. Dalam proses belajar seharusnya kegiatan dapat diarahkan langsung dengan adanya fasilitas-fasilitas berkaitan dengan persepsi. Beberapa bentuk persepsi yang mempunyai implikasi dalam pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar antara lain konsep-konsep persepsi berkaitan dengan pengandaian, persepsi bagian-bagian dan keseluruhan, persepsi pendengaran, persepsi yang berkaitan dengan indera raba, persepsi pengandaian silang, persepsi bentuk dan arah, serta persepsi sosial. 3. Periode ketiga disebut dengan periode operasi konkret (concrete operation). Periode ini terjadi pada usia tujuh hingga sembilan tahun. Pada masa ini anak mulai mampu berpikir melalui hubungan (relationship), merasakan konsekuensi dari tindakan-tindakan, dan melakukan pengelompokkan yang sungguh-sungguh berdasarkan cara-cara logis. Anak mulai mampu melakukan sistimatisasi dan pengorganisasian cara berpikirnya. Pemikiran-pemikiran mereka dibentuk melalui pengalaman-pengalaman sebelum-nya dan tergantung pada objek-objek konkret dengan cara memanipulasi atau memahami sesuatu melalui pancainderanya. 4. Periode keempat adalah periode operasi nyata (formal operations). Periode ini terjadi pada usia 11 tahun dan menggambarkan adanya perubahan besar dalam proses berpikir. Dalam periode operasi nyata ini, berpikir anak mengarahkan pengamatan-pengamatan langsung, tidak seperti periode-periode sebelumnya yakni pengamatan-pengamatan meng-arahkan cara berpikir. Anak mulai mempunyai kapasitas kerja dengan abstraksi, teori-teori, dan hubungan antarobjek secara logis tanpa mengacu pada hal yang konkret. Lebih lanjut, periode operasi nyata menyediakan orientasi secara menyamaratakan ke arah kegiatan yang bersifat pemecahan masalah. Menurut Piaget, transisi dari satu tingkat ke tingkat berikutnya melibatkan kedewasaan. Tingkatantingkatannya bersifat berurutan dan berjenjang, dan hal yang esensial adalah anak diberikan kesempatan untuk memantapkan perilakunya, dan memikirkan tentang apa yang ada dalam setiap tingkatan. Di sisi lain, kurikulum sekolah seringkali memerlukan pengonseptualisasian terhadap perkembangan anak dan perkembangan
logikanya dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk mencapai pemahaman pada tingkat-tingkat sebelumnya (Lerner, J., 1985:171). Implikasi dari teori perkembangan kedewasaan terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar sangat signifikan, khususnya dalam memahami dan memperlajari tentang "keberadaan kelainannya". Teori ini menyatakan bahwa kemampuan kognitif anak selalu berbeda secara kualitatif. Dengan demikian, perkembangannya akan selalu berurutan, sehingga perubahan cara berpikir akan terjadi secara terus-menerus. Dalam hal ini sekolah hendaknya dapat menyusun suatu pola pembelajaran berdasarkan pengalaman-pengalaman belajar anak guna mencapai pertumbuhan secara alamiah yang lebih menitikberatkan pada landasan berpikir dan adanya kesiapan untuk belajar (readiness) dari anak bersangkutan. Misalnya kesiapan untuk berjalan akan memerlukan tingkatan perkembangan gabungan dari sistem neurologis, kekuatan otot yang memadai, dan perkembangan fungsi motorik. Jadi, bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar memerlukan perhatian yang lebih khusus dari guru-kelasnya. Perhatian secara khusus oleh guru sangat membantu perkembangan anak melalui pemberian latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan kesiapan belajar sebagai prasyarat untuk melakukan langkah-langkah belajar berikutnya. Bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability) yang belum siap dalam mempelajari suatu mata pelajaran tertentu, hendaklah dilakukan suatu evaluasi yang sensitif dan pola pembelajaran yang bersifat klinis. Pembelajaran klinis (clinical teaching), merupakan proses asesmen pembelajaran dalam bentuk khusus guna membantu siswa yang mempunyai hambatan-hambatan belajar. Tujuan dari pembelajaran yang bersifat klinis adalah untuk menyesuaikan pengalaman-pengalaman belajar siswa yang bersangkutan terhadap kebutuhan unik dari siswa dengan hendaya kesulitan belajar. Melalui asesmen dan analisis terhadap masalah belajar anak yang bersifat khusus, maka hasil-hasilnya dapat dijadikan informasi penting dalam penyusunan program pembelajaran klinis oleh guru khusus. Asesmen tidak berhenti ketika prosedur treatmen khusus dimulai, karena dalam kenyataannya esensi pembelajaran klinis merupakan kegiatan asesmen dan pembelajaran secara terus-menerus serta saling berkaitan. Guru khusus memodifikasi pembelajaran sebagai bentuk nyata untuk memenuhi "kebutuhan" baru, sehingga beberapa intervensi yang berbeda dapat dipergunakan dalam pembelajaran klinis. Guru khusus bagi pembelajaran klinis merupakan seorang yang selalu memperhatikan, mengawasi, dan mengamati anak terhadap apa yang telah dilakukan oleh seorang anak dalam kegiatan belajar di sekolah. Mengamati bentukbentuk kesalahan siswa adalah suatu kegiatan yang amat penting untuk pencapaian keberhasilan belajar siswa yang bersangkutan. Dari kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh siswa bersangkutan dapat dijadikan petunjuk mengenai tingkat perkembangan siswa, cara berpikir, pokok-pokok yang mendasari sistem bahasa siswa, dan cara belajar siswa. Sebagai contoh, seorang guru khusus yang memperhatikan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat siswanya saat membaca buku bacaan, merupakan petunjuk yang sangat berharga bagi pembinaan proses mental siswa. Petunjuk tersebut merupakan landasan pokok dalam membina kemampuan membaca siswa bersangkutan. Kesalahan-kesalahan siswa yang muncul saat membaca, merupakan suatu "perilaku terbuka" (overt behavior) dari siswa bersangkutan dan dapat menjadi aspek ungkapan dalam proses intelektual yang akan dianalisis oleh guru khusus (Goodman & Gollasch, 1980-1981 dalam Lerner, 1985:100). Pembelajaran klinis dapat juga dipakai sebagai tinjauan terhadap suatu proses alternatif dalam bentuk “mengajar - tes - mengajar - tes”, kedudukan guru dalam kegiatan ini adalah sebagai pengajar dan penguji. Sebagai contoh dapat dilihat kasus di bawah ini. Andi seorang siswa kelas tiga Sekolah Dasar, membaca kalimat, "Saya telah melihat orang batuk" yang sebetulnya bacaan tersebut berbunyi: "Saya telah melihat orang botak". Guru khusus dapat menyimpulkan bahwa Andi mempunyai kesalahan baca yang perlu diperbaiki, dan memperkirakan apa yang menjadi sebab siswa bersang-kutan salah baca. Pembelajaran klinis yang akan diterapkan terhadap siswa bersangkutan akan tergantung pada hasil analisis kesalahan. Hasil analisis guru terhadap kesalahan baca siswa tersebut berkaitan dengan, Apakah kesalahan tersebut disebabkan
oleh adanya kesalahan-kesalahan persepsi visual, kosa kata yang terlihat tidak tepat, rendahnya daya ingat siswa bersangkutan, kelangkaan keterampilan untuk melihat kata-kata, atau karena tidak memahami suatu teks bacaan?
Proses lengkap dari pembelajaran klinis merupakan siklus yang terdiri atas: 1. diagnosis (dalam hal ini melakukan asesmen), 2 . perencanaan pembelajaran, 3. implementasi, 4. evaluasi sebagai arahan untuk melakukan, dan 5. modifikasi diagnosis. Selanjutnya kembali pada siklus semula, dan seterusnya. Dalam pembelajaran klinis, sistem ekologis (ecological system) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Sistem ekologis disini adalah suatu interaksi di antara individu siswa dengan berbagai bentuk lingkungan tempat siswa yang bersangkutan hidup dan tumbuh. Misalnya, lingkungan yang ada di sekitar rumah, kelompok sosial tertentu, dan lingkungan budaya lokal yang semuanya dapat memengaruhi tingkat kemampuan belajar siswa. Sistem ekologis yang baik, sangat membantu terhadap kemajuan siswa. Disamping itu dapat membantu siswa untuk memahami suatu mata pelajaran tertentu. Oleh karena itu guru kelas harus lebih sensitif terhadap pengaruh-pengaruh sistem ekologis terhadap cara belajar, sikap, dan tingkat kemajuan siswanya. Menurut Barsch (1965 dalam Lerner, 1985:107), faktor-faktor yang memengaruhi pembelajaran dapat disesuaikan kembali dalam proses kegiatan pembelajaran klinis oleh guru khusus (dalam hal ini biasanya dilakukan oleh guru kelas). Faktor-faktor tersebut adalah ruang, waktu, keserbaragaman tugas, tingkat kesulitan yang dihadapi siswa, bahasa, dan hubungan yang baik antara pribadi siswa dengan guru. c. Pembelajaran bagi Anak dengan Kesulitan Belajar Strategi pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar berfokus pada cara menyajikan kegiatan-kegiatan yang dapat mewakili keterampilan gerak dan fungsi persepsi (terutama visual, pendengaran, dan kesadaran terhadap tubuh). Dalam kegiatan pembelajaran tersebut, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja otot-otot besar (gross motor) diusahakan dapat melibatkan seluruh otot tubuh dan kemampuan untuk bergerak dari berbagai anggota tubuh, seperti pengaruh daya bobot, gerak menyamping, dan gerak yang menyadari akan adanya garis tengah tubuh. Tujuan semacam itu adalah untuk pengembangan secara bertahap terhadap efektivitas gerak tubuh. Dengan demikian hal tersebut dapat meningkatkan pancaindera siswa berkaitan dengan orientasi ruang, dan kesadaran tubuh. Kegiatan-kegiatan itu menyangkut kegiatan keseimbangan seperti berjalan di atas balok (balance beam), dan kegiatan-kegiatan gerak gross motor lainnya seperti berjalan, menangkap dan melempar, serta koordinasi gerak mata. Kegiatan latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan persepsi hendaknya bertujuan untuk mencapai prestasi akademik terutama sekali dalam membaca. Terdapat lima fungsi persepsi visual sebagai bagian dari bentuk yang esensial dalam meningkatkan kemampuan persepsi visual, yaitu: 1. koordinasi gerak visual, 2. persepsi terhadap bentuk dasar tubuh, 3. persepsi kekonstanan, 4. persepsi-posisi dalam suatu ruangan, dan 5. persepsi terhadap hubungan antarruang (Frostig, 1968 dalam Lerner, 1985:299).
Dalam latihan-latihan “persepsi membedakan” terdapat tiga gugus tugas yang sumbangannya sangat tinggi yaitu: 1. kemampuan untuk membaca huruf dan angka, 2. kemampuan untuk menirukan pola-pola yang berbentuk geometri, dan
3.
kemampuan untuk menjodohkan kata-kata.
Keterampilan “persepsi membedakan” yang diterapkan melalui pemberian tugas-tugas dalam latihan keterampilan persepsi-visual dapat meningkatkan kemampuan membaca (Barret, 1965 dalam Lerner, 1985:299). Beberapa contoh kegiatan yang dapat meningkatkan persepsi visual antara lain latihan keterampilan menggunakan media teka-teki (puzzle), menyusun bagian-perbagian, menyusun balok-balok, menemukan subbagian dari suatu bentuk yang hilang dalam gambar, mengklasifikasikan bentuk-bentuk, ukuran, warna terhadap bentuk bangun geometri, permainan domino, bermain kartu, menemukan bagian-bagian yang dihilangkan, persepsi visual terhadap kata-kata, menggambarkan bentuk bangun geometri yang sesuai dengan huruf. Berkaitan dengan persepsi pendengaran, kegiatan latihan sebaiknya ditujukan pada kegiatan-kegiatan yang lebih menititikberatkan pada keterampilan membangun kesiapan belajar (readiness), meliputi sensitivitas pendengaran, kesiapan menerima pembelajaran, membedakan pendengaran, memahami suara dalam sebuah kalimat, dan daya ingat melalui pendengaran. Strategi pembelajaran yang disusun guru hendaknya diupayakan agar dapat meningkatkan kemampuan persepsi pendengaran siswa. Kegiatan-kegiatan yang sangat dianjurkan berkaitan dengan penggunaan strategi pembelajaran adalah kegiatan yang menggunakan latihan mendengarkan suara, mencatat bunyi-bunyian dari sumber bunyi, mendengarkan bunyi-bunyi yang dibuat oleh guru, membedakan bunyi makanan yang dikunyah oleh mulut, membedakan bunyi-bunyi melalui guncangan-guncangan, dan membedakan suara dari sumber yang berbeda-beda. d. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak dengan Learning Disability Aplikasi gerak irama dalam pembelajaran terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan gerak (keterampilan gerak dan pola gerak) dan kemampuan persepsi siswa agar dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perkembangan konseptual. Dalam kenyataannya, siswa dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan satu atau lebih dalam proses dasar pemahaman atau penggunaan ragam lisan maupun ragam tulis. Sebagai contoh dalam hal ini adalah adanya hambatan dalam membaca, menulis, matematika, mengeja huruf, mendengarkan, berpikir, dan daya ingat. Disamping adanya penyimpangan pada keterampilan perseptual, keterampilan gerak, atau juga pada aspek-aspek belajar lainnya. Kekurangan dalam satu atau lebih dari komponen-komponen proses belajar berkaitan dengan perilaku psikomotor. Seorang anak akan mempelajari secara selektif terhadap hal-hal yang telah diterima oleh sensori yang ada di otak yang memberikan informasi masukan berkaitan dengan lingkungan kehidupannya. Untuk memperoleh arti, stimulasi sensori tersebut harus dapat berproses sebagaimana mestinya, dapat berhubungan, dan menyatu dalam lapisan luar otak (cortex) untuk memperoleh gambaran informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Informasi yang diperoleh (merupakan kemampuan perseptual dan keterampilan berkaitan dengan pemahaman tubuh) disimpan dalam otak untuk dapat digunakan pada masa yang akan datang setelah terjadinya respon. Respon psikomotor akan dimunculkan setelah adanya analisis. Tipe dari respon itu dapat berupa bicara, menulis, mengeja, isyarat tubuh, ekspresi wajah, melakukan pola-pola gerakan, atau keterampilan psikomotor khusus seperti memukul bola. e. Pendekatan yang Diperlukan dalam Aplikasi Gerak Irama pada Learning Disabilty Berdasarkan pengamatan para ahli, anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai keterampilan gerak yang kaku, keseimbangan yang kurang baik, ketangkasan tangan yang sangat kurang, atau keterlambatan dalam mempelajari keterampilan gerak (seperti dalam keterampilan: mengendarai sepeda, menangkap bola, menggunakan peralatan makan). Anak dengan hendaya kesulitan belajar juga sering menunjukkan ketidakmampuan dalam koordinasi gerak dan mendapatkan gangguan persepsi berkaitan dengan masalahmasalah belajar. Misalnya,
1. 2. 3.
tulisan tangan yang jelek dapat saja diakibatkan oleh adanya masalah pada fine motor berupa kesulitan dalam koordinasi gerak antara mata dan tangan, kelainan berbicara dimungkinkan adanya hambatan gerak pada meka-nisme alat bicara (seperti kurangnya kemampuan kontrol terhadap gerak lidah atau bibir), dan masalah kegiatan menjumlahkan angka seringkali berkaitan dengan adanya hambatan terhadap persepsi ruang (Lerner, J., 1985:264).
Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut, maka fokus pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar sebaiknya ditujukan pada pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan gerak sensori dan gerak persepsi. Menurut Piaget (1936-1952) penekanan terhadap pembelajaran gerak sensori sejak usia dini merupakan landasan untuk membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang kompleks pada diri anak (dalam Lerner, J., 1985:265). Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran melalui peningkatan gerak sensori dan gerak persepsi akan mencakup konsep-konsep tentang kesegaran jasmani (physical fitness), olahraga (exercise) dan kegiatan-kegiatan gerak (gerak disini, diartikan sebagai keterampilan dan pola gerak dalam cakupan body movement atau gerak irama) yang merupakan elemen esensial untuk mencapai kesehatan diri dan meningkatkan kehidupan dan kerja bagi setiap individu, tidak terkecuali bagi anak dengan hendaya kesulitan belajar. Lebih lanjut, pendekatan pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran kognitif terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar hendaknya berfokus pada "bagaimana" (How) caranya belajar, bukan pada "apa" (What) yang dipelajari. Umumnya, anak dengan hendaya kesulitan belajar tidak menggunakan strategi belajar dengan baik dan tidak tahu bagaimana cara belajar. Peran guru khusus sangat penting dalam upaya menyusun kerangka kerja belajar setiap siswa yang mempunyai permasalahan belajar. Peran guru dalam hal ini adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat memahami proses berpikir dan mengembangkan strategi belajar yang telah diperolehnya. Pemahaman terhadap proses berpikir diharapkan dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa atau keterampilan akademiknya. Penguasaan keterampilan akademik bagi siswa dengan hendaya kesulitan belajar merupakan bentuk pendekatan pembelajaran kognitif. Pembelajaran ini lebih menekankan pada hasil analisis terhadap tugas-tugas akademik berkaitan dengan keterampilan mata pelajaran tertentu, yang mengarah pada pencapaian tugastugasnya (Lerner, J., 1985:192). Tentu saja, teori-teori yang berkaitan dengan belajar merupakan kerangka kerja untuk dipahami oleh guru kelas dalam menangani siswa dengan hendaya kesulitan belajar. Tujuannya untuk membentuk perkembangan kemampuan belajar terhadap suatu mata pelajaran (khususnya membaca) pada diri siswa bersangkutan. Siswa dengan hambatan membaca, yang telah menerima intervensi pendidikan secara khusus seringkali menunjukkan adanya perkembangan yang sangat baik. Intervensi ini diterima oleh siswa melalui pendekatan khusus. Pendekatan-pendekatan khusus yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan membaca pada umumnya melalui pembelajaran yang erat kaitannya dengan kegiatan untuk mengenali kata secara sepintas, keterampilan-keterampilan phonic, dan mengenali kata-akhir (Hewison, 1982 dalam Batsahaw & Perret, 1986:29). Pendekatan semacam ini dikenal dengan metode Orton-Gillingham yaitu penggunaan teknik Visual - Kinesthetic - Tactile (VAKT) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan multisensori, sintetik dan metode alfabetik. Pendekatan kedua, adalah pendekatan dengan menggunakan metode Fernald. Siswa mulai belajar membaca dengan cara menyeleksi kata yang ingin dipelajarinya, kemudian melakukan pengejaan, pengucapan bunyi, dan pembagian atas suku kata. Baru kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kata, menuliskan dan menelusuri kata dengan jari-jarinya. Setelah itu, siswa menuliskan kata yang ada dalam ingatannya, dilanjutkan dengan memasukkan kata tersebut ke dalam kotak yang telah berisikan kata-kata baru. Pada akhirnya barulah siswa menuliskan kalimat dan menceritakan sebuah cerita.
Pendekatan pembelajaran untuk mata pelajaran membaca dan seni berbahasa model Gillingham dan Fernald berdasarkan pada orientasi secara psikoneurologis. Sejumlah materi dan kegiatan disusun berdasarkan atas hasil asesmen terhadap persepsi dan pemprosesan informasi. Pemprosesan tersebut menggunakan tes baku semacam Illinois Tes of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yaitu suatu tes yang disusun untuk mengukur pemahaman bahasa secara verbal dan nonverbal. Selain itu juga dengan Direct Instructional System for Teaching and Remediation (DISTAR), adalah suatu sistem pembelajaran yang disusun untuk mengajar keterampilan dasar dan konsep-konsep dalam membaca, menghitung angka, dan bahasa pada anak-anak berkebutuhan khusus tingkat Sekolah Dasar. Model ini disusun berdasarkan atas analisis tugas (task analysis) dari keterampilan-keterampilan dasar dan penyajian bahan-bahan dalam suatu model pembelajaran secara langsung. Kedua tes tersebut berisikan tentang materi membaca dan bidang lainnya berkaitan dengan prinsipprinsip analisis perilaku (Wallace & McLuoghlin, 1979 dalam Reynolds & Mann, 1987: 922). Pendekatan secara visual - kinesthetic - tactile serta model Fernald sangat sesuai bila diterapkan secara bersamaan dengan model pembelajaran pola gerak (motor patern) dan keterampilan gerak (motor skill). Salah satu alasannya adalah bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah dalam gerak sensori dan gerak persepsi (khususnya pada persepsi visual, pendengaran, dan keseimbangan) yang memerlukan latihan-latihan khusus berkaitan dengan peningkatan koordinasi gerak pada gross dan fine motor. Lerner (1985:269) menyatakan bahwa tahap awal seseorang belajar mengenali lingkungan, yakni dengan mempelajari motor patern dan motor skill. Hal ini dilakukan melalui respon gerakan otot dan perilaku gerak untuk melakukan interaksi dan mempelajari tentang kehidupan di lingkungan dirinya, atau dikenal lebih luas sebagai body movement atau gerak irama. Pendekatan ketiga yaitu dengan pengalaman bahasa, seorang guru memberikan kesempatan pada siswa untuk bercerita dan guru menuliskan kata-kata secara persis dengan yang diucapkan siswa. Guru kemudian membacanya dan selanjutnya siswa membaca tulisan itu sampai dapat menguasai seluruh bacaan. Pendekatan keempat, adalah dengan menggunakan metode pemberian warna. Sekelompok kata atau kalimat diberikan warna yang khas, dan kombinasi huruf dipelajari dengan paduan warna. Pendekatan kelima, adalah pendekatan secara neuropskilogis. Pendekatan secara neuropsikologis lebih menekankan pada penggunaan fungsi neurologis untuk membantu strategi pengembangan remedial (Hynd & Cohen, 1983 dalam Batshaw & Perret, 1986:292). Penekanan khusus diidentifikasikan dalam testing secara neuropsikologis. f. Rancangan Pembelajaran untuk Learning Disability Seperti yang telah diuraikan bahwa anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai hambatan pada faktor gerak, persepsi, dan keseimbangan. Dampak dari hambatan-hambatan itu faktor perkembangan konseptual dan kognitif menjadi kurang berfungsi secara optimal. Guru kelas atau guru khusus sebaiknya mewaspadai adanya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan hendaya kesulitan belajar sewaktu menyelesaikan tugas-tugas akademik di sekolah. Artinya guru tidak bisa secara langsung membuat rancangan pembelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar sebelum melakukan observasi dan analisis secara sensitif terhadap kesalahan yang telah dibuat oleh siswa bersangkutan. Jika terjadi kesalahan-kesalahan pada hasil kerja siswa dengan hendaya kesulitan belajar, sebaiknya guru kelas melakukan pembelajaran klinis terlebih dahulu. Pembelajaran klinis sangat diperlukan sebelum program kegiatan akademik suatu mata pelajaran tertentu diterapkan. Pembelajaran klinis mempunyai bentuk siklus tersendiri, yakni di awali dengan fase asesmen. Guru melakukan diagnosis terhadap kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh siswa pada hasil kerja suatu tugas akademik di sekolah. Fase kedua adalah fase perencanaan. Guru menganalisis kesalahan yang terjadi, guru menentukan hambatan dan bentuk kesulitan yang menyebabkan siswa melakukan kesalahan. Berdasarkan jenis kesalahan tersebut guru membuat rancangan pembelajaran klinis berupa perencanaan
pemberian tugas-tugas khusus dalam kegiatan belajar secara tersendiri. Dalam hal ini analisis tugas (task analysis) perlu diterapkan. Pada fase ketiga, yaitu fase implementasi menerapkan rancangan pembelajaran klinis dalam bentuk analisis tugas terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar, dilanjutkan dengan fase keempat yaitu fase evaluasi. Dalam fase ini guru kelas melakukan evaluasi terhadap prestasi belajar siswa bersangkutan. Bila ternyata hasilnya belum optimal, maka fase kelima yakni fase modifikasi dari bentuk asesmen diterapkan guna membantu dan mengarahkan kemampuan kognitif melalui perkembangan konseptual yang telah dikuasai oleh siswa yang bersangkutan. Fase-fase dalam putaran ini dapat berlangsung secara terusmenerus selama siswa dengan hendaya kesulitan belajar belum mencapai prestasi yang diinginkan berkaitan dengan kemampuan persepsi dan geraknya. Jika dianggap terjadi perkembangan yang nyata dari pembelajaran klinis tersebut, maka guru kelas dapat melanjutkan program pembelajaran yang mengaplikasikan gerak irama sebagai upaya untuk pencapaian perkembangan kedewasaan secara optimal. Tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum menyusun rancangan pembelajaran sebagai program aplikasi gerak irama dalam pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar, sebagai berikut. 1. Melakukan skrining atau asesmen awal dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory profil I & II (GPI P.I & II), serta daftar cek kemampuan persepsi untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan perilaku psikomotor berupa gerak sensori, gerak persepsi, dan keseimbangan tubuhnya. 2. Melakukan analisis hasil skrining atau asesmen awal yang telah dilakukan pada langkah 1. 3. Membuat skematis dan bagan pola gerak yang akan diterapkan pada rancangan pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama. 4. Membuat rancangan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu dengan memasukkan unsur-unsur pola gerak dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar yang spesifik. 5. Melakukan evaluasi terhadap hasil kegiatan pembelajaran yang mengap-likasikan gerak irama terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar spesifik. Evaluasi menggunakan instrumen GPI. I & II serta daftar cek kemampuan persepsi. Hasil evaluasi ini kemudian diperbandingkan dengan hasil skrining yang telah dilakukan pada langkah satu. Jika ternyata hasilnya ada peningkatan, maka kegiatan belajar berikutnya dapat langsung menggunakan rancangan pembelajaran yang bersifat umum. Bila masih belum ada perkembangan maka dilakukan kembali pembela-jaran klinis. Jika hasil perolehan re-rata dari seluruh daftar cek mencapai nilai tiga sampai empat dinyatakan berhasil. Namun apabila kurang dari tiga dinyatakan belum berhasil. Berikut ini merupakan contoh dari seluruh kegiatan belajar-mengajar yang mengaplikasikan program gerak irama dalam rancangan pembelajaran terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar (learning disablity). Siswa contoh adalah siswa bernama "BB" berusia 7 tahun, duduk di kelas satu Sekolah Dasar, mendapatkan kesulitan belajar Matematika dalam pokok bahasan Geometri (Semester II), dengan sub-pokok bahasan Penjumlahan Bilangan sampai 100 dengan Deret Angka ke Bawah. Kegiatan Langkah 1 Melakukan Skrining dengan Instrumen GPI Disebabkan usia siswa contoh adalah 7 tahun maka instrumen Geddes Psychomotor Inventory yang dipergunakan adalah daftar cek satu. GPI Primary Level untuk umur 6 hingga 9 tahun (sebagai GPI Profile I). Sedangkan GPI Profile II meliputi: daftar cek dua untuk kemampuan persepsi Gross Motor dan tiga Fine Motor. Dilanjutkan dengan daftar cek empat untuk kemampuan persepsi gerak. Mengenai skematis dan bagan pola gerak yang disusun berdasarkan atas hasil analisis dari keempat daftar cek tersebut dan disesuaikan dengan hambatan pada mata pelajaran Matematika (semester II) dalam penjumlahan bilangan sampai100 dengan deret angka ke bawah. Begitu pula contoh rancangan pembelajaran
untuk siswa contoh, dibuat berdasarkan acuan kegiatan-kegiatan yang tercantum pada langkah 1 hingga langkah 5. PRIMARY LEVEL UMUR 6 HINGGA 9 TAHUN Cara Pengisian jawaban Berilah tanda checklist (√ √) pada: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali.
