BAB 1 PENDAHULUAN
“Arsitek kampanye modern menyadari sepenuhnya bahwa kemenangan dapat diraih melalui pendekatan hati dan emosi ketimbang pendekatan akal atau rasional” Richard Scher
A
Latar Belakang Iklan politik televisi merupakan alat kekuasaan yang efektif untuk menarik
perhatian umum secara langsung, membujuk opini dan kepercayaan publik ataupun mempengaruhi perilaku, menjelaskan dan menyusun persepsi serta realitas sosial. Iklan politik televisi juga merupakan tempat dimana masyarakat dapat memperoleh informasi atas pilihan politik yang akan mereka gunakan saat pemilu. Oleh karena itu, peran iklan politik televisi menjadi penting dan berkembang cepat mengikuti zaman di era demokrasi digital sekarang ini. Walaupun iklan politik televisi merupakan alat kekuasaan yang termasuk paling akhir kehadiranya di era demokrasi digital, tetapi iklan politik televisi memiliki sifat audio visual yang tidak dimilki oleh media kampanye lainnya. Dengan sifat audio visual yang dimilikinya, iklan politik televisi begitu komunikatif dalam memberikan pesan-pesannya. Sumartono 1 menilai bahwa terpangaruh 1
Sumartono, Terperangkap dalam Iklan, Alfabeta, Bandung, 2002, hlm. 61.
1
tidaknya pemirsa sangat ditentukan sejauhmana iklan politik televisi mampu mengaplikasikan komunikasi persuasif dalam menggugah minat dan keinginan khalayak sasaran. Penggunaan iklan politik televisi harus diupayakan agar pesan-pesan persuasif dapat dikomunikasikan dengan baik kepada segenap pemilih. Untuk itu diperlukan gagasan yang cermelang. Setiap kampanye iklan politik televisi harus direncanakan dan dilaksanakan secara serius. Iklan politik televisi yang baik merupakan perpaduan strategi yang tepat dan harapan pemilih terhadap partai politik yang menggunakan iklan. Periklanan bukan hanya fenomena bisnis modern, tetapi juga fenomena kampanye pemilu modern. Demikian pentingnya peran iklan politik televisi dalam kampanye pemilu modern sehingga salah satu faktor yang menentukan perolehan suara partai politik terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan untuk iklan politik tersebut. Di samping itu, iklan politik televisi merupakan “jendela kamar” dari sebuah partai politik. Keberadaannya menghubungkan partai politik dengan masyarakat, khususnya konstituen dan calon konstituenya. Dalam sistem politik modern, dibutuhkan lembaga legislatif dalam proses pengesahan kebijakan, yang biasa kita sebut dengan parlemen isinya adalah legislator dari partai politik. Setelah Orde Baru lengser, ada begitu banyak partai politik yang lahir. Sebelumnya hanya ada dua partai politik dan satu golongan karya selama tiga dekade lebih era Orde Baru. Tak ayal lagi, semangat untuk
2
mendirikan partai politik yang berbasis pada ideologi tertentu menjadi sebuah hal yang ingin dilakukan. Frank Jeffkins 2 memberikan beberapa alasan mengapa harus ada pengelolaan public relations bagi setiap organisasi, termasuk partai politik, yaitu untuk menetapkan target-target operasi marketing politik yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan, serta dana yang tersedia untuk itu. Diharapkan dengan keterlibatan public relations membuat kampanye pemilu lewat iklan politik di media televisi efektif kepada konstituen dan calon konstituenya. Dengan cara ini citra partai politik akan ikut terdongkrak Perkembangan iklan politik dapat diukur dengan banyaknya dana yang dikuncurkan partai politik untuk penggunaanya. Semakin banyak dana yang dikeluarkan, semakin banyaknya iklan politik tampil di televisi. Tabel 1.1 Belanja Iklan Partai Politik (Periode Oktober 2008 - Februari 2009) No
Nama Partai Politik
Pengeluaran
1
Partai Gerakan Indonesia Raya
Rp 46.782.000.000
2
Partai Demokrat
Rp 36.121.000.000
3
Partai Golkar
Rp 18.873.000.000
4
Partai Keadilan Sejahtera
Rp 4.866.000.000
5
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Rp 4.672.000.000
6
Partai Persatuan Pembangunan
Rp 3.294.000.000
2
Frank Jeffkins dalam Harsono Suwandi, Politik, Demokrasi, dan Manajemen Komunikasi, Galang Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 160.
3
7
Partai Amanat Nasional
Rp 1.529.000.000
8
Partai Hati Nurani Rakyat
Rp 1.432.000.000
9
Partai Kebangkitan Bangsa
Rp 269.000.000
10
Partai Bulan Bintang
Rp 236.000.000
Total
Rp 118.074.000.000
Sumber: AC Nielsen dan diolah dari berbagai sumber
Para pemilih adalah orang yang perlu diperhatikan keinginan dan kebutuhanya, bahkan juga paradigma berpikirnya terkait politik di masa depan, dan partai yang berkompetisi dalam pemilu harus mampu setidaknya menjadi representasi semua hal yang mereka inginkan di masa depan. Walaupun setiap partai politik memiliki basis pendukung inti atau “pelanggan setia”, tetapi secara kuantitatif masih jauh dari mereka yang tidak tahu-menahu dengan partai bersangkutan. Pemilih juga dihadapkan pada variasi ideologi nasionalis, moderat, dan Islam sebagai klasifikasi ideologi partai di Indonesia. Iklan politik televisi berusaha ditampilkan semenarik mungkin dengan gaya penyampaian pesan yang khas dengan penggunaan bahasa (kata-kata yang kreatif dan mudah diingat), ilustrasi musik (jingle), model iklan yang menarik, personafikasi produk-produk, simbol-simbol tertentu yang dikombinasikan dengan format visualisasi yang harmonis menghasilkan pesan, citra, dan makna partai politik secara keseluruhan yang kemudian diputar atau ditayangkan beberapa kali sehari pada jam-jam utama (prime time) supaya pemilih nantinya memperoleh informasi yang lebih. 4
Iklan politik televisi berisi aspek-aspek komunikasi seperti pesan (message) yang merupakan unsur utama iklan. Sebuah iklan politik selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek yang diiklankan, konteks (berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna tertentu, meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan 3. Apa alasan partai politik memilih iklan politik di media televisi untuk mempromosikan partainya? Terdapat sejumlah alasan untuk ini. Pertama, iklan politik di media televisi dinilai efisien dari segi biaya untuk mencapai perolehan suara dalam jumlah besar. Iklan politik di media televisi dapat digunakan untuk menciptakan citra partai politik dan daya tarik simbolisnya. Hal ini menjadi sangat penting khususnya bagi partai politik yang sulit dibedakan antara ideologi, identitas, program, dan bahkan lambangnya dengan partai politik lainya. Tujuan pokok pemasang iklan politik televisi adalah mempersuasi pemilih untuk memperhatikan pesan yang mereka sampaikan tentang identitas partai politik. Pemilih dituntut untuk bisa memahami persuasi tersebut, membedakan dengan identitas partai politik yang lain, dan memutuskan bahwa mereka memang memiliki identitas, program, dan ideologi yang layak dipercaya dan dipilih masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, iklan politik televisi memperkenalkan identitas partai politik bersangkutan dengan menggunakan slogan untuk membuat pembedaan karakteristik serta melalui pemberian pesan 3
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hlm. 263.
