1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Jepang telah menjadi negara penting di dunia. Baik dari segi ekonomi,
politik, sosial, maupun budaya. Dalam konteks kebudayaan dunia yang sangat dinamis saat ini, kebudayaan Jepang mengambil tempat yang penting, tidak terkecuali kebudayaan populernya. Kebudayaan populer Jepang juga telah menjadi salah satu kiblat bagi budaya populer dunia. Misalnya saja musik pop Jepang atau J-Pop, komik Jepang atau manga, tayangan kartun Jepang atau anime, dan Harajuku fashion. Tidak ketinggalan juga berbagai merchandise kecil yang lucu dan imut - yang dalam bahasa Jepang sering direpresentasikan melalui kata kawaii - seperti merchandise dari karakter Hello Kitty, Doraemon, Pokemon, Badzmaru, dan karakter lainnya yang cukup berpengaruh dalam industri hiburan Jepang. Orang Jepang sangat menggemari sesuatu yang bergaya kawaii. Khususnya kalangan anak mudanya. Gaya kawaii dapat terlihat di berbagai tempat, produk, dan dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang. Sejak awal kemunculannya pada awal tahun 1970an, gaya kawaii telah menjadi salah satu aspek menonjol dalam budaya populer Jepang dan juga dunia bisnis Jepang. Gaya kawaii dewasa ini muncul dalam berbagai produk dan tampilan. Antara lain dalam dunia fesyen, makanan, merchandise, desain maupun kemasan produk, gaya hidup dan penampilan perseorangan, serta tingkah laku sehari-hari. Tidak hanya perorangan, kalangan pemerintahan, perkantoran, dan layanan publik, hingga kalangan militer pun tidak sedikit yang menggunakan ikon-ikon atau maskot yang kawaii dalam propaganda mereka kepada publik dan konsumen. Misalnya dalam iklan publikasi pemerintah, iklan layanan masyarakat, dalam lingkungan perkantoran dan instansi, propaganda militer, propaganda dan maskot perusahaan, dan sebagainya. Brian Bemner (2002) mengatakan bahwa kawaii sangat laris di Jepang. Berbagai tempat dan produk menggunakan elemen-elemen yang berimej kawaii
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
2
dalam desain tampilannya. Sedangkan Kageyama (2006) mengatakan, produksi maupun penjualan produk-produk bergaya kawaii tidak kalah besarnya dengan produksi maupun penjualan produk-produk andalan Jepang lainnya seperti otomotif dan elektronik. Sebagai contoh, papan dan baliho iklan di stasiun kereta api, papan nama toko, piranti perangkat lunak bagi tampilan layar monitor, berbagai media seperti majalah-majalah gaya hidup dan fesyen bagi anak muda sering kali mengusung imej kawaii dalam desainnya. Kemudian, karakter kartun sering digunakan sebagai karakter utama atau tokoh representatif dalam berbagai produk di Jepang. Dalam bidang industri musik dan hiburan, para artis dan idola dunia hiburan berkostum dengan tema kawaii, dunia periklanan banyak menggunakan karakterkarakter dan tulisan bergaya kawaii, dan berbagai produk-produk atau merchandise baik yang berbentuk karakter manusia maupun binatang didesain dengan gaya kawaii (Bremner, 2002). Selain itu berbagai perusahaan, pelayanan publik, maupun instansi seperti perbankan di Jepang menggunakan karakter berlisensi sebagai maskot instansinya. Beberapa diantaranya mengimpor dan membeli lisensi untuk menggunakan karakter kartun dari luar negeri seperti Snoopy, Winny The Pooh, dan Miffy sebagai maskot instansinya. Hampir seluruh toko dan tempat hiburan di pusatpusat perbelanjaan dan pusat keramaian kota-kota besar di Jepang seperti di Shibuya dan Shinjuku berusaha tampil kawaii (Bremner, 2002). Produk-produk kawaii menjadi imej populer dalam negeri Jepang. Konsumen anak muda Jepang berperilaku cenderung terobsesi terhadap produk dan penampilan yang berimej kawaii. Pada masa kini, generasi muda Jepang khususnya remaja putri dan wanita muda hingga awal usia 20an dan belum menikah, sangat menggemari gaya penampilan kawaii; busana, tata rambut, dan dandanan/make up yang kawaii, yang identik dengan warna merah muda, pita-pita, bergaya seperti boneka, dan kekanak-kanakan. Sebagai contoh, sebuah pagelaran fashion show di Tokyo, Tokyo Girl’s Collection 2007 Fashion Show, mengangkat tema cute atau kawaii dalam pagelaran busananya. Sepanjang acara, para penonton yang sebagian besar adalah remaja putri dan mahasiswi Tokyo,
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
3
meneriakkan kata “kawaii!!!” tiap kali sebuah busana ditampilkan di atas cat walk. Bahkan terdengar kurang lebih 50 kali tiap menitnya (Quaisi, 2007). Anak muda Jepang juga menciptakan istilah-istilah yang berhubungan dengan gaya kawaii. Istilah-istilah tersebut juga menjadi bahasa slang yang digunakan dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari mereka. Misalnya saja gaya kawaii yang populer disebut dengan motekawa (berasal dari kata moteru yang berarti terkenal/populer, dan kawaii yang berarti imut dan lucu). Motekawa ini dikatakan juga terlahir dari ikon karakter dari film dan komik Jepang yang mendunia seperti Hello kitty, Doraemon, Pokemon, Sailor Moon, Mokona, dan sebagainya. Kemudian ada pula istilah erokawa, dari kata erotic dan kawaii yang berarti gaya kawaii yang seksi dan erotik, dan kata gurokawa atau singkatan dari glotesque-kawaii atau gaya kawaii glotesque. Dewasa ini, gaya kawaii juga telah menyentuh produk-produk yang lebih serius. Perusahaan-perusahaan besar Jepang juga mengembangkan desain produk mereka menjadi bergaya kawaii untuk mengikuti perilaku konsumen anak muda Jepang ini. Misalnya saja perusahaan-perusahaan elektronik dan otomotif yang meluncurkan produk-produk yang didesain lebih mungil, praktis, dan dalam warna-warna pastel maupun cerah (“Japan Smitten”, 2006). Salah satu