Σ = 77 x = 2,75
KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK HALUS (FINE MOTOR) Petunjuk Pengisian pada Kolom Berangka Berilah Tanda Checklist (√) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak melakukannya dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan secara penuh Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.
KEMAMPUAN PERSEPSI MOTORIK KASAR (GROSS MOTOR) Cara Pengisian pada Kolom Berangka Berikan Tanda Checklist (√) pada Kolom Angka Sebagai Berikut. Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sedikit Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan
KEMAMPUAN PERSEPSI GERAK (PERCEPTUAL MOTOR SKILLS) Petunjuk Pengisian Berilah Tanda Checklis (√) pada Kolom Berangka Sebagai Berikut. Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara verbal/ lisan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan bantuan secara fisik Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan bantuan verbal dan fisik Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan.
Kegiatan Langkah 2 Menganalisis Hasil Skrining Analisis hasil skrining dari GPI I, GPI II (Gross motor, Fine motor dan persepsi gerak) diperoleh data sebagai berikut. 1. Re-rata GPI I = 2,75
2. 3. 4. 5.
Re-rata Fine Motor = 2,75 Re-rata Gross Motor = 2,50 Re-rata Persepsi Gerak = 2,56. Jumlah re-rata keseluruhan = 10,56. Re-rata hasil skrining = 2,64 Dari hasil re-rata hasil skrining diperoleh angka sebesar 2,64, ini berarti bahwa siswa contoh diperlukan pembelajaran klinis terlebih dahulu sebelum pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama. Kegiatan Langkah 3 Membuat Skematis dan Bagan Pola Gerak Dari hasil skrining tersebut, ternyata siswa contoh mempunyai hambatan belajar. Hambatan-hambatan itu disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan keterampilan gerak gross dan fine motor (dengan re-rata hasilnya 2,75 dan 2,50), dan pada faktor persepsi-gerak (rata-ratanya 2,56). Ini berarti bahwa siswa contoh tersebut masih memerlukan bantuan secara verbal dan fisik dalam melakukan kegiatan berkaitan dengan keterampilan gerak, dan persepsi geraknya. Faktor-faktor yang sangat memerlukan layanan khusus berkaitan dengan keterampilan persepsi dan pola gerak dalam pembelajaran individual berbasis gerak irama, berkaitan dengan: a. persepsi pandang, persepsi raba, persepsi penglihatan jarak jauh; b. orientasi ruang, memanipulasi tubuh; c. fungsi gerak, gerak lurus/ menyamping/ sejajar; dan d. memahami posisi tempat. Informasi hasil skrining tersebut sangat membantu guru kelas dalam penyusunan suatu program pembelajaran yang mengaplikasikan pola gerak irama. Berdasarkan informasi hasil skrining dan silabi atau kurikulum maka disusunlah skema pola gerak dan bagan pola gerak yang akan diterapkan dalam program pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama, yaitu sebagai berikut. Tabel 7.1 Skematis Pola Gerak untuk Anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar Bagan 7.1 Pola Gerak untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar Usia 7 Tahun
Keterangan Bagan 7.1 PA = Posisi awal siswa melakukan kegiatan A/B/C/D/E = Lokasi untuk melakukan kegiatan akademik (dalam hal ini menghitung penjumlahan dengan deret hitung ke bawah). Dalam kegiatan di masing-masing lokasi diiringi dengan kegiatan intervensi guru untuk melakukan treatmen terhadap hambatan-hambatan dari faktor gerak, persepsi dan keseimbangan. Di lokasi A siswa melakukan penjumlahan deret hitung lurus sambil menya-nyikan lagu "Satu-satu aku sayang Ibu …dst.nya" Di lokasi B siswa melakukan penjumlahan angka dengan deret hitung ke bawah dalam ukuran satuan, siswa yang mampu menyelesaikan tugasnya diperkenankan untuk melempar bola ke arah sasaran yang ditentukan. Di lokasi C siswa melakukan kegiatan penjumlahan dengan deret hitung ke bawah dalam bentuk angka puluhan, setelah selesai siswa menyanyikan lagu "Pelangi". Di lokasi D siswa melakukan kegiatan mencari angka-angka yang ada di kotak, kemudian menjumlahkan seluruh angka hasil perolehan dari kotak.
Di lokasi E siswa diberikan waktu 10 menit untuk menjumlahkan bilangan dengan deret hitung ke bawah. Siswa yang benar diberikan hadiah yang telah disediakan guru. Kegiatan dari PA ke Lokasi A adalah berjalan secepat-cepatnya secara ber-pasangan dengan teman, beberapa langkah sebelum sampai di lokasi A siswa melompat dengan sepenuh tenaga. Kegiatan dari A ke B siswa melakukan gerakan lari sambil memutari tonggak/ batas yang ada sepanjang jalur lokasi A ke B. Kegiatan ini dilakukan sambil bergandengan tangan dengan temannya. Kegiatan dari B ke C, siswa melakukan gerakan melompat sampai batas yang telah ditentukan kemudian sambil berjalan saling lempar-tangkap bola dengan pasangannya hingga sampai di lokasi C. Kegiatan dari C ke D, siswa berlomba jalan cepat menuju lokasi D. Kegiatan dari D ke E, siswa berjalan sambil mengambil potongan-potongan kertas yang tersebar di kiri dan kanan jalur D - E (potongan-potongan kertas tersebut terdapat angka-angka). Sesampainya di lokasi E siswa menjumlahkan angka-angka tersebut dalam waktu 10 menit. Siswa yang penjumlahannya benar diberikan reinforcement positif. Sedangkan siswa yang belum, diberikan reinforcement negatif. Kegiatan dari lokasi E ke PA semua siswa berjalan santai sambil menyanyikan lagu "Gelang sipaku gelang … dst.nya" Langkah ke-4 Membuat Rancangan Pembelajaran untuk Siswa dengan Hendaya Kesulitan Belajar, dalam mata pelajaran Matematika. CONTOH RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KESULITAN BELAJAR
Mata Pelajaran Pokok Bahasan Sub -Pokok Bahasan
: Matematika : Bilangan 1 sampai 100 : Penjumlahan Bilangan puluhan dengan Deret Hitung ke Bawah. Kelas/Semester : I / II (Dua) Waktu : 2 X 35 menit per satu pertemuan. I. Standar Kompetensi Menggunakan bilangan dalam memecahkan masalah II. Kompetensi Dasar Mengenal dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah III. Hasil Belajar -Menjumlahkan dan mengurang bilangan. -Menggunakan nilai tempat dalam penjumlahan dan pengurangan -Menjumlahkan angka puluhan dengan teknik menyimpan melalui deret angka hitung ke bawah. IV. Indikator Menuliskan bilangan dua angka dalam bentuk penjumlahan puluhan dan satuan. V. Materi Pokok Operasi hitung bilangan VI. Alokasi Waktu
2 X 35 menit per satu pertemuan. VII. Pengalaman Belajar 1. Apersepsi/ Motivasi: a. Mengarahkan siswa dengan hendaya kesulitan belajar untuk menjumlahkan bilangan puluhan melalui deret hitung ke bawah. b. Menjumlah dua bilangan puluhan, dengan teknik menyimpan angka penjumlahan melalui deret hitung ke bawah. 2. Kegiatan Inti: a. Siswa berada di ruangan bangsal sekolah. Kegiatan di awali dan di akhiri pada lokasi PA, dengan posisi berteman. Kegiatankegiatan akademik dilakukan pada lokasi A sampai E. Kegiatan akademik adalah: menjumlahkan angka puluhan melalui deret hitung ke bawah. b. Kegiatan-kegiatan inti dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. VIII. Sumber/ Bahan /Alat Sumber : GBPP dan Silabi, KBK, dan Buku Matematika untuk Kelas I Bahan : Meliputi angka satuan dan puluhan sampai angka seratus. Alat : Kertas bertuliskan angka satuan dan puluhan, bola karet, tongkat pembatas, tali plastik sebagai jalur kegiatan, dan papan sasaran bola tembak, beberapa hadiah ringan. IX. Evaluasi A. Prosedur Pre Test dan Post Test B. Jenis Test: Pernbuatan C. Alat Test: GPI. X. Kriteria Penilaian Nilai sangat baik : Jika siswa mampu menjumlahkan dan melakukan kegiatannya sendiri tanpa bantuan guru. Nilai baik : Jika siswa mampu melaksanakan tugas menjumlahkan dengan ada petunjuk lisan dan fisik dari guru. Petunjuk lisan berupa suruhan dan arahan, sedangkan bentuk fisik misalnya dengan memegang siswa untuk melakukan kegiatan. Nilai kurang : Jika siswa tidak mampu menyelesaikan tugas dan tidak mau bergerak dari satu lokasi ke lokasi berikutnya. Bandung, ……………………200.. Mengetahui, Kepala Sekolah …………….
_________________________ NIP. ………………………….
Guru Kelas,
________________________ NIP. …………………………
Langkah Ke-5 Melakukan Ealuasi Akhir Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan perilaku psikomotor dan peningkatan prestasi akademiknya, diperlukan adanya post test. Instrumen GPI Profile I dan II diterapkan kembali, hasilnya diperbandingkan dengan hasil skrining atau pre test. Bila terjadi peningkatan angka rata-ratanya hingga mencapai angka 4, maka program pembelajarannya berhasil. Jika di bawah angka 3 maka dianggap tidak berhasil, dan diperlukan pembelajaran klinis. Bila guru kelas ingin mengetahui mengenai tingkat perkembangan stabilitas siswanya, dapat dibuat suatu program tersendiri berupa penerapan metode subjek tunggal. Dalam sistem ini jumlah pertemuan minimal 12 kali pertemuan. Tiga pertemuan awal sebagai Baseline 1, enam kali pertemuan berikutnya disebut dengan Treatment, dan tiga pertemuan akhir dianggap Baseline 2. Pada pertemuan Treatment diberikan intervensi guru untuk mengaplikasikan gerak irama, pada Baseline 1 dan 2 tidak diberikan intervensi guru. Mengenai cara penghitungan statistika secara rinci dapat dilihat pada model single subject research. RANGKUMAN 1. Anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), adalah anak yang mempunyai kekurangan atau terhambatnya satu atau beberapa bagian dari proses belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih dari proses-proses dasar dalam pemahaman atau penggunaan bahasa lisan dan tulis. Misalnya membaca, menulis, menghitung bilangan dan angka, mengeja huruf, mendengarkan, berpikir, dan mengingat-ingat. Kekurangan dalam pengalaman proses belajar berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Beberapa dari anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah sosial emosial. 2. Para ahli klinis menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah "anak yang mempunyai ketidakberfungsian cerebral secara minimal atau adanya cedera otak" (minimal cerebral dysfunction or brain injured)," ketidakberfungsian otak secara minimal (minimal brain dysfunction), dislek-sia (dyslexia), dan "ketidakmampuan perseptual (perceptual disability). 3. Para ahli pendidikan menyebut anak dengan hendaya kesulitan belajar dengan istilah "anak dengan hambatan pendidikan" (educationally handi-capped), atau "anak dengan hambatan persepsi (perceptually handicapped), dan "anak dengan hambatan belajar khusus" (specific learning disability). 4. Konsep-konsep dasar berkaitan dengan definisi dari anak dengan hendaya kesulitan belajar, antara lain: a. mempunyai hambatan proses psikologis, yaitu proses yang mengacu pada kemampuan hakiki sebagai prasyarat penguasaan keterampilan gerak dan persepsi, b. hambatan khususnya berkaitan dengan membaca, menulis dan matematika, c. masalahnya bukan berasal dari kasus-kasus utama, d. permasalahan yang ada saling berbeda-beda, e. Hendaya kesulitan belajar tertuju pada ketidakberfungsian sistem saraf pusat, dan f. hendaya kesulitan belajar selalu diikuti dengan hendaya penyerta, seperti kelainan emosional. 5. Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang penting bagi perkembangan dan pertumbuhan terhadap bayi dan anak-anak. 6. Prevalensi anak dengan hendaya kesulitan belajar berkisar 3 hingga 15 persen dari seluruh populasi anakanak usia sekolah. Penyebabnya yaitu: a. faktor organik dan biologis, b. faktor genetika, dan c. faktor lingkungan.
7.
8.
Faktor genetika merupakan faktor dominan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar membaca. Faktor keterampilan gerak, pola gerak, keseimbangan, dan persepsi (persepsi dengar dan visual) berkaitan erat dengan perilaku psikomotor. Oleh karena itu fokus pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kesulitan belajar ditujukan pada peningkatan gerak sensori dan gerak-persepsi. Menurut Piaget (1970) pembelajaran gerak sensori sejak usia dini menjadi landasan utama untuk membangun perkembangan kognitif dan persepsi yang kompleks. Sebelum dilakukan pembelajaran individual yang bersifat umum, maka guru kelas membuat program pembelajaran klinis apabila anak mempunyai kesalahan dalam tugas akademik.
C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK HIPERAKTIF (HYPERACTIVE STUDENT) Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw & Perret, 1986: 261). Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor brain damage, an emotional disturbance, a hearing deficit, or mental retardation. Hal ini dimungkinkan terjadi bahwa seorang anak mempunyai kelainan in-atensi disorder dengan hiperaktif (Attention Deficit Disorder- with Hyperactivity) atau in-atensi disorder tanpa hiperaktif (Attention Deficit Disorder). Dewasa ini banyak kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4). Banyak sebutan nama atau istilah hiperaktif atau ADDH, antara lain minimal cerebral dysfunction, minimal brain damage (sekarang istilah ini tidak mempunyai nilai atau tidak digunakan lagi bagi pendidik dan psikologis), minimal cerebral palsy, hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder with hyperactivity (Batshaw & Perret, 1986:262). Gejala-gejala "kelainan" dari anak hiperaktif antara lain in-atensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak-anak hiperaktif memerlukan suatu layanan dengan cara pemberian intervensi dengan terapi farmakologi dikombinasikan dengan terapi perilaku (behavior modification). Jika anak hiperaktif tidak mendapatkan layanan terapi, maka yang bersangkutan di kemudian hari akan berkembang ke arah "kriminal", suka mengutil barang, mencuri, mencoba-coba narkoba, merusak properti dan cenderung berkembang ke arah problem yang lain, yaitu conduct disorder (CD)(Solek, P. 2004:5). Ciri yang paling mudah dikenal bagi anak hiperaktif adalah anak akan selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, Selain itu yang bersangkutan sangat jarang untuk berdiam selama kurang lebih 5 hingga 10 menit guna melakukan suatu tugas kegiatan yang diberikan gurunya. Oleh karenanya, di sekolah anak hiperaktif mendapatkan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas kerjanya. Ia selalu mudah bingung atau kacau pikirannya, tidak suka memperhatikan perintah atau penjelasan dari gurunya, dan selalu tidak berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sekolah, sangat sedikit kemampuan mengeja huruf, tidak mampu untuk meniru huruf-huruf (Rapport & Ismond, 1984 dalam Betshaw & Perret, 1986:263). Definisi mengenai hiperaktif, menurut Stewart (1970: 94) sebagai berikut. "..... Hyperactive child syndrome, typically a child with this syndrome is continually in motion, cannot concentrate for more than a moment, acts and speaks on impulse, is impatient and easily upset. At home he is constanly in trouble of his restlessness, noisiness, and disobedience. In school he is readly distracted, rarely finishes his work, tends to clown and talk out of turn in class and becomes labeled a discipline problems" (dalam Kauffman, J. M., 1985:174).
a. b. c.
Ciri-ciri yang sangat nyata berdasarkan definisi tersebut bagi peserta didik hiperaktif adalah sebagai berikut. Selalu berjalan-jalan memutari ruang kelas dan tidak mau diam. Sering mengganggu teman-teman di kelasnya. Suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan sangat jarang untuk tinggal diam menyelesaikan tugas sekolah, paling lama bisa tinggal diam di tempat duduknya sekitar 5 sampai 10 menit.
d. e. f. g. h. i. j. k. l.
Mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas di sekolah. Sangat mudah berperilaku untuk mengacau atau mengganggu. Kurang memberi perhatian untuk mendengarkan orang lain berbicara. Selalu mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas-tugas di sekolah, Sulit mengikuti perintah atau suruhan lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Mempunyai masalah belajar hampir di seluruh bidang studi. Tidak mampu menulis surat, mengeja huruf dan berkesulitan dalam surat-menyurat. Sering gagal di sekolah disebabkan oleh adanya in-atensi dan masalah belajar karena persepsi visual dan auditory yang lemah. Karena sering menurutkan kata hati (impulsiveness), mereka sering mendapat kecelakaan dan luka. (Rapport & Ismond, 1984 dalam Batshaw & Perret, 1986:263).
Kesulitan belajar anak hiperaktif disebabkan pula adanya kontrol diri yang kurang dan sering impulsif dalam setiap kegiatan yang ia lakukan, sangat mudah untuk marah dan seringkali suka berkelahi. Dari adanya impulsif ini, umumnya anak hiperaktif sering mendapatkan "kecelakaan" dan mendapatkan luka. Ada di antara mereka tidak suka berolahraga karena adanya kecanggungan atau kekakuan gerak. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua anak dengan hiperaktif atau kesulitan belajar mempunyai attention deficit disorder (ADD). Hubungan antara attention deficit disorder, learning disability dan hyperactive dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut. Gambar 3.1 Hubungan antara Kesulitan Belajar, In-atensi dan hiperaktif (Batshaw & Perret, 1986:263).
Anak dengan ADD atau ADD-H selalu mendapat kesulitan di sekolah. Mereka selalu gagal untuk melakukan hubungan sosial dalam pelajaran berolahraga, sedangkan di rumah mereka juga sedikit mendapatkan dorongan untuk menghilangkan kesulitannya. Anak hiperaktif tersebut dapat dipastikan mempunyai kesulitan untuk memahami konsep, dan selalu gagal untuk segala kegiatan yang ia coba lakukan. Kasus lainnya berkaitan dengan hiperaktif, antara lain sebagai berikut. 1. Anak tunagrahita dapat juga mempunyai kelainan atau hendaya penyerta hiperaktif, seperti adanya inatensi, perilaku impulsif, frustasi, dan rendahnya kemampuan dalam bidang kognitif. Pendekatan secara medis dalam kasus semacam ini, pengobatannya kurang efektif. 2. Sifat in-atensi dan hiperaktif terdapat juga pada anak yang mempunyai seizure disorder, terhadapnya terdapat problem perilaku disebabkan oleh adanya reaksi terhadap toxic levels of phenobarbital atau anticonvulsant lainnya. 3. Anak dengan hendaya pendengaran dapat juga mempunyai sifat hiperaktif atau problem perilaku lainnya. Problem ini disebabkan oleh kerusakan pada sebagian sel-sel saraf pada otak, atau adanya kesalahan mendiagnosis. 4. Pada anak dengan kesulitan psikiatrik dapat dimungkinkan mempunyai hiperaktif disebabkan oleh adanya perasaan tidak aman pada dirinya atau salah mengenai tanggapan dirinya dan kurang responsivitas terhadap orang lain. Pengobatan terhadap anak ADD umumnya dilakukan dengan berbagai pendekatan termasuk program pendidikan khusus, modifikasi perilaku, pengobatan melalui obat-obatan, dan konseling. Di samping pendekatan yang kontroversial antara lain dengan melakukan diet khusus, dan penggunaan obat-obatan serta vitaminvitamin tertentu.
Pendekatan secara pendidikan, umumnya diberikan suatu penempatan sekolah yang tepat dalam suatu program khusus. Penempatan itu dianggap sangat penting diterapkan guna "penyembuhan" anak dengan ADD. Pada anak ADD umumnya mempunyai kesulitan belajar disebabkan adanya hiperaktif, sifat impulsif, dan menurunnya daya atensi saat mengikuti pelajaran (Straus & Lehtinen, 1955 dalam Batshaw & Perret, 1986:266). Untuk perkembangan dan pertumbuhan diri anak bersangkutan, diperlukan suatu bentuk program pembelajaran spesifik dalam sebuah kelas khusus dengan didampingi seorang asisten yang dapat membantu kegiatan selama layanan pembelajaran berlangsung. Pada anak dengan ADD-H pendekatan yang efektif adalah dengan menerapkan modifikasi perilaku saat pelaksanaan pembelajaran. Metode yang digunakan akan melibatkan tata cara pengaturan program. Lingkungan yang terstruktur, dan bentuk re-inforcement terhadap perilaku dianggap hal yang penting. Alasan utama digunakannya modifikasi perilaku disebabkan bahwa perilaku dapat dikontrol melalui konsekuensikonsekuensi yang diperlakukan akibat adanya perilaku sasaran pembelajaran tersebut. Jadi apabila hasil perilaku sasaran tertentu mendapatkan reward, maka akan memperoleh manfaat dengan berulangkalinya perilaku tertentu di masa yang akan datang. Jika perilaku tidak mendapat reward, maka tidak akan muncul lagi. Anggapan ini berdasarkan atas tiga landasan utama dari suatu metode pengontrolan terhadap perilaku, yaitu reinforcement, punishment, dan extinction. Dengan menggunakan modifikasi perilaku, maka saat mencatat semua hasil perilaku sasaran yang kemunculannya diharapkan, model evaluasi terhadap subjek tunggal sangat memegang peranan penting (single-case design: A-B; A-B-A; atau A-B-A-B). Suatu program untuk layanan pembelajaran atau bimbingan konseling terhadap anak ADD-H diperlukan suatu model tersendiri bersifat spesifik dengan berlandaskan pada pola Input - Process - Output. Dalam input, diperlukan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan (a) skrining atau asesmen guna mengetahui informasi berkaitan dengan karakteristik khusus dari anak bersangkutan, (b) masukan informasi berkaitan dengan program yang lalu, keadaan dan keberadaan guru, therapist, konselor setempat, sarana dan prasarana, serta tahapan kegiatan yang pernah dilakukan atau diterapkan pada anak bersangkutan. Masukan lingkungan berkaitan dengan norma, tuntutan, tujuan suatu kegiatan, serta keadaan lingkungan anak merupakan informasi yang sangat berguna dan sangat memegang peranan penting bagi kegiatan input. Selanjutnya proses kegiatan layanan spesifik diperlukan suatu program pembelajaran/konseling/terapi yang bersifat individu dan dibuat secara khusus. Tentunya dengan melihat kurikulum yang berlaku, perilaku nonadaptif atau mal-adjustment tertentu, cara melaksanakan kegiatan intervensi, dan bagaimana melakukan refleksi kegiatan pembelajaran. Selama proses kegiatan untuk "penyembuhan" terahadap anak ADD-H diperlukan program tertentu yang lebih menitikberatkan pada model modifikasi perilaku. Siklus kegiatannya diperlukan adanya tindakan (act), perencanaan (plan), pengamatan (observation), refleksi hasil kegiatan pembelajaran (reflextion), dan perencanaan kembali (re-plan) dan seterusnya, sampai ditemukan kesempurnaan perilaku sasaran tertentu pada sasaran akhir (annual goals). Dalam out put atau keluaran, program hendaknya berfokus pada perilaku sasaran yang telah ditentukan, dan merupakan konsekuensi berikutnya. Semua hasil yang berkaitan dengan tingkat kestabilan perkembangan perilaku tertentu perlu dicatat dalam sebuah formulir pencatatan khusus (disebut dengan recording sheet for rate data). Semua hasil catatan itu kemudian di rekapitulasi dan dipetakan dalam sebuah grafik single-case design. Penghitungan stabilitas perkembangan (trend stability) merupakan analisis untuk menghitung kadar perkembangannya, apakah masih labil (disebut: Variable) atau sudah tetap (disebut dengan Constant). Disebut dengan constant apabila nilai trend stability berada pada 85% ke atas.
