BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kemajuan
dalam
bidang
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
dapat
mempermudah segala kegiatan di bidang industri. Penerapan teknologi dapat mempermudah segala kegiatan kerja dalam proses produksi dan meningkatkan produktifitas perusahaan. Selain memberikan dampak positif berupa keuntungan ekonomik, maka kemajuan teknologi juga menimbulkan dampak negatif yaitu dapat meningkatkan potensi bahaya (hazard) yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan keselamatan kerja, hazard tersebut dapat berupa fisik, kimia, ergonomi dan psikologik. Salah satu hazard berupa fisik di tempat kerja adalah kebisingan. Secara umum kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan (Bashiruddin, 2007). Berdasarkan SE 01/MEN/1978, kebisingan adalah suara yang tidak di kehendaki yang bersumber dari alat-alat, proses produksi yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan pendengaran. Data survei Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang dilaksanakan di 8 Provinsi Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan tenggorokan (THT) sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%, gangguan pendengaran 16,8% dan ketulian 0,4%. Tuli akibat bising (TAB) atau noise induced hearing loss (NIHL), adalah tuli saraf yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sataloff (1987) mendapati sebanyak 35juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja (Depkes, 2004). The Enviromental Protection Agency (EPA) memperkirakan bahwa lebih 9 juta
pekerja
di
industri
manufaktur
terpapar
bising
diatas
85
dB(A)
(http://id.articlesnatch.com). Kalau kita selalu terpajan kebisingan diatas ambang batas (85 dB untuk 8 jam) maka ada hair cells yang rusak atau mati sehingga irama tadi jadi tidak teratur, ini disebut dengan fase ketulian. Maka dianjurkan untuk mengukur pendengaran setahun sekali di rumah sakit (Meyer, 2002). Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan terhadap pekerja yang terpajan kebisingan. Gangguan dapat berupa gangguan terhadap organ pendengaran (auditory effect) maupun gangguan bukan pada organ pendengaran (non auditory effect).
Universitas Sumatera Utara
Pada awalnya seseorang bekerja di suasana bising maka akan merasa. Namun bila sudah lama berada dalam suasana bising maka sensitifitas terganggu disebabkan sensitifitas terhadap intensitas bunyi amat besar menurun sehingga tidak merasa begitu terganggu lagi (Adriani, 1974). Hal inilah yang menyebabkan pekerja tidak waspada akan keadaan tersebut atau hanya merasakan sedikit perubahan sehingga tidak diacuhkan, Bising yang berlangsung lama akan menyebabkan pengurangan pendengaran yang tetap atau permanen dan sukar sekali disembuhkan. Jikalau sudah terjadi pengurangan pendengaran maka pendengaran baik seperti sedia kala tidak dapat dipulihkan kembali (Soemanegara, 1975). Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan (Buchari, 2007). Manusia normal mampu mendengar suara berfrekuensi 20 - 20.000 Hz (satuan suara berdasarkan perhitungan jumlah getaran sumber bunyi per detik) dengan intensitas atau tingkat kekerasan di bawah 80 desibel (dB). Bunyi di atas itu kalau terus menerus dan dipaksakan bisa merusak pendengaran karena bisa mematikan fungsi sel-sel rambut dalam sistem pendengaran. Gejala awal seringkali tidak dirasakan kecuali telinga berdengung, kemudian diikuti oleh menurunnya pendengaran. Gangguan pendengaran bertambah jelas sehingga sukar berkomunikasi. Dengan demikian tuli menetap terjadi apabila nilai ambang pendengaran menurun dan tidak pernah kembali ke nilai ambang semula, meskipun diberikan waktu istirahat secara cukup.
Universitas Sumatera Utara
Untuk melindungi pendengaran manusia (pekerja) dari pengaruh buruk kebisingan, organisasi yang bergerak dalam bidang K3 seperti OSHA (Occupational Safety and Health Administration), NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Healt) dan lainnya telah membuat panduan dalam pelaksanaan program konservasi pendengaran secara jelas. Upaya pencegahan bahaya kebisingan yang dilakukan pemerintah adalah dengan membuat peraturan perundangan yang mengatur nilai ambang batas (NAB) dan penggunaan alat pelindung pendengaran (APP). Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85 dB untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja (Roestam, 2004). Menurut KepMenNaker No.51 Tahun 1999 dan KepMenKes No.1405 Tahun 2002, kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB(A) (Bashiruddin, 2007). Upaya untuk menciptakan pekerja dan lingkungan yang sehat sebagai penerapan K3 (Keselamatan Kesehatan Kerja) diantaranya, pemeriksaan kesehatan berkala, perbaikan lingkungan kerja, perbaikan peralatan kerja, pendidikan kesehatan, penyediaam fasilitas-fasilitas, pemberlakuan peraturan-peraturan dan lain-lain. Semua usaha dan upaya yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan angka penyakit akibat kerja.
