BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan merupakan bagian terpenting dari proses pembangunan nasional sebagai investasi manusia yang seharusnya mendapatkan perlindungan baik dari pemerintah maupun masyarakat suatu negara. Namun, kondisi sosial ekonomi negara dan orang tua kadang menjadikan anak tidak dapat melakukan hal-hal sewajarnya. Tak jarang anak terpaksa bekerja demi membantu keluarganya dalam memenuhi kebutuhan seharihari. Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, seharusnya secara hukum negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik sosial, politik, budaya dan ekonomi.1 Namun, pada kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang sampai saat ini masih kerap terjadi adalah keberadaan pekerja anak. Selain melanggar hak-hak anak, keberadaan pekerja anak ini juga dapat membawa dampak buruk kepada anak itu sendiri baik secara psikis maupun fisik, bahkan dikhawatirkan dapat mengganggu masa depan anak-anak yang seharusnya mendapatkan
1
Hardius Usman dan Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia : Kondisi, Determinan dan Eksploitasi (Jakarta: Grasindo, 2004), Hal 1
Universitas Sumatera Utara
kehidupan yang lebih baik. Masalah pekerja anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi pada tanggal 17 Desember 1925 yang melarang anak di usia 12 tahun untuk bekerja. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut berubah menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara No:8/1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-undang No. 12/1948 di seluruh Indonesia yang melarang anak-anak (14 tahun ke bawah) menjalankan pekerjaan macam apapun di perusahaan apa pun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.2 Pembenahan kondisi pekerja anak merupakan suatu kebutuhan terutama bagi bangsa Indonesia. Pekerja anak harus mendapat perhatian penuh pemerintah dan perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan. Saat ini negara-negara maju semakin memperhatikan kesejahteraan dan kehidupan buruh. Sebelumnya, melimpahnya sumber daya, murahnya upah buruh, dan pemakaian buruh anak di sektor industri, mungkin dapat menjadi daya tarik investor. Namun, saat pada era ekonomi global ini, pemakaian buruh murah dan pekerja anak menjadi tidak patut dalam ketenagakerjaan Meskipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Seharusnya, anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja untuk membantu perekonomian keluarga maupun demi kelangsungan hidupnya sendiri. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh White (1994), bahwa untuk kasus Indonesia, pekerja anak sebaiknya tidak usah dilarang. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan 2
Ibid, Hal 12
Universitas Sumatera Utara
pekerja anak mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anakanak sebaiknya dibolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya, dan menjaga hak-haknya agar senatiasa dipenuhi.3 Oleh karena itulah, sekalipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 1973/138 yang menetapkan batas usia minimal untuk diperbolehkan bekerja, yaitu 15 tahun, pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas. Pemerintahan Indonesia lebih memilih kebijakan untuk mentolerir keberadaan pekerja anak dengan memberikan perlindungan terhadap mereka. Akibatnya, Undang-Undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 terkesan kontroversi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 95 ayat 1 diatur mengenai larangan anak bekerja, tetapi pada pasal 96 ayat 1 disebutkan: “larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 tidak berlaku bagi anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja.” Hal ini sesungguhnya merupakan cerminan ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi keberadaan pekerja anak. Di Indonesia sendiri terdapat berbagai peraturan yang telah ditetapkan untuk melindungi pekerja anak, namun pada kenyataannya masih banyak pengusaha atau majikan yang memperlakukan pekerja anak dengan buruk, seperti: praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Pada kenyataannya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun ke tahun pekerja anak di Indonesia sebagian besar berusia antara 13-14 tahun dan bekerja rata-rata selama 6-7 jam sehari yang tentunya telah melanggar batasan 3
Ibid,. Hal 1
Universitas Sumatera Utara