D. KARAKTERISTIK ANAK TUNALARAS (ANAK DENGAN HENDAYA PERILAKU MENYIMPANG
Definisi berkaitan dengan tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder sekarang lebih terarahkan berdasarkan definisi dari Eli M. Bower (1981). Definisi Bower (1981) menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila ia menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini. a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensory atau kesehatan. b. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru. c. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya. d. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi. e. Bertendensi ke arah symptoms fisik seperti: merasa sakit, atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah. Berdasarkan definisi Bower tersebut, masalah hambatan dalam belajar merupakan karakteristik pertama dan merupakan aspek yang signifikan di sekolah. Dari definisi hambatan emosional tercatat dalam Peraturan Pemerintah Amerika Serikat (Public law 94-142 Secdtion 121 a. 5), antara lain sebagai berikut. 1. Mempunyai kondisi satu atau lebih dari komponen Bower akan berpenga-ruh terhadap kinerja pendidikan untuk periode waktu yang panjang. 2. Secara pasti bahwa ketidakmapuan belajar bukan disebabkan karena faktor-faktor berkaitan dengan kemampuan intelektual, sensory dan kesehatannya. 3. Tidak mampu untuk melakukan kerja sama yang memuaskan dengan teman-teman dan guru-gurunya. 4. Mempunyai tipe perilaku yang tidak pada tempatnya atau perasan yang tidak umum dengan lingkungannya. 5. Mempunyai perasaan tidak gembira atau suka depresi. 6. Bertendensi ke arah symptom fisik. Misalnya, perasaan takut terhadap perorangan atau permasalahan yang ada di sekolah. 7. Istilah tersebut termasuk kepada mereka yang menyandang schizophrenic atau autistic. Tetapi tidak menyangkut kepada mereka yang tidak mampu beradaptasi secara sosial. Banyak anak dan remaja yang menunjukkan kelainan perilaku menyimpang (tunalaras). Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan hendaya penyerta lainnya, seperti hambatan perkembangan fungsional (mental retardation) dan kesulitan belajar yang spesifik (specific learning disability). Guru kelas hendaknya mampu mengatasi siswa-siswa dengan hendaya perilaku menyimpang melalui program pembelajaran yang sesuai dengan kondisi mereka. Umumnya, di sekolah-sekolah reguler anak-anak dengan kelainan perilaku menyimpang banyak dijumpai dengan tingkat ringan. Sedangkan anak-anak dengan kelainan perilaku tingkat sedang banyak di tempatkan di sekolah-sekolah khusus. Untuk tingkat berat umumnya mereka ditempatkan pada tempat dengan situasi dan kondisi yang spesifik (mereka ini antara lain schizophrenic, psychopatic, dan psychopatic behavior). Para ahli psikoanalisis memercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi sejak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelainan perilaku yang serius. Para orang tua yang menerapkan disiplin rendah terhadap anak-anaknya tetapi selalu memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, suka menolak sepertinya dapat menjadi sebab seorang anak menjadi agresif, nakal atau jahat (delinquent) (Hallahan & Kaufmann, 1978 dalam Geddes, D. , 1981:124). Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku menyimpang dapat dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program pembelajaran yang mengarah pada intervensi khusus untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan perilaku menyimpang. Jika anak mempunyai masalah psikologis, diperlukan model psikoanalitis
yang lebih menekankan pada psikodinamis. Jika anak menunjukkan penyimpangan dalam berperilaku bermasyarakat (agresif, menghindar dari keramaian, dan sikap bertahan diri), diperlukan penanganan dengan model perilaku, pendekatan penyembuhannya dengan cara memodifikasi perilaku untuk berperilaku yang benar daripada membetulkan kasus-kasusnya. Anak yang mempunyai kelainan perilaku umumnya tidak mampu untuk berteman karena yang bersangkutan selalu menemui kegagalan saat melakukan hubungan dengan orang lain. Kegagalan mengadakan hubungan dengan orang lain disebabkan oleh adanya ketidakpuasaan dirinya terhadap elemenelemen lingkungan sosialnya (Hallahan & Kauffman, 1986:144-148). Oleh karenanya perilaku guru dan teman sekelasnya harus dapat dikondisikan agar situasi interaksi di dalam kelas dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak dengan hendaya perilaku menyimpang untuk melakukan interaksi dengan kompetensi sosial dan perangai yang memadai (Thomas et al., 1968 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:159). Maka program pembelajaran individual yang disusun guru hendaknya lebih menekankan pada bentuk-bentuk interaksi antara guru - murid - teman sekelasnya. Aplikasi gerak irama terhadap program pembelajaran individual semacam ini sangat membantu guru kelas dalam mewujudkan interaksi antara ketiga unsur murid, guru, dan teman sekelas melalui pola-pola gerak tubuh. Dengan kata lain bahwa gerak irama bertujuan untuk "membentuk" jalinan hubungan interaksi dalam proses kegiatan pembelajaran terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku. 1.
Konsep Anak dengan Hendaya Perilaku Menyimpang (Tunalaras)
a. Pengertian Hendaya Perilaku Menyimpang Behavioral impairment atau hendaya perilaku menyimpang (tunalaras) merupakan istilah berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para pendidik. Definisi dan pemberian nama-nama lain, antara lain berkaitan dengan istilah-istilah, seperti: gangguan emosional (emotionally disturb), perilaku sosial emosional yang maladaptif (maladaptive social emotional behavior), kelainan perilaku (behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan (educationally handicapped), dan kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes, D., 1981:123). Sedangkan Hallahan & Kauffman (1986:146), memberikan istilah kelainan perilaku dengan nama gangguan perilaku atau kelainan perilaku (Behavioral disturbance/ behavioral disorder). Definisi tentang anak dengan hendaya perilaku saat ini masih memakai pendapat Eli M. Bower (1981), yang menyatakan bahwa "anak-anak yang mempunyai hendaya perilaku secara emosional adalah mereka yang menunjukkan satu atau lebih dari kelima karakteristik berikut ini yang terjadi secara terus-menerus serta menjadi lebih berkembang”. Karakteristik anak-anak yang mempunyai kelainan perilaku menyimpang, menurut Geddes, D. (1981:124) dan Kauffman, J.M. (1985:22), adalah mereka yang menunjukkan lima karakteristik sebagai berikut. 1. Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh faktor-faktor intelektual, sensori, atau faktor kesehatan. 2. Ketidakmampuan untuk membangun hubungan antarpribadi secara memuaskan, sehingga hubungan antarpribadi (dengan teman-teman dan guru) yang sangat rendah. 3. Berperilaku dan berperasaan yang tidak semestinya. 4. Pada umumnya, mereka merasa tidak bahagia atau depresi. 5. Bertendensi terjadi peningkatan gejala-gejala fisik yang kurang sehat, rasa sakit, atau rasa takut yang bersifat psikologis berkaitan dengan masalah-masalah saat melakukan hubungan dengan orang dan sekolah (Bower, 1969 dalam Geddes, D., 1981:124; dalam Kauffman, J.M., 1986:22). Kelima karakteristik tersebut mengacu pada pernyataan-pernyataan berkaitan dengan pemberian suatu definisi berdasarkan atas penyelidikan yang banyak dipakai dalam berbagai kegiatan para ahli pendidikan (Cullinan & Epstein, 1979; Epstein et al, 1977, dalam Kauffman, 1985:18), yang menunjukkan adanya beberapa komponen yang dapat diidentifikasi, sebagai berikut.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Adanya kelainan emosi atau perilaku Permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan ketidak-mampuan melakukan hubungan antarpribadi (interpersonal relationship). Ketidakmampuan belajar dan pencapaian keterampilan-keterampilan di sekolah. Perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya atau tidak sesuai dengan harapan-harapan yang diinginkan sesuai dengan kecocokan-umur. Permasalahan yang disandangnya dalam kurun waktu yang panjang. Permasalahan berkaitan dengan hendaya perilakunya dikategorikan dalam tingkat berat (severe). Membutuhkan bantuan pendidikan khusus (special education).
Kelainan perilaku merupakan perilaku yang menyimpang dari perilaku normal. Hal itu diakibatkan adanya pertentangan dengan orang dan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan dari mereka mempunyai skor rendah dalam belajar dan tes inteligensi. Prevalensi terjadinya anak-anak dengan hendaya perilaku menyimpang bervariasi. Namun diperkirakan berkisar antara 2 hingga 22 persen dari anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada anak perempuan. Pendapat lain, bahwa privalensi dari anak dengan hendaya perilaku berkisar lima hingga 20 persen atau bahkan lebih dari populasi anak usia sekolah (Kauffman, J.M., 1985:25). Sulitnya memperkirakan privalensi secara tepat disebabkan oleh adanya beberapa hal sebagai berikut. 1. Sebelum jumlah anak dengan hendaya perilaku di definisikan, perkem-bangannya masih belum dapat dipastikan secara akurat dan reliabel. 2. Adanya perbedaan-perbedaan dalam metodologi dapat menyebabkan hasil-penelitian berkaitan dengan hendaya anak dengan kelainan perilaku menjadi berbeda. 3. Adanya pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada pada kebijakan sosial serta faktor-faktor ekonomi yang turut berperan dalam memberikan definisi dan metodologi. Kebijakan dari hasil latihan-latihan para ahli pendidikan dan pertimbangan-pertimbangan klinis masih terabaikan (Maglioca & Stevens, 1980 dalam Kauffman, J.M., 1985:25). Kasus yang banyak ditemukan berkaitan dengan hendaya perilaku menyimpang sangat erat hubungannya dengan adanya defisit pada faktor-faktor: 1. biologis atau organik, 2. kelainan psikologis atau psikodinamis, 3. konflik-konflik di lingkungan masyarakat, dan 4. perilaku sosioadaptif yang tidak berkemampuan menyesuaikan diri (maladjustment). Menurut Kauffman, J. M. (1985:91-164) faktor-faktor yang paling dominan penyebab adanya hendaya perilaku (behavior disorders) yaitu: 1. faktor keluarga, 2. faktor biologis, dan 3. faktor sekolah. Defisit dalam aspek organik secara tersendiri atau kombinasi dengan faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan adanya perilaku yang menyimpang. Anak dengan hendaya ketidakberfungsian sistem saraf pusat atau kelainan secara biokemikal (seperti: nutrisi yang rendah, kurang tidur) dapat mengakibatkan kerusakan secara fisik, seperti adanya ketidakseimbangan dalam hormon, cedera otak, kerusakan enzim dan schizophrenia genotype. Kerusakan secara organik atau biologis sangat sulit untuk diidentifikasi walaupun
kondisinya secara nyata sangat berat, seperti pada anak dengan sindrom kelangkaan komunikasi (autism) dan anak dengan sindrom kelainan psikis (schizophrenia). Masalah-masalah pribadi atau psikologis pada anak-anak dan remaja banyak dibicarakan dan telah dilakukan penelitian-penelitian oleh para ahli. Secara teori banyak dibicarakan melalui model psikoanalisis dari Freud dan pendekatan psikologis kemanusiaan melalui teori-teori dari Adler, Maslow, Allport, Combs, dan Rogers (Reinert, 1976 dalam Geddes, D., 1981:124). Para ahli psikoanalisis memercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi sejak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kelainan emosional yang serius. Orang tua yang menerapkan disiplin rendah tetapi selalu memberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik, tidak sopan, dan suka menolak dapat menyebabkan seorang anak menjadi agresif atau nakal (delinquent) (Hallahan & Kauffman 1978, dalam Geddes, D., 1981:125). Adanya tekanan-tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak, ditambah dengan ketidakberhasilan anak bersangkutan dalam pergaulan lingkungannya sering menjadi penyebab perilakuperilaku yang menyimpang. Dapat juga terjadi bila seorang anak kurang memahami akan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga dapat terjadi oleh karena adanya suatu pandangan yang keliru terhadap sekelompok minoritas tertentu. Hal tersebut dapat menjadi penyebab anak yang suka melawan hukum atau aturan-aturan tertentu dan selalu memberontak untuk melawan orang yang berkuasa. Perilaku sosioadaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi dan melakukan penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-pengalaman hidup yang diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor sosioadaptif antara lain perkembangan kedewasaan, penyesuaian sosial, dan kemampuan belajar. Jika seseorang mempunyai penyimpangan tingkat penyesuaian normal secara kronologis, dapat dipastikan akan menjadi anak yang kurang dapat menyesuaikan diri (maladjustment) atau perilaku yang menyimpang. Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku menyimpang dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika seorang anak mempunyai masalah psikologis, diperlukan model psikoanalitis yang lebih menekankan pada psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang anak menunjukkan penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat diperlukan penanganan dengan model perilaku, yaitu dengan cara memodifikasi untuk belajar berperilaku yang benar daripada membetulkan kasus-kasusnya. Tipe perilaku yang tampak, merupakan refleksi-refleksi dari perasaan diri seperti marah, merasa sering menemui kegagalan, takut, frustasi, ketakutan tanpa sebab, konsep diri yang kurang, tidak merasa aman, penerimaan terhadap dirinya yang kurang, masalah-masalah identitas, dan merasa diacuhkan oleh orang lain. Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan dengan kegagalan dalam belajar dan berbicara dengan gagap. Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku menyimpang, yaitu agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri. Agresif merupakan perilaku dalam wujud bermusuhan (hostility), suka berkelahi (belligevency), suka berteriak (yelling), ledakan kemarahan (temper outbursts), suka menyindir (teasing), suka mengacaukan (vandalism), suka melawan terhadap kewenangan orang dewasa (resiteance to adult authority), suka melakukan kenakalan atau kejahatan (delinquency), suka memukul secara fisik pada orang lain (physically striking others), dan suka menolak untuk bekerja sama (refusing to cooperate). 1. Withdrawal atau sifat suka menghindarkan diri dari orang lain, merupakan perilaku yang mudah dilihat oleh guru. Umumnya anak yang mempunyai perilaku semacam ini, pada dasarnya adalah seorang anak yang berperi-laku baik. Namun kelainan perilaku semacam ini berkaitan dengan perila-ku yang bersikap pasif (passivity), suka melamun (day dreaming), ketidak-dewasaan (immaturity), suka menghisap ibu jarinya (thumb sucking), mempunyai rasa takut yang berlebihan (extreme fear), sering gagal untuk berbicara (failure to talk), tidak suka bergaul (reluctance to sosialize), ber-main sendirian (playing alone), sering mengeluh
2.
merasakan sakit (compla-ining of feeling ill), tidak menaruh perhatian terhadap lawan berbicara saat berbicara dengan orang lain, berperilaku suka merangsang diri (melaku-kan onani), dan sangat mudah untuk depresi (muram atau sedih). Sikap bertahan diri (defensive behavior), merupakan perilaku yang dilakukan untuk melindungi diri dari situasi berbahaya secara psikologis. Mekanisme ini selalu digunakan oleh semua orang dalam populasi secara umum tetapi bila digunakan secara berlebihan oleh seseorang maka ia mempunyai hendaya kelainan perilaku menyimpang, karena cara-cara perlindungan diri sendiri yang dilakukannya dilakukan secara tidak wajar. Contohnya, suka menyalahkan orang lain bila dirinya melakukan kesalahan atau kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun atau berfantasi untuk lari dari kenyataan yang sebenarnya, tindakan-tindakannya selalu menggunakan alasan-alasan yang tidak masuk akal, adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan sering mendapatkan kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkan keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap kekurangan dirinya, menganggap dirinya seperti seseorang yang ia kagumi.
Tipe-tipe perilaku lainnya antara lain ketidakhadiran diri (absenteism), suka melarikan diri dari kenyataan, bersikap selalu lamban, suka berbohong, suka menipu, suka mencuri, tidak bertanggungjawab, sering kehilangan barang-barangnya dan menghindar diri jika disuruh kerja. b.
HambatanHambatan-hambatan yang Dihadapi Anak dengan Hendaya Kelainan Perilaku
Hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang pada usia Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak, pada umumnya berkaitan dengan sering terjadi konflik dengan orang tuanya, dengan pasangan saudara kembarnya sehingga mempunyai perwatakan yang keras, menyangkut perilaku lekas marah, dan mempunyai pola tidur dan makan yang tidak umum. Pada umumnya, bila anak sering mendapatkan tanggapan-tanggapan negatif dari teman dan orang lain dalam lingkungan kehidupannya, akan menyebabkan anak menjadi lebih agresif dan lebih sering menghindarkan diri dari kerumunan orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya, program intervensi menjadi lebih efektif terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku pada tingkat Sekolah Dasar. Pada anak-anak usia sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama, umumnya mereka mempunyai hambatan pada penyesuaian diri terhadap lingkungan (socially maladjusted), sehingga menjadikan diri mereka berperilaku menyimpang berkaitan dengan suka mengindarkan diri seperti anak autistik hingga menjadi anak yang agresif suka nakal dan melakukan kejahatan. Program intervensi yang dianggap tepat adalah pemberian kegiatan keterampilan hidup sehari-hari dalam suatu lingkungan khusus sebagai lingkungan tempat melakukan latihan-latihan kehidupan yang baik, disamping dipersiapkan suatu kurikulum yang tidak umum atau spesifik dengan latihan-latihan vokasional yang khusus. Kurikulum yang spesifik seharusnya disusun dengan memperhatikan suatu bentuk kurikulum yang bermuatan kegiatan. Tentu saja dengan berdasarkan pengalaman-pengalaman esensial yang harus dimplementasikan ke dalam suatu rancangan pembelajaran yang di arahkan pada fokus keterampilan khusus dan secara rinci. Dengan kata lain bahwa kurikulum yang disusun: a. tidak berisikan suatu mata pelajaran untuk diajarkan suatu keterampilan pengalaman secara langsung berdasarkan atas pokok bahasan yang dituangkan dalam garis-garis besar program pembelajaran, b. hendaknya dimasukkan suatu bentuk keterampilan-keterampilan spe-sifik yang bersifat permainan yang mengandung unsur kesenangan dan rasa saling menyayangi, serta dapat dipergunakan dalam kehidupan anak bersangkutan (Kauffman, J. M., 1985:342). Pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku yang sudah dewasa, hambatan yang nampak adalah kesulitan dirinya untuk hidup mandiri secara bebas, dan hidup yang berproduktif. Mereka mempunyai kelainan
perilaku yang diklasifikasikan dalam psikotik (autistic dan schizophrenic) dan kelainan perilaku khusus, seperti agresif yang berlebihan (Hallahan & Kauffman, 1986:179-181). c.
Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunalaras
a. Pendekatan yang Diperlukan Anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang mengacu pada adanya perilaku yang sangat ekstrim. Masalah yang sangat kronis yaitu sulitnya untuk menghilangkan perilaku yang tidak diterima oleh lingkungan sosial dan budaya tertentu. Mengenai hal tersebut, maka pendekatan dalam dunia pendidikan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut. 1. Pendekatan secara psikoanalitis dalam pendidikan, merupakan tuntunan-tuntunan berdasarkan prinsipprinsip psikoanalisis. Masalah yang dihadapi oleh anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang dipandang sebagai ketidakseimbangan secara patologis antara bagian-bagian dinamis dari pikiran ide, ego dan super ego. Para praktisi pendidikan mengupayakan untuk membantu dalam meningkatkan keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan prestasi ke arah yang lebih baik. Penekanan-nya terletak pada pembentukan hubungan yang baik antara guru dan siswa, agar diri siswa mempunyai perasaan diterima dan bebas untuk mengemukakan keadaan dirinya. Dengan demikian maka perhatian guru lebih tertuju pada upaya-upaya untuk membantu anak dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya, bukan dengan mengubah perilaku kelainan yang tampak atau memberikan keterampilan akademik (Bettelheim, 1950, 1967; Berkowitz & Rothman, 1960 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173). 2. Pendekatan secara psikoedukasional. Terhadap anak dengan hendaya kelainan perilaku yang diasumsikan bahwa kelainannya melibatkan kelainan psikiatrik dan adanya kesalahan-kesalahan perilaku yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang anak, maka diperlukan pendekatan secara seimbang antara sasaran yang bersifat terapeutik (penyembuhan) dengan sasaran untuk pencapaian prestasinya. Motivasi terhadap ketidak-sadaran diri dan faktor-faktor yang bersifat patologi perlu mendapatkan pertimbangan dalam pembelajarannya, melalui penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap individu dan pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang memanfaatkan kegiatan kreatif seni, seperti musik, tari, dan kegiatan yang bersifat seni. 3. Pendekatan secara humanistik. Pendekatan ini berdasarkan atas pandangan psikologi humanistik sehingga memungkinkan adanya perubahan dalam pendidikan, dan sebagai revolusi perubahan terhadap konsep-konsep pendidikan tradisional sejak tahun 1960-an. Masalah utama, para pendidik adalah bahwa anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang mempunyai per-hatian. Selain itu masih belum dianggap penting dalam lingkungan pendi-dikan tradisional. Hal yang perlu disarankan kepada para praktisi kependi-dikan adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guna meningkatkan kemampuan siswa dalam mengatur diri sendiri, mampu mengevaluasi diri, dan keterlibatan emosional dalam pembelajaran yang diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang nontradisional. Fungsi guru dalam hal ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam pembelajarannya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru dan siswa bekerja sama saling memberikan informasi dalam keadaan yang saling mengun-tungkan dan berkesan. Biasanya kata-kata yang dipergunakan tidak bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan, bersifat ke arah evaluasi diri, afektif, terbuka dan bersifat pribadi (Hallahan & Kauffman, 1986:175). 4. Pendekatan secara ekologis. Elemen-elemen lingkungan seperti sekolah, lingkungan keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang interaksi bagi anak. Oleh karenanya praktisi pendidikan sebaiknya menjadi bagian dari strategi keseluruhan suatu sistem. Dalam hal ini anak meru-pakan bagian yang terlibat di dalamnya. Sasaran dari pendekatan ini adalah mengubah lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu intervensi terhadap perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya diberlaku-kan
5.
dalam ruangan kelas saja, tetapi meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari anak yang bersangkutan, tetangganya, dan orang-orang yang ada di lingkungannya. Pendekatan secara ekologis membutuhkan seorang guru yang cakap dalam memberikan keteram-pilan spesifik yang berguna, termasuk di dalamnya keterampilan aka-demik, rekreasi, dan keterampilan untuk hidup sehari-hari. Pendekatan perilaku. Pendekatan ini menggunakan dasar-dasar pengon-disian yang bersifat operant dan respondent. Asumsinya adalah bahwa permasalahan yang bersifat perilaku, yang menjadi penyebab tidak tepatnya pembelajaran pada anak dengan hendaya kelainan perilaku dapat dibantu dengan cara memodifikasi perilaku. Modifikasi perilaku dapat dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi lingkungan anak. Hal itu tergantung pada penempatan ruangan kelas dan konsekuensi dari perilaku anak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa tanggapan-tanggapan anak hendaknya dapat segera disadari oleh guru atau praktisi serta dapat diukur secara cermat. Dengan demikian, fokus dalam pende-katan perilaku adalah memberikan batasan secara tepat dan mengukur perilaku yang dapat diamati yang menjadi masalah, dan memanipulasi konsekuensi-konsekuensi perilaku anak yang bersangkutan dalam upaya melakukan perubahan.
b. Rancangan Pembelajaran Program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan sosial-emosionalnya. Untuk itu diperlukan perhatian khusus terhadap perkembangan sosial emosional dan psikomotornya. Yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional, meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Kepuasan diri, yaitu merasa sehat, meningkatkan konsep diri, mening-katkan kepercayaan diri, aktualisasi diri, dan peningkatan kesadaran terhadap tubuh. 2. Perkembangan fungsional, yaitu sikap bermasyarakat, pandangan terha-dap nilai-nilai, kepribadian, dan menyenangi hubungan antarpribadi dalam suatu lingkungan kehidupan. 3. Perkembangan emosional, yaitu kestabilan emosi, merasa senang, suka menyampaikan perasaanperasaan emosi dirinya, dan bergaul erat sesama teman.
Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat meningkatkan hubungan antarpersonal. Selanjutnya suatu program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan adanya hal-hal berikut. 1. Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan sportivitas, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya. 2. Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya, dan dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh. 3. Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan, seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kegiatan-kegiatan layanan pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan memperhatikan: 1. adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan dirinya sendiri, 2. dapat meningkatkan persahabatan, 3. adanya kesempatan pada anak untuk dapat memecahkan masalah-masalahnya secara sendiri; 3. menggunakan gerakan-gerakan ritmis, dan 4. dilakukan dengan memodifikasi perilaku yang bersifat operant condition, dengan penguatan yang positif (positive reinforcement), hukuman (punishment), dan penarikan/ penghentian kegiatan (time out).
c. 1.
2.
3. 4. 5.
Langkah-langkah Kegiatan Pembuatan Rancangan Pembelajaran Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan fungsional psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory (GPI) Profile I dan II (sebagai pretest). Menganalisis seluruh hasil skrining atau pretest dengan instrumen GPI Profile I dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat keberfungsian psikomotor anak yang bersangkutan disesuaikan dengan perkembangan sosial emosionalnya. Membuat suatu pola gerak yang merupakan bahan intervensi guru dalam kegiatan pembelajarannya. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, berdasarkan hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum yang berlaku. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui: (a). Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor, sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosionalnya atau tidak? Dilakukan dengan instrumen GPI Profile I dan II (sebagai post test) (b). Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran (dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai target yang akan dicapai dalam pembelajaran? Dalam hal ini dipergunakan analisis terhadap grafik A-B-A dalam suatu metode subjek tunggal.
Langkah Kegiatan Satu: Melakukan skrining atau tes dengan GPI profile I dan II, terhadap siswa contoh yaitu anak dengan hendaya kelainan perilaku suka menyendiri (withdrawal sebagai perilaku sasaran), duduk di kelas I Sekolah Dasar. Hasilhasil skrining atau tes dengan GPI I dan II berikut. INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil I ) Cara Pengisian Jawaban Berilah tanda checklist (√) pada: Angka 4 (Empat) bila anak melakukan sendiri Angka 3 (Tiga) bila anak melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 (Dua) bila anak melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 (Satu) bila anak melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 (Nol) bila anak tidak dapat melakukan.
INSTRUMEN ASESMEN GPI (Profil II) Cara Pengisian jawaban Berilah tanda checklist (√) pada: Angka 4 jika anak dapat melakukan sendiri Angka 3 jika anak dapat melakukan dengan sedikit pertolongan Angka 2 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan seperlunya Angka 1 jika anak dapat melakukan dengan pertolongan sepenuhnya Angka 0 jika anak tidak dapat melakukan sama sekali.
