BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebagaimana diketahui, kehidupan yang menjadi dambaan masyarakat adalah kondisi yang sejahtera. Dengan demikian, kondisi yang menunjukkan adanya taraf hidup yang rendah merupakan sasaran utama usaha perbaikan dalam rangka perwujudan kondisi yang sejahtera tersebut. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang rendah. Oleh sebab itu wajar apabila kemiskinan dapat menjadi inspirasi bagi tindakan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pemikiran tersebut semestinya kita juga cukup arif melihat berbagai pendekatan, pandangan dan fokus perhatian yang seolah-olah berbeda satu dengan yang lain. Dilihat dari masalah-masalah sosial sebagai suatu proses, dapat dimengerti apabila studi yang dilakukan tidak terbatas sebagai upaya identifikasi permasalahan, akan tetapi juga meliput usaha memahami dan mempelajari latar belakang, faktor penyebab dan faktor-faktor terkait dengan perasalahannya. Upayaupaya tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan yang komunikatif. Salah satunya dengan pendekatan komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat
dengan pemerintah,
sejak
dari
proses perencanaan,
kemudian
pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan (Nasution, 1996: 92). Bahkan akan lebih fungsional apabila studi masalah sosial juga meliputi usaha untuk mencari jalan pemecahannya. Untuk itu seharusnya pemerintah mengambil langkah yang konkret untuk mengurangi kemiskinan dimasyarakat. Program-program yang sifatnya berkelanjutan sangat dibutuhkan oleh masyarakat miskin saat ini. Saat ini berbagai program pemerintah telah dilakukan dengan melibatkan masyarakat (komunitas) sebagai penggerak program. Masyarakat disini terlibat aktif dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi program. Sebut saja salah satu program yang saat ini sudah dilaksanakan adalah PNPM Mandiri. Salah satu komunitas yang dibentuk dalam program ini adalah dibentuknya BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) atau LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat). Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat keberadaan program dari Pemerintah Pusat yang bernaung di Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya yang bernama PNPM Mandiri. Obyek penelitian ini adalah bagaimana peran komunikasi yang dibentuk dan dilaksanakan oleh para fasilitator PNPM Mandiri untuk mengkomunikasikan adanya program-program PNPM Mandiri yang seterusnya akan dilaksanakan oleh BKM/LKM di kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. PNPM Mandiri adalah proyek yang pada dasarnya merupakan upaya pemecahan masalah untuk menanggulangi kemiskinan. Pemecahan masalah yang dilakukan oleh PNPM Mandiri tentu saja berdasarkan masalah-masalah yang sudah dianalisa sebelumnya. Pendekatan PNPM Mandiri dilandasi oleh kesadaran bahwa akar masalah kemiskinan dan kekurangberhasilan dalam pembangunan adalah akibat kondisi masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan tercermin dalam sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan dari pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai
kemanusiaan
dan
prinsip-prinsip
kemasyarakatan
serta
prinsip
pembangunan berkelanjutan. (Modul Pelatihan Relawan PNPM KMW XIV-Jawa Tengah 2008: 7) Dalam modul Pelatihan Relawan PNPM KMW XIV-Jawa Tengah tahun 2008 disebutkan bahwa paradigma (pola pikir) yang ingin dikembangkan melalui PNPM ini adalah akar persoalan kemiskinan adalah lunturnya nilai-nilai kemanusiaan yang melahirkan ketidakadilan, keserakahan, mementingkan diri sendiri atau golongan, ketidakperdulian dan sebagainya. Oleh karena itu musuh bersama kemiskinan adalah sifat-sifat buruk manusia, bukan organisasi atau lembaga. Masyarakat pada dasarnya mampu dan mempunyai potensi untuk memecahkan masalah dan menolong dirinya sendiri, sehingga mereka harus diberi kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan. Demokrasi yang paling tinggi adalah pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat yang dilandasi kesadaran kritis. Dan seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut terlibat dalam pembangunan. Peran penting fasilitator dalam melakukan pemberdayaan masyarakat ini sangatlah penting, sebagaimana dikemukakan oleh Jim Ife dan Frank Tesoriero