5
dan tampilan iklan yang menarik perhatian masyarakat. Partai politik lewat iklan politiknya mengikat masyarakat pada janji-janji yang disertakan dengan membujuk partisipasi masyarakat dalam penciptaan makna iklan dan menjamin bahwa masyarakat mempertimbangkan kredibilitas partai politik tersebut. Keuntungan lain dari iklan politik melalui media televisi adalah kemampuan menarik perhatian pemilih terutama partai politik lain yang iklannya populer atau partai politik yang memang sudah sangat dikenal masyarakat sejak lama. Sifat dan tujuan iklan politik berbeda antara satu partai politik dengan partai politik lainya. Demikian juga masyarakat yang menjadi target suatu iklan politik juga berbeda antara suatu partai politik dengan partai politik lainnya. Beberapa keunggulan televisi sebagai media iklan politik adalah kesan realistik, yaitu sifat visual dan merupakan kombinasi warna-warna, suara, dan gerakan sehingga seakan-akan iklan-iklan di televisi nampak begitu hidup dan nyata. Masyarakat pun merespon dengan baik karena iklan politik televisi disiarkan di rumah-rumah dalam suasana serba santai atau rekreatif, maka masyarakat lebih siap dalam memberikan perhatian. Iklan politik di televisi bisa ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu terasa dan segera dapat diharapkan. Pasca-reformasi
dimana
iklim
demokrasi
mulai
terasa
sejak
dilangsungkanya pemilu 1999, iklan politik televisi mulai dilirik sebagai model 6
kampanye modern yang efektif seiring dengan kebebasan media massa. Pada pemilu 1999, pemilu 2004, dan pemilu 2009, sudah banyak beredar iklan-iklan partai politik di televisi. Seakan memang model kampanye modern ini adalah model wajib bagi partai politik peserta pemilu untuk menggunakanya. Partai politik dituntut harus bisa market oriented, yaitu bagaimana suatu partai mampu membaca pasar. Pekerjaan ini tidak mudah karena kompleksitas membaca pasar, kemudian menyusun pesan dan kemasan pesan dalam iklan politik televisi, yang tentunya akan berbeda antara kelas buruh dan profesional, misalnya. Iklan politik televisi yang canggih pada akhirnya ditentukan oleh bagaimana ia mampu memosisikan partai politik ke spektrum yang memungkinkan perolehan suara optimal. Positioning seperti ini merupakan kristalisasi dari beberapa orientasi perilaku pemilih tertentu. Intinya pesan dan makna iklan politik televisi haruslah sebagun dengan makna-makna politis tertentu yang menjadi aspirasi para pemilih dalam segmen-segmen tertentu yang menjadi sasaranya 4. Salah satu partai yang menarik untuk dikaji terkait model dan kemasan kampanye iklan politik di televisi adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Banyak penelitian tentang PKS dalam percaturan politik Indonesia pasca-reformasi. Burhanuddin Muhtadi5 mengatakan bahwa ada dilema antara suara dan syariah di PKS yang mengakibatkan dibutuhkanya strategi marketing politik yang lebih
4
Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPRD, Presiden, Gramedia, Jakarta, 2004, hlm. 188-189. 5 Lihat Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, KPG, Jakarta, 2012.
7
inklusif. Arief Munandar 6 melihat ada budaya organisasi yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan strategi yang diambil oleh PKS, yang juga berpengaruh terhadap pesan kampanyenya. Sedangkan Arief Ihsan Rathomy7 mengatakan bahwa pemikiran demokrasi PKS lebih cenderung moderat daripada Hibzut Tahrir Indonesia (HTI) sehingga juga harus disesuaikan dengan model kampanyenya. Objek penelitian skirpsi ini adalah iklan politik PKS versi “PKS itu...” yang terdapat di televisi pada Pemilu 2009. Pilihan realistis PKS dalam mengambil strategi kampanye pemilu dengan beriklan di televisi tersebut adalah agar memenangkan pemilu 2009 dengan meraih suara dari luar basis inti pendukungnya. Pilihan paling realistis agar menang pemilu adalah mengubah orientasi dari perilaku politik PKS dari partai massa ke partai elektoralis dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan elektoral dengan merangkul semua segmen pemilih dari berbagai latar belakang agama, suku, profesi, kelompok usia, jenjang pendidikan, jenis kelamin, domisili desa-kota, dan lain-lain (catch-all party) atau menjadi partai pemburu suara (vote seeking party).8 Permasalahan pergerseran tipologi PKS juga kerap andil dalam menentukan isu-isu yang disuarakan dalam proses kampanye dalam pemilu, termasuk makna dan pesan iklan politiknya di televisi pada pemilu 2009. Dengan 6
Lihat Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi untuk Gelar Doktor Sosiologi UI, 2011. 7 Lihat Arief Ihsan Rathomy, PKS & HTI: Genealogi dan Pemikiran Demokrasi, Labolatorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2007. 8 Burhanudin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, KPG, Jakarta, 2012, hlm. 222.
8
metode iklan politik yang merepresentasikan inklusivitas di televisi digunakan PKS sebagai instrumen kampanye untuk meningkatkan perolehan suara. Makna dari tanda-tanda dalam isi pesan iklan politik PKS ini memiliki keunikan yang tidak terdapat pada iklan PKS lainya ataupun iklan partai politik lainnya, dan apa makna pesan yang terkandung dalam iklan ini? Pastinya pesan iklan politik PKS versi “PKS itu...” ingin memperkenalkan PKS kepada khayak masyarakat Indonesia. Dengan menggunakan pelesetan yang lucu, tetapi bukan menghasilkan distorsi dari kepanjangan aslinya, yaitu Partai Keadilan Sejahtera, tetapi pelesetan ini mencerminkan bahwa PKS itu bisa merepresentasikan siapapun, merangkul semua segmen pemilih dari berbagai latar belakang agama, suku, profesi, kelompok usia, jenjang pendidikan, jenis kelamin, domisili desakota, dan bahkan politik aliran serta ideologi apapun. Iklan politik televisi ini ingin menunjukan bahwa PKS, walaupun memiliki stereotipe partai dakwah, tetapi tetap terbuka, moderat, dan inklusif di Indonesia. Akan tetapi, PKS pada Pemilu 2009 9 hanya memperoleh 7,89% suara nasional dengan perolehan kursi di parlemen sebanyak 57 kursi. Sangat jauh tertinggal dengan Partai Demokrat (PD) yang mengalami lonjakan sangat besar hingga memperoleh 20,81% suara dengan 150 kursi di parlemen. Padahal pada Pemilu 2004 mereka dapat dikatakan setara dalam perolehan suara.
9
Sumber KPU dalam Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for Democracy Welfars, Yogyakarta, 2011, hlm. 199-200.