waktu anak untuk dapat bekerja. Bahkan tak jarang kita lihat, pekerja anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan diperlakukan secara tidak manusiawi untuk ukuran anak-anak. Akibatnya, pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka dapat kehilangan masa dimana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa permasalahan utama disini bukanlah anak yang bekerja, melainkan adanya potensi untuk mengeksploitasi pekerja anak yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang meperlakukan pekerja anak dengan buruk dan tidak semestinya. Melihat keadaan tersebut, terlihat bahwa pendekatan hukum masih belum efektif untuk melindungi pekerja anak. Pemerintah juga melakukan upaya lain yang diharapkan selain dapat memenuhi hak-hak anak, juga diharapkan dapat mengurangi jumlah anak yang terjun ke dalam dunia kerja, yaitu program Wajib Belajar (Wajar). Akan tetapi, hak ini juga dinilai belum efektif melihat masih banyaknya anak-anak yang terjun ke dunia kerja. Keadaan ini disebabkan karena pekerja anak biasanya datang dari kelompok masyarakat yang perekonomiannya masih tertinggal. Sehingga, keluarga demikian tidak mungkin atau kesulitan untuk melakukan investasi, baik yang berbentuk modal maupun investasi sosial sehingga anak-anak terpaksa berhenti pada tingkat pendidikan rendah atau tidak mengecap pendidikan sama sekali. Dan disertai pandangan bahwa anak merupakan faktor produksi, sehingga anak dipaksa atau terpaksa bekerja. Diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak, sesungguhnya memberi arti
Universitas Sumatera Utara
bahwa bagaimanapun hak anak harus dipenuhi. Jadi, bila keluarga (orang tua) sebagai „penjamin alamiah‟ (natural supporter) terhadap seluruh kebutuhan anak gagal atau tidak mampu memenuhi, maka masyarakat, bangsa dan negaralah yang harus mengambil alih. Akan tetapi, Negara Kesatuan Republik Indonesia pun tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil alih semua tanggung jawab orang tua tersebut, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.4 Untuk mengatasi permasalahan pekerja anak tersebut, hal yang perlu dilakukan adalah dengan mencari penyebab munculnya pekerja anak. Dengan ditemukannya faktor penyebab, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat melakukan upaya guna membenahinya, sehingga anak-anak tercegah untuk terjun ke dunia kerja, atau paling tidak dapat semakin memperkecil peluang anak-anak untuk terjun ke dunia kerja pada usia dini atau memberikan perlindungan yang cukup bagi anak-anak yang terlanjur terjun ke dunia kerja serta hal ini juga diharapkan akan membantu segenap pihak yang bekompeten guna mengambil langkah-langkah untuk paling tidak mengurangi keberadaan pekerja anak. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, permasalahan besar yang dihadapi pekerja anak adalah berpotensinya terjadi eksploitasi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, permasalahan mengenai pekerja anak ini perlu dikaji lebih mendalam lagi untuk mengetahui bagaimana karakteristik pekerja anak yang berpotensi mengalami eksploitasi dan seberapa besar permasalahan tersebut di Indonesia. Mengingat banyak terjadinya tindakan eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual yang terjadi terhadap pekerja anak. Dengan teridentifikasinya karakteristik pekerja anak yang mengalami eksploitasi, sesungguhnya merupakan pendekatan lain yang dapat dijadikan petunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk membuat prioritas dalam 4
Ibid, Hal 3
Universitas Sumatera Utara
melakukan intervensi untuk dapat menghindari tindakan eksploitasi pekerja anak ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas di bab selanjutnya adalah : a.
Bagaimana pengaturan hukum tentang eksploitasi pekerja anak di Indonesia?
b.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa itu eksploitasi pekerja anak dan apa saja dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut; 2. Untuk mengetahui pengaturan hukum positif di Indonesia terkait tindak pidana eksploitasi pekerja anak. 2. Manfaat Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain : a. Secara Teoretis Diharapkan dapat mengembangkan wawasan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta memiliki kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang tindak pidana eksploitasi terhadap pekerja anak di Indonesia. b. Secara Praktis 1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan pihak lain
Universitas Sumatera Utara
yang turut membaca karya tulis ini tentang tindak pidana eksploitasi pekerja anak yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia; 2. Agar pemerintah membentuk suatu rencana dan usaha nyata untuk dapat memberantas tindak pidana eksploitasi pekerja anak yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yang telah nyatanyata melanggar hak asasi anak dan menurunkan nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia. D. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Eksploitasi Pekerja Anak di Indonesia”. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan dan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti bahwa skripsi ini benar-benar m erupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain. Bila ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama sebelum skripsi ini dibuat, saya bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Pengaturan Hukum Hukum adalah seperangkat peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang
Universitas Sumatera Utara
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan.5 Menurut
Sudikno
Mertokusumo,
hukum
adalah
kumpulan
peraturan atau kaedah yang mempunyai sisi yang bersifat umum dan normative, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.6 Konsepsi mengenai peraturan hukum itu sendiri menurut A.V. Dicey terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu : 1.
