1 BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di dalam dunia kerja, perubahan dan tantangan terus berganti seiring dengan perkembangan industri. Keadaan ini menuntut sebuah perusahaan untuk selalu produktif. Sebuah perusahaan dapat terus bertahan jika memiliki sumber daya manusia yang baik. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah aset utama yang menjadi pelaku aktif dalam setiap aktivitas perusahaan. SDM, atau biasa disebut karyawan perusahaan, akan mampu bekerja dengan baik apabila memiliki kondisi fisik dan psikologis yang prima. Kondisi ini dapat meningkatkan gairah karyawan dalam bekerja sedangkan kondisi yang tidak prima dapat memicu berbagai kerugian. Salah satu dampak dari kondisi fisik dan psikologis yang tidak prima adalah kecelakaan kerja. Silalahi & Silalahi (1995) mendefinisikan kecelakaan kerja sebagai setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Terjadinya kecelakaan dalam bekerja salah satunya disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan karyawan karena merasa ahli dan belum pernah mengalami kecelakaan. Kelalaian tersebut mendapat reinforcement dari lingkungan sehingga terus dilakukan, dan dipicu juga oleh manajer yang tidak mempedulikan keselamatan kerja karyawan (Silalahi & Silalahi, 1995). Menurut UU No. 1 Tahun 1970 bahwa kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak terduga dan tidak dikehendaki dalam aktivitas kerja. Kejadian tersebut mengganggu proses yang telah diatur dalam suatu perkerjaan. Kekacauan yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, baik korban manusia maupun harta benda. Kecelakaan kerja menimbulkan banyak kerugian, seperti rusaknya alat produksi, penghentian waktu produksi, pengeluaran tambahan untuk biaya pengobatan, santunan korban, dan
2 biaya revitalisasi apabila kecelakaan menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan. Tidak hanya itu, kecelakaan kerja juga dapat menimbulkan korban jiwa. Menurut data yang dimiliki ILO, 70 persen kecelakaan yang pernah terjadi di Indonesia menyebabkan kematian atau cacat seumur hidup (Pos Sore, 2014). Biaya yang dikeluarkan untuk santunan korban kecelakaan terbilang cukup banyak. Pada 2011, klaim JKK ke Jamsostek mencapai Rp 504 miliar, sementara pada 2010 klaim santunan JKK sebesar Rp 401,2 miliar, dan pada 2009 sebesar Rp 328,5 miliar (Pos Sore, 2014). Silalahi dan Silalahi (1995) mengatakan bahwa sekitar 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh perilaku yang tidak selamat (unsafe behavior) dan hanya 20% oleh kondisi yang tidak selamat (unsafe condition). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Neal & Griffin (2002), kecelakaan kerja pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu perilaku yang tidak selamat (unsafe behavior) dan kondisi yang tidak selamat (unsafe conditions). Unsafe behavior adalah tipe perilaku yang mengarah pada kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia. Contoh dari unsafe behavior seperti: bekerja
tanpa
menghiraukan
keselamatan,
melakukan
pekerjaan
tanpa
ijin,
menyingkirkan peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya, menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh, atau keadaan emosi yang terganggu. Sedangkan Unsafe condition disebabkan karena alat-alat dan lingkungan kerja (Miner, 2005). Salah satu usaha yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi kecelakaan kerja yang terjadi akibat unsafe behavior adalah dengan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Suma’mur (1995) mengartikan Program K3 sebagai suatu usaha menjaga keselamatan. Usaha tersebut berhubungan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahan, landasan tempat kerja dan lingkungan, serta caracara melakukan pekerjaan.
3 Program K3 juga didefinisikan oleh Marian (2002) sebagai bagian dari sistem manajemen yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan serta penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. Tujuan Program K3 adalah untuk menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, efisien, dan efektif. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Ridley (2003), yang menyatakan bahwa Program K3 adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman bagi pekerja, perusahaan, masyarakat, maupun lingkungan sekitar perusahaan atau tempat kerja. Dari beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Program K3 adalah program yang dilakukan untuk memberikan rasa aman, tentram, nyaman, dan sehat bagi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan gairah dan mutu kerja karyawan. PT. Krama Yudha Ratu Motor adalah sebuah perusahaan perakitan kendaraan roda empat dan atau lebih merk Mitsubishi. Perusahaan ini telah berproduksi sejak tahun 1975 dengan rata-rata produksi 131.500 unit/tahun pada saat ini. Jumlah produksi yang terhitung cukup banyak tersebut pasti diikuti dengan resiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja yang tinggi pula. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, PT. Krama Yudha Ratu Motor sudah membuat program K3 yang sesuai dengan ISO. Namun begitu, masih saja tetap terjadi kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Adapun contoh kasusnya yaitu seorang karyawan bagian produksi cedera akibat tertimpa alat produksi yang sedang digunakannya. Kecelakaan ini terjadi karena korban tidak bekerja sesuai dengan standard operating procedure (SOP). Contoh kasus lainnya yaitu seorang karyawan mengalami cedera di kaki karena tersangkut di sebuah mobil yang sedang dirakitnya. Kecelakaan ini disebabkan korban yang tidak bekerja sesuai dengan SOP dan tidak
