BAB 1 PENDAHULUAN
A. Judul Dinamika Rumah Cemara dalam Pengelolaan Program CSR ( Studi Tentang Institusi Lokal dalam Memberdayakan Masyarakat di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)
B. Alasan Pemilihan Judul 1. Orisinalitas Penelitian ini berdasarkan data survey KKN-PPM UGM 2015 yang dilakukan oleh peneliti mengenai dinamika Rumah Cemara dalam pengelolaan CSR di Kelurahan Lomanis pada tanggal 13 Maret 2015 lalu. Peneliti melihat ada hal yang menarik untuk diteliti sehingga melakukan penelitian ini. Sebelumnya pernah dilakukan penelitian yang berlokasi di Lomanis, yaitu penelitian yang
urahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan oleh Catharina Siena Mira Aprilianingtyas Ekaputri, mahasiswa dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM pada tahun 2014. Dalam penelitian ini melihat Rumah Cemara sebagai ruang multi aktor yang dianggap memiliki dualitas dengan LPPMK sehingga perusahaan yang beroperasi di Lomanis ada yang mendukung dan kurang mendukung. Selain itu, penelitian ini menjelaskan upaya
Rumah Cemara dalam mempertahankan eksistensi dengan medi a sosial dan partisipasi dari anggota Rumah Cemara yang masih rendah. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian kali ini melihat dinamika Rumah Cemara mulai dari sejarah terbentuk sampai dengan mencapai antiklimaks dengan adanya persinggungan antar aktor yang terlibat di dalam kegiatan Rumah Cemara Terdapat
penelitian
skripsi
terkait
institusi
lokal
yang
berjudul:
Lokal Kelompok Kandang Satwa Mulya Dusun Paten Sumberagung Jetis Bantul dalam Pemenuhan Kebutuhan Anggota) yang disusun oleh Tri Puspitasari pada tahun 2014. Penelitian yang dilakukan memiliki kesamaan tentang objek yang diteliti yaitu institusi lokal. Akan tetapi, penelitian ini meneliti tentang ketidakberfungsian dari institusi lokal itu sendiri karena pengaruh dari dalam seperti motivasi, sumber daya manusia, dan modal sosial. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan melihat dinamika dari institusi lokal dengan aktor yang terkait tidak hanya dari dalam institusi tetapi juga dari luar institusi.
Mandiri Masyarakat Giricahyo dan Organisasi Pengelola Air Kaligede Masayarakat Giriharjo dalam Menghadapi Keberlanjutan Proses Pembangunan) yang disusun oleh Fransiska Romana C pada tahun 2014 sebagai penelitian tesis. Dalam penelitian ini, institusi lokal yang dibentuk berdasarkan inisiasi pemerintah agar tidak lagi bergantung kepada pemerintah dan melihat bagaimana eksistensi institusi lokal ini pasca pembangunan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
peneliti, institusi lokal yang dibentuk berdasarkan inisiasi dari mahasiswa KKN yang kemudian ditindaklanjuti oleh Lurah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Selain itu, Rumah Cemara tidak berkaitan dengan pemerintah tetapi dengan perusahaan.
2. Aktualitas Kelurahan Lomanis memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan daerah lain, yaitu dikelilingi oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaanperusahaan besar yang beroperasi di Lomanis adalah PT Pertamina Lubricants, PT Pertamina TBBM, PT Pertamina RU IV, PT Pertamina LPG, dan PT Semen Holcim. Berbagai kegiatan operasional yang dilakukan oleh pihak-pihak perusahaan menimbulkan berbagai dampak yang sangat berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Program CSR yang dilakukan oleh pihak perusahaan disalurkan kepada masyarakat sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat sebagai tanggung jawab
sosial
yang
harus
dilakukan.
Rumah
Cemara
dibentuk
untuk
memberdayakan masyarakat dengan memanfaatkan peluang yang dimiliki oleh wilayah Lomanis sebagai wilayah Ring I yaitu CSR dari perusahaan. Rumah Cemara merupakan sebuah institusi lokal yang baru dibentuk dari inisiasi para stakeholder dan mahasiswa KKN-PPM UGM 2013. Mahasiswa KKN melakukan social mapping kemudian menemukan adanya peluang yang besar untuk memberdayakan masyarakat.
Rumah Cemara dibentuk untuk menjembatani penyaluran CSR perusahaan yang ada di Lomanis agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Aktor-aktor kepentingan yang terkait mempengaruhi kinerja Rumah Cemara sebagai perantara bagi perusahaan dan masyarakat. aktor yang terkait ada yang mendukung Rumah Cemara dan ada pula yang tidak sejalan dengan tujuan dari Rumah Cemara. Oleh karena itu, peneliti tertarik dengan fenomena ini dan mencoba untuk memahami lebih lanjut mengenai dinamika Rumah Cemara dalam upaya pemberdayaan masyarakat dari awal berdiri sampai dengan sekarang.