Supremasi absolut hukum atas kekuasaan yang sewenang-wenang termasuk kekuasaan bebas yang luas yang dimiliki pemerintah.
2.
Setiap warga negara adalah subyek hukum dari negara yang dilaksanakan di pengadilan umum.
3.
Hak-hak tidak didasarkan pada pernyataan garis besar konstitusional melainkan pada keputusan yang sebenarnya dari pengadilan. Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa hukum sebagai
sesuatu yang paling berkuasa di suatu negara dimana adanya supremasi hukum yang bersifat absolut di suatu pemerintahan. Segala sesuatu yang ada dalam hukum merupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak yang harus ditaati oleh semua orang. Dikatakan bahwa setiap warga negara adalah subyek hukum dari 5
J. C. T. Simonangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hal. 66 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1991), Hal. 38 6
Universitas Sumatera Utara
negara yang dilaksanakan di pengadilan umum, artinya setiap warga negara berhak melakukan perilaku hukum pada lingkup lalu lintas hukum. Subyek dari hukum pada dasarnya adalah manusia. Jadi pada hakekatnya hukum itu diciptakan untuk semua orang yang terkait di dalamnya. Pada pernyataan ketiga dikatakan bahwa hak-hak tidak didasarkan pada pernyataan garis besar konstitusional melainkan pada keputusan yang sebenarnya dari pengadilan, artinya hukum tidak akan bias memberikan hak-haknya sebelum hakim di pengadilan mengeluarkan keputusannya. Jadi berdasarkan pernyataan ini terdapat hal yang saling mempengaruhi antara hukum dan negara. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam pengertian hukum ini sendiri sangat berkaitan dengan peristiwa hukum pidana yang mana hukum pidana merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya.7 Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasardasar dan aturan untuk:8 1.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
7 8
http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_pidana diakses pada 4 Juni 2015 pukul 8.15 WIB Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi (Jakarta : Rineka Cipta), 2008, Hal 1
Universitas Sumatera Utara
2.
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam.
3.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Istilah tindak pidana sendiri berasal dari istilah yang dikenal dalam
bahasa Belanda yaitu “ strafbaar feit “. Stafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Menurut R.Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undangundang atau
peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana
diadakan tindakan penghukuman. Tidak ada persamaan pendapat dikalangan para ahli tentang syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :9 a. Harus ada suatu perbuatan manusia; b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum; 9
Mohammad Ekaputra, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkannya; d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan peristiwa tersebut. Dalam hal ini, maka setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dapat dikatakan bahwa orang tersebut merupakan pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karena itu antara peristiwa dengan orang yang menimbulkan peristiwa juga mempunyai hubungan yang erat pula. Tindak pidana merupakan suatu dasar pokok dalam menjatuhi yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Namun dalam hal ini harus berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), yaitu merupakan asas yang mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), hal ini diungkapkan oleh Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana yang berasal dari Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu :10 a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang terlebih dahulu. b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. 2. Pengertian Pekerja Anak Dalam upaya memahami pekerja anak, harus membedakan terlebih dahulu antara pekerja anak dan anak yang bekerja. Menurut Warsini, dkk anak yang bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu mengerjakan tugas-tugas di rumah, membantu pekerjaan orang tua di lading dan lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan dapat dikategorikan sebagai proses sosialisai dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :11 1.
Anak membantu orang tua untuk melakukan pekerjaan ringan;
10
Moeljatno, Op.Cit, Hal 25 Warsini, dkk., Modul Penanganan Pekerja Anak (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI : 2005), Hal 10 11
Universitas Sumatera Utara
2.
Adanya unsur pendidikan/pelatihan;
3.
Anak tetap sekolah;
4.
Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek;
5.
Terjaga keselamatan dan kesehatannya.
Sedangkan, pekerja anak menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang teribat dalam kegiatan ekonomi yang mengganggu atau menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental anak. Anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin dari orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.”12 Menurut Warsini, disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain :13 1.
