BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pernikahan dini banyak terjadi pada kelompok masyarakat miskin yang ditandai dengan pendapatan yang rendah, kurangnya pendidikan, kurangnya kesehatan, dan kurangnya aset (Oyortey & Pobi, 2003). Menikah dini di negara berkembang termasuk Indonesia berkaitan dengan aspek ekonomi, pendidikan, kependudukan dan sosio kultural. Dalam aspek pernikahan, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 melaporkan bahwa dari 6.341 perempuan usia 15-19 tahun, 12,8% dari mereka sudah menikah dan dari 6.681 perempuan usia 20-24 tahun, 59,2% diantaranya sudah menikah. Usia 15-24 tahun oleh UNFPA dianggap sebagai pemuda dan 15-19 tahun sebagai remaja akhir, sehingga jelas bahwa remaja berdasarkan SDKI 2007 menikah pada usia yang lebih muda. Menurut laporan SDKI 2007 juga, sebanyak 4,3% perempuan pada umur 15 tahun telah menikah pertama kali. Menurut UU No 1 Perkawinan tahun 1974 bahwa usia hukum minimum yang ditetapkan untuk menikah bagi perempuan 16 tahun dan 18 tahun untuk laki-laki. Untuk kasus Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di Asia Tenggara, di bagian yang paling, usia kawin untuk perempuan secara tradisional sangat rendah, dan meskipun usia kawin telah meningkat universal seluruh Tenggara
dan Asia Timur, meningkat di Indonesia telah ditandai kurang dibandingkan di banyak negara lain (Jones, 2001). Selain itu, Gokce et al. (2007) juga menemukan bahwa, sebuah penelitian menggunakan data dari 40 Demografi dan Survei Kesehatan menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan di negara-negara berkembang terus menikah sebagai remaja. Sementara pernikahan dini mengambil bentuk yang berbeda dan memiliki berbagai penyebab, salah satu masalah adalah yang terpenting. Apakah itu terjadi pada seorang gadis atau laki-laki, pernikahan dini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak ini sesudahnya, seperti telah terdaftar pada tahun 1948 sesuai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan banyak berhasil mengimplementasikan hak asasi manusia, termasuk hak untuk persetujuan bebas dan penuh untuk pernikahan. Selain itu, menegaskan persetujuan yang tidak dapat 'bebas dan penuh' ketika setidaknya salah satu pasangan sangat dewasa. Karena itu, namun, untuk samasama pria dan perempuan menikah muda, memiliki wawasan dini fisik, dampak akademik, emosional dan ekspresif, interupting kesempatan pendidikan dan prospek pengembangan individu. Untuk perempuan muda, uga, itu hanya akan sekitar diragukan lagi menyiratkan kehamilan dan melahirkan sebelum waktunya, dan diperkirakan akan mengakibatkan adanya pengabdian keluarga dan seksual lebih dari yang mereka dimiliki kekuatan (UNICEF, 2001). Perkawinan dini dan kehamilan remaja menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan perempuan karena terputusnya sekolah serta rendahnya tingkat partisipasi kerja perempuan dan pendapatan keluarga muda yang rendah. Hal ini berdampak
pada krisis keluarga dan taraf kesejahteraan yang kurang menguntungkan (Grogger & Bronars, 1993). Permasalahan remaja termasuk didalamnya masalah pernikahan dini melalui program kesehatan reproduksi remaja (WHO, 2006). Pemerintah telah menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BkkbN) dalam mengatasi permasalahan remaja dengan mengembangkan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Program KRR termasuk salah satu program pokok yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 20042009). Diharapkan melalui program ini setiap Kecamatan memiliki Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) yang dapat mengatasi dan menanggulangi permasalahan remaja termasuk pernikahan dini. Perempuan yang menikah pada usia dini mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi (Wilopo, 2005). Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Perkembangan
Penduduk
dan
Pembangunan
Keluarga
Sejahtera,
perlunya
pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Untuk mengatasi angka kelahiran tinggi dan pengendalian jumlah penduduk, BkkbN tahun 2008 meluncurkan program baru yaitu Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) (Muadz dkk, 2008). Permasalahan kesehatan reproduksi remaja termasuk pernikahan dini di Indonesia masih dijumpai pada daerah pedesaan. Perkawinan dini di pedesaan dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan fisik, ekonomi dan sosial budaya