(2008) yang mengatakan bahwa seorang pekerja masyarakat (fasilitator) harus berurusan dengan berbagai isu seperti penilaian penampilan staf, membangun sebuah tim yang efektif, membantu sebuah organisasi untuk menetapkan berbagai tujuan dan sasarannya, memutuskan suatu lokasi yang mewadahi mengenai tanggung jawab dalam sebuah organisasi, memastikan adanya sebuah komunikasi yang baik diantara orang-orang yang berbeda, mengurusi berbagai konflik dan ketegangan serta menjamin bahwa otoritas yang sesuai didapatkan sebelum berbagai keputusan pasti diambil. Mengingat banyaknya tanggung jawab yang harus dilaksanakan tersebut maka seorang fasilitator harus memiliki berbagai keterampilan dalam berbagai hal, seperti membuat keputusan, mengelola staf, mengelola konflik, mengelola keuangan dan penyimpanannya dalam sebuah catatan, sehingga mekanisme pengelolaan sumbersumber finansial dapat berjalan kearah yang diharapkan, tidak hilang atau diselewengkan, yang selanjutnya keterampilan tersebut akan ditransformasikan kepada masyarakat sehingga dimasa yang akan datang masyarakat akan mampu mengambil alih tugas-tugas tersebut. Disamping kaidah tersebut di atas perlu juga dipahami bentukan-bentukan kelembagaan yang akan dihasilkan melalui siklus PNPM ini sebagai berikut: 1. BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) BKM adalah lembaga pimpinan kolektif masyarakat warga/penduduk suatu kelurahan/desa yang terdiri dari pribadi-pribadi yang dipilih dan dipercaya warga berdasarkan kriteria luhur kemanusiaan yang disepakati bersama dan dapat mewakili masyarakat kelurahan/desa dalam berbagai kepentingan. 2. KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) KSM adalah kelompok masyarakat pemanfaat langsung dari proyek PNPM ini yang langsung menikmati hasil dari program penanggulangan kemiskinan yang direncanakan secara partisipatif oleh masyarakat kelurahan dibawah koordinasi BKM. Pembangunan KSM ini sengaja didorong sebagai kelompok basis dimana antar anggotanya dapat saling bantu, saling memperkuat dan saling belajar untuk bersamasama keluar dari belenggu kemiskinan. Kesatuan dalam KSM ini didasari oleh ikatan pemersatu antara lain kesamaan kepentingan dan kebutuhan, kesamaan kegiatan, kesamaan
domisili
dll,
yang
berkembangnya modal sosial. 3. Relawan
mengarah
pada
upaya
mendorong
tumbuh
Pengertian relawan dalam PNPM ini mengandung makna yang cukup luas, mencakup; (1) para relawan yang terlibat mendalam secara khusus dalam satu atau beberapa tahapan kegiatan PNPM sebagai pendamping masyarakat dan pengawal nilai, misalnya Refleksi Kemiskinan, Pemetaan Swadaya, FGD Kepemimpinan, FGD Kelembagaan dan Pengelolaan Urusan Publik, Pembentukan BKM, Perencanaan Pertisipatif dan pembentukan KSM. (2) Para relawan yang terpilih untuk duduk dalam struktur yang dibangun masyarakat untuk melaksanakan PNPM, misalnya Anggota BKM, Pengurus KSM, berbagai panitia yang terkait dengan pelaksanaan PNPM, dll serta (3) Para relawan yang mengikuti secara intensif seluruh proses pelaksanaan PNPM sebagai pendamping masyarakat dan pengawal nilai. Secara umum para relawan ini memberikan kontribusi nyata bagi kelancaran dan keberlangsungan PNPM sebagai program dari, oleh dan untuk masyarakat. (Modul Pelatihan Relawan PNPM KMW XIV-Jawa Tengah 2008: 9) Gambar 1. Struktur Organisasi BKM BKM Sekretaris
Pengawas
Unit Pengelola Lingkungan
Unit Pengelola Keuangan
Unit Pengelola Sosial
KSM/Rela wan
KSM/Rela wan
KSM/Rela wan
(Sumber: Modul Pelatihan Relawan PNPM KMW XIV-Jawa Tengah 2008) Tugas-tugas dari BKM sendiri yang termuat dalam modul pelatihan relawan adalah 1. Melakukan pendampingan penyusunan usulan kegiatan KSM. 2. Mengendalikan kegiatan-kegiatan pembangunan prasarana dasar usulan kegiatan KSM. 3. Motor penggerak masyarakat dalam membangun kepedulian bersama. 4. Menggali potensi lokal yang ada di wilayahnya.
5. Menjalin kemitraan (channeling) dengan pihak-pihak lain. Sebagai organisasi PNPM Mandiri melakukan perencanaan program yang sifatnya strategis. Program yang sifatnya strategi adalah program yang diperuntukan untuk koordinasi, alat komunikasi dan kontrol, yakni untuk menyakinkan bahwa setiap orang di dalam organisasi bergerak ke arah yang sama (Mintzberg, 2004: 249). Konsep
paling dasar dalam program PNPM Mandiri ini adalah pendekatan
partisipatif. Pola komunikasi partisipatoris sangat dibutuhkan disini. Untuk memungkinkan
pelaksanaan
pendekatan
partisipatif
dalam
menanggulangi
permasalahan kemiskinan perlu dilakukan proses pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendorong masyarakat agar lebih mampu untuk mengkaji masalah/kebutuhannya sendiri, memikirkan jalan keluar untuk memperbaiki keadaannya serta mengembangkan potensi-potensi dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Gambar 2. Pola komunikasi (Partisipatoris) Subyek (Masyarakat)
Fasilitator
DIALOG Subyek (Stakeholder)
Subyek (Masyarakat) Obyek (Realita)
(Sumber: Mikkelsen, 2011 dalam Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan) Melalui pola komunikasi partisipatoris ini akan terjalin kerja sama yang baik antara anggota masyarakat yang akan menciptakan suatu kelembagaan yang baik yang dapat memberikan energi positif bagi komunitas itu sendiri. Kelembagaan memainkan peranan penting dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat yang lebih teratur dan lebih terarah.