Universitas Sumatera Utara
Di Industri, sumber kebisingan dapat di klasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu : 1. Mesin, kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas mesin, 2. Vibrasi, kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan akibat gesekan, benturan atau ketidak seimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi pada roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, bearing, dan lain-lain, 3. Pergerakan udara, gas dan cairan, kebisingan ini di timbulkan akibat pergerakan udara, gas, dan cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, jet, flare boom, dan lain-lain. Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu perlengkapan yang digunakan para pekerja untuk melindungi diri dari berbagai hal yang dapat membahayakan pekerja, sehingga pekerja tidak dirugikan dari bahaya yang ada di tempat kerja. Selain dukungan dari perusahaan diharapkan juga dukungan dari pekerja karena pekerja adalah subjek dan objek dari kegiatan tersebut. Dukungan dari pekerja dapat di lihat dari ketaatan menggunakan APD yang tersedia sesuai dengan resiko penggunaannya. Selain pekerja harus menggunakan APD, mereka harus tahu resiko yang akan mereka hadapi di tempat kerja sehingga mereka benar-benar menggunakan APD yang ada dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prosedur. Diantara upaya yang dilakukan untuk mencegah timbulnya gangguan pendengaran akibat kebisingan adalah dengan program pengendalian kebisingan. Salah satu komponen program pengendalian kebisingan adalah penggunaan alat pelindung pendengaran bagi pekerja yang terpapar kebisingan. Penggunaan alat pelindung pendengaran ini merupaka tahap terakhir dari hirarki pengendalian
Universitas Sumatera Utara
apabila upaya pengendalian administratif
tidak berhasil dijalankan. Hal ini
disebabkan resikonya masih cukup tinggi karena susahnya untuk memantau kebiasaan tenaga kerja (Olishifski, 1988). Penelitian Kesuma, 1998 terhadap 48 pekerja bagian produksi PT. Krakatau Steel Cilegon, menunjukkan 40,6% pekerja yang menggunakan alat pelindung telinga. Demikian juga penelitian Sumbung, 2000 terhadap 204 pekerja Dryer dan Gluing pabrik kayu lapis di Bandung menunjukkan hanya 27,9% yang menggunakan alat pelindung diri. Stanbury,et al (2008), Diperkirakan 19% melaporkan kehilangan pendengaran; proporsi dengan kehilangan pendengaran meningkat tajam dengan usia. Di antara mereka dengan hilang pendengaran, 29,9% melaporkan bahwa mereka terkait dengan hilang pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja. Asosiasi yang ditemukan antara HL (hearing loss) / NIHL dan saat ini merokok dan kolesterol tinggi. Jadi kehilangan pendengaran di Michigan hampir 30% terjadi akibat pajanan bising di tempat kerja,dimana ini adalah sebuah kondisi yang dapat di cegah. Anjuran yang lebih baik adalah dilakukan surveilans dan program pencegahan. Penelitian Indra Kusuma (2004), 54,5% pekerjayang berprilaku tidak baik dalam penggunaan APD telinga dan 45,5% pekerja yang berprilaku baik. Terdapat hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan tentang APD telinga, kebijakan dan pelatihan terhadap penggunaan APD telinga.
