1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Cogito ergosum, merupakan sebuah pernyataan filosofis yang memiliki arti “aku berpikir, maka aku ada”. Pernyataan ini pernah sangat populer dan menjadi jiwa dari beberapa dekade lalu. Namun, pernyataan tersebut semakin hilang makna seiring dengan kenyataan sosial yang berkembang dengan pesat di zaman modern dan direpresentasikan dengan slogan “I shop therefore I am” (Peter Stearns, 2003:9). Ungkapan tersebut bahkan telah menjadi slogan populer yang merefleksikan semangat konsumsi masyarakat modern saat ini yang tidak terlepas dari adanya sebuah perubahan dan revolusi yang terjadi dengan konsumsi produk. Dalam hal ini, iklan kemudian menjadi salah satu elemen yang penting untuk menstimulasi konsumsi pada khalayak.Philip Kotler kemudian mendifinisikan periklanan sebagai kegiatan atas sebuah produk kemudian menjadi satu hal yang wajib dilakukan oleh perusahaan terkait dengan kegiatan pemasaran produk sampai dengan saat ini. Periklanan dianggap mampu digunakan sebagai sarana penghubung antara kepentingan pihak pemasar maupun investor dengan konsumen. Dengan menggunakan iklan, pemasar berusaha untuk menyampaikan informasi terkait produk baik itu kelebihan dari produk tersebut, fungsional
2
produk, citra dari produk, dan informasi penting lainnya yang dianggap perlu untuk diketahui oleh konsumen.1
Iklan selain digunakan sebagai sarana informasi terkait produk, secara psikologis lebih ditekankan pada aspek persuasif pesan iklan. Iklan berusaha mendistorsi, membuat produk terlihat cemerlang, serta membangun dunia imaji yang kemudian berusaha untuk mendorong khalayak pada preferensi tertentu dalam pola konsumsi produk. Iklan pun berusaha menciptakan keindahankeindahan dan harapan-harapan baru yang kemudian mampu memosisikan konsumen pada fase membutuhkan produk sebagai alat pemenuhan harapan dan imaji indah yang diciptakan iklan.Dengan semakin berkembangnya era kapitalisme saat ini, meningkatkan volume persaingan usaha khususnya untuk produk-produk sejenis di mana setiap brand berlomba untuk menjadi yang terbaik sebagai pilihan konsumen. Kondisi demikian membawa para pemilik industri dan pengiklan tidak hanya berusaha untuk menciptakan kebutuhan tapi juga berusaha menanamkan citra di benak khalayak2. Pada situasi inilah salah satu fungsi iklan diaplikasikan untuk membangun pencitraan
tertentu
di
benak
konsumen
terhadap
suatu
produk
atau
brand.Pencitraan ini dapat dilakukan dengan penggunaan endorser, demi menampilkan diferensiasi dari produk kompetitor dan menjaga identitas merek 1
Philip Kotler. Principles of Marketing. New Jersey : Prentice Hall Inc. 1999 hal 114 – 115 2 Royan, F. M. Marketing Selebrities : Selebriti dalam Iklan dan Strategi Selebriti Memasarkan Diri Sendiri. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2004 hal 12
3
(brand identity) agar tetap dimaknai khalayak sasaran sesuai dengan yang diharapkan.Fungsi endorser – dari kalangan yang telah dikenal masyarakat luasmendukung dan mengangkat citra produk sesuai dengan kebutuhan merek. Seperti ditulis David A. Aaker dalam bukunya Building Strong Brands (1996) 2, peran setiap endorser berbeda-beda. Ada yang diperlukan untuk asosiasi merek, citra merek, loyalitas merek, atau untuk pengenalan merek, semuanya tergantung pada situasi.3 Terdapatbanyak teori dan praktik yang memperlihatkan bahwa penggunaan endorser dalam iklan dapat meningkatkan perhatian dan publisitas publik terhadap merek atau produk yang diiklankan. Selain itu, endorser dapat pula membentuk brand attitude dan purchase intentions, yang pada gilirannya dapat menghasilkan citra atau sinergi yang kuat antara karakter endorser dan produk/merek yang diiklankan.4 Iklan sebagai salah satu konten pada media massa, memiliki andil cukup besar dalam membentuk maupun memperkuat citra dalam masyarakat. Salah satu yang paling sering didengungkan adalah citra dari objek keperempuanan. Selama ini perempuan selalu dijadikan sebagai objek dalam menciptakan sebuah realitas dari produk yang diiklankan. Perempuan senantiasa menjadi objek tatapan (fethisisme) bagi kaum lelaki. Persaingan yang begitu ketat antar brand dari produk semakin
3
Dyah Hasto Palupi & Teguh Sri Pambudi, Advertising That Sells. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hal. 269 4 Roy Goni, Playing To Win, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2007, Hal. 179
4
berusaha menampilkan bahwa perempuan itu harus tampil menawan, cantik, putih, dan memiliki kesempurnaan tubuh yang tiada tandingannya. Selama bertahun-tahun konsep fethisisme atau perasaan senang terhadap objek yang ditampilkan, banyak direpresentasikan melalui iklan produk-produk kecantikan dan perawatan kulit perempuan yang saling bersaing. Para model iklan „dipoles‟ sedemikian rupa pada bagian-bagian tertentu yang mampu menonjolkan keindahannya dengan maksimal mulai dari gaya berpakaian, gerak tubuh, tata rias, sampai pada ekspresi wajah bersih, berbadan tinggi kurus, kulit halus dan mengkilap, rambut panjang terurai. Konstruksi citra inilah yang kemudian membentuk gambaran ideal seorang perempuan cantik di mata lelaki. Berbicara mengenai kecantikan, dan objek tatapan pada seorang perempuan, tidak terlepas dari fenomena terjadinya revolusi sosial dalam masyarakat masa kini.