masyarakat (Hanum, 1997). Median usia kawin pertama Indonesia berada pada usia 19,8 tahun, sedangkan median usia kawin pertama di pedesaan adalah 17,9 tahun (BPS & ORC Marco, 2007). Angka ini mengindikasikan bahwa separuh dari pasangan usia subur di Indonesia menikah di bawah usia 20 tahun. Prevalensi tinggi kasus pernikahan pada usia dini tercatat di Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%). Sedangkan negara Amerika Latin dan Karabia, 29% perempuan muda menikah saat mereka berusia 18 tahun. Secara umum pernikahan dini lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki, sekitar 5% anak laki-laki menikah sebelum mereka berusia 19 tahun (Fadlyana dkk, 2009) Penelitian di Jeddah Saudi Arabia tentang menikah usia muda dan konsekuensi kehamilan, menunjukkan 27,2% remaja yang menikah sebelum berusia 16 tahun adalah buta huruf (57,1%), atau pekerja rumah tangga (92,4%), yang berisiko 2 kali untuk mengalami keguguran spontan dan 4 kali risiko mengalami kematian janin dan kematian bayi (Shawky dkk, 2000). Penelitian Choe, Thapa, dan Achmad di Indonesia dan Nepal (2001) yang ditinjau dari segi demografis menunjukkan bahwa pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada perempuan di Indonesia terutama di pedesaan. Hal ini dikarenakan tingkat ekonomi serta pendidikan yang rendah serta faktor akses informasi yang tidak memadai. Di Indonesia pernikahan usia dini masih ada terutama di daerah pedesaan. Pusat Penelitian Kependudukan UNPAD bekerja sama dengan BkkbN Jawa Barat
melaporkan umur kawin muda di daerah pantai masih tinggi yaitu 36,7% kawin pertama antara umur 12-14 tahun, 56,7% umur 15-19 tahun dan 6,6% umur 20-24 tahun, dengan faktor yang melatarbelakangi adalah rendahnya tingkat pendidikan dan budaya (Nurwati, 2003). Terjadinya pernikahan dini tidak terlepas dari tradisi dan pandangan masyarakat terhadap pernikahan dan keluarga. Tradisi pernikahan termasuk juga usia yang diharapkan untuk menikah dan bagaimana pemilihan istri tergantung pada pandangan masyarakat terhadap sebuah keluarga yaitu mengenai peran, struktur, pola hidup dan tanggung jawab individu terhdap keluarganya. Alasan penyebab terjadinya pernikahan dini juga tergantung pda kondisi dan kehidupan sosial masyarakatnya. Terdapat dua alasan utama terjadinya pernikahan dini, pertama, pernikahan dini sebagai strategi untuk bertahan secara ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu factor utama yang menjadi tiang pondasi munculnya pernikahan dini. Pernikahan dini meningkat ketika tingkat kemiskinan juga meningkat. Penyebab kedua adalah untuk melindungi anak gadisnya. Pernikahan adalah salah satu cara untuk memastikan anak perempuan mereka terlindungi sebagai sitri, melahirkan anak yang sah dimata hokum dan akan lebih aman jika memiliki suami yang dapat menjaga mereka secara teratur (UNICEF, 2005). Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diizinkan bila laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah
menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan Keluarga Berencana. Oleh karena itu perkawinan diizinkan bila laki-laki berumur minimal 21 tahun dan perempuan minimal berumur 19 tahun, sehingga perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan bila pria kurang dari 21 tahun dan perempuan kurang dari 19 tahun. Penelitian pada masyarakat Jawa di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa faktor yang mengkondisikan berlangsungnya perkawinan di usia belia adalah rendahnya akses pada pendidikan, kemiskinan penduduk, isolasi daerah, terbatasnya lapangan pekerjaan dan rendahnya mobilitas (Hanum, 1997). Menurut Sukamdi (2005), kemiskinan penduduk erat kaitannya dengan pendidikan rendah, pendapatan rendah dan daya beli masyarakat rendah. Mereka banyak tinggal di daerah lereng bukit, pegunungan atau gunung yang memiliki tempat tinggal semi permanen. Perempuan muda dianggap sebagai beban ekonomi keluarga, oleh karena itu pernikahan dini dianggap suatu solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Pernikahan dini bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarganya dengan mendapatkan mas kawin dari pihak laki-laki (Subiantoro, 2002). Pola perkawinan masyarakat Indonesia sangat beragam, sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di masyarakat. Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan, antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka lekas-lekas menikahkan anak gadisnya dengan alasan malu kalau anaknya dianggap perawan tua (Budioro, 1978). Di negara-negara kurang berkembang, termasuk Indonesia, praktek pernikahan dini dari Pemuda dan Remaja sering umum terutama di daerah pedesaan.