Langkah kedua: Menganalisis hasil pre test dengan GPI Profile I dan II. Diperoleh data sebagai berikut. 1. Hambatan atau kelemahan dari GPI profile I adalah Memanipulasi Gerak. 2. Hasil dari GPI Profil II adalah: terjadi hambatan pada tiga bagian, yaitu: Kemampuan Persepsi (khususnya respon terhadap persepsi pandang), Koordinasi Gerak Mata, dan Memanipulasi Gerak. Maka dapat disimpulkan bahwa intervensi yang akan dimasukkan dalam rancangan pembelajarannya adalah gerakan-gerakan berkaitan dengan memanipulasi gerak (seperti: melempar, menangkap, menendang,
memantulkan, memukul dengan alat), kemampuan persepsi (dalam hal ini adalah kemampuan merespon terhadap daya pandang), dan koordinasi gerak mata (berkaitan dengan kemampuan melakukan gerakangerakan berkaitan dengan daya koordinasi mata dengan anggota tubuh). Langkah Ketiga: Membuat Skematis dan Bagan Pola-Gerak Sebelum disusun pola gerak (berupa bagan atau gambar), terlebih dahulu dibuat suatu sketsa pola gerak bagi siswa dengan hendaya kelainan perilaku seperti yang ada pada tabel berikut. Tabel 4.1 Skematis Pola gerak untuk Siswa Tunalaras Bagan 4.1 Pola Gerak untuk Anal Tunalaras
Keterangan Bagan 4.1 A, sampai dengan G adalah lokasi kegiatan kognisi berkaitan dengan Pokok dan Sub-pokok Bahasan. Jalur A ke B, dilakukan kegiatan berlari berpasangan sambil memantulkan bola dengan tangan kanan sebanyak lima kali, kemudian dioper-kan pada temannya. Temannya melakukan kegiatan yang serupa. Pada lokasi B anak secara berpasangan melakukan tepukan tangan berpasangan dengan posisi tangan kiri dan tangan kanan serta sebaliknya. Kegiatan tepukan ini dilakukan sebanyak 10 kali, dilan-jutkan dengan menuliskan kegunaan tangan bagi kehidupan manusia pada kertas kerja yang telah disediakan guru. Jalur B ke C, melakukan kegiatan berjalan perlahan sambil berpegangan tangan dengan pasangannya dan menghitung sampai bila-ngan 10, kemudian melakukan lompatan melewati rintangan tertentu. Diteruskan sampai ke lokasi C. Di lokasi C anak-anak melakukan kegiatan menendang bola di arahkan ke satu sasaran tertentu. Dalam kesempatan ini siswa menuliskan kegunaan kaki bagi kehidupan manusia. Jalur C ke D, merupakan kegiatan lempar dan tangkap bola berpasangan dengan teman-pasangannya dilakukan dengan jalan atau lari secepat mungkin hingga ke lokasi D. Di lokasi D anak-anak melakukan kegiatan menyalin tulisan berisikan kegunaan mata bagi manusia ke dalam kertas yang telah disediakan. Jalur D ke E, anak-anak dengan pasangannya berlomba merangkak secepatnya hingga ke lokasi E. Di lokasi E, setiap anak melakukan kegiatan menggambar bentuk manusia lengkap dengan anggota tubuhnya. Jalur E ke F, merupakan kegiatan berjalan cepat berpasangan. Di lokasi F anak dengan pasangannya melakukan kegiatan penguluran otot-otot punggung dengan saling mengangkat belakang tubuh secara bergantian. Jalur F ke G, merupakan kegiatan berlari zigzag melewati rintangan sambil bergandengan tangan. Setelah berada di lokasi G setiap anak harus mengumpulkan biji kacang hijau yang tersebar di lokasi G, kegiatannya sekitar 10 menit. Jalur G ke A, merupakan kegiatan akhir, seluruh anak berjalan sambil menyanyikan lagu kesayangannya seperti "Gelang Sepatu Gelang" atau lainnya. Hingga kembali ke lokasi A . Langkah keempat: Membuat Rancangan Pembelajaran Berbasis Gerak Irama
Berdasarkan pola gerak yang ada pada Tabel 4.1 serta Bagan 4.1 tersebut, maka guru menyelaraskan pokok dan sub pokok bahasan yang akan diajarkan kepada siswanya sesuai dengan jadwal pelajaran yang telah disusun sebelumnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada rancangan pembelajaran berikut. CONTOH RANCANGAN PEMBELAJARAN UNTUK SISWA DENGAN HENDAYA KELAINAN PERILAKU (TUNALARAS)
Mata Pelajaran Kelas/Program Semester Waktu I.
: : : :
Ilmu Pengetahuan Alam tentang: Pemahaman Konsep Makhluk Hidup dan Proses I / SDLB bagian E I (Ganjil) 2 X 30 menit.
Kehidupannya.
Standar Kompetensi Siswa mampu memahami bagian anggota tubuh serta kegunaannya, kebutuhan dan cara perawatannya, serta mampu memelihara lingkungan yang sehat. II. Kompetensi Dasar Mengamati bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya. III. Hasil Belajar 1.1. Mengidentifikasi bagian-bagian tubuh dan kegunaannya. IV. Indikator - Menerangkan bagian-bagian tubuh misalnya mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan gigi - Menceriterakan kegunaan bagian-bagian tubuh yang diamati. V. Materi Pokok Bagian-bagian anggota tubuh, kegunaan dan cara perawatannya. VI. Alokasi Waktu 2 X 30 menit setiap pertemuan. VII. Pengalaman Belajar A. Apersepsi/ Motivasi: 1. Mengarahkan siswa dengan hendaya kelainan perilaku pada situasi belajar 2. Menyiapkan kegiatan di lapangan. B. Kegiatan Inti: 1. Siswa diajak menuju lokasi atau lapangan yang ada di sekitar sekolah untuk melakukan kegiatan berdasarkan urutan-urutan kegiatan yang telah dipersiapkan oleh guru. 2. Langkah-langkah kegiatan inti sebagai berikut. Lanjutan Kegiatan Inti VIII. Sumber: Bahan dan Alat Bahan: Buku Pelajaran IPA untuk kelas I SDLB-Bagian E berkaitan dengan makhluk hidup dan proses kehidupan. Alat: Bola sepak, biji kacang hijau, kertas kerja, tulisan tentang tentang mata dan kegunaannya, tongkat rintangan. IX. Evaluasi
A. Prosedur Post Test B. Jenis Tes: Perbuatan yang dapat diamati langsung. C. Alat Tes: Instrumen GPI dan Grafik A-B-A. X. Kriteria Penilaian Nilai Sangat Baik: Jika perkembangan psikomotor meningkat disamping adanya keajegan pada tingkat kestabilan perkembangan perilaku sasarannya, secara statistik dibuktikan dengan skor trend stability yang constant (di atas 85%). Nilai Baik: Jika perkembangan psikomotor sampai pada tingkat dapat menguasai. Nilai Kurang: Jika perkembangan psikomotor belum ada peningkatan, dan tingkat stabilitas perkembangan perilaku sasaran sangat rendah (di bawah 25%). Bandung, ……………………… 2006 Guru Kelas, ……………………. NIP. ……………… Mengetahui, Kepala Sekolah ……………
…………………………. NIP. ……………………. Langkah Kelima: Melakukan evaluasi setelah proses pembelajaran selesai. Dalam kegiatan mengevaluasi yang perlu dilakukan adalah: 1. Melakukan post test dengan GPI Profile I dan II, hasilnya dibandingkan dengan hasil pre test yang dilakukan sebelumnya. Jika ternyata bahwa psikomotor siswa meningkat, program pembelajaran yang disusun melalui rancangan pembelajaran dengan mengaplikasikan gerak irama dianggap berhasil. Peningkatan hendaknya mencapai nilai re-rata yaitu empat untuk semua item. Tetapi jika sampai pada batas telah dikuasai yaitu dengan dicapainya re-rata skor seluruh item hanya tiga, maka rancangan pembe-lajaran dengan aplikasi gerak irama dinyatakan gagal, untuk hal ini diperlukan peninjauan ulang terhadap program kegiatannya. 2. Jika ingin mengetahui tingkat kestabilan perkembangan pada perilaku sasaran (dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri atau withdrawal), maka rancangan pembelajaran ini diberlakukan selama minimal tiga kali tanpa intervensi gerak irama (sebagai sessi Baseline I), minimal enam kali dengan intervensi gerak irama (sebagai sessi Treatment), dan minimal tiga kali tanpa intervensi gerak irama (sebagai sessi Baseline II) (single-subject method). Dari data kemunculan perilaku sasaran yaitu withdrawal selama proses pembelajaran yang dicatat dalam recording sheet for rate data (lihat lampiran instrumen), maka dibuatlah grafik A-B-A. Dari grafik A-B-A kemudian dilakukan analisis grafik berupa penghitungan berkaitan dengan trend stability yang sering digunakan dalam metode subjek tunggal. Bila ternyata hasil perhitungan trend stability berada pada skor 85% ke atas maka dinyatakan bahwa perkembangan stabilitas berada pada skor konstan.
d. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
Rangkuman Anak Tunalaras atau Anak dengan Hendaya Perilaku Anak dengan hendaya kelainan perilaku (Tunalaras), merupakan anak yang mempunyai kondisi perilaku yang menyimpang dari perilaku normal. Hal ini ditunjukkan dengan kelainan emosional dan perilaku menyimpang. Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan kondisi kelainan lain, seperti tunagrahita (mental retardation) dan kesulitan belajar (specific learning disability). Privalensi terjadinya anak dengan hendaya kelainan perilaku bervariasi, namun diperkirakan berkisar antara 2hingga 22 persen dari populasi anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Faktor-faktor penyebab terjadi hendaya kelainan perilaku adalah: (a) Faktor biologis, perilaku yang menyimpang dipengaruhi oleh faktor genetika, neurologis atau faktor biokemikal atau dapat juga dari kombinasi antara genetik/neurologis/biokemikal, (b) Faktor keluarga, disebabkan oleh kurang harmonisnya hubungan antara anak dengan orang tuanya, (c) Faktor budaya, kondisi-kondisi budaya dan sosial yang berubah menyebabkan adanya hendaya kelainan perilaku terhadap anak-anak, (d) Faktor sekolah, misalnya adanya pengalaman-pengalaman yang buruk sewaktu berada di ruang kelas. Kasus yang telah diketemukan berkaitan dengan hendaya kelainan perilaku berkaitan erat dengan adanya defisit pada faktor biologis atau organik, kelainan psikologis atau psikodinamis, konflik-konflik di lingkungan masyarakat, dan perilaku sosioadaptif karena tidak mampu menyesuaikan diri. Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku dapat dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika anak mempunyai masalah psikologis maka diperlu-kan penangannya melalui model psikoanalitis yang lebih menekankan pada faktor psikodinamis. Jika anak menunjukkan penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat, maka diperlukan penanganan melalui model peri-laku yaitu dengan memodifikasi perilaku untuk belajar berperilaku benar daripada membetulkan kasus-kasusnya. Perilaku yang paling utama sebagai perilaku yang diklasifikasikan sebagai hendaya kelainan perilaku yaitu agresif, suka menghindarkan diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri. Pendekatan yang digunakan terhadap layanan bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku, antara lain dengan pendekatan: psikoanalitis, psiko-edukasional, humanistik, ekologis, dan memodifikasi perilaku atau behavioral (Hallahan & Kauffman, 1986:174-176). Yang paling utama adalah dengan pendekatan behavioral yang berisikan program terapeutik (penyembuhan) dan menggunakan gerakan-gerakan ritmis berirama (Geddes, D., 1981:128).
E. KARAKTERISTIK ANAK TUNARUNGU WICARA (ANAK DENGAN HENDAYA PENDENGARAN DAN BICARA) Bentuk mimik peserta didik dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara) berbeda dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang lain. Hal ini karena mereka tidak pernah mendengar atau mempergunakan pancaindera telinga dan mulut. Oleh sebab itu mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksudkan dan dikatakan oleh orang lain. Pengertian hendaya pendengaran adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran. Alat audiometer merupakan alat untuk mengukur derajat kehilangan pendengaran dengan ukuran decibel (dB). Derajat kemampuan berdasarkan ukuran instrumen audiometer menyebabkan klasifikasi anak dengan hendaya pendengaran sebagai berikut. 1. 0 - 26 dB masih mempunyai pendengaran normal 2. 27 - 40 dB mempunyai kesulitan mendengar tingkat-ringan, masih mampu mendengar bunyi-bunyian yang jauh. Individu tersebut membutuhkan terapi bicara.
3. 4. 5.
6.
7.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
41 -55 dB termasuk tingkat menengah, dapat mengerti bahasa percaka-pan. Individu tersebut membutuhkan alat bantu dengar. 56 - 70 dB termasuk tingkat menengah berat. Kurang mampu mendengar dari jarak dekat, memerlukan alat bantu dengar dan membutuhkan latihan berbicara secara khusus. 71 - 90 dB termasuk tingkat berat. Individu tersebut termasuk orang yang mengalami ketulian, hanya mampu mendengarkan suara keras yang berjarak kurang lebih satu meter. Kesulitan membedakan suara yang berhubungan dengan bunyi secara tetap. 91 - dan seterusnya, termasuk individu yang mengalami ketulian sangat berat. Tidak dapat mendengar suara. Sangat membutuhkan bantuan khusus secara intensif terutama dalam keterampilan percakapan/ berkomunikasi. Perilaku yang muncul terhadap peserta didik dengan hendaya pende-ngaran di sekolah secara dominan berkaitan dengan hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi (Gregory, S. et al., 1998:4757). Ciri-ciri umum hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi antara lain sebagai berikut. Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas. Selalu memiringkan kepalanya, sebagai upaya untuk berganti posisi telinga terhadap sumber bunyi, seringkali ia meminta pengulangan penjelasan guru saat di kelas. Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan. Keengganan untuk berpartisipasi secara oral, mereka mendapatkan kesulitan untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan pendengarannya. Adanya ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat di kelas. Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara. Perkembangan intelektual peserta didik tunarungu wicara terganggu Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam membaca. (Hallahan & Kauffman, 1991: 232-274; Gearheart & Weishan, 1976:33-45; Kirk & Gallagher, 1989:300305).
Di negara-negara maju telah terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam pendidikan untuk anak-anak dengan hendaya pendengaran dan bicara. Layanan pendidikan mereka lebih dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian para ahli berkaitan dengan pemberian layanan khusus, perkembangan teknologi, dan kebijakankebijakan pemerintah yang sangat menentukan peranan penting dalam pencapaian suatu pola layanan pendidikan (Watson, L. dalam Gregory, et al., 1999:1-dan 9). Pola layanan pendidikan baru lebih menekankan pada keberhasilan suatu proses pembelajaran yang berfokus pada usaha pemberian keterampilan membaca, berhitung dan pemahaman bahasa. Pemberian layanan keterampilan hendaknya didahului dengan melakukan deteksi dini guna mengetahui informasi berkaitan dengan kemampuan atau kelemahan dan kebutuhan yang sebenarnya sesuai dengan keberadaannya (dikenal dengan nama: needs assessment). Keterampilan membaca, menulis, dan latihan-latihan teknis berkaitan dengan pemahaman bahasa merupakan usaha-usaha pemerintah di beberapa negara maju untuk menjadikan warganya "melek huruf" (literacy). Melek huruf merupakan hal pokok dan memegang peranan penting, khususnya bagi anak dengan hendaya pendengaran dan bicara, pada setiap program pembelajaran. Hendaya pendengaran merupakan hambatan yang dianggap cukup besar bagi perkembangan berbahasa seseorang secara normal, sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan intelektual seseorang (Hallahan & Kauffman, 1991:264). Berdasarkan atas pandangan fisiologikal dan edukasional terhadap hendaya pendengaran, maka anak dengan hendaya pendengaran dapat dikategorikan sebagai deaf
dan hearing impairment. Jadi anak yang tidak mampu mendengar suara keras pada tingkat di atas intensitas maka yang bersangkutan disebut dengan deaf children. Sedangkan mereka yang hanya mengalami kesulitan mendengar pada tingkat intensitas tertentu disebut sebagai hard of hearing. Kepekaan atau sensitivitas mendengar diukur dengan decible (dB) yaitu suatu unit ukuran berkaitan dengan tingkat kekerasan suara. Terhadap anak yang mempunyai kepekaan suara sekitar 90 dB atau lebih maka berdasarkan atas pandangan fisiologikal disebut dengan deaf children. Sedangkan mereka yang kepekaan suara di bawah 90 dB disebut dengan hard of hearing. Pandangan secara edukasional mengukur klasifikasi terhadap anak dengan hendaya pendengaran dengan pertanyaan, "Sampai sejauhmana pengaruh kemampuan mendengar seorang anak berdampak pada kemampuannya untuk berbicara dan pengembangan bahasanya?" Ini dilakukan karena adanya pendapat para ahli yang menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara ketiadaan kemampuan mendengar dengan kemunduran perkembangan berbahasa seseorang. Olehkarenanya definisi mengenai hendaya pendengaran (hearing impairment) dapat mengacu pada the Conference of Executive of American School for the Deaf sebagai berikut. "Hearing impairment. A generic indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound; it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf person is one whose hearing disability precludes succesful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing person is one who, generally with the use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing of linguistic information through audition" (Hallahan & Kauffman, 1986:240; dan 1991:266).
Mereka yang termasuk kedalam hendaya pendengaran terdiri atas dua kategori yaitu mereka yang tuli sejak dilahirkan disebut dengan congenitally deaf, dan mereka yang tuli setelah dilahirkan disebut dengan adventitiously deaf. Sedangkan klasifikasi berdasarkan atas ambang batas kemampuan mendengar terdiri atas ringan (26-54 dB), sedang (55-69 dB), berat (70-89, dan sangat berat (90 dB ke atas). Beberapa hasil penelitian (Ittyerah & Sharman, 1997; Wiegersma & Van Der Velde, 1983) telah menemukan suatu kenyataan bahwa anak-anak dengan hendaya pendengaran (deaf children) mempunyai kesulitan pada keseimbangan dan kordinasi gerak tubuh (balance and general coordination). Contohnya, hasil penelitian pada anak usia 6-20 tahun dengan hendaya pendengaran mengalami kemunduran (less competent) dalam hal sebagai berikut. 1. Koordinasi dinamika gerak (dynamic coordination) antara lain pada gerak: berjalan mundur dan maju sepanjang titian yang sempit, melompat, berjingkat ke atas (jumping & skipping), dan melompati rintangan tali yang direntangkan. 2. Kemampuan koordinasi gerak visual, seperti memasukkan tali sepatu ke dalam lobang yang ada pada papan berlobang khusus. 3. Dalam melakukan gerakan berpindah (movement) lebih lambat diban-dingkan dengan anak-anak yang mampu mendengar. Hal ini disebabkan perkembangan persepsinya kurang (dalam Lewis, V., 2003:98). Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak-anak dengan hendaya pendengaran sangat memerlukan suatu tanda-tanda khusus yang bersifat dapat dilihat (auditory cues) (Wiegersma & Van Der Velde, 1983). Sedangkan penelitian dari Salversberg, et al. (1991) lebih jauh menemukan bahwa kesalahan-kesalahan gerak sering dilakukan pada anak usia 10-13 tahun yang mempunyai hendaya pendengaran, antara lain: 1. selalu salah saat menangkap bola yang dilemparkan pada posisi 90 derajat atau lebih meskipun dilakukan dengan bantuan tanda-tanda khusus berupa visual (visual signal) dengan intensitas suara 20 dB;
2.
anak-anak dengan hendaya pendengaran selalu terlambat untuk menekan tombol dengan kedua belah tangannya walaupun ada tanda-tanda suara dengan intensitas 15 dB (selalu lambat dalam melakukan respon to visual stimulus).
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa "ketiadaan informasi yang berhubungan dengan pendengaran dapat menambah lambatnya melakukan respon bagi sebagian besar anak-anak dengan hendaya pendengaran (deaf children)". Perkembangan persepsi gerak dari anak-anak dengan hendaya pendengaran sangat disarankan untuk dilakukan tes terhadap hipotesis kompensasi sensori (sensory compensation hypothesis). Hal ini perlu dilakukan disebabkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa hilangnya satu indera tubuh seseorang dapat saja "digantikan" oleh indera lainnya. Hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut telah membuktikan adanya faktafakta sebagai berikut. 1. Apabila tanda-tanda visual dan auditory cukup jelas, maka anak-anak tanpa hendaya pendengaran dapat lebih cepat dan tepat dalam merespon dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai hendaya pendengaran (Slaversberg, et al., 1991 dalam Lewis,V., 2003:99). 2. Anak-anak dengan hendaya pendengaran yang telah memperoleh cang-kokan alat pendengaran (cochlear implants) penampilannya sama dengan mereka yang dapat mendengar dalam hal melakukan tugas berkaitan dengan atensi visual (visual attention task). Sebaliknya anak-anak dengan hendaya pendengaran yang tidak mendapat cangkokan alat pendengaran sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam tugas yang berkaitan dengan atensi visual (Quittner, 1994 dalam Lewis, V., 2003:99). 3. Setelah setahun menggunakan cangkokan alat pendengaran, ternyata anak-anak dengan hendaya pendengaran mampu meningkatkan atensi-visualnya (Quittner, 1994 dalam Lewis,V., 2003:99). 4. Anak-anak dengan hendaya pendengaran sebaiknya dikondisikan dengan pemberian tanda-tanda khusus secara tatap muka langsung atau dengan keterarahan wajah. Dengan cara ini kemampuan visual mereka akan sama dengan orang-orang dewasa "normal". Berdasarkan hal ini maka sebaiknya diberikan: a. perhatian khusus dalam pengondisian dengan pemberian tandatanda yang bersifat keterarahan wajah semenjak usia dini; b. latihan-latihan bahasa isyarat (sign language) perlu dilakukan sejak usia dini, karena bahasa isyarat akan lebih meningkatkan kemampuan ruang visual (visual spatial). Dengan kata lain, bahwa pada anak-anak dengan hendaya pendengaran memerlukan latihan-latihan bahasa isyarat untuk dapat meningkatkan perkembangan persepsi geraknya. Mengenai perkembangan kognitif anak-anak dengan hendaya pendengaran secara umum cukup baik, khususnya dalam segi berpikir dan pemahaman. Artinya bahwa mereka mempunyai perkembangan kognisi dikarenakan ada hubungan yang erat antara perkembangan berbahasa dengan berpikir. Menurut Watson (1913) bahwa proses berpikir anak-anak dengan hendaya pendengaran sebenarnya merupakan kebiasaankebiasaan gerak yang ada pada pangkal tenggorokan (larynx). Terdapat kesamaan dalam proses berpikir secara verbal dengan proses pencapaian kemampuan berbahasa. Sebaliknya, Chomsky menyatakan bahwa perkembangan berbahasa anak-anak dengan hendaya pendengaran terpisah dengan kemampuan kognisi mereka. Ia menyatakan secara lebih jauh bahwa struktur bahasa muncul dalam benaknya sejak yang bersangkutan dilahirkan, sehingga setiap anak memerlukan pengalaman-pengalaman berbahasa agar lebih mengembangkan kemampuan berbahasanya. Bagaimanapun perbedaan yang telah ada pada Watson dan Chomsky, namun beberapa ahli lainnya telah menyatakan pendapat mereka tentang perkembangan kognisi seorang anak sebagai berikut.
1.
2. 3.
Kemampuan berpikir dan berbahasa saling berkaitan walaupun ada perbedaan di antara keduanya khususnya mengenai apakah kemampuan berpikir dapat menentukan kemampuan berbahasa, atau sebaliknya (Piaget, 1967). Kemampuan berbahasa menentukan kemampuan berpikir (Sapir, 1912). Kemampuan berbahasa dan berpikir dapat saling memengaruhi antara satu sama lainnya (Vigotsky, 1962).
Menurut Piaget (1967), bahwa inteligensi merupakan kemampuan kognisi seorang anak yang sangat tergantung pada tindakan-tindakannya. Hal tersebut berkaitan dengan yang bersangkutan dalam mengadaptasi lingkungannya dan sikapnya untuk mampu mengambil konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Melalui sikap ini, seorang anak akan memahami dan melihat bentuk yang ada di lingkungannya berdasarkan atas refleksi yang telah ada dalam inteligensinya. Dengan kata lain bahwa apabila terjadi perkembangan pada kognisi seorang anak maka kemampuan berbahasapun berkembang. Hal ini terjadi sebagai bentuk antisipasi terhadap perubahan-perubahan dalam pemahaman terhadap lingkungannya. Jadi kemampuan berbahasa seorang anak dapat memengaruhi kemampuan berpikirnya walaupun Piaget menyadari bahwa kemahiran berbahasa terpisah dari kegiatan berpikir. Berbeda dengan pendapat Piaget, pendapat dari Sapir yang kemudian dikembangkan oleh Whorf (1940, Reprinted in Mandelbaum, 1958) menyatakan bahwa persepsi dan pengalaman terhadap lingkungan tergantung pada suatu bahasa yang digunakan. Bila kemampuan berbahasa anak sudah mahir untuk menghubungkan gejala-gejala atau pengetahuannya terhadap suatu konsep, maka anak yang bersangkutan akan mempunyai pengalaman dan dapat memahami suatu konsep atau suatu atribut tertentu. Bila konsep atau atribut tidak diekspresikan dalam kemampuan berbahasanya maka anak yang bersangkutan belum mempunyai pengalaman atau pemahaman terhadap suatu konsep atau atribut. Sedangkan Vigotsky (1962) menyatakan bahwa berpikir dan kemampuan berbahasa pada awalnya merupakan hal yang terpisah dan berkembang secara sejajar pada seorang anak hingga mencapai umur dua tahun. Antara berpikir dan kemampuan berbahasa keduanya saling mengisi sehingga bahasa dapat digunakan untuk membantu berpikir, dan pikiran yang ada dapat memengaruhi kemampuan berbahasa seorang anak. Dengan kata lain, bahwa hubungan antara berpikir dan kemampuan berbahasa saling berkaitan sangat erat. Penelitian terhadap anak dengan hendaya pendengaran (deaf children) berkaitan dengan hubungan antara kemampuan berbahasa dan kognisi, diperoleh hasil bahwa "Jika anak dengan hendaya pendengaran tidak mempunyai kemampuan berbahasa, (yang sesungguhnya bahwa bahasa merupakan prasyarat dari kemampuan kognisi) maka anak dengan hendaya pendengaran akan mendapatkan kesulitan dalam kemampuan berpikirnya bahkan dimungkinkan kemampuan berpikir yang sudah adapun akan menghilang". Jadi kemampuan berbahasa sangat menentukan kemampuan kognisi sehingga pengetahuan dan pemahaman seorang anak dengan hendaya pendengaran hendaknya sepadan dengan kemampuan dan pemahaman anak yang mampu dengar. Dari beberapa teori yang dikemukakan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa: "Kemampuan berbahasa sesungguhnya merupakan kemampuan mengucapkan suatu bahasa " atau " the language is spoken language". Dengan demikian bahasa isyarat seperti American sign language (ASL) dan British sign language (BSL) merupakan ucapan bahasa yang dapat diterima sebagai ungkapan berbahasa di antara mereka yang mempunyai hendaya pendengaran. Hal ini dapat dilihat bahwa ASL mempunyai tanda-tanda yang terdiri atas gerakan-gerakan tangan yang dilakukan secara simbolik, secara umum menyatakan ungkapan keseluruhan suatu konsep. Arti setiap gerakan-gerakan tangan tergantung pada bentuk, lokasi, perpindahan, dan orientasi dari satu atau kedua tangan. Komponen-komponen ini akan muncul secara simultan yang disebut dengan "cheremes" dan dapat menyampaikan suatu ungkapan pengganti bunyi sebagai hasil produksi kata dalam bahasa ucapan.
