BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup. Melalui berbagai perubahan dan pembaharuan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ditingkat masyarakat. Pada saat ini ukuran kemiskinan sebagai manifestasi dari taraf hidup dan kesejahteraan melainkan ketidakmampuan dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Atas dasar pemikiran tersebut maka usaha pembangunan tidak lain adalah sebagai proses untuk memberikan dan menciptakan semakin banyak peluang pada masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dilain pihak, dikatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu dijumpai sumber-sumber yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam rangka pemanfaatan ini paling tidak ada dua hal yang cukup penting yaitu: 1). Pemanfaatan sumber-sumber pembangunan yang sama sekali belum di mobilisasi dan dieksploitasi; atau 2). Memanfaatkan sumber-sumber pembangunan yang sudah dikelola akan tetapi masih dapat ditingkatkan nilai tambahnya dengan memberikan input tertentu. Sektor pembangunan suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai karakteristik potensi yang tentunya dapat dikembangkan seperti: pertanian, perkebunan, perternakan, perikanan, kerajinan, pariwisata, kesenian dan ketenagakerjaan. Ada beberapa pertimbangan untuk menentukan bahwa potensi yang paling menjanjikan sehingga selanjutnya disebut sebagai potensi andalan dari suatu daerah. Salah satu contoh pengambangan pemberdayaan berkelanjutan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu pada pembangunan ekonomi lokal pariwisata yang berada di Kecamatan Ambarawa. Ambarawa merupakan wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kendati merupakan kota kecil, Ambarawa menawarkan sejuta pesona mulai dari panorama pegunungan, tempat wisata dan beraneka macam kulinar. Ada legenda yang melatar belakangi kota kecil ini yaitu Legenda Rawa Pening. Rawa inilah yang
1
menjadi sebab mengapa kota ini dinamakan Ambarawa yang berarti Rawa yang luas (dalam bahasa Jawa amba artinya luas). Oleh sebab itu berbagai potensi sumber daya alam dibidang pertanian dan perairan yang mendukung kawasan Ambarawa ialah danau Rawa Pening memiliki luas 2.670 ha telah menjadi sumber mata pencaharian bagi kelompok petani dan nelayan disekitarnya. Didukung dengan adanya kemajuan infrastruktur pembangunan Jalan Lingkar Selatan Km. 03 Ambarawa yang menghubungkan transportasi Jogja-Solo-Semarang (JOGLOSEMAR) yang sudah beroperasi dari tahun 2012, akses tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi disektor pariwisata disepanjang jalan Lingkar yang dikelilingi oleh perairan danau Rawa Pening. Upaya pembangunan yang berorientasi kepada pemanfaatan kawasan danau Rawa Pening tersebut dengan berdirinya pariwisata bernama Kampung Rawa, yang telah menjadi icon destinasi wisata lokal Ambarawa sejak tahun 2012. Proses pembangunan dan pengembangan Kampung Rawa sangat menarik, bangunan fisik berdiri diatas tanah bengkok atau bondo deso seluas 5500 meter yang pernah menjadi sengketa pengkleiman (penguasaan) yang dikelola oleh kelompok paguyuban nelayan dan petani antar Desa Bejalen dan Lingkungan Tambaksari serta Lingkungan Tambakrejo dalam sejarah masa lalu ditahun (1997-2010) an yang telah mengelola lahan pertanian. Lahan pertanian tersebut milik Desa Bejalen yang dapat dibuktikan dengan keterangan dokumentasi Letter C yang dimiliki sejak zaman pemerintahan belanda yang berkuasa pada tahun 1934 dan melakukan pembangunan proyek pembuatan pintu DAM bendungan di Desa Tuntang Kecamatan Tuntang Provinsi Jawa Tengah. Rencana Penampungan tersebut dimaksutkan dengan membuat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) melalui pemanfaatan perairan danau Rawa Pening. Sejak itulah sekitar Rawa Pening tergenang air baik musim penghujan datang, karena DAM ditutup sehingga air naik, oleh sebab itu pada tahun 1937-1938 terjadilah perpindahan desa-desa disekitar Rawa Pening yang terkena dampak oleh adanya pembangunan tersebut, salah satunya di Padukuhan Ngaglik Wetan dan Ngaglik Kulon yang secara letak administrasi termasuk di dalam kewilayah Desa 2
