BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1LATAR BELAKANG MASALAH Studi ini mengenai interaksi dalam formulasi anggaran pendidikan yang berpihak terhadap rakyat miskin untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di era otonomi daerah. Belanja pendidikan merupakan investasi terpenting pada manusia (human capital investment). Waidl (2009)1 menjelaskan secara tegas bahwa biaya investasi sosial yang dikeluarkan dalam waktu tertentu akan mendatangkan manfaat yang tinggi di masa yang akan datang. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka tingkat kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat. Pendapat ini juga didukung oleh Lanjauw (2001)2 bahwa investasi pada pendidikan sangat penting untuk pengurangan kemiskinan. Komitmen dalam bidang pendidikan telah tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Hal ini mengartikan bahwa pendidikan 1
Waidl, Abdul dkk. 2009. Anggaran Pro Kaum Miskin Sebagai Upaya Menyejahterakan Masyarakat. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal 255. 2
Lanjauw, M. Padhan, F. Saadah, H. Sayed, R. Sparrow, “ Poverty, Edcatin and Health in Indonesia: Who Benefis from Public Spending?” World Bank Working PaperNo. 2739, December 2001.
1
adalah hak bagi semua masyarakat termasuk masyarakat miskin. Namun, sistem desentralisasi pendidikan belum mampu mengoptimalkan anggaran pendidikan yang lebih berpihak pada masyarakat miskin. Kebijakan tidak serta merta disertai anggaran yang optimal. Kabupaten Sleman yang dikenal sebagai barometer pendidikan seharusnya memperhatikan pendidikan di wilayahnya. Namun dalam studi analisis anggaran yang dilakukan dalam 30 kabupaten/kota seluruh Indonesia, diketahui belanja langsung dinas pendidikan di sleman tergolong sangat rendah dibanding daerah lainnya padahal jumlah siswanya tidak tergolong tinggi. Secara empiris data tersebut nampak sebagai berikut: Gambar 1.1 Rata-rata belanja langsung per siswa dan jumlah siswa tahun 2008-2010
Sumber: Seknas Fitra. 2010: 50. 3
3
Seknas Fitra. 2010. Anaisis Anggaran daerah: Studi terhadap Anggaran Tahun 2008-2010 di 42 Kabupaten/Kota dan 5 Provinsi di Indonesia.
2
Anggaran pendidikan di Pemerintah Kabupaten Sleman ternyata alokasi tersebut lebih banyak diperuntukkan bagi belanja tidak langsung. Kesenjangan anggaran belanja langsung dengan tidak langsung cukup tinggi seperti yang nampak pada tabel berikut: Tabel 1.1 Belanja pendidikan berdasarkan belanja langsung dan tidak langsung Tahun Belanja langsung
tidak Belanja langsung % belanja % urusan pendidikan langsung belanja Dinas Dikpora dari total APBD anggaran pendidikan 2008 328.445.376.496,00 10.784.771.700 3% 1% 2009 323.615.809.809,99 42.435.055.000 11% 5% 2010 367.087.196.294,64 48.356.505.415 12% 4% 2011 404.329.796.983,61 64.498.704.900 14% 5% 2012 613.972.406.743,34 56.647.152.375 8% 4% Sumber: diolah dari APBD Kabupaten Sleman 2008-2012 Berdasarkan data tersebut menunjukkan belanja tidak langsung selalu mengalami peningkatan sementara belanja langsung bersifat fluktuatif. Prosesentase belanja langsung dibandngkan dengan total anggaran pendidikan dari tahun 2008-2012 masih sangat minim, yaitu tertinggi 14% pada tahun 2011 dan terendah 3% pada tahun 2008. Sedangkan prosentase belanja langsung urusan pendidikan dibandingkan dengan APBD tidak pernah lebih dari 5%, bahkan nampak hanya 1% pada tahun 2008. Peruntukan belanja langsung yang memihak kelompok masyarakat miskin masih minim. Akan tetapi apabila dilihat dari tahun ke tahun sudah ada perbaikan anggaran yang lebih memihak kepada kelompok masyarakat miskin.
3
Berdasarkan tabel 1.2 nampak bahwa program, kegiatan ataupun anggaran yang dinilai berpihak masyarakat miskin dibandingkan dengan total anggaran pendidikan bersifat fluktuatif dari tahun 2008 – 2012. Program yang berpihak masyarakat miskin rata-rata mencapai 18,58%, kegiatan berpihak masyarakat miskin mencapai 8,23% dan anggaran berpihak masyarakat miskin hanya 2,7%. Prosentase alokasi anggaran tersebut dapat dikatakan berpihak masyarakat miskin minimal 5% (LGSP.2009) 4. Oleh karena itu, anggaran pendidikan di Kabupaten Sleman dapat dinyatakan tidak berpihak pada masyarakat miskin. Tabel 1.2 Prosentase kebijakan anggaran pendidikan berpihak masyarakat miskin Tahun Program Kegiatan Anggaran 2008 22,2 % 9,72% 1,3% 2009 14,29% 9,23% 1,4% 2010 18,75% 8,60% 4,6% 2011 20% 6,59% 2,9% 2012 17,64% 7% 3,4% Rata-rata 18,58% 8,23% 2,7% Sumber: diolah dari DPA SKPD Kabupaten Sleman tahun 2008-2012 Terbatasnya alokasi anggaran berpihak masyarakat miskin akan mempersulit akses bagi kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan. Kegiatan yang diperuntukkan untuk mempermudah akses pendidikan bagi masyarakat miskin di Sleman diantaranya bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA) dan beasiswa bagi siswa tidak mampu. Terdapat kesenjangan antara beban satuan operasional pendidikan (BSOP)
4
LGSP. 2009. Panduan Menilai APBD Berkeadilan.USAID.
4
dengan alokasi anggaran untuk siswa per tahun seperti nampak pada tabel 1.3 berikut: Tabel 1.3 Kesenjangan antara BSOP dengan alokasi anggaran untuk siswa per tahun Tahun 2009
Aggaran SD SMP BSOP 740.000,00 1.140.000,00 Anggaran 397.000,00 570.000,0 bagi siswa 2011 BSOP 1.700.565,00 3.562.554 Anggaran 500.000,00 800.000,00 bagi siswa Sumber: Bappeda Sleman. 2009 dan 20115:
SMA dan SMK 2.165.000,00 1.600.000,00 (SMA) 1.800.000,00(SMK) 3.986.699,00 1.600.000,00 (SMA) 1.800.000,00(SMK)
Berdasar perhitungan Rata-rata BSOP untuk jenjang pendidikan SD adalah sebesar Rp. 740.000,00 tahun 2009
dengan alokasi BOS
Rp.397.000,00 per siswa dan rata-rata BSOP tahun 2011 sebesar Rp 1.700.565 dengan alokasi BOS Rp. 500.000,00. Rata-rata BSOP untuk jenjang pendidikan SMP adalah sebesar Rp. 1.140.000,00 tahun 2009 dengan alokasi BOS Rp. 570.000,00 per siswa dan rata-rata BSOP tahun 2011 sebesar Rp 3.562.554,00 dengan alokasi BOS Rp.800.000,00. Sedangkan rata-rata BSOP untuk jenjang pendidikan SMA/SMK adalah sebesar Rp. 2.165.000,00 tahun 2009 dengan alokasi beasiswa tidak mampu Rp. 1.600.000,00 per siswa dan Rp 1.800.000 untuk SMK. Rata-rata BSOP tahun 2011 sebesar Rp 3.986.699 dengan alokasi beasiswa tidak mampu Rp. 1.600.000, untuk SMA dan Rp 1.800.000 untuk SMK-. Alokasi tersebut belum mampu menutupi beban
5
BSOP dari Kajian Jaminan 2009 dapat Diuduh pada http://bappeda.slemankab.go.id/kajianjaminan-pendidikan-2009/. BSOP tahun 2011 dalam profil pendidikan tahun 2012.