Definisi
feminin
berubah-ubah
sesuai
dengan
perbedaan
realitas
sosiokultural yang melatarbelakangi lahirnya faham tersebut, dan perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para feminis itu sendiri. Dalam iklan, perempuan seakan memiliki tempat tersendiri, khususnya untuk menimbulkan awareness di benak khalayak terhadap produk yangdiiklankan. Dalam industri periklanan di Indonesia, hampir sebagian besar iklan memunculkan sebuah strategi dan metode perencanaan dalam menciptakan citra maupun image perempuan yang diperkuat lewat iklan yang menampilkan keindahan bentuk tubuh, maupun kemolekan tubuh perempuan dengan harapan
5
khalayak dapat memaknainya sebagai nilai positif dan kemudian pemaknaan yang dimilikinya mendorong untuk mengonsumsi produk sebagai sebuah kebutuhan . Penggunaan objek figur perempuan dalam hal ini, menurut para praktisi periklanan keberadaan perempuan dalam iklan bagaikan sesuatu yang tak dapat terhindarkan. Sementara bagi sebagian orang lainnya berpendapat bahwa menyertakan perempuan dalam iklan lebih merupakan eksploitasi atas tubuh. Melalui ekonomi politik tubuh, tanda dan hasrat, ekonomi kapitalis menjadikan tubuh perempuan hanya potongan tanda-tanda (signs) yang satu persatu menjadi komoditas melalui media iklan. Meski demikian, banyak perempuan yang terlibat dalam iklan, justru berpendapat bahwa tampilnya mereka dengan menonjolkan keindahan bagian-bagian tubuhnya merupakan sebuah pilihan yang otonom atas diri dan tubuhnya. Stereotip tentang perempuan sebagai sumber keindahan telah sangat meluas dalam budaya bermasyarakat, baik dalam hal definisi maupun perspektif. Dalam industri, perempuan sering dijadikan sebagai objek utama yang dianggap mampu menarik khalayak secara komersil. Perempuan sering dijadikan sebagai model, objek tatapan, dan objek rangsangan bagi kaum laki-laki (Widyatma, 2006: 174). Perempuan kini tak hanya menjadi objek iklan yang dikhususkan untuk wanita semata, melainkan kini telah merambah pada produk dengan segmentasi khalayak terbesar laki-laki. Menurut Johnston dalam Linda J. Busby mengatakan, pada dasarnya, perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan dalam budaya
6
patriarki. Perempuan „dituliskan‟ melalui pembentukan stereotip dan mitos bahwa ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan; begitulah akhirnya perempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya dominan. Karena itu, dalam bidang seni dan juga teks film, representasi perempuan terutama bukanlah suatu tema atau persoalan sosiologis seperti yang sering dipikirkan, melainkan sebuah tanda yang sedang dikomunikasikan.5 Stevie Jackson dan Jackie Jones (2009: 1) pun mengatakan hal serupa. Dimana kita secara historis hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki, perempuan lebih sering dijadikan objek ketimbang pencipta pengetahuan. Akibatnya, banyak hal yang diwariskan sebagai pengetahuan objektif mengenai dunia sebenarnya dihasilkan oleh kaum laki-laki dan dibingkai oleh posisi mereka yang khas sebagai laki-laki. Seperti pada beberapa produk lelaki yang menampilkan model perempuan, baik sebagai model utama atau hanya sampingan semata. Dalam kasus ini salah satunya adalah iklan kopi. Jika ditelusuri, budaya kopi berasal dari Arab di abad 16, dimana para pria berkumpul, berbincang, dan memainkan banyak permainan. Seiring dengan menyebarnya kopi ke Eropa, Amerika, termasuk Asia, budaya tersebut pun menyebar. Para kaum intelek sering berkumpul di kedai-kedai kopi mendiskusikan pencerahan dan menyusun revolusi.6
5 6
Linda J. Busby. Sex Role Research on The Mass Media, Journal of Communication. http://www.nescafe.co.id/budaya_kopi
7
Dan kini, minum kopi semakin berkembang menjadi gaya hidup. Bukan hanya di kota besar, di pedesan pun gairah minum kopi semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan peningkatan presentase penikmat kopi.Menurut data yang dimuat dalam poskotanews.com, penikmat kopi mengalami peningkatan sebesar 7% setiap tahunnya. Nah, jika dilihat disini, seakan beralih yang tadinya sosok perempuan sebagai „ratu rumah tangga‟, kini sosok perempuan menjadi simbol untuk menciptakan citra tertentu. Sejalan dengan citra baru perempuan dalam iklan, semakin banyak pula perempuan dilibatkan sebagai pembawa pesan iklan. Hal inilah yang kemudian mendorong produk-produk yang memiliki pangsa pasar laki-laki menggunakan perempuan sebagai model dalam iklannya, seperti yang dilakukan oleh iklan TOP White Coffee. Selama 2014 ini, jika diperhatikan hanya iklan TOP White Coffee lah yang minim interaksi dengan model laki-laki. Iklan TOP White Coffee versi Raline Shah ini lebih banyak menonjolkan tubuh, gerak badan, serta ikon-ikon dalam iklan. Iklan ini diperankan oleh Raline Shah yang notabene merupakan salah satu finalis Puteri Indonesia tahun 2008 dan berhasil terpilih menjadi Puteri favorit. Top White Coffee yang diangkat menjadi topik dalam penelitian ini merupakan hasil dari perpanjangan merek (line extension) dari brand Top Coffee yang merupakan brand baru di bawah naungan PT. Harum Alam Segar (anak usaha Wings Food). Menurut Jessica Kartika, tim pemasaran Wings Food, Top
8
Coffee ini memiliki positioning product di pasar. Misalnya dengan mengemas produk yang merupakan perpaduan dua jenis kopi robusta dan arabika. Dengan dua keunikan karakter yang berbeda, maka proses pemilihan biji kopi, saat pemetikan, ketepatan dalam temperatur, dan penghitungan dilakukan secara tepat dan detail. Karena kerumitan dan pengolahannya yang high tech tersebut, TOP Coffee berani mengusung tagline “the art of coffee blending.” Sejak diluncurkannya produk ini ke pasaran, TOP Coffee menggunakan Iwan Fals sebagai brand ambassador dan telah meluncurkan berbagai variant produk, dan salah satunya adalah TOP White Coffee yang iklannya dibintangi oleh Raline Shah. Pada iklan TOP White Coffee yang masih tayang hingga saat ini, iklan ini menampilkan beberapa adegan. Pada adegan pertama, menampilkan gaya minum kopi Raline Shah yang begitu sensual. Mulai dari menjilat sendok, menikmati kopi, hingga mengaduk kopi, seakan-akan TOP White Coffee begitu enak diminum. Pada adegan lain menunjukkan, Raline sedang tertidur dan seorang pria hendak menciumnya. Seakan-akan Raline adalah puteri tidur yang hendak dicium oleh pangerannya. Dalam iklan tersebut terdapat penekanan yang menggambarkan bagaimana keindahan tubuh perempuan dengan tubuhnya yang curvy dan menggoda. Padahal berdasarkan karakteristik masyarakat Indonesia yang masih sangat menjunjung nilai budaya, keberadaan perempuan sebagai sosok yang menunjukkan liukan tubuhnya, melakukan kontak fisik yang terlalu intim pun dianggap kurang sopan
9
dan berkaitan dengan ajaran agama tertentu yang tidak boleh menunjukkan lekuk tubuh, terlebih untuk menarik perhatian lawan jenis. Munculnya fenomena ini terhadap iklan kopi yang memiliki konsumen terbesar pria atas penggunaan salah satu endorsernya. Dalam iklan kopi TOP White Coffee diperlihatkan konstruksi wanita yang cantik dan beberapa adegan intim dengan seorang pria. Sehingga sebuah iklan kopi kini mengalami pergeseran makna, kopi tidak hanya diperuntukkan bagi pria saja, melainkan juga menyasar kepada khalayak yang lebih luas. Iklan ini yang merupakan proses komunikasi dan juga gejala semiotika, berfungsi sebagai alat pemasaran dan pembentukan citra sekaligus. Kajian pesan perlu diadakan untuk melihat segala proses dan kecenderungan yang mungkin ada mengenai struktur iklan, sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran detail tentang makna dan tanda-tanda yang terkonstruksi pada iklan tersebut. Untuk mengkajinya duperlukan suatu analisis semiotika.Analisis semiotika adalah sebuah model dari ilmu pengetahuan social untuk memahami dunia sebagai system hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut tanda. Walaupun pada awalnya semiotika berkembang dalam ilmu Bahasa, kemudian ia berkembang pada disiplin ilmu lain, seperti ilmu social dan komunikasi. Dengan demikian, semiotika memelajari hakikat keberadaan suatu tanda.7 Analisa ini digunakan agar dapat melihat bagaimana sebenarnya proses gejala penandaan yang ada pada iklan tersebut.