4 menggunakan sepatu safety dengan posisi yang benar (PT. Krama Yudha Ratu Motor, 2014). Dua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa keinginan atau intensi karyawan untuk melaksanakan Program K3 masih rendah. Ajzen dan Fishbein (1975) mengatakan bahwa hampir setiap perilaku manusia diawali dengan adanya intensi. Menurut Ajzen (2005), intensi merupakan niat untuk mencoba menampilkan suatu perilaku yang pasti. Menurut theory of planned behavior (TPB) yang dikemukakan oleh Ajzen (2005), perilaku seseorang ditentukan oleh intensi yang menentukan munculnya perilaku tersebut. Lebih lanjut, TPB menyatakan bahwa unsur determinan yang paling dekat dengan perilaku adalah intensi. Intensi memberi petunjuk tentang seberapa keras seseorang untuk mencoba atau seberapa besar usaha seseorang untuk berencana melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Intensi yang dimaksud di dalam Program K3 dapat berupa keinginan karyawan untuk bekerja sesuai dengan prosedur keselamatan. Ajzen menyatakan bahwa ada tiga konstruk yang merupakan anteseden dari intensi (2005). Ketiga konstruk tersebut yaitu attitude toward behavior (sikap terhadap perilaku), subjective norm (norma subjektif), dan perceived behavioral control (aspek kontrol perilaku yang dihayati). Sikap terhadap perilaku adalah penilaian positif atau negatif terhadap suatu bentuk perilaku. Seseorang akan berperilaku apabila perilaku tersebut dinilai positif. Sebagai contoh, seorang karyawan perakitan mobil menggunakan helm ketika bekerja. Ia menganggap bahwa perilaku tersebut adalah hal yang positif karena dapat menghindari dirinya dari kejatuhan alat-alat produksi. Konstruk yang selanjutnya adalah norma subjektif, yaitu keyakinan seseorang terhadap harapan dari orang di sekitarnya mengenai dilakukan atau tidaknya suatu perilaku. Seseorang akan melakukan suatu hal jika mereka percaya bahwa orang lain
5 menginginkan dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut. Sebagai contoh, seorang karyawan bagian produksi di sebuah perusahaan perakitan mobil akan menggunakan helm ketika bekerja. Dia percaya bahwa pimpinannya menginginkan dia melakukan hal tersebut. Konstruk yang terakhir adalah kontrol perilaku, yaitu persepsi seseorang tentang mudah atau tidaknya mewujudkan suatu perilaku tertentu. Contohnya, seorang karyawan perusahaan perakitan mobil menggunakan helm saat bekerja karena helm tersebut sudah disediakan oleh perusahaan dan tidak sulit untuk menggunakannya di saat bekerja. Sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku akan saling berhubungan menjadi faktor intensi dalam diri seseorang dan pada gilirannya akan membentuk perilaku nyata. Dominic Cooper dkk. (1994) mengatakan bahwa goal setting dapat secara efektif meningkatkan perilaku selamat pada karyawan. Goal setting meningkatkan perilaku selamat dengan cara mengalihkan perhatian dan perilaku karyawan dari halhal yang membahayakan. Hal tersebut terjadi karena karyawan bekerja untuk mencapai tujuan yang dibuat perusahaan. Dalam konteks K3, pencapaian atau tujuan yang dibuat pasti diikuti dengan tata cara atau aturan kerja yang benar dan selamat. Jadi, apabila karyawan ingin mewujudkan tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan, maka mereka pasti akan bekerja sesuai dengan aturan kerja yang mengikuti tujuan tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, Reber dkk (1984) menyatakan bahwa goal setting dapat meningkatkan perilaku selamat karyawan secara signifikan. Hal tersebut dapat terjadi karena tujuan yang dimiliki oleh masing-masing karyawan untuk kemajuan karirnya dapat memotivasi mereka untuk bekerja sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan, salah satunya adalah dengan bekerja sesuai dengan standar keselamatan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, Marsh (1995) juga menyatakan bahwa goal setting
6 dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku kerja yang selamat, setidaknya dalam tempo beberapa bulan. Goal setting adalah sebuah konsep yang terdapat di dalam domain psikologi kognitif. Asumsi dasar dari konsep goal setting adalah bahwa tujuan (goal) dapat mengatur perilaku dan tindakan seseorang secara langsung (Locke dkk., 1981). Marisano dkk. (2010) mengatakan bahwa goal setting dapat meningkatkan kinerja seseorang dalam berbagai tugas yang diberikan. Goal setting dapat meningkatkan produktivitas karena goal setting mampu mendorong individu untuk mengambil tujuan dan langkah-langkah dalam mewujudkan visi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Appelbaum dan Hare (1996) yang menyatakan bahwa goal setting dapat menstimulasi tindakan dan usaha seseorang. Goal setting mengarahkan perhatian dan perilaku seseorang, mendorong seseorang untuk mengerahkan usaha, meningkatkan ketekunan, dan memotivasi untuk mencari strategi terbaik dalam mencapai tujuan (Locke, Shaw, Saari & Latham, 1981). Sebagai contoh, seorang karyawan yang ingin karirnya berkembang dengan cepat akan melakukan berbagai strategi yang mengarahkannya untuk mencapai keinginannya tersebut. Karyawan tersebut akan bekerja dengan tekun, mengikuti segala prosedur standar perusahaan dalam bekerja, dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tidak diinginkan perusahaan. Dari penjabaran sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengkaji hubungan antara goal setting dengan intensi karyawan dalam melaksanakan Program K3. Peneliti yakin bahwa goal setting yang baik dari perusahaan berhubungan dengan intensi yang tinggi untuk melaksanakan Program K3 pada karyawan. Diharapkan, penelitian ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam kajian Psikologi.
7 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara goal setting perusahaan dengan intensi melaksanakan program K3.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dapat menambah dan memperluas kajian ilmu Psikologi, terutama Psikologi Industri dan Organisasi, yang berhubungan dengan goal setting, intensi, dan K3. 2. Manfaat Praktis Memberi informasi bagi perusahaan/organisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan program K3.