BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Listrik adalah kebutuhan dasar, strategis dan vital bagi setiap orang khususnya di Indonesia. Listrik adalah tonggak awal menuju peradaban manusia yang lebih baik, membantu perkembangan teknologi, dan sebagainya. Listrik sebagai hajat hidup orang banyak termasuk salah satu sektor yang diatur dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang pengelolaannya diatur oleh Negara dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 (UU Listrik Lama) yang telah dihapus dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 (UU Listrik Baru). Listrik adalah infrastruktur di setiap Negara, jika kebutuhan listrik di suatu Negara telah terpenuhi dan tercukupi maka Negara tersebut akan berkembang pesat. Tidak heran jika infrastruktur Negara maju –dalam hal ini adalah listrik- jauh lebih baik daripada di Negara berkembang. Beberapa waktu belakangan ini, pasokan listrik kepada masyarakat di seluruh Indonesia mulai berkurang seperti yang diberitakan dalam situs kompas mengatakan Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat dalam konsumsi listrik. Pasalnya, banyak sumber daya energi terbarukan belum dimanfaatkan sementara konsumsi listrik terus meningkat. Suplai listrik yang tak berimbang dengan permintaan itu menyebabkan pemadaman bergilir. Pada akhirnya, industri sebagai sektor yang digantungkan masyarakat banyak menjadi terganggu 1. Terganggunya pasokan listrik kepada masyarakat berhubungan dengan kemampuan PLN dalam menyediakan listrik. Kemampuan PLN ini berkaitan dengan terjalinnya hubungan hukum antara PLN dan pengusaha swasta sebagai penjual yang tertuang dalam Power Purchase Agreement (”PPA”) di mana PLN membeli listrik dari pengusaha swasta dan pengusaha swasta yang akan mendesain, membangun dan mengkonstruksikan pembangkit tenaga listrik bersama dengan kontraktor kemudian
1
http://kompas.co.id/read/xml/2008/07/21/19193673/indonesia.krisis.listrik, diunduh tanggal 23-11-2009.
1
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
2
setelah pembangkit tenaga listrik selesai dibangun dan mampu beroperasi sampai menghasilkan listrik yang bisa dijual secara komersial, maka selanjutnya akan dijual ke PLN. PPA merupakan cikal bakal tersedianya listrik untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia secara keseluruhan sesuai amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 (”UUD 1945”). Namun PPA merupakan perjanjian jual beli dengan standar baku dimana calon penjual diwajibkan untuk mematuhi isi PPA dan tidak ada tawar menawar terhadap ketentuan isi pasal yang tercantum dalam PPA. Standar baku PPA ini yang akan ditelaah lebih lanjut apakah merugikan salah satu pihak karena kedudukan pihak yang satu lebih kuat daripada kedudukan pihak yang lainnya dan sebagainya. Penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut mengenai para pihak yaitu PLN sebagai pembeli listrik dan pengusaha swasta sebagai penjual listrik. PLN sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan (PKUK menurut UU Listrik Lama) yang berkewajiban untuk menyediakan dan mendistribusikan listrik ke segala kalangan masyarakat dan secara merata sampai ke daerah pelosok. Tesis ini akan membahas khususnya mengenai asas keseimbangan berkontrak para pihak dalam PPA dan juga karena perjanjian ini tergolong unik, khusus dan memerlukan perhatian tersendiri untuk memahaminya karena dalam PPA ini walau penjualnya bisa siapa saja (konsorsium, badan usaha swasta, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi dan sebagainya) namun pembelinya hanya satu yaitu PLN. Selanjutnya, akan dibahas dalam bab berikut dari penulisan ilmiah ini.
Gambaran umum mengenai isi PPA adalah terdiri dari maksud dan tujuan dibuatnya jual dan beli listrik, jangka waktu, syarat-syarat yang harus dipenuhi para pihak sebelum PPA berlaku (condition precedents), hak dan kewajiban PLN sebagai pembeli dan perusahaan lain sebagai penjual dan sebagainya yang akan dibahas dalam bab berikutnya.