Beberapa hasil penelitian berkaitan dengan teknologi dan teori-teori belajar sangat memegang peranan penting guna menemukan pengembangan metode-metode baru serta intervensi yang lebih efektif dalam proses pembelajaran terhadap anak-anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara. Hal tersebut dilakukan di berbagai negara maju guna mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pemahaman bahasa. Penemuan-penemuan yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut pada umumnya berkaitan dengan cara-cara baru yang merupakan bentuk intervensi layanan yang lebih efektif dan banyak dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sayangnya para guru dan ahli terapi wicara masih banyak yang belum mau menerima cara-cara baru hasil penemuan penelitian tersebut. Hal ini disebabkan mereka disibukkan dengan pekerjaan rutinnya di sekolahsekolah atau di klinik-klinik. Bishop (1999) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Uncommon Understanding Development and Disorder's of Language Comprehension in Children. Ia menyatakan sebagai berikut. " Many researchers justify their theoritical studies with the statement : if we will be able to devise more effective intervention, but all often this is a hollow premire because the research is burried in scientific jurnals that are not accessible to the typical speech-therapist or teacher working in a busy school or clinik" (p.vii)
Secara umum kemahiran berbahasa (yang berarti kemampuan berbicara) merupakan proses yang sifatnya susah dikembangkan. Sebenarnya belum ada cara untuk menghambat ketidakberdayaan seorang anak dalam mengatasi keterbatasan kemampuan berbahasanya (Pinker, 1984:29 dalam Bishop, 1999:19). Walaupun secara nyata penyebab hambatan perkembangan bahasa belum jelas, namun para ahli mencoba untuk memecahkannya berdasarkan aspek-aspek neurologi, etiologi atau genetika dan proses kognitif. Faktor genetika diyakini sepenuhnya sebagai faktor dominan (dibandingkan dengan faktor neurologi atau proses kognitif) penyebab terjadinya hambatan perkembangan bahasa yang implikasi sangat berpengaruh terhadap hambatan perkembangan berbahasa seseorang. Hal ini dikenal dengan nama "developmental aphasia", "developmental dysphasia", "specific development language disorder", sekarang lebih populer dinamakan dengan "specific developmental language impairment" (Bishop, 1999:19). Kata impair berarti hendaya (Maslim, R., 2000:119) atau "penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas dan kuantitas" (American Heritage Dictionary, 1982:644). Kata specific menunjukkan bahwa "hendaya perkembangan bahasa merupakan kebalikan dari perkembangan normal". Sejak pertengahan abad ke-19, para ahli yang mempelajari anatomi tubuh manusia (Histologists) telah mengetengahkan penemuannya bahwa terdapat indera penerima khusus pada setiap otot, tendon atau jaringan otot. Indera penerima khusus ini mampu "menggantikan" suatu kelangkaan atau "hilangnya" salah satu indera tertentu. Indera penerima khusus ini dapat dipakai sebagai media penghubung kesadaran gerak tubuh. Berdasarkan sistem saraf, Sherrington menyatakan bahwa indera penerima khusus ini dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, meliputi "pancaindera" atau "the five sense" disebut dengan "exteroceptive", dan "kesadaran terhadap kesan gambaran tubuh" atau "the image of the body" disebut dengan nama "proprioceptive". Sherrington adalah seorang ahli berkaitan dengan teori tentang fungsi otak dan sistem kerja saraf otak. Pada abad ke-19, ia telah menulis buku yang sangat terkenal berjudul " Two ways of the Mind". Isi buku tersebut antara lain mengemukakan pernyataannya bahwa ada dua bentuk kegiatan kerja otak untuk berkomunikasi, yang satu berkaitan dengan gerak tubuh (movement) dan lainnya berkaitan dengan adanya hubungan antara dunia luar atau lingkungan dengan pancaindera (sebagai sensory input). Hasil penemuan oleh Frenchman dan Pierre Paul Broca pada tahun 1861 berkaitan dengan pancaindera atau exteroceptive adalah terdapat hubungan secara utuh (integritas) pada tonjolan ketiga di bagian kiri depan lapisan luar otak (the left frontal lobe of the brain cortex) yang merupakan prasyarat seseorang untuk mampu berbicara secara normal. Kerusakan pada bagian tersebut mengakibatkan seseorang tidak mampu mengucapkan kata atau kalimat. Penelitian lebih lanjut oleh Broca pada tahun 1863 telah menemukan bahwa
kerusakan pada bagian depan cuping kanan belahan otak tidak merupakan penyebab gangguan berbicara (Jokl, E., dalam Basic Book of Sports Medicine, 1978:314). Pierre Paul Broca adalah seorang ahli bedah klinis dari Perancis. Dia orang yang banyak menekuni masalah otak dan tengkorak sehingga ia merupakan "orang panutan" dan merupakan orang kunci dalam pengetahuan berkaitan dengan ilmu antropologi fisik di negara Perancis hingga saat ini. Ia telah menemukan adanya kerusakan pada jaringan atau simpul ketiga bagian kiri depan lapisan luar otak yang menjadi penyebab hilangnya kemampuan seseorang untuk berbicara. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kegiatan tubuh secara spesifik dengan daerah khusus yang ada dalam otak (Reynolds, C., A., 1987:251). Terhadap mereka yang tergolong aphasia, adalah istilah generik yang menunjukkan adanya kesulitan untuk berkomunikasi melalui organ bicara. Broca menekankan bahwa otot-otot organ bicara secara normal masih tetap bekerja untuk berbicara walaupun mereka mempunyai hambatan pada bagian kiri depan lapisan luar otaknya. Kelainan berbicara berkaitan dengan kesulitan dalam menggerakkan otot-otot tersebut disebut dengan "motor aphasia." Sedangkan terhadap seseorang yang berbicara secara pelan dan mendapatkan kesulitan pada artikulasi atau berbicara secara cepat tetapi susunan kata tidak teratur dan tidak berbentuk disebut dengan "sensory aphasia". Termasuk kelainan sensory aphasia adalah mereka yang berbicara hanya dengan satu kata, dengan kalimat pendek, atau dengan pengucapan anak-kalimat yang tidak lengkap, Kaufman (1981 dalam Reynolds & Mann, 1987:107) menyebutnya sebagai "nonfluent aphasics". Terjadinya sensory aphasia disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian kiri depan otak (the left temporal lobe of the brain). Golongan "motor aphasia" umumnya mereka masih mampu menyusun suatu pembicaraan meskipun yang bersangkutan tidak mampu mengucapkan kata atau kalimat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak-anak dengan motor aphasia masih mampu menulis kata atau kalimat tanpa menemui banyak kesulitan. Program layanan pendidikan terhadap mereka yang mempunyai kelainan aphasia (motor aphasia dan sensory aphasia) hendaknya dilakukan secara komprehensif. Pendidikan diawali dengan melakukan evaluasi secara multifaktor terhadap kemampuan neuropsychologikal (Reynolds & Mann, 1987:107-108). Secara garis besar hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya pendengaran meliputi halhal sebagai berikut. 1. Hasil penelitian para ahli di Amerika Serikat menyatakan bahwa satu di antara tujuh anak yang mempunyai hendaya pendengaran mempunyai permasalahan berkaitan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental ini mengarah pada schizophrenia atau kelainan psikis, paranoid atau kelainan psikis karena selalu dihantui rasa takut, affective psychosis atau kelainan emosi secara psikis, dan depression atau kemuraman (the Departement of Health of USA, 1995 dalam Gregory, et al., 1999:17). 2. Anak-anak dengan hendaya pendengaran mempunyai kesulitan psi-kologis yang diperoleh dari sejumlah faktor eksternal seperti: kurangnya bimbingan bantuan orang tua dan keluarga, kesadaran orang-orang di sekitarnya terhadap permasalahan anak dengan hendaya pendengaran, lingkungan hidup, budaya, dan model peran dari anak-anak dengan hendaya pendengaran (Gregory, et al., 1999:19). 3. Dalam keterampilan kognitif berkaitan dengan prestasi akademik pada umumnya kemampuan mengingat dari anak-anak dengan hendaya pendengaran sangat singkat, hanya hitungan beberapa detik tidak sampai menit. Keadaan seperti ini memerlukan kegitan-kegatan khusus dalam layanan pendidikan agar mereka mampu membaca, memahami isi bacaan dan mengingat angka-angka. Banyak terjadi anak dengan hendaya pendengaran berkesulitan membaca (Lewis, V., 20003:136). Karena itu mereka memerlukan suatu metode pembelajaran yang lebih menekanan pada pengucapan bahasa. 4. Pada kelompok tertentu dari anak-anak dengan hendaya pendengaran mendapatkan ketidakmampuan dalam belajar misalnya disebabkan oleh adanya hendaya visual, ketidakmampuan belajar yang spesifik
atau dyslexia, cerebral palsy, dan masalah-masalah berkaitan dengan perilaku atau emosi (Gregory, et al., 1999:31). 5. Perkembangan bahasa dan komunikasi anak-anak dengan hendaya pendengaran secara umum kurang sempurna, khususnya saat meng-gunakan bahasa seperti pada kemampuan pemahaman bahasa, berbahasa dan berbicara (Hallahan & Kauffman, 1986:251 dan 1991:274). 6. Prestasi akademik anak-anak dengan hendaya pendengaran khususnya dalam kemampuan membaca sangat kurang (Hallahan & Kauffman, 1991:276). 7. Dikarenakan anak-anak dengan hendaya pendengaran tumbuh dan hidup dalam lingkungan yang terisolir, maka mereka membutuhkan interaksi sosial dan perasaan diterima oleh orang-orang sekelilingnya. Ini berarti anak-anak dengan hendaya pendengaran mempunyai hambatan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini diperlukan pendekatan khusus dalam kegiatan belajar-mengajar yang berkaitan dengan aspek komunikasi, seperti pemberian latihan auditori (auditory training); dikondisikan pada berbicara bibir (lips reading); penggunaan bahasa isyarat dan ejaan huruf dengan jari-jari (sign language and finger spelling). Latihan auditori melibatkan tiga sasaran pokok, yaitu: a. perkembangan kesadaran bunyi, b. perkembangan kemampuan membuat perbedaan secara nyata tentang bunyi-bunyi yang ada di lingkunannya, dan c. perkembangan kemampuan membedakan bunyi-bunyi dalam kegiatan berbicara. Ada tiga bentuk yang berbeda dari rangsang bunyi yang dibutuhkan dalam suatu program latihan terhadap anak dengan hendaya pendengaran, yaitu: a . rangsang yang diperoleh dari lingkungan tempat komunikasi itu terjadi, b. rangsang secara langsung diikuti dengan pesan tetapi bukan bagian dari hasil kemampuan berbicara, c. rangsangan langsung berkaitan dengan produksi bunyi pembicaraan (Hallahan & Kauffman, 1987:258-263; dan 1991:279-282). 8. Data penelitian para ahli menyatakan bahwa anak-anak dengan hendaya pendengaran umumnya mempunyai kesulitan dalam melakukan gerak keseimbangan dan koordinasi gerak tubuh, termasuk didalamnya koor-dinasi dinamika gerak, koordinasi gerak visual, dan gerak berpindah (Lewis, V., 20003:98). Kesulitan gerak keseimbangan dan koordinasi gerak tubuh pada anak dengan hendaya pendengaran merupakan salah satu alasan utama diperlukannya pendekatan pembelajaran dengan menggunakan permainan terapeutik dan pola gerak irama. Hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya berbicara, secara garis besar disimpulkan sebagai berikut. 1. Anak-anak dengan hendaya berbicara mempunyai komunikasi yang kurang baik (defective in communication) seperti berbicara menggagap, bicara pelat atau terbata-bata, ucapan yang membingungkan, dan bicaranya tidak jelas atau sulit dipahami. Saat berkomunikasi dengan anak-anak dengan hendaya berbicara, sistem verbal sering digunakan sebagai alat berinteraksi dengan mengenal tanda-tanda nonverbal meliputi kontak mata, ekspresi wajah, orientasi tubuh, dan komunikasi yang dilakukan dengan jarak dekat dengan bertatap wajah langsung atau keterarahan wajah (Ashman & Elkins, 1994:172). 2. Anak-anak dengan hendaya berbicara pada umumnya mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa, khususnya dalam struktur kalimat yang kompleks. Di sekolah, penerapan latihan-latihan berbahasa dengan menggunakan keterampilan metalinguistik sangat penting. Metalinguistik diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk mengomen-tari ucapan-ucapan dalam komunikasi yang salah ucap misalnya
3.
4.
5.
"kapang dara bang ri" dikomentari secara langsung saat kejadian, dengan "kapal udara terbang sendiri" (Ashman & Elkins, 1994:191). Terdapatnya kelemahan pada otot-otot alat bicara atau motor speech dsorder. Motor speech dsorde adalah adanya kelumpuhan pada alat bicara (misal adanya paralysis) yang diakibatkan dysarthia atau artikulasi bicara yang kurang baik yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada sistem saraf pusat. Adanya ketidakteraturan dalam koordinasi neurologikal sehingga saat berbicara terlihat kacau walaupun otot-otot pada organ bicara masih dapat bekerja dengan baik. Saat berbicara banyak dilakukan lompatan, banyak berhenti dan sering mengulang kata yang disebabkan oleh adanya dyspraxia atau apaxia atau ketidakmampuan untuk berbicara karena faktor hendaya gerak pada otot-otot organ bicara berkaitan dengan proses interneurosensory (Ashman & Elkins, 1994:195). Adanya penurunan kemampuan persepsi bicara sehingga dalam ber-bicara kata-kata yang diucapkan sangat sedikit. Salah satu sebabnya dikarenakan ada faktor kesulitan phonological (Bishop, 1999:51) atau articulation disorder (Hallahan & Kauffman, 1986:199). Kemampuan persepsi bicara melibatkan dua keterampilan yang saling melengkapi yaitu kemampuan untuk mengucapkan bunyi yang berbeda (discrimination), dan kemampuan untuk mengucapkan bunyi akustik yang berbeda (phoneme constancy). Untuk mengembangkan persepsi berkaitan dengan pendengaran atau persepsi dengar perlu dilihat adanya tiga perbedaan kemampuan yang saling terkait yaitu keterkaitan antara: a. deteksi bunyi atau detection of sound, adalah kemampuan mengeluarkan suara, b. kemampuan membedakan bunyi (discrimination between sound) yaitu kemampuan untuk dapat mengatakan bunyi-bunyi yang berbeda secara terpisah, c. klasifikasi bunyi (classification of sounds) adalah kemampuan untuk menginterpretasikan bunyi melalui hubungan diantara klasifikasi bunyi berdasarkan atas pengalaman sebelumnya (Bishop, 1999:52).
F. KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA (ANAK DENGAN HENDAYA PENGLIHATAN) Anak yang mengalami hambatan penglihatan atau tunanetra atau anak dengan hendaya penglihatan, perkembangannya berbeda dengan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, tidak hanya dari sisi penglihatan tetapi juga dari hal lain. Bagi peserta didik yang memiliki sedikit atau tidak melihat sama sekali, jelas ia harus mempelajari lingkungan sekitarnya dengan menyentuh dan merasakannya. Perilaku untuk mengetahui objek dengan cara mendengarkan suara dari objek yang akan diraih adalah perilakunya dalam perkembangan motorik. Sedangkan perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan jari, kemudian menarik ke depan dan ke belakang, menggosok dan memutarkan serta menatap cahaya sinar merupakan perilaku anak dengan hendaya penglihatan. Hal ini sering dilakukannya guna mengurangi tingkat stimulasi sensor dalam melihat dunia luar. Untuk dapat merasakan perbedaan dari setiap objek yang dipegangnya, anak dengan hendaya penglihatan selalu menggunakan indera raba dengan jari-jarinya. Kegiatan ini merupakan perilakunya untuk menguasai dunia persepsi dengan menggunakan indera sensorik. Anak dengan hendaya penglihatan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menguasai dunia persepsi. Mengenai perkembangan kognitif anak dengan hendaya penglihatan menurut Lowenfeld (1948), terdapat tiga hal yang berpengaruh buruk terhadap perkembangan kognitifnya, antara lain sebagai berikut. 1. Jarak dan beragamnya pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik dengan hendaya penglihatan. Kemampuan ini terbatas karena mereka mem-punyai perasaan yang tidak sama dengan anak yang mampu melihat.
2. 3.
Kemampuan yang telah diperoleh akan berkurang dan akan berpengaruh terhadap pengalamannya terhadap lingkungan. Peserta didik dengan hendaya penglihatan tidak memiliki kendali yang sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti hal yang dilakukan oleh anak awas.
Perkembangan komunikasi peserta didik dengan hendaya penglihatan pada umumnya sangat berbeda dengan anak awas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru berkaitan dengan perkembangan komunikasi anak dengan hendaya penglihatan, antara lain sebagai berikut. 1. Bahasa akan sangat berguna bagi anak dengan hendaya penglihatan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di lingkungannya, dengan menanya-kan apa yang terjadi dilingkungannya, dan akhirnya orang lain mampu berbicara dengannya. 2. Peserta didik dengan hendaya penglihatan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak awas untuk mengucapkan kata pertama, walaupun susunan kata yang diucapkan sama dengan anak awas. 3. Peserta didik dengan hendaya penglihatan mulai mengombinasikan kata-kata ketika perbendaharaan katanya mencakup sekitar 50 kata, dan menggunakan kata yang ia miliki untuk berbicara tentang kegiatan dirinya pada kegiatan orang lain. 4. Secara umum peserta didik dengan hendaya penglihatan memiliki kesuli-tan dalam menggunakan dan memahami kata ganti orang, sering tertukar antara "saya" dengan "kamu". Dalam perkembangan sosialnya, peserta didik dengan hendaya penglihatan melakukan interaksi terhadap lingkungannya dengan cara menyentuh dan mendengar objeknya. Hal tersebut dilakukan karena tidak ada kontak mata, penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan kurangnya pemahaman tentang lingkungannya sehingga interaksi tersebut kurang menarik bagi lawannya (Lewis,V., 2003:32-59). Istilah-istilah umum yang dipakai dalam dunia pendidikan pada saat ini terhadap anak yang mengalami hendaya penglihatan yaitu child who is totally blind, visually impairment, dan child who is low vision atau partially sight. Ini menandakan bahwa anak dengan hendaya penglihatan adalah "anak-anak yang mempunyai kemampuan lain". Kemampuan lain di sini berarti mengacu pada kemampuan inteligensi yang cukup baik dan daya ingat yang kuat. Disamping itu juga terdapat kemampuan taktil (synthetic touch dan analytic touch) yaitu kemampuan merasakan objek melalui ujung jari-jarinya sebagai pengganti indera penglihatan. Inteligensi anak dengan hendaya penglihatan secara umum tidak mengalami hambatan yang berarti. Samuel P. Hayes (1950 dalam Hallahan, 1987:294) menyatakan bahwa "kemampuan inteligensi anak dengan hendaya penglihatan tidak secara otomatis menjadikan diri mereka mempunyai inteligensi yang rendah". Daya ingat yang kuat pada anak-anak dengan hendaya penglihatan disebabkan mereka mempunyai kemampuan konseptual (conceptual abilities). Daya ingat itu didapat setelah mereka melakukan latihan secara ekstensif dalam memahami teori-teori matematika, serta latihan-latihan mengklasifikasikan benda-benda untuk mampu mengetahui hubungan secara pisik dalam kegiatan pembelajaran yang bersifat vokasional (Hatwell, 1966; Stephens & Grube, 1982; dalam Hallahan, 1987:295). Kemampuan taktil yang tinggi pada anak-anak dengan hendaya penglihatan disebabkan adanya dua kemampuan persepsi taktual, yaitu synthetic touch dan analytic touch. Synthetic touch adalah kemampuan diri mereka untuk melakukan eksplorasi melalui indera peraba terhadap benda-benda yang bentuknya cukup kecil tetapi masih dapat diraba oleh satu atau dua belah tangannya. Sedangkan analytic touch meliputi kemampuan sentuhan dengan indera peraba terhadap beberapa bagian tertentu dari suatu objek. Dengan demikian anak yang bersangkutan secara "mental" dapat menghubung-hubungkan bagian yang terpisah dari suatu objek atau benda menjadi suatu konsep utuh tentang objek atau benda tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan anak dengan hendaya penglihatan mempunyai kemampuan dalam mengembangkan persepsi dirinya terhadap
pengintegrasian suatu konsep tentang objek atau benda (develop integrated concepts). Misalnya, seorang anak dengan hendaya penglihatan dapat dengan mudah menemukan suatu benda yang diinginkan yang tersimpan dalam suatu tas, padahal benda tersebut telah bercampur dengan benda-benda lainnya. Ia dapat menemukan benda yang diinginkan yang berada di dalam sebuah tas hanya dengan cara menyentuh dan memegang dalam kurun waktu tertentu pada benda tersebut (Hallahan, 1987:296; Hallahan, 1991:3090. Sejak tahun 1940-an pendidikan untuk anak dengan hendaya penglihatan banyak mengalami perubahan secara drastis. Semula mereka ditempatkan dalam residential school hingga ke sekolah yang lebih terintegrasi dengan "anak-anak awas". Dewasa ini penempatan pendidikan di sekolah berubah dari bentuk yang mainstreaming ke arah inclusion (Spungin, S., J., dalam Holbrook, M.C. & Koening, A.J., 2003:IX). Para guru yang menangani anak-anak dengan hendaya penglihatan diperlukan kemampuan mengambil keputusan dalam strategi pembelajaran yang dianggap paling cocok bagi mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan pemahaman yang jelas mengenai isu-isu yang kompleks dalam penyusunan suatu program pembelajarannya. Pendekatan baru untuk mengajar anak dengan hendaya penglihatan yakni pemberian latihan-latihan yang lebih banyak terhadap kemampuan. Misalnya menggunakan tongkat putih (white cane) dikenal dengan sebutan hoover cane agar dapat melakukan bepergian secara aman, mandiri, dan efektif. Kegiatan latihan ini dikenal dengan orientasi mobilitas atau mobility training. Tahun 1950 pendekatan orientasi mobilitas banyak diterapkan kepada orang dewasa dengan hendaya penglihatan. Pada tahun 1974 hampir semua ahli tentang orientasi mobilitas memberikan layanan latihan khusus terhadap semua anak-dengan hendaya penglihatan pada tingkat usia sekolah. Orientasi (orientation) diartikan sebagai kemampuan mengetahui posisi diri berkaitan dengan objek-objek lain yang berada dalam suatu ruang tertentu. Sedangkan mobilitas (mobility) diartikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, objek atau lingkungan tertentu secara aman, mandiri dan efektif (Ashman & Elkins, 1994:371). Tujuan diberikannya program pembelajaran yang menitikberatkan pada orientasi mobilitas kepada anak dengan hendaya penglihatan antara lain sebagai berikut. 1. Agar dapat meningkatkan kemampuan refleks bersyarat (condition reflex), sehingga proses kemampuan gerak dapat terintegratif melalui proses pembelajaran. Refleks bersyarat muncul sejak seseorang dilahirkan dan berkembang setelah mengalami latihan-latihan dan koreksi secara terus-menerus dalam kurun waktu yang lama. 2. Agar perkembangan gerak dan pertumbuhan anak dengan hendaya penglihatan sejalan dengan kemampuan dominan yang telah dimilikinya. Misalnya kemampuan taktil, daya ingat yang tinggi, dan inteligensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan anak dengan kebutuhan khusus lainnya. 3. Agar lebih mendorong kemampuan persepsi sensomotorik (sensomotoric perceptual function). 4. Dapat membantu kelancaran proses pembelajaran dan mampu men-capai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. 5. Dapat membantu anak dengan hendaya penglihatan untuk mampu melampaui masa transisi dari kehidupan lingkungan sekolah ke arah lingkungan masyarakat secara sukses. Layanan terhadap anak dengan hendaya penglihatan di sekolah-sekolah secara umum terdiri atas dua kategori yakni anak dengan hendaya penglihatan secara total atau totally blind, dan anak dengan hendaya penglihatan yang masih dapat menggunakan sisa-sisa penglihatannya atau disebut dengan kata lainnya low vision atau partially sight. Anak-anak low vision masih mampu menggunakan indera penglihatan saat mereka membaca suatu bacaan dengan huruf berukuran normal. Anak totally blind sama sekali tidak dapat menggunakan indera penglihatannya kecuali dengan cara meraba atau taktil untuk mengenali lingkungan. Keadaan
fisik, mental, emosi, dan interaksi sosial para peserta didik dengan hendaya penglihatan secara umum dapat dikatakan normal. Namun dalam pendidikannya, mereka memerlukan layanan dan bantuan agar perkembangan kemampuan dirinya dapat berkembang lebih baik. Khususnya pada kemampuan bergerak untuk mengenal lingkungan yang amat tergantung pada kemampuan mengenali ruang (spatial) melalui pemetaan kognitif (cognitive mapping). Pemetaan kognitif merupakan suatu cara yang sangat fleksibel guna mengetahui, mengenali, dan mengendalikan suatu objek atau lingkungan tertentu (Hallahan, 1978:298). Misalnya, untuk mampu bergerak mencapai suatu tempat diperlukan suatu tahapan-tahapan gerak. Tahapannya yaitu dari tempat A ke tempat B, baru ke tempat C, dan seterusnya. Untuk ke tempat C terlebih dahulu harus melewati tempat B. Bagi anak dengan hendaya penglihatan yang telah mempunyai keterampilan memetakan secara kognitif, ia dapat melakukan orientasi mobilitas dari tempat A langsung ke tempat C tanpa melalui tempat B. Faktor utama untuk mampu melakukan gerak orientasi ke suatu tempat, ruang atau lingkungan tertentu diperlukan motivasi diri yang tinggi (self motivation). Motivasi diri ini membantu untuk mengenali tanda-tanda atau petunjuk khusus (cues) yang ada di sekitarnya, seorang anak dengan hendaya penglihatan akan dengan mudah melakukan gerak menuju tempat yang dituju (to detect physical obstructions in the environment). Kemampuan memahami tanda-tanda khusus yang ada di lingkungan dikatakan oleh beberapa ahli sebagai obstacle sense. Obstacle sense dapat tumbuh berkat adanya latihan-latihan tertentu pada "indera ekstra" (extra sense). Indera ekstra tersebut dapat dimilki oleh setiap anak dengan hendaya penglihatan dengan cara melakukan latihan-latihan khusus. Latihan ini bertujuan untuk mendeteksi perubahan-perubahan frekuensi tinggi dari suatu pantulan bunyi yang datang dari benda-benda sekitarnya saat yang bersangkutan bergerak ke arah objek yang dituju (Hallahan, 1991:311). Dari penjelasan tersebut, pembelajaran yang disusun guru sebaiknya mengarah kepada: 1. kemampuan orientasi mobilitas mengarah pada kemampuan meng-koordinir keseluruhan gerak jasmani; 2. kemampuan gerak dengan menggunakan gerak halus atau fine motor; 3. kemampuan mengoordinir ketepatan reaksi gerak; dan 4. kemampuan mengoordinir daya kekuatan otot-otot gerak sesuai dengan kebutuhannya. Proses penyesuaian diri anak dengan hendaya penglihatan lebih ditujukan pada kepercayaan diri sendiri agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan di lingkungannya. Percaya diri ini akan memunculkan harga diri dan perasaan diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Harga diri menyangkut perasaan bahwa dirinya cukup dihargai, mempunyai kemampuan, dan diperlukan oleh masyarakat sekitarnya. Harga diri dapat muncul disebabkan adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut persepsi diri, kemampuan membela diri, merasa dirinya bernilai, dan kemampuan beraspirasi dalam pergaulan hidup. Faktor eksternal secara khusus diarahkan oleh adanya reaksi positif orang lain yang ada di sekitarnya terhadap perilaku diri mereka (Ponchillia, P.E. dan Ponchillia, S.,V., 1996:81). Peningkatan harga diri anak dengan hendaya penglihatan dapat diupayakan oleh guru melalui perencanaan pembelajaran yang lebih menititikberatkan pada: 1. komunikasi yang bersifat efektif, 2. monitoring dalam kecepatan penyampaian, dan 3. penggunaan penguatan (reinforcement) terhadap kesuksesan belajar. Komunikasi yang bersifat efektif dilakukan secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi ini mampu menjembatani antara pencapaian tujuan pembelajaran dan hendaya-hendaya yang ada pada anak bersangkutan. Kriteria komunikasi semacam ini antara sebagai berikut. 1. Menggunakan bahasa yang tepat dan sesuai dengan situasi sebenarnya. Hindarilah penggunaan kata-kata "di sini" atau "di sana", sebaiknya diguna-kan kata-kata "di sebelah kirimu!" atau "dua langkah di depanmu!"
2.
3.
4.
5.
6.
Menggunakan analogi atau perbandingan saat menyampaikan sesuatu agar dapat memberikan kejelasan suatu deskripsi bahan ajar. Misalnya "cobalah berjalan sepuluh langkah ke arah depan tanpa suara berisik seperti semilirnya angin pagi hari." Menggunakan tanda-tanda khusus yang dapat ditangkap oleh alat-dengar. Misalnya, penggunaan bola plastik yang dimodifikasi dengan media bunyi gemerincing untuk memberikan arah yang dituju, khususnya pada anak buta total (totally blind). Menggunakan taktil atau rabaan dalam mengenali suatu model. Misalnya, saat memberikan pengetahuan tentang gelombang dalam suatu proses pembelajaran hendaknya menggunakan media berkaitan dengan adanya bentuk cekungan longitudinal pada sisi atas dan bawah serta dapat bergetar menirukan suara deru gelombang lautan saat disentuh dan digerakkan. Taktil lebih diutamakan dalam mengenali ukuran suatu objek sebagai model. Misalnya, dalam mengenali "model pesawat terbang" sebaiknya digunakan "prototipe pesawat terbang" sehingga dapat dikenali bagianbagian dari pesawat terbang tersebut. Menggunakan manipulasi gerak dalam upaya memahami suatu gerak melalui penjelasan guru secara benar. Misalnya, saat memberikan pola-gerak "pivot" atau bergerak memutar dengan salah satu kaki menjadi tumpuannya yang sering dilakukan dalam permainan bola basket. Guru harus memberikan arahan gerak pada anak dengan hendaya penglihatan melalui kegiatan meraba gerak kaki guru yang sedang melakukan gerakan pivot, dan kemudian anak menirukan serta dikoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi secara berulangkali.
G. KARAKTERISTIK ANAK AUTISTIK (AUTISTIC CHILD) Autism syndrome merupakan kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala penyandang autism menurut Delay & Deinaker (1952), dan Marholin & Philips (1976) antara lain sebagai berikut. 1. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah. 2. Selalu diam sepanjang waktu. 3. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau menceriterakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyen-diri lagi. 4. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya. 5. Tidak tampak ceria. 6. Tidak perduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang disukainya, misalnya boneka. Secara umum anak autistik mengalami kelainan dalam berbicara, disamping mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi saraf. Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Rincian tentang kelainan anak autistik sebagai berikut. 1. Kelainan berbicara. Keterlambatan serta penyimpangan dalam berbicara menyebabkan anak autistik sukar berkomunikasi serta tidak mampu memahami percakan orang lain. Sebagian anak autistik nampaknya seperti bisu (mute) dan bahkan tidak mampu menggunakan isyarat gerak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga penggunaan bahasa isyarat tidak dapat dilakukan. Suara yang keluar biasanya bernada tinggi dan terdengar aneh, berkecenderungan meniru, terkesan menghafal kata-kata tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu berkomunikasi. Walaupun pengucapan kata cukup baik, namun
2.
3.
4.
banyak mempunyai hambatan saat mengungkapkan perasaan diri melalui bahasa lisan. Dengan demikian sepertinya anak autistik mengalami afasia (aphasia), kehilangan kemam-puan untuk memahami kata-kata disebabkan adanya kelainan pada saraf otak. Kelainan fungsi saraf dan intelektual. Umumnya anak autistik mengalami keterbelakangan mental, kebanyakan mempunyai skor IQ 50. Mereka tergolong tidak mempunyai kecakapan untuk memahami benda-benda abstrak atau simbolik. Namun di sisi lain mereka mampu memecahkan teka-teki yang rumit dan mampu mengalikan suatu bilangan. Walaupun ia mampu membaca koran dengan penuh perasaan namun ia tidak mengerti terhadap bacaan yang ada pada koran tersebut. Perilaku yang ganjil. Anak autistik akan mudah sekali marah bila ada perubahan yang dilakukan pada situasi atau lingkungan tempat ia berada, walau sekecil apapun. Mereka sangat tergantung pada sesuatu yang khas bagi dirinya. Misalnya, selalu membawa-bawa barang yang paling ia senangi sewaktu ia bepergian kemanapun semacam selimut, atau karet gelang. Seringkali anak autistik menunjukkan sikap yang berulang-ulang. Misalnya, suka menggerak-gerakkan badannya dan bergoyang-goyang saat ia sedang duduk di kursi, terkadang secara tiba-tiba berteriak atau tertawa tanpa sebab yang jelas. Bahkan sering melakukan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri. Misalnya membenturkan kepala atau mengorek matanya. Saat makan tiba ia sering menolak makanan yang disodorkannya, ia hanya memakan satu jenis makanan dan dimakan hanya sedikit saja. Interaksi sosial, anak autistik kurang suka bergaul dan sangat terisolasi dari lingkungan hidupnya, terlihat kurang ceria, tidak pernah menaruh perhatian atau keinginan untuk menghargai perasaan orang lain, dan suka menghindar dengan orang-orang disekitarnya sekalipun itu saudaranya sendiri. Dengan kata lain kehidupan sosial anak autistik selalu aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit.
H. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA ATAU ANAK DENGAN HENDAYA FISIKMOTORIK (Physical Disability) 1. Pendahuluan Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system). Peserta didik tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik sehingga mengalami gangguan pada koordinasi gerak, persepsi, dan kognisi disamping adanya kerusakan saraf tertentu. Dengan demikian dalam memberikan layanan di sekolah memerlukan modifikasi dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu kerusakan saraf, kerusakan tulang, dan anak dengan gangguan kesehatan lainnya. Kerusakan saraf disebabkan karena pertumbuhan sel saraf yang kurang atau adanya luka pada sistem saraf pusat. Kelainan saraf utama menyebabkan adanya cerebral palsy, epilepsi, spina bifida, dan kerusakan otak lainnya. Cerebral palsy, merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan gerak berasal dari disfungsi otak. Ada juga kelainan gerak atau palsy yang diakibatkan bukan karena disfungsi otak, tetapi disebabkan poliomyelitis disebut dengan spinal palsy, atau organ palsy yang diakibatkan oleh kerusakan otot (distrophy muscular). Karena adanya disfungsi otak, maka peserta didik penyandang cerebral palsy mempunyai kelainan dalam bahasa, bicara, menulis, emosi, belajar, dan gangguan-gangguan psikologis. Cerebral palsy didefinisikan sebagai "Laterasi perpindahan yang abnormal atau fungsi otak yang muncul karena kerusakan, luka, atau penyakit pada jaringan saraf yang terkandung dalam rongga tengkorak" (The American Academy of Cerebral Palsy, 1953). Definisi lainnya menyatakan bahwa: "Cerebral Palsy merupakan kondisi yang bersifat klinis yang disebabkan oleh cedera pada otak. Salah satu komponennya merupakan gangguan otak. Dengan demikian, cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi ketidakberfungsian gerak, bermula saat kanak-kanak, dicirikan dengan paralysis, kelemahan, kurang koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak lainnya yang disebabkan kelainan fungsi gerak pada pusat pengendali gerak pada otak.
Disamping disfungsi gerak tersebut cerebral palsy bisa menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, gangguan psikologis, kerusakan sensori, penyakit kejang dan behavioral pada origin organik" (United Cerebral Palsy Research and Educational Foundation, 1985).
Cerebral Palsy diklasifikasikan sebagai kelainan yang berbeda dengan kelainan neuromuscular, maka Cerebral palsy meliputi kelainan spastic, athetoid, ataksia, tremor, dan rigid. Pada kasus-kasus yang ringan, anak spastik bisa mengembangkan keseimbangan tangannya untuk sedikit mengendalikan gaya berjalan. Pada kasus-kasus tingkat sedang, peserta didik spastik dapat memegang lengan untuk diarahkan ke tubuhnya, membengkokkan sikunya dengan membengkokkan tangannya, dengan kaki yang diputar secara hati-hati pada lutut, dan menghasilkan jalan gaya gunting. Sedangkan pada kasuskasus tingkat berat mereka memiliki pengendalian yang lemah pada tubuhnya, tidak mampu duduk, berdiri, atau berjalan tanpa bantuan alat penguat. Ciri utama peserta didik ataksia, gerakannya kurang kuat, berjalan dengan langkah yang panjang dan mudah jatuh, terkadang mata tidak terkoordinasi serta gerakan mata tertegun-tegun (nystagmus). Pada tremor dan rigid umumnya mereka mempunyai gangguan pada keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelainan pada postural dan akibat hambatan otot yang berlawanan. Hendaya kondisi fisik merupakan ketidakmampuan secara fisik untuk melakukan gerak. Ketidakmampuan seorang anak dengan adanya keterbatasan secara fisik nonsensori (fisik-motorik), menyebabkan ia mempunyai permasalahan untuk hadir kesekolah dan belajar di kelas. Ketidakmampuan secara fisik motorik pada anak untuk melakukan gerakan tubuh menyebabkan ia membutuhkan layanan-layanan khusus, latihan dengan pola tertentu, peralatan-peralatan yang sesuai, dan fasilitas pendukung lainnya. Selain itu anak yang mempunyai hendaya kondisi fisik, juga mempunyai hendaya penyerta lain seperti hendaya perkembangan fungsional, kesulitan belajar, gangguan emosional, kelainan berbicara dan berbahasa, atau mempunyai keberbakatan tertentu (Hallahan & Kauffman: 1991:344). Anak dengan hendaya kondisi fisik memerlukan penanganan secara medis guna memperbaiki dan mengobati kelainan tubuhnya. Tetapi bila hendaya fisik tersebut ternyata mempunyai masalah pendidikan, maka pembelajaran khusus perlu penanganan oleh guru khusus di sekolah. Penanganan khusus oleh guru khusus memerlukan suatu metode pembelajaran yang bersifat khusus sesuai dengan kelainan anak bersangkutan. Untuk hal ini gerak irama dapat diaplikasikan dalam program pembelajaran. Tujuannya yakni untuk dapat mengembangkan keterampilan gerak siswa dengan hendaya kondisi fisik motorik . Umumnya masalah utama pada gerak yang dihadapi oleh anak spina bifida adalah kelumpuhan dan kurangnya kontrol gerak. Pada anak hydrocephalus masalah yang dihadapi ialah mobilitas gerak. Anak dengan cerebral palsy mempunyai masalah dengan persepsi visual meliputi gerakan-gerakan untuk menggapai, menjangkau dan menggenggam benda, serta hambatan dalam memperkirakan jarak dan arah (Lewis, V., 2003: 157). Cerebral Plasy merupakan kelainan koordinasi dan kontrol otot disebabkan oleh luka (mendapatkan cedera) di otak sebelum dan sesudah dilahirkan atau pada awal masa anak-anak (Hallahan & Kauffman, 1991:345). 2. Konsep Anak dengan Hendaya Fisik-Motorik a. Pengertian Hendaya Fisik Motorik Salah satu kasus utama hendaya fisik motorik pada anak-anak adalah kerusakan atau kemunduran sistem saraf pusat, yaitu pada otak atau saraf tulang belakang. Seorang anak dengan kerusakan otak seringkali menunjukkan adanya berbagai gejala yang bersifat perilaku. Misalnya, masalah-masalah belajar, masalah yang bersifat persepsi, kelangkaan koordinasi, suka membuat keonaran, gangguan emosional, kelainan berbicara, dan berbahasa. Gejala-gejala lain yang menunjukkan adanya cedera otak atau malfungsi yaitu adanya hendaya fungsi gerak, kelumpuhan, dan beberapa tipe dari serangan secara tiba-tiba pada jantung sehingga
menyebabkan kejang-kejang atau gangguan kontraksi sekelompok otot (seizure) (Hallahan & Kauffman, 1991:346). Walaupun otak seseorang dalam keadaan utuh dan berfungsi sebagaimana mestinya, seseorang bisa saja mempunyai hendaya yang bersifat neurologis yang disebabkan oleh adanya cedera pada saraf tulang belakang. Cedera pada saraf tulang belakang dapat menyebabkan seorang anak kehilangan perasaan atau sensasi, tidak mampu mengontrol gerakan, tidak mampu merasakan atau melakukan gerakan pada beberapa bagian tubuh. Hendaya secara neurologis disebabkan beberapa kasus, termasuk penyakit menular, kehabisan oksigen, keracunan, ketidakberfungsian bawaan, dan trauma psikis karena kecelakaan. Polio atau kelumpuhan semenjak masa anak-anak merupakan suatu contoh dari penyakit menular yang menyerang saraf otak dan saraf tulang belakang penyebab kelumpuhan. Spina bifida merupakan contoh dari ketidakberfungsian bawaan pada tulang belakang penyebab kelumpuhan. Dalam beberapa kasus pada cedera otak sangatlah sulit untuk mengidentifikasi secara tepat penyebab dari suatu hendaya. Hal yang terpenting dalam kasus ini yakni ketika sistem saraf seorang anak mengalami cedera. Kelemahan pada otot atau kelumpuhan hampir selalu merupakan petunjuk terhadap gejala-gejala adanya cedera pada sistem saraf. Kelumpuhan pada anggota tubuh menyebabkan seorang anak tidak dapat bergerak seperti yang dilakukan oleh anak-anak lainnya. Oleh karena itu tipe pendidikannya dilakukan secara khusus serta memerlukan peralatan yang spesifik, prosedur khusus, atau akomodasi. Hendaya keadaan fisik motorik yang paling menonjol dan banyak dilakukan layanan pendidikan antara lain cerebral palsy (CP), spina bifida (SB), dan developmental coordination disorder (DCD). Bahasan berfokus pada implikasi khusus untuk dapat memahami proses-proses perkembangannya. Cerebral Palsy (CP) bukan suatu penyakit dalam pengertian bahasa, tidak menular, dan tidak progresif atau makin lama makin memburuk, kecuali tidak mendapatkan penyembuhan yang benar sehingga terjadi komplikasi (Hallahan & Kauffman, 1991:347). Cerebral Palsy merupakan kelainan gerak dan kelainan postur tubuh disebabkan oleh adanya cedera yang permanen pada otak saat masih dalam perkembangan (Bax, 1964 dalam Haskel & Barret, 1993:2). Kelainan pada aspek gerak seringkali diikuti dengan kerusakan pada penglihatan, pendengaran, berbicara, dan inteligensi. Hal ini ditandai pula dengan kelangkaan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya rasa pada daya taktil, kelainan berkaitan dengan pengenalan ruang atau tempat, dan seizure. Kondisi kelainan CP bisa terjadi saat dalam kandungan, saat dilahirkan, dan saat setelah dilahirkan atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Kasus anak dalam kandungan (pre natal) meliputi faktor keturunan. Walupun sangat jarang, penyakit infeksi yang dikandung sang ibu saat mengandung. Faktor-faktor penyebabnya antara lain kekurangan oksigen pada otak janin, prematur atau kelahiran sebelum waktunya, kelainan metabolis pada sang ibu seperti diabetes atau toxaemia, dan seorang ibu hamil yang sering mendapatkan sinar X-rays sehingga terjadi cedera otak pada janin. Beberapa kasus CP pada pre natal lainnya tidak diketahui. Kasus dalam proses melahirkan (peri natal) meliputi cedera saat dilahirkan, dan penurunan suplai oksigen pada otak bayi. Pada saat sesudah dilahirkan (post natal) yaitu infeksi pada otak, seperti meningitis dan encaphalitis. Ada tiga macam CP yaitu spastik, atetosis , dan ataksia, terkadang ketiganya saling bercampur. Terjadinya CP adalah 0,6 persen hingga 5,9 persen setiap 1000 kelahiran bayi (Hasket & Barrel, 1993:17). Lihat gambar 4.1 berikut. Gambar 4.1 Bentuk-bentuk Cerebral Palsy (Hasket & Barrel, 1993:16)
1.
Bentuk pertama CP yaitu Spasticity (Spastik)
Sebanyak 60 persen penyandang Cerebral Palsy dimungkinkan mempunyai kelainan spastik yang disebabkan oleh kerusakan di bagian otak. Kerusakan ini berbentuk piramid (pyramidal tracts) di dalamnya terdapat saraf yang saling bertautan dalam otak bagian luar (cerebral cortex) yang berperan sebagai pengatur inisiatif gerakan cepat. Sel-sel saraf yang ada dalam lapisan luar otak yang mengatur gerak (motor cortex) turun menuju ke lapisan luar yang berhubungan dengan otak (cerebral cortex) melalui saraf tulang belakang ( spinal cord) ke otototot anggota badan. Kekejangan di diagnosis sebagai peningkatan pada gerak otot atau situasi yang menyebabkan otot-otot menjadi tegang. Anak-anak spastik menunjukkan adanya bentuk tubuh atau postur yang abnormal dan kegiatan refleksnya melebihi anak-anak normal. Secara nyata anggota tubuhnya mempunyai kelainan. Klasifikasi yang paling umum dari spasticity adalah sebagai berikut. 1. Hemiplegia, yakni bagian kiri atau kanan anggota tubuh terjadi kelum-puhan, lengan lebih berkelainan daripada kaki. Anggota tubuh yang berkelainan tumbuh lebih lambat. Privalensinya sekitar 35 sampai 40 persen dari anak-anak CP. Spastic hemiplegics merupakan kelompok yang terbanyak pada populasi CP. Gambaran yang lebih rinci dari spastic hemiplegics dapat dilihat pada pola perkembangan: a). keterlambatan dalam kemampuan duduk, b). berjalan dan berbicara berada pada tingkatan seorang bayi, dan c.) mempunyai kelainan persepsi dan belajar. Ketidaknormalan perkembangan fisik diikuti dengan salah satu kaki men-jadi pendek, rotasi pinggul secara induksi dan internal, ketegangan pada siku dan pergelangan tangan, gerak kontraksi dan atropi otot-ototnya tidak pada semestinya. Perkembangan tulang pada satu sisi menjadi berkurang. Anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi rendah, kesulitan ber-gerak, daya taktil yang kurang, mempunyai penyakit sawan yang datang secara tiba-tiba, berkesulitan dalam berbicara, bermasalah dalam melihat dan mendengar, sulit berperilaku, sulit bernafas, dan sulit berkontraksi. Anak spastic hemiplegics juga memerlukan banyak bantuan saat di sekolah dan di rumah, khususnya dalam mengatasi tekanan-tekanan saat melakukan interaksi sosial. 2. Triplegia, terjadi pada tiga anggota tubuh yang mendapatkan kelainan atau kesulitan gerak. 3. Quadriplegia (Tetraplegia), berarti melibatkan empat anggota tubuh yang terkena kelainan. Privalensinya sekitar 15 sampai 20 persen dari populasi spasticity. 4. Paraplegia muncul jika kedua kaki mempunyai kelainan tetapi muka dan tangannya normal. Dalam hal ini berbicara lancar, inteligensinya nor-mal, dan jarang terjadi kelainan sawan. Prevalensi paraplegia sekitar 10 hingga 20 % dari populasi spasticity. Banyak ditemui anak yang mempunyai hambatan ringan dalam perkembangan bagian tubuh bagian atas, sehingga secara tegas didefinisikan sebagai displegics. Sebagian besar anak displegic mempunyai kelainan inteligensi dan penyakit sawan. 5. Double hemiplegia berpengaruh terhadap empat anggota tubuh. Bagian lengan menjadi lebih mudah terkena kelumpuhan daripada kaki. Klasifikasi berdasarkan tipe cedera pada otak dan konsekuensi tipe dari ketidakbermampuan gerak meliputi: pyramidal, extrapyiramidal, dan mixed types. Dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut. a. Pyramidal (spastic), seseorang pada tipe ini mempunyai cedera di bagian pengatur gerak pada kulit luar otak (motor-cortex) atau pada bentuk piramid pada otak. Dampak dari cedera tersebut menye- babkan masalah pada gerak voluntari dan terjadi spasticity, adalah kekejangan pada otot-otot dan terjadi gerakan voluntari di luar kontrol sehingga gerakannya tidak tepat. Privalensinya sekitar 50 persen pada kasus-kasus yang menunjukkan spasticity. b. Extrapyramidal (choreoathetoid, rigid, dan atonic) cedera terjadi di luar bentuk piramid otak (pyramidal tracts). Extrapyramisal mempunyai akibat secara mendadak pada kelainan
gerakan di luar kemauan (involuntary movements), dan mempunyai kesulitan dalam mempertahankan tubuh (choreoathetoid), terjadi kekakuan (rigid), atau kelayuan pada otot (atonic). Diperkirakan sekitar 25 persen dari kasuskasus yang merupakan gejala-gejala berkaitan dengan cedera pada extrapyramidal. c. Tipe campuran (Mixed), yakni cedera terjadi di daerah otak pyramidal dan extra pyramidal. Anak penderita ini menunjukkan kedua gejala kelainan, seperti spasticity di kaki dan rigidity pada kedua lengan. Sekitar 25 persen dari kasus dikategorikan sebagai tipe campuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.2. Gambar 4.2. Daerah Otak Penyebab Bentuk-bentuk Cerebral Plasy (Hallahan & Kauffman, 1991:349).