3. Relevansi dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik memiliki 3 (tiga) konsentrasi salah satunya adalah Corporate Social Responsibility (CSR). Sebagian wilayah Kelurahan Lomanis digunakan oleh pihak perusahaan untuk kegiatan operasional sehingga perusahaan-perusahaan tersebut wajib untuk memberikan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Pengelolaan dana CSR diberikan kepada institusi yang ada di Kelurahan Lomanis. Rumah Cemara sebagai institusi lokal yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam ranah perusahaan. Tujuan tersebut relevan dengan salah satu konsentrasi di departemen PSdK yaitu CSR (Corporate Social Responsibility) yang mempelajari aspek-aspek dalam kesejahteraan masyarakat melalui perusahaan dengan berbagai program yang dibuat sesuai dengan wilayah tempat berlangsung.
kegiatan operasional perusahaan
C. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam sumberdaya yang dimiliki yang diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat dalam upaya mencapai kesejahteraan. Dari wilayah yang satu dengan wilayah yang lain tentu memiliki potensi atau sumber daya yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan adanya pusat-pusat industri sumberdaya yang diproduksi oleh satu wilayah tetapi tidak diproduksi oleh wilayah lain. Kebutuhan tiap wilayah terpenuhi dari permintaan kebutuhan kepada wilayah lain yang memiliki sumber kebutuhan yang dibutuhkan. Masyarakat menjadi subjek maupun objek dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang baik tergantung pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, tingkat kesejahteraan di setiap wilayah di Indonesia berbeda antara satu dengan yang lain. Masyarakat memiliki berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mencapai kesejahteraan. Potensi yang dimiliki seringkali tidak disadari ataupun memang masyarakat tersebut tidak memiliki kemampuan, pengetahuan, dan faktor pendukung lain dalam mengelola potensi yang dimiliki. Pemberdayaan masyarakat menjadi paradigma utama dalam pembangunan masyarakat yang bertujuan untuk merubah kondisi masyarakat dari kondisi tidak berdaya menjadi berdaya secara mandiri. Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan kegiatan terencana dan kolektif melalui program peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah atau kurang beruntung (disadvantaged group) agar mereka memiliki
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, mengemukakan gagasan, melakukan pilihan-pilihan hidup, melaksanakan kegiatan ekonomi, menjangkau dan memobilisasi sumber, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial (Suharto, 2009:112). Melalui program-program pelatihan, pemberian modal usaha, perluasan akses terhadap pelayanan sosial, dan peningkatan kemandirian, proses pemberdayaan diarahkan agar kelompok lemah tersebut memiliki kemampuan atau keberdayaan. Keberdayaan disini bukan saja dalam arti fisik dan ekonomi, melainkan pula dalam arti psikologis dan sosial, seperti: 1. Memiliki sumber pendapatan yang dapat menopang kebutuhan diri dan keluarganya 2. Mampu mengemukakan gagasan di dalam keluarga maupun di depan umum 3. Memiliki mobilitas yang cukup luas seperti pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya 4. Berpartisipasi dalam kehidupan sosial 5. Mampu membuat keputusan dan menentukan pilihan-pilihan hidupnya Pemberdayaan dapat dilakukan oleh berbagai macam aktor seperti, pemerintah, perusahaan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi lokal, dan lain-lain. Semua aktor tersebut memiliki perannya masingmasing sesuai dengan kemampuan para aktor itu sendiri. Perusahaan merupakan salah satu aktor yang melakukan program pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tanggung jawab sosial yang dimiliki. Kehadiran perusahaan yang merupakan perusahaan tambang memiliki dampak baik, dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif adanya
perusahaan yaitu dapat menyerap tenaga kerja khususnya masyarakat di wilayah perusahaan beroperasi. Meskipun kuota yang diberikan oleh perusahaan masih belum didominasi oleh tenaga kerja asli wilayah tersebut. Selain itu, dampak negatif yang muncul antara lain pencemaran baik udara, air, dan tanah. Masyarakat menjadi rentan terjangkit penyakit pernapasan seperti ISPA, asma, dan bronkitis. Limbah dari perusahaan itu sendiri juga mengganggu masyarakat karena dapat masuk ke saluran air dan tanah sehingga dapat mencemari lingkungan. Tidak hanya itu, wilayah tempat perusahaan beroperasi dapat terjadi banjir karena saluran air seperti gorong-gorong yang tidak memenuhi standar sehingga dapat menyumbat aliran air. Sampah yang dibuang ke saluran air tersangkut oleh kabel-kabel yang melintang di saluran air yang membuat aliran air menjadi tidak lancar sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah diatur dalam
Regulasi tentang CSR mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 berisi: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksudkan pada ayat
1
merupakan
kewajiban
perseroan
yang
dianggarkan
dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang CSR bagi penanam modal yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007, Pasal 15b yang
menyebutkan
bahwa
setiap
penanam
modal
berkewajiban
untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Undang-undang paling baru yang dikeluarkan pemerintah yaitu mengenai Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Regulasi CSR sendiri sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam dunia bisnis perusahaan. Di berbagai Negara, setiap perusahaan sudah mewajibkan perusahaan mereka untuk melaksanakan kegiatan CSR dan melaporkan kegiatan tersebut secara berkala guna proses pemantauan dan pengontrolan. Regulasi yang ada juga memberikan sanksi yang tegas bagi para pihak yang melanggar dalam pelaksanaannya. CSR yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya sebagai salah satu kewajiban, tetapi juga harus memberikan CSR yang baik. CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yaitu fairness, tansparency, accountability dan responsibility. Keempat prinsip tersebut memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu fairness, tansparency, accountability cenderung bersifat shareholders-driven, karena lebih memperhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan. Sedangkan responsibility lebih mencerminkan stakeholderdriven, karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. CSR yang baik tidak hanya mengedepankan beneficience (do good principle), tetapi juga nonmaleficience (do-no harm principle). Beneficience (do
good principle) sebenarnya hanya akan membuat masyarakat menjadi semakin ketergantungan dan berperilaku konsumtif. Berbeda dengan negara-negara maju di negara lain, hanya negara Indonesia yang mewajibkan korporasi untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi masyarakat dengan undang-undang yang berlaku. Di negara lain, tanggung jawab sosial bersifat sukarela dan tidak terikat peraturan perundangundangan. Meskipun demikian, terkait dengan kegiatan CSR, perusahaan telah sadar secara moral dan sosial untuk mengalokasikan keuntungannya untuk dana CSR. Di wilayah Lomanis, terdapat dua perusahaan besar yang beroperasi yaitu PT Pertamia dan PT Holcim. PT Pertamina memiliki 4 cabang perusahaan yaitu Pertamina Lubricants, Pertamina TBBM, Pertamina RU IV, dan Pertamina LPG. Hanya saja, pembagian dana CSR di wilayah Lomanis masih kurang merata sehingga muncul kecemburuan sosial di dalam masyarakat. Dana CSR yang dilakukan oleh PT Pertamina hanya diberikan kepada RW 3, 4, dan 5, sedangkan PT Holcim hanya memberikan dana bantuan CSR kepada RW 1, 2, dan 6. Dengan adanya perbedaan pemberian bantuan CSR yang diberikan oleh perusahaanperusahaan tersebut maka muncul perbedaan program pemberdayaan yang dilakukan di Lomanis. Tidak hanya kecemburuan sosial akibat adanya perbedan bantuan CSR tersebut, tetapi juga muncul kesenjangan dalam aspek lapangan pekerjaan. Penyerapan tenaga kerja dari pihak perusahaan lebih didominasi oleh mereka yang berasal dari luar wilayah Lomanis. Hal ini membuat masyarakat
menganggap kurang adilnya perusahaan karena seharusnya mereka mendapatkan porsi khusus terkait pekerjaan di perusahaan-perusahaan tersebut. Akan tetapi karena tidak semua kualitas tenaga kerja di Lomanis memiliki kualitas yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku, maka sulit untuk ditempatkan di posisi yang mereka inginkan di perusahaan itu. Banyak yang tidak lulus persyaratan akibat medical checkup yang menunjukkan bahwa tenaga kerja yang berasal dari wilayah Lomanis terkena penyakit pernapasan, salah satunya adalah bronkitis. Anak-anak di Lomanis ratarata telah terinfeksi penyakit pernapasan sejak kecil. Tentu saja hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan operasional perusahaan di wilayah Lomanis yang berpengaruh pada lingkungan. Polusi udara yang terus ada mengakibatkan penyakit pernapasan tersebut tidak dapat dihindari. Hanya sebagian kecil dari warga Lomanis yang tidak terinfeksi penyakit pernapasan sehingga dapat diterima di perusahaan. LPPMK sebagai institusi yang memiliki legitimasi di Lomanis, kurang memberikan kontribusi kepada masyarakat. LPPMK seharusnya menjadi jembatan masyarakat dengan pemerintah. Akan tetapi, LPPMK tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam pengelolaan program pemberdayaan masyarakat, LPPMK juga bekerja sama dengan pihak perusahaan. Anggota LPPMK yang merupakan pemborong dari salah satu perusahaan menjadikan perusahaan memberikan kepercayaannya untuk mengelola bantuan yang diberikan. Namun, berbagai macam program yang diberikan seperti hilang tanpa bekas di masyarakat. Bahkan masyarakat Lomanis tidak merasa mendapatkan bantuan dari
perusahaan. Hal ini disinyalir oleh beberapa pihak bahwa bantuan dari perusahaan dialihkan untuk kepentingan pribadi. Dari hal di atas, perusahaan merasa telah memberikan bantuan tetapi masyarakat merasa belum mendapatkan bantuan apapun. Dari pemborong tersebut, hanya sebagian orang yang ditarik untuk bekerja di perusahaan agar terlihat adanya usaha pemberdayaan dari perusahaan. Sistem ini seperti sistem pemadam kebakaran. Ketika ada yang menuntut, kemudian diberikan pekerjaan sehingga tuntutan menjadi mereda. Di kemudian hari pun terus terjadi peristiwa seperti ini secara berulang-ulang. Mahasiswa KKN yang sedang mengabdi di Lomanis melihat kondisi masyarakat ini sehingga kemudian memberikan usulan untuk mendirikan sebuah institusi lokal yang bertugas untuk mengelola dana bantuan CSR perusahaan untuk disalurkan kepada kelompok-kelompok usaha dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Institusi lokal ini bersifat non-profit yaitu tidak mendapatkan keuntungan. Institusi lokal yang didirikan yaitu Rumah Cemara. Rumah Cemara dibentuk pada tahun 2013 atas inisiasi dari KKN-PPM UGM 2013 bersama dengan para stakeholder dan aparat desa. Rumah Cemara dibentuk sebagai jembatan untuk pendistribusian dana CSR bagi masyarakat dalam program pemberdayaan masyarakat. Di samping itu, di Lomanis terdapat institusi formal pemerintah yang telah ada sebelum Rumah Cemara dibentuk yaitu LPPMK (Lembaga Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Kelurahan). Adanya Rumah Cemara dibentuk guna mensinergikan perspektif kebutuhan masyarakat, pemerintah dan perusahaan mengenai berbagai persoalan yang
berkaitan dengan CSR di wilayah Lomanis. Sebelum Rumah Cemara terbentuk, masyarakat hanya menggunakan CSR sebagai sponsor kegiatan yang akan dilakukan di Kelurahan seperti pengajian maupun acara 17 Agustus-an. Hal ini membuat keberdayaan masyarakat menjadi lemah. Masyarakat yang berdaya merupakan masyarakat yang mandiri. Akan tetapi, masyarakat yang tidak menggunakan CSR dengan tujuan pemberdayaan maka akan menyebabkan ketergantungan bantuan. Jika hal tersebut terus dilakukan maka masyarakat Lomanis tidak akan menjadi masyarakat yang berdaya secara berkelanjutan. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal. Menurut
Sumodiningrat
(1999),
bahwa
pemberdayaan
masyarakat
merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Rumah Cemara menjadi salah satu agen perubahan bagi masyarakat dalam mencapai pemberdayaan bagi masyarakat. Pengajuan proposal kepada pihak
perusahaan tidak semata-mata hanya untuk sponsor acara pengajian maupun acara 17 Agustus-an tetapi benar-benar untuk program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Adanya potensi ikan yang melimpah, kemudian dibuat menjadi salah satu usaha kecil masyarakat sekitar dengan membuat abon ikan. Ketua usaha kecil tersebut bekerja sama dengan Rumah Cemara untuk pengajuan bantuan CSR agar usaha abon ikan semakin berkembang. Dengan adanya usaha kecil tersbut maka dapat menyerap tenaga kerja sekitar seperti ibu-ibu rumah tangga yang dapat menambah penghasilan sehari-hari. Selain itu, usaha tersebut menjadi salah satu program pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh pihak korporat. Rumah Cemara muncul sebagai aktor baru dalam pengelolaan program pemberdayaan yang difokuskan kepada hal yang berhubungan dengan perusahaan. Lurah Lomanis periode sebelumnya menginisiasi institusi ini dengan maksud untuk membantu LPPMK yang kurang berfungsi dengan baik agar tidak menghambat pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, institusi Rumah Cemara tidak memiliki legitimasi secara hukum seperti LPPMK sehingga statusnya masih belum jelas. Adanya Rumah Cemara hanya ditangguhkan dengan SK yang dikeluarkan oleh kelurahan. Hal ini membuat Rumah Cemara mudah untuk dibekukan kegiatannya apabila Lurah-lurah selanjutnya ingin mencabut SK yang sebelumnya. Rumah Cemara dan LPPMK sebenarnya memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan program-program pemberdayaan yang dilakukan. LPPMK dulunya mengelola hubungan masyarakat dengan perusahaan sebelum dibentuk Rumah Cemara sebagai patner dalam hal yang
berhubungan dengan perusahaan. Sampai saat ini pun, LPPMK masih berhubungan dengan perusahaan yaitu Holcim tetapi lebih berfokus pada RW 1, 2, dan 6 melalui Posdaya.