5
satuan operasional pendidikan (BSOP) yang masih ditanggung oleh siswa per tahun. Kesulitan bagi masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan dibuktikan secara empiris dengan
masih terdapatnya angka anak putus
sekolah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Alasan siswa putus sekolah karena faktor ekonomi juga dibuktikan oleh hasil penelitian Nurdin (2012)6. Data siswa putus sekolah di Kabupaten Sleman tahun 2009-2011 tersebut ditunjukkan sebagai berikut: Tabel 1.4 Jumlah putus sekolah berdasarkan jenis kelamin Tahun 2009 2010 2011 Sumber:
SD/MI L P ∑ 20 10 30 26 7 33 33 8 41 Diolah dari Buku 2011 dan 2012.
Data
tersebut
SMP/MTS SMA/MA/SMK L P ∑ L P ∑ 25 16 18 20 41 38 24 7 51 29 31 80 28 12 33 60 40 93 Profil Pendidikan Kabupaten Sleman tahun 2010,
menunjukkan
angka
putus
sekolah
mengalami
peningkatan dari tahun 2009-2011 di semua jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Adanya peningkatan angka putus sekolah masih menjadi persoalan di Kabupaten Sleman hingga saat ini. Dengan demikian Kabupaten Sleman belum mampu mencapai misi yang telah tertuang dalam RPJMD 2010-2014 yaitu meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan yang terjangkau bagi semua. Hal ini tidak lain dikarenakan komitmen 6
Nurdin. 2012. Dampak alokasi anggaran terhadap output pendidikan (studi pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi DIY. Magister akuntansi. FEB UGM. Tesis tidak dipublikasikan.
6
Kabupaten Sleman dalam membuat kebijakan
pelayanan pendidikan
terjangkau untuk semua belum diikuti dengan anggaran yang memadai. Menurut Waidl (2009)7 bahwa ketidakberpihakan anggaran pada kelompok miskin berpangkal pada proses formulasi anggaran. Sangat ironis bahwa Kabupaten Sleman banyak dijadikan rujukan daerah lain dalam bidang proses perecanaan dan penganggaran daerah seperti kunjungan Kabupaten Trenggalek (30 November 2012), Kota Banjar Jawa Barat (3 Desember 2012), dan lain-lain. Akan tetapi proses formulasi anggaran pendidikan di Kabupaten Sleman belum berpihak pada masyarakat miskin. Dalam proses forumlasi anggaran pendidikan terjadi interaksi antara masyarakat dengan institusi penyelenggara pemerintah daerah. Menurut Madani (2011)8 faktor yang menunjang keberhasilan formulasi anggaran yang lebih berpihak kepada kesejahteraan masyarakat akan terkait dengan interaksi antar aktor yang tercipta. Begitu pula pendapat dari Stoker (1998)9 bahwa kebijakan publik yang paling efektif adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi. Berdasarkan argument para ahli tersebut diketahui bahwa interaksi aktor akan sangat menentukan kualitas kebijakan. Dari perspektif interaksi, anggaran dilihat sebagai ruang perebutan berbagai aktor yang terlibat seperti eksekutif, legislatif dan kelompok masyarakat. Posisi masyarakat dalam penganggaran masih lemah yang
7
Waidl, Abdul dkk. 2009. Anggaran Pro Kaum Miskin Sebagai Upaya Menyejahterakan Masyarakat. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal 19. 8 Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor Dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 9 Stoker, Gerry. 1998. Gvernance as Theory: Five Propositions UNESCO.
7
seringkali menciptakan rumusan anggaran
timpang dan pengalokasikan
anggaran kurang berpihak pada masyarakat khususnya masyarakat miskin (inequity). Oleh karena itu, Adrian Fozzard (2001)10 menyatakan pendekatan alokasi anggaran yang lebih mengedepankan keadilan (equity) maka proses penganggaran dijalankan dengan interaksi principal-agent. Menurut Jane Eric Lane (2003)11 mendefinisikan interaksi principalagent adalah kolaborasi dua pihak agent & principal untuk menciptakan layanan berkualitas untuk principal, tetapi kedua pihak tersebut bukan partner atau memiliki posisi yang sama.