9
PKS adalah partai yang ikut sebagai peserta pemilu sejak Pemilu 2004 10 dengan mendapatkan suara 7,34% secara nasional dengan 47 kursi perolehan di parlemen (DPR RI). Pada masa itu PKS belum menggunakan iklan politik secara masif seperti pada pemilu 2009. Menarik untuk dikaji karena pada Pemilu 1999 11 PK 12 hanya memperoleh 1,4% suara dengan 7 kursi perolehan di parlemen. Lonjakan drastis tersebut patut untuk diacungi jempol terkait dengan menurunya perolehan seluruh partai politik lain dari nasionalis hingga Islam, hanya PKS dan Partai Demokrat sebagai pendatang baru yang mampu mendapatkan kenaikan perolehan suara pemilih, terlebih pada pemilu 1999, PK lebih-lebih lagi belum menggunakan kampanye dalam bentuk iklan politik televisi. Apa yang menyebabkan PKS hanya mampu untuk naik 0,55% di Pemilu 2009 adalah hal menarik yang perlu untuk diteliti. Peneliti mencoba menganalisanya dengan teori semiotika dan berusaha menghubungkanya dengan hasil perolehan suara partai pada pemilu 2009. Pada Mukernas Bali 2008, PKS mengusung jargon “Bersih, Peduli, dan Profesional” bahkan membolehkan bagi wargenegara non-muslim untuk masuk sebagai anggota PKS dan sebagai calon legislatif dari PKS, terutama untuk wilayah Indonesia bagian timur. Dengan ideologi moderat dan keterbukaannya, 10
Ibid., hlm. 192. Ibid., hlm. 183-184. 12 Pada Pemilu 1999 PKS sebenarnya belum ada, tetapi direpresentasikan oleh Partai Keadilan (PK). PKS secara resmi berdiri pada 2002, sedangkan PK ikut melebur ke dalam tubuh PKS. Secara basis massa dan stakeholder, keduanya sama persis. Ketidakmampuan PK dalam meraih ambang batas elektoral harus membuatnya melebur ke PKS pada 2002. 11
10
serta dengan menggunakan model kampanye modern lewat iklan politik televisi, mengapa hasilnya hanya naik sedikit? Adakah pengaruh antara pesan dan makna dalam iklan politik dengan perolehan suara partai politik dalam pemilu? Inilah yang membuat penulis tertarik untuk memberikan pandangan serta meneliti makna-makna dari pesan iklan politik televisi PKS versi “PKS itu..” di media televisi, dan mencoba untuk mencari dampaknya bagi perolehan suara PKS pada pemilu 2009.
B
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat
ditarik dua rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana makna simbol iklan politik PKS versi “PKS itu...” di media televisi? 2. Bagaimana makna simbol potongan iklan politik PKS versi “PKS itu...” ditangkap oleh pemilih pemula dan mempengaruhi pilihan politiknya?
C
Tujuan Penelitian Merujuk pada rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui makna simbol yang terkandung dalam iklan politik PKS versi “PKS itu...” di media televisi.
11
2. Mengetahui bagaimana cara makna simbol yang disampaikan melalui empat potongan scene iklan politik PKS versi “PKS itu...” ditangkap oleh pemilih pemula. 3. Mengetahui bagaimana cara makna simbol yang disampaikan melalui empat potongan scene iklan politik PKS versi “PKS itu...” mempengaruhi pilihan politiknya.
D
Kerangka Teori
D.1
Menganalisa Simbol Semiotika Iklan Politik Televisi Tanda menurut Langer adalah stimulus yang memberikan sinyal
kehadiran tentang sesuatu yang lain 13. Littlejohn menyebutkan seorang filsuf bernama Susanne Langer untuk memberikan konsep tentang simbol tersebut. Menurut Langer, simbolisme merupakan pokok kajian utama dalam filsafat, sebab simbolisme merupakan dasar dari seluruh pengetahuan manusia dan pemahaman manusia. Simbol, menurut Langer, adalah “instrumen” pemikiran. Semiotika, dengan demikian dirasa sangat penting karena dapat memberikan kepada kita pemahaman tentang apa yang tengah terjadi dalam sebuah pesan dan bagaimana bagian dalam pesan tersebut bekerja mempengaruhi sesuatu.
13
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Theories of Human Communication, Wadsworth, New York, 2005, hlm. 101.
12
Pawito juga menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat para ahli tersebut. Menurut Pawito 14, analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambanglambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Lebih lanjut Pawito menyebutkan bahwa teks yang dimaksud dalam kajian semiotika adalah segala bentuk sistem serta lambang (signs) baik yang terdapat dalam media massa (seperti dalam paket tayangan televisi, karikatur media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan maupun yang ada di luar media massa seperti lukisan, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu festival makanan). Dengan demikian yang menjadi fokus kajian dari semiotika adalah pemaknaan pada lambang-lambang pada teks. Semiotika sebagai salah satu kajian media massa telah menjadi pendekatan penting dalam teori media sejak akhir tahun 1960-an, sebagai hasil pengembangan Roland Barthes15. Menurut Roland Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah seperangkat yang dipakai untuk berusaha mencapai jalan di dunia ini, di tengahtengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat di campur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga 14 15
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hlm. 155. Lihat Roland Barthes, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Jalasutra, Yogyakarta, 2010.
13
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda 16. Semiotika Barthes merupakan pengembangan dari semiotika Saussure dengan menyelidiki hubungan antara tanda (signifier) dan petanda (signified) pada sebuah tanda (sign). Hubungan penanda dan petanda bukanlah kesamaan tapi ekuivalen. Bukannya yang kemudian membawa pada yang lain tetapi hubunganlah yang menyatukan keduanya 17. Eco melihat bahwa semiotika harus memasukkan teori kode dan teori produksi tanda 18. Teori-teori kode harus selalu dikaitkan dengan struktur bahasa dan tanda lain, sedangkan teori-teori produksi tanda penting untuk menjelaskan bagaimana tanda digunakan dalam interaksi sosial dan budaya. Eco menyebut proses representasi sesuatu oleh tanda dengan istilah signification atau semiosis, yang meliputi empat bagian sistem yaitu: 1. Kondisi-kondisi objek di dunia 2. Tanda-tanda 3. Daftar respon-respon 4. Seperangkat aturan-aturan persesuaian antara tanda-tanda dan objekobjek, dan antara tanda-tanda dan respon-respon.
16
Ibid., hlm. 15. Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan Indonesiatera, Magelang, 2001, hlm. 22. 18 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, 1976, hlm. 15. 17
14
Keempat hal tersebut merupakan sistem kode yang penggunaannya dapat selalu disesuaikan sesuai dengan tujuan penggunaannya19 Semiotika melihat bahwa penerima dan yang menerima tanda dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibandingkan dalam kebanyakan model proses. Bentuk fisik dari tanda yang dinamakan penanda (signifier), konsep mental yang terkait dengannya, yaitu petanda (signified) dapat dikaitkan dengan cara ikonik atau atbitrer20 Saussure sangat tertarik pada relasi signifier dengan signified dan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Minat Saussure pada relasi signifier dengan signified telah berkembang menjadi perhatian utama di dalam tradisi semiotika Eropa. Saussure membagi tanda terdiri atas signifier dan signified. Bagan 1.1 Elemen-Elemen Tanda (Makna) Saussure Sign (Tanda)
Teridiri atas Signifier (Penanda) Signified (Petanda) Sumber: Diolah dari berbagai sumber
19
Littlejohn, Theories of Human Communication, Wadhsworth Publishing Company, California, 1999, hlm. 68-69. 20 Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, Fontana, California, 1976, hlm. 43.