Bejalen. Pemerintahan Belanda mengganti rugi kepada masyarakat di Padukuhan Ngaglik Wetan dan Padukuhan Ngaglik Kulon untuk dipindah tempatkan di Kelurahan Tambakboyo hingga saat ini bernama dengan Lingkungan Tambaksari dan Tambakrejo. Namun pada akhirnya setelah berpindah tempat sebagian masyarakat Lingkungan Tambakrejo dan Tambaksari tetap menjadikan lahan pertanian yang dahulunya pernah di dikelola Padukuhan Ngaglik sebagai mata pencaharian menjadi petani, masyarakat banyak mengelola tanah (bondo deso atau tanah bengkok milik Desa Bejalen), dengan kesepakatan bagi hasil (60:40) yang artinya 40% merupakan hasil yang diberikan kepada pemilik lahan yaitu Desa Bejalen dan 60% diberikan kepada penggarap dari Lingkungan Tambaksari dan Tambakrejo. Kesepakatan bagi hasil tersebut telah dilakukan sejak generasi pertama di tahun 1960 an menggarap lahan hingga tahun 1997 setelah reformasi. Namun pada tahun (1998 hingga 2010) sejak penggarap dilanjutkan kepada generasi kedua upaya pembagian hasil tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya dikarenakan kondisi pertanian yang dilakukan sudah tidak menjadi area yang produktif. Berbagai faktor penyebabnya karena tidak terdapatnya saluran irigasi perairan yang potensial untuk dimanfaatkan dalam bercocok tanam, letak lahan strategis tersebut dikelilingi oleh danau Rawa Pening yang sewaktu-waktu debit air akan meluap sehingga saat musim tanam tiba akan berdampak pada kondisi tumbuhan yang sedang berkembang. Namun tidak sedikitnya penggarap yang masih saja mengelola lahan garapan dengan kondisi yang biasa disebut (wilayah tadah hujan). Setelah lahan tersebut tidak dapat memberikan hasil pendapatan yang menguntungkan kepada keduanya antara penggarap dan pemilik, pada akhirnya pemerintah Desa Bejalen sendiri (pemilik lahan bengkok) bermaksut ingin meminta pengembalian lahan kepada para penggarap (Lingkungan Tambaksari dan Lingkungan Tambakrejo) namun yang terjadi bahwa para penggarap tetap ingin mempertahankan dan mengelola lahan di tanah bondo deso tersebut. Munculnya penolakan dari para penggarap dengan mengkleim bahwa penggarap di generasi 3
kedua telah mengelola lahan secara turun temurun hingga sampai menyebutkan bahwa lahan pertanian yang mereka kelola ialah peninggalan nenek moyang terdahulu. Sehingga selama 12 (tahun 1997-2010) tahun area lahan bondo deso tersebut tidak memberikan hasil tetapi yang terjadi ialah kepada persengketaan lahan antara berbagai pihak-pihak yang saling mengorientasikan ekonomi. Upaya berkesinambungan terus dilakukan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan hasil kepemilikan hingga ditingkat Pemerintahan Kabupaten Semarang namun tidak juga menemukan hasil penyelesaian yang maksimal. Pada akhirnya pemerintah lokal Desa Bejalen melakukan inisiatif berdiskusi pada awal tahun 2011 yang dipimpin oleh inisiator kepala Desa Bejalen untuk lebih lanjut saling mempertemukan diri kepada penggarap di Lingkungan Tambaksari dan Tambakrejo untuk membahas inti permasalahan selama ini agar tidak berkepanjangan dikemudian hari. Melalui pendekatan bottom-up bahwa pada dasarnya para pihak yang bersangkutan tidak saling ingin dirugikan oleh sebab itu hasil keputusan diperoleh dengan melakukan kerjasama antar kelompok dan pihak pengembang swasta yaitu koperasi pengkreditan (simpan pinjam). Gagasan kesepakatan tersebut telah memudarkan stereotype antara pemilik dan penggarap di lahan bondo deso. Atas dukungan kemitraan kepada pihak koperasi simpan pinjam Artha Prima di Kecamatan Ambarawa sebagai penyandang dana pembangunan pariwisata Kampung Rawa. Partisipasi yang diwujudkan kelompok usaha bersama tersebut mengelola potensi sumber daya alam dilahan yang disengketakan melalui serangkaian kegiatan pemberdayaan produktif dalam meningkatkan hasil ekonomi yang dapat menunjang kebutuhan akan strategi bertahan hidup secara berkelanjutan (sustanaibility).
4
B.
Rumusan Masalah Dengan latar belakang yang telah dikemukaan diatas maka dapat ditarik suatu
rumusan masalah penelitian: 1. Bagaimana proses pembangunan lokal di Pariwisata Kampung Rawa Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang? 2. Bagaimana manfaat dari pembangunan lokal yang dikembangkan secara ekonomi dan sosial yang diperoleh kelompok usaha bersama melalui kerjasama koperasi simpan pinjam Artha Prima? C.
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses pembangunan lokal di Pariwisata Kampung Rawa Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang 2. Untuk mengetahui manfaat dari pembangunan lokal yang dikembangkan secara ekonomi dan sosial yang diperoleh kelompok usaha bersama melalui kerjasama koperasi simpan pinjam Artha Prima
D.
Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum kepada masyarakat dan kelompok dalam satu wilayah pedesaan dengan mempertimbangkan pembangunan lokal di sektor pariwisata yang produktif dan berkelanjutan agar mendukung peran serta partisipasi dalam meningkatkan pendapatan ekonomi. 2. Secara akademis hasil penelitian ini ingin memperluas pembendaharaan mengenai peran inisiator pengelola yaitu kelompok usaha bersama dan penyandang dana koperasi simpan pinjam Artha Prima dalam melakukan pengembangan ekonomi berdasarkan pendayagunaan modal sosial didalam kelompok masyarakat seperti: nilai-norma, sistem kepercayaan dan relasi jaringan sosial sebagai perekat kerjasama didalam dimensi kehidupan sosial.
5