ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, difteri merupakan penyakit yang sering menyebabkan
kematian,
karena
racun
yang
dihasilkan
oleh
kuman
Corynebacterium diphtheria dapat menimbulkan kerusakan jaringan di beberapa organ tubuh terutama pada jantung, ginjal, dan jaringan syaraf. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis dan payah jantung sehingga menyebabkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus dan kematian menurun dengan drastis (WHO, 2009). Difteri merupakan penyakit yang jarang terjadi, namun masih merupakan penyakit endemik pada beberapa negara di dunia. Di Amerika Serikat tahun 1980 sampai dengan 1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteri dengan kematian 1100 kasus (CFR=2,82%). Sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebesar 200 kasus, dimana 50% dari jumlah kasus menyerang anak usia 15 tahun ke atas (Haryani, 2011). Tindakan pemberantasan kejadian difteri tersebut dapat diatasi dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphteria Toxoid (DT) (Chin, 2000). Difteri masih endemik di beberapa negara berkembang. South-East Asia
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Region (SEARO) selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan 1.194 kasus pada tahun 2012 (WHO, 2013). Jumlah kasus difteri di Indonesia dibandingkan dengan negara lain dapat dilihat pada tebel 1.1 Tabel 1.1 Laporan Kasus Difteri di SEARO Tahun 2009-2013 Bangladesh Bhutan DPR Korea India Indonesia Maldives Myanmar Nepal Sri Langka Thailand Timor Leste Total Sumber: WHO, 2013
2009 23 0 0 3529 124 0 19 0 14 0 180
2010 27 0 0 3434 385 0 4 NR 0 58 0 474
2011 11 0 0 4233 806 0 7 0 29 0 853
2012 16 0 0 2525 1194 0 19 0 63 0 1292
2013 1 0 0 NR 555 0 23 NR 0 20 1 600
Di Indonesia tahun 2012 difteri tersebar di 19 propinsi. Jumlah kasus terbanyak di Propinsi Jawa Timur dibandingkan propinsi lainnya dengan jumlah kasus sebanyak 955 kasus (79,5%), Propinsi Kalimantan Selatan 61 kasus (5,6%) dan Propinsi Sulawesi Selatan 49 kasus (4,5%). Perhatian khusus diberikan terhadap Propinsi Jawa Timur, karena sejak tahun 2000 mulai melaporkan kasus dengan jumlah kasus dan luas daerah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2012, kasus meningkat lebih dari 28 kali lipat
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dibandingkan dengan tahun 2005 (Kementerian Kesehatan, 2013). Peningkatan kejadian difteri di Propinsi Jawa Timur dapat dilihat pada gambar 1.1 JML MATI
JML KASUS
40
37
1000
955
900
35
800 30 700
66525
25
600
579
21 20
20
500
15
9
10
4 4 4
304
8
6
300 200
140
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
2 2 100 86 76 1 1 0 71 0 1 1 1 0 57 52 44 40 36 30 32 18 16 11 20 17 Difteri 0 5 15 Kematian di Propinsi Jawa Timur 0 23 Gambar 1.1 Distribusi Kejadian dan Jumlah Tahun 1990 sampai dengan Tahun 2013
1990
0
4 5 4
1991
5
400
12
Sedangkan peningkatan incidence rate (IR) dan case fatality rate (CFR) mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 disajikan pada tabel 1.2 Tabel 1.2 Jumlah incidence rate (IR) dan case fatality rate (CFR) Tahun 2009-2013 di Propinsi Jawa Timur.
Tahun Incidence Rate (IR) Case Fatality Rate (CFR) dalam % 2009 3.7 5.7 2010 7.8 6.9 2011 17.5 3 2012 25.1 3.9 2013 16.7 4.3 Sumber: Dinas kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013.
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan difteri masih menjadi masalah kesehatan karena incidence rate (IR) dan case fatality rate (CFR) di Propinsi Jawa Timur masih tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan (2013), jika ditemukan 1 kasus difteri di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat, maka wilayah
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tersebut dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Pernyataan KLB ditetapkan sesuai dengan Permenkes 1501 tahun 2010. Pemerintah Propinsi Jawa Timur menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri pada 9 Oktober 2011 dengan dasar hukum pernyataan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Penetapan status KLB dilakukan karena penyebaran kasus difteri sudah meluas di seluruh kabupaten/kota Jawa Timur (Steven, 2012). Sebaran kasus difteri dapat dilihat pada gambar 1.2
Gambar 1.2 Sebaran Kasus Difteri di Propinsi Jawa Timur Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013. Berdasarkan gambar 1.2 dapat diketahui bahwa tahun 2011, 2012, dan tahun 2013 seluruh kabupaten/kota telah terjangkiti penyakit difteri. Kejadian difteri bermula pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kecamatan Tanah
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Merah Kabupaten Bangkalan Tahun 2005, yang menyebabkan penyebaran semakin meluas ke kabupaten/kota yang lain. Tahun 2006 (17 kabupaten/kota), tahun 2007 (17 kabupaten/kota), tahun 2008 (20 kabupaten/kota), tahun 2009 (24 kabupaten/kota), tahun 2010 (31 kabupaten/kota) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013). Pada tahun 2013 Kabupaten Bangkalan merupakan penyumbang terbesar kedua kasus difteri setelah kota surabaya, yaitu sebanyak 76 kasus dengan 4 kasus meninggal (CFR=5,3%). Jumlah kasus difteri di Kabupaten Bangkalan cenderung meningkat setiap tahunnya. Tahun 2009 sebanyak 4 kasus (CFR=25%), tahun 2010 sebanyak 27 kasus (CFR=7,4%), tahun 2011 sebanyak 35 kasus (11,4%), tahun 2012 sebanyak 69 kasus (CFR=5,8%) (Dinas kesehatan Kabupaten Bangkalan, 2013). Sebaran difteri di Kabupaten Bangkalan dapat dilihat pada gambar 1.3
5
2
6 3
1
5
4
20
3
10
2 3
2
1
6 3
Gambar 1.3 Sebaran Kasus difteri di Kabupaten Bangkalan Tahun 2013.
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Berdasarkan gambar 1.3 diketahui bahwa sebaran kasus difteri tahun 2013 sudah meluas hampir seluruh kecamatan, kecuali Kecamatan Konang, Kecamatan Kokop dan Kecamatan Tragah. Dimana kasus tertinggi terjadi di Kecamatan Tanjung Bumi yaitu sebanyak 20 kasus dan Kecamatan Klampis sebanyak 10 kasus difteri. Sedangkan berdasarkan pengelompokan umur, baik tingkat Propinsi Jawa Timur maupun Kabupaten Bangkalan, sebagian besar kasus difteri terjadi pada kelompok usia ≥15 tahun, yang dapat dilihat pada gambar 1.4 dan 1.5
Gambar 1.4 Distribusi Kejadian Difteri Berdasarkan Kelompok Umur di Propinsi Jawa Timur Tahun 2005-2013. 100 90 80
10 10
0
0 28
50
70
57 75
60
5-9 th
80 32
26
50
20
≥ 15 th 10-14 th
14
30
25
10 0
58
24
50 40
40
0
0
2007
2008
2009
16
20
2010
2011
12
18
1-4 th < 1 th
24
16
7
8
2012
2013
Gambar 1.5 Distribusi Kejadian Difteri Berdasarkan Kelompok Umur di Kabupaten Bangkalan Tahun 2007-2013.
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Menurut Dittmann et al., (1998) menyebutkan bahwa di beberapa negara berkembang sebagian besar terjadi pada kelompok dewasa, hal ini terjadi akibat penurunan imunitas dari waktu ke waktu. Menurut Perkins et al., (2010) difteri dapat terjadi terhadap anak-anak dan orang dewasa dengan status imunisasi yang tidak lengkap. Menurut Fredlund et al., (2011) bahwa tingkat kepatuhan terhadap program vaksinasi anak adalah cara yang paling efektif untuk melindungi populasi terhadap kejadian difteri. Upaya menekan kasus difteri, Propinsi Jawa Timur melakukan vaksinasi massal atau kegiatan Sub PIN. Hal ini untuk meningkatkan cakupan imunisasi dasar pada bayi dengan vaksin DPT+HB. Vaksin tersebut diberikan 3 kali yakni pada usia 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Selain itu karena terjadi lonjakan kasus pada usia sekolah maka imunisasi tambahan DPT dan DT juga diberikan sesuai umur sampai usia 15 tahun. Hasil kegiatan Sub PIN Propinsi Jawa Timur pada kelompok umur >2-36 bulan cakupan DPT-HB mencapai 96,95%, kelompok umur >3-7 tahun cakupan DT mencapai 97,62%, kelompok umur >7-15 tahun cakupan Td mencapai 97,98%. Sedangkan persentase puskesmas dan desa yang yang mencapai target minimal (>95%) dapat dilihat pada tabel 1.3 Tabel 1.3 Hasil Sub PIN Difteri Berdasarkan Jumlah Puskesmas, Jumlah Desa yang Mencapai Target Minimal Di 19 Kabupaten/Kota dan Kabupaten Bangkalan Di Jawa Timur Tahun 2013 SUB PIN
% Puskesmas Mencapai Target Minimal (>=95%)
% Desa Mencapai Target Minimal (>=95%)
% Kab. Bangkalan Mencapai Target Minimal (>=95%)
Putaran 1
87,04
74,74
97,6
Putaran 2
82,65
73,65
Putaran 3 56,97 79,75 Sumber: Dinas kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013.
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
92,6 96,0
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sub PIN dilakukan pada 19 Kabupaten/Kota yaitu Surabaya, Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Pasuruan, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten dan Kota Probolinggo, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Jombang, Jember, Banyuwangi Situbondo, Bondowoso. Sembilan belas daerah ini merupakan daerah dengan jumlah kasus difteri terbanyak, dimana Propinsi Jawa Timur harus mengeluarkan anggaran kurang lebih 10 Milyar rupiah setiap kegiatan Sub Pin (Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri yang terjadi di Propinsi Jawa Timur, tidak hanya memberikan dampak terhadap masalah kesehatan tetapi juga berdampak terhadap masalah non kesehatan yaitu kerugian sosial ekonomi. Oleh karena itu, upaya penanggulangan diharapkan dapat menghentikan KLB difteri dan tidak lagi menjadi masalah pada masa yang akan datang. Upaya penaggulangan tidak hanya terbatas melakukan kegiatan imunisasi massal, tetapi juga harus berpikir secara retrospektif. Menurut Achmadi (2008) berpikir secara retrospektif adalah upaya penanggulangan KLB dengan mencari faktor risiko yang menyebabkan timbulnya penyakit. Hasil penelitian Vensya (2002) di Cianjur, faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri adalah kepadatan hunian dan sumber penularan. Menurut Setiasih (2011) di Kota Surabaya, perilaku merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian difteri. Menurut Lestari (2012) di Kabupaten Sidoarjo diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian difteri. Hasil kegiatan residensi tentang kejadian difteri tahun 2009-2013 di Kabupaten Bangkalan yang dilakukan oleh mahasiswa biostatistika
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (2013), menunjukkan bahwa kontak langsung, daerah risiko (desa terpapar), mobilitas dengan indikator transportasi melalui jalan propinsi, kepadatan hunian berpengaruh terhadap kejadian difteri.
1.2 Kajian Masalah Hasil Kegiatan Sub PIN yang dilakukan di Kabupaten Bangkalan pada putaran 1 mencapai 97,6%, putaran 2 mencapai 92,6% dan putaran 3 mencapai 96%. Hal ini memberikan dampak terhadap peningkatan imunitas dari waktu ke waktu. Meningkatnya imunitas pada kelompok usia di bawah 15 tahun, menyebabkan pergeseran usia kejadian difteri atau meningkatnya proporsi kasus difteri pada usia remaja dan dewasa. Menurut Galazka (2000) pergeseran distribusi usia kasus difteri dapat dijelaskan oleh dampak imunisasi massal yang dilakukan pada anak-anak usia kurang dari 15 tahun. Namun data historis menunjukkan bahwa pergeseran dari penyakit difteri untuk usia tua dimulai sebelum imunisasi diperkenalkan. Transmisi penularan kejadian difteri tidak hanya dipengaruhi oleh kerentanan dan kekebalan populasi. Peneliti ingin mempelajari dinamika penularan kejadian difteri di Kabupaten Bangkalan. Dinamika penularan dapat meggunakan Model SEIR yaitu proporsi individu yang rentan terhadap infeksi (Susceptible), proporsi masyarakat yang terpapar agen infeksi (Exposed), proporsi yang benar-benar terinfeksi (Infection) dan mereka yang berpindah dari populasi (Recovered) (Susanna, 2005). Sehingga dengan mempelajari dinamika penularan
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dapat
memperoleh
informasi
berdasarkan
kajian
epidemiologi
yaitu
menggambarkan kasus berdasarkan orang (siapa yang menjadi sumber penularan, interaksi epidemiologis antara kasus yang satu dengan yang lain), waktu (masa penularan), dan tempat (pola sebaran kasus difteri secara geografis dan identifikasi daerah risiko). Menurut Chin (2000), Kontak langsung dengan orang yang sakit difteri dapat menjadi carrier (orang yang terinfeksi dengan Corynebacterium diphteriae yang tidak memiliki gejala-gejala penyakit dan merupakan sumber penularan potensial). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kontak positif difteri. Menurut Kementrian Kesehatan (2013) wilayah dengan kondisi sosial dan budaya yang spesifik terkait dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri adalah adanya hubungan kekerabatan/aktivitas ekonomi yang erat dengan masyarakat daerah lain yang sedang mengalami KLB difteri. Hal ini dipengaruhi oleh faktor mobilitas penduduk. Menurut Depkes (2009), kemiskinan menjadi mata rantai yang sulit terputus karena kemampuan daya beli mereka dalam memenuhi kebutuhan makanan mempengaruhi pola konsumsi, akses pelayanan kesehatan, pendidikan yang kurang memadai dan perilaku yang kurang sehat sehingga mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi. Dari faktor lingkungan, luas lantai bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni di dalam bangunan tersebut akan menyebabkan kepadatan yang berlebih. Hal ini tidak sesuai dengan standar kesehatan, karena menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dalam ruangan, disamping itu apabila ada anggota keluarga yang terinfeksi penyakit dan
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
terjadi kontak langsung maka lebih mudah menularkan terhadap anggota keluarga lainnya. Faktor lingkungan yang lain seperti kepadatan lingkungan dan kelembaban ruangan serta variabel status ekonomi tidak dijadikan sebagai variabel yang diteliti, karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Utama (2012) tentang determinan kejadian difteri klinis di Kabupaten Bangkalan pasca sub pin difteri, menunjukkan bahwa veriabel tersebut tidak berpengaruh terhadap kejadian difteri sehingga peneliti tidak melakukan pengendalian terhadap veriabel tersebut. Variabel status imunisasi merupakan faktor yang paling dominan terjadinya difteri, namun tidak dijadikan sebagai variabel yang diteliti karena yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah penderita difteri >15 tahun sehingga catatan imunisasi tidak ada dan sulit diukur validitasnya.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika penularan kejadian difteri klinis dan apakah yang menjadi faktor determinan kejadian difteri klinis di Kabupaten Bangkalan?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1
Tujuan umum Mempelajari dinamika penularan kejadian difteri klinis dan menganalisis
faktor determinan kejadian difteri klinis di Kabupaten Bangkalan.
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1.4.2 1.
Tujuan khusus Menggambarkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian difteri klinis.
2.
Menggambarkan pola konsumsi makan responden.
3.
Mempelajari interaksi epidemiologis antara kasus difteri klinis yang satu dengan kasus difteri klinis lainnya.
4.
Menghitung rata-rata masa penularan kejadian difteri klinis.
5.
Mempelajari pola sebaran kejadian difteri klinis
6.
Mengidentifikasi daerah risiko kejadian difteri klinis berdasarkan tingkat desa.
7.
Menganalisis pengaruh sumber penularan, kontak, perilaku, mobilitas, dan kepadatan hunian terhadap kejadian difteri klinis.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1
Program surveilans difetri Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan Dengan mengetahui dinamika penularan dan determinan kejadian difteri dapat memudahkan kegiatan penanggulangan dan pemutusan mata rantai penularan penyakit difteri.
1.5.2
Masyarakat Memperoleh informasi tentang daerah risiko kejadian difteri yang harus diwaspadai serta meningkatkan motivasi masyarakat untuk meminimalisir faktor risiko KLB difteri.
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1.5.3
Peneliti Menerapkan secara langsung dalam mempelajari dinamika penularan, pemetaan dan menganalisis faktor risiko kejadian difteri.
TESIS
DINAMIKA PENULARAN ...
SISKA DAMAYANTI SARI