BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lari merupakan salah satu olahraga yang tertua dipertandingkan di olimpiade, olahraga yang murah dan mudah dilakukan namun memiliki efek kesehatan bagi tubuh jika dilakukan secara rutin. Olahraga lari sedang populer di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Lari atau sekedar jogging di akhir pekan sudah seperti kewajiban yang harus dilakukan bagi warga ibu kota. Hadirnya ribuan orang dalam setiap acara Car Free Day (CFD) terbukti menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat ibu kota untuk melakukan olahraga baik itu berlari, bersepeda, senam, atau sekedar menikmati udara Jakarta yang bebas asap kendaraan di setiap akhir pekan. Program ini diadaptasi oleh berbagai kota-kota besar di seluruh Indonesia selain untuk mengurangi jumlah polusi asap kendaraan, secara tidak langsung memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas olahraga terutama lari. Maraknya perlombaan lari di berbagai kota yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun swasta yang diikuti oleh ribuan peserta terbukti lari sudah menjadi olahraga yang populer. Hal ini dibuktikan dengan sebanyak 15.000 orang mengikuti lomba lari Jakarta 10 K 2016 , 7.500 orang mengikuti lomba Bali Marathon 2016 dan ada lebih dari 25.000 yang mengikuti akun Facebook dari komunitas Indo-Runners yaitu komunitas lari yang terbesar anggotanya di ibu kota. Lomba lari yang diadakan dengan berbagai kategori baik itu dengan jarak 5 kilometer, 10 kilometer, ataupun marathon (42 kilometer) yang dalam setiap lomba akan dibedakan menjadi 2 kategori yaitu untuk kategori atlet dan kategori umum. Adanya kategori umum tersebut memicu semangat bagi orang awam untuk berlatih dan berpartisipasi. Meningkatnya jumlah warga kelas menengah di Indonesia yang mulai menyadari akan penting gaya hidup sehat, sudah menjadikan lari sebagai salah satu bagian dari aktivitas yang wajib dilakukan di sela-sela
1
2
kesibukan bekerja. Selain lari di ruangan terbuka, latihan lari menggunakan treadmill juga menjadi salah satu favorit bagi masyarkat yang melakukan latihan di dalam ruangan, baik itu di rumah atau di tempat kebugaran. Melakukan latihan lari dengan treadmill memiliki banyak keuntungan diantaranya tidak terpengaruh oleh keadaan cuaca saat melakukan latihan; lebih mudah untuk mengontrol kecepatan, jarak, dan kemiringan saat berlari; tidak memerlukan ruangan yang luas. Adanya perbedaan permukaan pada saat lari (ruangan terbuka dan treadmill) akan memberikan efek yang berbeda secara secara fisik maupun psikologis bagi pelari, namun tidak memberikan pengaruh terhadap faktor kelelahan yang ditimbulkan (Garcia-Perez et al, 2014). Lari merupakan kategori olahraga aerobik, memerlukan ketahanan fisik yang bagus untuk mampu menyelesaikan lomba dalam jarak tertentu. Kelelahan yang timbul pada otot-otot kaki setelah melakukan latihan atau mengikuti lomba merupakan suatu proses kompleks yang terjadi di dalam tubuh. Yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya tipe dan intensitas latihan, tipe serabut otot yang terlibat, serta asupan nutrisi. Kelelahan otot adalah ketidakmampuan mempertahankan kekuatan energi yang diperlukan atau diharapkan untuk melanjutkan kerja otot pada intensitas tertentu. Akumulasi asam laktat masih menjadi pendapat secara umum yang menjadi penyebab kelelahan terjadi, hal ini merupakan pendapat yang kurang tepat bahkan asam laktat dapat menjadi sumber energi yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang saat berolahraga (Kenney et al, 2012). Latihan secara rutin sangat diperlukan untuk meningkatkan kondisi fisik secara general baik bagi orang awam atau atlet. Salah satu prinsip latihan yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi tersebut dikenal dengan prinsip overload. Prinsip ini menekankan bahwa untuk meningkatkan performa otot, latihan yang diberikan haruslah melebihi kapasitas metabolisme otot yang dilatih, otot harus ditantang untuk melakukan latihan pada level yang lebih besar daripada yang biasa
3
dilakukan. Dengan meningkatkan beban latihan secara progresif baik intensitas atau volumenya. (Kisner, 2007). Program
latihan
yang
harus
bersifat
progresif,
dengan
meningkatkan beban latihan sehingga tubuh harus beradaptasi pada level yang lebih tinggi, yaitu beradaptasi pada stres atau tekanan baru. Latihan dapat menyebabkan munculnya stres fisiologis, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan pada sel yang diikuti oleh perubahan secara fisiologis dan perubahan metabolisme. Sehingga akan menstimulasi terjadinya adaptasi pada otot dan organ-organ tubuh lainnya. Latihan yang berlebihan
dapat
menyebabkan
terjadinya
kegagalan
adaptasi,
menimbulkan gejala-gejala kelelahan dan mengakibatkan performa menurun. Kelelahan yang kronis dapat juga disebabkan oleh pemulihan atau recovery yang tidak memadai (Lambert, 2009). Kelelahan pada otot dapat terjadi karena adanya kerusakan mekanis pada unit kontraktil atau plasma membran terutama disebabkan oleh tipe gerakan otot eksentrik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan metabolik/kimiawi setelah beberapa jam atau hari, dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan merubah aliran, kuantitas dan fungsi dari sistem imun. Respon terhadap adanya kerusakan otot ini akan terjadi pelepasan berbagai macam sitokin untuk mencegah kerusakan otot lebih lanjut. Respon yang tidak adekuat atau berlebihan terhadap adanya suatu peradangan dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam perbaikan tingkat sel, kerusakan jaringan, dan disfungsi dari otot yang akan bermuara pada kehilangan atau penurunan performa (Pournot et al, 2011). Kelelahan otot dapat di artikan adanya defisit motorik, persepsi atau penurunan fungsi mental, dapat menggambarkan adanya penurunan secara perlahan dalam kapasitas kekuatan otot atau titik akhir dari suatu aktifitas yang dapat diukur dari berkurangya kekuatan otot. Menurunnya kekuatan otot untuk menghasilkan tenaga atau daya saat atau setelah latihan juga dapat disebut kelelahan otot (Soogard et al, 2006). Fase pemulihan merupakan bagian integral dari proses latihan. Pemulihan dapat dilakukan secara aktif atau pasif, pemulihan secara pasif
4
merupakan metode untuk penyembuhan tubuh tanpa adanya intervensi. Sedangkan pemulihan aktif dapat dilakukan dilakukan dalam berbagai bentuk, usaha yang dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan sehingga tubuh lebih siap untuk tahap latihan selanjutnya. Metode pemulihan aktif yang populer antara lain cryotherapy, massage, streching, compression garment, active recovery, dan nutrisi. Metode pemulihan secara aktif lebih populer untuk digunakan akhir-akhir ini, walaupun tingkat efektifitasnya masih diragukan. Alat Intermittent Vacuum Therapy (IVT) dan Intermittent Pneumatic Compression (IPC) awalnya digunakan untuk terapi pada kondisi-kondisi gangguan pembuluh darah pada ektremitas bawah; seperti varises pada vena, pemulihan paska operasi, bengkak pada ektremitas bawah. Kedua modalitas tersebut berkembang digunakan
untuk
pemulihan
atau
recovery
setelah
latihan
atau
pertandingan. Alat IVT adalah modifikasi dari Lower Body Negatif Pressure Device (LBNPD), suatu alat yang pada awalnya dikembangkan untuk awak penerbang ruang angkasa dan peralatan yang wajib di setiap stasiun ruang angkasa. Alat ini terdiri atas suatu tabung silinder dimana tubuh bagian bawah dari pasien ditempatkan. Pasien tidur terlentang, tubuh bagian bawah dari pinggang hingga kaki berada di dalam tabung. Tabung silinder akan menutup bagian bawah tubuh pasien yang berada di dalam tabung dan terkunci dia area pinggang. Pompa dari vacuum menghasilkan tekanan negatif di dalam tabung. Alat ini menghasilkan tekanan negatif dan normal (30mmHg) secara bergantian (intermittent). Dibawah pengaruh dari vacuum, darah dari area dengan tekanan relatif tinggi (tubuh bagian atas yang berada di luar tabung) mengalir ke area yang memiliki tekanan lebih rendah (tubuh bagian bawah yang berada di dalam tabung), sehingga meningkatkan sirkulasi darah pada ektremitas bawah (A.K. Orletsky et al, 2009). Alat ini menambahkan dimensi baru pada pengetahuan tentang training/latihan, menambahkan satu dimensi untuk peningkatan penampilan seorang atlet. Alat ini menggunakan metode untuk meningkatkan perfusi pada jaringan dan otot untuk menghilangkan
5
dan mempercepat pengurangan asam lakat dan kreatin kinase.(Abdelaziz A Elnemr, 2007). Alat IPC secara komersial mengalami peningkatan popularitasnya sebagai salah satu alat untuk proses pemulihan, dengan didukung oleh pendapat para atlit berbagai cabang olahraga yang penggunaannya dapat mempercepat pemulihan setelah latihan. Kelebihan dari alat IPC adalah tidak diperlukan adanya peningkatan tonus otot untuk memberikan tekanan yang tepat sehingga aliran pembuluh darah vena dan limfe terjadi peningkatan (D.J. Cochrane et al, 2013). IPC adalah suatu kompresi dinamis dan merupakan salah satu metode baru yang digunakan dalam bidang olahraga. Alat ini pada awalnya digunakan untuk terapi pada kondisi lymphedema. Alat IPC menggunakan kompresi dengan tekanan yang relatif tinggi (mencapai ~80mmHG) melalui kantung udara yang diletakkan pada kedua kaki. Level tekanan dari alat IPC lebih besar dari yang dihasilkan olet alat yang berupa pakaian kompresi (~20mmHg). Kantung tersebut akan berkembang secara berututan dari area bawah (distal) ke arah atas (proksimal) melalui ruang yang berbeda, sebelum mengempis dan proses tersebut akan terus berulang untuk menghasilkan efek “milking” atau memerah seperti dalam gerakan massage (O’Donnell et al, 2015). Mengingat pentingnya proses pemulihan setelah latihan atau pertandingan yang seringkali dianggap sesuatu hal yang sepele, serta adanya 2 macam metode pemulihan aktif yang salah satunya telah populer di kalangan olahragawan dan satu metode baru yang belum banyak masyarakat mengetahui. Sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Efektifitas Pemakaian Intermittent Vacuum Therapy (IVT) dibandingkan dengan Intermittent Pneumatic Compression (IPC) untuk pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari”.
6
B. Identifikasi Masalah Kelelahan tubuh secara umum dapat diartikan ketidakmampuan tubuh untuk melanjutkan latihan pada intensitas yang telah ditentukan. Dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain level kebugaran, status latihan, intensitas latihan dan kondisi lingkungan (Porcari et al, 2015). Adanya beban latihan yang dapat menimbulkan kelelahan otot, kelelahan otot tersebut yang sebenarnya bersifat sementara, namun jika tidak terjadi keseimbangan antara latihan dan pemulihan dapat menimbulkan imbalance yang dalam jangka panjang menimbulkan beberapa gangguan. Antara lain menurunnya kemampuan atlit untuk melakukan latihan dalam intensitas tinggi, tidak mampu memenuhi target latihan, dan dapat meningkatkan resiko cidera (Barnett, 2016). Menurut Kelmann dan Kallus (2001) recovery atau pemulihan adalah suatu proses pada inter- individu dan intra-individu dalam berbagai level (misalnya: psikologis, fisiologis, sosial) dalam waktu tertentu untuk memulihkan kemampuan terbaik. Recovery merupakan proses fisiologis tubuh untuk beradaptasi dengan latihan yang diberikan. Untuk atlit kategori elit bahkan diberikan fasilitas khusus yang dibangun untuk mempercepat proses pemulihan; seperti untuk Tim Olimpiade Amerika di Colorado; Australia Institute of Sport (Canberra) dan Quensland Acedemy of Sport (Brisbane) serta fasilitas cryotherapy di klub-klub sepakbola di Eropa. Di Indonesia belum terdapat fasilitas yang memadai untuk meningkatkan proses recovery. Di Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON) yang terletak di Cibubur mempunyai fasilitas berupa IVT dan IPC yang selama ini belum maksimal penggunaannya untuk membantu atlit secara khusus maupun masyarakat yang memerlukannya. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/ kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penganganan secara manual,peningkatan gerak, peralatan fisik, elektroterapis dan mekanis, pelatihan fungsi dan komunikasi (PMK 65, 2015). Sehingga dengan memaksimalkan fasilitas yang ada di RSON
7
berupa IVT dan IPC, fisioterapi secara langsung dapat berperan untuk mengembangkan, memelihara dan meningkatan prestasi baik untuk atlit level nasional atau kesehatan masyarakat secara umum. Tujuan dari recovery adalah untuk memulihkan fungsi sel seperti kondisi awal sebelum latihan (pre-execrcise level), tanpa mengganggu proses biologis untuk menyempurnakan proses regenerasi. Selama latihan konsentrasi simpanan glikogen dalam otot akan berkurang, penurunan ini dapat berlanjut bahkan setelah latihan. Glikogen level akan kembali ke angka normal dalam waktu 24 jam, jika tanpa disertai kerusakan otot. (Lambert et al, 2006). Dengan mengukur kemampuan fungsional pasien dapat dijadikan tolok ukur tingkat pemulihannya telah adekuat atau belum. Salah satu metode pengukuran kemampuan untuk otot-otot tungkai bawah adalah dengan mengukur kemampuan Vertical Jump. Selama latihan akan terjadi stimulasi aktifitas saraf simpatis dan inhibisi saraf parasimpatis, hal ini akan menyebabkan peningkatan heart rate,
stroke volume, dan aktifitas otot-otot jantung untuk memenuhi
kebutuhan energi yang diperlukan otot selama latihan. Setelah latihan saraf parasimpatis akan aktif kembali sehingga akan terjadi penurunan denyut nadi ke angka normal. Angka penurunan jumlah frekuensi denyut nadi dan lama waktu untuk pemulihan ke angka normal setelah latihan sedang (moderate) atau berat seringkali digunakan sebagai indikator kebugaran kardiovaskuler (Javorka et al, 2002). Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis tertarik untuk mencoba mengkaji dan memahami perbedaan efektifitas pemakaian Intermittent Vacuum Therapy (IVT) dibandingkan dengan Intermittent Pneumatic Compression (IPC) untuk pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari
8
C. Rumusan Masalah 1. Apakah ada efektifitas pemakaian Intermittent Vacuum Therapy untuk pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari? 2. Apakah ada efektifitas pemakaian Intermittent Pneumatic Compression untuk pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari? 3. Apakah ada perbedaan efektifitas antara Intermittent Vacuum Therapy dengan Intermittent Pneumatic Compression terhadap pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan efektifitas antara Intermittent Vacuum Therapy
dengan
Intermittent
Pneumatic
Compression
dalam
pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui efektifitas Intermittent Vacuum Therapy terhadap pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari b. Untuk mengetahui efektifitas Intermittant Pneumatic Compression terhadap pemulihan kelelahan otot-otot kaki paska latihan lari
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi pengembangan ilmu Memberikan tambahan ilmu bagi fisioterapis dalam memilih modalitas yang tepat untuk mempercepat proses recovery pada atlet 2. Bagi institusi pendidikan Diharapkan mahasiswa/i sebagai calon fisioterapis dapat mengambil manfaat untuk dijadikan dasar penelitian yang lebih mendalam di masa yang akan datang serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya tentang proses recovery atau pemulihan atlet setelah latihan.
9
3. Bagi peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang pemakaian alat Intermittent Vacuum Compression dan Intermittent Pneumatic Compression untuk pemulihan kelelahan otot-otot kaki setelah latihan 4. Bagi pelayanan Memperkenalkan kepada masyarakat Intermittent
Vacuum
Therapy
dan
tentang penggunaan alat Intermittent
Pneumatic
Compression yang berada di Rumah Sakit Olahraga Nasional