7
Alex Sobur. Analisis Teks Media.Bandung : Rosda Karya. 2004. Hal. 87
10
Salah seorang pengikut Saussure, Roland barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Focus perhatian Barthes labih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap. 8 Pertama denotasi (yakni relasi antara penanda dan petanda dalam sebuah tanda, serta tanda dengan acuannya menunjuk pada makna tanda yang nyata), lalu konotasi (aspek sebuah makna atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar) dan mitos (ketika suatu tanda memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, makna denotasi tersebut akan menjadi mitos). Alasan peneliti menggunakan Roland barthes, dikarenakan adanya tahapan pemaknaan selanjutnya yang disebut konotasi. Dimana konotasi bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan.Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan dan juga dari sisi mitos/ ideologis ketika ditambahkan dengan sejarah dan budaya masyarakat. Selain itu juga, model penelitian ini sudah banyak digunakan untuk meneliti iklan melalui studi semiotika.
1.2 Fokus Penelitian
Pemaknaan pada khalayak sendiri cenderung memiliki sifat yang dinamis, dapat beubah, dan bergeser. Khalayak adalah partsipan aktif dalam membangun 8
Alex Sobur. Analisis Teks Media.Bandung : Rosda Karya. 2004. Hal. 127
11
dan menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar, lihat, sesuai dengan konteks budaya masing-masing. Isi media terutama iklan dipahami sebagai bagian dari sebuah proses dimana common sense dikonstruksikan melalui pembaca yang diperoleh dari gambar dan teks bahasa. Dalam penelitian mengenai analisis semiotika feminin pada model wanita yang diangkat oleh peneliti adalah pada level khalayak. Peneliti berasumsi bahwa khalayak adalah khalayak aktif yang mengolah dan memaknai pesan secara aktif pula. Segala kemungkinan dapat terjadi pada khalayak yaitu khalayak dapat memaknai secara dominan sesuai pesan, memaknai secara berlawanan, maupun ada bagian pesan yang diterima secara sama maupun berbeda dimana dalam hal ini pesan yang dimaknai adalah pada iklan TOP White Coffee. Dengan berpijak pada paradigma khalayak aktif dengan menerapkan model encoding-decoding serta asumsi khalayak Indonesia adalah masyarakat yang masih menjunjung ideologi klasik, peneliti tertarik untuk meneliti tentang semiotika feminin pada model wanita yang ada dalam iklan TOP White Coffee. Selain itu, peneliti ingin melihat pemaknaan yang dilakukan oleh khalayak murni dilatarbelakangi oleh diri sendiri, lingkungan, atau justru dibentuk oleh iklan yang dilihat. Fokus penelitian ini terletak pada pemaknaan terhadap model iklan TOP White Coffee yang dijadikan fokus tatapan utama oleh khalayak. Pemaknaan yang dihasilkan pun dapat berbeda sesuai dengan latar belakang sosial, kondisi sosial, pengalaman, dan pengetahuan dari sudut pandang masing-masing khalayak.
12
1.3 Tujuan Penelitian 1. Bagaimana khalayak memaknai pemandangan model wanita dalam iklan
TVCTOP White Coffee yang menjadi daya tarik bagi laki-laki? 2. Bagaimana frame of knowledge khalayak melatarbelakangi pembentukan
pemaknaan tersebut?
1.4 Manfaat Penelitian 1. Untuk mengetahui representasi semiotika feminin dalam TVC (iklan
televisi) serial Top White Coffee yang menggunakan model perempuan Acha Septriasa dan Chelsea Olivia melalui identifikasi tanda-tanda verbal dan non-verbal dalam teks iklan tersebut. 2. Untuk mengetahui dan menggambarkan frame of knowledge yang
melatarbelakangi pembentukan pemaknaan khalayak terhadap produk TOP White Coffee.