Meskipun demikian, kinerja LPPMK dirasa kurang
berkontribusi secara maksimal dibandingkan dengan Rumah Cemara. Rumah Cemara yang dibentuk untuk menjembatani masyarakat dengan perusahaan lebih dianggap sebagai lawan tanding bagi sebagian orang dari LPPMK. Dari pihak perusahaan pun sebagian ada yang lebih percaya kepada Rumah Cemara. Tetapi, ada pula yang lebih ingin berhubungan dengan LPPMK sebagai institusi yang telah lama ada di Lomanis. Rumah Cemara dipilih menjadi objek penelitian dibandingkan LPPMK karena Rumah Cemara merupakan institusi lokal yang diinisiasi oleh Lurah setelah melihat lembaga formal pemerintah tersebut tidak berfungsi dengan baik. Pengelolaan CSR yang awalnya dilakukan oleh beberapa individu maupun sekelompok orang yang memiliki kepentingan pribadi menyebabkan bantuan yang seharusnya diterima masyarakat tidak dapat tersalurkan dengan baik. Rumah Cemara hadir untuk menjembatani antara masyarakat dan perusahaan tanpa didasari oleh kepentingan. Rumah Cemara dalam perkembangannya dari awal dibentuk sampai sekarang mengalami berbagai hambatan dalam menjalani tugasnya. Tidak hanya dari beberapa tokoh yang memiliki kepentingan, perusahaan bahkan dari pemerintah daerah setempat. Tokoh yang berkepentingan memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan memanfaatkan institusi-institusi yang bekerja sama dengan perusahaan. Pada awalnya tokoh ini dapat memanfaatkan
kesempatan dengan mudah untuk kepentingannya pribadi. Akan tetapi, munculnya Rumah Cemara seakan menjadi sebuah ancaman bagi mereka karena Rumah Cemara memiliki tugas untuk menjembatani CSR perusahaan ke masyarakat. Beberapa perusahaan masih belum berkeinginan untuk bekerja sama dengan Rumah Cemara. Pada dasarnya tidak ada paksaan ataupun kewajiban untuk bekerja sama dengan Rumah Cemara. Akan tetapi, fungsionalisasi terbentuknya Rumah Cemara seakan menjadi kurang optimal karena belum dapat menjembatani seluruh perusahaan yang ada di Lomanis. Beberapa perusahaan tersebut memiliki alasannya tersendiri untuk tidak bekerja sama dengan Rumah Cemara. Pemerintah daerah melihat Rumah Cemara sebagai institusi yang tidak memiliki legitimasi yang kuat karena hanya dibentuk berdasarkan SK Lurah. Akan tetapi, Rumah Cemara diresmikan oleh Lurah dan mendapat SK dari Kelurahan. Camat Cilacap Tengah pernah berdiskusi dengan Lurah Lomanis periode sebelumnya tentang keberlangsungan Rumah Cemara. Meskipun demikian, Lurah tetap mempertahankan Rumah Cemara dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat Lomanis dengan memanfaatkan peluang dari adanya perusahaan yang ada di Lomanis melalui Rumah Cemara. Perjalanan Rumah Cemara sejak awal terbentuk sampai sekarang mengalami berbagai macam hambatan dan dukungan dari para aktor yang terlibat. Aktor-aktor yang terlibat di dalam lingkaran hubungan dengan Rumah Cemara cukup mempengaruhi Rumah Cemara secara tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Cemara hanya berfokus untuk memberdayakan masyarakat
dengan CSR yang telah diberikan beberapa perusahaan yang beroperasi di Lomanis. Berbagai upaya dilakukan agar kegiatan Rumah Cemara dapat terus berjalan tanpa dipengaruhi aktor-aktor baik dari dalam maupun luar Rumah Cemara. Upaya tersebut dapat terlihat dari berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang berasal dari CSR perusahaan yang telah bekerja sama dengan Rumah Cemara. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana dinamika Rumah Cemara dalam pengelolaan CSR perusahaan untuk memberdayakan masyarakat melalui program pemberdayaan di Lomanis.
D. Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka rumusan masalah yang diambil yaitu: 1. Bagaimana dinamika Rumah Cemara dalam pengelolaan program CSR untuk memberdayakan masyarakat di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah? 2. Bagaimana persinggungan antar aktor-aktor yang terkait dengan Rumah Cemara?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Penelitian dilakukan umtuk mengkaji dan memecahkan permasalahan yang akan diteliti. Penetapan tujuan penelitian penting untuk dilakukan agar penelitian dapat berjalan sistematis dan terarah. Adapun tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian a. Ingin mengkaji dinamika Rumah Cemara dalam pengelolaan program CSR di Kelurahan Lomanis. b. Ingin mengetahui bagaimana persinggungan antar aktor-aktor yang terkait dengan Rumah Cemara. 2. Manfaat Penelitian a. Memberikan
gambaran
tentang
dinamika
Rumah
Cemara
dalam
pengelolaan CSR untuk memberdayakan masyarakat Lomanis melalui program pemberdayaan masyarakat. b. Memberikan gambaran tentang persingggungan antar aktor yang terkait dengan dinamina Rumah Cemara. c. Memberikan masukkan kepada para akademisi, pemerintah, perusahaan adanya dinamika institusi lokal yang dibentuk dan mendapat implikasi dari aktor-aktor yang terkait dalam pemberdayaan masyarakat.