Kondisi ekonomi yang buruk kadang-kadang menjadi pembenaran mengapa orang tua yang hanya sebagian dari gelar pendidikan yang lebih rendah (misalnya sekolah dasar) dengan menikahi putri mereka untuk membantu penghasilan keluarga keuangan. Ini 'praktek pernikahan dini' secara teratur pergi di daerah pedesaan yang orang tergantung terutama pada sumber daya pertanian. Mereka sangat membutuhkan anggota keluarga yang dapat mendukung pekerjaan mereka di lapangan, dan satu pilihan yang mereka dapat memperoleh adalah untuk menikah anak perempuan mereka tanpa memperhitungkan usia. Pada saat yang sama, di beberapa wilayah Indonesia, sesuai dari pernikahan dini biasa bergaul dengan budaya tradisional yang praktek ini bertujuan untuk menjaga keturunan keluarga. Para orang tua di daerah ini percaya bahwa jika anakanak lebih lama untuk menikah maka garis keturunan nenek moyang akan mati pergi karena keturunan menikah dengan orang lain. Selanjutnya, pada Dewasa Muda Indonesia Survei Kesehatan Reproduksi (SKRRI) 2007 ada informasi di mana sebagian besar responden percaya bahwa usia ideal bagi perempuan untuk menikah adalah antara 20-24 tahun. Kenyataan ini bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada kesempatan terutama untuk BkkbN dalam merumuskan
strategi
yang
optimal
untuk
mencapai
program
mereka.
SKRRI 2007 lainnya dilaporkan itu, latar belakang pendidikan responden memiliki hubungan yang kuat dalam persepsi mereka tentang pernikahan. Misalnya, sebagai laporan menunjukkan, para perempuan lebih berpendidikan, kemudian berpikir usia terbaik menikah lebih dari 25 tahun. Jadi, dalam konteks ini, profil orang dewasa
muda (misalnya pendidikan) berpengaruh cukup signifikan terhadap persepsi muda dan remaja tentang perkawinan dan preferensi anak-anak. Pendidikan mempengaruhi kesuburan melalui penundaan usia kawin, meningkatkan pengetahuan dan akses ke metode keluarga berencana yang efektif dan kemampuan pengambilan keputusan pada jumlah anak yang diperlukan. Perempuan yang berpendidikan kurang mungkin untuk menyusui daripada perempuan berpendidikan tinggi yang mempengaruhi kesuburan dalam arah sebaliknya. Variabel lain yang telah menunjukkan efek campuran pada kesuburan adalah akses ke media, status ekonomi, status kerja, agama, dan etnis (Alemayehu, et.al, 2010). Puskesmas Sei Mencirim memiliki wilayah kerja yaitu 7 desa, dengan jumlah perempuan usia subur yang berkunjung pada tahun 2011 yaitu 11216 orang (Data profil Puskesmas Sei Mencirim). Dari informasi bidan koordinator di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim, banyak ditemukan remaja yang sudah melakukan pernikahan dini dan hasil wawancara ditemukan 15 WUS yang sudah menikah pada umur < 20 tahun. Berdasarkan uraian dan penelitian terdahulu yang dikemukan di atas maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang ”Faktor-faktor yang memengaruhi usia menikah pada perempuan usia subur di wilayah kerja Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2012.”
1.2 Rumusan Masalah Permasalahan
dalam
penelitian
ini
adalah
faktor-faktor
apa
yang
memengaruhi usia menikah pada perempuan usia subur di wilayah kerja Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2012.
1.3 Tujuan Penelitian Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi usia menikah pada perempuan usia subur di wilayah kerja Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2012.
1.4 Hipotesis Penelitian Ada pengaruh sosio demografi (pendidikan, sosial ekonomi, budaya), pengetahuan, persepsi anak terhadap sikap orang tua dan nilai virginitas terhadap usia menikah pada Perempuan Usia Subur di wilayah kerja Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2012.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan bagi Puskesmas Sei Mencirim di Kabupaten Deli Serdang dalam memberikan konseling kepada masyarakat berkaitan dengan kesehatan reproduksi, khususnya perkawinan usia dini yang menyebabkan komplikasi kehamilan.
2. Bagi kalangan akademik, penelitian ini diharapkan sebagai kontribusi untuk memperkaya
khasanah
keilmuan
tentang
kesehatan
pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.
reproduksi
dan