contoh kesuksesan produk kawaii yang sekaligus dianggap sebagai pionir produk kawaii adalah produk dari karakter Hello Kitty produksi Sanrio Company. Sanrio memasuki pasar Amerika Serikat pada 1976, pasar Eropa pada 1980, dan pasar Asia pada 1990. Karakter kucing tanpa mulut dan tanpa ekspresi ini menjadi tema dan dekorasi kawaii kyara utama bagi berbagai macam produk mulai dari stationery atau perlengkapan tulis menulis dan sekolah yang berhias, gaya busana beserta pelengkap dan aksesoris busana, hingga peralatan elektronik rumah tangga sehari-hari seperti pemanggang roti, gitar, penghisap debu, dan sebagainya (LaMoshi, 2006). Sanrio Company memperoleh omset penjualan sekitar 114 milyar Yen atau sekitar 912 juta Dollar Amerika pada tahun 2001. Dengan angka ini Sanrio Company berada di posisi puncak sebagai produsen terbesar produk-produk kawaii dengan lebih dari 20.000 jenis produk, dan menjadi penyedia terbesar bagi budaya konsumsi produk kawaii dengan pangsa pasar anak-anak, remaja putri,
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
4
dan juga wanita dewasa (Yano, 2003). Sedangkan Belson dan Bremner mengatakan, penjualan tahunan keseluruhan Sanrio mencapai angka 1 milyar Dollar Amerika, yang mana setengah dari jumlah tersebut disumbangkan hanya dari penjualan produk-produk Hello Kitty (LaMoshi, 2006). Berbagai gambaran di atas menunjukkan bahwa imej dan gaya kawaii telah menjadi salah satu nilai estetis dan kualitas penting yang dipertimbangkan oleh konsumen muda Jepang dalam mengkonsumsi suatu produk maupun jasa, sekaligus telah menjadi produk budaya populer Jepang. Sebagai fenomena budaya, budaya kawaii diterima sebagai bagian dari kebudayaan Jepang sekaligus identitas nasional Jepang. Budaya kawaii telah menyebarkan kegemaran dan kecintaan yang luas sehingga memiliki pangsa pasar yang cukup besar, yang mayoritasnya adalah konsumen anak muda Jepang. Obsesi mereka terhadap suatu produk dan jasa yang bergaya atau bernilai kawaii (selanjutnya disebut dengan produk-produk kawaii bunka), menunjukkan bahwa kawaii merupakan salah satu nilai penting dalam perilaku konsumen muda Jepang dewasa ini.
1.2.
Permasalahan Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian akan mencoba membahas
mengenai bagaimanakah sebenarnya budaya kawaii (selanjutnya disebut dengan kawaii bunka) itu menjadi nilai penting dalam perilaku konsumen anak muda Jepang itu. Untuk itu, penelitian ini akan mencoba melihat permasalahan melalui beberapa poin yakni: bagaimanakah perilaku konsumen anak muda Jepang terhadap produk-produk kawaii bunka tersebut, dalam bentuk apa sajakah kawaii bunka itu direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari anak muda Jepang, serta apakah sebenarnya yang membuat konsumen anak muda Jepang ini begitu menggemari gaya kawaii sehingga mengapa harus gaya kawaii dan bukan gaya yang lain.
1.3.
Fokus Penelitian Penelitian ini akan dikhususkan dalam kurun waktu tahun 1990 hingga
2008. Alasan pemilihan kurun waktu tersebut adalah sebab penulis ingin melihat bagaimana pola dan perilaku konsumsi produk kawaii bunka oleh konsumen anak
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
5
muda Jepang pasca modern dalam konteks perubahan sosial ekonomi yang dialami masyarakat Jepang pasca bubble burst pada tahun 1989. Selain itu, melalui data yang diperoleh, penulis melihat kecenderungan perkembangan yang khas dan signifikan atas fenomena konsumsi produk-produk kawaii bunka ini di dalam kurun waktu tersebut. Dalam penelitian ini, akan khusus membahas konsumen individu yaitu konsumen anak muda Jepang, yang dapat dikelompokkan sebagai subkultur anak muda dalam masyarakat Jepang pasca modern, yang menghabiskan uang, waktu, dan usaha pada produk dan jasa yang bergaya atau bernilai kawaii (selanjutnya disebut dengan produk-produk kawaii bunka). Anak muda Jepang atau wakamono yang dimaksud di sini adalah kelompok anak muda Jepang remaja SMU dan mahasiswa/i perguruan tinggi, yang umumnya berusia antara 15 tahun hingga 22 tahun. Pensegmentasi umur konsumen anak muda Jepang ini terkait dengan peran dan jenjang sosial dalam masyarakat Jepang yaitu yang berkaitan dengan usia pendidikan. Menurut Ministry of Education, Science, Sports, and Culture, Government of Japan (2000) dalam Ghozali (n.d) , berdasarkan jenjang pendidikan di Jepang, usia anak muda Jepang 15 tahun hingga 22 tahun adalah anak sekolah menengah atas (15-18 tahun) dan mahasiswa perguruan tinggi (18-22 tahun) yang belum memasuki dunia kerja formal secara resmi. Usia 15 tahun dimana anak muda dianggap tidak lagi anak-anak namun juga belum dewasa, atau dengan kata lain usia remaja. Sedangkan usia 22 tahun biasanya adalah usia kelulusan dari perguruan tinggi dimana anak muda Jepang umumnya mulai meninggalkan bangku pendidikan dan memasuki dunia kerja yang penuh tugas dan tanggung jawab, sehingga sulit untuk mengikuti gaya hidup bebas anak muda lagi. Namun demikian, penilitian ini tidak secara ketat membatasi dan mengatakan bahwa objek penelitian ini adalah anak muda Jepang berusia antara 15 hingga 22 tahun, dan lebih mengarahkan pengasumsian pada anak muda Jepang kelompok remaja SMU dan mahasiswa/i perguruan tinggi. Alasannya adalah penulis tidak menggunakan metode kuantitatif, melainkan studi pustaka. Jadi kelompok konsumen anak muda Jepang yang dimaksudkan dalam penelitian
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
6
ini adalah anak muda Jepang yang tidak lagi tergolong anak kecil, namun sedang beranjak dewasa serta belum memiliki tugas dan tanggung jawab dunia kerja yang ketat, inilah yang menjadi fokus objek penelitian ini.
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimanakah
sebenarnya budaya kawaii itu menjadi suatu nilai penting dalam perilaku konsumen, khususnya konsumen dari subkultur anak muda Jepang pasca modern. Selain itu, melalui penelaahan terhadap perilaku konsumen anak muda Jepang terhadap produk-produk kawaii bunka ini, penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui nilai-nilai dalam kehidupan anak muda Jepang dalam konteks perubahan sosial ekonomi masyarakat Jepang pasca modern.
1.5.
Kerangka Teori Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, penulis akan
menggunakan kajian dari sudut pandang budaya dan ekonomi. Kedua aspek ini saling berkaitan erat. Utamanya bahwasannya budaya merupakan salah satu faktor yang membentuk dan mendasari pola perilaku konsumen (Kotler & Armstrong, 2003:199-201). Dari aspek budaya, akan digunakan teori kebudayaan umum sebagai dasar, serta teori kebudayaan populer yang berhubungan dengan analisa ekonomi. Sedangkan dalam mengkaji aspek ekonomi, akan digunakan teori-teori yang berkenaan dengan konsumsi, subkultur sebagai konsumen, dan perilaku konsumen.
1.5.1. Konsep Kebudayaan Horton dan Hunt (1993:58) mengatakan bahwa kebudayaan adalah perangkat peraturan dan tata cara yang dikembangkan manusia, guna memenuhi kebutuhan hidup dan bertahan hidup dari pengalaman hidupnya. Budaya juga suatu sistem norma-norma -- cara-cara (pengetahuan untuk) merasa dan bertindak yang diharapakan dan distandarisasikan -- yang dikenal dan diikuti secara umum oleh para anggota masyarakat.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
7
Menurut Alam (2007), kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia (bukannya sekadar benda/artefak), yang terwujud dalam bentuk simbolik dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman dan mengarahkan tindakan. Sebagai pengetahuan simbolik, kebudayaan bukan semata-mata merupakan sekumpulan pengetahuan yang diwariskan atau dilestarikan, tetapi juga merupakan sesuatu yang dibentuk atau dikonstruksi secara sosial oleh pelaku budayanya, sehingga kebudayaan merupakan suatu konstruksi sosial. Dan walaupun kebudayaan itu diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses belajar, kebudayaan itu selalu berubah sehingga tidak ada kebudayaan yang statis. Lebih lanjut Alam (2007) menjelaskan bahwa kebudayaan menentukan standar perilaku pelaku budayanya. Sebab kebudayaan juga merupakan suatu sistem norma, yaitu menyangkut aturan yang harus diikuti sehingga kebudayaan itu bersifat normatif. Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan oleh suatu citra kebudayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Norma itu sendiri memiliki dua kemungkinan arti. Pertama, norma kebudayaan, yaitu suatu konsep yang diharapkan ada. Kedua, norma statis, yaitu suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, di setujui atau tidak. Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan simbolik yang dikonstruksi oleh pelakunya melalui pengalaman-pengalaman yang dipelajari dan dialami secara sosial bersama-sama anggota masyarakat lainnya. Kebudayaan juga merupakan suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi dan menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kebudayaan selalu bersifat dinamis, sebab walaupun kebudayaan merupakan warisan sosial, pada gilirannya ia dapat terekonstruksi kembali dan menghasilkan perubahanperubahan, yang mana akan menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya.
1.5.2. Konsep Budaya Populer Mowen dan Minor (1998) mengartikan budaya populer sebagai budaya masyarakat banyak. Ia mudah di pahami, tidak memerlukan pengetahuan yang khusus untuk memahaminya, dapat dibeli dan diperoleh dengan mudah sehingga dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Sedangkan Chris Barker (2005) mengatakan budaya populer lahir dari adanya perdebatan atas batas-batas budaya
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
8
tinggi-rendah, yang meremehkan budaya-budaya berbasis komoditas yang dianggap tidak otentik, manipulatif, dan tidak memuaskan. Tidak otentik karena diproduksi oleh orang kebanyakan, manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar laku dijual, dan tidak memuaskan karena dapat dikonsumsi dengan mudah sehingga hanya menuntut sedikit usaha sehingga tidak memperkaya konsumennya. Adorno dan Horkheimer menegaskan bahwa budaya memang sudah tidak bisa lepas dari ekonomi dan produksi oleh kalangan kapitalis, dengan memunculkan istilah “industri budaya”. Dalam konteks ini, budaya populer lebih dipandang dari sudut makna kebudayaan yang diproduksi secara masal, jenis manusia yang mengkonsumsinya, serta tatanan sosial dimana budaya populer itu hidup (Barker, 2005:59). Hal tersebut sejalan dengan pandangan post modernisme, yakni bahwa semua budaya termasuk budaya populer adalah budaya komersial yang muncul mengikuti industrialisasi dan urbanisasi. Karena sifatnya yang merakyat dan mudah diterima berbagai kalangan atau bersifat masal, budaya pop diciptakan dan diproduksi sehingga digemari dan dikonsumsi. Dan karena sifatnya yang digemari luas, budaya populer menjadi sarana kapitalis guna kepentingan ekonominya (Storey, 2007:15-24). Dalam keterkaitannya dengan perilaku konsumen, Mowen dan Minor (2002:288) mengatakan budaya populer dapat dikatakan sebagai “budaya daya tarik besar-besaran”. Hal ini disebabkan karakteristik khusus budaya populer, yakni: 1. Mengungkapkan pengalaman dan nilai-nilai penting dari masyarakat. 2. Tidak membutuhkan pengetahuan khusus untuk memahaminya. 3. Diperkenalkan dengan cara sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang mempunyai akses yang mudah (untuk mengkonsumsi). 4. Paling sering mempengaruhi perilaku yang bukan kegiatan tidur atau bekerja, semisal kegiatan hiburan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebuah budaya populer tidak terpisahkan dari pembahasan ekonomi. Bagaimanapun, karena sifatnya yang digemari luas serta menjadi suatu kebutuhan dan gaya hidup para pelaku budaya sebagai konsumen. Budaya populer menjadi nilai penting bagi konsumen.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
9
Sehingga budaya populer merupakan komoditas penting bagi kalangan kapitalis sebagai penyedia budaya popular itu bagi kebutuhan para penikmatnya.
1.5.3. Konsep Kawaii Bunka dalam Penelitian Ini Dalam kamus Koujien「広辞苑」 (1991:559), kata sifat kawaii「可愛 い」didefinisikan dalam tiga (3) pengertian, yaitu: 1).「労しい」itawashii menyedihkan,「不憫」fubin - kasihan,「可哀いそうだ」kawaiisou - kasihan; menyedihkan; 2). 「愛すべきである」aisubekidearu - harus dicintai, 「深い感 情 を 感 じ る 」 fukai kanjo wo kanjiru - merasakan perasaan/emosi yang mendalam; dan 3). 「小さくて美しい」chiisakute utsukushii - kecil dan cantik. Menurut Yamane Kazuma (1986), secara esensial kata kawaii memiliki makna yang erat dengan bentuk, sifat, dan penampilan yang kekanak-kanakan seperti: amai atau sweet (manis), airashii atau adorable (manis/jelita), mujaki atau innocent (tak bersalah), junsui atau pure (murni), kantan atau simple (simpel, sederhana), shoujiki atau genuine (jujur), yasashii atau gentle (baik), kizutsukeyasui atau vulnerable (rapuh), kawaiso atau weak (lemah), dan mijuku atau inexperienced (tidak berpengalaman), dalam cara tingkah laku sosial dan penampilan fisik. Hal ini berarti, kawaii adalah sesuatu yang memiliki sifat kecil, imut, lucu, cantik, manis, lemah, lembut, kekanak-kanakan, dan mudah dicintai dan disayangi (Kinsella, 2). Walaupun makna umum kawaii adalah demikian, namun seiring pergerakan tren dan gaya hidup anak muda Jepang yang sangat dinamis dan independen dewasa ini, maka makna kawaii dalam kehidupan anak muda Jepang dewasa ini sangat luas. Seperti dikatakan Sakae Nonomura (2006)1 “Cute has now grown so widespread that various types of cute coexist” -- “Kawaii telah berkembang luas sehingga ada berbagai tipe kawaii yang muncul saat ini” (“Japan Smitten”, 2006:n.d.). Menurut survei pada 1992 terhadap responden pria dan wanita dari anak muda Jepang mengenai makna kata kawaii bagi mereka, berbagai makna yang berasosiasi dengan kata kawaii muncul. Diantaranya adalah sifat dan penampilan
1
Sakae Nonomura adalah peneliti untuk perusahaan kosmetik Jepang Kanebo.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
10
yang kekanak-kanakan, inosen atau tak berdosa, naïf, tanpa sadar, alami, kontak emosional antar individu, fashionable atau mengikuti tren mode, berhubungan dengan binatang-binatang, dan lemah. Kawaii juga merupakan gaya penampilan yang diciptakan sekaligus sebuah estetika sebagai kualitas yang dimiliki dan melekat pada seseorang, suatu tempat, maupun suatu benda (Kinsella, 1995). Kata kawaii juga digunakan sebagai ekspresi dalam mengomentari penampilan seseorang khususnya terhadap wanita muda yang atraktif dan berpenampilan kawaii. Sedangkan terhadap pria muda lebih sering digunakan kata kakkoii yang bermakna menarik atau good looking, dan keren atau cool. Namun kata kawaii juga biasa digunakan untuk menggambarkan pria bila pria tersebut dianggap memiliki kepribadian yang kawaii (Kinsella, 1995). Terhadap beragam dan dinamisnya makna kawaii dalam kehidupan anak muda Jepang dewasa ini, Profesor Nobuyoshi Kurita dari Universitas Musashi Tokyo menyatakan bahwa kawaii dalam fenomenanya saat ini merupakan “kata ajaib” yang mengarah pada segala sesuatu yang penuh rasa penerimaan (acceptable) dan keinginan (desirable) bagi anak muda Jepang (Quaisi, 2007). Jadi yang dimaksudkan dengan kawaii bunka dalam subkultur anak muda Jepang modern, yang digunakan sebagai konsep acuan dalam penelitian ini, adalah budaya anak muda Jepang yang menggemari dan mencintai gaya, tampilan, dan imej yang dianggap kawaii oleh dirinya, yang terdapat dalam sebuah produk maupun jasa yang dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari anak muda Jepang modern. Sedangkan yang dimaksudkan dengan produk dan jasa yang bergaya tampilan kawaii dalam perilaku konsumsi anak muda Jepang itu adalah berbagai produk dan jasa yang mengandung nilai, unsur, maupun elemen kawaii dalam desainnya, yang dikonsumsi atau digunakan oleh konsumen anak muda Jepang.
1.5.4. Konsep Subkultur Anak Muda Secara sosiologis, subkultur adalah kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat ataupun sekelompok orang yang memiliki sejumlah kompleks kebudayaan, seperti cara hidup, pola perilaku, serta kepercayaan, yang terbentuk khusus dan berbeda dari kebudayaan induk mereka maupun kelompok lainnya.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
11
Subkultur dapat terjadi karena adanya perbedaan diantara anggota suatu masyarakat seperti perbedaan usia, ras, etnis, kelas sosial, serta dapat pula terjadi karena perbedaan estetik, religi, politik, dan seksual atau gender, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut (Horton dan Hunt, 1993:72-73). Sebuah subkultur dapat lahir seiring menurunnya budaya tinggi akibat semakin berkurangnya homogenitas dalam masyarakat, terutama di negara-negara besar dengan populasi yang relatif padat. Dalam artian, subkultur lebih potensial tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan frekuensi interaksi yang banyak dan lebih terbuka, daripada dalam masyarakat yang bersikap tertutup dan lebih ketat walaupun berpopulasi cukup besar. Sebagai contoh, banyak subkultur yang sulit berkembang ditengah masyarakat yang sangat kuat memegang nilai-nilai agama (Peter dan Donelly, 2004:43). Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Seperti yang dikatakan Prasetijo dan Ihalauw (2005:192), anggota dari suatu subkultur cenderung mempunyai keyakinan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang memisahkan mereka dari anggotaanggota lain dalam masyarakat tempatnya berada dan juga dari kebudayaan induknya, yang mana sekaligus memberikan ciri kepada mereka. Hal inilah yang dikatakan Horton dan Hunt (1993) sebagai faktor yang menjadikan subkultur juga disebut sebagai kebudayaan khusus. Pentingnya kelompok subkultur dalam suatu sistem perekonomian, yaitu hubungannya dengan perilaku konsumen yang juga bermuara pada pemasaran. Subkultur menjadi unit analisis penting dalam mensegmentasi pasar dan penelitian pemasaran (marketing research) bagi produsen dan pemasar. Sebabnya, subkultur mewakili kelompok sasaran yang jelas untuk produk-produk tertentu (Peter dan Donnely, 2005; Prasetijo dan Ihalauw, 2005; Schiffman dan Kanuk, 2000). Selanjutnya dikatakan Peter dan Donelly (2005), walaupun subkultur didasari oleh beberapa hal seperti area geografis, agama, kebangsaan, etnis, dan umur, namun grup umur seperti anak muda, baby boomers, orang-orang dewasa, telah menjadi hal penting dalam sebuah perekonomian karena kekuatan pasar yang dimiliki masing-masing kelompok tersebut. Sebagai contoh, semenjak
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
12
kelahiran generasi baby boomers (kelahiran antara tahun 1946-1962), banyak produsen dan pemasar mengubah arah kebijakan (repositioning) produk dan pemasarannya untuk mengakomodasi kebutuhan pasar konsumen baby boomers. Subkultur anak muda adalah subkultur berbasis anak muda atau generasi muda, dengan gaya perilaku dan ketertarikan yang khusus atau berbeda dari budaya dominannya. Abercrombie dan Warde (1988) mengatakan, ada tiga (3) ciri umum subkultur anak muda yang muncul dalam konteks budaya materi atau budaya konsumsi masyarakat konsumtif modern seperti saat ini, yaitu : 1). maraknya budaya santai yang bukan budaya bekerja; 2). hubungan sosial mereka terjadi di sekitar kelompok sebaya serta bersifat kolektif maupun individual -- hal ini kontras dengan budaya orang dewasa yang berorientasi keluarga dan temanteman; dan 3). sangat peduli akan gaya dan penampilan, yaitu gaya anak muda (Lury, 1998:258). Secara lebih spesifik, sejumlah akademisi memandang gaya anak muda itu sebagai upaya pemecahan permasalahan secara magis atau imajiner terhadap kecemasan yang timbul akibat perubahan-perubahan kontradiktif dalam lingkungan masyarakat tempat anak muda itu berada (Jefferson dan Hall 1976: Hebdige, 1979). Sebagaimana juga yang dikatakan Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964:282), anak muda bisa diidentifikasi melalui perilaku mereka, dimana mereka menggunakan cara berbicara tertentu, tempat bergaul dan bersosialisasi tertentu, cara menari tertentu, dan cara berbusana tertentu, untuk memperlihatkan jarak dengan dunia orang dewasa (Storey, 2007:126). Selanjutnya menurut Dick Hebdige (1979), anggota sebuah subkultur seringkali mencirikan dirinya sebagai anggota dari subkultur tersebut dengan membuat perbedaan dan pilihan simbolis yang nyata dalam hal, misalnya, fashion. Namun demikian, elemen-elemen abstrak, seperti ketertarikan anak muda akan dialek atau gaya berbicara slang, jenis musik tertentu, dan tempat berkumpul, juga dapat menjadi faktor penting dalam sebuah subkultur anak muda. Subkultur anak muda menawarkan para anggotanya sebuah identitas di luar identitas formal mereka dalam institusi sosial seperti keluarga, sekolah, tempat kerja, maupun lingkungan budaya mayornya (Storey, 2007:126).
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
13
Jadi dapat dikatakan, secara umum subkultur adalah oposisi dari budaya yang telah lama diakui di tengah-tengah masyarakat. Subkultur cenderung dianggap sebagai budaya oposisi sebab ia dianggap kelas rendah bila dibandingkan dengan budaya mapan, serta sering menjadi ekspresi kritik dan perlawanan terhadap budaya mapan itu. Contoh umum yang sering digambarkan sebagai subkultur adalah hiburan-hiburan rakyat biasa, media hiburan ataupun budaya rakyat atau budaya populer seperti novel, musik, film-film dan majalahmajalah populer, serta kelompok-kelompok budaya dalam masyarakat seperti kelompok anak muda, kelompok konsumen, kelompok penggemar budaya populer, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan perekonomian, subkultur anak muda adalah pasar yang penting karena perilaku mereka, sebagai konsumen, yang khusus dan jumlah mereka yang banyak. Anak muda berperan banyak dalam budaya dan menjadi kekuatan yang sedang tumbuh dalam masyarakat saat ini seiring meningkatnya proporsi mereka (Loudon & Bitta. 1993:97). Sebagaimana pendapat Lawrence Stessin 2 (1971:1) dalam Loudon dan Bitta (1993:149) berikut:
“The youth market is a significant subculture for the marketer. Youth are often considered to be those between the ages of 14 and 24,…The Youth market is important to marketers not only because it is lucrative, but also because of the public policy implications of marketer’s activities directed at younger people during their formative years. ”
“Pasar anak muda adalah subkultur penting bagi pemasar. Kelompok anak muda sering dikategorikan antara umur 14 hingga 24 tahun,…Pasar anak muda penting bagi pemasar, tidak hanya karena menguntungkan, tetapi juga karena implikasi kebijakan publik dari kegiatan pemasar itu sendiri mengarah pada orang-orang yang tengah dalam masa pertumbuhan mereka.”
2
Lawrence Stessin. Incidents of Culture Shock Among American Business Overseas. Pittsburgh Business Review. November-December 1971, p.1.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
14
Subkultur anak muda menjadi pasar yang sangat penting saat ini karena sifat konsumtif mereka. Sebagai contoh, dewasa ini pemasar banyak membidik generation X, yang saat ini sebagian besar berusia 20an. Mereka adalah subkultur anak muda yang konsumtif, banyak membelanjakan uangnya untuk produkproduk berkualitas, bermerek, dan gaya, serta bersikap individualistis, egosentris, dan tidak lagi mau menuruti kehendak orang lain karena seringkali tidak dibawah pengawasan orang tua yang sibuk bekerja (Peter dan Donelly, 2005). Anak muda adalah kelompok penting dalam perekonomian dunia saat ini. Populasi anak muda saat ini tidak sebesar populasi anak muda generasi baby boomer atau generasi orang tua mereka, seiring penurunan jumlah kelahiran. Selain itu, nilai konsumsi anak muda saat ini juga tidak sebesar generasi orang tua mereka. Namun demikian, menurut riset The Economist tahun 2000, anak muda saat ini memiliki kemampuan konsumsi (spending power) lima sampai enam kali lebih besar di banding generasi konsumen sebelumnya. Hal ini didorong semakin baiknya kemampuan ekonomi dunia yang berarti semakin kuatnya ekonomi rumah tangga dan semakin luasnya kesempatan kerja bagi anak muda. Sehingga anak muda saat ini memiliki disposable income potensial untuk dibelanjakan yang lebih besar dari generasi anak muda sebelumnya (The Economist, 2000). Menurut Lury (1998:257-258), anak muda penting dalam masyarakat dan perekonomian sebab mereka merupakan kelompok konsumen atau pasar konsumen yang penting. Anak muda bangkit dan muncul sebagai suatu kelompok penting dalam masyarakat sekaligus menjadi fokus keprihatinan masyarakat sebagai keseluruhan. Konsekuensinya, anak muda memperlakukan dirinya sekaligus diperlakukan secara berbeda. Dengan demikian anak muda merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap budaya konsumen, dan merupakan perantara sekaligus simbol perubahan dalam siklus produksi dan konsumsi. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh faktor-faktor : 1. Faktor fase hidup transisional dari masa kanak-kanak yang tergantung pada orang tua, menuju masa dewasa yang mandiri, menjadi sangat panjang dalam masyarakat modern. Berhubungan dengan masa pendidikan yang juga semakin panjang, kemampuan ekonomi anak muda modern yang lebih kuat
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
15
dan besar, serta pengetahuan anak muda mengenai pengeluaran uang mereka yang lebih baik. 2. Faktor adanya perubahan dalam industri budaya dan hiburan, yang tengah terstruktur ulang karena munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti kekuatan pasar anak muda, batas-batas nasional yang semakin samar, dan cengkeraman budaya populer dunia, khususnya budaya pop dari Amerika, yang semakin kuat.
1.5.5. Konsep Perilaku Konsumen Menurut teori konsumsi oleh Daniel Miller (1987), yang disebut konsumen (consumer) atau orang yang mengkonsumsi adalah siapapun yang menghabiskan uang, waktu, dan usaha, secara fisik maupun mental, pada produk dan jasa yang disediakan oleh industri (Watts, 2003). Sedangkan menurut Sumarwan (2002:24-25), secara umum ada dua kelompok konsumen. Kelompok pertama adalah konsumen individu, yakni individu-individu yang membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri dan untuk digunakan oleh orang lain disekitar dirinya seperti keluarga, teman, dan kerabat. Sebagai contoh, membeli sandang, pangan, dan papan bagi konsumsi sendiri maupun keluarganya, atau membeli hadiah bagi teman dan kerabat. Kelompok kedua adalah konsumen organisasi, yang meliputi organisasi bisnis, yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintahan, dan lembaga-lembaga lainnya, yang mengkonsumsi barang dan jasa untuk kepentingan kegiatan organisasinya. Beberapa konsep perilaku konsumen diberikan oleh beberapa pakar : “Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk juga proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Ia juga merupakan suatu proses dimana banyak pengaruh yang mendasarinya, mulai dari motivasi internal hingga faktor pengaruh sosial. Ia biasanya penuh arti dan berorientasi tujuan, sehingga suatu produk dan jasa dapat diterima atau pun ditolak berdasarkan sejauh mana keduanya dipandang relevan dengan kebutuhan dan gaya hidup konsumen itu sendiri. (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1994:11).
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
16
“consumer behavior is the study of how consumers select, purchase, use, and dispose of goods and services to satisfy personal needs and wants.”
“perilaku konsumen adalah studi mengenai bagaimana konsumen memilih, mendapatkan, menggunakan, dan menghabiskan benda/produk dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya.” (Schiffman dan Kanuk, 2004:2).
“The dynamic interaction of affect and cognition, behaviour, and the environment by which human beings conduct the exchange aspects of their lives.”
“interaksi dinamis antara usaha mempengaruhi dan kognisi, perilaku, dan lingkungan, yang mana melalui hal itu manusia mengarahkan pertukaran berbagai aspek kehidupan mereka.” (American Marketing Association).3
Perilaku konsumen fokus pada kegiatan konsumsi yang berhubungan dengan kegiatan individu konsumen itu. Perilaku konsumen menelaah alasan dibalik kegiatan konsumsi itu dan hal-hal yang mempengaruhi proses pemilihan, pemutusan pembelian, penggunaan, dan penghabisan produk dan jasa tersebut, yang mana tujuannya adalah untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen bersangkutan. Hal ini berarti studi perilaku konsumen adalah suatu studi mengenai bagaimana seorang individu membuat keputusan untuk mengalokasikan sumber daya dirinya yang tersedia, seperti waktu, uang, usaha, dan energi, dalam bertindak konsumsi. Jadi studi perilaku konsumen merupakan studi mengenai bagaimana konsumen sebagai pembuat keputusan (decision units) itu, membuat keputusan-keputusan mengkonsumsi (Schiffman dan Kanuk (2004:2) Selanjutnya dijelaskan Engel, Blackwell, dan Miniard (1994), karena konsumen hidup di dalam lingkungan yang kompleks, maka perilaku konsumen 3
Di kutip oleh Peter, J. Paul, dan Olson, Jerry C (2005: 5), dari Peter D. Bennet, ed., Dictionary of Marketing Terms. Edisi ke-2. Chicago: American Marketing Association. 1995. Hal. 59.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
17
atau proses keputusan konsumen untuk membeli suatu produk atau jasa dapat dipengaruhi oleh pengaruh kingkungan tempatnya berada yang salah satunya adalah lingkungan budaya. Budaya yang digunakan dalam studi perilaku konsumen mengacu pada nilai, gagasan, artefak dan simbol-simbol yang bermakna, yang membantu individu untuk berkomunikasi, melakukan penafsiran, dan evaluasi sebagi anggota masyarakat. Dalam membuat keputusan konsumsinya, konsumen sangat dipengaruhi oleh karakteristik budaya, sosial, pribadi, dan psikologisnya. Faktor budaya memiliki pengaruh terluas dan terdalam dalam perilaku konsumen, sebab budaya adalah penyebab dasar keinginan dan perilaku konsumen. (Kotler dan Armstrong, 2003:199-201). Seperti terlihat pada gambar bagan berikut ini:
Budaya Budaya
Sub-budaya
Kelas sosial
Sosial Kelompok acuan (trend setter)
Pribadi Umur dan tahap dalam siklus hidup
Keluarga
Pekerjaan/situasi ekonomi
Peran dan status
Kepribadian dan konsep diri
Psikologi Motivasi Persepsi Pembelajaran Kepercayaan Sikap
Pembeli
Bagan 1.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Sumber : Kotler dan Armstrong, 2003:201.
Dengan kata lain, perilaku konsumen melibatkan pemikiran dan perasaan yang dialami manusia, tindakan yang dihadirkan dalam proses konsumsi, termasuk seluruh hal dalam lingkungan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan itu. Hal tersebut termasuk komentar dari konsumen lain, iklan, harga, kemasan produk, penampilan produk, dan sebagainya. Oleh karena itu, perilaku konsumen bersifat dinamis, selalu melibatkan interaksi dan pertukaran-pertukaran (Peter dan Olson, 2005:5). Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah seluruh kegiatan, tindakan, serta proses yang mendorong tindakan konsumen untuk mengkonsumsi; pada saat sebelum membeli (decision making proses), ketika membeli (buy decision), menggunakan (using the products), dan menghabiskan produk (evaluating). Sehingga ia menciptakan suatu budaya konsumen. Pada hakikatnya perilaku konsumen adalah segala sesuatu
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
18
yang mengarah pada pertanyaan “mengapa konsumen melakukan apa yang dilakukannya?”
1.5.6. Keterkaitan Budaya dengan Perilaku Konsumen Konsumen, sebagaimana alamiahnya manusia, merupakan mahluk sosial yang hidup bersama dan saling berinteraksi dengan orang dan lingkungan sosialnya, dimana salah satu unsur lingkungan sosial adalah kebudayaan. Dalam lingkungan sosial inilah konsumen saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam proses membentuk perilaku, kebiasaan, sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dianggap penting bagi mereka (Sumarwan, 2002:169). Budaya penting dalam memahami perilaku manusia dimana perilaku konsumen adalah bagian darinya. Budaya memperluas pemahaman kita mengenai perilaku manusia, bahwa perilaku manusia tidak hanya sekedar ketertarikan dan keterkaitan fisiologi, biologis dan insting. Implikasinya adalah walaupun seluruh konsumen adalah sama secara biologis, namun pandangan mereka akan dunia, apa yang mereka nilai, dan bagaimana mereka bertindak itu berbeda mengikuti latar belakang budaya mereka. Dan dalam konteks pemasaran dan perilaku konsumen, komponen material fisik dari budaya yang berupa artefak, dapat termasuk seluruh produk dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi (Loudon dan Bitta, 1993:84).
“Cultural heritage has a very basic and lasting influence on his or her consumer behavior. Culture was seen to consist of basic behavioral patterns which exist in a society”
“Warisan budaya memiliki pengaruh yang sangat mendasar dan berkelanjutan pada perilaku konsumen, wanita maupun pria. Budaya itu terdiri dari polapola dasar dari perilaku yang eksis dalam masyarakat”. (Loudon dan Bitta, 1993:128) Budaya merupakan salah satu pengaruh dasar dalam kebutuhan, keinginan, dan perilaku individu, sebab seluruh segi kehidupan individu terbentuk berdasarkan latar belakang masyarakat tempat ia hidup. Nilai-nilai budaya yang diturunkan dalam suatu masyarakat, mempengaruhi perilaku sehari-hari. Juga
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
19
terdapat bukti-bukti empiris yang mendukung dan menunjukkan bahwa kebudayaan adalah sebuah penentu dari aspek khusus perilaku konsumen. Pengaruh ini dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pada perilaku konsumen, yakni dalam hal proses memutuskan untuk mengkonsumsi suatu produk maupun jasa (Paul dan Donelly Jr., 2004:42-43). Budaya yang melatar belakangi perilaku konsumen itu termasuk di dalamnya budaya dominan maupun subkultur. Seperti dikatakan Prasetijo dan Ihalauw (2005:183-193), perilaku individu sebagai konsumen dipengaruhi oleh kultur dominan maupun subkultur di mana dia berada, sehingga faktor budaya merupakan pengaruh eksternal penting dalam perilaku konsumen. Oleh karena kebudayaan berperan dalam membentuk anggota masyarakat, maka pengaruh kebudayaan terhadap perilaku sangatlah penting, walaupun seringkali pengaruh tersebut tidak terlihat kasat mata dan tidak disadari. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hanna dan Wozniak (2001:407):
“Culture plays in influencing consumer behaviour. We will first consider the specific dimensions of culture that make it a powerful force in regulating human behavior.”
“Budaya berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumen. Ada dimensi khusus dari kebudayaan yang membuat kebudayaan itu menjadi sebuah kekuatan yang mengatur perilaku manusia”.
1.6.
Signifikasi Penelitian Schiffman dan Kanuk (2004:6) mengatakan, studi perilaku konsumen
alamiahnya bersifat sangat interdisipliner dan merentangkan spektrum kajian ilmu pengetahuan perilaku manusia. Sebab ilmu-ilmu yang berkontribusi dalam menelaah dan memahami perilaku konsumen adalah psikologi, sosiologi, sosial psikologi, antropologi budaya, dan ekonomi. Sebagaimana pula yang dikatakan Hanna dan Wozniak (2001:407), “The study of culture is a challenging undertaking because its primary focus is on the broadest component of social behavior – an entire society.” -- “Studi kebudayaan adalah bidang yang sangat
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
20
menantang karena fokus utamanya yang berada pada bidang terluas dari perilaku sosial, yakni keseluruhan lingkungan masyarakat”. Studi perilaku konsumen melibatkan berbagai dinamika perubahan manusia. Dalam artian, manusia memberikan suatu nilai kepada yang lain dan menerima suatu nilai dari yang lain pada gilirannya. Manusia memberikan daya upaya (uang, tenaga, waktu) untuk mendapatkan produk dan jasa yang diinginkan dan dibutuhkan, yang mana dalam proses tersebut manusia akan saling mempengaruhi dan di pengaruhi oleh konsumen lainnya, lingkungannya, dan usaha produsen, dalam hal ini kegiatan pemasaran (Peter&Olson, 2005:9). Perilaku konsumen dalam penelitian ini secara makro ditelaah melalui dua bidang besar disiplin ilmu yaitu ekonomi dan antropologi budaya. Schiffman dan Kanuk (2004:6) mengatakan bahwa bidang antropologi dalam penelitian perilaku konsumen menyelidiki manusia (sebagai konsumen) dalam hubungannya dengan kebudayaan manusia (konsumen) tersebut. Untuk menelaah pengaruh dari masyarakat pada seorang individu (konsumen), penelitian harus mengeksplorasi pola perilaku konsumen dalam konteks kebudayaan bersangkutan. Penelitian mengenai perilaku konsumen anak muda juga semakin signifikan dalam penelitian budaya dewasa ini. Sebab seperti dikatakan Lury (1998:257-258), anak muda wajib diperhitungkan dan penting dalam masyarakat, sebagian karena mereka menjadi pasar konsumen yang penting. Generasi muda bangkit dan muncul sebagai suatu kelompok penting dalam masyarakat sekaligus menjadi fokus keprihatinan masyarakat sebagai keseluruhan. Konsekuensinya, anak muda memperlakukan dirinya sekaligus diperlakukan secara berbeda. Dengan demikian generasi muda merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap budaya konsumen dan perantara sekaligus simbol perubahan dalam siklus produksi dan konsumsi. Sifat interdisipliner sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen suatu kelompok masyarakat dan pentingnya kelompok anak muda bagi peradaban manusia dewasa ini, memberikan nilai signifikasi tersendiri bagi penelitian ini. Sebab perilaku konsumen anak muda Jepang sangat berkaitan dengan studi masyarakat dan kebudayaan Jepang, khususnya pada masa Jepang modern saat ini.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
21
1.7.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka dengan metode
penyajian analisis deskriptif, dimana analisa permasalahan dijelaskan dengan penjabaran-penjabaran dan penggambaran-penggambaran. Studi pustaka ini menggunakan sumber kepustakaan buku, artikel, jurnal, dan majalah yang berkaitan dengan pembahasan, sebagai sumber utamanya. Selain itu, juga menggunakan bahan-bahan lain seperti data-data dari beberapa web site yang bersangkutan
sebagai
pendukung
pembahasan
penelitian.
Penelitian
ini
mengkomparasikan teori dengan data yang sebelumnya telah diperoleh dari berbagai sumber teks, sehingga akan dapat mengungkapkan fenomena dengan lebih jelas. Menurut Peter dan Olson (2005:9-10), studi perilaku konsumen adalah fenomena kompleks dan bidang yang sangat eklektik atau tersusun dari beragam bidang. Terdapat tiga (3) macam pendekatan dalam meneliti perilaku konsumen, yaitu: the interpretive approach atau ‘pendekatan interpretif’, yakni pendekatan dari sisi disiplin ilmu antropologi budaya yang bertujuan untuk memahami makna sebuah produk dan jasa bagi konsumen, serta pengalaman apa yang didapatkan konsumen dari kegiatan mengkonsumsi produk dan jasa tersebut; the traditional approach atau ‘pendekatan tradisional’, yakni pendekatan dari sudut pandang sosial dan psikologi, yang bertujuan untuk menjelaskan perilaku konsumsi dan hal-hal yang melatarbelakanginya; dan the marketing science approach atau ‘pendekatan ilmu pemasaran’, yakni pendekatan secara ekonomi dan statistik untuk memprediksi dan memetakan pasar dan perilaku pasar atau konsumen berdasarkan data-data statistik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yang mana merupakan studi kebudayaan interdisipliner dan bertujuan untuk memahami bagaimana suatu nilai budaya menjadi nilai penting dan mempengaruhi perilaku konsumsi suatu kelompok konsumen tertentu, pendekatan interpretif dan pendekatan tradisional yang cenderung digunakan. Sebab kedua pendekatan ini memadukan aspek-aspek budaya, sosial, dan psikologi dalam menganalisa permasalahan.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia
22
1.8.
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibahas dalam 6 BAB yaitu sebagai berikut:
1. BAB I, yaitu bab pendahuluan yang membahas latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, fokus penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian penulisan. 2. BAB II, yaitu bab pembahasan awal yang membahas konsep dasar dan akar kawaii bunka dalam kebudayaan Jepang. 3. BAB III, yaitu bab pembahasan mengenai kawaii bunka sebagai sebuah budaya populer Jepang. 4. BAB IV, yaitu bab pembahasan mengenai perilaku konsumsi produk kawaii bunka dalam subkultur anak muda Jepang, dalam kurun waktu 1990-2008. 5. BAB V, yaitu bab pembahasan mengenai aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku konsumsi produk kawaii bunka pada konsumen anak muda Jepang. 6. BAB VI, yaitu bab penutup yang akan memuat kesimpulan penelitian.
Fenomena kawaii bunka....., Vivi Triani Adris, Program Pascasarjana, 2008 Universitas Indonesia