Anak bekerja setiap hari;
2.
Anak tereksploitasi;
3.
Anak bekerja pada waktu yang panjang;
4.
Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan anak kecil Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka dengan gaji yang kecil tanpa mempertimbangkan perkembangan kepribadian mereka, keamanan, kesehatan dan prospek masa depan.14 3. Pengertian Eksploitasi Anak 12
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Loc.cit 14 http://id.m.wikipedia.org/wiki/pekerja_anak diakses pada 2 April 2015 pukul 10.08 WIB 13
Universitas Sumatera Utara
Pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktit serupa perbudakan, penindakan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.15 Menurut pasal 66 ayat 3 Undang-Undang No. 23 tahun 2002, adapun yang dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orang tua atau pihak lainnya, yaitu menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak.16 Berdasarkan laporan UNICEF “The state of The World’s Children 1997” UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah merupakan tindak eksploitasi apabila menyangkut :17 1.
Pekerjaan penuh waktu (full time);
2.
Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja;
3.
Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak patut terjadi;
4.
Bekerja dan hidup di jalanan dalam kondisi buruk
5.
Upah tidak mencukupi;
6.
Tanggung jawab terlalu banyak;
15
http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungananak-di-bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/ diakses pada tanggal 1 April 2015, 05.54 WIB 16 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 17 The state of The World’s Children 1997, Hal 24
Universitas Sumatera Utara
7.
Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan;
8.
Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual.
4. Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi 2 hal, yakni :18 1. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif. 2. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan hukum ini berlaku terhadap siapa saja yang merupakan masyarakat Indonesia termasuk terhadap anak-anak. Adapun pengertian perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
18
http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html diakses pada tanggal 5 Juni 2015 pukul 22.32 WIB
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.19 Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreatifitas, dan hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tidak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Menurut Soepomo dalam Asikin, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :20 1.
Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak
19
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), Hal 33 20 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), Hal 61
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
mampu bekerja di luar kehendaknya. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan pelanggaran, maka dikenakan sanksi. Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.21 Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung maksudnya kegiatan langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah anank kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan diri, dan sebagainya. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan/terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha
21
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya. 22 B. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sumber Data Adapun jenis penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif. Sedangkan sumber data penelitian ini didapat melalui : a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai segala peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Keputusan
Presiden,
seperti
Keputusan
Presiden
Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak22
Abdul Khakim, Op.cit. Hal 37
Universitas Sumatera Utara
hak Anak, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Peraturan Daerah Provinsi, seperti Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 5 Tahun 2004 Tentang
Pencegahan
dan
Penanggulangan
Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Daerah Kabupaten, seperti Peraturan Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Zona Bebas Pekerja Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Anak, serta peraturan lain yang berkaitan dengan tindak pidana eksploitasi pekerja anak ini. b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku literatur dan tulisantulisan hukum lainnya yang relevan dengan rumusan masalah. 2. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam skripsi ini untuk mengumpulkan data adalah Library Research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang diperoleh dari internet. 3. Analisis Data Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakikatnya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Data yang diperlukan dalam skripsi ini berupa data sekunder yang diperoleh melalui
Universitas Sumatera Utara
studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur tentang tindak pidana eksploitasi pekerja anak di Indonesia dalam literatur hukum pidana. Data tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan skripsi ini. C. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I
PENDAHULUAN Bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II
PENGATURAN
HUKUM
TENTANG
EKPLOISTASI
PEKERJA ANAK Bab ini membahas tentang Pengaturan eksploitasi pekerja anak dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan UndangUndang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, serta peraturandan membahas tentang
ketentuan pidana terhadap
pelaku tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam instrumen hukum positif di Indonesia BAB III
PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA Bab ini membahas tentang pekerja anak sebagai korban eksploitasi, yaitu berupa bentuk-bentuk eksploitasi pekerja anak dan faktor penyebab terjadinya eksploitasi pekerja anak, dampak dari tindak pidana eksploitasi pekerja anak serta hambatan
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dalam menanggulangi eksploitasi pekerja anak. BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini membahas tentang menguraikan tentang kesimpulan yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan, kemudian dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara