1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Film merupakan salah satu media penyebaran budaya yang tumbuh di mana-mana. Film juga tergolong sebagai sarana hegemoni yang efektif bagi pihak-pihak tertentu. Contohnya film-film yang diproduksi oleh Amerika selepas Perang Dunia II. Hollywood, bekerja sama dengan pemerintah, memproduksi film-film yang digunakan sebagai alat propaganda pemerintah. Jalan ceritanya terpusat pada hero –atau pihak Amerika-- yang menyelamatkan dunia dengan menumpas musuh-musuh dari negara asing. Garin Nugroho dalam bukunya Kekuasaan dan Hiburan (1998) memaparkan bahwa film merupakan hasil peleburan antara hakikat seni dan media komunikasi massa. Menurutnya, film juga bisa disebut sebagai media percampuran dari berbagai unsur seni lainnya, seperti drama, puisi, bahkan novel. Film biasa dikategorikan menurut genrenya. Kata genre sendiri berasal dari bahasa Perancis, yang berarti ’macam’ atau ’jenis’1. Sebuah film bisa juga memiliki lebih dari satu genre. Pada intinya, bukanlah hal yang mudah untuk menentukan genre dari sebuah film. Genre film terkadang ditentukan dari subjek atau temanya. Pada beberapa kasus, genre ditentukan oleh efek emosi yang ditimbulkan oleh film tersebut. Namun tidak jarang, genre ditentukan dari ikonografi sebuah film, dimana karakter-karakter atau simbol-simbol dalam film tersebut memiliki makna-makna tertentu yang telah umum diketahui banyak orang. Ada beberapa macam genre yang dikenal oleh masyarakat luas. Beberapa 1
Bersumber dari Bordwell, David and Kristin Thompson. 2008. Film Art: an Introduction. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Halaman 318.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
2
contohnya adalah genre film musikal, science-fiction, horor, cerita detektif, mythological, komedi, dan thriller. Film horor merupakan salah satu genre film yang muncul di negara penghasil film manapun juga, termasuk Indonesia. Sejak pertama kali diproduksi, film horor selalu mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat. Film bertema horor dipilih sebagai objek dalam penelitian ini karena banyak orang dari berbagai belahan dunia menggemari cerita-cerita horor. Bahkan sebagian beranggapan, bahwa semakin menyeramkan sebuah film, semakin bertambah pula daya tariknya. Para penonton mungkin harus berteriak-teriak atau bahkan mungkin bersembunyi di balik punggung rekannya sepanjang film diputar, namun para penonton pun tetap bertahan di kursi masing-masing karena rasa penasaran tumbuh seiring dengan rasa takut mereka. Film dengan tema horor berkembang dengan pesat hampir di semua negara. Film horor pertama diproduksi tahun 1896 di Perancis dengan durasi 2 menit, berjudul Le Manoir Du Diable (The Devil's Castle/The Haunted Castle)2. Amerika sendiri memproduksi film horor sejak tahun 1909an. The Ghoul yang diproduksi tahun 1933, disebut-sebut sebagai film horor Inggris yang pertama. Untuk negara Asia seperti Jepang, film horor mulai dibuat sejak tahun 1953 dengan judul Ugetsu. Sementara Tengkorak Hidoep, yang merupakan film horor pertama Indonesia, sudah diproduksi pada 1941. Selain Jepang dan Indonesia, Thailand merupakan negara Asia yang cukup terkenal dengan produksi film horornya. Film horor Thailand bersumber dari cerita-cerita lama Thailand seperti Mae Nak (hantu), Phi Kraseu (arwah gentayangan), dan lain sebagainya. Film horor pertamanya tentang Mae Nak, diproduksi pada tahun 1959. Indonesia merupakan salah satu negara yang ‘aktif’ dalam memproduksi film horor. Tidak hanya itu, beberapa sutradara juga melakukan beberapa adaptasi terhadap film horor luar negeri, baik dari sesama negara Asia maupun dari negaranegara Barat. Akan tetapi banyak pihak yang menyatakan bahwa film horor Indonesia menurun secara kualitas.
2
Bersumber dari http://www.filmsite.org/horrorfilms.html bagian pertama.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
3
Untuk itulah, penelitian ini akan menulis tentang film horor Jepang, Ringu, beserta hasil remake3 filmnya oleh Hollywood, The Ring. Walaupun banyak film horor Asia –terutama Jepang—yang telah mengalami proses remake di tangan Hollywood, Ringu dipilih sebagai objek dalam penulisan ini karena Ringu merupakan film horor Asia pertama yang menarik produser film Hollywood untuk memproduksi versi remake nya. Diambilnya tema remake dan The Ring sebagai hasil proses remake atas film Ringu untuk penelitian ini memiliki kaitan dengan proses remake yang biasa dilakukan oleh sutradara Indonesia. Seringkali sutradara Indonesia tidak memperhitungkan besarnya perbedaan antara budaya yang terkandung dalam film asing dan norma-norma serta budaya Indonesia. Bahkan terdapat indikasi bahwa apa yang lazim dilakukan oleh para sutradara Indonesia tersebut bukanlah sebuah proses remake film, melainkan menjiplak secara terang-terangan. Dengan perubahan nama tempat, tokoh utama, dan terkadang sedikit adegan baru, semua unsur budaya dan cerita dalam film asing tersebut ditransfer secara langsung ke dalam versi Indonesianya.dan pada hasil produksi, penonton tidak menjumpai credit title asal cerita. Berkaitan dengan kasus ini, Biran (2006:312)4 menegaskan: ”Berapa banyakpun sisipan, tapi kalau bagian pokok cerita aslinya masih nampak, harus disebutkan sumbernya. Paling tidak disebutkan diilhami oleh... (suggested by...)”
Penelitian ini dan penelitian-penelitian lain dengan tema yang sejenis diharapkan dapat memberikan masukan yang lebih untuk para ahli kajian budaya dalam menganalisis makna yang berada dibalik sebuah film. Para ahli kajian budaya juga dapat melihat lebih dalam bagaimana proses adaptasi dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap makna yang ingin disampaikan oleh sebuah film. .
3
Remake film merupakan proses pembuatan kembali sebuah film yang terkenal atau meraup untung banyak –baik di zamannya ataupun di negara asalnya--. Proses pembuatan kembali yang mengalami proses adaptasi tersebut bisa dari satu negara ke negara lain maupun dari satu zaman ke zaman yang lain. 4 Biran, H. Misbach Yusa. 2006. Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
4
1.1.1
Jepang dan Film Horor
Cerita-cerita supranatural yang beredar di kalangan masyarakat Jepang berdasarkan pada mitos yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya. Ross (2007)5 menyatakan bahwa cerita-cerita Jepang pertama kali ditulis pada tahun 712 dan 720. Kojiki, atau Catatan tentang perkara-perkara kuno, ditulis pada tahun 712. Sementara Nihon Soki, yang berarti Sejarah tentang Jepang, ditulis tahun 720. Kojiki memuat tentang sejarah Jepang yang bersifat supranatural. Hal-hal yang berkaitan dengan mitologi, kepercayaan, dan pemujaan semua diulas dalam Kojiki. Di lain pihak, Nihon Soki memaparkan tentang silsilah keturunan orang Jepang dan asal muasal tradisi Jepang yang bersumber dari sejarah dan legenda Jepang itu sendiri. Salah satu kepercayaan Jepang yang banyak dituliskan dalam cerita-cerita adalah tentang adanya hantu. Menurut kepercayaan masyarakat Jepang, arwah manusia yang meninggal akan meninggalkan dunia fana ini menuju ke tujuan akhirnya, yaitu dunia yang kekal. Akan tetapi, perjalanan para arwah tersebut bukan berarti tanpa halangan. Emosi yang kuat seperti benci, dendam, sedih, marah, dan cemburu yang dipendam sampai mati dapat menariknya kembali ke dunia fana ini untuk mengganggu orang-orang yang memiliki hubungan dengannya. Arwah-arwah tersebut akan terus menimbulkan kekacauan sampai nantinya ada yang membebaskan mereka, sehingga mereka dapat kembali melanjutkan perjalanan ke dunia yang kekal. Cerita supranatural mengalami kebangkitannya pada masa Edo6, walaupun sebenarnya cerita-cerita tersebut sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Pada masa Edo, cerita hantu yang banyak beredar adalah tentang hantu perempuan. Pada umumnya, mereka adalah perempuan yang tersiksa dan tidak mendapatkan perlakuan yang adil semasa hidupnya. Semasa hidupnya, para perempuan tersebut digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan tunduk sepenuhnya dalam kekuasaan suami atau keluarga mereka. Karena posisi perempuan yang 5
Ross, Catrien. 2007. Mistik Jepang. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Disebutkan dalam buku Mistik Jepang oleh Catrien Ross. Dijelaskan bahwa pada jaman Edo, cerita-cerita supernatural –yang sebenarnya sudah ada selama berabad-abad-- berkembang pesat disebabkan oleh adanya pergolakan sosial dalam masa yang cukup panjang. Ada kemungkinan hal-hal supernatural mengalami kebangkitan dianggap sebagai gambaran kegelisahan masyarakat. 6
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
5
lemah,mereka tidak mampu membela nasibnya selama mereka masih hidup. Sebagian adalah korban kekerasan suami atau keluarga mereka. Sebagian lagi adalah pelayan yang dianiaya oleh keluarganya. Itulah sebabnya setelah meninggal, mereka kembali untuk membalas dendam. Saat mereka bangkit dari kematian, para perempuan ini akan menjadi makhluk yang jauh lebih kuat dari manusia biasa. Hantu-hantu perempuan tersebut, atau yang dikenal dengan sebutan Yurei, tidak akan puas sebelum berhasil membunuh orang-orang yang telah mencelakakannya. Akan tetapi, sesungguhnya dunia supranatural tidak hanya menceritakan tentang hantu perempuan saja. Dalam teater Kabuki, hantu laki-laki bahkan menjadi karakter-karakter yang populer. Salah satunya adalah hantu Sakura Sogoro, pahlawan yang diceritakan dalam sandiwara Kabuki dengan judul Sakura Giminden (Legenda Sakura, Lelaki yang Adil). Pada intinya, pesan yang ingin disampaikan oleh cerita-cerita hantu Jepang hampir sama, yaitu semua yang berbuat jahat pasti akan mendapatkan balasannya, bagaimanapun caranya. Tiap orang yang berbuat semena-mena pada orang lain akan mendapat karma. Tidak ada yang dapat lari dari dosa yang telah mereka perbuat sendiri. Disamping hantu, masyarakat Jepang pada dasarnya juga percaya dengan adanya monster, yang biasa disebut Yokai atau Obake. Mereka merupakan simbol dari sifat buruk dan sisi gelap yang terdapat pada tiap manusia. Cerita tentang yokai menunjukkan tiap perbuatan buruk yang dapat dilakukan seseorang pada orang yang lain. Masyarakat Jepang juga mempercayai keberadaan Tengu, nama lain dari setan atau jin. Tengu adalah makhluk gaib yang jahat, bahkan dapat menyebarkan penyakit. Akan tetapi, masyarakat Jepang juga meyakini adanya dewa-dewa yang memiliki kedudukan di atas makhluk-makhluk gaib yang jahat tersebut7. Selain itu, masyarakat Jepang juga percaya bahwa beberapa binatang seperti rubah, ular, dan ikan, memiliki kemampuan ajaib. Binatang-binatang tersebut memiliki sifat-sifat yang sama persis seperti manusia, yang dalam dongengnya dimaksudkan untuk memberikan tuntunan moral pada manusia. 7
Disebutkan dalam buku Mistik Jepang oleh Catrien Ross.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
6
Disebabkan oleh kepercayaan masyarakat Jepang yang kuat terhadap halhal supranatural inilah, tidak heran kalau kemudian ketergantungan masyarakat Jepang terhadap hal-hal gaib tetap hidup seiring dengan pesatnya kemajuan industri di negara tersebut. Hantu, Dewa, hewan gaib, dan makhluk-makhluk supranatural lainnya masih dipercaya hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang yang serba modern tersebut. Salah satu perwujudan dari situasi tersebut dapat dilihat dalam film-film buatan Jepang. Contoh yang paling nyata dapat ditemukan dalam film horor Jepang. Ringu, Chakusin Ari, dan Kairo adalah contoh-contoh film yang menggabungkan Jepang sebagai negara yang percaya dengan kekuatan supranatural dengan Jepang sebagai negara yang maju pesat dalam hal ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kisah hantu dalam film-film tersebut tetap sesuai dengan pakemnya, tentang arwah penasaran yang belum dapat kembali ke dunia yang kekal karena masih ada dendam yang harus dibalas. Akan tetapi, perkembangan teknologi menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh arwah-arwah tersebut untuk melaksanakan niatnya. Ringu menceritakan hantu Sadako menggunakan video-tape dan televisi untuk menyebarkan kutukannya. Telefon merupakan alat perantara yang membawa para korban menuju kematian dalam Chakusin Ari, bahkan dalam Kairo, internet dan komputer merupakan media penebar teror.
1.1.2
Hollywood dan Film Horor
Seperti yang telah disebutkan, Hollywood telah mulai memproduksi film horor sejak tahun 1909. film horor Amerika pada umumnya menampilkan monster-monster kejam yang membunuh manusia. Salah satu contoh adalah film tentang monster Frankestein8 yang diproduksi pertama kali pada tahun 1910 dengan sutradara J. Searle Dawley dengan durasi 16 menit.
8
Monster yang dikenal muncul pertaa kali dalam novel Mary Shelley. Monster tersebut merupakan hasil ciptaan Victor Frankestein melalui eksperimen ilmiahnya (bersumber dari http://frankenstein.monstrous.com/).
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
7
Film dengan tema monster yang lain –dan telah dikenal luas—adalah vampir atau drakula. Vampir dikenal sebagai monster penghisap darah yang berkeliaran di malam hari. Seringkali, vampir digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kharisma dan juga perayu ulung. Monster lain yang juga sering muncul adalah werewolf, manusia yang berubah menjadi serigala setiap bulan purnama muncul. Zombie, monster yang bangkit dari kematian, pertama kali diproduksi tahun 1932 dengan judul White Zombie. Film independen ini disutradarai oleh Victor Halperin dengan budget yang kecil. Bukan hanya keempat jenis monster tersebut, mummy –yang sering diidentikkan sebagai monster dari Mesir—serta berbagai monster lain dapat ditemukan pada film-film horor buatan Hollywood. Binatang-binatang yang menebarkan teror dan mengancam umat manusia mulai muncul pada tahun 1933 dalam film King Kong. Setelah masa itu, film-film tentang binatang-binatang yang lain mulai bermunculan. Cerita tentang alien yang melakukan invasi juga pada akhirnya berhasil menarik minat penonton. Seusai Perang Dunia II, tepatnya seusai peristiwa Pearl Harbor9, Hollywood mulai memproduksi film horor yang sarat dengan tujuan politis. Dalam hal ini, Hollywood bekerja sama dengan salah satu badan pemerintah, OWI (Office of War Information). Return of the Vampire (1943) adalah salah satu produk yang nyata pada masa itu. Film ini menceritakan tentang Count Dracula yang berkeliaran pada saat terjadinya serangan oleh Nazi. Film dengan misi serupa, Black Dragons (1942), memposisikan Nazi dan pihak Jepang sebagai peran antagonis. Walaupun demikian, plot yang terdapat pada tiap film tersebut hampir dapat dipastikan sama. Film horor Hollywood klasik selalu berkisah tentang lakilaki yang berperan sebagai hero untuk menyelamatkan the victim, yang selalu diperankan oleh perempuan, dari cengkeraman monster yang ganas. Peran lakilaki sebagai hero tidak hanya berfungsi sebagai pelindung the victim, tapi dia juga berperan sebagai penentu nasib the victim itu sendiri. The victim, yang biasa
9
Serangan Jepang terhadap pangkalan laut Amerika pada tanggal 7 Desember 1941. serangan tersebut bertujuan untuk mencegah Amerika menghalangi perang Jepang di Asia Tenggara melawan Inggris dan Belanda (bersumber dari "Attack at Pearl Harbor, 1941," EyeWitness to History, www.eyewitnesstohistory.com (1997)).
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
8
direpresentasikan sebagai perempuan yang lemah, hanya bisa bergantung pada ‘kebaikan’ hero tanpa diberi pilihan untuk menetukan langkahnya sendiri. Film seperti ini biasanya ditutup dengan adegan bersatunya hero dan the victim setelah monster dapat dibasmi.
1.1.3
Film Horor Asia di Tangan Hollywood
Hollywood, tidak dapat dipungkiri, merupakan salah satu kiblat dunia perfilman. Gabungan antara kecanggihan tekhnologi dan tangan dingin sutradara telah berhasil menciptakan banyak film yang terbukti sukses di pasaran. Demi mempertahankan –atau lebih tepatnya meningkatkan—jumlah peminat filmfilmnya, para sineas Hollywood selalu dituntut untuk memunculkan hal-hal baru, ide-ide yang belum pernah ditampilkan dalam produksi film Hollywood sebelumnya. Adanya dorongan untuk terus mengkreasikan hal-hal baru tersebut membuat Hollywood mulai melirik produksi perfilman luar negeri untuk kemudian diolah dan diadaptasi ke dalam budaya Amerika. Dengan adanya adaptasi tersebut, yang memungkinkan adanya transfer budaya dan percampuran antara dua budaya yang berbeda. Hollywood
merupakan
salah
satu
negara
yang
dikenal
banyak
menciptakan remake film. Hollywood membuat remake film-film dari negara lain dalam berbagai genre yang diprediksi akan menghasilkan untung besar bila diadaptasikan ke dalam budaya Amerika. Kita mengenal II Mare atau Siworae, film Korea bergenre drama romantis hasil produksi tahun 2000 yang diadaptasi Hollywood pada tahun 2006. Diperankan oleh Keanu Reeves serta Sandra Bullock, film ini beredar dengan judul The Lake House. Film lain adalah Vanilla Sky (2001) yang diadaptasi dari film Spanyol Abre los Ojos (1997). Film terbitan Perancis, La Totale! (1991) ataupun La Cage aux Folles (1978) dapat ditemukan versi remake nya dengan judul True Lies (1994) dan The Birdcage (1996). Disamping itu, film Jepang dengan genre action, The Seven Samurai yang diproduksi tahun 1954 pun dapat ditemukan versi Hollywoodnya. Film yang disutradarai John Sturges pada tahun 1960 itu beredar luas dengan judul The Magnificent Seven.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
9
Di lain sisi, film Asia yang paling banyak diadaptasi oleh Hollywood adalah film dengan genre horor. Pada dasarnya, konsep film horor buatan Hollywood berbeda dengan film horor Asia. Akan tetapi, selepas tragedi WTC pada tahun 2001, konsep horor bagi masyarakat Amerika tersebut mulai mengalami perluasan. Tragedi WTC menyebabkan adanya phobia terhadap teknologi, dimana teknologi ciptaan dunia Barat digunakan oleh orang-orang asing untuk menghancurkan orang-orang Barat itu sendiri10. Teknologi Barat yang selama ini digunakan oleh masyarakat dunia Barat untuk mempermudah hidup mereka, tiba-tiba saja dibajak oleh musuh dan digunakan untuk menebarkan teror, menimbulkan kerusakan, dan menyebabkan kehancuran. Tragedi inilah yang memicu Hollywood untuk mulai membuat versi remake film horor Jepang pada tahun 2002, diawali dengan Ringu yang disutradarai oleh Hideo Nakata. Ringu, yang diproduksi tahun 1998, dipilih sebagai film horor pertama yang diadaptasi oleh Hollywood karena film ini memiliki konsep yang sesuai dengan kondisi masyarakat Amerika setelah tragedi WTC. Ringu memiliki alur cerita dimana muncul ketakutan manusia atas teknologi, yang bisa berfungsi sebagai media untuk membunuh manusia. Sadako, yang merupakan hantu dalam film Ringu, menggunakan teknologi yang diciptakan manusia modern Jepang untuk menghantui masyarakat modern Jepang. Ringu merupakan perwujudan dari masa lalu yang menghantui masa depan. Ringu merupakan film horor Jepang yang sedikit berbeda dari film horor Jepang lainnya seperti Ju-On, Honogurai Mizu No Soko Kara, ataupun Jisatsu Sakuru. Ringu secara terang-terangan memadukan antara kehidupan modern dan kisah tradisional Jepang. Walaupun demikian penggambaran hantu dalam film Ringu tidak berbeda dari film-film horor Jepang lainnya. Bagi Hollywood, kenyataan bahwa konsep horor dalam film Ringu yang jauh berbeda dengan konsep horor masyarakat Amerika pada umumnya, bukanlah hambatan untuk melakukan proses remake. Bahkan perbedaan tema pun tidak menjadi masalah, dimana tokoh laki-laki sebagai hero dan perempuan sebagai the 10
Seperti yang tertulis dalam Technoghost and Culture Shocks: Sociocultural Shift in American Remakes of J-Horror oleh Kevin J. Wetmore, Jr. diunduh dari http://findarticles.com/. Juga terdapat pada It Came from the East… Japanese Horror Cinema in the Age of Globalization oleh Pennylane Shen, diunduh dari http://gnovisjournal.org/journal/it-came-east-japanese-horrorcinema-age-globalization.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
10
victim yang biasa muncul dalam film horor klasik Hollywood, tidak ditemukan dalam film Ringu. Agar Ringu dapat memenuhi selera masyarakat Amerika, Hollywood melakukan adaptasi budaya dengan sebaik-baiknya. Ini dikarenakan tidak semua unsur budaya tradisional Jepang tersebut dapat dipahami sepenuhnya oleh konsumen Amerika. Hollywood tidak berhenti setelah film hasil adaptasi Ringu –The Ring— memenangkan tujuh penghargaan11. Hollywood melanjutkan kesuksesan dengan membuat versi remake sekuel Ringu –Ringu 2--, dengan judul The Ring 2. Beberapa film dengan tema yang serupa, yaitu tentang tekhnologi yang menghantui kehidupan manusia, seperti Kairo dan Chakusin Ari juga diadaptasi oleh Hollywood. Dalam Kairo –dan versi Hollywoodnya yang berjudul Pulse--, internet merupakan media dimana hantu berinteraksi dan membunuh manusia di dunia nyata. Di lain pihak, Chakusin Ari atau One Missed Call menjadikan telefon sebagai media teror. Seperti film horor pada umumnya, baik horor Asia maupun Amerika, faktor feminitas tidak bisa dilepaskan begitu saja dari film Ringu maupun The Ring. Walaupun demikian, perempuan tidak digambarkan sebagai tokoh yang pasif dalam alur ceritanya. Akan tetapi, apa benar lingkungan patriarkal yang digambarkan dalam film tersebut tidak membawa pesan tertentu di balik cerita? Karena seperti yang diungkapkan oleh Laura Mulvey dalam Visual Pleasure and Narrative Cinema12, ditempatkannya perempuan dalam fim memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai objek bagi karakter-karakter lain dalam film tersebut. Kedua, sebagai objek bagi para penonton. Disinilah nantinya teori film feminis yang diutarakan oleh Laura Mulvey diterapkan. Penguasaan
laki-laki terhadap tokoh perempuan tidak lagi
digambarkan melalui dominasi dalam alur cerita, seperti yang biasa terjadi pada film-film Hollywood klasik13. Sebagai gantinya, kamera digunakan sebagai
11
Bersumber dari http://www.imdb.com/ Bersumber dari Screen, vol.16, no.3. 13 Juga dipaparkan dalam OWI Meets the Monstsers: Hollywood Horror Films and War Propaganda, 1942 to 1945 yang ditulis oleh Rick Worland, dan juga dijelaskan dalam Movie Analysis: Women in Horror Films: Ripley, the Alien, and the Monstrous Feminine karya Daniel Stephens. 12
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
11
representasi dari male-gaze14 terhadap para tokoh perempuan pada kedua versi film tersebut. Penggunaan perempuan sebagai objek dapat diperkuat dengan dipakainya teknologi kamera yang dikombinasi dengan proses editing. Pertanyaannya, bagaimanakah perbedaannya pada kedua versi film tersebut? Bagaimanakah perbedaan pemakaian teknologi kamera atas tokoh perempuan yang mendominasi dalam film Ringu dan film The Ring? Apakah perbedaan latar belakang budaya dan sejarah perfilman Jepang dan Hollywood akan memperbesar perbedaan tersebut?