Untuk terjadinya perjanjian ini, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
3
memiliki barang itu dengan tenteram, dan kedua bertanggung jawab atas cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban si pembeli, membayar barang pada waktu dan di tempat barang itu berada. Menurut undang-undang, sejak saat ditutupnya di perjanjian, “resiko” mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tak dapat diserahkan pada si pembeli, maka orang ini masih tetap harus membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahan itu, si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditetapkan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul resiko terhadap barang itu, dan dapat dituntut untuk memberikan kerugian 1.
Kemudian di dalam PPA terdapat pasal condition precedents yang berisi mengenai beberapa kewajiban penjual dan PLN yang tertera dalam pasal-pasal langsung berlaku setelah PPA ditandatangani oleh kedua belah pihak. Isi dalam PPA tidak semuanya langsung dilaksanakan karena ada beberapa pasal yang harus dipenuhi dahulu oleh para pihak, di mana para pihak wajib melaksanakan kewajibankewajibannya tersebut dalam waktu satu tahun lamanya atau disebut sebagai periode financial closing. Setelah tercapainya financial closing maka pasal-pasal lainnya baru bisa dilaksanakan. Pasal condition precedents diatur dalam Pasal 268-Pasal 1271 KUHPerdata mengenai perikatan-perikatan dengan ketetapan waktu (tijdsbepaling). Dimana suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Suatu ketetapan waktu adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya 2. Namun dalam PPA sudah ditentukan jangka waktunya yaitu 365 hari sejak PPA ditandatangani.
1
Drs. R. Djatmiko, Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, (Bandung, Angkasa, 1996), hlm. 160.
2
Prof. Subekti, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, Cetakan XXXII, 2005), hlm. 129.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
4
PPA memang perjanjian jual beli listrik sebagaimana perjanjian jual beli lainnya yang diatur dalam KUHPerdata, namun ada beberapa keunikan dan perbedaan khusus yang membedakan PPA dengan perjanjian jual beli biasa lainnya.
Manfaat praktis hasil pembahasan adalah mengetahui keseimbangan hak dan kewajiban PLN dan penjual khususnya dalam keseimbangan dalam menanggung resiko. Baik itu resiko hukum, resiko teknis dan resiko keuangan, namun tidak terbatas pada resiko lainnya yang berkaitan dengan isi PPA. Dengan mengetahui seberapa imbang hak dan kewajiban para pihak dalam PPA, dapat menjadi pertimbangan bagi pihak sebelum memutuskan untuk mengadakan perjanjian jual beli listrik dengan PLN, sehingga penjual mampu berkomitmen terhadap janji yang telah dituangkan dalam PPA. Begitu pula dengan PLN sebelum memutuskan untuk mengadakan perjanjian jual beli listrik dengan penjual, apakah PLN mampu berkomitmen terhadap janji yang telah dituangkan dalam PPA. Seberapa kuat komitmen salah satu pihak untuk memenuhi kewajibannya berkorelasi dengan terpenuhinya hak pihak lainnya sehingga kemungkinan wanprestasi dan kegagalan akibat faktor eksternal bisa dihindari dan diantisipasi dari awal.
Hasil tesis ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata mengenai bagaimana PPA dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pihak yang kemudian dihubungkan dengan asas keseimbangan berkontrak dan peraturan perundangundangan lainnya yang terkait dengan tujuan bagaimana menjadikan isi-isi pasal dalam PPA menjadi lebih baik dan tidak memberatkan salah satu pihak meskipun standar baku PPA tetap ada dan tidak dihilangkan.
1.1. Perumusan Masalah
Dalam penulisan ilmiah ini akan dibahas mengenai keseimbangan hak dan kewajiban penjual dan PLN yaitu:
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
5
1. Mengapa ada faktor-faktor di luar PPA yang mempengaruhi keseimbangan hak dan kewajiban para pihak? 2. Mengapa para pihak harus memperhatikan beberapa ketentuan dalam PPA agar memiliki kedudukan yang sama kuat? 3. Mengapa hak dan kewajiban para pihak dalam PPA tidak seimbang? 1.2. Pembatasan Masalah
Mengingat sangat luasnya materi perjanjian jual beli listrik, maka dalam penulisan ilmiah ini hanya dibatasi untuk menemukan penjelasan-penjelasan secara teoritis dan yuridis mengenai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli listrik itu sendiri dan penerapannya dalam sistem hukum ekonomi Indonesia.