Principal-agent framework ini menjadi
pendekatan yang menjanjikan untuk menganalisis komitmen aktor anggaran. Berbagai penelitian terdahulu belum menjelaskan persoalan interaksi aktor yang dipandang dari interaksi principal-agent. Sebagaimana dari hasi penelitian terdahulu seperti Hermanto, (2010)12; Rosidateno Putri (2010)13; Aldy Atrian (2011)14 sebatas menjelaskan kepentingan aktor anggaran yaitu 10
Adrian Fozzard, “ The Basic Budgeting Problem: Approcahes to Resource Allocation in the Public Sector and Their Implications for Pro Poor Budgeting”, dalam CAPE – ODI Working paper 147, Juli 2001. Hal 6 11
Lane,Jane Eric. 2003b. Relevace of the principal agent framework to public policy and implementation. University of Geneva and National University of Singapore. Working Paper. Diunduh pada www.spp.nus.edu.sg/Handler.ashx?path=Data/Site/SiteDocuments/wp/2003/wp32.pdf 12
Hermanto rohman. 2011. Dinamika Politik Reformasi Anggara Pro Rakyat (Studi Kepentingan Politik Budget Akor Dalam Pembahasan APBD Prov Jatim 2010) .tesis tidak dipublikasikan. pasca sarjana S2 Ilmu Ad Negara FISIPOL UGM 13
Rozidateno Putri Hanida. 2010. Dinamika penyusunan anggaran daerah (studi tetang proses penetapan dan alokasi belanja daerah di Kabupaten Sleman ). Jurusan ilmu administrasi Negara Pascasarjana UGM. Tesis tidak dipublikasikan. 14
Aldy Artrian. 2011. Kontestasi Aktor Perumus Kebijakan Anggaran Daerah (Studi Kasus Dalam Penyusunan APBD Kota Bontang Tahun Anggaran 2010). UGM.Tesis Tidak Dipublikaikan.
8
kelompok eksekutif dan legislatif. Penelitian mengenai pro-poor budgeting telah dilakukan Fathur Rahman (2010)15 dan Harry (2009)16 menjelaskan output kebijakan anggaran yang belum berpihak pada rakyat miskin. Fenomena interaksi principal-agent yang mencuatkan masalah keagenan menarik untuk dikaji jika melihat kembali fakta yang terjadi di lapangan, terutama pada kasus formulasi anggaran pendidikan di Kabupaten Sleman. Penelitian dengan
mengambil lokus di Kabupaten Sleman
memberikan keunikan tersendiri karena termasuk daerah pendukung utama kota pendidikan dan kabupaten terbaik dalam penyelengaraan otonomi daerah.
1. 2RUMUSAN MASALAH Berangkat dari permasalah tersebut,
maka rumusan masalah yang
hendak dijawab dalam studi ini adalah Mengapa interaksi aktor dalam proses formulasi anggaran pendidikan di Kabupaten Sleman tahun 2008-2012 tidak menghasikan kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat miskin?
15
Fathur Rahman. 2010 . Pro Poor Budgeting: Studi Kasus Anggaran Sektor Pendidikan. Program Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Thesis Tidak dipublikasikan 16
Harry. 2009. Keberpihakan Kebijakan Anggaran Pemerintah Daerah Terhadap Penduduk Miskin (Studi Kasus Anggaran Bidang Kesehatan Di Kota Binjai. Program pasca sarjana magister studi kebijakan UGM. Thesis tidak dipublikasikan.
9
1. 3TUJUAN PENELITIAN Hasil penelitian ini ditujukan untuk menjawab pencarian ilmiah yaitu mengetahui interaksi aktor dalam proses formulasi anggaran pendidikan di Kabupaten Sleman tahun 2008-2012 tidak menghasikan kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat miskin. Hasil penelian ini terdapat tujuan spesifik untuk mengetahui kharakteristik interaksi aktor dan masalah keagenan dalam proses formulasi anggaran pendidikan sehingga tidak menghasilkan kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat miskin.
1. 4KEASLIAN PENELITIAN Penelitian- penelitian tentang pro-poor budgeting telah banyak dilakukan seperti Fathur Rahman (2010)17 dan
Harry (2009)18. Namun
mereka menjelaskan mengenai output kebijakan anggaran yang belum menunjukkan
keberpihakan
kepada
masyarakat.