Universitas Sumatera Utara
PT A.T adalah perkebunan sawit swasta yang memiliki perkebunan dan pabrik,dan terletak di Tanjung Putri, Langkat. Pabrik ini memiliki 60 karyawan terpapar bising, dan berproduksi selama 24 jam yang menerapkan giliran kerja (shift), yang dibagi dalam 2 giliran kerja yaitu: giliran kerja siang mulai jam 8.00 sampai jam 17.00 dan giliran kerja sore mulai jam 17.00 sampai jam 02.00. Jam istirahat pada masing-masing giliran kerja adalah 60 menit yaitu giliran kerja siang pada jam 12.00 sampai jam 13.00 dan giliran kerja malam jam 21.00 sampai jam 22.00. Pabrik ini juga menerima kelapa sawit yang berasal dari luar perusahaan tersebut. Ada tujuh lokasi bagian proses di pabrik sawit tersebut memiliki nilai ambang batas kebisingan diatas 85 dB yaitu 85 - 108 dB yaitu turbin, boiler, sterilizer, press, klarifikasi, kernel, dan maintenance. Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan terhadap pekerja yang terpajan kebisingan. Salah satu aturan yang diberlakukan adalah penggunan Alat Pelindung Pendengaran yang dimaksudkan untuk memperkecil resiko gangguan pendengaran. Peraturan penggunaan APD telinga telah di berlakukan mengingat potensi bahaya yang mempunyai resiko penyakit akibat kerja yang cukup tinggi. Untuk itu diperlukan kajian terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan APD telinga supaya gangguan pendengaran dapat di cegah sejak dini. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, peneliti berusaha mencari jawaban tentang bagaimana sesungguhnya perilaku pekerja dalam menggunakan APD telinga. Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan alat pelindung telinga :
Universitas Sumatera Utara
1. Kebijakan/ peraturan yang diberlakukan oleh pihak manajemen, 2. Pengawasan, 3. Pelatihan/ Penyuluhan khusus, terutama tentang cara memakai dan merawat APD tersebut. Jenis-jenis alat pelindung telinga: 1. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insertprotector), dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membran timpani. Beberapa tipe sumbat telinga :
formable type,
custom-molded type,
premolded type. Sumbat telinga bisa
mengurangi bising s/d 30 dB lebih, 2. Tutup telinga (earmuff/protective caps/circumauralprotectors), menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40- 50 dB frekuensi 100 – 8000 Hz, 3. Helmet/ enclosure, menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi maksimum 35 dBA pada 250 Hz sampai 50 dB pada frekuensi tinggi. APD ini harus tersedia di tempat kerja tanpa harus membebani pekerja dari segi biaya, perusahaan harus menyediakan APD ini ( Roestam, 2004). Faktor-faktor yang menyebabkan kesakitan dilokasi penelitian adalah kebisingan yang sudah melampaui nilai ambang batas yang berasal dari mesin pabrik sawit yang mengolahnya menjadi CPO. Ada tujuh lokasi di pabrik sawit tersebut memiliki nilai ambang batas kebisingan diatas 85 dB. Fakta tentang angka kesakitan di lihat pada data-data di poliklinik pabrik tersebut banyak keluhan pening sesuai dengan teori bahwa salah satu yang dikenai jika terjadi bising adalah gangguan keseimbangan yang di keluhkan berupa pening
Universitas Sumatera Utara
yang di alami pada umumnya pekerja pabrik. Pekerja bekerja selama 9 jam/hari dalam satu shift kerja. Selain itu ketika pengamatan sesaat di lapangan di jumpai pekerja yang sering lalai bahkan tidak menggunakan APD dan berbicara dengan suara yang keras saat bekerja. Sehingga hal ini merupakan hazard untuk kesehatan telinga pekerjanya. Perilaku pekerja yang sering lalai bahkan tidak mau menggunakan APD telinga banyak di pengaruhi oleh berbagai faktor, namun hingga kini belum pernah di teliti bagaimana pelaksanaan penggunaan APD di perusahaan ini. Sehubungan dengan kondisi tersebut penulis ingin meneliti pengaruh kebijakan, pengawasan dan pelatihan penggunaan alat pelindung pendengaran terhadap gangguan pendengaran pada pekerja pabrik sawit bagian proses PT.A.T.
1.2. Permasalahan Bagaimana pengaruh kebijakan, pengawasan, pelatihan penggunaan Alat Pelindung Pendengaran dengan gangguan pendengaran pada pekerja pabrik sawit bagian proses PT A.T.
1.3. Tujuan 1. Menganalisis pengaruh kebijakkan/peraturan
penggunaan APD telinga
terhadap gangguan pendengaran. 2. Menganalisis tentang pengaruh pengawasan
penggunaan APD telinga
terhadap gangguan pendengaran.
Universitas Sumatera Utara
3. Menganalisis pengaruh pelatihan
penggunaan APD telinga terhadap
gangguan pendengaran.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh antara kebijakan/peraturan, pengawasan dan pelatihan menggunakan alat pelindung pendengaran terhadap gangguan pendengaran.
1.5. Manfaat 1. Sebagai
masukan
bagi
perusahaan
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penggunaan APD telinga yang berguna dalam penentuan kebijakan perusahaan terhadap pekerja dalam melaksanakan dan mematuhi standard operasional yang ditetapkan pihak perusahaan. 2. Agar pekerja mengetahui pentingnya penggunaan APD telinga dan bahayanya apabila tidak menggunakannya terhadap fungsi pendengaran. 3. Menambah wawasan penulis dan pengalaman belajar dengan mengetahui substansi keilmuan tentang APD telinga.
Universitas Sumatera Utara