15
Signifier (penanda) adalah bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambar mental atau konsep sesuatu dari signifier (penanda). Hubungan antara keberadaan fisik tanda atau konsep mental tanda tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain signification ada upaya memberi makna terhadap dunia 21. Signifier dan signified adalah produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat abriter dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan, dan kultural pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara Signifier dan signified tidak bias dijelaskan dengan nalar apapun, baik pilihan bunyi-bunyian maupun pilahan untuk mengkaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud, karena hubungan yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbiter, maka signifier harus dipelajari, yang berarti ada struktural yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna22. Menurut pendekatan semiotika, sebuah peristiwa tidak dapat menujukan (signifity) dirinya sendiri. Untuk dipahami oleh manusia, maka harus dijadikan sebuah simbolis. Komunikator mempunyai pilihan-pilihan akan kode atau kumpulan simbol dalam mempresentasikan sebuah peristiwa. Pilihan tersebut akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerima. Setiap pilihan atas simbol yang digunakan adalah pilihan atas ideologi. Terdapat tiga hal penting dalam sebuah sistem tanda: 21
John Fiske, Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hlm. 66. 22 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Freming, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hlm. 126.
16
1. Tanda itu sendiri (sign). Hal ini berkaitan dengan bermacam-macam tanda yang berbeda. Tanda adalah buatan manusia dan hanya dapar dimengerti oleh orang-orang yang mempergunakan. 2. Kode (codes) atau sistem dari lambang-lambang yang disusun. Studi ini meliputi bagaimana bermacam-macam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. 3. Kebudayaan dari lambang dan kode itu beroperasi.
Tanda mempunyai dua komponen yaitu signifier dan signified. Signifier adalah aspek dari tanda, sementara signified adalah gambaran mental atau konsep hubungan antara keadaan fisik tanda dan konsep mental disebut signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberikan makna terhadap tanda (meaning making process). Hubungan antara signifier dan signified dibagi menjadi tiga bagian: 1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandai misalnya foto dan peta 2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukan adanya hubungan dengan yang ditandainya, misalnya asap adalah indeks dari api. 3. Simbol adalah sebuah tanda dan hubungan antara signifier dan signified yang semata-mata adalah karena konvensi, kesepakatan atau peraturan.
17
Barthes23 mengatakan bahwa semiotika juga digunakan untuk menerima semua sistem tanda, apapun hakekatnya dan batasnya, baik gambar, isyarat, suara musik, objek dan semua hal-hal tersebut, yang membentuk kebiasaan atau hal lain dengan adanya hubungan antara signifier dan signified untuk memberikan makna. Dalam analisis semiotika tersebut secara khusus akan menggunakan dua jenis alat analisis yaitu: (1) analisis common sense dilakukan dengan cara peneliti menganalisis pandangan dan kesan penonton iklan yang ditampilkan melalui berbagai sudut pandang dari penonton, biasanya terkait dengan perasaan penonton terhadap suatu iklan politik dan kemauan penonton untuk memilih partai politik yang beriklan setelah menonton iklan politik tersebut, dan (2) analisis interteks yaitu analisis yang dilakukan dengan cara menganalisis arti sosial dan makna yang ditangkap penonton terhadap iklan yang ditayangkan dalam media televisi. Dalam skripsi ini, objek penelitian adalah iklan politik yang ada di dalam media televisi. Iklan politik di dalam media televisi sangat kompleks, karena menyangkut berbagai macam tanda dari yang berupa gambar bergerak, suara, teks, warna, dan isi pesan itu sendiri. Analisis yang digunakan adalah merupakan analisis semiotika iklan. Analisis semiotika iklan berasumsi bahwa makna-makna iklan terbentuk oleh pencipta-penciptanya yang disampaikan keluar halaman atau layar di mana 23
Roland Barthes, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, hlm. 127.
18
tersebut dibawa. Analisis ini membentuk dan meminjam signifikasi ke pengalaman kita sendiri, partai politik yang diiklankan dan aspek-aspek dari dunia sosial kita, dalam kaitannya dengan makna yang digambarkan. Williamson24 mengatakan bahwa Iklan memiliki sebuah fungsi yaitu menjual kepada kita. Namun, memiliki fungsi lain juga, yang dipercaya menggantikan beberapa cara yang secara tradisional terisi oleh seni dan agama. Iklan menciptakan menciptakan makna simbol. Iklan meminta untuk berpartisipasi dengan cara-cara yang ideologis dalam melihat diri sendiri dan dunia 25. Analisis semiotika yang menjadi dasar penelitian ini memberikan jalan bagi peneliti untuk mempresentasikan makna simbol yang terkandung di dalam iklan politik televisi ke dalam rangakaian kata-kata atau kalimat dan gambar yang ditampilkan. Dalam membentuk kalimat dan gambar yang digunakan harus memiliki sistem agar bermakna. Sistem inilah yang disebut representasi. Representasi merupakan pengertian yang berlaku di dalam masyarakat mengenai berbagi macam fenomena sosial. Dalam kasus ini saya ingin melihat bahwa iklan politik televisi PKS versi “PKS itu...” pada Pemilu 2009 berusaha merepresentasikan citra diri politik yang inklusif di Indonesia, dan diharapkan dari representasi petanda dalam iklan politik itu dapat memengaruhi suara partai secara signifikan pada pemilu 2009.
24
Judith Williamsons, Decoding Advertising: Ideology and Meaning in Advertising, Marion Boyars, 1978. 25 Kurniawan, Op.cit, hlm. 43.
19
D.2
Berpartisipasi dalam Pemilu dan Kekuatan Citra Diri Politik Partisipasi
politik
warganegara
diperlukan
sebagai
jalan
untuk
mewujudkan hasil politik yang dirasa sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Maka beberapa ilmuwan politik seperti Sidney Verba, Schlozman, dan Henry Brady berpendapat bahwa partisipasi warganegara adalah jantung demokrasi 26. Sidney Verba dan Norman Nie mendefinisikan partispasi politik sebagai berikut: ”Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh individu-individu warga negara yang kurang lebih secara langsung bertujuan untuk mempengaruhi pemilihan aparat pemerintahan dan/atau aksi yang mereka ambil” 27. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries memberi makna partisipasi politik sebagai sebuah kegiatan warganegara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah 28. Sedang Ramlan Surbakti memberikan definisi partisipasi politik sebagai keikutsertaan warganegara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi keputusan politik29. Perkara definisi dalam ilmu sosial tidak mempunyai makna tunggal, tidak terkecuali definisi partisipasi politik. Akan tetapi semua definisi yang menyangkut
26
Syaiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta, 2007, hlm. 255. 27 Syaiful Mujani, Ibid., hlm. 256. 28 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar dalam Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta, 1982. hlm. 2. 29 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 1992. hlm. 141.
