1
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Masalah Sebagai
orang
tua
yang
memiliki
anak,
tugas
utamanya
adalah
membesarkan dan mengasuh anaknya. Demikian juga dengan orangtua tunggal. Orangtua tunggal adalah seseorang yang memiliki anak, yang pasangannya meninggal atau bercerai (Collins English Dictionary,2003). Perlmutter & Hall (1985) menambahkan penyebab menjadi orangtua tunggal, yakni karena adanya kematian suami atau isteri, keinginan memiliki anak tanpa menikah, dan adopsi anak oleh wanita atau pria lajang. Pada berbagai kasus di Indonesia, keluarga dengan orangtua tunggal sering disebabkan karena adanya perceraian dan kematian salah satu pasangan. Menurut Biro Sensus Amerika Serikat Laporan tahun 2009 (dalam Sharma, 2011), ada sekitar 14 juta orangtua tunggal yang membesarkan anak-anak mereka di AS. Rinciannya, 83% adalah ibu tunggal dan 17% adalah ayah tunggal. Hasil Biro Sensus Amerika Serikat tersebut menyatakan bahwa banyak orang tua yang bekerja tunggal menghabiskan lebih sedikit waktu dengan anak-anak karena beban kerja yang berat. Keharusan bagi orangtua tunggal untuk bekerja dua kali dibandingkan dengan orang tua normal (suami dan istri). Orangtua tunggal terbagi menjadi dua yaitu orangtua tunggal ayah dan orangtua tunggal ibu. Orangtua tunggal ibu adalah seorang ibu yang tinggal bersama anaknya dalam satu rumah, karena ditinggal suaminya bercerai atau meninggal. Begitu pula sebaliknya, orangtua tunggal ayah adalah seorang ayah yang tinggal bersama anaknya dalam satu rumah, karena ditinggal isterinya bercerai
2
atau meninggal. Seperti yang dialami oleh Jeffery Ong (54) (dalam Kompas, 2010), sejak isterinya meninggal 13 tahun lalu Jeffery harus membesarkan anaknya Defri Adipratama yang menyandang down syndrome sendirian. Hidupnya seketika berubah. Jeffery harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu. Biasanya Jeffery mengandalkan istrinya untuk mengurus Defri. Namun setelah isterinya meninggal dunia, jika pergi bekerja Jeffery terpaksa menitipkan Defri kepada neneknya. Meski begitu, dia bertekat membesarkan hingga dewasa. Setiap hari, dibantu pembantu rumah tangga, Jeffery mengurus anaknya Defri mulai mandi, makan, minum, hingga ke toilet. Dia juga harus memastikan setiap pagi Defri pergi ke sekolah luar biasa (SLB) dan sorenya ikut kursus gamelan, renang, atau mengaji. Perjalanan hidup seperti itu juga dilakoni Aryono Huboyo Djati (49) selama bertahun-tahun. Setelah bercerai dengan isterinya tahun 1998, Aryono harus mengurus anaknya Asyar Renaton Djati yang ketika itu baru berusia empat tahun. Walaupun Asyar tinggal bersama Aryono, dirinya lebih beruntung karena sampai saat ini hubungan anak dan ibunya terjalin dengan harmonis. Walapun sudah bercerai dengan ayahnya kebutuhan kasih sayang dari seorang ibu tidak berkurang. Aryono tidak lagi sekadar memposisikan perannya sebagai ayah dan ibu, tetapi juga sebagai sahabat. Aryono merasa bahwa periode tersulit yang ia alami adalah ketika Asyar menginjak usia 16 tahun. Keadaan tersebut membuat peran laki-laki sebagai orang tua tunggal terasa sangat berat, terlebih juga mereka diharuskan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Berbeda dengan yang dialami Jeffery Ong dan Aryono Huboyo Djati, Edy (bukan nama sesungguhnya) selaku dosen psikolog anak. Edy memiliki dua anak dan mendapatkan hak asuh dari perceraian yang dialaminya yaitu Ayu berusia delapan tahun serta Doni empat tahun. Perceraian terjadi karena Edy merasa tidak ada lagi kecocokan dengan istrinya. Ia merasa sulit untuk mengasuh
3
ke dua anaknya, Doni menjadi sangat nakal dan tidak ingin ditinggal bekerja oleh ayahnya. Ayu juga mengalami perubahan setelah perceraian orang tuanya, ia tidak ingin masuk sekolah. Sebab lingkungan di sekitar serta teman-temannya sering menanyakan tentang kasus perceraian orangtuanya. Ayu menjadi malu karena memiliki orang tua yang bercerai. Semangat belajar Ayu menurun, nilai menurun drastis. Ayu yang kesehariannya ceria, aktif, berubah menjadi pendiam, murung, dan pasif, berat badan semakin menurun. Menurut Zeiders et al, (2011), ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal dan hidup bersama anaknya memiliki resiko akademik (McLanahan & Sandefur dalam Zeiders et al, 2011), perilaku (Brown dalam Zeiders et al, 2011), narkoba, dan depressi (Compas & Williams dalam Zeiders et al, 2011) yang lebih tinggi bagi anak, dibanding keluarga normal. Perbedaan antara keluarga dengan orangtua tunggal dan keluarga dengan orang tua lengkap menurut Barber & Demo (Zeiders et al, 2011), berhubungan dengan tantangan, peluang, dan interaksi berdasarkan struktur keluarga. Orangtua tunggal dan orangtua yang lengkap di Keluarga MexicoAmerika memiliki perbedaan yang konsisten. Orangtua tunggal yang memiliki remaja di keluarga Mexico-Amerika diteliti memiliki perilaku sekolah yang lebih buruk, dibanding anak memiliki keluarga yang lengkap. Tetapi tidak ada perbedaan dalam rating akademik. Orangtua tunggal di keluarga Mexico-Amerika diteliti memiliki kesulitan ekonomi, stress keluarga, dan konflik yang lebih besar dibanding keluarga normal. Tetapi tidak ada perbedaan pada kualitas hubungan orang tua dengan anak. Lazimnya menurut Dagun (2002), ayah digambarkan sebagai orang yang tidak pernah ikut terlibat dalam pengasuhan anak. Seperti sudah terkondisikan seorang ayah bukan sebagai pengasuh anak, dan lebih sibuk sebagai pencari nafkah. Ayah memiliki citra keperkasaan, tapi jauh dari anak-anak dan seakan