1.1.4
Penelitian Terdahulu
Pada kenyataannya, studi tentang film horor Jepang dan juga film horor buatan Hollywood pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Kevin J. Wetmore, Jr. dalam Technoghosts and Culture Shocks: Sociocultural Shifts in American Remakes of J-Horror, memperbandingkan tiga film Jepang –One Missed Call dan Chakushin Ari, Ju-On—dengan versi Hollywoodnya --the Grudge, Kairo dan Pulse--. Semuanya menceritakan ketakutan manusia yang hidup terkucil dari kehidupan sosial dan bagaimana culture shock merupakan suatu bentuk ketakutan tersendiri. It Came from the East… Japanese Horror Cinema in the Age of Globalization oleh Pennylane Shen memuat tentang analisis tekstual terhadap film Ringu dan the Ring. Salah satu faktor pendorong kesuksesan the Ring adalah adaptasi kultural yang dilakukan Hollywood. Walaupun demikian, technophobic merupakan tema yang bisa menyatukan kedua versi film tersebut. Dalam OWI Meets the Monsters: Hollywood Horror Films and War Propaganda, 1942 to 1945, Rick Worland memaparkan tentang produksi film horor Hollywood yang digunakan sebagai alat propaganda berkaitan dengan Perang Dunia II. Makalah ini juga memuat pola klasik film horror Hollywood, dimana di dalamnya selalu terdapat the Monster, the Male Hero, dan the Woman -- korban si monster yang bergantung penuh pada ‘kebaikan’ sang Pahlawan untuk menolongnya--. 14
Male-gaze merupakan sudut pandang laki-laki dalam film (baik penonton maupun tokoh lakilaki) yang memiliki peran dominasi terhadap peran perempuan dalam film.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
12
Adam Lowenstein dalam Ghost in a Super Flat Global Village: Globalization,
Surrealism,
and
Contemporary
Japanese
Horror
Films
mengungkapkan bahwa Ringu dan the Ring merupakan gambaran interaksi budaya Jepang dan Amerika. Ringu menampilkan budaya Amerika yang mempengaruhi budaya Jepang, sementara the Ring menunjukkan bahwa Amerika melakukan imitasi terhadap Jepang. Lowenstein juga membahas isu surealisme dalam scene yang terekam dalam videotape pada film Ringu. Scene-scene tersebut memiliki hubungan dengan film surealis yang terkenal, Luis Bunuel and Salvador Dali’s Un Chien andalou (1929). Bahkan gerakan tubuh Sadako saat keluar dari videotape merupakan tarian terkenal Ankoku Butoh (Dance of Utter Darkness). Daniel Stephens membahas tentang film horor Amerika dalam Movie Analysis: Women in Horror Films: Ripley, the Alien, and the Monstrous Feminine. Stephens membicarakan analisis film Alien oleh Laura Mulvey yang dianggap bertentangan dengan pola film horor Hollywood klasik dari sudut pandang feminisme. Biasanya perempuan digambarkan sebagai karakter yang pasif dan digunakan sebagai objek hasrat laki-laki sebagai karakter utama. Sebaliknya, dalam Alien, karakter perempuan menjadi tokoh yang melawan alien, sementara para karakter laki-laki digambarkan sebagai karakter yang lemah dan tidak layak disebut sebagai pahlawan. Justin Lawrence lebih menyoroti hubungan antara film horor Jepang dan tekhnologi dalam Japanese Horror (J-Horror) and Technology. Diceritakan disini melalui contoh film Ringu, One Missed Call, dan Red Room, bahwa ketakutan Jepang akan teknologi memiliki kaitan dengan serangan bom atas Nagasaki dan Hiroshima beberapa puluh tahun yang lalu. Sementara itu, ketakutan Amerika atas teknologi lebih dipengaruhi oleh tragedi WTC. Hal ini disebabkan oleh teknologi Amerika yang selama ini digunakan untuk membantu hidup masyarakat Amerika tiba-tiba digunakan oleh teroris dari negara asing untuk menghancurkan gedung WTC milik Amerika. Tesis berjudul The Uncanny in Japanese and American Horror Film: Hideo Nakata's Ringu and Gore Verbinski's Ring yang ditulis Sarah McKay Ball terfokus pada suara dan elemen visualnya. Ketika Ringu lebih terpusat pada efek
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
13