2. Bentuk kedua dari CP adalah Athetosis Athetosis merupakan jenis CP kedua. Dikarakteristikkan dengan adanya peningkatan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tanpa sengaja atau di luar kemauan. Gerakan bisa secara pelan dan menggeliat atau secara tiba-tiba dan gerakannya tersentak-sentak. Gerakan-gerakan ini tidak akan terjadi sewaktu tidur atau saat anak tersebut dalam keadaan rileks. Gerakan-gerakan yang tidak terkontrol menyebabkan pengejangan otototot pada anak athetosis. Gerakan yang terus-menerus pada refleks-refleks utama menyebabkan gerakan yang tidak simetris dari refleks tonic dan refleks moro dan selalu diikuti dengan adanya kelainan. Gerakan-gerakan muka seringkali tidak normal, meliputi gerakan-gerakan pada gigi, bibir, dan pengontrolan pernafasan. Otot-otot yang melakukan kerja berbicara juga sering mendapatkan kelainan sehingga yang bersangkutan berkondisi sebagai dysarthia. Inteligensi anak athetoid umumnya normal, namun mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk mendapatkan kebutaan. Seperti halnya anak-anak spastik, anak athetoid umumnya kurus disebabkan oleh adanya gerakangerakan mereka yang berkelebihan. Kerusakan otak pada kasus athetosis terjadi pada sistem extrapyramidal dan berpengaruh terhadap sel-sel pada bagian pusat (basal ganglia) yang mengoordinasi gerakan-gerakan tubuh dan mengarahkan kontrol gerakan. 3. Bagian Ketiga dari CP adalah Ataxia Ataxia hanya terjadi pada sebagian kecil anak-anak. Penyebabnya ialah kerusakan atau cedera pada cerebellum yang bertugas untuk memperhalus gerakan-gerakan otot yang terkontrol oleh gerakan lapisan luar otak (cortex). Anak-anak ataxia mengalami kegagalan untuk melakukan integrasi informasi yang relevan ke dalam rongga posisi dan rongga keseimbangan yang ada pada otak. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap lengan, gerakan-gerakan yang dilakukan secara tepat, dan penyebab dari kelumpuhan atau kelayuan tubuh. Seringkali seluruh dari empat anggota tubuh tidak berfungsi. Kelainan kaki lebih berat daripada lengan, seringkali nystagmus dan tremor. Istilah-istilah lain berkaitan dengan Cerebral Palsy antara lain sebagai berikut. a. Hypotonia atau floppiness yang sering digunakan dalam buku-buku rujukan yang menyatakan athetoid dan mempunyai indikasi penurunan kekejangan otot. b. Hypertonia, berkaitan dengan bentuk spastik dari CP dan mengacu pada peningkatan kekejangan otot. c. Rigidity, istilah ini merupakan aplikasi dari hipertonia yang tidak piramidal menyebabkan kekakuan terhadap otot-otot. d. Tremor, gemetaran secara ritmis dari anggota tubuh, dikarakteristikkan dengan goyangan atau gerakangerakan yang sulit.
Epilepsy Epilepsy merupakan gangguan serangan yang hebat terhadap fungsi otak yang terjadi secara tiba-tiba, secara spontan dan mempunyai tendensi untuk terjadi kembali. Epilepsy terjadi bersamaan dengan ketidakmampuan lain seperti cerebral palsy dan hydrochepalus. Kelainan epilepsy merupakan perwujudan hilangnya konsentrasi atau bahkan ketidaksadaran diri, biasanya diikuti pula dengan gerakan-gerakan yang tidak diinginkan oleh tubuh. Rangsangan muncul dimulai pada bagian khusus dari otak sehingga menimbulkan kejang-kejang pada bagian tertentu tanpa kehilangan kesadaran. Dengan kata lain, rangsangan menyebar dan melibatkan keseluruh bagian otak yang dapat menimbulkan kejang-kejang secara menyeluruh dengan kehilangan kesadaran diri. Prevalensi kelainan epilepsy antara 0,3 hingga 18,6 persen setiap 1000 kelahiran (Caveness, 1976; O'Donohae, 1979 dalam Hasket & Barret, 1993:21). Pengobatan epilepsy yang paling sering digunakan adalah dengan obat anticonvulsants, sekitar 70 persen dapat menurunkan kejang-kejang pada anak-anak epilepsi. Pengobatan dengan anticonvulsants secara potensial menghasilkan pengaruh sampingan. Obat-obatan yang sedikit mempunyai pengaruh sampingan, antara lain carbamazepine, sodium valproate, dan clobazam. Sedangkan obat-obatan yang sangat banyak mempunyai pengaruh sampingan antara lain phenytoin, the barburates, dan clonazepam. Pengaruh sampingan dari obat-obatan tersebut antara lain perasaan kantuk, kelelahan, lemah konsentrasi, berkurangnya fungsi kognitif, dan kemunduran daya ingat. Hydrocephalus Hydrocephalus sering terjadi bersamaan dengan spina bifida atau berdiri secara tersendiri. Hydrocephalus terjadi ketika terlalu banyak cairan cerebrospinal dalam rongga otak. Dengan demikian otak yang lembut, dan rongga yang ada pada otak mendapatkan tekanan dari cairan yang mengisi rongga otak. Dampak dari tekanan menjadikan lapisan luar otak menjadi tipis dan mengkerut dan seringkali terjadi cedera yang permanen. Pada bayi yang masih kecil, tulang-tulang di bagian atas kepala masih belum bersatu sehingga cairan dapat keluar menekan bagian ini mengakibatkan kepala menjadi lebih besar. Gejala-gejala ini menunjukkan adanya kelainan, dikenal dengan nama hydrocephalus. Terhadap hydrocephalus yang sudah berat memerlukan operasi langsung untuk menghilangkan cairan agar keluar dari rongga otak. Operasi dapat dilakukan dengan cara memasang selang (shunt) dari rongga otak disalurkan ke bilik kiri atau kanan hati dengan cara operasi. Operasi semacam ini disebut dengan ventriculo atrial shunt sehingga cairan yang ada pada rongga otak dapat diserap melalui peredaran darah. Atau dengan cara ventriculo peritoneal shunt yang langsung mengarahkan cairan pada rongga otak ke rongga perut, langsung ke usus. Operasi spino-peritoneal shunt merupakan upaya lain guna mengarahkan cairan secara langsung dari bilik rongga otak ke rongga sekitar sumsum tulang belakang dan kemudian diarahkan ke rongga perut. Spina Bifida Istilah "spina-bifida" diartikan sebagai "tulang belakang yang terbagi atau robek". Pada seorang bayi, kondisi semacam ini terjadi disebabkan salah satu bagian atau lebih, dari tulang belakang belum terbentuk secara penuh. Pada tulang belakang yang normal, terdapat sebuah "kanal atau saluran" melalui pusat yang berisi saraf tulang belakang, “Kanal” ini berfungsi sebagai rumah saraf yang menghubungkan otak ke berbagai bagian tubuh. Apabila terjadi robek pada tulang belakang, maka kanal pusat tidak sepenuhnya memenuhi daerah tulang belakang jadi hanya sampai pada tempat yang robek saja. Oleh karena itu dimungkinkan saraf tulang belakang menutupi sebagian tulang belakang yang terbuka tersebut. Hal ini menunjukkan adanya gumpalan atau benjolan pada bagian belakang seorang bayi. Adanya kerusakan dan gangguan pada saraf di bagian tulang belakang, berarti pesan-pesan antara otak, batang tubuh, dan anggota badan terjadi hambatan yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Pesan-pesan dari tubuh ke otak menunjukkan adanya rintangan pada perasaan sentuhan, rasa sakit, dan posisi. Robek pada
tulang belakang dapat terjadi di beberapa tempat. Namun seringkali terjadi pada bagian bawah tubuh. Hal semacam ini merupakan risiko yang tinggi pada situasi kandungan, karene kemungkinan anak yang dilahirkan mempunyai kelainan spina bifida. Terdapat tiga bentuk spina bifida, yaitu sebagai berikut. a. Bentuk pertama, kelainannya ringan disebut dengan spina bifida occulta. Bentuk kecacatan tulang belakang terjadi pada posisi bagian bawah dari tulang punggung. Tidak terjadi tonjolan yang keluar pada sumsum tulang belakang, dan cedera atau kerusakan ditutupi oleh kulit. Posisi ini tidak menjadi masalah yang besar terhadap medis dan pendidikan. b. Bentuk kedua merupakan hal yang serius disebut dengan "meningocele" (cele berarti kantung). Pada bentuk ini sumsum tulang belakang menutupi bagian yang terbuka. Tonjolan meningocele dapat berupa tonjolan terbuka dan tonjolan tertutup oleh lapisan kulit. Tonjolan sering terjadi di antara tulang belakang, di bagian punggung, atau bagian atas punggung. Umum-nya kondisi ini menyebabkan adanya ketidakberfungsian pada fungsi buang air besar, fungsi buang air kecil, dan anggota tubuh. c. Bentuk ketiga yaitu, myolocele (myelomeningocele atau meningomyelocele). Hal ini terjadi di daerah lumbar atau daerah pinggang, yaitu bagian tubuh antara rongga dada dan panggul (lihat Gambar 4.3). Pada bentuk ini saraf dalam tulang belakang menonjol keluar, penyebab terjadinya kelum-puhan kedua belah kaki dan kehilangan rasa. Saraf yang tidak bekerja menyebabkan hambatan untuk buang air besar dan buang air kecil. Semakin tinggi posisi robek yang terjadi pada tulang punggung, semakin tinggi pula ketidakberfungsian fungsi tubuh. Bentuk ketiga ini merupakan bentuk yang sangat parah Gambar 4.3. Spina Bifida dengan Meningomyelocele (Hallahan & Kauffman, 1991:353)
4. Penyimpangan Tulang Belakang (Spinal Deformities) Penyimpangan tulang belakang umumnya disebabkan oleh adanya bawaan (congenital) atau kelainan neuromuscular seperti spina bifida, cerebral palsy, dan muscular dystrophy. Kasus lainnya termasuk tumor, infeksi, dan penyakit metabolik. Ada tiga tipe spinal deformities yaitu Scoliosis, Lordosis, dan Kyphosis. Scoliosis, adalah terjadinya pembungkukan tulang belakang ke samping. Salah satu bahu lebih menonjol atau pinggul lebih tinggi daripada lainnya. Hal ini disebabkan adanya perubahan penjajaran batang tubuh sehingga terjadi penyimpangan pada pinggul, dada, dan kepala. Penyimpangan tersebut menyebabkan letak yang tidak sejajar seperti posisi semula. Jika scoliosis tidak diobati, akan terjadi penyimpangan tubuh yang sangat berat. Penyimpangan yang berat ini dapat mengubah kurungan rongga tulang rusuk. Dengan kelainan ini maka terjadi penyimpangan pada ikatan tulang belakang yang ada pada daerah pinggang, sehingga menyebabkan rasa sakit pada pinggang dan meningkat bila ada gerakan sekecil apapun. Lordosis, adalah adanya pembungkukan ke arah depan tulang belakang saat dilihat dari sisi samping. Hal ini menyebabkan lengkungan tulang belakang di daerah pinggang yang berlebihan. Misalnya pada kelainan neuromuscular khususnya pada cerebral palsy, muscular dysthrophy, dan myelomeningocele. Penyimpangan yang sangat berlebihan sangat mempersulit bahkan mungkin tidak dapat duduk, berbaring, dan berjalan. Kyphosis, merupakan kelainan disebabkan karena adanya lengkungan pada tulang belakang di daerah pantat. Kelainan ini menyebabkan lengkungan tulang belakang menjadi berlebihan dari posisi normal di daerah bagian leher dan rongga dada. Pada kasus berat dapat menurunkan kemampuan paru-paru dan terjadi penyimpangan berupa statura yang memendek. Pengobatan terhadap penyimpangan tulang belakang tergantung pada seberapa luas pembungkukan pada lokasi, dan usia anak. Selain itu juga termasuk pengamatan, orthotic, dan pembedahan. Deteksi awal terhadap penyimpangan tulang belakang sangat penting. Pola dan penggunaan alat penguat berupa braces, serta waktu dan banyaknya pembedahan, secara khusus dilakukan untuk anak yang mempunyai kelainan ganda. Hal ini sangat penting karena adanya ketergantungan pada hasil pengamatan yang dilakukan secara hati-hati.
5. Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Anak Tunadaksa Hambatan-hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kondisi fisik (tunadaksa) terletak pada kesulitan gerak dan kelainan postur, khususnya bagi anak dengan kelainan cerebral palsy. Secara umum, hambatan yang ada pada anak dengan hendaya kondisi fisik, antara lain sebagai berikut. 1. Ketidakmampuan untuk melakukan orientasi ruang. 2. Gangguan koordinasi gerak karena kondisi fisik motorik yang lemah. 3. Umumnya kurang sanggup menyesuaikan diri karena terlalu banyak men-dapatkan tekanan-tekanan dari lingkungan saat melakukan interaksi sosial (aspek psikologis). 4. Ketidakmampuan untuk memecahkan suatu masalah.
Pada anak dengan kelainan spasticity sering dijumpai adanya kekejangan sebagai tanda adanya kelainan spastik. Disamping itu, anak dengan spasticity mempunyai hendaya pada penglihatan, pendengaran, dan berbicara. Disamping itu juga terdapat ketidakmampuan melakukan kontrol terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya daya rasa. Kelumpuhan pada kaki merupakan hambatan utama anak-anak spina bifida. Penderita akan mendapatkan kesulitan gerak disekitar daerah kaki. Perkembangan tulang yang berkurang menyebabkan anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi rendah, berkesulitan gerak, daya taktil yang kurang, sulit berbicara. Pada anak-anak athetoid hambatan utama adalah pada gerakan yang terjadi di luar kemauan, pelan, dan sering menggeliat. Hal ini diikuti dengan pengejangan otot-otot sehingga gerakannya tidak simetris dan di luar kontrol. Anak athetoid juga memerlukan latihan orientasi ruang. Ketidaknormalan perkembangan fisik pada anak dengan hendaya fisik-motorik yakni salah satu kaki menjadi pendek. Adanya ketegangan pada siku, pergelangan tangan dan gerak kontraksi otot yang tidak semestinya menyebabkan terjadinya hambatan dalam belajar. Seorang anak dengan hendaya yang berat karena mendapatkan cedera serius pada daerah pengatur gerak di otak, menyebabkan ia mempunyai kesulitan gerak pada kedua kaki dan kedua tangannya. Sebagai contoh adalah quadriplegia, yang bersangkutan juga mempunyai hambatan kemampuan berpikir (kognitif). 6. Aplikasi Gerak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunadaksa Dalam lingkungan sekolah, guru khusus hendaknya dapat bekerja sama dengan para ahli terapi (seperti physical therapists, occupational therapists, orthopaedist). Dalam program layanan khusus seharusnya lebih menekankan aspek pendidikan dibandingkan dengan aspek medis. Dengan demikian anak dengan hendaya fisik motorik dapat belajar di ruangan kelas bersama-sama dengan yang normal. Karena penekanan terhadap aspek pendidikan, maka guru khusus hendaknya berpikir untuk mencari upaya-upaya pelayanan dengan memberikan metode yang tepat, berpartisipasi dalam suatu tim kerja, dan selalu mencatat kegiatan-kegiatan. Upayaupaya tersebut berkaitan juga dengan upaya untuk memperoleh metode pembelajaran dengan menggunakan prinsip-prinsip terapeutik yang dapat diterapkan dalam kegiatan sekolah. Dengan kata lain terjadi dua penggabungan antara teknis medis dan pendekatan berbahasa secara terapeutik terhadap anak dengan hendaya fisik motorik. Dengan demikian pengimplementasian program pembelajaran lebih cocok dengan kebutuhan layanan setiap siswa. Pendekatan layanan tersebut dikenal dengan pendekatan sistem konsultatif (consultative approach). Dalam pendekatan semacam ini diperlukan adanya kerja sama antara guru khusus dengan physical therapists dan orthopaedists saat perencanaan program khusus yang akan diterapkan kepada siswa dengan hendaya fisik motorik (Fraser & Hensinger, 1983:20-23).
I. KARAKTERISTIK ANAK TUNAGANDA (MULTIPLE HANDICAPPED)
Di Asia Timur belum banyak perhatian terhadap peserta didik yang memiliki kombimasi keluarbiasaan seperti tunanetra dan tunagrahita, cerebral palsy dan tunarungu, tunarungu dan tunanetra, tunalaras dan tunagrahita, atau lainnya yang memiliki kelainan dua kali lipat atau lebih. Dengan tingkat kelainan yang berat dan sangat berat (Johnston & Magrab, 1976:3). Penelitian menunjukkan bahwa keluarbiasaan yang berat dan sangat berat, seperti halnya anak-anak yang mempunyai kesulitan-kesulitan yang minor, jumlahnya meningkat (Anderson, 1969; Dibedenetto, 1976; Wolf & Anderson, 1969). Kondisi semacam ini diperburuk oleh sikap masyarakat terhadap keberadaan anak-anak yang mempunyai kombinasi hambatan perkembangan. Definisi secara ringkas tentang anak tunaganda sebagai berikut. " Developmental disorders encompass a group of deficits in neurological development that result in impairment in one a combination of skill areas such as: Intelelligence, motor, language, or personal social." (Johnston & Magrab, 1976:7).
Diartikan secara bebas bahwa "Tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan-pribadi di masyarakat." Definisi kelainan perkembangan secara ganda, menurut hukum di Amerika berdasarkan PL. 94-103 (Title II. Ps. 124, tahun 1975), kelainan tersebut diperjelas antara lain sebagai berikut. A. (i) Mereka yang dikelompok kedalam kelainan ganda antara tunagrahita, cerebral palsy, epilepsy atau autism. (ii) Mereka yang termasuk mempunyai kondisi lain yang bertendensi kearah kelainan tunagrahita dengan kondisi-kondisi kelainan fungsi secara menyeluruh, atau kelainan perilaku adaptif yang memerlukan penyembuhan dan layanan-layanan seperti halnya dengan mereka yang berkelainan cerebral palsy, epilepsy, autism. (iii) Mereka yang mempunyai dyslexia disebabkan oleh kelainanhambatan seperti yang dinyatakan pada bagian (i) dan (ii). B. Dimulai sebelum mereka berumur 18 tahun. C. Kelainannya terjadi secara terus-menerus atau kelainannya bertendensi kearah yang berkelanjutan. D. Kelainan ganda ini merupakan kelainan substansi kemampuan sesorang untuk berfungsi secara normal dalam masyarakat. Definisi yang ada pada PL.94-203 tersebut, juga mengakui bahwa kelainan ganda mencakup kelainan perkembangan dalam fungsi adaptif. Di Amerika Serikat, PL. 94-142 yang merupakan hukum yang berlaku bagi pendidikan seluruh anak yang mempunyai hambatan, diberlakukan juga kepada mereka yang dikategorikan sebagai tunaganda dan anak-anak buta tuli. Dalam PL. 94-142 dinyatakan juga bahwa "Tuna ganda" diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan (seperti tunagrahita dengan buta total, tunagrahita dengan kelainan yang bersifat orthopedis, dan sejenisnya), kombinasi tingkat kelainan berat juga merupakan kasus permasalahan pemberian pendidikan, yang layanan pendidikannya tidak semata-mata hanya ditujukan pada salah satu dari kelainannya saja. Namun istilah tuna ganda tersebut belum termasuk untuk mereka yang dikategorikan dengan anak buta tuli. (lihat pada: Sec.300.5 (b) (5) ). Definisi untuk peserta didik buta tuli itu sendiri dinyatakan bahwa " buta-tuli diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan antara kesulitan pendengaran dan penglihatan, kombinasi kasus kesulitan berkomunikasi yang berat dan kelainan perkembangan. Dalam program pendidikan luar biasa hal itu belum terakomodasi, karena semata-mata layanan tersebut ditujukan pada anak dengan kelainan pendengaran saja atau anak dengan kelainan penglihatan." (lihat pada: Sec. 300.5 (b)(2) ) Selanjutnya, Walker (1975) berpendapat mengenai "tunaganda atau multihandicapped" sebagai berikut. a. Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus.
b. c.
Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan teknologi . Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi-metode secara khusus. (dalam Mulliken, R.T. & Buckley, J.J., 1983:6).
J. KARAKTERISTIK ANAK BERBAKAT DAN KEBERBAKATAN (GIFTEDNESS AND SPECIAL TALENTED) Pengertian anak berbakat dan keberbakatan dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan. Dimulai dengan pengertian yang berdasarkan pada pendekatan unidimensi atau faktor tunggal (yang berpatokan pada IQ) ke pendekatan yang bersifat multidimensi atau faktor jamak. Pengertian yang berdasarkan pada faktor tunggal (unidimensi) adalah pengertian yang menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal dalam menentukan kebakatan. Sedangkan pengertian yang berdasarkan pada pendekatan multidimensi tidak hanya menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal dalam menentukan keberbakatan, tetapi kriteria jamak berupa kriteria-kriteria lain selain inteligensi. Dalam pendekatan multidimensial diakui adanya keragaman dalam konsep dan kriteria keberbakatan, sehingga diperlukan berbagai cara dan alat yang seragam dalam menentukan siapa anak berbakat dan keberbakatannya (Amin, M., 1996:1). Perubahan konsep inteligensi dari faktor tunggal seperti yang dikemukakan Terman ke faktor jamak seperti yang dikemukakan Guilford (dalam Myears, 1986) memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pendekatan konsep keberbakatan. Dalam pendekatan faktor tunggal, makna keberbakatan sama artinya dengan pemilikan inteligensi tinggi yang sifatnya genetis (keturunan). Sedangkan dalam pendekatan faktor jamak, keberbakatan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetis, tetapi juga hasil perpaduan interaksi dengan lingkungan. Menurut pendekatan jamak, keberbakatan ialah keunggulan dalam kemampuan tertentu yang berbeda-beda. Keberbakatan juga mengandung makna adanya keunggulan dalam satu atau beberapa bidang. Di samping itu keberbakatan dapat diartikan sebagai ciri-ciri universal khusus dan luar biasa yang dibawa sejak lahir, maupun hasil interaksi dari pengaruh lingkungan (Semiawan, C., 1995). Menurut Milgram, R.M.(1991:10), anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan Instrument Stanford Binet (Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni musik, seni tari, dan seni rupa (Marland, 1972). Peserta didik berbakat mempunyai empat kategori, yaitu sebagai berikut. 1. Mempunyai kemampuan intelektual atau mempunyai inteligensi yang menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal. Kemam-puan ini dapat diukur pada anak maupun orang dewasa dengan tes psi-kometrik berkaitan dengan prestasi umumnya dinyatakan dengan skor IQ. 2. Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang ber-beda dalam Matematika, bahasa asing, musik, atau Ilmu Pengetahuan Alam. 3. Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Umumnya mampu berpikir untuk memecahkan permasalahan yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi. Pikiran kreatif menghasilkan ide-ide yang produktif melalui imajinasi, kepintarannya, keluwesannya, dan bersifat menakjubkan. 4. Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil. Dan berbeda dengan orang lain. Dari keempat kategori tersebut, maka peserta didik berbakat adalah mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi: intelektual, teknik, estetika, sosial, fisik. (Freemen, J.,1975:120), akademik, psikomotor, dan psikososial (kepemimpinan) (Sisk, 1987 dalam Amin, M. 1996:3). Pada tahun 1972 di Amerika Serikat berkembang konsep-konsep tentang keberbakatan berkaitan dengan
kemampuan atau potensi luar biasa dalam kemampuan intelektual, tingkah laku akademis khusus, berpikir kreatif dan produktif, kemampuan memimpin, kecakapan seni, dan kemampuan psikomotor (Reynolds & Mann, 1987:719). Kurikulum yang dianggap tepat bagi anak berbakat (gifted), antara lain: 1 mengacu pada konsep-konsep dan proses kognitif pada tingkat yang tinggi; 2. melibatkan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mengako-modasi bentuk-bentuk belajar yang saling berbeda; dan 3. dapat mengakomodasikan berbagai bentuk perencanaan pengelom-pokkan khusus. Kurikulum tersebut mengacu pada faktor-faktor utama landasan pemahaman terhadap anak berbakat, yaitu inteligensi secara umum; keberbakatan khusus, kemampuan atau ketangkasan; faktor-faktor yang bersifat nonintelek; kondisi-kondisi lingkungan yang dapat mem-berikan rangsangan (stimulasi) dan dukungan; faktor kesempatan (Tannenbaum, 1983 dalam Reynold & Mann, 1987:719); anak berbakat memerlukan konsep diri yang mampu untuk mengenali dan menerima potensi yang tidak umum dalam wujud.
Bab 5
PERSPEKTIF PSIKOPEDAGOSIS TENTANG DISFUNGSI PERKEMBANGAN ANAK DENGAN UPAYA INTERVENSI DALAM PENDIDIKAN
Disfungsi perkembangan anak, meliputi aspek sensorimotor, kreativitas, interaksi sosial, dan berbahasa. Hal ini dapat mengakibatkan peserta didik mendapatkan kesulitan belajar di sekolah. Kesulitan belajar yang terjadi di sekolah umumnya berkaitan dengan adanya kelainan-kelainan belajar khusus seperti yang terjadi pada anak dengan kelainan autism, hyperactive, dan down syndrome. Keterampilan diri dan inteligensi yang kurang menyebabkan mereka kurang berinteraksi dengan lingkungannya.
Upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap peserta didik di sekolah hendaknya berfokus pada kebutuhan diri anak yang bersangkutan sesuai dengan hak-hak azasi dan martabat anak. Tujuan layanan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Mengembangkan pribadi, bakat, dan kemampuan mental serta fisik peserta didik seoptimal mungkin. 2. Menyiapkan peserta didik untuk kehidupan orang dewasa yang aktif dalam masyarakat bebas dan mengangkat penghargaan bagi orang tua anak, identitas budaya sendiri, bahasa, serta nilai-nilainya. Upaya intervensi dini terhadap peserta didik yang mempunyai disfungsi perkembangan hendaknya ditujukan terhadap dua aspek, yaitu aspek perkembangan sosial dan aspek perkembangan kognitif. Tingkat perkembangan sosial dan perkembangan kognitif setiap peserta didik diperoleh melalui pengamatan guru kelas secara berkesinambungan dan sistematik dalam proses need assessment. Untuk keperluan ini diperlukan kompetensi guru kelas berkaitan dengan pengetahuan dan teori-teori belajar sehingga perspektif perkembangan psikopedagogis setiap peserta didik dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologis, sosial dan emosional dalam lingkup perkembangan normal. Perspektif Psikopedagogis Anak Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat sebagaimana manusia seutuhnya. Dalam masa pertumbuhan, secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan (Konvensi PBB tentang Hak Anak, 1990). Dengan demikian maka perspektif psikopedagogis anak yang paling logis, sesuai dengan Konvensi Hak Anak tahun 1990 yakni “Sampai sejauhmana seorang anak mampu mengubah dirinya sesuai dengan kondisi disekitarnya?” Kemampuan mengubah kondisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dan intervensi-intervensi yang sesuai dengan keberadaannya. Proses perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk kegiatan tertentu serta latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya, sehingga terpenuhi kebutuhan psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima oleh orang-orang di sekitarnya. (Maslow, 1984; dalam Patton,J.R., 1986:4). Dalam perkembangan psikopedagogis anak, interaksi anak terhadap lingkungannya dihadapkan pada tiga dimensi utama, yaitu: kemampuan (capabilities), lingkungan tempat anak melakukan fungsi kegiatannya (environment), dan kebutuhan dengan berbagai tingkat keperluan (functioning & support) seperti yang terlihat pada Gambar 5.1. Konsekuensi dari hal tersebut, fokus utama dari orientasi psikopedagogis dengan target perilaku sosial setiap peserta didik mengacu pada hal-hal berikut. 1. Perkembangan kemampuan berupa keterampilan dan kecakapan sesuai dengan tingkat inteligensi. 2. Kondisi-kondisi pembelajaran berupa faktor-faktor lingkungan dan pemberian penguatan terhadap elemen yang menyertai pengopera-siannya. Bentuk-bentuk perilaku dasar yang sangat dibutuhkan jika pembelajaran berlangsung berkaitan dengan psikologis, sosial, dan emosional setiap peserta didik (Staat & Burn halaman 98-120 dalam Patton, 1986:52). Gambar 5.1 Dimensi Utama Interkasi (Smith, et al, 2002:56)
Ketidakberhasilan peserta didik dalam mencapai tugas-tugas di sekolah, disebabkan oleh tingkat kemampuannya yang tidak sesuai untuk dapat melaksanakan atau menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kepadanya. Seharusnya program pembelajaran individual di sekolah disusun dan ditetapkan berdasarkan pada model perkembangan siswa sesuai dengan tingkat umur mental. Konsekuensi dari hal tersebut maka perkembangan yang dapat dicapai peserta didik melalui pembelajaran yang diprogramkan secara bertahap hendaknya sesuai dengan kemampuan umur mental atau kesiapan setiap peserta didik untuk mempelajari tugas-tugas baru yang diterapkan guru kelas di sekolah.
Apabila terjadi kegagalan dalam melaksanakan tugas-tugas baru di sekolah, hal tersebut disebabkan banyak variabel yang memengaruhi perkembangan kognitif. Variabel-variabel tersebut antara lain etiologi peserta didik bersangkutan, perbedaan motivasi yang diberikan, dan adanya masalah berkaitan dengan kesesuaian individu diukur dengan umur mental (Ellis & Dunley, 1991; dalam Smith 2002:250). 1. Teori Belajar dan Perkembangan Kognitif bagi Peserta Didik yang Mempunyai Disfungsi Perkembangan Mempelajari perilaku sosial peserta didik yang mempunyai disfungsi perkembangan psikopedagogis akan berkaitan dengan cara mereka berorientasi dengan lingkungan (dalam hal ini lingkungan sekolah). Prinsip-prinsip belajar yang terlibat antara lain Teori Belajar Sosial dan Teori Perkembangan Kognitif. Teori Belajar Sosial memandang konteks sosial peserta didik meliputi interaksi pribadinya dengan lingkungan yang mempunyai kapasitas apakah itu bergerak ke arah objek atau menjauhi objek (perilaku menjauh). Kedua variabel ini berpengaruh terhadap perilaku perorangan yang menunjukkan adanya penguatan (reinforcement) yang dapat dipergunakan sebagai intervensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi dari kedua variabel ini menyebabkan adanya tiga bentuk hubungan pada diri peserta didik yang mengalami hambatan perkembangan belajar, yakni Locus of control, Expectancy for failure, dan outerdirectedness. Locus of control mengacu pada sejauhmana seseorang merasakan akibat dari perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan kejadian-kejadian, baik yang positif maupun negtif, sebagai akibat dari tindakannya sendiri disebut dengan internal locus of control. Sebaliknya apabila dilakukan akibat tekanan dari luar dirinya, seperti nasib, kesempatan, atau akibat dari perbuatan orang lain disebut dengan external locus of control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan lebih berorientasi ke arah external locus of control daripada mereka yang tidak mempunyai hambatan perkembangan (Mercer & Snell, 1977:190; Patton, et al., 1986:85). Expectancy for failure, mengacu pada penguatan yang merupakan antisipasi sebagai akibat dari perilaku yang diajarkan. Misalnya pemberian hadiah dan pemberian harapan-harapan sebagai bentuk umum akibat dari pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe khusus dari suatu kegiatan pemecahan masalah. Outerdirectedness merupakan upaya untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu outerdirectedness dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan, pada umumnya meniru perilaku orang lain yang benar atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya. Implikasi dari Teori Belajar Sosial terse but, menyebabkan guru kelas hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut. 1. Memberikan tugas terhadap siswa yang mempunyai hambatan belajar dengan cara memperhatikan kemampuan fungsional dari setiap peserta didik bersangkutan. Berikanlah tugas-tugas yang dapat mereka lakukan. Hal ini merupakan jaminan keberhasilan suatu program pembelajaran atau program-program lain untuk bersosialisasi. 2. Menyimak pengalaman-pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan oleh peserta didiknya di kelas saat mereka berhasil menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. 3. Melakukan umpan balik terhadap perilaku khusus yang telah dilakukan peserta didik dengan baik sesuai dengan tugas yang diberikan guru. Teori lain yang menjadi prinsip belajar peserta didik dengan hambatan perkembangan adalah Teori Perkembangan Kognitif. Prinsip dari perkembangan kognitif dirumuskan oleh Jean Piaget pada tahun 1969. Ia menyatakan bahwa perkembangan mental anak merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan secara terusmenerus terhadap lingkungan. Interaksi ini terjadi melalui fase-fase perkembangan anak, melalui tahapan sensorimotor, praopersional, operasi konkret, dan operasi formal atau abstrak. (Patton, et al.,2986:96; Wadsworth, 1991; Suparno, 2001:25; Smith et al.,2002:250).
Tingkat sensorimotor mempunyai karakteristik perkembangan melalui pengalaman-pengalaman sensori dan kegiatan-kegiatan gerak. Melalui kegiatan gerak ini anak mulai menyadari adanya lingkungan di luar dirinya sendiri. Kemudian, ia mulai membedakan antara dirinya dengan orang lain dan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Tingkat praoperasional melibatkan kegiatan-kegiatan yang melebihi kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap fisiknya. Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk orang dan benda yang ada di sekelilingnya. Hal tersebut dilakukan untuk membiasakan dirinya melakukan asimilasi dan menemukan pengalaman-pengalaman baru dengan menirukan kegiatan-kegiatan orang lain. Asimilasi diartikan sebagai proses mengubah informasi sehingga informasi tersebut menjadi bagian dari pengetahuannya. Saat mencapai tingkat operasi konkret, anak mulai meningkatkan kemampuan-kemampuannya untuk menamai dan mengklasifikasikan benda-benda. Kegiatan mental mulai meningkat dan berkembang, anak mulai mencoba memecahkan masalah berdasarkan hasil pengalaman-pengalaman masa lalunya. Kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan menyampaikan alasan mulai meningkat pada usia sekitar 11 hingga 12 tahun yang dapat ditandai dengan adanya perkembangan pada tingkat operasi formal. Implikasi dari teori perkembangan kognitif anak, maka sebaiknya modifikasi perilaku dilakukan melalui kegiatan-kegiatan lingkungan yang disusun secara sistematik, yang disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning mengondisikan suatu karakteristik perilaku tertentu dalam suatu bentuk penguatan positif yang esensial dalam program pembelajaran berorientasi terhadap perilaku yang dapat memengaruhi consequences (Wallace & Kauffman 1978, dalam Patton et al., 1986:97). Penyampaian motivasi belajar dan pemantauan perilaku peserta didik dengan hambatan perkembangan menggunakan teknik semacam ini sangat dianjurkan. Terdapat tiga tipe motivasi belajar yang dipakai sebagai penguatan, yaitu sebagai berikut. 1. Social reinforcement misalnya pemberian hadiah, menyentuh tangan, memeluk dengan sepenuh perasaan. 2. Tangible misalnya pemberian makanan kesukaannya, uang, atau ganjaran berupa pujian dan pemberian suatu kegiatan yang merupakan bentuk penghargaan khusus yang diharapkan anak. 3. Negative consequences untuk perilaku-perilaku yang tidak diharapkan muncul. Misalnya, pemberian "time out" terhadap peserta didik yang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dan tidak diinginkan. Pemberian "time out" biasanya bersamaan dengan pemberian "hukuman" antara lain, tidak diperkenankannya melakukan kegiatan tertentu walaupun ia sangat menyukainya. Oleh karena itu program pembelajaran yang disusun guru kelas hendaknya dipolakan secara khusus melalui pendekatan metode yang terintegrasikan pada kejadian atau peristiwa saat itu (event). Pola pembelajaran yang memasukkan pendekatan perkembangan sosial peserta didik semacam ini dipakai sebagai bentuk reinforcement dan sangat efektif dipakai sebagai bentuk intervensi guru selama proses pembelajaran (Gardner, 1977, dalam Schloss, 1984:40). 2. Intervensi Dini dalam Pendidikan Layanan pendidikan di sekolah berupa layanan pembelajaran individual untuk setiap peserta didik secara tegas diarahkan pada sasaran yang jelas berupa pencapaian suatu sasaran perilaku (behavior target). Sasaran perilaku bagi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan adalah perilaku adaptif (adaptive behavior). Perilaku adaptif adalah suatu kemampuan untuk dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaankeadaan yang terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Hal ini secara khusus merupakan kemampuan berperilaku untuk mampu merespon tuntutan lingkungan (AAMR, 1992, Patton, et al., 1986:13); Widaman & McGrew, 1996 dalam Smith, et al., 2002:95). Problem yang terjadi pada perilaku adaptif akan berakibat atau berkaitan erat dengan terjadinya defisit inteligensi atau lemahnya aspek kognitif.
Perilaku adaptif dapat dikembangkan sebagai sasaran bimbingan yang diintegrasikan ke dalam pembelajaran dan dilakukan sebagai intervensi sedini mungkin karena berfungsi untuk membantu peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan dengan tujuan agar peserta didik bersangkutan memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain. 2. Mampu memanfaatkan persepsi pendengaran, penglihatan, gerak taktil atau kinestetik, gerak motorik halus (fine motor) dan motorik kasar (gross motor). 3. Kemampuan beradaptasi disamping kematangan diri dan sosial. Misalnya, dapat berbahasa secara konseptual, dapat memahami, dan mampu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. 4. Mampu bertanggung jawab secara pribadi ataupun sosial dicirikan dengan kemampuan berhubungan dengan orang lain, dan dapat berperan serta untuk melakukan suatu peran di lingkungan tempat tinggalnya. 5. Kematangan diri dan sosial meliputi kemampuan berinisiatif, meman-faatkan waktu luang, cukup atensi, dan bersikap tekun. Hasil-hasil penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Friedberg (1992), Kandret (1993), Carmichael (1994), dan Schwiebert (1995) menunjukkan bahwa pola bermain peran atau role playing dan pola bermain dengan media pasir serta papan permainan sangat cocok diterapkan sebagai intervensi guru dalam pembelajaran di Sekolah Dasar dan Sekolah Tingkat Lanjutan Atas. Pola bermain sebagai bentuk intervensi guru dalam pembelajaran dapat diterapkan guna menurunkan tingkat perilaku menyimpang atau perilaku nonadaptif. Misalnya kurang atensi, impulsif, sering melakukan kegiatan berlebihan, agresif, selalu merasa takut, depresi pada peserta didik hiperaktif, dan gangguan emosional. Penelitian-penelitian tersebut merupakan pembuktian terhadap pendapat Anna Freud dan Melanie Klien (1920) yang berkaitan dengan pemanfaatan permainan terapeutik. Permainan tersebut dapat dipakai sebagai wahana dan diagnostik perilaku menyimpang dalam bentuk bimbingan konseling terhadap peserta didik yang mengalami hambatan belajar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pascasarjana Prodi Bimbingan dan Konseling di Universitas Pendidikan Indonesia, antara lain oleh Astati (tesis tahun 2001 mengenai role playing terhadap peserta didik hiperaktif), Nursyamsiah (skripsi tahun 2002 mengenai Penggunaan Permainan Papan Jahit Pada Peserta Didik dengan Hambatan Gerak), Vera, R.D. (skripsi tahun 2003 tentang Penggunaan Role Playing dalam Pembelajaran), Handayani (skripsi tahun 2003 tentang Permainan Imajinatif untuk Pembelajaran Tunagrahita Usia Mental Delapan Tahun), Suprapto (skripsi tahun 2003 mengenai Penggunaan Media Permainan Menara Gelang dalam Pembelajaran Tunagrahita dengan Umur Mental Enam Tahun), Kartina Ina (skiripsi tahun 2004 mengenai Permainan Puzzle-Balok dalam Pembelajaran), Sukmawati, T.M., skripsi tahun 2004 tentang Permainan Tempurung Kelapa dalam Pembelajaran Siswa Tunanetra), Yani Mulyani (skripsi tahun 2005 tentang Penggunaan Role Playing untuk Tunagrahita Usia Mental Enam Tahun), dan Mery Krismas (skripsi tahun 2005 tentang Permainan Flashcards dalam Pembelajaran Pada Siswa Kelas Satu) telah menunjukkan bahwa permainan yang bersifat terapeutik dapat dijadikan media intervensi guru dalam pembelajaran maupun konseling terhadap peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan. Alasan digunakannya permainan terapeutik sebagai bentuk intervensi guru dalam pembelajaran individual disebabkan permainan dapat: 1. digunakan sebagai diagnostik untuk memahami peserta didik; 2. digunakan untuk mengembangkan kegiatan hubungan antara individu dan orang lain agar dapat berjalan baik; 3. dipakai sebagai pengubah pola kegiatan hidup sehari-hari dan dapat mengatasi rasa gelisah;
4. 5. 6.
bermain dapat membantu peserta didik saat melakukan verbalisasi perasaan-perasaan melalui alat main tertentu sesuai dengan keberadaan peserta didik bersangkutan; membantu peserta didik dalam memerankan perasaan bawah sadar dan dapat menurunkan ketegangan yang menyertai perasaan bawah sadarnya; serta dipergunakan untuk mengembangkan minat bermain peserta didik usia rendah bagi penyaluran kehidupan sehari-hari yang kemudian memper-kuat kehidupan mereka di masa depan (Schaefer & O'Connor, 1983:203).
Bab 6
MODEL PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus seharusnya berdasarkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi. Model tersebut dirancang berdasarkan kebutuhan nyata oleh guru kelas agar dapat mengembangkan ranah pendidikan sebagai sasaran akhir pembelajaran. Tujuannya berupa pencapaian pengetahuan, keterampilan, sikap, dan psikomotor tertentu dari setiap peserta didik. Model ini menunjang "Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan" yang telah dicanangkan oleh menteri pendidikan nasional pada tanggal 2 Mei 2002. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak seperti yang dikemukakan oleh Mc Ashan (1981: 45) sebagai berikut. " ... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor behavior" Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud akhir hasil belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman langsung dirinya. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari. Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi menurut Gibson (1988:109), sebagai berikut. 1. Pengetahuan, merupakan kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya. 2. Pemahaman, merupakan kedalaman kognitif dan afektif yang dimilki oleh individu. Misalnya, seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didiknya agar dalam proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien. 3. Kemampuan, merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan guru dalam memilih dan membuat alat peraga sederhana untuk memberikan kemudahan belajar peserta didiknya. 4. Nilai, merupakan suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku guru dalam pembelajaran apakah itu kejujuran, rasa demokratis, dan sebagainya. 5. Sikap, merupakan perasaan(senang-tidak senang, atau suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya, reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah dan sebagainya. 6. Minat, merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu (dalam Mulyasa, E., 2004:39). Pemanfaatan keterampilan yang dimiliki seorang guru saat berlangsungnya pembelajaran, merupakan perilaku yang efektif. Perilaku efektif berarti, bahwa guru secara sistematik menyajikan kompetensi-kompetensi yang efektif dalam berbagai situasi belajar. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mampu mencapai sasaran kompetensi dengan memanfaatkan kemampuan, minat, dan kesiapan menerima pembelajaran dari setiap peserta didik.
Pembelajaran individual meliputi enam elemen, yaitu: elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Keenam elemen konseptual model pembelajaran tersebut sangat berperan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran tersebut diartikan sebagai berikut. 1. Elicitors (E), yakni peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku. Elicators dapat terjadi melalui: a). peralatan pembelajaran, seperti alat permainan, bentuk permainan edukatif, buku instrumen tes, gambar-gambar, alat tulis crayon; b). dapat juga berupa bentuk-bentuk arahan, suruhan, permintaan, demonstrasi atau seperangkat arahan-arahan atau petunjukpetunjuk tertentu; dan c). dapat melalui orang dengan perilaku seperti: senyuman sebagai tanda persetujuan, atau kerutan di dahi sebagai tanda tidak setuju. Penyebab perilaku dapat terjadi oleh salah satu atau gabungan dari Elicitors tersebut. 2. Behaviors atau perilaku ( B ), merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan, antara lain berlari, berjalan, berbicara, menulis, menyusun atau memasang papan permainan, membaca, men-jawab pertanyaan, atau duduk di kursinya. 3. A Reinforcers atau penguatan ( R ) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik. Penguatan dapat berupa peningkatan kepuasan dari perilaku untuk masa depan. Stimulus yang mengikuti perilaku yang tidak memuaskan atau yang tidak sesuai tidak diberikan penguatan. 4. Entering Behavior atau kesiapan menerima pelajaran. Sebelum guru memulai untuk melakukan kegiatan pembelajaran terhadap peserta didiknya, sangat esensial bila guru kelas mengetahui kesiapan setiap peserta didiknya. Kesiapan tersebut berupa kesiapan peserta didik untuk melakukan tugas-tugas kegiatan akademik dan kegiatan belajar berkaitan dengan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi pembelajaran khusus. Artinya bahwa bentuk elicitors manakah dari setiap peserta didik dapat melakukan tanggapan, perilaku manakah yang dimunculkan oleh setiap peserta didik, dan penguatan atau reinforcers yang dapat mem-perkuat respon-respon yang diinginkan dan dapat berguna. 5. Terminal Objective. Beberapa program pembelajaran seharusnya dapat menghasilkan perubahan sebagai hasil akhir atau keluaran. Oleh karena itu terminal objective dapat menghubungkan antara tujuan yang satu dan tujuan lainnya. Dapat dikatakan secara singkat bahwa sebagai "sasaran antara" dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan. 6. Enroute Objective, merupakan langkah dari entering behavior menuju ke terminal objective yang terbagi dalam beberapa langkah kegiatan pembe-lajaran, yang disebut dengan enroute objectives. Setiap enroute objective dapat menggambarkan pencapaian "sasaran antara" yang harus dicapai oleh setiap peserta didik sebelum mereka pindah ke enroute objective berikutnya. Model konseptual secara nyata akan memunculkan suatu proses kegiatan pembelajaran yang menyediakan guru kelas untuk dapat melakukan pengidentifikasian terhadap: 1. tingkat kemampuan akademik atau tingkat kemampuan sosial setiap peserta didiknya, 2. arah tujuan dari pembelajaran, dan 3. langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran. 1. 2. 3. 4.
Model dari proses pembelajarannya memungkinkan guru kelas mampu: melakukan pengidentifikasian secara tepat pada setiap titik sasaran, kapan peserta didik mulai sesuai dengan entering behavior atau kesiapan menerima pelajaran, enroute objectives yaitu suatu keadaan sesuai dengan urutan pembela-jaran, dan the terminal objective (sasaran antara).
Rincian Elemen Konseptual Model dapat dilihat pada Gambar 6.1 dan Gambar 6.2. di bawah ini. Gambar 6.1. Elements of the Conceptual Model ( Peter, L.J., 1975:14) Gambar 6.2. Future Behavior ( Intended achievement at termination of program ) (Peter L.J., 1975:17)
A. Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Inti model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah mengembangkan lingkungan belajar terpadu dari peserta didik bersangkutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dan khusus. Prinsip-prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Sedangkan prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik spesifik dari setiap penyandang kelainan peserta didik. Misalnya, untuk anak tunanetra menggunakan prinsip kekonkritan, prinsip pengalaman yang menyatu, dan prinsip belajar sambil melakukan. Peserta didik tunarungu menggunakan prinsip keterarahan wajah. Peserta didik tunalaras memerlukan prinsip-prinsip yang meliputi kebutuhan dan keaktifan, kebebasan yang mengarah, pemanfaatan waktu luang dan kompensasi, kekeluargaan dan kepatuhan terhadap orang tua, setia kawan dan idola, serta perlindungan. Untuk tungrahita diperlukan prinsip-prinsip pembelajaran berkaitan dengan: 1. bentuk-bentuk atensi yang meliputi waktu atensi, fokus, dan selektivitas. 2. mediatoral, di antaranya menggunakan teknik yang efektif, teknik yang bersifat khusus, dan intervensi guru yang khusus; 3. memperkuat daya ingatan atau memori; dan 4. transfer atau penggeneralisasian terhadap pengetahuan, keterampilan tugas-tugas yang baru baginya, pemecahan masalah belajar, dan pemberian pengalaman-pengalaman (Smith et al., 2002:252). Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus yang menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi diperlukan komponen-komponen tertentu meliputi rasional, visi dan misi pembelajaran, tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, pendukung sistem pembelajaran, dan komponen dasar pembelajaran.
1. Rasional Layanan pendidikan dan pembelajaran untuk sekolah yang melayani anak berkebutuhan khusus seharusnya sejalan dan tidak terlepas dari prinsip, kebijakan, dan praktek dalam pendidikan berkebutuhan khusus. Terutama setelah konferensi dunia di Salamanca Spanyol pada tanggal 7-10 Juni 1994. Konferensi tersebut menghasilkan perluasan gerakan pendidikan untuk semua (education for all). Selanjutnya hasil konferensi dunia tersebut ditindaklanjuti dengan Deklarasi Dakar tahun 2000. Deklarasi tersebut menjadi kerangka kerja dalam merespon kebutuhan dasar belajar warga masyarakat yang menekankan bahwa pendidikan harus menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal batas kelompok, ras, agama, dan kemampuan potensial yang dimiliki oleh peserta didik. Perubahan tersebut sangat besar artinya serta mendasar, sehingga layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus tidak menutup kemungkinan untuk memberikan hak anak, mendapatkan kesempatan (opportunity right), dan hak sebagai makhluk Tuhan yang perlu mendapatkan kesejahteraan sosial (human right, social and welfare right).
2. Visi dan Misi Bertolak dari hasil pengamatan dan harapan kebutuhan di lapangan, maka model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan. Visi pembelajaran berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, adalah membantu peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki sikap, wawasan, akhlak yang tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjunjung hak azasi manusia, saling pengertian, dan berwawasan global (Mulyasa, E. , 2004:19). Sasaran utama sebagai hasil keluaran (out come) dari pembelajaran adalah kemampuan setiap peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat (Kurikulum Pendidikan Luar Biasa, 1994:6). Misi pembelajaran berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, adalah pemberian layanan terhadap anak berkebutuhan khusus agar setiap peserta didik yang mempunyai kelainan atau hambatan perkembangan menjadi individu yang mandiri, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, terampil, dan mampu berperan sosial (Mulyasa,E., 2004:20). Dalam mengantisipasi kehidupan masa depan anak berkebutuhan khusus, maka intervensi khusus yang dipersiapkan oleh guru kelas dalam pembelajaran harus mampu menyentuh semua aspek perkembangan perilaku dan kebutuhan setiap peserta didik berkaitan dengan kompetensi yang merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
3. Tujuan Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Berdasarkan visi dan misi pembelajaran yang berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, dapat ditentukan tujuan dari pembelajaran, sebagai berikut. 1. Agar dapat menghasilkan individu yang mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain melalui kemampuan dirinya dalam menggunakan persepsi pendengaran, penglihatan, taktil, gerak halus (fine motor), dan gerak kasar (gross motor). 2. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan diri dan sosial. Misalnya, dapat berinisiatif, dapat memanfaatkan waktu luang, cukup atensi, serta bersikap tekun. 3. Menghasilkan individu yang mampu bertanggung jawab secara pribadi dan sosial. Misalnya, dapat berhubungan dengan orang lain, dapat turut berperan-serta, dan dapat melakukan suatu peran tertentu di lingkungannya. 4. Agar dapat menghasilkan individu yang mempunyai kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan sosial. Misalnya, mampu berkomunikasi dengan orang lain melalui kematangan berbahasa.
4. Komponen Dasar Model Pembelajaran Berdasarkan pada visi dan misi kebutuhan peserta didik secara khusus, dan tujuan pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi, isi layanan pembelajaran dikelompokkan ke dalam bagianbagian sebagai berikut. 1. Masukan terdiri atas: a). masukan mentah berupa Elicitors, behaviors, dan reinforcers; b). masukan instrumen, terdiri atas program, guru kelas, tahapan dan sarana; serta c) masukan lingkungan, berupa norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan. 2. Proses terdiri atas Program Pembelajaran Individual, Pelaksanaan intervensi, dan Refleksi hasil pembelajaran, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
3.
Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri.
Pendukung Sistem Model Pembelajaran Menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Komponen pendukung sistem (the component system) adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program pembelajaran. Kegiatan-kegiatannya diarahkan pada: 1. pengembangan dan manajemen program, dengan upaya meliputi: perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis, dan tindak lanjut program; 2. pengembangan staf pengajar guna penguasaan terhadap aspek-aspek kompetensi yang terdiri atas: pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat; serta 3. pemanfaatan sumber daya masyarakat dan pengembangan atau penataan terhadap kebijakan dan petunjuk teknis. Untuk memperjelas model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat dilihat pada Diagram 6.3 berikut. Diagram 6.3. Model Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus