BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara rawan bencana karena kondisi geografisnya.
Indonesia berada pada jalur pertemuan tiga lempeng raksasa yaitu lempeng Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik serta terletak pada zona Ring of Fire. Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi wilayah rawan mengalami bencana seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi. Di Indonesia salah satu kawasan rawan bencana adalah Sumatera Barat. Provinsi ini berada pada jalur patahan Semangko dan terletak pada pertemuan lempeng yang mengakibatkan Sumatera Barat berada pada rawan bencana (BNPB, 2014). Pada penanganan bencana, identifikasi korban yang hidup langsung dibantu oleh tim medis dan para medis. Tetapi pada korban yang meninggal perlu ditangani secara khusus dengan menggunakan bantuan tim forensik kedokteran bersama odontologi forensik. Dalam melakukan identifikasi terdapat berbagai macam metode dan teknik yang bisa digunakan (Singh, 2008). Pada awal abad ke 19 ada pengetahuan identifikasi secara ilmiah yang diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan menggunakan ciri umum sebagai alat bukti identifikasi seperti ukuran anthropometri, warna rambut dan mata. Identifikasi secara umum mempunyai keterbatasan yang disebabkan karena adanya pertambahan usia sehingga seseorang secara biologis mengalami perubahan-perubahan serta mengalami kesulitan dalam penyimpanan data secara sistematis (Singh, 2008).
1
2
Untuk identifikasi forensik ada dua data yang bisa digunakan. Data primer yang terdiri dari sidik jari, analisis DNA dan dental record sedangkan data sekunder terdiri dari analisis sidik bibir dan analisis rugae palatina (Caldas et al, 2007 ; Prawestiningtyas, 2009). Pada data primer seperti metode DNA mempunyai tingkat keakuratan yang baik, tetapi memiliki kendala yang tidak bisa digunakan pada kasus yang dibutuhkan identifikasi segera (Patil, 2008). Prosedur pembuktian dengan metode DNA membutuhkan waktu yang lama, karena analisisnya memerlukan keahlian dan teknologi yang canggih (Mushannavar et al, 2015). Sidik bibir juga dapat membantu dalam proses identifikasi di bidang forensik karena memiliki bentuk yang berbeda setiap individu. Sidik bibir jarang digunakan karena posisi bibir yang terletak di luar sehingga proses dekomposisi lebih cepat (Chairani dan Auerkari, 2008). Rugae palatina mirip seperti sidik jari. Menentukan identitas secara pasti karena sifat kekhususanya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada kasus saudara kembar satu telur dan juga tidak akan berubah selama kehidupan individu (Shetty dan Premalatha, 2011). Keunggulan rugae palatina bisa digunakan sebagai alat bantu identifikasi korban, pada saat analisis sidik jari tidak dapat dilakukan seperti kasus tangan terbakar atau korban yang telah mengalami dekomposisi (Chairani dan Auerkari, 2008 ; Shetty dan Premalatha, 2011). Rugae palatina memiliki morfologi unik yang sangat individualistik dan proses analisis dapat dilakukan dengan mudah dan murah yaitu dengan pembuatan cetakan rahang atas individu atau foto intra oral dari rahang atas (Chairani dan Auerkari, 2008). Palatoscopy atau rugoscopy palatina adalah nama yang diberikan untuk mempelajari rugae palatina dalam rangka membangun identitas seseorang. Pola
3
rugae palatina memiliki keunikan individu. Pola rugae palatina yang telah diakui jelas sebagai sumber potensi yang dapat diandalkan untuk identifikasi (Kesri et al, 2014). Rugae palatina merupakan ridge dari membran mukosa yang irregular dan asimetris yang meluas ke lateral dari papilla insisivus dan bagian anterior dari median palatal raphe (Caldas et al, 2007). Rugae palatina muncul pada bulan ketiga kehidupan intrauterine, perkembangan dan pertumbuhan dikontrol oleh interaksi epitel mesenkim (Kesri et al, 2014). Setelah terbentuk, rugae palatina tidak akan mengalami perubahan apapun kecuali panjang, sesuai dengan pertumbuhan normal (Mushannavar et al, 2015). Pola rugae palatina yang dapat dipelajari meliputi jumlah, panjang, lokasi dan bentuknya. Pola rugae palatina dapat dilihat melalui cetakan gigi atau foto intra oral (Chairani dan Auerkari, 2008). Pola rugae palatina menurut Thomas CF dan Kotze pada tahun 1983 yang paling sering digunakan dan memiliki klasifikasi bentuk yang lengkap. Berdasarkan bentuk, rugae terbagi menjadi melengkung, bergelombang, lurus, sirkular serta menambahkan cabang atau unifikasi tergantung pada asalnya. Klasifikasi menurut Kapali pada tahun 1997 mengkategorikan ukuran rugae palatina menjadi rugae primer: (dibagi menjadi dua bentuk, yaitu rugae A: panjang 5-10 mm dan rugae B: 10 mm atau lebih), rugae sekunder: 3-5 mm dan rugae fragmenter kurang dari 3 mm (Chairani dan Auerkari, 2008). Kelebihan rugae palatina mampu terlindungi dari trauma dan suhu tinggi karena posisi rugae yang berada di dalam rongga mulut. Rugae dikelilingi dan dilindungi oleh bibir, pipi, lidah, gigi dan tulang (Shetty dan Premalatha, 2011).
4
Pola rugae palatina tidak akan berubah hingga mengalami degenerasi mukosa mulut saat seseorang meninggal (Kesri et al, 2014). Muthusubramanian et al di India pada tahun 2005 membandingkan 30 korban luka bakar dan 30 kadaver. Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak banyak perubahan yang terjadi pada pola rugae palatina kasus kebakaran atau pada kadaver. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa 93% dari korban kebakaran dengan luka bakar derajat tiga dan 77% pada kadaver tidak terdapat perubahan pola rugae palatina serta menyatakan bahwa rugae palatina dapat bertahan dari dekomposisi hingga 7 hari setelah kematian. Walaupun mengalami perubahan, tetapi perubahan rugae palatina tidaklah sebesar perubahan pada bagian tubuh yang lain (Muthusubramanian et al, 2005). Rugae palatina dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada populasi tertentu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fahmi et al pada tahun 2001 membandingkan 60 pria dan 60 wanita populasi Arab Saudi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada jumlah dan panjang rugae pria dan wanita. Tetapi dari segi bentuk bentuk terdapat perbedaan, bentuk rugae konvergen lebih banyak pada perempuan dan bentuk rugae sirkular lebih banyak pada pria (Chairani dan Auerkari, 2008). Rugae palatina tidak hanya menentukan jenis kelamin, ras dan individu. Rugae palatina dapat dijadikan alat penting dalam menentukan garis keturunan seseorang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rajesh N dkk pada tahun 2015 dengan 30 kelompok anggota keluarga di India, menunjukkan bahwa adanya kemiripan pola rugae palatina anak dengan pola rugae palatina orang tua. Hasil
5
penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada peran herediter dalam pola rugae palatina seseorang (Patel et al, 2015). Pewarisan watak dari induk pada keturunannya baik secara biologis melalui gen (DNA) atau secara sosial melalui pewarisan gelar (Citrawathi dan Mulyadiharja, 2014). Secara genetik, persentase pewarisan sifat yang diturunkan adalah 50% dari ibu dan 50% dari ayah kepada anaknya. Persentase untuk saudara kandung atau kakak adik yang memiliki orang tua biologis sama akan berbagi 50% dari gen mereka (Suryo, 2011). Fenotip merupakan karakteristik yang dapat dianalisis dengan panca indera (Yuwono, 2005) misalnya bentuk rugae palatina. Penelitian yang membandingkan rugae palatina pada saudara kandung masih jarang bahkan di Indonesia belum ada yang melakukan penelitiannya. Penelitian yang sudah pernah dilakukan yaitu di India oleh Kochhar pada tahun 2015 dengan membandingkan perempuan dan laki-laki saudara kandung yang berumur 5 sampai 15 tahun menunjukkan hasil bahwa adanya terdapat perbedaan bentuk, tetapi dari jumlah rugae palatina tidak terdapat perbedaan signifikan (Kochhar, 2015). Penelitian yang membandingkan rugae palatina antara saudara kandung pada suku Minangkabau belum ada. Dari penelitian ini peneliti tertarik melakukan perbandingan antara saudara kandung pada suku Minangkabau. Suku Minangkabau memiliki hubungan kekerabatan matrilineal. Matrilineal adalah aturan penarikan garis keturunan yang terikat dalam jalinan kekerabatan pada pihak ibu sejak lahir (Sutardi, 2007). Asal budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo (Djamaris, 2001). Luhak Nan Tigo terdiri atas Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Kota (Fauzan, 2011).
6
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik ingin melakukan analitik observasional tentang perbedaan pola rugae palatina perempuan dan lakilaki saudara kandung pada suku Minangkabau.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Apakah ada perbedaan bentuk rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau?
2.
Apakah ada perbedaan ukuran rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan bentuk dan ukuran rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 1. Untuk mengetahui perbedaan bentuk rugae palatina perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau. 2. Untuk mengetahui perbedaan ukuran rugae palatina perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau.
7
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Akademis
a.
Bagi ilmu pengetahuan : Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai ciri khas rugae palatina suku Minangkabau antara perempuan dan laki-laki saudara kandung dalam ilmu forensik khususnya odontologi forensik dan ilmu pengetahuan pada dokter gigi dan tenaga profesional yang bekerja dibidang forensik.
b.
Bagi peneliti : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana penerapan ilmu kedokteran gigi yang telah didapat selama masa perkuliahan serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam bidang odontologi forensik.
c.
Bagi penelitian selanjutnya : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal yang menjadi landasan pada penelitian berikutnya antara hubungan keturunan dengan bentuk rugae palatina.
1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu acuan untuk identikasi forensik.
1.5
Ruang Lingkup Peneltian Ruang lingkup penelitian ini adalah perbedaan bentuk dan ukuran rugae palatina antara perempuan dan laki-laki saudara kandung pada suku Minangkabau yang berasal dari wilayah Luhak Nan Tigo.