Seperti dikutip Jamieson dalam Mikkelsen (2011: 56-57) melihat munculnya paradigma pembangunan partisipatoris mengindikasikan adanya dua perspektif: pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan program atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dengan demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Yang kedua adalah membuat umpan balik (feedback) yang pada hakikatnya merupakan bagian tak terlepaskan dari kegiatan pembangunan. Dapat dikatakan bahwa komunikasi memang ditujukan untuk mencapai saling percaya dan konsensus antar para stakeholder, dalam hal ini adalah masyarakat dalam suatu komunitas. Sehingga adanya solidaritas yang tinggi di level masyarakat. Orientasi komunikasi partisipatif dalam penanggulangan kemiskinan diharapkan mampu merangsang tumbuh berkembangnya komunitas-komunitas. Komunitaskomunitas yang memiliki modal sosial dengan adanya kepercayaan antar-anggota yang kuat akan mendorong tercapainya pembangunan yang partisipatif, efektif, dan demokratis. Sehingga program-program yang sedang berjalan dapat dirasakan oleh semua pihak dan meningkatnya masyarakat untuk hidup mandiri. (Wiyati, dalam Hamid & Budianto, 2011: 377) Kehadiran PNPM Mandiri di Kecamatan Polanharjo sudah berlangsung selama 3 tahun dan membantu masyarakat banyak hal khususnya dalam hal pemberdayaan masyarakat. Di Kecamatan Polanharjo sendiri terdiri dari 18 Desa yaitu Glagah Wangi, Kapungan, Borongan, Ngaran, Jimus, Kahuman, Turus, Nganjat, Ponggok, Karanglo, Polan, Janti, Wangen, Keprabon, Kebonharjo, Kranggan, Sidoharjo, dan Sidowayah yang semuanya sudah tersentuh oleh kegiatan PNPM. PNPM adalah poyek yang pada dasarnya merupakan upaya pemecahan masalah untuk menanggulangi kemiskinan. Di dalam penyampaian program-program ini hambatanhambatan tertentu sudah pasti akan ada. Program-program yang diluncurkan oleh PNPM Mandiri ini membutuhkan proses komunikasi yang begitu penting. Ini dikarenakan karakteristik masyarakat di 18 desa berbeda-beda. Pendekatan-pendekatan yang sifatnya saling terbuka sangat dibutuhkan disini. Pendekatan PNPM dilandasi oleh kesadaran bahwa akar masalah kemiskinan dan kekurangberhasilan dalam pembangunan adalah akibat kondisi masyarakat yang belum berdaya.
Untuk itu dibutuhkan sarana komunikasi yang sangat intensif agar programprogram yang dibuat oleh PNPM ini dapat diketahui, diterima, dan dilaksanakan oleh masyarakat. Komunikasi menjadi peran sangat penting sekali untuk mendekatkan program-program organisasi ini kepada masyarakat. Peranan komunikasi berkaitan dengan status dari elemen-elemen komunikasi, jadi bisa saja muncul dalam peranan komunikator, pesan, media, komunikan, efek, konteks, dan peranan gangguan. Jadi ketika kita bicara komunikasi umumnya maka kita bisa bicara tentang cakupan peranan sistem komunikasi secara over all yang biasanya berawal dari pemrakarsa komunikasi yakni komunikator, peranan ini terletak pada bagaimana komunikator dengan status tertentu menjalankan fungsi mengelola elemen komunikasi yang lain agar tampilan peran itu sesuai dengan statusnya (Liliweri, 2011: 132). Proses komunikasi dari para fasilitator organisasi ke para relawan di desa-desa yang menjadi tonggak langsung pelaksanaan program harus selalu dilakukan agar pelaksanaan program dapat berjalan dengan lancar. Program dapat disosialisasikan dengan benar dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat menjadi persoalan tersendiri bagi para fasilitator organisasi untuk bekerja. Pendekatan-pendekatan tertentu tiap desa menjadi senjata yang penting digunakan untuk memsukseskan program ini. Keunikan dan kekhasan masyarakat di tiap desa menjadi hambatan tertentu dalam mensosialisasikan dan pembelajaran program-program dari organisasi. Untuk itulah penelitian ini dilaksanakan guna melihat dan menganalisis bagaimana proses komunikasi yang terjadi antara para fasilitator organisasi untuk menyampaikan program-program organisasi kepada para relawan-relawan di desa yang selaku wakil dari masyarakat. Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang memelopori, menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut. Aktor kunci keberhasilan dari program-program PNPM Mandiri ini adalah para relawan/fasilitator yang dibentuk di tiap desa yang bertugas sebagai penerima program dari para fasilitator organisasi dan menjadi wakil dari masyarakat. Para relawan yang mengikuti secara intensif seluruh proses pelaksanaan PNPM Mandiri sebagai pendamping masyarakat dan pengawal nilai, secara umum para relawan ini memberikan kontribusi nyata bagi kelancaran dan keberlangsungan PNPM Mandiri sebagai program dari, oleh dan untuk masyarakat. Hasil yang diharapkan terjadi dalam proses pemberdayaan masyarakat ini adalah masyarakat yang sadar akan kondisinya; potensi, kelemahan, peluang &
persoalan yang masih harus diselesaikan bersama dan tumbuhnya solidaritas sosial antar warga. Masyarakat menyadari bahwa untuk menyelesaikan persoalan bersama ini secara sistematik dan efektif dibutuhkan; relawan-relawan sebagai pelopor, masyarakat yang terorganisir, kepemimpinan yang baik pula serta kelompok sasaran yang terorganisir dengan baik. Kondisi tersebut kemudian mendorong lahirnya para relawan, masyarakat warga yang terorganisasi, BKM sebagai pimpinan kolektif dan kelompok sasaran yang terorganisasi dalam bentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). B. Perumusan Masalah Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana peran komunikasi yang dijalankan oleh para relawan/fasilitator dalam memberdayakan masyarakat melalui pelaksanaan program BKM/LKM-PNPM Mandiri di wilayah Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten?”. C. Makna Peran Komunikasi Makna peran komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat sejatinya masuk dalam ranah komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan merupakan inovasi yang harus diusahakan agar diketahui orang dan diterima sebelum ia digunakan. Untuk itu sebagai sebuah inovasi yang harus diketahui oleh orang banyak membutuhkan suatu terobosan yang dapat mempromosikan dan menginformasikan kepada khalayak banyak bagaimana program-program dapat dijalankan dengan baik. Solusi yang terbaik adalah dengan mengoptimalkan pendekatan komunikasi. Pada penelitian ini sejatinya adalah ingin melihat dan menganalisis seberapa optimalnya peran komunikasi yang dijalankan oleh para fasilitator organisasi PNPM Mandiri di Kecamatan Polanharjo untuk menjelaskan program-program ke masyarakat. Hal yang paling penting perlu diketahui adalah konsep paling dasar dalam program PNPM Mandiri ini adalah pendekatan partisipatif. Untuk memungkinkan pelaksanaan pendekatan partisipatif dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan perlu dilakukan proses pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk
mendorong
masyarakat
agar
lebih
mampu
untuk
mengkaji
masalah/kebutuhannya sendiri, memikirkan jalan keluar untuk memperbaiki keadaannya
serta
mengembangkan potensi-potensi dan keterampilan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pola komunikasi partisipatoris sangatlah penting dibutuhkan disini. D. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai peran komunikasi yang dilakukan oleh tim relawan/fasilitator dalam menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat pada pelaksanaan program BKM-PNPM Mandiri di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, seperti apa saja yang mereka lakukan, strategi apa yang mereka terapkan, berbagai macam hambatan/permasalahan yang dihadapi dan cara mengatasinya, faktor-faktor penentu keberhasilan, dorongan yang mereka peroleh dalam pelaksanaan tugas pendampingan dan sebagainya, sehingga pelaksanaan PNPM Mandiri ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat di lokasi tersebut. E. Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuannya yaitu bagaimana peran komunikasi dan untuk mengetahui dinamika faktor-faktor yang menjadi penghambat dan penentu keberhasilan program BKM-PNPM Mandiri di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, secara praktis penelitian ini dapat dijadikan acuan awal dalam rangka merancang program-program peningkatan pemberdayaan masyarakat di organisasi kemasyarakatan lainnya dan di pemerintahan daerah pada umumnya. F. Kerangka Pemikiran Peranan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat sejatinya adalah termasuk dalam lingkup komunikasi pembangunan. Seperti yang dijelaskan oleh Melkote (1991: 19), komunikasi dikenal kaya sebagai tradisi penelitian dan diadaptasikan kepada Dunia Ketiga untuk mengembangkan kebutuhan, bagaimana mengembangkan penelitian komunikasi untuk memecahkan permasalahan tersendiri, dan menghasilkan produk penemuan, sehingga penelitian komunikasi memiliki kontribusi dalam pengembangan komunikasi pembangunan. Dalam pengembangan komunikasi pembangunan selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang mempelopori, menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut. Orang-orang itu dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dikenal dengan sebutan “agen perubahan”.
Orang-orang yang melaksanakan tugasnya mewujudkan usaha perubahan sosial tersebut dinamakan agen perubahan, yang menurut Rogers dan Shoemaker (1971), merupakan petugas profesional yang memengaruhi putusan inovasi klien menurut arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Jadi semua orang yang bekerja untuk mempelopori, merencanakan, dan melaksanakan perubahan sosial adalah termasuk agen-agen perubahan. Sedangkan dalam hubungan antar pribadi dan kelompok peranan komunikasi dalam komunikasi pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi dialogis/dialektis. Komunikasi antarpribadi untuk mengembangkan hubungan antarmanusia, sementara komunikasi kelompok untuk meningkatkan kohesivitas kelompok yang ada di dalam masyarakat, sedangkan komunikasi dialogis untuk mengatasi kekuatan yang bertentangan secara alami yang menimpa hubungan mereka setiap saat. Tentunya hasil yang diinginkan oleh masyarakat adalah tindakan konkret yaitu bagaimana implementasi program/kebijakan itu dapat memberdayakan masyarakat dan menjadikan masyarakat hidup dalam kesejahteraan. Penjelasan-penjelasan tentang berbagai macam teori diatas dapat diperjelas di bawah ini, yaitu: 1. Komunikasi Pembangunan Komunikasi pembangunan merupakan salah satu terobosan (break through) di lingkungan ilmu sosial. Seperti mana terobosan lainnya, komunikasi pembangunan pada dasarnya merupakan gagasan dan konsep yang tidak mudah untuk diapresiasi atau dipahami sampai kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk tindakan. Komunikasi pembangunan merupakan inovasi yang harus diusahakan agar diketahui orang dan diterima sebelum ia digunakan. Dalam pandangan psikologi seperti uraian Hagen (1962) pembahasan pembangunan haruslah sejalan dengan aspek-aspek komunikasi. Salah satu butir yang kuat relevansinya dengan peranan komunikasi dalam pembangunan adalah penekanan yang diberikan pada analisa yang lebih mendalam pada masalah efek komunikasi. Ada dua pertanda yang mencerminkan hal tersebut, yaitu:
1. Perhatian terhadap proses internal yang terjadi pada saat suatu pesan dasar diterima – suatu proses intrapsikis yang terjadi dalam diri seseorang (writing self communicati) dan, 2. Bahwa sementara ongkos modernisasi boleh jadi demikian besarnya, namun sampai tingkat tertentu dapat diatasi melalui sistem komunikasi. Dari pengamatan terhadap perkembangannya sejak awal hingga sekarang, maka konsep komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti yang luas dan terbatas (Nasution, 1996: 92). Dalam arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedang dalam arti yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksankan gagasan-gagasan yang disampaikan. Sejalan pendapat yang diatas, konsep komunikasi pembangunan juga diutarakan oleh Srinivas R. Melkote dan H. Leslie Steeves (2001: 38). Mereka menyatakan “Development communication is a process of consensus building and resistence. It is not a linear process, but must be historically grounded, culturally sensitive, and multi-faceted, with attention to all the political, economic, and ideological structures and processes that comprise society”. Komunikasi pembangunan adalah sebuah proses dimana dalam pelaksanaannya haruslah sejalan dengan apa yang sudah menjadi budaya, ideologi, politik, dan ekonomi masyarakat itu sendiri. Tujuan komunikasi pembangunan ialah untuk memajukan pembangunan yang berkelanjutan. Ini juga sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Nora C. Quebral dalam Jamias (1975), “The purpose of development communication is a advance development. Development requires that a mass of people with low rate of literacy and income, and the socio-economic atribute that go with it, first of all be informed about and motivated to accept and use a sizeable body of hitherto
unfamiliar ideas and skills in very much less time than that process would normally take”. Tujuan komunikasi pembangunan adalah mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan menginginkan bahwa sekelompok massa orang-orang dengan tingkat literasi (melek huruf) dan penghasilan rendah, dan atribut-atribut sosio-ekonomi bahwa mereka harus berubah, pertama-tama semua menjadi terbuka tentang informasi dan dimotivasi untuk menerima dan menggunakan secara besar-besaran ide-ide dan keterampilan-keterampilan yang tidak familiar dalam waktu singkat dibanding proses yang diambil dalam keadaan normal. Komunikasi pembangunan merupakan disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana. Komunikasi pembangunan dimaksudkan untuk secara sadar meningkatkan pembangunan manusiawi. Itu berarti komunikasi yang akan menghapuskan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan.(Harun & Ardianto, 2011: 161) Agar komunikasi pembangunan lebih berhasil mencapai sasarannya, serta dapat menghindarkan kemungkinan-kemungkinan efek yang tidak diinginkan, tentunya harus mempertimbangkan hal-hal disorot tadi. Kesenjangan efek yang ditimbulkan oleh kekeliuran cara-cara komunikasi selama ini, menurut Rogers (1976) dapat diperkecil bila strategi komunikasi pembangunan dirumuskan demikian rupa, mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Penggunaan pesan yang dirancang khusus untuk khalayak yang spesifik. Misalnya, bila hendak menjangkau khalayak miskin pada perumusan pesan, tingkat bahasa, gaya penyajian, dan sebagainya, isusun begitu rupa agar dapat dimengerti dan serasi dengan kondisi mereka. b. Pendekatan ceiling effect yaitu dengan mengomunikasikan pesanpesan yang bagi golongan yang tidak dituju, katakanlah golongan atas, merupakan “redundansi” (tidak lagi begitu berguna karena sudah dilampaui mereka) atau kecil manfaatnya, namun tetap faedah bagi golongan khalayak yang hendak dijangkau. Dengan cara ini, dimaksudkan, agar golongan khalayak yang benar-benar berkepentingan tersebut mempunyai kesempatan untuk mengejar ketertinggalannya,
dan dengan demikian diharapkan dapat
mempersempit jarak efek komunikasi yang telah disinggung di atas tadi. c. Penggunaan
pendekatan
narrow casting
atau
melokalisasi
penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak. Lokalisasi di sini berarti disesuaikannya penyampaian informasi yang dimaksud dengan situasi kesempatan di mana khalayak berada. d. Pemanfaatan saluran tradisional, yaitu berbagai bentuk pertunjukan rakyat yang sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan masyarakat setempat. e. Pengenalan para pemimpin opini di kalangan lapisan masyarakat yang berkekurangan, dan meminta bantuan mereka untuk menolong mengomunikasikan pesan-pesan pembangunan. f. Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari kalangan
masyarakat
sendiri
sebagai
petugas
lembaga
pembangunan yang beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri. g. Diciptakan dan dibina cara-cara atau mekanisme bagi keikutsertaan khalayak, sebagai pelaku-pelaku pembangunan itu sendiri, dalam proses pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan sampai evaluasinya. Variasi penafsiran konsep komunikasi pembangunan, tercermin dalam penerapannya di berbagai sektor pembangunan. Keragaman itu segera tampak pada sejumlah bentuk ataupun unit aktivitas yang meskipun mengenakan label berbeda, namun jelas menunjukkan keterkaitan dan kesamaan satu sama lain. Dalam hubungan ini, dapat diidentifikasikan beberapa lapangan kegiatan yang menonjol
yang
pada
hakikatnya
memiliki
misi
yang
sama.
Yakni
mengomunikasikan ide-ide dan program pembangunan kepada khalayak yang menjadi sasaran ataupun yang dimaksudkan kelak sebagai penerima manfaat kegiatan yang bersangkutan. 2. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan
masyarakat
sejatinya
merupakan
proses.
Dalam
mengevaluasi proyek pemberdayaan masyarakat, siapa pun harus melihat proses,
dan dalam merencanakan dan menerapkan program pemberdayaan masyarakat apa pun senantiasa merupakan proses. Konsep pemberdayaan masyarakat sangat berhubungan dengan indikasi kemiskinan di masyarakat. Indikasi masyarakat dikatakan miskin secara umum dapat dilihat dari ciri-ciri kondisi fisik mereka seperti tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, kualitas pemukiman dan perumahan di bawah standar kelayakan, serta penghasilan yang tidak menentu. Persoalan kemiskinan selama ini hanya dilihat dari gejala yang tampak dari luar saja yang mencakup multi dimensia, seperti dimensi politik yang terlihat dalam bentuk tidak dimilikinya wadah/organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan mereka, dimensi sosial yang terlihat dalam bentuk tidak terintegrasikannya
warga
miskin
ke
dalam
institusi
sosial
yang
ada,
terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak budaya kerja dan etos kerja serta pudarnya nilai-nilai kapital sosial seperti gotong royong, musyawarah, keswadayaan dll, yang akan berakibat pada semakin jauhnya perilaku masyarakat pada semangat kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi persoalan secara bersama-sama, dimensi lingkungan yang dapat dilihat dari perilaku mereka yang cenderung melaksanakan kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta pemukiman, dimensi ekonomi yang dapat dilihat dari rendahnya penghasilan yang mereka peroleh sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak, serta dimensi aset yang berupa rendahnya kepemilikan mereka dalam berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumber daya manusia, peralatan kerja, modal dana, perumahan dll (Pedoman Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan, 2008). Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa situasi kemiskinan akan berkembang dalam lingkungan di masyarakat dimana perilaku, sikap serta cara pandang masyarakat itu sendiri belum berdaya. Untuk itu, pendekatan terbaik adalah mengarahkan masyarakat ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang mereka agar lebih mandiri dan berdaya. Proses pemberdayaan masyarakat (dan pengembangan masyarakat pasa dasarnya merupakan sebuah proses) tidak dapat dilihat hanya sebagai sarana untuk
sebuah tujuan, tetapi sebagai tujuan yang penting, sehingga proses dan hasil, atau sarana dan tujuan digabungkan. Pemberdayaan masyarakat merupakan langkah memulai perjalanan untuk discovery, dan menghargai serta memercayai proses. Hal ini mengharuskan pekerja masyarakat untuk mengabaikan ide mengetahui di mana dia berada, dan sebaliknya dia memiliki kepercayaan dalam proses dan kearifan dan keahlian tentang masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat tidak selalu duduk dengan mudah dalam dunia manajerial-isme yang dikendalikan oleh hasil. Itulah mengapa pemberdayaan masyarakat sangat penting. Ia menunjukkan tantangan yang signifikan untuk cara berpikir dan bertindak yang sering menghindari pelibatan banyak orang, yang cenderung menerima filosofi tujuan yang menjustifikasi sarana dan yang mengarah
pada
ketidakberdayaan.