suara dan pengalaman internal karakternya untuk menciptakan suasana gaib, the Ring lebih terfokus pada elemen visual dan pengalaman eksternal karakternya. From Japanese Haunting to Americanized Horror: The Transformation and Acculturation of a Foreign Genre of Film yang ditulis oleh Buffy Berthiaume menyatakan bahwa film horor Jepang memberi teror yang berbeda dari konsep Hollywood. Hantu tidak hanya sekedar digambarkan sebagai musuh, akan tetapi juga memiliki bagian dalam hidup manusia. Karena tujuan dari arwah itu sendiri tidak digambarkan secara jelas, maka sulit untuk mengalahkannya. Penulis Jepang, Eimi Ozawa, menuliskan hasil pemikirannya dalam Remaking Corporeality and Spatiality: U.S. Adaptations of Japanese Horror Films. Ozawa memaparkan penguasaan Hollywood sejak tahun 60an terhadap konsumsi masyarakat secara global atas film horor mulai tergeser. Film horor Hollywood berbeda dari horor Jepang dalam segi psikologi. Film horor Hollywood menyuguhkan ketakutan pada apa yang tampak, sementara horor Jepang lebih waspada terhadap hal-hal yang tidak tampak. Selain itu, korelasi antara tekhnologi dan kepercayaan tradisional masyarakat Jepang terlihat dalam Ringu. Sementara the Ring telah dipengaruhi oleh pola film horor Hollywood, dimana segala hal bisa dikaitkan dengan logika. Steven Jay Schneider memfokuskan penelitiannya pada film horor Amerika dalam World Horror Cinema and the US: Bringing it all Back Home. Dia membahas analisis Joan Hawkins, dimana selera masyarakat atas film Hollywood dapat dianggap sebagai hasil dari hegemoni. Walaupun sebagian dari film horor tersebut merupakan hasil adaptasi dari film horor Eropa maupun Asia, yang disebut juga ‘cross-cultural horror’. Berbagai macam penelitian di atas memberikan masukan untuk penulisan karya ilmiah ini. Namun demikian, analisis atas male-gaze adalah sesuatu yang membedakan karya ilmiah ini dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Dari analisis terhadap representasi male-gaze, sejauh mana budaya lokal dan mitos Jepang mengalami perubahan dalam proses adaptasi oleh Hollywood? Bagian mana yang dianggap sesuai untuk disajikan kepada masyarakat Amerika dan bagian mana yang harus diubah ataupun dihilangkan? Ringu dan Ringu 2–serta film versi Hollywoodnya, The Ring dan The Ring 2—akan digunakan dalam penelitian ini,
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
14
karena Ringu adalah film horor pertama Jepang yang diadaptasi ke dalam versi Hollywood.
1.2. Perumusan Masalah
Amerika merupakan negara modern yang selalu mengejar untuk menjadi yang nomor satu dalam hal teknologi. Selain itu, kepercayaan terhadap hal yang bersifat supranatural bukan hal yang bisa dianggap umum dalam masyarakat Amerika. Sementara Jepang adalah negara modern yang tidak bisa lepas dari halhal supranatural. Teknologi yang selalu berkembang dengan pesat dari waktu ke waktu selalu diimbangi dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos yang sudah mendarah daging dalam kultur dan adat-istiadat masyarakat Jepang. Kultur dan adat-istiadat yang demikian tidaklah dimiliki Amerika yang selama ini dikenal sebagai melting pot15 atas berbagai suku dan bangsa. Selain itu, Amerika sebagai negara Barat dan Jepang sebagai negara Timur tentunya memiliki cara pandang yang berbeda terhadap keberadaan dan fungsi perempuan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis tentang: 1. Bagaimanakah male-gaze direpresentasikan dalam film Ringu dan Ringu 2 melalui teknik kamera dan Mise-en Scene? 2. Bagaimanakah The Ring dan The Ring 2 mengadaptasi pengambilan gambar yang merepresentasikan male-gaze dalam film Ringu dan Ringu 2 melalui teknik kamera dan Mise-en Scene?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan membuka peran perempuan dalam film horor Jepang dan Hollywood. Penelitian ini juga untuk menganalisa perbedaan posisi perempuan dalam film horor Jepang dan
15
Amerika dianggap sebagai tempat di mana berbagai macam bangsa dan budayanya melebur menjadi satu. Peleburan tersebut membuat tiap budaya tidak lebih menonjol dibanding budaya lainnya, dan kondisi tersebut dapat memungkinkan terciptanya budaya baru yang pada akhirnya digunakan oleh seluruh elemen masyarakat Amerika.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
15
Hollywood yang dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan cara pandang masyarakat.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah film horor Jepang yang diadaptasi Hollywood untuk yang pertama kalinya beserta hasil remake dan sequel masing-masing. Untuk itulah, empat film, yaitu Ringu, Ringu2, The Ring, dan The Ring2 akan digunakan sebagai bahan analisa dalam penelitian ini.
1.5. Teori dan Metode
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan pendekatan Cultural Studies, penelitian ini akan berfokus pada seputar penelitian teks dan analisis teks. Melalui pendekatan teks dan analisis teks, penelitian ini akan membaca adaptasi budaya yang dilakukan Hollywood dalam proses remake film horor Jepang, Ringu. Metode visual akan menjadi salah satu alat untuk menganalisa representasi male-gaze dalam film Ringu dan Ringu 2 maupun hasil remakenya, The Ring dan The Ring 2. Penelitian ini akan menggunakan beberapa landasan teori untuk memudahkan dilakukannya analisa. Untuk menganalisa representasi male-gaze atas tokoh perempuan dalam kedua versi film, teori yang telah dipaparkan oleh Laura Mulvey dalam tulisannya Visual Pleasure and Narrative Cinema merupakan teori yang tepat untuk diaplikasikan dalam penelitian ini. Penelitian ini akan bertumpu pada pemikiran Laura Mulvey tentang keberadaan perempuan sebagai objek pemuas penonton laki-laki melalui sudut pandang tokoh protagonis laki-laki ataupun melalui gerak kamera. Teori ini akan digunakan untuk menganalisa cara penyajian tiga tokoh perempuan dalam dua versi film tersebut. Analisa akan dilakukan terhadap tokoh Sadako dan Samara, Reiko dan Rachel, serta Yamamura Shizuko dan Anna Morgan. Kedua versi film tersebut lebih memilih untuk memposisikan perempuan sebagai tokoh protagonis utama maupun tokoh antagonis utama. Oleh sebab itu, penempatan perempuan sebagai ikon
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
16
objek pandang laki-laki lebih banyak dilakukan oleh kamera dari pada sudut pandang karakter laki-laki dalam film tersebut. Penganalisaan terhadap objek visual berupa film tentunya tidak akan dapat dipisahkan dari teori Cinema Studies. Analisis atas gerak kamera atau camera movement –contohnya saat kamera melakukan Panning Shot atau Dolly Shot-akan sangat membantu untuk memahami representasi male-gaze dalam kedua versi film tersebut. Analisis terhadap angle kamera atas ketiga tokoh utama perempuan dalam film horor tersebut juga dapat memberi pemahaman untuk membedakan male-gaze versi Jepang dan Hollywood. Seperti yang diungkapkan Phillips (1999:100), ada empat angle yang umum digunakan dalam film: bird’seye view, high angle, eye-level angle, dan low angle. Proses adaptasi yang dilakukan Hollywood terhadap angle yang digunakan untuk mengeksploitasi tiap objek dalam film dapat pemperjelas perbedaan representasi male-gaze menurut pemaknaan Jepang dan representasi male-gaze menurut pemaknaan Hollywood. Selain itu, perbedaan atas penggunaan jarak kamera atau camera distance seperti Close Up, Semi Long Shot, dan lain sebagainya pada kedua versi film akan membantu melihat sejauh mana proses adaptasi yang dilakukan oleh Holywood. Penggunaan teori Cinema Studies yang lain adalah analisa terhadap unsur Mise-en Scene. Mise-en Scene merupakan unsur dalam film –selain para aktor dan dialog mereka—yang digunakan untuk membantu penonton memahami film tersebut. Perbedaan pengolahan empat aspek utama Mise-en Scene –setting, kostum dan make-up, pencahayaan, serta staging— demi memperoleh suasana yang diinginkan oleh pembuat film dapat menunjukkan perbedaan makna yang dapat mendefinisikan karakter male-gaze Jepang dan Hollywood.
1.6. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan dari seluruh isi thesis. Latar belakang masalah akan masuk dalam bab pertama. Selain itu, bab pertama juga akan memuat tentang perumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, teori dan metode, dan sistematika penulisan.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.
17
Bab kedua berisi tentang keterangan yang lebih mendalam dari teori-teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah penelitian. Pertama, penulis akan memaparkan tentang teori male-gaze Laura Mulvey yang telah diungkapkannya dalam Visual Pleasure and Narrative Cinema. Kedua, penulis akan memaparkan bagian-bagian dari teori Cinema Studies. Tentang gerak kamera dan Mise en Scène, semua akan dijelaskan pada bagian ini. Bab ketiga akan menjelaskan tentang analisa dan isi dari penelitian. Segala teori dan pendekatan yang telah dijelaskan dalam bab dua akan digunakan dalam proses penelitian dan analisa pada bab ini.hasil dari bab ketiga merupakan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam rumusan permasalahan pada bab pertama. Sementara bab terakhir akan berisi tentang kesimpulan hasil analisis yang dituliskan dalam bab sebelumnya.
Universitas Indonesia
Representasi perempuan..., Nurul Laili Nadhifah, FIB UI, 2011.