BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Memberitakan konflik merupakan kewajiban media untuk memenuhi kepentingan publik (public interest) akan informasi. Selain itu berita konflik juga memiliki muatan peristiwa nyata, faktual, dan memiliki nilai berita yang tinggi. Sebuah berita yang memiliki nilai berita yang tinggi biasanya banyak menarik perhatian publik, seperti konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Pada bulan Desember 2011 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan konflik antara Kepolisian dan warga Mesuji di Lampung. Konflik tersebut berawal dari sengeketa lahan antara masyarakat desa Sritanjung Mesuji dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BMSI). Dari konflik tersebut tercatat satu orang tewas dan sembilan luka-luka. Tempo.com (26/02) mencatat bahwa menurut pihak BMSI ada sekitar 500 warga dari tiga Desa, yaitu Desa Sritanjung, Nipah Kuning, dan Desa Kaagungan Dala Kecamatan Tanjung Raya di Kabupaten Mesuji, mengamuk dan membakar seluruh fasilitas perusahaan. Atas serangan warga tersebut karyawan perusahaan BMSI langsung menghubungi pihak Kepolisian untuk mengamankan masa yang mengamuk. Setelah mendapat laporan tersebut Polisi langsung mendatangi tempat terjadinya kerusuhan. Masa yang bergitu banyak dan anarki memaksa Polisi untuk melakukan pembubaran paksa terhadap warga yang mengamuk. Seperti yang dikatakan Detiknews.com (21/12) Kepolisian bereaksi dalam upaya membubarkan masa. Namun yang terjadi dilapangan Polisi justru menembaki dan memukuli masa. Saling serang antara Kepolisian dan warga Mesuji berakhir dengan tewasnya satu orang warga Sritanjung akibat luka tembak dan sembilan warga luka-luka. Kejadian tersebut seketika ditanggapi oleh Pemerintah Pusat dengan dibuatnya Panita Kerja (Panja) yang mengusut konflik mesuji. Kompas.com (21/12) mengatakan bahwa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki
1
Alie mendukung pembentukan Panja di Komisi III DPR untuk mengusut penyimpangan di sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Pada tahun 2012 masyarakat Indonesia juga dikejutkan dengan berita konflik etnis Bali dan etnis Lampung tepatnya wilayah Kalianda Lampung Selatan. Bisnis.com (20/10) menjelaskan konflik di Lampung selatan bermula dari masalah sederhana di mana seorang gadis Balinuraga sedang bersepeda di desa Agom kemudian terjatuh. Lebih lanjut informasi yang bermunculan menyatakan bahwa gadis itu terjatuh kemudian mengalami pelecehan seksual. Keluarga gadis yang tidak terima kemudian mendatangi pemuda Agom yang dituduh telah berbuat tidak senonoh. Pemuda Agom yang merasa tidak bersalah menolak semua tuduhan yang diberikan suku Bali. Karena tidak percaya dengan keterangan pemuda Agom, suku Bali membakar rumah pemudah suku Agom. Sejak kehadirannya, etnis Bali yang berbeda dengan orang Jawa, dipandang membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Kompas.com (4/11) lebih lanjut menyatakan bahwa kehadiran masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah dalam nuansa yang eksklusif enclave. Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan. Dari kedua berita konflik di atas, terlihat jelas ada perbedaan munculnya konflik tersebut. Kasus Mesuji awalnya merupakan konflik antara perusahaan dan masyarakat, tetapi ternyata yang terjadi di lapangan adalah konflik vertikal antara polisi dan masyarakat. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi dalam lapisan kekuasan masyarakat, dimana yang satu memiliki kekuasaan dalam kasus ini adalah Kepolisian yang diberikan otoritas pemeritah untuk mempunyai senjata sesuai dengan standar Kepolisian dan masyarakat sipil di Mesuji yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, yang secara hukum administrasi tidak memiliki sertifikat atas lahan yang mereka kelola. Kemudian konflik Lampung Selatan tentang perkelahian antara suku Bali dan suku Lampung merupakan konflik
2
horizontal. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara komunitas atau suku dengan komunitas atau suku lain yang sejajar. Perbedaan karakter konflik itulah peneliti ingin melihat bagaimana pola berita TV One dalam membingkai (framing) berita konflik Mesuji dan berita konflik Lampung Selatan. Secara sederhana media massa dalam hal ini televisi bisa dikatakan sebagai sebuah saluran atau sarana yang berfungsi sebagai penyebar pesan dari komunikator kepada komunikan. Namun lebih komplek lagi media massa merupakan sebuah wadah yang syarat akan kepentingan. Menurut Eriyanto,
media
massa
merupakan
subjek
yang
berfungsi
untuk
mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan sudut pandangan, bias, dan pemihakannya. Media massa juga memiliki kemampuan yang kuat untuk memilih realitas mana saja yang akan diambil untuk dijadikan berita dan mana saja yang tidak diambil. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar, media massa juga memilih aktor siapa saja yang
dijadikan sumber berita untuk memperkuat isi berita
tersebut. Media massa juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa, hal tersebut bisa dilihat melalui
bahasa yang digunakan dalam pemberitaan.
Kemampuan lain media massa dalam mengkonstruksi berita adalah kekuatan dalam membingkai realitas. Dengan membingkai realitas tertentu maka akan terlihat bagaimana cara khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kaca mata tertentu (2002: 22-24). Pada titik inilah, media massa menunjukan potensinya yang besar untuk membentuk wacana. Mengangkat peristiwa konflik dalam media massa merupakan peristiwa yang lazim dalam kerja jurnalisme. Konflik merupakan realitas sosial yang mengandung nilai berita (news value) yang dapat menarik perhatian audiens. Pembangunan konstruksi realitas konflik yang diangkat masing-masing media massa akan berbeda. Hal tersebut terjadi karena konstruksi realitas yang dilakukan tergantung pada kebijakan redaksional masing-masing media. Salah satu cara yang dipakai untuk menangkap masing-masing media dalam membangun satu realitas adalah framing. Analisis framing secara sederhana dapat bertujuan untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Realitas
3
dipahami dengan bentuk tertentu yang hasilnya berupa pemberitaan media pada sisi tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknik jurnalistik, tetapi bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan. Proses framing tampaknya juga terjadi pada media massa di Indonesia, misalnya saja peristiwa konflik Mesuji dan Konflik suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan. Dari fakta yang sama menjadi jauh berbeda ketika disandingkan dengan kepentingan ideologi dan kepentingan ekonomi politik media tersebut.
Hal tersebut bisa saja terjadi karena media massa memiliki
keterbatasan dalam menyajikan seluruh realitas sosial, sehingga ada proses seleksi dalam membuat berita. Proses penyeleksian tersebut dilakukan oleh gatekeeper atau selektor di dalam keredaksian. Proses penyeleksian itu tentunya akan sangat subjektif, semuanya tergantung kepada visi, misi dan ideologi masing-masing media. Media massa diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Ia dapat menjadi senjata kekerasan yang mengerikan bila menyiarkan pesan-pesan yang bersifat tidak toleran atau disinformasi yang memanipulasi sentimen masyarakat. Tetapi ia juga memiliki aspek lain. Ia dapat menjadi instrumen penyelesaian konflik, yaitu bila informasi yang disajikannya terandalkan, menghormati HAM (Hak Azasi Manusia),
dan
mewakili
berbagai
sudut
pandang.
Media
seperti
ini
memungkinkan masyarakat untuk menetapkan pilihan secara baik yang dilandasi pada informasi, sesuatu yang menjadi komponen dasar (precursor) tata pemerintahan yang demokratis. Ia dapat meredakan konflik dan memupuk rasa aman manusia (ISAI, 2004). Seperti tersirat dalam kutipan di atas, kajian hubungan sebab dan akibat antara media dan konflik dapat lebih memperjelas bagaimana kedua hal itu saling mempengaruhi. Pertama, efek media terhadap konflik dapat ditilik dari akibat negatif yang ditimbulkan oleh jurnalisme yang secara tidak sengaja atau secara terselubung menyebarkan propaganda atau bersifat memihak dalam bentuk ketegangan dan memprovokasi terjadinya konflik. Sebaliknya, media dapat memiliki dampak positif bila dilandasi standar profesional yang baku, yang dibarengi dengan keragaman akses terhadap informasi, sumber daya keuangan
4
yang memadai dan kepatuhan terhadap kode etik. Media seperti ini dapat membantu
rekonsiliasi
masyarakat,
mengubah
kesalahan
persepsi
dan
memperbesar saling pengertian tentang sebab dan akibat konflik. Kedua, efek konflik terhadap media. Efek negatif konflik kekerasan terhadap media telah dipetakan dengan baik. Saat konflik sedang berkembang, kebebasan berekspresi dan ketidakberpihakan media seringkali menjadi korban pertama. Di negaranegara dengan demokrasi yang lemah yang belum memberikan independensi keredaksian, baik entitas negara maupun non-negara seringkali berhasil dalam menjadikan media sebagai suatu instrumen propaganda. Dalam konflik yang terjadi di Mesuji tentang perebutan lahan sawit yang terjadi antara kepolisian dan masyarakat Mesuji dan konflik suku Bali dan suku Lampung di Lampung Selatan tentang kesalahpahaman antar suku yang mengakibatkan kematian dari suku tertentu akhir-akhir ini, cukup menimbulkan kecurigaan terhadap semua pihak. Untuk membantu para aktor konflik dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri dibutuhkan mediasi yang memadai dengan citra diri yang baik. Citra diri harus dijaga dan dikembangkan sebaik-baiknya di masyarakat agar dipercaya, dapat menciptakan rasa tenang pada masing-masing partisan konflik dan berpotensi untuk memperoleh mandat dalam kerja perdamaian. Media massa sangat potensial untuk berperan sebagai mediator bagi kelompok-kelompok di masyarakat yang sedang berkonflik seperti masyarakat Mesuji dan Lampung Selatan. Sumindaria (2013) mengatakan media massa dalam fungsi sebagai mediator, setidaknya harus menjaga citra diri mediator dengan lima prinsip tersebut.
Pertama, neutrality. Media harus memiliki sikap netral, yang
diwujudkan melalui sikap tidak memihak, tidak partisan, menegakkan ukuranukuran objektif dan bersikap sebagai penengah. Kedua, accessibility, yang diwujudkan melalui jaringan kerja sama dengan berbagai pihak seluas-luasnya dengan para pengambil keputusan politik, pertahanan, keamanan, keagamaan, akademik, budaya, ekonomi, birokrasi, dan sebagainya, dari jajaran elite, menengah sampai grass roots. Ketiga, competence, yang diwujudkan dengan selalu meningkatkan kinerja yang profesional sesuai dengan kode etik jurnalistik.
5
Keempat, communication, yang diwujudkan melalui upaya-upaya jalinan komunikasi serta memberi ruang kepada kelompok-kelompok yang ada di masyarakat dengan melibatkan unsur-unsur lintas agama, lintas suku, lintas budaya, lintas profesi, lintas kelas sosial dan menginformasikannya dalam rumusan yang lengkap serta mudah dimengerti oleh segenap lapisan masyarakat. Informasi tidak boleh memusat pada pribadi tertentu, melainkan harus menyebar sesuai dengan urgensi dan hirarki yang ada. Kelima, integrity yang diwujudkan dengan menjaga kredibilitasnya sebagai insan media maupun sebagai mediator bagi kelompok-kelompok di masyarakat. Meluasnya konflik berkekerasan yang masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia hingga kini, menggugah kita untuk serius, profesional dan proporsional melakukan sebanyak mungkin mediasi dalam rangka rekonsiliasi. TV One, dalam memberitakan berita konflik Mesuji dan Lampung Selaran cenderung mengarahkan konsentrasi mereka kepada siapa yang menang dan siapa yang kalah, siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang menjadi korban. Mereka juga mengulas konflik tersebut dengan dramatis dan dilematis. Dari karakteristik ini TV One tidak jarang sering dianggap sebagai media yang melebih-lebihan dalam memberitakan kasus tertentu. Sikap kritis dan tegas yang ditampilkan dalam siaran TV One sering kali menggiring perasaan khalayak beripikir emosional dalam melihat peristiwa tertentu. Hal tersebut juga didukung oleh staf analis KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang mengatakan TV One merupakan salah satu stasiun televisi berita yang paling banyak mendapat teguran KPI dalam memberitakan informasi. Sejak Agustus 2012 hingga saat ini TV One telah mendapat 58 sanksi teguran yang dikeluarkan KPI atas siaran berita yang kurang etis. Merujuk pada paparan di atas maka penelitian ini akan memfokuskan pada konstruksi pemberitaan konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan yang di siarkan oleh TV One. Hal ini ditujukan untuk mengetahui konstruksi dan sejauh mana media tersebut berpihak dalam pemberitaan mengenai kasus konflik. Dimana secara tidak sadar, dalam pemberitaan media cenderung menjadi perpanjangan konflik itu sendiri. Eriyanto mengatakan bahwa sebagai institusi
6
yang reflektor atas realitas yang terjadi di kehidupan masyarakat. Media masa tentu memiliki pandangan tersendiri mengenai peristiwa konflik. Sebuah peristiwa tidak dipandang sebagai suatu yang taken for granted, akan tetapi ada sebuah negosiasi yang berlangsung saat wartawan dan media menyajikan berita (2005: 7).
B. Pertanyaan Penelitian Setelah melihat latar belakang permasalahan, maka diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana bingkai berita konflik Mesuji yang disiarkan TV One ?
Bagaimana bingkai berita konflik Lampung Selatan yang disiarkan TV One ?
C. Tujuan Penelitian Dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui bagaimana bingkai berita konflik Mesuji yang disiarkan TV One
Untuk mengetahui bagaimana bingkai berita konflik Lampung Selatan yang disiarkan TV One
Untuk memahami kebijakan redaksional yang digunakan TV One dalam mengkonstruksi berita konflik Mesuji dan berita konflik Lampung Selatan.
Mengetahui bagaimana tanggapan televisi berita dalam hal ini adalah TV One dalam menanggapi framing terhadap berita konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan.
7
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan kajian bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam memahami pembingkaian pemberitaan konflik pada media televisi.
b. Manfaat praktis Sedangkan secara praktis penelitian ini memberikan pengetahuan baru dalam
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
khususnya
tentang
perkembangan metode pembingkaian suatu media dan memahami realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media, serta ideologi yang terbentuk dibalik pemberitaan media.
E. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang dibuat dalam penelitian ini disusun untuk memberikan landasan teori yang bertujuan untuk memberi cerminan struktur berfikir peneliti dalam mendekati obyek yang diteliti. Perlu diketahui sering kali media tak menyadari telah membangun sebuah realitas baru dari fakta yang diperoleh. Dalam pandangan positivisme, realitas sosial dipandang sebagai ilmu alam dan empiris. Lebih mengarah kepada sebab dan akibat dari sebuah ilmu alam. Realitas akan terbentuk mengikuti fakta yang terjadi, dalam hal ini wartawan diposisikan sebagai penyambung fakta secara apa adanya kepada khalayak. Berbeda dengan pandangan konstruksionis yang banyak dipengaruhi oleh pemahaman bahwa realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu-individu. Berita dinilai sebagai sebuah hasil dari proses konstruksian realitas atau fakta. Berita yang disajikan kepada khalayak sudah melalui proses penyaringan atau pemilhan yang dilakukan oleh redakasi. Dalam padangan konstruksionis wartawan dilihat sebagai eksekutor dalam memilih sudut pandangan yang diinginkan. Sehingga berita yang dihasilkan tidak lagi murni dari
8
realitas sosial atau fakta, berita yang disajikan dalam pandangan konstruksionisme merupakan realitas media. Oleh sebab itu untuk menggali lebih dalam tentang penenitan ini. Pembahasan ini akan diawali dengan berita dan konstruksionisme. Televisi dan politik, berita konflik, dan analisis framing dalam berita konflik yang akan dijabarkan sebagai berikut ini.
1.
Berita dan Pandangan Konstruksionis Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa
atau fakta dalam arti yang nyata. Disini realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita, tetapi merupakan hasil produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses ekternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Menurut Eriyanto fakta dan berita dilihat dari paradigma konstruksionis dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 1.1 Pendekatan Konstruksionis Wartawan Penilaian Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi.
Media adalah agen konstruksi. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas.
Berita bersifat
Paradigma Konstruksionis Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu. Media sebagai agen konstruksi pesan. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk nerupakan konstruksi atas realitas. Berita bersifat subyektif, opini
Paradigma Positivis Ada fakta yang “riil” yang diatur oleh kaidahkaidah tertentu yang berlaku universal. Media sebagai saluran pesan. Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput. Berita bersifat oyektif,
9
subyektif/konstruksi atas realitas.
Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Nilai, etika, dan polihan motal penelitian menjadi bagaian integral dalam penelitian Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita.
tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subyektif. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial. Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. Nilai, etika, dan pilihan moral bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian.
menyingkirkan opini dan pandangan subyektif dari pembuat berita.
Khalayak mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita.
Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat berita.
Wartawan sebagai pelapor. Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada diluar proses peliputan berita. Nilai, etika, dan pilihan moral harus berada di luar proses penelitian.
Setelah melihat mengenai paradigma konstruksionis dan positivis selanjutnya adalah melihat karakteristik penelitian isi media antara konstruksionis dan positivis yang akan dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 1.2 Karakteristik Isi Media Penilaian Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial Peneliti sebagai fasilitator keragaman subyektifitas sosial. Makna suatu teks adalah hasil negosiasi antara teks dan peneliti.
Penafsiran bagian yang tak terpisahkan dalam analisis. Menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti— teks.
Paradigma Konstruksionis Rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial. Negosiasi; makna adalah hasil dari proses saling mempengaruhi antara teks dan pembaca. Makna bukan ditransmisikan, tetapi dinegosiasikan. Subyektif; penafsiran bagian tak terpisahkan dari penelitian teks. Bahkan dasar dari analisis teks. Reflektif/dialektik; menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti—teks untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif.
Paradigma Positivis Eksplanasi, prediksi, dan kontrol. Peneliti berperan sebagai disinterested scientist.
Transmisi; makna secara inheren ada dalam teks, dan ditransmisikan kepada pembaca. Obyektif; analisis teks tidak boleh menyertakan penafsiran atau opini peneliti. Intervensionis; pengujian hipotesis dalam struktur hipoteticodeductive method. Melalui lab eksperimen atau survai
10
Kualitas penelitian diukur dari otentisitas dan refleksivitas temuan.
Kriteria kualitas penelitian; otentisitas dan refleksivitas, sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh para pelaku sosial.
eksplanatif, dengan analisis kuantitatif. Kriteria kualitas penelitian; obyektif, validitas, dan reliabilitas (internal dan eksternal).
Peter L. Berger sebagai seorang yang berlatar belakang sosiologi menjelaskan realitas sosial sebagai sebuah kenyataan dan pengetahuan. Kemudian Berger juga menjelaskan bahwa memahami kenyataan berarti memahami gejalagejala sosial dalam kehidupan sehari-hari dan menyeluruh dengan segala aspek (kognitif, psiko-motoris, emosional, dan intuitif). Kenyataan sosial akan ditemukan dari pengalaman intersubyektif. Intersubyektif merupakan kehidupan masyarakat tertentu yang dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubyektif merujuk kepada dimensi struktur kesadaran umum dan kesadaran individu dalam suatu kelompok khusus yang sedang berinteraksi dan berintegrasi (1990: 17). Secara sederhana wartawan mengkonstruksi realitas sosial untuk dijadikan sebuah informasi. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, internalisasi, dan obyektifivas. Konstruksi sosial, dalam pandangan Berger, tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun berjalan di ruang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri individu dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia bisa dikatakan sebagai wartawan yang sedang mencari berita. Kemudian internalisasi adalah proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya, bisa digambarkan sebagai profesi wartawan yang terikat dengan norma kode etik wartawan dan terikat dengan media dimana wartawan tersebut bekerja. Sedangkan obyektifivas adalah interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan. Berhubungan dengan konstruksi realitas Sudibyo (2006: 56) mengatakan bahwa media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapat perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak.
11
Media berbeda dalam mendefinisikan realitas. Kemudian Sudibyo menambahkan ada dua peran yang dimaikan media dalam mengkosntruksi realitas. Pertama, media sebagai sumber kekuatan hegemoni. Artinya dalah media memiliki otoritas untuk memilih informasi apa saja yang akan di jadikan berita. Kekuatan media tersebut pada akhirnya mampu menguasai kesadaran khalayak. Kedua, media sebagai sumber legitimasi. Artinya adalah media dapat memupuk kekuasaannya agar tampak berita-berita yang disiarkan terlegitimasi atau disetujui kebenarannya. Oleh sebab itu kemungkinan bias informasi akan dapat terjadi. Eriyanto menambahkan bahwa ada tiga tingkatan bagaimana media mengkonstruksi realitas (2002: 24): a.
Media membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. Dalam memaknai realitas, media memahami dan menyetujui atau tidak fakta yang sedang terjadi. Hasilnya dapat dilihat dari bagaimana media mendefinisikan peristiwa tersebut.
b.
Media memberikan simbol-simbol tertentu terhadap peristiwa. Pemberian simbol tersebut akan menentukan bagaimana peristiwa dipahami, sebagai yang dilihat sebagai pahlawan dan sebagai musuh. Simbol tersebut biasanya berupa gambar atau foto, penggunaan kata, dan bahasa.
c.
Agenda setting media. Media juga menentukan apakah peritiwa tertentu ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa apa saja yang mendapat perhatian khusus, sehingga perhatian masyarakat tertuju pada peristiwa tersebut.
Lebih
lanjut
Niklas
Luhman
menambahkan
cara
media
massa
mengkonstruksi realitas sosial. Dalam buku the reality of the mass media, Luhman mengatakan bahwa adanya penggandaan realitas yang dilakukan media massa dalam menyebarkan informasi (Luhman, 2003: 3).
12
“Doubling of reality, the excerpt from reality in which the second world is constituted is marked visually or acoustically (books, screen plays, etc.) This external frame then releases a world in which a fictional reality of its own applies. Viewers are able to observe beginning and end (unlike in their own life) because they experience things beforehand and still do afterwards. Transition from real reality to fictional reality. This world of the imagination, because it does not have to coordinate the social behaviour of the observers, does not need any game rules. Instead it needs information. The reader or viewer has to be put in a position very quickly to form a memory which fits the story, which is tailored to it. And he or she can only do this if provided with sufficient familiar details along with the pictures or the texts...etc”. Menggandakan realitas di mana realitas nyata di konstruksi sedemikian rupa menjadi dunia kedua didasari ditandai secara visual atau akustik (buku,drama layar, dan sebagainya) ini bingkai secara eksternal, kemudian dilepaskan sebuah dunia di mana realitas fiksi kepada pemirsa. Pemirsa dapat mengamati awal dan akhir seperti dalam kehidupan mereka sendiri, karena mereka mengalami hal ini sebelumnya dan masih melakukannya setelah itu. Transisi dari realitas nyata dengan realitas fiksi berupa dunia imajinasi, tidak harus mengkoordinasikan perilaku sosial dari para pengamat, tidak memerlukan aturan permainan. Sebaliknya perlu informasi, pembaca atau pemirsa harus dimasukkan ke dalam posisi yang sangat cepat untuk membentuk memori sesuai dengan cerita yang disesuaikan dengan gambar-gambar atau teks. Bagan 1.1 Realitas Ganda
Redaksi Realitas sosial
MEDIA Wartawan
Dalam lingkup redaksi proses getakeeping dan agenda setting dalam media mulai melakukan seleksi atau memilah informasi mana saja yang akan
13
disiarkan oleh media mereka. Dalam melakukan seleksi informasi yang akan dijadikan berita tentu terdapat kepentingan-kepentingan khusus yang melekat dalam redaksi. Kepentingan tersebut bisa kepentingan ekonomi, politik, dan sosial. Niklas Luhman lebih dalam menjabarkan sepuluh karakteristik informasi apa saja yang akan dipilih redaksi sebagai sebuah berita. Karakteristik tersebut meliputi (2000: 28-34): 1) Surprise, adalah informasi yang mengejutkan berbagai golongan masyarakat atau mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan masyarakat. Informasi mengejutkan tersebut akan dipilih redaksi untuk disiarkan. Dalam memilih waktu kapan berita surprise itu akan disiarkan juga menjadi perhatian khusus redaksi. Bisa saja berita mengejutkan itu disiarkan pada saat program acara lain sedang berlangsung, atau kita terbiasa mengenalnya dengan program breaking news. Program breaking news adalah program berita tanpa jadwal siaran, program itu muncul ketika sebuah persitiwa baru saja terjadi dan mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan masyarakat . 2) Conflict, atau menyiarkan berita konflik merupakan keuntungan tersendiri pada perusahaan media. Media meramu dan mengemas konflik tersebut menjadi paket berita yang menarik dan membuat penonton
akan
terus
menyimak
konflik
tersebut.
Dalam
menyiarkan berita konflik bisanya media membuat pihak yang menang dan kalah, serta mengeneralisasi perhatian masyarakat dalam melihat konflik tersebut. 3) Quantities, atau banyaknya fakta yang ditemui
dalam suatu
peristiwa juga menjadi pilihan redaksi untuk diberitakan. Lebih lanjut Luhman menjelaskan quantities ke dalam dua bagian, yaitu medium dan large. Dikatakan medium bila banyaknya narasumber yang bisa dimintai keterangan tentang suatu peristiwa tertentu. Dikatakan large apa bila peristiwa tersebut mengandung jumlah yang banyak dari segi kuantitas, sebagai contoh berita tentang
14
jumlah korban tewas akibat bencana alam, atau berita tentang naiknya harga minyak. 4) Local relevance, atau kedekatan lokal akan menambah nilai informasi pada sebuah berita dan berita tersebut akan menarik pusat perhatian masyarakat disekitarnya. Hal tersebut terjadi karena adanya kedekatan antara pemirsa dengan peristiwa yang sedang terjadi. Misalnya saja berita tentang kecelakaan kereta api yang menelan korban tewas di Jakarta akan menarik perhatian masyarakat Indonesia, dari pada berita kecelakaan kereta api di India. Redaksi akan lebih memilih kecelakaan kereta api di Indonesia karena mengandung kedekatan lokal dengan masyarakat Indonesia. 5) Norm violations, atau pelanggaran norma merupakan peristiwa yang patut untuk disiarkan kepada masyarakat. Menurut redaksi pelanggaran norma dapat menarik perhatian masyakarat. Bisanya pelanggaran
norma
meliputi
pelanggaran
hukum,
skandal,
penolakan pluralisme atau keberagaman, dan kriminalisasi. Baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun aktor politik. 6) Moral judgements lebih kepada sengketa sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, hal tersebut terkait dengan konflik etnik dalam golongan masyarakat. Istilah “keroyokan” terhadap etnik lain menjadi peristiwa yang pantas untuk disiarkan kepada masyarakat. 7) Norm violations recognizable merupakan kejelasan tentang pelanggaran norma yang dapat dijabarkan secara sosiologis. Dengan kemudahan menjabarkan peristiwa tersebut, redaksi dengan kemahirannya mengkonstruksi peristiwa tersebut untuk mudah dipahami, didengarkan dan dibaca oleh masyarakat luas. Sehingga masyarakat memahami bagaimana peristiwa sebenarnya yang terjadi menurut media.
15
8) The requirment of topicality merupakan informasi yang baru yang atas sebuah peristiwa. Misalnya berita kasus penangkapan Nazarudin di Columbia atau korupsi Hambalang pada 2011, sampai saat ini di 2013 berita kasus ini masih berlangsung, dan kembali melibatkan berbagai aktor politik yang sedang berkuasa. 9) Expression of opinions
merupakan opini pengingat kepada
masyarakat atas sebuh peristiwa yang sudah terjadi, dan media akan kembali mengulang-ulang sumber opini tersebut hingga akhirnya melekat dibenak khalayak tentang peristiwa tertentu. Disini adalah kekuatan redaksi dalam memasuki alam bawah sadar khalayak untuk tersebut berfikir sesuai dengan keinginan redaksi media tertentu. 10) Selektor dalam media seperti yang sudah dijelaskan di atas merupakan tujuan redaksi untuk memperkuat fakta-fakta yang mereka dapatkan. Hal tersebut menjadi rutinitas kerja media dalam mengolah informasi menjadi berita.
Lebih lanjut Shoemaker dan Reese melihat peristiwa yang layak untuk dijadikan sebuah berita paling tidak mengandung enam unsur. Unsur tersebut akan dijelaskan sebagai berikut (1996: 110-111):
a. Prominence, yaitu penting tidaknya sebuah peristiwa dilihat dari banyak sedikitnya efek yang ditimbulkannya. Contohnya adalah invansi yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Goerge W Bush terhadap Irak tentunya akan menjadi berita menarik untuk disimak. Peristiwa tersebut menjadi sangat penting ketika masyarakat internasional mengecam tindakan tersebut karena menelan banyak korban dari masyarakat sipil. b. Human interest, yaitu peristiwa yang memberikan sentuhan perasaan kepada penonton televisi. Contohnya kisah korban gempa
16
di Nangroe Aceh Darussalam yang tertimpa musibah. Semuanya mengugah perasaan untuk disimak. c. Conflict/controversy,
yaitu
informasi
yang
menggambarkan
pertentangan antar individu, kelompok, politik, atau negara. Segala sesuatu yang bersifat pertentangan menarik untuk diberitakan. Hal ini menarik karena konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Masalah pertentangan dapat menyangkut persoalan harga diri, hukum, batas wilayah, ekonomi, dan lain-lain. Sebagai contoh: kontroversi makelar kasus di tubuh Kepolisian yang menjadi fokus pada penelitian ini. d. Unique, yaitu mengenai peristiwa yang jarang terjadi. Contohnya berita seni lukisan berbahan dasar rambut pelukis. e. Timeliness, yaitu informasi penting yang menyangkut hal-hal yang sedang terjadi. Contohnya adalah breaking news penangkapan teroris internasional Dulmatin di Tangerang. f. Proxomity, yaitu informasi mengenai hubungan kedekatan sebuah berita dengan pemirsa baik secara geografis, dan emosional. Contohnya peristiwa peliputan tentang hobi, profesi, dan kaitan lain yang memunyai kedekatan dengan pemirsa.
Dari semua unsur di atas Abrar (2005: 4) menambahkan bahwa berita harus mengandung delapan unsur: a. Konflik, yaitu informasi yang menggambarkan pertentangan antara manusia, bangsa Negara. b. Kemajuan, yaitu informasi tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. c. Penting yaitu informasi yang penting bagi khalayak luas dalam rangka menjalani kehidupan mereka sehari-hari. d. Dekat, yaitu informasi penting yang memiliki kedekatan emosi dan jarak geografis dengan khalayak. e. Aktual, yaitu informasi tentang peristiwa yang baru terjadi.
17
f. Unik, yaitu informasi tentang peristiwa yang unik dan jarang terjadi. g. Manusiawi, yaitu informasi yang bisa menyentuh emosi khalayak, seperti yang membuat orang menangis, terharu, tertawa, dan sebagainya. h. Berpengaruh, yaitu informasi tentang peristiwa yang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak.
Jika di dalam sebuah pemberitaan setidaknya terdapat satu unsur berita, maka peristiwa tersebut layak untuk diberitakan. Namun jika sebuah peristiwa terdapat dua unsur atau lebih, maka peristiwa tersebut memunyai nilai berita yang tinggi dan layak
untuk disiarkan. Karakteristik informasi di atas merupakan
generalisasi dari kerja selektor di media pada umumnya. Namun yang membedakan antara media satu dengan yang lain dalam melihat peristiwa yang sama adalah ideologi. Siregar (2001: 106) lebih lanjut menjelaskan karakter perusahaan media dapat dijelaskan ke dalam dua bagian yaitu orientasi etis terhadap aspek teknis dan orientasi etis terhadap subtansi informasi. Dampak dari kedua orientasi tersebut secara otomatis memengaruhi format penyampaian informasi yang akan disiarkan. Teknis jurnalisme televisi merupakan bagian penting dalam menjalankan penyesuaian karakter institusi media yang dianut. Kegiatan jurnalime televisi adalah menentukan standar kelayakan yang diutamakan dalam menginformasikan fakta sosial. Barometer yang digunakan jurnalisme televisi dalam melihat fakta sosial inilah yang dijadikan dasar orientasi untuk melayani kepentingan masyarakat luas. Terkait dengan jurnalistik televisi, Weiner menjelaskan bahwa jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan, dan penyiaran berita. Semua fakta kegiatan yang bermuara pada penyiaran berita, mulai dari pengumpulan fakta, penulisan sampai pada penyuntingan berita bisa disebut sebagai jurnalistik (Abrar, 2005: 1). Dalam teknik jurnalistik kebijakan
18
redaksional menjadi sumber dari setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota redaksional, mulai dari memilah informasi hingga menyajikan informasi. Jurnalistik juga diartikan sebagai sebuah kegiatan memilih informasi dari masyarakat dan sesuai dengan standar kelayakan informasi, serta menyajikan dalam gaya bahasa yang sesuai dengan kebijakan redaksional (Siregar, 1992: 4). Sedangkan Bromley menyatakan tidak ada satu formula khusus untuk merumuskan apa itu jurnalistik, tetapi Bromley mencoba mendefinisikan jurnalistik sebagai suatu produk dari instinct dan experince. Bromley memandang jurnalistik bukan sekedar kegiatan mengumpulkan fakta kemudian menuliskan sebagai sebuah berita saja, tetapi jurnalistik adalah sebuah komoditas yang akan diperdagangkan karena kecepatan dan keberadaannya (1992: 1-2). “Journalism then was the product of instinct and experience. Writing a news story (or a feature acticle or a sport repot, or a press release) was not like removing a gall bladder. It was not a procedure, defined and written up ini text... is the art of writting something that will not be read twice; journalism will be grasped at once. Journalism traded on its immediacy and accessibility, Bisa disimpulkan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi hak khalayak untuk mengetahui dan mengakses informasi. dalam tugasnya menyampaikan semua informasi kepada khalayak, maka jurnalistik memiliki kewajiban untuk bersikap profesional, etis dan kode etik jurnalistik. Diranah strutural jurnalistik masuk sebagai komponen dari media massa. Menurut Siregar media massa merupakan institusi sosial dalam mendapatkan informasi (right to know) dan hak untuk menyakatan pendapat (right to expression) .. agar kebutuhan manusia akan informasi tersebut dapat diselenggarakan dengan baik maka mau tidak mau harus ada sikap saling membutuhkan antara audiens atau khalayak dengan media dan nara sumber berita (Wahyuni, 2000: 54). Media massa menurut Herman dan Chomsky terlibat dalam suatu interaksi simbiosis (a simbiotic relationship), bahwa penyedia informasi media massa digerakkan oleh kebutuhan ekonomi (economic necessity) dan pertukaran
19
kepentingan (respocity of interest). Media massa membutuhkan keberlangsungan ekonomi guna memaparkan ide dan dirinya pada khalayak. Sementara di sisi lain khalayak membutuhkan berita tentang kejadian di lingkungan yang mengitarinya. Pada titik inilah wartawan menjadi mediator utama sebagai penghubung a symbiotic relationship (Sulhan, 2006: 330). Selain itu pembentukan konstruksi realitas pada media sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya media dan berbagai tekanan. Berbagai faktor tersebut akan mempengaruhi konstruksi kebijakan redakasi dalam melihat realitas, lebih lanjut Gebner mengatakan pola komunikasi massa yang tertekan. Tekanan yang mereka hadapai berasal dari berbagai kekuasaan, termasuk dari klien (misalnya para pemasang iklan), penguasa (baik hukum dan politik), pakar ilmuan, institusi lain, dan khalyak (McQuail, 2000:249).
Skema berikut ini menggambarkan peran organisasi media serta
komponennya sebagai penentu dalam situasi yang ditandai oleh adanya berbagai kendala, tuntutan, serta sekian banyak kekuasaan dan pengaruh (McQuail, 2010: 281). Bagan 1.2 Media dalam tekanan sosial
20
a. Hubungan organisasi media dengan klien, pemilik, dan pemasok. Dalam hal ini media sesungguhnya dalam posisi yang sulit. Di satu sisi media butuh menghidupi dirinya namun di sisi lain media harus mengutamakan kualitas informasi yang mereka siarkan. Pengaruh klien, pemilik, dan pemasok seringkali mengganggu porses informasi yang berkualitas. b. Hubungan organisasi media dengan sumber berita. Dalam hubungan ini media harus melakukan seleksi terhadap begitu banyak peristiwa yang diperoleh untuk dijadikan berita. sementara itu pola hubungan penyeleksi (selektor) dengan sumber berita sangat bervariasi, seperti yang sudah dijelaskan dalam pemikiran Nilkas Luhman. c. Hubungan organisasi media dengan khalayak. Dalam hubungan ini khalayak merupakan bagian penting dalam memberi pengaruh kepada lingkungan organisasi media. Hal tersebut dikarenakan khalayak sebagai sumber berita sekaligus sebagai penonton berita itu sendiri. d. Hubungan organisasi media dengan kelompok penekan, pemerintah, dan sosial politik. Mereka turut serta memberi tekanan sosial budaya yang mempengaruhi isi media dalam memberitakan peristiwa tertentu.
2.
Televisi dan politik
Televisi tidak hanya menjadi bagian yang integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk berbagai macam kepentingan. Hal tersebut bisa terjadi karena sifat media massa yang dapat mengangkut pesanpesan secara masif dan luas kepada khalayak atau publik yang jauh, beragam, dan terpancar luas. Aspek yang sangat menonjol dengan media massa terkait dengan politik adalah fungsi media massa dalam kehidupan politik. Karena sifatnya yang sentral dalam politik, media massa memiliki fungsi penting dan strategis. Komunikasi politik dapat didefinisikan dengan berbagai macam sudut pandang. Seperti yang dikatakan Denton dan Woordward yang mengatakan bahwa, komunikasi politik merupakan diskusi tentang public resources (revenue),
21
official authority (mereka yang diberikan kekuasaan untuk membuat peraturan, keputusan legislatif dan eksekutif), dan official sanction (penghargaan atau hukuman oleh Negara). Pandangan Deton and Woordward ditanggapi oleh Brian McNair hanya sebagai sebuah retorika politik verbal dan tulisan. Kemudian Menurut Doris Graber mempunyai pandangan lain bahwa komunikasi politik merupakan paralinguistik seperti bahasa tubuh dan tindakan politik seperti boikot dan protes. Pandangan Doris Graber serta merta mendapat dukungan Mcnair bahwa, pakaian apa yang digunakan, gaya rambut, tata rias, dan logo yang ditujukan untuk membentuk image politik termasuk dalam komunikasi politik (McNair, 2003: 4). Sedangkan menurut McNair sendiri komunikasi politik terbagi menjadi tiga bagaian penting. Pertama, komunikasi politik merupakan suatu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus atau aktor politik semata-mata hanya untuk mencapai tujuannya tertentu. Kedua, komunikasi politik ditujukan kepada aktor politik oleh non politikus seperti pemilih dan kolumnis. Ketiga, aktor politik dan kegiatan meraka, merupakan isi yang dimuat berita, editorial, dan berbagai bentuk media. Dari pandangan McNair dihasilkan tiga elemen penting dalam komunikasi politik yaitu: organisasi politik, media, dan citizens. Elemen pertama adalah organisasi politik, merupakan sebuah institusi yang membawa pengaruh kepada pengambilan kebijakan politik. Organisasi politik itu sendiri terdiri dari lima komponen yaitu: partai politik, organisasi public non partai, kelompok penekan, organisasi teroris, dan pemerintah. Kelima komponen tersebut merupakan wadah politik untuk, menampung semua aspirasi aktor politik sesuai dengan kepentingannya. Partai politik berkepentingan untuk agregasi kelompok yang mempunyai kesamaan ideologi untuk mencapai tujuan bersama organisasi public non-partai hampir sama dengan partai politik mempunyai kepentingan tetapi tidak menggunakan ideologi sebagai pijakan. Organisasi teroris mempunyai kepentingan yang berwujud radikal dan membahayakan orang lain dengan cara meneror, menyandra, mengngebom, dan lain-lain demi mencapai tujuannya. Pemerintah berkepentingan menjalankan fungsi sebagai pemerintah.
22
Elemen kedua adalah media. Selain menjalankan fungsinya sebagai pengawasan, penghubung, pentransferan budaya, dan hiburan. Ternyata juga digunakan untuk tunggangan aktor politik untuk menyampaikan kepentingan dan tujuan kepada organisasi politik dan citizens bisa berupa reportase, komentar, analisis, dan editorial. Juga terjadi hubungan timbal balik berupa appeals, programmes, adv, and public relation. Elemen ketiga yang terdapat pada komunikasi politik adalah citizens, maksudnya bagaimana keterlibatan individu yang mempunyai aspirasi atau tujuan politik, yang akan disampaikan kepada organisasi politik tertentu, demi bendapatkan kebijakan tertentu. Berikut ini adalah skema bagaimana posisi media dalam komunikasi politik.
Bagan 1.3 Komunikasi Politik Brain Mcnair
Kemudian Laswell (1995, 93:94) mengidentifikasi tiga fungsi pokok media massa dalam komunikasi politik sebagai berikut: 23
“The surveillance of the enviroment, the correlations of the part of society in responding to the environment, the transmission of the society heritage from one generation to the next”
The surveillance of the enviroment diartikan sebagai pengawasan terhadap lingkungan. The correlations of the part of society in responding to the environment diartikan sebagai penghubung bagian-bagian masyarakat dalam merespon lingkungan. The transmission of the society heritage from one generation to the next diartikan sebagai mentransmisikan warisan sosial dari dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pertama adalah fungsi pengawasan, merujuk pada aktivitas media massa dalam mencermati dan melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam mencermati dan melaporkan peristiwa-peritiwa penting publik. Dari sinilah, publik mengetahui dan kemudian memberikan respon kepada peristiwa tersebut. Fungsi pengawasan tidak sekedar pemberitaan, akan tetapi mencakup upaya menyingkap ketidakberesan
dalam
penyelenggaraan
pemerintah
maupun
kehidupan
bermasyarakat. Kedua adalah fungsi pengubung, fungsi ini lebih berkenaan dengan kiprah media massa dalam menyediakan diri sebagai forum untuk adanya diskusi, saling memperdengarkan pendapat, tuntutan dan aspirasi-aspirasi bagi semua kelompok masyarakat. Ketiga adalah fungsi sebagai transmisi, merupakan peran media massa dalam proses sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat luas. Isi dari sosialisasi ini adalah nilai-nilai norma-norma, dan kesepakatan yang berkembang di masyarakat. Charles R. Wright (1975: 8-22) menambahkan fungsi lain dari media massa adalah menghibur. Fungsi ini pada awalnya kurang berkaitan dengan politik. Akan tetapi pada perkembangan kemudian, setidaknya peran ini memiliki relevansi dengan politik. Selain itu media massa juga memiliki tiga fungsi yang lain yaitu: pertama, kekuatan mengkonstruksi dan mendekonstruksi realitas hingga terciptanya citra dan persepsi-persepsi tertentu pada khalayak. Kedua, mengartikulasikan kepentingan atau tuntutan. Ketiga, memproduksi dan mereprosuksi identitas budaya (Pawito, 2009: 104).
24
Lebih lanjut Pawito mengatakan (2009: 126) berbicara tentang pengaruh dan juga dampak media massa dalam konteks politik sangat melekat dengan fungsi media massa. Media massa dapat berpengaruh terhadap khalayak, hal tersebut bisa dilihat dari lima faktor sebagai berikut: a.
Pengangendaan isu publik pada khalayak. Hal ini nampak dengan penguatan demi penguatan terhadap teori agenda-setting yang pada dasarnya berpandangan bahwa agendasetting media mempengaruhi agenda khalayak.
b.
Frame khalayak mengenai isu-isu publik. Hal ini dapat dilihat dengan berkembanganya teori media framing yang mengatakan bahwa frame media (subtasnsi persoalan yang ditonjolkan oleh media mengenai isu-isu atau peristiwa-peristiwa tertentu) berpengaruh terhadap frame khalayak (persepsi khalayak mengenai isu atau peristiwa-peristiwa tertentu).
c.
Pembentukan pendapat khalayak mengeni isu publik. Hal ini nampak dengan perkembangan teori spiral of silent yang mengatakan bahwa individu-individu khalayak sampai tingkatan tertentu merujuk pada pemberitaan media untuk membangun pendapat-pendapat mengenai peristiwa atau isu-isu publik sambil mempertimbngankan pendapat mana yang terkesan lebih kuat (lebih banyak memperoleh dukungan).
d.
Pandangan, penilaian, atau persepsi terhadap realitas. Misalnya teori kultivasi yang mengasumsi bahwa individu-individu dengan terpaan televisi lebih tinggi cenderung memiliki pandangan atau penilaian terhadap realitas yang sama dengan realitas yang disuguhkan melalui televisi.
e.
Penumbuhan citra pada khalayak mengenai objek (figur atau tokoh, partai politik, organisasi, pemerintah, dan perusahaan),
25
Pengaruh dan dampak media massa tersebut telah membuka peluang bagi adanya kritik terhadap media dan wartawan. Paul Johnson (dalam Pawito 2009: 131-133) mengatakan bahwa ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan oleh media atau yang biasa kita kenal sebagai tujuh dosa yang fatal (seven deadly sins) yang seringkali dilakukan media yaitu: a.
Melakukan distorsi Media massa sering kali, sengaja atau tidak sengaja melakukan distorsi atau menyamarkan realitas. Kebenaran seringkali terkalahkan oleh
kepentingan-kepentingan
tertentu
sehingga
realitas
yang
sebenarnya tersamarkan. b.
Memberikan kesan keliru Media ataupun wartawan seringkali terhanyut dalam praktek pemberian kesan keliru kepada khalayak dengan pemberitaan yang mengarah kepada penciptaan atau pengukuhan stereotipe dan skeptis. Media massa selayaknya bekerja seperti kaca bening dimana khalayak dapat melihat kebenaran.
c.
Mencuri privasi Ikut mencampuri urusan pribadi merupakan kesalahan paling buruk yang dilakukan oleh media massa. Setiap manusia memiliki hak yang tak terpisahkan dengan privasi setidaknya sampai tingkat tertentu.
d.
Membunuh karakter Media mass baik melalui pemberitaan, karikatur, maupun talkshow seringkali digunakan untuk menghancurkan karir dan citra seseorang ataupun kelompok.
e.
Eksploitasi seks Demi meningkatkan rating, media massa seringkali memberikan kesan kuat mengeksploitasi seks. Untuk kepentingan ini, media mengemas erotisme dan seksualias ke dalam paket pesan gosip para selebritis.
f.
Meracuni pikiran anak-anak Media massa seringkali menyuguhkan materi atau acara-acara yang tidak mendidik. Hal ini dapat dicermati melalui berbagai paket
26
tayangan sinetron untuk anak-anak dan remaja yang kental bernuansa konflik dan kekerasan. g.
Penyalahgunaan kekuasaan Para editor seringkali berpikiran bahwa mereka memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi terhaap kasus-kasus yang berkembang melalui pemberitaan terhadap kasus tersebut. Dalam hal ini editor sering tergoda untuk melakukan penerapan kebijakan yang bersifat memihak.
3.
Berita konflik Terkait dengan konflik sebagai sebuah realitas yang dikonstruksi. Konflik
dipandang sebagai penggalan dari proses yang dianggap penting dan menarik bagi khalayak (Siregar, 2006: 265). Dalam pemberitaan konflik yang terjadi di Mesuji dan Lampung Selatan, maka tidak heran jika media massa khususnya TV One menaruh perhatian khusus kepada konflik tersebut. Joe Kelly mengatakan bahwa, “Conflict is inevitable, often determined by strutural factor in the organization or group, and an integral part of process of change. In fact, some degree of conflict is hepful. Conflict is natural part of any communication relationship, not all conflict have the some outcomes generally the outcomes of conflict can be perceived of destructive or constructive” (Myers dkk 1980: 227-229). Mancher (2003: 68) menyatakan media massa memiliki dua general guidelines. Pertama, news is information about a break form the normal flow of event, an interrupt ion in the expected, a deviation from the norm. Kedua, news is an information people need to make sound decisions about their lives. Mancher menjelaskan bahwa bagaimana seorang wartawan dan editor menentukan apakah suatu peristiwa merupakan suatu informasi yang perlu diketahui khalayak atau tidak. Informasi harus mengandung nilai berita seperti: timeliness, impact, consesquence or importance, prominence of the people involve, proximity to reader or listeners, conlift, the unusual nature and the event necessity (2003:64).
27
Berita tidak terlepas dari kaidah
kerja jurnalisme, seperti dikatakan
Weiner mengungkapkan bahwa jurnalisme merupakan keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyutingan dan penyiaran (Abrar, 2005: 15). Sedangkan Siregar (2001: 106) melihat jurnalisme sebagai kegiatan memungut fakta sosial untuk dijadikan informasi, kemudian selanjutnya disampaikan melalui media massa. Dari dua pengertian jurnalisme di atas terdapat pemahaman yang sama atas adanya fakta sosial yang akan dijadikan informasi. Dalam mengumpulkan fakta sosial, seorang jurnalis memiliki ketentuan tersendiri dalam penyampaikan informasi. Ketentuan ini biasanya berorientasi terhadap karakter perusahaan media tersebut. Konflik sebagai sebuah realitas sosial yang coba diulas insan pers, tentunya memiliki kepentingan khusus untuk mengulas konflik. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan teknik maupun etis subtansi kepada masyarakat luas. Konflik pada dasarnya merupakan pertikaian individu atau pun kelompok. Untuk menyelesaikan beberapa masalah biasanya konflik merupakan suatu cara yang banyak digunakan individu untuk menyelesaikan masalah. Ada yang berakhir. Robert M.Z. Lawang (1986: 311) mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya, yang tujuan mereka berkonflik itu hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara suatu kelompok dan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatam ekonomi, politik, sosial, dan budaya, yang terlatif terbatas. Lebih lanjut Lawang melihat konflik yang terjadi di Indonesia pada umumnya terdiri atas dua jenis yaitu: 1) Konflik vertikal, merupakan konflik yang terjadi antar herarki masyarakat contohnya konflik negara versus warga buruh dan majikan. Dalam penelitian ini konflik vertikal adalah konflik Mesuji. 2) Konflik horizontal, merpukan konflik yang terjadi antar golongan masyarakat yang seimbang. Contohnya konflik antar suku, antar agama, dan antar masyarakat. Konflik tersebut bisa berlatar belakang ekonomi,
28
politik, agama, kekuasaan, dan kepentingan lainnya. Dalam penelitian ini konflik horizontal adalah konflik suku Bali dan suku Lampung. Charles Lewis Taylor dan Michael C.Husdson membuat beberapa indikator dalam menggambarkan intensitas konflik yang terjadi dalam masyarakat indonesia. indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut (dikutip McDaniel, 2010: 382): 1) Demonstrasi (a protest demonstration) adalah sejumlah orang yang tidak menggunakan kekerasan, kemudian mengorganisasikan diri untuk melakukan protes terhadap suatu kebijakan pemerintah atau ideologi. 2) Kerusuhan pada dasarnya sama dengan demonstrasi, yang membedakan adakah adanya kekerasan fisik, perusakan fasilitas umum, menggunakan berbagai alat-alat pengendali kerusuhan oleh aparat keamanan, dan penggunakan berbagai macam senjata kerusuhan yang biasanya terjadi secara spontan. 3) Serangan bersenjata (armed attack) serangan yang dilakukan kelompok tertentu terhadap kelompok lain dengan menggunakan senjata, akibat pertentangan konflik sosial. Berikut ini adalah kronologi konflik yang terjadi di Mesuji dan Lampung Selatan. Pada bulan Desember 2011 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan konflik antara Kepolisian dan warga Mesuji di Lampung. Konflik tersebut berawal dari sengketa lahan antara masyarakat desa Sritanjung Mesuji dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BMSI). Dari konflik tersebut tercatat satu orang tewas dan sembilan luka-luka. Tempo.com (26/02) mencatat bahwa menurut pihak BMSI ada sekitar 500 warga dari tiga Desa, yaitu Desa Sritanjung, Nipah Kuning, dan Desa Kaagungan Dala Kecamatan Tanjung Raya di Kabupaten Mesuji, mengamuk dan membakar seluruh fasilitas perusahaan. Atas serangan warga tersebut karyawan perusahaan BMSI langsung menghubungi pihak Kepolisian untuk mengamankan masa yang mengamuk.
29
Setelah mendapat laporan tersebut Polisi langsung mendatangi tempat terjadinya kerusuhan. Masa yang bergitu banyak dan anarki memaksa Polisi untuk melakukan pembubaran paksa terhadap warga yang mengamuk. Seperti yang dikatakan Detiknews.com (21/12) Kepolisian bereaksi dalam upaya membubarkan masa. Namun yang terjadi dilapangan Polisi justru menembaki dan memukuli masa. Saling serang antara Kepolisian dan warga Mesuji berakhir dengan tewasnya satu orang warga Sritanjung akibat luka tembak dan sembilan warga luka-luka. Kejadian tersebut seketika ditanggapi oleh Pemerintah Pusat dengan dibuatnya Panita Kerja (Panja) yang mengusut konflik mesuji. Kompas.com (21/12) mengatakan bahwa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie mendukung pembentukan Panja di Komisi III DPR untuk mengusut penyimpangan di sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Pada tahun 2012 masyarakat Indonesia juga dikejutkan dengan beria konflik etnis antara masyarakat Bali dan Lampung tepatnya wilayah Kalianda Lampung Selatan. Bisnis.com (20/10) menjelaskan konflik di Lampung selatan bermula dari masalah sederhana di mana seorang gadis Balinuraga sedang bersepeda di desa Agom kemudian terjatuh. Lebih lanjut informasi yang bermunculan menyatakan bahwa gadis itu terjatuh kemudian mengalami pelecehan seksual. Keluarga gadis yang tidak terima kemudian mendatangi pemuda Agom yang dituduh telah berbuat tidak senonoh. Pemuda Agom yang merasa tidak bersalah menolak semua tuduhan yang diberikan suku Bali. Karena tidak percaya dengan keterangan pemuda Agom, suku Bali membakar rumah pemudah suku Agom. Melihat konfigurasi sosial suku di pedesaan Lampung yang sangat beragam, membuat desa-desa di Lampung Selatan eksklusif. contohnya saja suku Bali di desa Balinuraga dan desan Agom. Sejak kehadirannya, etnis Bali yang berbeda dengan orang Jawa, dipandang membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Kompas.com (4/11) lebih lanjut menyatakan bahwa kehadiran masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah dalam nuansa yang
30
eksklusif enclave. Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan. Dari kedua berita konflik di atas, terlihat jelas ada perbedaan munculnya konflik tersebut. Kasus Mesuji awalnya merupakan konflik antara perusahaan dan masyarakat, tetapi ternyata yang terjadi di lapangan adalah konflik vertikal antara polisi dan masyarakat. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi dalam lapisan kekuasan masyarakat, dimana yang satu memiliki kekuasaan dalam kasus ini adalah Kepolisian yang diberikan otoritas pemeritah untuk mempunyai senjata sesuai dengan standar Kepolisian dan masyarakat sipil di Mesuji yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, yang secara hukum administrasi tidak memiliki sertifikat atas lahan yang mereka kelola. Kemudian kasus konflik Bali dan Lampung yang merupakan konflik antar suku di Lampung Selatan merupakan konflik horizontal. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara komunitas atau suku dengan komunitas atau suku lain yang sejajar.
4.
Teori Framing Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson pada
1955 (Sobur, 2002:161). Ia mengatakan bahwa framing merupakan pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang akan diambil, kemudian bagaimana ditonjolkan dan dihilangkan. Hal tersebut membuat berita begitu manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subyek sebagai suatu yang legitimasi, obyektif, alamiah, wajar atau tak terelakkan (Imawan, 2000: 54-67). Berikut ini adalah definisi framing yang disampaikan dari beberapa ahli (Eriyanto, 2008: 77-79)
Tabel 1.3 Definisi Framing Robert N. Entman
Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagaian tertentu dari peristiwa itu leboh menonjol dibandingkan dengan aspek lain. Ia juga menyertakan
31
penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapat alokasi leboh besar dari pada sisi yang lain. William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makan pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. David E. Snow dan Robert Pemberian makna untuk penafsiran peristiwa dan kondisi Sanford yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu. Sumber informasi, dan kalimat tertentu. Amy Blinder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melaneli peristiwa yang komplek ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peritiwa. Zhongdang Pan dan Gerald Stretegi konstruksi dan memproses berita. perangkat M. Kosiki kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian tentang definisi framing, dapat dilihat ada titik singung utama dari keseluruhan definisi tersebut. Titik singgung tersebut adalah bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Dari hasil konstruksi tersebut dapat dilihat bagian mana yang menonjol dari sebuah berita dan bagian mana yang hilang atau dikaburkan dari sebuah berita.
Gitlin mengatakan bahwa frame media lebih tepat dikatakan sebagai
bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi), penafsiran, dan penyajian dari seleksi, penekanan, dan pengucilan dengan mengunakan simbol-simbol yang dilakukan
32
secara teratur dalam wacana yang terorganisir, baik dalam bentuk verbal mauapun visual (2008: 80). Menurut Ervin Goffman (dalam Sobur, 2001: 76-77), secara sosiologis konsep frame analysis memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif mengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skema interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat melokalisasi, merasakan, mengindetifikasi, dan memberi
label
terhadap
peristiwa-peristiwa
serta
informasi.
Frames
memungkinkan para jurnalis memproses sejumlah besar informasi demi penyiaran yang efisien kepada khalayak. Secara psikologi, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Lebih lanjut Eriyanto mengatakan ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu tekandung dua kemungkinan yaitu apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Akibatnya adalah pemahaman dan konstruksi atas sebuah peristiwa bisa menjadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita tertentu. Kedua, menulis fakta, proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa saja dengan bantuan foto dan gambar. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendaptkan alokasi dan perhatian yang benar dibandingankan aspek yang lain (2008: 81). Dilihat dari landasan teoritik analisis framing memiliki tiga pedekatan yaitu; perspektif komunikasi, sosiologi, dan psikologi. Dilihat dari perspektif komunikasi, nalisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Oleh karena itu, berita
33
menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, dan tak terelakkan. Dilihat dari perspektif Sosiologi, secara sosiologis, konsep frame analysis ialah memelihara kelangsungan
kebiasaan
kita
mengklasifikasi,
mengorganisasi,
dan
menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skemata interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasikan, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi. Dilihat dari perspektif
psikologi, framing dilihat sebagai penempatan
informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan. Berikut ini merupakan model proses framing yang akan dijabarkan menjadi empat bagian: a. Frame Building Frame building dapat dilihat dari beberapa faktor seperti, pengendalian diri pada organisasi, nilai-nilai profesional wartawan, atau harapan audiesn pada bentuk dan isi berita. Walaupun demikian, apa yang dipelajari belum mampu untuk menjawab pertanyaan begaimana media dibentuk atau tipe pandangan atau analisis yang terbentuk pada kreasi atau perubahan analisis dan penulis yang diterapakan wartawan. Frame building meliputi pertanyaan: faktor struktur dan oragnisasi seperti apakah yang mempengaruhi sistem media atau karakteristik individu wartawan seperti apakah yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita terhadap peristiwa yang terjadi. Gans, Shoemaker, dan Reese memberi saran, yaitu minimal ada tiga pengaruh yang potensial. Faktor pertama, adalah pengaruh dari wartawan. Konstruksi analisis lebih sering dibuat wartawan untuk
34
membuat perasaan memiliki akan kedatangan informasi. bentuk analisis fenomena yang ditulis wartawan sangat dipengaruhi oleh varibel-variabel seperti ideologi, perilaku, norma-norma profesional, dan memberi ciri pada wartawan dama menulis berita. faktor kedua yang berpengaruh dalam penulisan berita adalah pemilihan pendekatan yang digunakan wartawan dalam penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan orientasi politik atau “rutinitas organisasi”. Faktor ketiga adalah pengaruh dari sumber-sumber eksternal, misalnya aktor politik dan otoritas.
b. Frame setting Proses kedua dalam framing sebagai teori efek media adalah frame setting. Argumen para ahli, frame setting didasarkan pada proses identifikasi yang sangat penting. Frame setting termasuk dalam aspek pengkondisian agenda (adenda setting). Agenda setting ini lebih menitik beratkan pada isu-isu yang menonjol dan penting. Level awal dari agenda setting adalah transmisi objek yang penting, kemudian level selanjutnya adalah transmisi atribut yang penting. Nelson menambahkan
pernyataan
bahwa
analisa
penulisan
berita
mempengaruhi opini dengan penekanan nilai spesifik, fakta, dan pertimbngan yang lainnya yang kemudian diikuti dengan isu-isu yang lebih besar, nyata, serta relevan.
c. Individual- level effect of framing Tingkat pengaruh individu pada seseorang akan membentuk beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lain yang telah dilakukan dengan menggunakaan model kontak hitam (black box model). Dapat dikatakan bahwa stusi ini lebih berfokus pada input dan output, dan proses yang menghubungan variabel-variabel kunci dapat diabaikan.
35
Sebagai peneliti melakukan percobaan pada nilai keluaran framing tingkat individu. Walaupun telah memberikan kontribusi yang penting dalam menjelaskan efek penulisan berita di media dalam hubungannya dengan perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya, studi ini tidak mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa dua variabel ini saling berhubungan.
d. Journalist as audience Wartawan lebih cenderung untuk melakukan pemilihan konteks. Dalam hal ini, diharapkan wartawan dapat berperan sebagai orang yang mendengarkan analisis pembaca sehingga muncul timbal balik ide. Hal ini berakibat analisis wartawan tidak selalu dianggap paling benar dan tidak memiliki kelemahan.
Menurut Urs Dahiden dalam sejarah framing diinterpretasikan secara beragam. Framing dimaknai berbeda-beda dalam berbagai kelompok obyek kajian. Misalnya dalam psikologi, framing dimaknai sebagai skema, sedangkan dalam konteks ilmu informasi, skema merupakan instrumen representasi pengetahuan. Sosiolog Ervin Goffman, yang lebih fokus pada obyek kajian komunikasi interpersonal dan komunikasi langsung memaknai framing sebagai pendefinisian tentang situasi yang sedang terjadi dan menjawan pertanyaan “what is it that’s going on hare?” dalam konteks ilmu politik frame dimaknai sebagai bentuk dari sistem kepercayaam seperti diungkapkan oleh Gerhards/Rucht sebagai berikut: “we define a belief system as a configuration of idea and attitudes in which the elements are bound together by some form of constraint or functional interdependence” (seperti dikutip Hermin, 2008: 2). Dalam konteks studi media keberagaman perspektif coba diatasi oleh Dahiden dengan menawarkan serangkaian kategori frame yang menurutnya dapat dijadikan frame yang muncul dalam penelitian mengenai sebuah tema. Sebagai meta-analisis-proposional yang merupakan bangunan kategori berdasarkan hasil
36
dari serangkaian penelitian. Basis frame yang dimaksud adalah sebagai berikut (Hermin, 2008: 3):
Tabel 1.4 Basis Frame dari Urs Dahiden Basis Frame Konflik Ekonomi Kemajuan Moral, Etika, Hukum Personalisasi
Definisi Tema yang dipilih berangkat dari konflik kepentingan antara kelompok sosial yang beragam Tema diurai dari perspektif ekonomi Tema dijelaskan dari konteks kemajuan dan perspektif ilmu pengetahuan Tema dibahas dan didiskusikan dari perspektif moral etika, dan hukum Tema dijelaskan dari perspektif personal dari individu
Dengan alasan bahwa penelitian ini beranggapan kecenderungan umum fenomena media dan konflik, maka metode framing yang diterapkan Dahinden didesain sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian analisis framing juga termasuk kedalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini merupakan posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan, kemudian Robert N. Entman mendefinisikan framing sebagai berikut: “to frame is to select some aspect of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such way as to promote a particular problem definition, causal interpretatiom, moral evaluation or treatment recommendation”
Entman menjelaskan bahwa dalam membuat kerangka framing dengan cara menyeleksi dan memberi perlakukan tertentu terhadap aspek dari sebuah peristiwa yang akan diteliti dalam teks berita. Hal ini bisa dianggap sebagai cara promosi masalah tertentu, interpretasi kausal, evaluasi moral atau memberi rekomendasi atas peristiwa yang terjadi. Pada dasarnya Entman menjelaskan bahwa framing merupakan kegiatan pemberi definisi, penjelasan, evaluasi, dan
37
rekomendasi terhadap peristiwa yang diwacanakan. Konsepsi mengenai framing dari Entman tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Berikut ini adalah empat penjelasan Entman mengenai konsepsi framing. Pertama, pedefinisian masalah (Define problems) elemen ini merupakan frame yang paling utama. Frame tersebut menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Bagaimana peristiwa tersebut dipahami secara berbeda dan dan bingkai yang berbeda ini menyebabkan realitas yang berbeda. Kedua, memperkirakan penyebab masalah (diagnose causes) merupakan framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab ini bisa berupa apa (what), tetapi bisa berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Ketiga, membuat keputusan moral (make moral judgement) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. didefinisikan,
penyebab
argumentasi
yang kuat
masalah untuk
sudah
Ketika suatu masalah sudah
ditentukan,
mendukung gagasan
dibutuhkan tersebut.
sebuah Keempat,
menekankan penyelesaian (treatment recommendation) elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.
Tabel 1.5 Perangkat Framing Robert N. Entman Define problems diagnose causes
make moral judgement
treatment recommendation
Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Atau berbagai masalah apa? Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagaimana penyebab masalah? Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah tersebut? 38
F. Kerangka Konseptual Dalam menganalisis suatu objek penelitian tertentu dibutuhkan beberapa konsep yang dapat memberikan batasan-batasan dalam penelitian. Dari penjabaran teori yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka ada beberapa konsep utama yang akan dipadupadankan lebih mendalam dalam penelitian ini. Berikut ini konsepkonsep yang perlu dijabarkan dalam penelitian: 1. Konstruksi Konstruksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruksi yang dilakukan media dalam melihat realitas sosial dalam melihat konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Hal tersebut bertujuan untuk melihat frame-frame apa yang ditampilkan TV One dalam mengkonstruksi kedua konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan.
2. Berita Berita merupakan hasil produksi dari kerja jurnalistik berupa narasi dan gambar. Oleh sebab itu berita yang digunakan dalam penelitian ini adalah berita konflik yang menyiarkan konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan pada 2011 – 2012. Berita tersebut meliputi pembahasan tentang motif konflik, dinamika konflik, dan penyelesaian konflik.
3. Konflik Walaupun banyak definisi yang membahas masalah konflik, penelitian ini akan lebih berfokus pada peristiwa konflik yang berkaitan dengan fenomena konflik Mesuji yang diakibatkan dari perluasan lahan sawit oleh perusahaan. Konflik tersebut terjadi diduga melibatkan kepolisian dan masyarakat Mesuji yang berujung pada tewasnya warga Mesuji. Serta konflik antar suku Bali dan suku Lampung yang terjadi di Lampung Selatan. Konflik tersebut berawal dari kesalahapahaman antar kedua suku tersebut. Dari konflik ini beberapa warga suku Bali tewas dan warga Bali menggugat pemerintah jika kasus tersebut tidak ditangani
39
cepat, masyarakat Bali akan melepaskan dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI).
4. Framing berita Framing berita yang digunakan dalam penelitian mengadosi pemikiran Dahinden dan Entman. Alasan menggunakan pemikiran Dahinden sebagai basis frame dalam penelitian ini adalah untuk menangkap fenomena umum atau fenomena makro dalam konflik-konflik tersebut. Framing akan dilakukan secara umum melalui pengamatan pada obyek penelitian yaitu berita konflik yang muncul di televisi. Sedangakan menggunakan pemikiran Entman dalam penelitian ini adalah untuk menangkap secara detail memaknai teks berita dari sebuah media televisi. Dari kedua mikiran tersebut maka diperoleh framing konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan yang akan di jelaskan kedalam tiga kategori yaitu motif konflik, dinamika konflik, dan penyelesaian konflik. Pertama, frame tentang motif konflik yang akan melihat bagaimana media membingkai pemicu konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Kedua, frame tentang dinamika konflik yang akan melihat bagaimana media membingkai situasi konflik yang sedang terjadi. Ketiga, frame tentang penyelesaian konflik yang akan membahas bagaimana media membingkai upaya perdamaian yang terjadi dari kedua konflik tersebut. Setelah mengkategorikan berita yang akan dianalisis kemudian secara satu persatu teks tersebut akan dianalisis sebagai berikut:
a. Secara basic frame yang gunakan untuk membedah frame subtasnsi di atas adalah dengan menggunakan pemikiran Dahinden yang lebih mengulas frame secara besar. Frame tersebut meliputi, konflik, ekonomi, kemajuan, (moral, etika, dan hukum), personalisasi. Masing-masing elemen tersebut memiliki unit yang diamati, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
40
Konflik, elemen ini merupakan elemen framing untuk melihat tema yang dipilih berangkat dari kepentingan antar kelompok Ekonomi, elemen ini merupakan elemen framing untuk melihat tema apa yang terkait dalam perspektif ekonomi. Kemajuan, elemen ini merupakan elemen framing untuk melihat tema apa yang termasuk ke dalam konteks kemajuan dan pengetahuan Moral, etika, dan hukum, elemen ini merupakan elemen framing untuk melihat tema apa yang dibahas dengan perspektif moral, etika, dan hukum Personalisasi, elemen ini merupakan elemen framing untuk melihat tema dijelaskan secara individu.
b. Pemikiran Entman memiliki empat elemen yaitu: define problems, diagnose causes, moral judgement, treatment recommendation. Keempat elemen tersebut bertujuan untuk menditeksi secara detail tentang makna yang terkandung di dalam sebuah teks berita konflik. Keempat elemen tersebut memiliki unit yang diamati, yang akan dijelaskan sebagai berikut. Define problems, unit analisisnya terdiri dari isi berita, sumber berita dan narasumber. Sumber berita adalah organisasi atau institusi dimana aktor atau individu berkelompok. Sedangkan narasumber adalah aktor dari organisasi atau institusi tersebut. Diagnose causes, Elemen ini merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Oleh sebab itu unit analisis yang digunakan berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who).
41
Moral Evaluation, Elemen ini merupakan elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumentasi pada pendefinisian masalah yang telah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Oleh karena itu unit analisis yang digunakan bisa mengandung moral judgement positif dan negatif, Treatment recommendation. Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu unit yang diamati mengarah kepada penyelesaian itu tentu saja sangat bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat.
42
Tabel 1.6 Tabel Framing Framing substansi
Motif konflik Dinamika Konflik Penyelesaian Konflik
Basic Frame
Konflik Ekonomi Kemajuan Moral,etika,hukum Personalisasi
Frame
Define Problems
Causal Interpretation Moral Evaluation Treatmen Recomendation
1. 2. 1. 2. 1. 2.
Mesuji Lampung Selatan Mesuji Lampung Selatan Mesuji Lampung Selatan
Tema yang dipilih berangkat dari kepenting antar kelompok Tema dalam perspektif ekonomi Tema dengan kontek kemajuan dan pengetahuan Tema dibahas dengan perspektif moral, etika, dan hukum Tema dijelaskan secara individu Judul Isi Berita Nara Sumber Sumber Berita Apa penyebab masalah Siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah Nilai moral apa yang digunakan untuk melegitimasi atau delegitimasi suatu tindakan Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah
G. Metodelogi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini akan membahas tentang jenis penelitian,
sifat
penelitian,
subyek
penelitian,
objek
penelitian,
teknis
pengumpulan data, dan analisis data yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis penelitian Penelitian
ini
bersifat
deskriptif
sebab
peneliti
ingin
menggambarkan kejadian sosial yang bisa mempengaruhi wartawan dalam membingkai berita konflik di Mesuji dan konflik Lampung Selatan yang
43
siarkan TV One pada 2011-2012. Hasil temuan tersebut bersifat deskriptif, yaitu memberi gambaran terkait bingkai pemberitaan wacana konstruksi berita konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Metode deskriptif ini bertujuan untuk memaparkan secara sistematis fakta atau karakteristik tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Rachmat, 2007:22).
2. Sifat penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran dan pemahaman bagaimana suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi
3. Subjek penelitian Fokus penelitian ini adalah TV One. program televisi yang digunakan dalam penelitian ini. Peneliti memilih program Kabar Siang dan Kabar Hari Ini. Alasan memilih TV One akan dijelaskan sebagai berikut: a. TV One merupakan stasiun televisi berformat berita yang disiarkan skala nasional. Serta televisi tersebut menjadi rujukan pemerintah untuk membuat bahan pertimbangan kebijakan. b. Peneliti melihat adanya asumsi relasi hubungan antara pemimpin redaksi TV One Karni Ilyas dengan Brigjen Pol Drs. Edmond Ilyas dalam siaran berita konflik Mesuji dan Lampung Selatan di TV One
4. Objek penelitian Objek penelitian adalah istilah untuk menjawab apa yang sebenarnya hendak diteliti dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah teks-teks berita terkait konstruksi pemberitaan konflik di Mesuji dan konflik Lampung Selatan pada kurun waktu 20112012. Selama kurun waktu tersebut TV One menyiarkan konflik Mesuji sebanyak 18 berita dan konflik Lampung Selatan sebanyak 15 berita.
44
5. Teknis pengumpulan data a. Data primer Data dalam penelitian ini didapat dengan mengumpulkan rekaman siaran berita konflik Mesuji dan Lampung Selatan yang disiarkan TV One. Data rekaman diperoleh dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Pusat di Jakarta. Berita tersebut meliputi konflik Mesuji pada Desember 2011 dan konflik Lampung Selatan yang disiarkan pada Oktober 2012. b. Data skunder Data berupa studi pustaka yang menjelaskan tentang konstruksi media, berita konflik, televisi dan framing yang terkait dengan penelitian ini..
6. Penyajian Data Penelitian kualitatif dengan metode framing menempatkan subjektivitas peneliti sebagai instrumen utama. Hal tersebut mendorong posisi peneliti dan sumber data menentukan kualitas hasil penelitian. Oleh sebab itu peneliti harus mempunyai instrumen yang kuat untuk digunakan sebagai metode analisis data. Instrumen tersebut berupa langkah-langkah yang digunakan peneliti untuk mempermudah melakukan analisis data. Selain itu langkah-langkah tersebut penting dilakukan untuk mengapai data yang akurat dan validitasnya tidak diragukan. Oleh sebab itu peneliti membagi tiga langkah memproses remakan siaran berita konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan, sebelum melakukan analisis data Langkah pertama, setelah mendapatkan data dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berupa rekaman siaran TV One mengenai konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan pengamatan atau melihat keseluruhan berita konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Dalam penelitian ini terdapat tiga puluh tiga berita, delapan belas berita merupakan berita konflik Mesuji dan lima belas berita merupakan berita konflik Lampung Selatan.
45
Langkah
kedua,
setelah
melakukan
pengamatan
terhadap
keseluruhan berita konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan. Hal kedua yang dilakukan adalah mengetikan narasi setiap berita, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis teks berita. Narasi tersebut disajikan dengan menggunakan tabel dan potongan gambar yang mewakili berita tersebut. Langkah ketiga, setelah mendapatkan narasi berupa teks dari keseluruhan berita. Hal ketiga yang dilakukan adalah mengkelompokkan berita tersebut berdasarkan faming substansi. Framing substansi dalam penelitian ini meliputi frame motif konflik, frame dinamika konflik, dan frame penyelesaian konflik. Teks dikelompokan dengan cara melihat rentang waktu kapan berita itu disiarkan. Teks yang tergolong dalam frame motif konflik adalah teks berita yang muncul hari pertama atau hari kedua dalam menjelaskan kedua konflik tersebut. Untuk konflik Mesuji peneliti memilih rekam siaran TV One pada
14 -15 Desember 2011.
Alasan memilih tanggal tersebut adalah TV One pertama kali mulai memberitakan konflik Mesuji, dari rentan waktu tersebut diperoleh enam berita yang masuk kedalam frame motif konflik Mesuji. Kemudian untuk konflik Lampung Selatan peneliti memilih rekam siaran TV One pada 2829 Oktober 2012. Dari rentan waktu tersebut diperoleh empat berita yang masuk kedalam frame motif konflik Lampung Selatan Kemudian untuk mengelompokan teks kedalam frame dinamika konflik peneliti memilih rekam siaran TV One pada 17 Desember 2011 sampai 3 Januari 2012. Dari rentan waktu tersebut diperoleh sembilan berita yang masuk ke dalam frame dinamika konflik Mesuji. Alasan memilih tanggal tersebut karena konflik Mesuji mulai memlibatkan banyak golongan masyrakat yang terkait dengan konflik tersebut. Kemudian untuk konflik Lampung Selatan peneliti memilih rekam siaran TV One pada 1 November 2012 hingga 31 Oktober 2012. Dari rentan waktu tersebut diperoleh delapan berita yang masuk kedalam frame dinamika konflik tersebut. Alasan memilih tanggal tersebut karena konflik
46
Lampung Selatan mulai diperdebatkan TV One terkait dengan konflik tersebut. Terakhir adalah mengelompokan teks berita tersebut ke dalam frame penyelesaian konflik. Peneliti memilih rekam siaran TV One pada 4 Januari 2012. Pada tanggal tersebut merupakan akhir dari perjalan cerita konflik Mesuji, tidak ada lagi siaran yang membahas tentang konflik Mesuji. Pada tanggal 4 Januari 2012 diperoleh tiga berita yang masuk ke dalam frame penyelesaian konflik. Kemudian untuk konflik Lampung Selatan peneliti memilih rekam siaran TV One pada 5 dan 6 Novemeber 2012. Alasan memilih tanggal tersebut karena merupakan akhir dari siaran konflik Lampung Selatan yang disiarkan TV One. Dari rentan waktu tersebut terdapat tiga berita yang masuk ke dalam frame penyelesaian konflik Mesuji. Setelah tiga langkah tahapan penelitian ini terpenuhi selanjutnya pembahasan mengenai analisis data tersebut yang akan dijelaskan dalam pembahasan analisis data.
7. Analisis data Analisis teks framing merupakan pengembangan dari metode analisis isi media. Prinsip anlisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang diberitakan dalam media. fakta ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi makna yang spesifik. Bagaimana wacana sosial terhadap masalah konflik yang dibingkai dalam TV One akan diketahui dari klasfisikasi dalam teks. Analisis teks framing dalam penelitian ini memiliki alur yang diadopsi dari kerangkan framing Urs Dahinden dan Entman. Langkahlangkahnya akan dijabarkan sebagai berikut: a) Melakukan anaslisis data satu persatu terhadap framing substansi dengan menggunakan coding sheet. yang digunkan peneliti Dari
47
sinilah akan dapat diamati bagaimana wartawan menyusun peristiwa konflik dalam bentuk berita. b) Dari hasil coding sheet tersebut peneliti mulai menganalisis teks dan gambar, kemudian menyajikannya data tersebut dalam bentuk kalimat. c) Kemudian peneliti membandingakan antara konflik Mesuji dan konflik Lampung Selatan berdasarkan temuan-temuan yang didapat dalam hasil framing. d) Setelah itu peneliti akan melakukan analisis terhadap kedua berita konflik tersebut dengan menggunakan pendekatan teoritis dan konsep yang sudah dijabarkan pada kerangka pemikiran. e) Terakhir semua proses terlewati penelitian ini akan menyajikan data hasil pengamatan berupa kalimat dan gambar.
48
CODINGSHEET FRAMING PEMBERITAAN KONFLIK MESUJI DAN LAMPUNG SELATAN DALAM SIARAN TV ONE 2011-2012 No Nama Media Judul Program siaran Tanggal Tayang
No
: : : : :
Elemen Basic Frame
No 1
Elemen Define Problem (Definisi Masalah)
2
Causal Interpretation (Penyebab Masalah) Moral Evaluation (Keputusan Moral) Treatment Recomendation (Menekankan Penyelesaian)
3
4
Unit yang di coding
Konflik: Ekonomi: Kemajuan: Moral, etika, hukum: Personalisasi:
Unit yang di coding Judul Isi Berita Nara Sumber Sumber Berita Apa penyebab masalah Siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah Nilai moral apa yang digunakan untuk melegitimasi atau delegitimasi suatu tindakan Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah
49