BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi merupakan satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia.
Perbedaan kebudayaan itu
dipengaruhi oleh letak geografis dan aturan yang berlaku dalam daerah tempat tinggal setiap suku itu. Salah satu suku tersebut adalah suku Mandailing. Suku mandailing secara umum mendiami beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Utara, seperti Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. Koentjaraningrat (2002:4) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri manusia dengan belajar. Dan membagi kebudayaan atas tujuh unsur yaitu: sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian. Goodenough (dalam Kalangie, 1994:7) juga mengemukakan bahwa “kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia yang diturunkan secara turuntemurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan diterima oleh pewarisnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari”.
Masyarakat Mandailing memiliki kebudayan berupa adat-istiadat yang perlu dilindungi dan dipertahankan. Masyarakat suku Mandailing masih sangat melestarikan kebudayaannya. Diantaranya adalah upacara adat perkawinan,
Universitas Sumatera Utara
upacara adat kematian, tarian tortor, uning-uningan, dan permainan tradisional. Adat-istiadat ini merupakan aturan atau norma yang menjadi pedoman hidup bagi setiap individu dalam kehidupan di tengah masyarakat dan setiap individu tersebut terikat kepada norma atau aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini adat-istiadat perkawinan sebagai suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi, yaitu upacara yang dilakukan untuk membuat sebuah ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan. Upacara adat perkawinan dalam
masyarakat
Mandailing
merupakan
serangkaian
upacara
yang
memancarkan kebesaran suatu tatanan adat-istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Mandailing secara turun-temurun. seiring perkembangan dan kemajuan zaman, makna dari adat-istiadat tersebut menjadi kabur dan tidak tertutup kemungkinan akan hilang. Menurut pengamatan penulis di lapangan, masyarakat
Mandailing pada saat ini hanya melihat adat-istiadat itu sebagai
formalitas saja tanpa memperhatikan asal-usul dan makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini yang membuat penulis tergerak untuk meneliti makna-makna yang terkandung pada upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing agar kebudayaan tersebut dapat di inventarisasi dan tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman, karena upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing tersebut menurut penulis mempunyai makna budaya yang harus dilestarikan. Bagi masyarakat Mandailing, rangkaian upacara perkawinan merupakan gambaran dari kehidupan sehari-hari. Pada upacara tersebut akan diketahui sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya yang diatur melalui Dalihan Na Tolu. Misalnya, apa tutur atau sistem kekerabatan yang diucapkan kepada
Universitas Sumatera Utara
orang yang lebih tua dalam ikatan semarga (kahanggi), keluarga dari pihak lakilaki(anak boru) maupun pihak keluarga perempuan (mora). Upacara adat perkawinan Mandailing menggunakan berbagai bentuk tanda yang masing-masing mengandung makna dan informasi. Setiap tanda yang ada dalam upacara perkawinan masyarakat Mandailing mempunyai makna tersendiri yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Selain itu,
tanda
tersebut mencerminkan perilaku, pikiran, atau ide-ide masyarakat yang bersifat kesopanan, didikan, kebijaksanaan yang harus dijalankan oleh kedua mempelai agar rumah tangga mereka tetap utuh. Terciptanya informasi atau makna dari tanda-tanda itu semua hasil konvensi dari masyarakat setempat. Dengan demikian, kepada generasi berikutnya diharapkan dapat mempertahankan makna tanda tersebut serta dapat menimbulkan sikap kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan masyarakat Mandailing. Dalam upacara adat perkawinan Mandailing banyak dijumpai bentuk benda yang mempunyai arti. Setiap posisi atau letak dari benda tersebut mempunyai makna. Hegel (dalam Pettinasary, 1996:2) menegaskan bahwa sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada suatu posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol. Tanda- tanda dalam upacara adat perkawinan Mandailing tidak terlepas dari makna. Tanda-tanda yang ada dalam upacara perkawinan Mandailing memiliki fungsi sebagai cerminan kepribadian masyarakat Mandailing. Masyarakat Mandailing diharapkan tetap menjaga segala bentuk, aturan, dan kegunaan tandatanda sehingga tatanan adat-istiadat Mandailing tetap berlanjut.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: Tanda dan makna apa saja yang terdapat dalam upacara adat perkawinan pada masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : Mendeskripsikan tanda dan makna yang terdapat dalam upacara perkawinan masyarakat Mandailing.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis Adapun manfaat secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1.
Menambah khasanah pengkajian terhadap tanda-tanda dalam upacara perkawinan.
2.
Menjadi acuan dan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tandatanda yang ada dalam upacara perkawinan, dan
Universitas Sumatera Utara
3.
Upaya mempertahankan makna dari tanda-tanda yang ada pada upacara perkawinan masyarakat Mandailing.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : 1.
Merupakan tambahan referensi bagi mahasiswa yang ingin mengembangkan penulisan yang lebih mendalam tentang tanda dalam upacara adat perkawinan.
2.
Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat, khususnya generasi muda mengenai makna dari tanda-tanda yang ada dalam upacara perkawinan masyarakat Mandailing.
1.5
Etnografi Masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas
1.5.1 Geografis Kabupaten Padang Lawas Kabupaten yang berada di bagian pada kawasan pantai timur Kabupaten Padang lawas dengan Ibukota Sibuhuan merupakan salah satu Provinsi Sumatera Utara yang terletak pada koordinat 1° 26’ - 2° 11’ Lintang Utara dan 91° 01’ - 95° 53’ Bujur Timur dengan batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah utara : berbatasan dengan Kecamatan Batang Onang, Kecamatan Portibi, Kecamatan Padang Bolak, Kecamatan Halongonan, Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara;
-
Sebelah timur : berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau;
Universitas Sumatera Utara
-
Sebelah selatan : berbatasan dengan Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat, Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal; dan
-
Sebelah barat : berbatasan dengan Kecamatan Bukit Malintang Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Sayur Matinggi dan Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. Adapun kecamatan yang terletak di Kabupaten Padang Lawas yaitu
Kecamatan Barumun, Kecamatan Ulu Barumun, Kecamatan Lubuk Barumun, Kecamatan Sosa, Kecamatan Sosopan, Kecamatan Batang Lobu Sutam, Kecamatan Hutaraja Tinggi, Kecamatan Barumun Tengah, Kecamatan Huristak, Aek Nabara Barumun, Barumun Selatan, Sihapas Barumun.
1.5.2 Demografi Kabupaten Padang Lawas didiami
beberapa etnis, yaitu : Batak
Mandailing, Batak Toba, Jawa, Nias, Minang, Melayu, Karo, dan Aceh. Namun etnis yang mendominasi di Kabupaten Padang Lawas adalah Batak Mandailing.
1.5.3 Identifikasi Desa Hutanopan Desa Hutanopan ini merupakan pusat atau objek penelitian penulis. Secara geografis Desa Hutanopan memiliki batas-batas sebagai berikut : -
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Jae Batu Kecamatan Lubuk Barumun
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Hutaibus Kecamatan Lubuk Barumun
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Batang Bulu Kecamatan Lubuk Barumun
Universitas Sumatera Utara
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Latong Kecamatan Lubuk Barumun
1.5.4 Sistem Religi Pada masa sekarang ini secara umum masyarakat Mandailing menganut agama Islam. Namun nenek moyang mereka sebelum masuk agama Islam masih menganut animisme atau pelebegu (suatu pemujaan terhadap roh nenek moyang). Ajaran pelebegu tersebut mengakui adanya bermacam makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan malapetaka atas diri manusia (Ritonga 1997 : 10) Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak agama Islam masuk ke Mandailing yang dibawa oleh kaum Padri dari Minangkabau. Setelah masyarakat Mandailing memeluk agama Islam, membawa pengaruhpengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Ajaran Islam melarang setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada acara ritual tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
1.5.5 Bahasa
Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Mandailing.
Bahasa tersebut dapat dipakai di
daerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai media komunikasi
di
antara
sesama
Mandailing.
Nasution,
(2005
14-15),
mengungkapkan bahasa Mandailing terdiri dari lima tingkatan, yaitu : -
Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)
-
Bahasa andung (bahasa pada waktu bersedih)
Universitas Sumatera Utara
-
Bahasa parkapur (bahasa ketika di hutan)
-
Bahasa na biaso (bahasa sehari-hari)
-
Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar)
1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing Sistem kekerabatan masyarakat Mandailing masih berpegang pada adatistiadat yang disebut markoum marsisolkot, adat-istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak-pihak yang dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti markoum adalah berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang jauh atau orang yang tidak pernah kenal. Sedangkan marsisolkot artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu nenek moyang. Adat-istiadat markoum marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga sebagai dalihan na tolu. Dalihan artinya tungku, dan na tolu artinya yang tiga. Maksudnya, ketiga batu ini menjunjung satu wadah atau satu adat, yakni tiga unsur kelompok yang berbeda menjungjung satu wadah adat Mandailing yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora. -
Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak yang bersaudara kandung
ditambah dengan kelompok yang sesama satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama – saina (satu ayah, satu ibu), saompu (satu nenek), saparamaan (satu bapak), sabana (seketurunan). -
Anak boru adalah kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak
mora. Biasanya anak boru ini sangat hormat kepada mora. -
Mora adalah kelompok saudara-saudara dari isteri-isteri dari pihak kita atau
tempat pengambilan anak gadis dari pihak anak boru.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Mandailing garis keturunan adalah melalui ayah atau yang disebut dengan patrilinieal. Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga akan meletakkan marganya dibelakang namanya sendiri. Karena ini merupakan suatu tradisi yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Mandailing sejak dulu.
Universitas Sumatera Utara