Dari pembatasan masalah ini diharapkan agar penulis lebih fokus dalam menganalisis topik penulisan ilmiah sehingga pembaca mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh penulis.
Dalam tulisan ini akan dibahas masalah sebagai berikut:
1. Menganalisis isi PPA dan mengaitkannya dengan asas keseimbangan berkontrak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2. Sehubungan dengan program kekhususan penulis yaitu Hukum Ekonomi, maka penulis akan mengaitkan keseimbangan hak dan kewajiban penjual dan PLN dengan ilmu hukum ekonomi.
Perumusan istilah secara tepat agar penggunaan istilah konsisten dan taat asas, yaitu:
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
6
1. Menggunakan istilah PPA yang merupakan singkatan dari Power Purchase Agreement/Perjanjian Jual Beli Listrik. 2. Menggunakan istilah PLN yang merupakan pembeli dalam PPA. Berdasarkan UU Listrik Lama dan PPA, pembeli listrik adalah PLN yang kemudian diteruskan kepada rakyat luas sebagaimana yang telah kita ketahui bersama. 3. Menggunakan istilah penjual yang merupakan penjual dalam PPA. 4. Menggunakan istilah para pihak yang merupakan PLN dan Penjual dalam PPA.
1.3. Tujuan
Penulisan ilmiah ini mempunyai beberapa tujuan pokok, yakni untuk mengetahui;
a. Bagaimana pelaksanaan PPA dalam transaksi jual beli listrik sehubungan dengan asas keseimbangan berkontrak. b. Solusi apa saja yang bisa diberikan agar tercapai kedudukan yang seimbang bagi para pihak dalam PPA.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum ekonomi mengenai perjanjian jual beli listrik. b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat menjadi bahan saran dan masukan bagi para pejabat dan pengambil keputusan perusahaan di PT. PLN (Persero) Jakarta.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
7
1.5. Teori
Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasarkan pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianism. Utilitarianism dan teori ekonomi klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal individualistis.
3
Keduanya percaya individualisme
sebagai nilai dan mekanisme sosial; dan kebebasan berkontrak dianggap sebagai suatu prinsip yang umum. Dalam perkembangannya, laizzes faire menimbulkan kepincangan dalam kehidupan masyarakat dan akibatnya kebebasan berkontrak mendapat pembatasan oleh Negara.
Keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam PPA berarti tergantung dari kebebasan berkontrak yang hanya bisa dicapai jika para pihak mempunyai posisi tawar yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungannnya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Di dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang sehingga perlu campur tangan Negara untuk melindungi pihak yang lebih lemah. 4
Menurut Dr. Sutan Remy Sjahdeini, kebebasan berkontrak menimbulkan ketidakadilan sehingga keberadaan dan keberlakuannya ditentukan dan diakui oleh peraturan
perundang-undangannya
yang
bertingkat
Undang-Undang,
yaitu
KUHPerdata. Pancasila dan UUD 1945 menolak kebebasan berkontrak yang tak
3
Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Indonesia, (Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 17.
4
Ibid, hlm. 8.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
8
terbatas dan kewenangan Negara untuk membatasinya yaitu tercermin dalam Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan Pasal 33 UUD 1945. KUHPerdata juga mengatur batasan kebebasan berkontrak di dalam Pasal 1337 yaitu “ Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum” sebagai pembatas dari kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Teori kebebasan berkontrak dan teori perjanjian baku saling berkaitan satu sama lain. Hal-hal yang menjadi perhatian dalam menganalisis perjanjian baku adalah apakah perjanjian itu bersifat berat sebelah dan apakah mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya atau tidak. Penulis akan membahas mengenai hal ini dalam bab-bab berikutnya.