20
partisipasi politik, menurut Henry Brady dapat dicakup dengan empat konsep dasar: aktivitas atau aksi, warganegara biasa, politik, dan pengaruh 30. Partisipasi politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh warganegara biasa, bukan oleh elite pemerintahan, dengan suka rela tanpa ada unsur paksaan untuk melakukannya atau atas motif ekonomi untuk mendapatkan imbalan berupa uang. Partisipasi politik juga melibatkan segala aktivitas warganegara biasa untuk mempengaruhi hasil akhir dari proses politik yang sesuai dengan prosedur atau aturan baku, seperti pemberian suara dalam pemilu untuk memilih pemimpin politik dan partai politik 31. Di era demokrasi dgitial seperti saat ini, iklan politik televisi merupakan model kampanye modern untuk mempengaruhi partisipasi politik warganegara biasa. Hal ini memiliki korelasi untuk mempengaruhi partisipasi politik warganegara biasa dalam proses pemberian suara dalam pemilu. Tetapi kita perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi iklan politik televisi atas tindakan partisipasi politik warganegara dalam pemilu. Untuk itu ada beberapa faktor menurut Adman Nursal 32 yang termasuk pada perilaku pemilih dalam melalakukan pilihan terhadap kandidat/partai politik tertentu dalam pemilu, salah satunya adalah citra sosial.
30
Syaiful Mujani, Op.cit., hlm. 257. Lihat Syaiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007. Lihat juga Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1982. Lihat juga Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 1992. Lihat juga Deden Fathurroman dan Wawan Sobri, Pengantar Ilmu Politik, UMM Press, Malang, 2002. 32 Adman Nursal, Op.cit., hlm. 71-72. 31
21
Citra sosial mempengaruhi perilaku memilih. Hal ini menunjukkan stereotipe partai politik untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara partai politik dan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Citra sosial bisa terjadi berdasarkan banyak faktor, antara lain demografi, sosial-ekonomi, kultur, etnik, serta politis-ideologis. Citra sosial ini adalah citra diri politik yang digunakan Dan Nimmo 33 dalam melihat parameter komunikasi politik persuasif. Partisispasi politik memengaruhi perolehan suara dalam pemilu. Para pemilih yang menggunakan hak pilihnya harus memiliki referensi dalam memilih partai politik tertentu. Referensi pemilih seringkali terbentuk oleh lebih dari satu faktor yang satu sama lain sering meneguhkan. Kombinasi beberapa faktor tersebut dapat membentuk sebuah citra tertentu dalam benak pemilih. Semua preferensi tersebut tidak akan memiliki arti penting tanpa adanya media massa, khususnya televisi sebagai media populer di era modern seperti ini. Dengan menggunakan media televisi, referensi-referensi tersebut diolah dan diciptakan dalam sebuah iklan politik televisi yang memberi makna simbol tertentu sehingga mampu membentuk citra tertentu dalam benak pemilih, dan memengaruhi perolehan suara partai politik bersangkutan.
D.3
Arti Penting Komunikasi Politik dan Tipe Pemberi Suara Komunikasi politik, sosialisasi politik, citra politik, dan pendapat umum,
pada hakikatnya menuju sasaran dan tujuan untuk menciptakan partisipasi 33
Lihat Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000
22
politik
dan
kemenangan
partai
politiknya
dalam
pemilihan
umum. 34
Keikutsertaan khalayak atau rakyat dalam memberikan suara dalam pemilihan umum, merupakan konsekuensi atau efek komunikasi yang sangat penting. Kegiatan pemilu yang berkaitan langsung dengan komunikasi politik ialah kampanye dan pemungutan suara. Kampanye pemilu merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relation, komunikasi massa, dan lobi. 35 Semua kegiatan tersebut diperlukan dalam kampanye politik. Diungkapkan bahwa ternyata orang yang memberikan suara dalam pemilu adalah mereka yang terkena komunikasi politik persuasif. Sedang yang paling mudah dipengaruhi oleh kampanye politik pemilu adalah mereka yang kurang minatnya terhadap politik, dan paling sedikit minatnya terhadap kampanye politik. Dan Nimmo36 menjelaskan empat tipe pemberi suara dalam pemilu, yaitu: 1. Tipe rasional 2. Tipe reaktif 3. Tipe responsif 4. Tipe aktif
34
Anwar Arifin, Komunikasi Politik, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 130. Ibid., hlm. 134. 36 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 162-172. 35
23
Tipe pemberi suara rasional pada hakikatnya adalah pemberi suara yang rasional, yaitu aksional diri terkait dengan sifat intrinsik pada setiap karakter personal
pemberi
suara
yang
turut
memutuskan
pemberian
kepada
warganegara. Ciri orang yang rasional: (1) selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapakan pada alternatif; (2) memilih alternatif-alternatif secara sadar; (3) menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif; (4) selalu memilih alternatif yang peringkat referensinya paling tinggi; (5) selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama. Pemberi suara rasional ini berminat secara aktif terhadap politik, rajin berdiskusi dan mencari informasi politik. Serta bertindak berdasarkan prinsip yang tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan umum. Demikian juga pemberi suara rasional mampu bertindak secara konsisten dalam menghadapi tekanan dan kekuatan politik. Tipe pemberi suara reaktif adalah pemberi suara yang memiliki keterkaitan emosional dengan partai politik. Ikatan emosional kepada partai sebagai identifikasi partai, yakni sebagai sumber utama aksi diri dan pemberi suara yang reaktif. Identifikasi dengan partai meningkatkan citra yang lebih menguntungkan tentang catatan dan pengalamanya, kemampuanya, dan atribut personalnya. Dengan demikian, identifikasi dengan partai meningkatkan tabir perseptual sehingga individu dapat melihat keuntungan bagi orientasi kepartaianya. Semakin kuat ikatan partai itu, semakin dibesar-besarkan proses seleksi dan distorsi persepsinya. 24
Sedangkan tipe pemeberi suara responsif lebih dipengaruhi oleh faktorfaktor jangka pendek yang penting dalam pemilu tertentu, dibanding oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok dan atau kepada partai. Tipe pemberi suara aktif adalah pemberi suara yang terlibat aktif dalam menginterpretasikan peristiwa, isu, partai, dan personalitas dengan menetapkan dan menyusun maupun menerima, serangkaian pilihan yang diberikan. Para pemberi suara merumuskan citra politik tentang apa yang diperhitungkan oleh mereka dengan berbagai variasi. Kegiatan memberi suara pada dasarnya adalah tindakan politik yang menurut paradigma pragmatis adalah juga komunikasi politik yang mempunyai pola dan dapat diprediksi. Tindakan memberi suara dalam pemilu didasarkan pada berbagai pertimbangan perspektif dan persepsi sang pemberi suara. Perspektif menurut Fisher37 adalah sudut pandang bagi individu yang menjadi kerangka acuan dalam menilai, menanggapi, dan menindaki sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Sedangkan Rakhmat38 melihat bahwa persepsi terkait dengan pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dan Nimmo 39 juga menyebutkan tiga hal penting dalam mempersepsikan komunikasi tentang isu dan partai politik yang diterima selama kampanye, yaitu atribut, perspektif, dan persepsi pemberi suara.
37
Aubrey B. Fisher, Teori-Teori Komunikasi, Remadja Karya, Bandung, 1990, hlm. 131-138. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remadja Karya, Bandung, 1994, hlm. 64. 39 Dan Nimmo, Op.cit., hlm. 175-177. 38
25
Pemberi suara mengalihkan pilihanya kepada satu partai politik kepada partai politik lain disebabkan karena adanya atribut sosial dan demografi. Artinya, pemberi suara menjatuhkan pilihan kepada partai yang memiliki program yang berkaitan kepentingan sosial dan demografinya. Atribut sosial dan demografi menerangkan juga tentang perspektif pemberi suara terutama yang menyangkut citra diri politik. Citra diri politik mencakup citra diri politik partisan, citra diri politik kelas, citra diri politik ideologis, citra diri politik jabatan yang ideal, dan citra diri politik pribadi. 40 Citra diri politik partisan, yaitu melakukan pemberian suara tanpa terpengaruh oleh isu, kandidat, dan peristiwa. Sebagai partisan partai, ia memberikan suaranya kepada partai tersebut. sedang citra diri politik kelas, yaitu pemberi
suara
yang
mengacu
kepada
kelas
sosial
tempat
mereka
mengidentifikasikan diri dan menganggap dirinya sebagai anggotanya, seperti kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Selanjutnya citra diri politik ideologis menunjukkan bahwa para pemilih memberikan suaranya kepada partai atau kandidat yang sesuai dengan ideologi politiknya. Lain lagi dengan citra diri politik jabatan ideal baginya, citra diri ini pada umumnya mencari sifat abstrak seperti kedewasaan, kejujuran, kecerdasan, kesungguhan, kegiatan, dan energi. Sedangkan citra diri politik pribadi adalah citra diri yang memperhatikan apakah para pemimpin politik dan lembaga-lembaga tersebut dapat diandalkan, jujur, patut dipercaya, dan cepat tanggap. Hal tersebut adalah gabungan dari sifat 40
Ibid., hlm. 178-183.
26
kepahlawanan politik. Pemilih akan mencari pahlawan politik untuk dipilih menduduki jabatan tertentu seperti presiden, gubernur, dan anggota parlemen.
E
Metodologi Penelitian
E.1
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan metode analisis
semiotika. Semiotika disebut sebagai ilmu tentang tanda. Semiotika merupakan studi mengenai arti dan analisis dari kejadian-kejadian yang menimbulkan arti (meaning-producing event). Dipilih sebagai metode penelitian karena semiotika bisa meberikan ruang yang luas untuk melakukan interpretasi terhadap iklan sehingga pada akhirnya bisa didapatkan makna yang tersembunyi dalam sebuah iklan. Metode analisis pendekatan semiotika bersifat interpretatif kualitatif, maka secara umum teknik analisis datanya menggunakan alur yang lazim digunakan dalam metode penulisan kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penulisan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati 41.
Penelitian
kualitatif
biasanya
menggunakan
teknik
pengumpulan dan analisa data yang bersifat tidak kuantitatif, dan bertujuan
41
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 23.
27
untuk melakukan eksplorasi hubungan-hubungan sosial, dan mendeskripsikan realitas seabagaimana dialami42.
E.2
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif
dengan pendekatan analisis semiotika. Sebagai sebuah penelitian, data dalam penelitian ini adalah data kualitatif (data yang bersifat tanpa angka-angka atau bilangan),
sehingga
data
bersifat
kategori
substansif
yang
kemudian
diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, dan referensi-referensi ilmiah.
E.3
Teknik Pengumpulan Data Data merupakan segala bentuk informasi yang berhubungan dengan
tujuan pokok penelitian, oleh karena itu pemilihan data dan penyusunan teknik serta alat pengumpul data yang relevan sangat penting demi menghasilkan data yang valid dan handal. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data sangat berpengaruh terhadap objektifitas hasil penelitian. Secara teoritik terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data akan tetapi dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain:
42
Bambang Purwoko, Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial, Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogayakrta, 2002.
28
E.3.1 Pengamatan Semiotika Iklan Dalam penelitian ini peneliti mempunyai dokumentasi iklan politik “PKS itu...” yang di dapat dari hasil download di internet yang kemudian ditransfer ke VCD. Iklan “PKS Itu...” kemudian dianalisa dengan menggunakan elemen-elemen makna simbol semiotika Saussure. Peneliti menggunakan sistem signifier (penanda) berupa bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambar mental atau konsep sesuatu dari signifier (penanda). Hubungan antara keberadaan fisik tanda atau konsep mental tanda tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain signification adalah upaya memberi makna terhadap dunia. Proses interpretasi peneliti menjadi penting disini, tetapi interpretasi yang dilakukan peneliti berdasarkan hasil citraan yang terdapat di iklan “PKS Itu...” dengan menggunakan kerangka elemen makna Saussure. Setelah
berhasil
memaknai
signification,
kemudian
penulis
mengubungkanya dengan faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih berdasarkan hasil FGD dan melihat hasil suara PKS pada pemilu 2009 yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan berbagai sumber.
E.3.2 Focus Group Discussion Terhadap Empat Potongan Scene Selain menggunakan teknik pengumpulan data berupa pengamatan terhadap iklan dengan pendekatan analisa semiotika Saussure, peneliti juga menggunakan teknik focus group discussion (FGD) sebagai alat pengumpul data 29
yang relevan. FGD telah dilakukan sebanyak 11 kali. 9 kali di Yogyakarta dan 2 kali di Jakarta. FGD dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atas pendapat dan persepsi populasi terhadap empat potongan scene iklan politik “PKS Itu...” yang sudah peneliti pilih, dan persepsi tentang PKS secara umum. Empat scene tersebut adalah scene ke-3 (Etnis/Suku Papua), scene ke-5 (Etnis Tionghoa), scene ke-7 (Perempuan Tanpa Jilbab), dan scene ke-9 (Anak Punk). 11 kali FGD yang dilakukan secara langsung melibatkan 47 informan yang dituangkan ke dalam 18 halaman rekaman kesimpulan FGD 43. 2 FGD mendiskusikan potongan scene etnis Tionghoa. 4 FGD mendiskusikan potongan etnis/suku Papua. 4 FGD mendsikusikan potongan scene anak punk. Dan 1 FGD mendiskusikan potongan scene perempuan tanpa jilbab. Tabel 1.2 Urutan FGD dan Fokus Scene Yang Didiskusikan No
Urutan FGD
1
FGD Ke-1
2
FGD Ke-2
3
FGD Ke-3
4
FGD Ke-4
5
FGD Ke-5
6
FGD Ke-6
7
FGD Ke-7
8
FGD Ke-8
43
Potongan Scene Yang Didiskusikan Scene Etnis Tionghoa
Scene Etnis/Suku Papua
Scene Anak Punk
Untuk lebih jelas tentang rekaman tertulis FGD dapat dilihat di bagian lampiran-lampiran
30
9
FGD Ke-9
10
FGD Ke-10
11
FGD Ke-11
Scene Perempuan Tanpa Jilbab
Scene etnis/suku Papua penulis pilih karena merepresentasikan masyarakat minoritas di daerah timur Indonesia. PKS adalah partai politik yang lahir di daerah perkotaan di Pulau Jawa dengan basis massa kalangan kampus yang berdomisili di perkotaan. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa PKS banyak memenangkan Pilkada di daerah-daerah di mana karakteristik perkotaan ada di situ. Sehingga, scene etnis/suku Papua ini merupakan sebuah titik ekstrem dan kebalikan dari representasi PKS yang tidak umum. Gambar 1.1 Empat Potongan Scene Yang Didiskusikan di FGD
31
Perlu diketahui juga bahwa citraan penanda dua orang wajah khas daerah timur Indonesia (Papua), di mana mayoritas masyarakat di sana adalah nonmuslim, merupakan strategi perluasan basis massa yang ekstrem bagi partai yang memilih Islam sebagai ideologi gerakanya, maupun penguatan opini dan image dalam iklan ini44, bahwa PKS multikultur. Oleh karena itu, patut dicermati apa pendapat pemilih pemula terhadap fenomena potongan scene iklan tersebut. Kemudian, scene etnis Tionghoa penulis pilih karena kekhasan etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang di Indonesia. Jauh sebelum PKS dan bahkan Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, mereka sudah eksis dalam kegiatan ekonomi dengan mempertahankan budaya khas mereka. Kekerasan yang dilatarbelakangi faktor kecemburuan sosial, dan budaya chauvinisme oknum mayoritas di Indonesia pada etnis Tionghoa juga mempengaruhi benak masyarakat atas citraan etnis tersebut. Di dalam iklan “PKS Itu...”, dengan citra diri politik etnis Tionghoa, maka PKS sedang menunjukan hal yang multikultur dan tidak biasa dalam budaya kampanye politik di Indonesia. Merupakan sesuatu yang tidak umum ketika kampanye suatu partai politik Islam menggunakan etnis Tionghoa sebagai salah satu katalisator untuk merepresentasikan minoritas yang memiliki sejarah khusus. Perlu diketahui pula bahwa di dalam potongan scene etnis Tionghoa ini, terdapat petanda dengan teks yang mengatakan “PKS itu: Partai Keberuntungan 44
Budi Setyono, Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum, AdGoal.com., Jakarta, 2008, hlm. 27.
32
Saya”. Kepercayaan pada keberuntungan (kehokian) merupakan kepercayaan yang sangat tidak diakui PKS sebagai partai dengan basis Islam Tarbiyah. Dengan menggunakan petanda teks seperti itu, PKS bahkan menggeser kepercayaan demi perluasan basis suaranya terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam suatu paket tanda-tanda pesan atau teks 45 yang bukan merujuk pada identifikasi khas PKS. Sesuatu yang menarik dan patut untuk dikaji lebih mendalam. Kemudian, penulis mengambil potongan scene perempuan tanpa jilbab. Scene menggambarkan seorang perempuan yang mengatakan “PKS itu: Penuh Kasih Sayang”. PKS sebagai partai politik yang berideologi Islam, dengan penggunaan aktris perempaun tanpa mengenakan jilbab adalah sebuah fenomena penting dan tidak khas PKS. PKS seolah seperti bukan partai politik yang memiliki basis pendukung massa Islam. Scene perempuan tanpa jilbab dinilai mampu menjadi penguat persepsi atas tujuan politik jangka pendek PKS dalam mempengaruhi pemilih pemula. Scene tersebut sangat tidak PKS, ditambah dengan make up yang tebal, yang bukan budaya basis pendukung PKS yang islami. Penggunaan pada potongan scene anak punk juga menunjukkan bahwa PKS ingin menyasar kelompok punk yang pada hakikatnya bersifat apatis terhadap masalah politik prosedural, apalagi masalah Islam politik. Oleh karena itu, mengingat fungsi iklan sebagai kampanye untuk memberikan efek persuasif
45
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hlm. 155.
33
dan efek pengingat46. Setidaknya, dalam potongan scene anak punk ini terdapat citraan yang tidak mungkin dapat dilupakan tentang karakteristik anak punk dalam sebuah iklan partai politik Islam. Scene anak punk merupakan sebuah keestreman pemilihan citraan diri politik yang luar biasa. Mengingat kelompok punk di Indonesia tidak memiliki konotasi positif di sebagian mayoritas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi etika dalam berpakaian dan berperilaku. Sesuatu yang menarik dan unik di mata masyarakat, tentunya menimbulkan pro dan kontra bagi penerima pesan. Dalam proses FGD, terdapat beberapa hal yang didiskusian dengan populasi 47. Hal yang didiskusikan tersebut adalah: a) Pertama, peneliti mendiskusikan soal apa yang dipikirkan populasi di FGD terhadap potongan scene yang menjadi fokus FGD. Peneliti ingin mendapat data terkait persepsi populasi dengan melihat scene gambar yang menjadi fokus FGD. b) Kedua, setelah diskusi tuntas pada tahap persepsi, peneliti mengarahkan diskusi terkait sejauh mana scene gambar yang ditunjukkan kepada populasi dalam menentukan pilihan politiknya. Peneliti ingin mendapat data tentang sejauh mana populasi untuk memilih PKS dengan melihat scene gambar yang didiskusikan di FGD.
46
Sunarto, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 283. 47 Untuk lebih jelas tentang rekaman tertulis FGD dapat dilihat di bagian lampiran-lampiran.
34
c) Ketiga, peneliti juga mengarahkan diskusi untuk mengetahui terkait dengan pengetahuan umum populasi atas PKS. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui latar belakang penggambaran penjelasan atas persepsi populasi terhadap persoalan yang didiskusikan. d) Keempat, peneliti melemparkan pertanyaan terkait faktor apa yang membuat populasi menentukan pilihan politik populasi. Faktor yang menentukan pilihan politik populasi tersebut menjadi data penting untuk mendukung argumen tentang perubahan perilaku politik pemilih pemula di Indonesia.