F. Tinjauan Pustaka A. Dinamika Institusi Dalam sosiologi, dinamika sosial diartikan sebagai keseluruhan perubahan dari seluruh komponen masyarakat dari waktu ke waktu. Dinamika sosial yang terjadi pada masyarakat dapat berupa perubahan-perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma yang berlaku di masyarakat, pola-pola perilaku individu dan organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan maupun kelas-kelas dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang. Dengan kata lain, perubahan sosial
meliputi perubahan organisasi sosial, status, lembaga dan struktur sosial masyarakat. Beberapa ahli sosiologi yang mendefinisikan dinamika sosial (Soekanto, 1990), antara lain sebagai berikut: a. John Lewis Gillin dan John Philips Gillin, mengatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima dan
disebabkan
oleh
perubahan-perubahan
kondisi
geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, serta karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat. b. Selo Soemardjan, menyatakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. c. William F. Oghburn, menyatakan bahwa ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang nonmaterial. Dari beberapa ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial terjadi dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu terhadap organisasi sosial yang meliputi nilai-nilai, norma, kebudayaan, dan sistem sosial, sehingga terbentuk keseimbangan hubungan sosial masyarakat. Perubahan sosial atau dinamika tidak selalu menghasilkan kemajuan. Perubahan sosial yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi
sistem sosialnya termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Rumah Cemara terbentuk akibat adanya perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Adanya keinginan untuk memberdayakan masyarakat membuat beberapa stakeholder melakukan perubahan untuk merubah sistem sosial yang kurang mendukung masyarakat. Akan tetapi, dalam proses perubahan institusi ini tidak luput dari adanya konflik kepentingan yang mendorong terjadinya dinamika dalam proses tersebut. Dalam fenomena perubahan sosial terdapat teori yang dapat menjelaskan fenomena tersebut, salah satunya Teori Konflik. Teori Konflik, Ralf Dahrendorf Menurut Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus karena tidak akan ada konflik apabila tidak ada konsensus sebelumnya. Dahrendorf melihat bahwa berbagai posisi dalam masyarakat memiliki jumlah otoritas yang berlainan. Otoritas ini tidak terdapat pada diri sendiri namun pada posisi. Jadi otoritas tersebut melekat pada posisi. Otoritas selalu berarti subordinasi dan superordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas tersebut diharapkan akan mengendalikan subordinat. Karena otoritas bersifat legitim, maka sanksi dapat diberikan kepada mereka yang tidak mematuhinya. Masyarakat terdiri dari sejumlah unit yang disebut dengan asosiasi yang ditata berdasarkan perintah. Hal ini dilihat sebagai asosiasi orang yang dikendalikan oleh hierarki posisi otoritas. Otoritas ini dalam setiap asosiasi bersifat dikotomis atau hanya dua kelompok yang dapat berkonflik. Selain
otoritas, kunci lain dalam teori ini adalah kepentingan. Kelompok yang berada di puncak dan di bawah ditentukan oleh kepentingan bersama. Dalam setiap asosiasi, mereka yang berada pada posisi dominan berusaha mempertahankan status quo sementara yang berada pada posisi subordinat berusaha melakukan perubahan. Konflik kepentingan dalam asosiasi apapun bersifat laten sepanjang waktu dan sekaligus berarti legitimasi otoritas selalu berada pada posisi rawan. Kepentingan superordinat dan subordinat bersifat objektif dalam pengertian tercermin pada harapan-harapan (peran) yang melekat pada posisi-posisi tersebut. Harapan-harapan tak sadar ini merupakan kepentingan laten, sedangkan kepentingan laten yang telah disadari merupakan kepentingan manifes. Dahrendorf membedakan tiga tipe besar kelompok. Yang pertama adalah kelompok semu yaitu sekumpulan orang yang menduduki posisi dengan kepentingan peran yang identik. Yang kedua adalah kelompok kepentingan, kelompok ini merupakan agen sesungguhnya dari konflik dan memiliki struktur, bentuk organisasi, program atau tujuan, dan personel anggota. Yang ketiga adalah kelompok konflik, atau kelompok yang benar-benar terlibat dalam konflik kelompok, muncul dari sekian banyak kelompok kepentingan tersebut. Berbagai faktor penyebab terjadinya konflik sosial seperti personel yang memadai, kondisi politik seperti iklim politik keseluruhan, dan kondisi sosial seperti eksistensi hubungan komunikasi. Selain itu, ada pula faktor lain yaitu bagaimana orang direkrut dalam kelompok semu. Jika rekrutmen dilakukan secara acak dan ditentukan oleh peluang, maka kelompok kepentingan bahkan kelompok
konflik cenderung tidak muncul. Namun, apabila rekrutmen ke dalam kelompok semu dilakukan oleh struktural maka dapat memicu munculnya kelompok kepentingan bahkan sampai kelompok konflik. Dahrendorf mengungkapkan adanya hubungan konflik dengan perubahan. Sekali kelompok konflik muncul, maka mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang memicu perubahan dalam struktur sosial. Dalam perkembangan Rumah Cemara terdapat otoritas dari Bapak Edy sebagai Lurah yang memiliki posisi yang mendominasi dan memiliki kepentingan untuk memberdayakan masyarakat Lomanis. Hal ini membuat Bapak Edy bersikukuh untuk membentuk Rumah Cemara meskipun beberapa stakeholder memiliki kepentingan lain di LPPMK sehingga tidak mendukung adanya pembentukan Rumah Cemara. Adanya kepentingan ini menyebabkan terjadinya konflik yang memberikan dampak terhadap perubahan institusi Rumah Cemara itu sendiri. Dari LPPMK yang mendominasi wilayah Lomanis terlihat berusaha mempertahankan status quo demi kepentingan pribadi sedangkan Rumah Cemara yang berada pada posisi subordinat berusaha melakukan perubahan. Perubahan yang dilakukan demi kepentingan masyarakat menjadi terhambat karena kepentingan aktor-aktor yang saling bersinggungan sehingga menyebabkan konflik dalam lingkup Lomanis. Analisis konflik kepentingan Dahrendorf diinterpretasi menggunakan instrumen analisis social mapping
yang dikembangkan oleh Departemen
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada tahun 2012 yakni bagan analisis aktor dan peta aktor. Instrumen analisis social mapping tersebut merupakan
sistesis dan interpretasi dari berbagai macam konsep seperti konsep relasi, modal sosial dan Sustainable Livelihood Approach (SLA). Dalam instrumen analisis social mapping, peta jaringan aktor digunakan untuk melihat hubungan atau relasi antar aktor, baik hubungan positif, hubungan negatif maupun hubungan positif negatif. Sedangkan kuadran aktor digunakan untuk melihat tinggi rendahnya kekuatan dan kepentingan aktor. Konsep relasi yang dipakai salah satunya menggunakan teori Strukturasi Giddens yang membahas tentang relasi antara agen (aktor) dan struktur (sistem) dalam kehidupan masyarakat sebagai fakta sosial yang objektif dan menekankan pada praktik sosial yang tengah berlangsung (Giddens, 2010). Dalam pandangan Giddens struktur itu sebagai aturan dan sumberdaya yang selalu lahir dan memiliki hubungan dualitas dengan agensi serta melahirkan praktik sosial sebagaimana tindakan sosial. Agen atau aktor memiliki kemampuan menciptakan perbedaan sosial dan tidak mungkin ada tanpa kekuasaan. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 2002). Modal sosial terdiri dari tiga unsur utama, yaitu trust (kepercayaan). Reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial. Trust (kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial.
Unsur penting kedua dari modal sosial adalah reciprocal (timbal balik), dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu yang dapat muncul dari proses interaksi sosial (Soetomo, 2006: 87). Unsur yang selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup kepercayaan dan lingkup hubungan timbal balik. Jaringan sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Jaringan sosial yakni sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis, dll. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut (Pratikno dkk, 2000).
B. Institusi Lokal Istilah kelembagaan dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably sehingga bersifat ambigu. Kedua kata ini sering menimbulkan perdebatan di antara para ahli sosial. Hal ini karena pandangan setiap orang berbeda-beda atau sering mempertukarkan penggunaan istilahnya. Tiga kategori yang umumnya diketahui yaitu: (a) organisasi bukan institusi, (b) institusi bukan organisasi, dan (c) organisasi adalah institusi (atau sebaliknya, institusi adalah
organisasi). Selain itu, pandangan orang lebih mengartikan kelembagaan sebagai organisasi, wadah atau pranata. Pengertian organisasi hanya berupa wadah, sedangkan pengertian lembaga mencakup aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan terwujud karena adanya perasaan senasib, saling membutuhkan dan perasaan kebersamaan yang di didalamnya terdapat interaksi pada nilai dan norma serta perilaku yang berlangsung lama dengan tujuan yang disepakati bersama, meskipun tidak selalu bersifat formal. (Dwipayana, 2005: 111) Definisi sederhana yang membedakan antara organisasi (organization) dengan kelembagaan (institution) sebagai berikut: Organizations are structures of recognised and accepted roles. Institutions are complexes of norms and behaviours that persist over time by serving collectively (socially) valued purposed. (Uphoff, 1986:8) Ada berbagai definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli, lembaga adalah:
..... aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984).
..... aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986).
..... sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan organisasi umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai aturan yangmengatur hubungan antar anggota maupun dengan orang lain di luar organisasi itu (Nabli dan Nugent, 1989).
..... aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya (North, 1990).
Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini
sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan adalah:
Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
Norman Uphoff (1986: 8-9) mengartikan kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Kelembagaan dapat berwujud organisasi seperti pengadilan dan bukan organisasi seperti hukum. Dengan demikian, kelembagaan berhubungan dengan pola-pola tindakan individu dalam ruang hidupnya. Sama halnya dengan Rumah Cemara merupakan suatu bentuk kompleksitas yang terjalin di lingkungan
masyarakat yang berasal dari dampak kehadiran perusahaan. Orientasi sosial Rumah Cemara adalah menciptakan sebuah dinamika hubungan yang lebih praktis antara masyarakat dengan perusahaan melalui sebuah wadah kelembagaan di kawasan Kelurahan Lomanis. Menurut sektornya, kelembagaan lokal merupakan suatu rangkaian antara sektor publik (public sector), sektor privat (privat sector), dan sektor antara yang bersifat sukarela (voluntary sector) (Uphoff, 1986: 4-5). Tabel 1.1. Rangkaian kesatuan pada local institution menurut sektornya. Participatory Sector Sektor Publik
Sektor Privat (voluntary sector) Organisasi Organisasi yang bersifat
Pemerintah
Pemerintahan
Daerah
Lokal
sukarela
yang
Wiraswasta
bergerak di
(private
bidang jasa
bussiness)
Cooperatives
(organisasi sosial) Jenis-jenis institusi lokal
Orientasi Lembaga Birokrasi
Politik
Sosial
mencari
Swadaya keuntungan Peran individu dalam kaitannya dengan institusi lokal Warga Konstituen
Anggota
Anggota
Klien
Pelanggan
Negara
(Sumber: Uphoff. 1989: 5 dalam Local Institutions and Participation for Sustainable Development)
Upaya pemberdayaan yang dilakukan masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat Lomanis. Tentu membutuhkan adanya tindakan bersama melalui institusi sosial di tingkat lokal. Institusi lokal dapat diklasifikasikan ke dalam enam macam, yaitu: a) Administrasi lokal yang merupakan kepanjangan tangan atau perwakilan departemen pemerintah pusat pada tingkat lokal, b) Pemerintah lokal yang mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pembangunan dan membuat regulasi yang dipertanggungjawabkan kepada warga masyarakat, c) Asosiasi lokal dengan keanggotaan bersifa sukarela, yang dikembangkan untuk berbagai macam tujuan, d) Koperasi sebagai alat kerjasama anggota untuk memperoleh keuntungan ekonomis, e) Organisasi pelayanan lokal, dan f) Usaha ekonomi perorangan di bidang manufaktur, perdagangan atau jasa. Kategori ketiga, asosiasi lokal dibedakan menjadi tiga kategori yaitu yang memiliki multifungsi seperti komite desa, yang mempunyai misi spesifik seperti organisasi pengelola air dan yang mewadahi kebutuhan khusus anggota seperti arisan ibu-ibu. Kategori administrasi lokal dan pemerintahan lokal merupakan sektor publik. Kategori asosiasi lokal yang bersifat sukarela dan koperasi merupakan sektor sukarela. Sedangkan kategori organisasi pelayanan lokal dan usaha ekonomi perseorangan merupakan sektor privat.
Rumah Cemara merupakan sektor sukarela karena dalam pelaksanan setiap kegiatan yang dilakukan tanpa memungut biaya baik dari perusahaan maupun dari masyarakat atas fasilitasi yang telah dilakukan. Aktor-aktor yang memiliki kepentingan melihat Rumah Cemara sebagai lembaga yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Rumah Cemara masih menjadi perdebatan banyak pihak. Legalitas Rumah Cemara memang hanya sebatas SK Kelurahan. Sebagai institusi lokal, Rumah Cemara memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lomanis dengan adanya CSR dari perusahaan. Kelembagaan lokal yang cukup strategis bagi upaya pemberdayaan memiliki karakter berikut, yaitu di satu pihak merupakan institusi yang dapat memfasilitasi tindakan bersama, dan di lain pihak berada di luar jangkauan campur tangan negara. Sektor sukarela seperti ini dapat memfasilitasi berbagai tindakan bersama berdasarkan inisiatif lokal yang diputuskan bersama, atas tanggung jawab bersama pula, sehingga tidak dikontrol, dikendalikan atau tergantung dari program-program pemerintah. Kedudukan sektor sukarela yang berada di antara sektor privat dan sektor publik dianggap mempunyai potensi memainkan peran sebagai struktur mediasi yang dapat menjembatani kehidupan privat dan kehidupan publik (Nugroho, 2001: 142). Rumah Cemara termasuk ke dalam sektor sukarela yang menjadi mediator antara privat (perusahaan) dan publik (masyarakat). Kelembagaan dalam masyarakat biasanya merujuk pada suatu badan, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai bentuk organisasi
yang memiliki beragam tujuan. Perihal sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu, apabila diwujudkan dalam hubungan antarmanusia dinamakan organisasi sosial. Rumah Cemara dapat disebut sebagai organisasi sosial karena terdapat struktur organisasi yang memiliki tugasnya masing -masing. Sebagai sebuah institusi lokal, Rumah Cemara memiliki perbedaan dengan LPPMK sebagai institusi formal yang memiliki legalitas. Rumah Cemara tidak terikat dengan birokrasi maupun kepentingan politik lain dan berdiri sendiri (selfhelp). Institusi lokal memiliki keinginan paling kuat untuk mendukung keberlanjutan pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi, hal ini tidak dapat digeneralisasikan karena sebuah institusi lokal memiliki kekuatan dan kelemahan. Rumah Cemara yang merupakan sektor sukarela benar-benar berupaya untuk mencapai tujuannya dalam memberdayakan masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat dari CSR perusahaan. Akan tetapi, legitimasi dari Rumah Cemara masih kurang kuat karena tidak memiliki legalitas secara hukum yang kuat.