1.6. Metode
i. Tipe Penelitian
Penulisan ilmiah ini akan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Tipe deskriptif analitis yaitu menggambarkan keseimbangan hak dan kewajiban penjual dan PLN dalam PPA dengan menganalisis pelaksanaan isi PPA.
ii. Pendekatan masalah
Penulisan ini disusun dengan melakukan penelitian deskriptif analitis, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan doctrinal research. Pendekatan yang melakukan pengkajian peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan PPA. Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
9
iii. Bahan hukum
Penulisan ini disusun dengan melakukan penelitian terhadap data sekunder yang mencakup: a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan dan studi dokumen yang berkaitan dengan PPA.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku teks (textbook) yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnaljurnal
hukum,
pendapat
para
sarjana,
kasus-kasus
hukum,
yurisprudensi dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan PPA. c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.
iv. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
a.
Prosedur pengumpulan bahan hukum primer yaitu mengumpulkan peraturan
perundang-undangan
secara
hierarki
terkait
dengan
perjanjian jual beli, ketenagalistrikan, asas keseimbangan berkontrak, asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan peraturan pelaksanaannya dan KUHPerdata. b.
Prosedur pengumpulan bahan hukum sekunder yaitu mengumpulkan buku-buku teks mengenai perjanjian jual beli, hasil workshop, seminar dan sejenisnya yang paling mutakhir mengenai jual beli listrik dan sebagainya.
c.
Prosedur pengumpulan bahan hukum tersier yaitu mengumpulkan kamus hukum Black’s Law Dictionary dan kamus hukum lainnya
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
10
untuk mencari arti bagi perbendaharaan kata yang terdapat dalam bahan hukum primer dan sekunder maupun dalam PPA.
v. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Penulisan ini akan menggunakan penalaran deduksi di mana penulis akan membahas hal-hal secara umum terlebih dahulu kemudian membahas hal-hal umum tersebut secara rinci dan mendalam.
1.7. Sumber Data
Penentuan jumlah data untuk penulisan ilmiah adalah proporsional sesuai dengan kebutuhan, dengan tujuan agar penulis tidak kekurangan dan tidak kelebihan dalam memperoleh data dan menghindari hasil yang tidak optimal dalam menyajikan data dan fakta. Dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan data sekunder yaitu studi kepustakaan seperti studi terhadap buku-buku mengenai teori hukum yang membahas perjanjian jual beli, peraturan hukum yang mengatur perjanjian jual beli, tulisan-tulisan mengenai pelaksanaan perjanjian jual beli listrik di Indonesia, dokumen lembaga seperti spesimen PPA yang belum terlalu lama tahun pembuatannya yaitu sekitar tahun 1990-an dan berbagai tulisan lain yang mampu membantu penulis dalam menjelaskan topik penulisan ilmiah ini.
1.8. Sistematika
Dalam tesis ini, penulis akan membaginya dalam lima bab dan masing-masing terdiri dari beberapa sub bab yaitu:
Bab 1 Pendahuluan, dalam bab ini akan dibahas mengenai permasalahan yang akan dibahas dalam bab berikutnya yaitu Latar Belakang Masalah, Rumusan
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.
11
Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan, Manfaat, Teori, Metode, Sumber Data dan Sistematika.
Bab 2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam PPA. Dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam PPA baik menurut perjanjian dan pelaksanaannya.
Bab 3 Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Listrik. Dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor apa saja yang bisa mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam PPA.
Bab 4 Analisis Terhadap Perjanjian Jual Beli Listrik di PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Jakarta. Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai analisis terhadap perjanjian jual beli listrik secara keseluruhan sehubungan dengan keseimbangan hak dan kewajiban para pihak.
Bab 5 Penutup. Dalam bab terakhir penulis akan menyajikan Simpulan dan Saran dari seluruh bab sebelumnya dengan tujuan memberikan solusi.
Universitas Indonesia
Keseimbangan hak..., Yonna Fitriana, FH UI, 2011.