Sebagian besar populasi FGD bukanlah kader PKS. Populasi FGD terdiri atas mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Univeristas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Sanata Dharma, Akademi Ilmu Komputer (AMIKOM), dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Peserta FGD terdiri mulai dari angkatan 2013 hingga angkatan 2008. Tabel 1.3 Profil Peserta FGD Universitas
Fakultas
Angkatan
1
Universitas Gadjah Mada
MIPA
2012
2
Universitas Gadjah Mada
MIPA
2012
3
Universitas Gadjah Mada
Farmasi
2012
4
Universitas Gadjah Mada
Kedokteran
2012
5
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2009
6
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2009 35
7
Universitas Gadjah Mada
Kedokteran Hewan
2009
8
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2009
9
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2009
10
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2008
11
Univeritas Pembangunan Veteran
Teknik
2009
12
Univeritas Pembangunan Veteran
Teknik
2009
13
Univeritas Pembangunan Veteran
Pertanian
2008
14
Universitas Gadjah Mada
Hukum
2010
15
Universitas Sanata Dharma
Ekonomi
2013
16
Universitas Gadjah Mada
Geografi
2009
17
Universitas Gadjah Mada
Geografi
2009
18
Universitas Gadjah Mada
Teknologi Pertanian
2011
19
Universitas Gadjah Mada
Sekolah Vokasi
2010
20
Universitas Gadjah Mada
Teknik
2009
21
Universitas Gadjah Mada
Sekolah Vokasi
2010
22
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2011
23
Universitas Gadjah Mada
Ilmu Budaya
2009
24
Universitas Gadjah Mada
Biologi
2012
25
Universitas Negeri Jakarta
Teknik
2010
26
Universitas Negeri Jakarta
Bahasa dan Seni
2012
27
Universitas Negeri Jakarta
Teknik
2009
28
Universitas Negeri Jakarta
Bahasa dan Seni
2010
29
Universitas Gadjah Mada
Kehutanan
2011
30
Universitas Gadjah Mada
Sekolah Vokasi
2010
31
Universitas Gadjah Mada
Ekonomi dan Bisnis
2010
32
Universitas Gadjah Mada
Ekonomi dan Bisnis
2011
33
Universitas Gadjah Mada
Biologi
2012
34
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2011
35
Universitas Gadjah Mada
Psikologi
2010
36
Akademi Ilmu Komputer
Teknologi Informatika
2009
37
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2012 36
38
Universitas Gadjah Mada
Kedokteran
2012
39
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2011
40
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2010
41
Universitas Negeri Jakarta
Bahasa dan Seni
2009
42
Universitas Negeri Jakarta
Ilmu Pendidikan
2010
43
Universitas Negeri Jakarta
Ilmu Pendidikan
2010
44
Universitas Gadjah Mada
Sekolah Vokasi
2011
45
Universitas Gadjah Mada
Kehutanan
2011
46
Universitas Gadjah Mada
Sekolah Vokasi
2012
47
Universitas Gadjah Mada
Fisipol
2009
Peneliti mengambil sampel mahasiswa terutama dengan batasan dari angkatan 2013 hingga angkatan 2008 yang merupakan pemilih kategori pemula. Peneliti ingin mengetahui persepsi pemilih pemula sebagai masukan analisa terhadap iklan “PKS Itu...” diluar analisa subyektif peneliti sendiri atas analisa semiotika yang dilakukan pada seluruh scene iklan. Hal tersebut penting mengingat mayoritas pemilih adalah pemilih awam, yang salah satu kategorinya adalah pemilih pemula, untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. Jumlah populasi FGD dan volume data yang berhasil dikumpulkan tersebut melebihi perkiraan peneliti pada saat akan memulai penelitian. Ketika itu peneliti sempat mengkhawatirkan kesediaan populasi untuk memberikan informasi saat FGD berlangsung dan menjawab dengan menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan secara terbuka. Ternyata kekhawatiran tersebut tidak
37
terbukti di lapangan. Sebaliknya, secara umum seluruh populasi memberikan informasi dengan antusias. Dalam setiap FGD, peneliti menggunakan satu fokus scene. Hal ini dilakukan untuk memperdalam diskusi seputar makna di balik scene tersebut. Karena alasan mengambil empat scene khusus dari empat belas scene, sudah menjadi teknik dalam pengambilan data dengan cara sample. Peneliti menggunakan potongan empat scene iklan politik “PKS Itu...” dalam bentuk gambar, bukan video. Peneliti menggunakan gambar sebagai pemudah untuk menunjukkan scene pada setiap FGD yang dilakukan karena keterbatasan teknis dan kemampuan peneliti. Akan tetapi, scene yang sesungguhnya berupa video hanya berdurasi 2 detik saja, sehingga tidak akan mendistorsi makna yang dimaksud setiap scene apabila dikonversi dalam bentuk gambar. Titik tekan pada scene bukan pada cerita pada scene, karena per scene tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain, bahkan di dalam setiap scene sendiri tidak ada persambungan makna yang berbeda atau hanya memiliki makna tunggal. Titik tekan semiotika scene ada pada citraan latar belakang, aktor/aktris yang digambarkan, dan teks yang tercantum di dalam scene. Teknik pengumpulan data FGD ini memiliki keterbatasan terkait dengan konteks waktu empat scene iklan disajikan peneliti. Ketika FGD ini dilakukan pada periode Juli 2013, sedangkan scene iklan yang peneliti sajikan telah diterbitkan PKS pada medio semester pertama 2009. Tetapi, secara substansi yang berbicara soal konten, maka konteks waktu menjadi tidak memiki relevansi yang tidak 38
terlalu signifikan karena konten empat scene ini terkait dengan budaya citra diri politik yang ingin ditunjukkan, sehingga masih relevan untuk ditanyakan terkait dengan persepsi pemilih pemula dalam forum-forum FGD yang digelar.
E.3.3 Wawancara Untuk mempertajam seputar ke-PKS-an, maka peneliti juga menggunakan teknik wawancara dengan pengurus PKS di tingkat pusat. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan yang dilakukan antara pewawancara (interviewer) dan yang diwawancara (interviewee) 48. Untuk melakukan pengklasifikasian mengenai macam-macam wawancara dan salah satunya adalah wawancara yang terstruktur dan wawancara yang tidak terstruktur 49. Wawancara terstruktur mengharuskan pewawancara menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sedangkan wawancara tidak terstruktur digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, dan pandangan ahli. Peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur. Narasumber dalam penelitian ini adalah Bapak Agus Purnomo dan Bapak Andi Rahmat. Keduanya merupakan anggota DPR RI 2009-2014 dari Fraksi PKS. Wawancara
48 49
Lexy J.Moleong, Op.cit., hlm. 135. Ibid., hlm. 138.
39
dilakukan di sela-sela kegiatan yang diisi oleh kedua narasumber sewaktu datang ke Yogyakarta, dan peneliti mendiskusikan hal-hal terkait masalah penelitian.
E.3.4 Studi Pustaka Untuk mempertajam analisa, peneliti juga mencarian literatur-literatur untuk mencari informasi yang penting dan mengumpulkan data-data yang diperoleh yang dapat disesuaikan dengan teori-teori yang ada.
E.4
Teknik Analisa Data Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisa data merupakan proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan lapangan. Dalam penelitian ini dianjurkan melakukan analisa data dan menafsirkan data dilakukan setiap selepas dari lapangan tanpa menunggu semua data yang diperlukan terkumpul. Penajaman teori dan konfirmasi teori perlu juga dilakukan ketika penelitian sedang berlangsung50. Analisa data dimulai dengan menelaah semua data yang tersedia dari berbagai sumber. Data tersebut berasal dari wawancara, rekaman FGD, catatan
50
Ibid., hlm. 163.
40
hasil pengamatan semiotika, dan dokumen resmi organisasi. Kemudian melakukan reduksi data dengan cara membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha untuk membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan kemudian dikategorisasikan. Kategori-kategori itu dilakukan sambil membuat koding. Tahap akhir dari analisa data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data 51.
51
Ibid., hlm. 190
41