Faktor–faktor
yang
mempengaruhi penyusunan APBD dijelaskan oleh (Benar Baik Sembiring ( 2009)19 yaitu komitmen dari seluruh komponen organisasi, penyempurnaan sistem administrasi, sumber daya yang cukup, reward dan sanksi yang jelas.
17
Fathur Rahman. 2010 . Pro Poor Budgeting: Studi Kasus Anggaran Sektor Pendidikan. Program Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Thesis Tidak dipublikasikan 18
Harry. 2009. Keberpihakan Kebijakan Anggaran Pemerintah Daerah Terhadap Penduduk Miskin (Studi Kasus Anggaran Bidang Kesehatan Di Kota Binjai. Program pasca sarjana magister studi kebijakan UGM. Thesis tidak dipublikasikan. 19
Benar Baik Sembiring ( 2009). Faktor yang mempengaruhi penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah berbasis kinerja ( studi empiris di pemkab Karo). Sekolah pascasarjana Universitas sumatera utara. Tesis dipublikasikan pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4032/1/09E01980.pdf.
10
Sedangkan Muraeni Utari (2009)20 menjelaskan penganggaran masih didasarkan pada anggaran tahun sebelumnya, bukan didasarkan pada indikator capaian kinerja yang akan dicapai. Beberapa kendala yaitu struktur SKPD belum memberikan ruang yang cukup bagi penyusunan perencanaan dan penganggaran secara terintegrasi. Hasil penelitian tersebut masih sebatas mengevaluasi secara teknis kinerja penganggaran. Penelitian mengenai formulasi anggaran dalam perspektif politik telah dilakukan oleh berbagai pihak. Hermanto Rohman (2010)21
menjelaskan
kepentingan politik budget aktor dalam pembahasan APBD Provinsi Jawa Timur 2010. Modus kepentingan eksekutif yaitu political mark up dalam belanja seperti tunjangan gaji dan tunjangan PNS. Modus kepentingan legislatif adalah dana plafon politik melalui bantuan hibah. Kepentingan aktor eksekutif dan legislatif yaitu meningkatnya belanja birokrasi dalam belanja daerah /belanja publik. Hal yang sama diungkapkan pula oleh Aldy Atrian (2011)22 dan Rozidateno Putri Hanida (2010)23 bahwa eksekutif masih
20
Nuraeni Utari. 2009. Studi Fenomenologis Tentang Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Pada Pemerintah Kabupaten Temanggung. Program Studi Magister Akuntansi, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Tesis tidak dipublikasikan. 21
Hermanto rohman. 2011. Dinamika Politik Reformasi Anggara Pro Rakyat (Studi Kepentingan Politik Budget Akor Dalam Pembahasan APBD Prov Jatim 2010) .tesis tidak dipublikasikan. pasca sarjana S2 Ilmu Ad Negara FISIPOL UGM 22
Aldy Artrian. 2011. Kontestasi Aktor Perumus Kebijakan Anggaran Daerah (Studi Kasus Dalam Penyusunan APBD Kota Bontang Tahun Anggaran 2010). UGM.Tesis Tidak Dipublikaikan. 23
Rozidateno Putri Hanida. 2010. Dinamika penyusunan anggaran daerah (studi tetang proses penetapan dan alokasi belanja daerah di Kabupaten Sleman ). Jurusan ilmu administrasi Negara Pascasarjana UGM. Tesis tidak dipublikasikan.
11
semena-mena dalam pengalokasian anggaran daerah untuk kepentingan birokrasinya dan terdapat fenomena brokery oleh anggota DPRD untuk kepentingan dirinya. Hasil studi tersebut memberikan kontribusi memetakan kepentingan aktor anggaran yaitu eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran. Namun studi tersebut belum menjelaskan interaksi antar
aktor
dengan
perspektif principal–agent. Principal-agent theory dapat digunakan untuk mengevaluasi peran masing-masing aktor dalam rantai penganggaran. Penelitian ini dilakukan pada setiap rantai penganggaran sehingga akan dikatahui
karakteristik
interaksi
principal-agent
di
setiap
tahapan
penganggaran yang terjadi dan persoalan keagenan yang muncul dalam interaksi principal-agent.
12