4
melepas tanggung jawab untuk membina kehidupan anak secara langsung. Para ahli kini merasa relevan untuk mengkaji secara komprehensif mengenai peranan seorang ayah. Sebagai misal, menurut Demo dan Ambert (1995), berkurangnya waktu untuk berinteraksi dengan anak remajanya, mengakibatkan hubungan yang kurang harmonis antara ayah dan anaknya. Peran ayah dalam keluarga menurut Benson (dalam Lamb, 2010), digambarkan lebih sebagai pencari nafkah, pengambil keputusan, penanaman disiplin, dan mengontrol perilaku anak. Peran sedemikian rupa mengakibatkan ayah, kurang memperhatikan perihal pengasuhan anak lazimnya pengasuhan anak lebih dominan pada ibu. Karena bagi ayah tugasnya hanya menyediakan kebutuhan ekonomi bagi keluarga dan tidak berperan langsung dalam pengasuhan anak. Dengan peranan tersebut, ayah memiliki jarak yang terasa jauh dengan anak, karena ia jarang mengalami kegiatan langsung yang berhubungan dengan pengasuhan anak (Lamb, 2010). Kemampuan orangtua tunggal dipengaruhi oleh self-efficacy yang dimiliki oleh individu. Dalam kajian atau ranah psikologi banyak hal yang dapat ditelusuri mengenai pencapaian kemandirian dan tugas seorang ayah selaku orangtua tunggal. Salah satunya adalah self-efficacy, self-efficacy merupakan suatu keyakinan individu pada kemampuan yang dimilikinya untuk secara efektif melakukan kontrol terhadap keadaan, kondisi spesifik baik dalam menjalankan atau menyelesaikan
tugas
ataupun
pekerjaan
dalam
kehidupannya,
tanpa
memperhatikan hasil yang akan diperolehnya (Bandura, 1997). Self-efficacy memberikan kontribusi terhadap pemilihan tugas tertentu. Individu yang memiliki self-efficacy rendah akan menjauhi tugas-tugas yang membutuhkan upaya ekstra dan cenderung menyerah ketika menghadapi kesulitan. Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan lebih mudah menghadapi permasalahan serta
5
dalam mengahadapi tugas yang sulit dan tidak menyenangkan baginya apabila dihadapkan pada tugas yang sulit dan tidak menyenangkan. Dengan kelebihankelebihan pemilik self-efficacy tersebut, individu akan berusaha mewujudkan yang dimilikinya secara optimal (Katris, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Blanchard dan Biller (dalam Dagun, 2002) membandingkan empat kelompok anak berdasarkan kemampuan akademiknya. Data diambil dari hasil ujian yang diberikan guru mereka di sekolah. Kelompok pertama, anak-anak yang ditinggalkan ayah mereka sebelum usia lima tahun. Kelompok kedua, yang ditinggalkan ayah mereka setelah lima tahun. Kelompok ketiga anak-anak yang tidak dekat dengan ayah mereka, bertemu kurang dari enam jam perminggu, serta kelompok keempat dimana ayah terlibat penuh dalam pengasuhan.
Hasil
dari
penelitian
itu
menyatakan
kelompok
pertama
memperlihatkan kemampuan akademiknya menurun dibandingkan dengan anak yang ayahnya terlibat penuh dalam proses pembinaan perkembangan anak. Penelitian tersebut juga menyimpulkan walaupun ayah itu hidup bersama anak, namun jika kurang terlibat dalam pembinaan anak, maka kehadirannya hampir tidak banyak dampaknya. Bahkan nasib anaknya sama dengan anak yang ditinggalkan ayahnya. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui selfefficacy ayah yang menjadi orangtua tunggal dalam pengasuhan anak. Peneliti merancang penelitian tentang “ SELF-EFFICACY AYAH YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM MENGASUH ANAK.” 1. 2 Rumusan masalah 1. Bagaimanakah self–efficacy ayah selaku orangtua tunggal dalam mengasuh anak?
6
1. 3 Tujuan Penelitian Tujuan
dilakukannya
penelitian
ini
untuk
mengetahui
sekaligus
memberikan gambaran tentang self–efficacy seorang ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam mengasuh anak. 1. 4 Manfaat Penelitian 1. Teoritis : Bagi dunia pengetahuan, diharapkan mampu memberikan sumbangan ke ilmuan dalam disiplin ilmu psikologi tentang self-efficacy seorang ayah yang orangtua tunggal. Kontribusi ini secara spesifik dapat memperkaya khazanah literatur psikologi sosial, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan. 2. Praktis : Bagi orangtua tunggal ayah: Semakin maraknya tren orangtua tunggal di tengah masyarakat, temuan penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis, berkenaan dengan dinamika orangtua tunggal masalahmasalah yang dihadapi orangtua tunggal serta perihal pengasuhan anak.