Pemberdayaan
masyarakat
perlu
mengupayakan pembentukan cara berpikir yang menghargai saling interaksi di antara masyarakat, menghargai kualitas pengalaman kolektif, dan memaksimalkan potensi mereka dan mencapai perikemanusiaan mereka secara utuh melalui pengalaman proses masyarakat. (Ife & Tesoriero, 2008: 365) Senada dengan pendapat tersebut, menurut Sumodiningrat (2001) pemberdayaan (empowerment) masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Dalam kerangka pembangunan nasional, upaya pemberdayaan masyarakat apat dilihat dari sisi pandang: 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. 2. Meningkatkan kemampuan (capacity building) masyarakat dalam membangun melalui berbagai pemberian bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik, maupun sosial serta pengembangan kelembagaan di daerah. 3. Melindungi melalui pemihakan kepada yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Hasil yang diharapkan dalam pemberdayaan masyarakat ini adalah upaya untuk membimbing dan mengarahkan masyarakat agar mampu mencerna sendiri persoalan kemiskinan yang mereka hadapi, dan selanjutnya mencari jalan keluar
dengan kemampuan sumber daya lokal yang mereka miliki tanpa harus banyak bergantung pada pihak lain manapun. Upaya pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan melalui penciptaan iklim yang memungkinkan masyarakat miskin dapat mengembangkan potensinya, peningkatan kemampuan masyarakat melalui kelembagaan lokal yang ada, serta pemberian bantuan pendampingan oleh tenaga ahli. 3. Agen-agen Perubahan Usaha pembangunan pasti akan membutuhkan suatu perubahan yang mendasar dari sistem sosial. Pendapat ini sejalan apa yang diutarakan oleh Rogers (1976: 133) dimana dia mendefinisikan pembangunan sebagai “a widely participatory process of social change in a society, intended to bring about both social and material advancement (including greater equality, freedom, and other valued qualities) for the majority of the people through their gaining greater control over their environment”. Menurutnya pembangunan adalah sebagai suatu proses perubahan sosial yang bersifat partisipatoris secara luas untuk memajukan keadaan sosial dan kebendaan (termasuk keadilan yang lebih besar, kebebasan, dan kualitas yang dinilai tinggi yang lainnya), bagi mayoritas masyarakat melalui perolehan mereka akan kontrol yang lebih besar terhadap lingkungannya. Orang-orang yang melaksanakan tugasnya mewujudkan usaha perubahan sosial tersebut dinamakan agen perubahan, yang menurut Rogers dan Shomaker (1971), merupakan petugas profesional yang mempengaruhi putusan inovasi kilen menurut arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Jadi semua orang yang bekerja untuk mempelopori, merencanakan, dan melaksanakan perubahan sosial adalah termasuk agen-agen perubahan. Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang memelopori, menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut. Suatu usaha perubahan sosial yang berencana tentu ada yang memprakarsainya. Prakarsa itu dimulai sejak menyusun rencana, hingga memelopori pelaksananya. Bila kita lihat dalam suatu masyarakat yang melaksanakan pembangunan sebagai suatu perubahan sosial yang berencana, maka lembaga-lembaga perubahan (change agencies) tersebut adalah semua pihak yang melaksanakan pebangunan itu sendiri. Kedalamnya termasuk pemerintah
secara
keseluruhan,
masyarakat,
berikut
termasuk
departemen-departemen,
lembaga-lembaga
perekonomian
lembaga-lembaga berserta
segala
kelengkapannya. Agen-agen perubahan itu, menurut Rogers dan Shoemaker (1971), berfungsi sebagai “matarantai komunikasi antardua atau lebih sistem sosial”. Yaitu menghubungkan antara suatu sistem sosial yang memelopori perubahan tadi dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha perubahan tersebut. Hal itu tercermin dalam peranan utama seorang agen perubahan, yaitu: a. Sebagai katalisator, yang menggerakkan masyarakat untuk mau melakukan perubahan. b. Sebagai pemberi pemecah persoalan. c. Sebagai pembantu proses perubahan: membantu dalam proses masalah-masalah dan penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk mengenai bagaimana: -
Mengenali dan merumuskan kebutuhan;
-
Mendiagnosis permasalahan dan menemukan tujuan;
-
Mendapatkan sumber-sumber yang relevan;
-
Memilih atau menciptakan pemecahan masalah;
-
Menyesuaikan dan meencanakan pentahapan pemecahan masalah.
d. Sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Keseluruhan peran agen perubahan itu dapat dikelompokkan menjadi peran yang laten dan yang manifes (O’Goman, 1976 dalam Nasution, 1996: 116). Peranan yang manifes dari agen perubahan dapat dilihat dalam tiga perspektif, yaitu sebagai penggerak, perantara, dan penyelesai. Sedangkan sebagai peran laten agen perubahan mengembangkan kepemimpinan. Seorang agen perubahan secara laten dapat berperan selaku orang yang memobilisir atau orang yang membangkitkan kesadaran. Pembangkit kesadaran berperan dalam mengatasi jurang kesadaran antara pemimpin dan masyarakat, membantu pengembangan masyarakat belajar-mengajar dan membangun nilai-nilai melalui hubunganhubungan yang dipunyainya.
4. Peran Komunikasi Peranan
komunikasi
dalam
komunikasi
pembangunan
khususnya
pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang komunikasi antarpribadi,
komunikasi
kelompok
dan
komunikasi
dialogis/dialektis.
Komunikasi antarpribadi untuk mengembangkan hubungan antarmanusia, sementara komunikasi kelompok untuk meningkatkan kohesivitas kelompok yang ada di dalam masyarakat, sedangkan komunikasi dialogis untuk mengatasi kekuatan yang bertentangan secara alami yang menimpa hubungan mereka setiap saat. a. Komunikasi Interpersonal/Antarpersonal DeVito (1986: 4) menjelaskan komunikasi interpersonal/antarpribadi adalah “interpersonal communication is the process of sending and receiving message between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback”. Komunikasi interpersonal adalah penyampaian proses pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Lanjut lagi DeVito menjelaskan komunikasi interpersonal dapat terjalin efektif sangat tergantung pada pribadi penerima maupun pengirim pesan seperti yang dijelaskan berikut ini: 1. Keterbukaan, mencakup aspek keinginan untuk terbuka bagi tiap orang yang berinteraksi dengan orang lain, dan keinginan untuk menanggapi secara jujur semua stimulus yang datang kepadanya. 2. Empati, yaitu merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain atau mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan perasaan orang lain. 3. Dukungan, adakalanya perlu diucapkan, namun dapat juga tidak diucapkan. 4. Kepositifan, mencakup adanya perhatian yang positif terhadap diri seseorang, suatu perasaan positif itu dikomunikasikan, dan mengefektifkan kerja sama. 5. Kesamaan, mencakup kesamaan suasana dan kedudukan antara orangorang yang berkomunikasi. Menurut Budyatna & Ganiem (2011: 44), hubungan interpersonal adalah hubungan komunikasi meliputi prediksi timbal balik berdasarkan data psikologis.
Apabila kita berbicara tentang pengembangan hubungan antarpribadi, kita mengacu kepada proses di mana manusia mengadakan kontak terhadap satu sama lain dan mendasarkan prediksi tentang perilaku komunikasi satu sama lain terutama pada data psikologis. Kesempatan untuk mengadakan kontak jelas sebagai syarat yang diperlukan bagi pengembangan setiap macam hubungan komunikasi. Di luar itu, lamanya kontak dan juga konteks di mana kontak itu berlangsung memiliki hubungan yang kuat pada proses-proses hubungan lainnya. Saling memberi informasi adalah penting karena informasi itu menjadi dasar bagi seseorang untuk menentukan hubungan macam apa yang mereka inginkan bersama. Mereka dapat memeriksa dan mencatat satu sama lain dan memperkirakan kemungkinan mengenai imbalan serta timbal balik seandainya mereka memutuskan untuk berspekulasi terhadap kontak berkelanjutan. Informasi itu hanya mempunyai nilai apabila orang mampu untuk menggunakannya untuk mengoordinasikan secara efektif transaksi mereka dan untuk memperoleh lebih lanjut informasi antarpribadi.
b. Komunikasi Kelompok Sebagai makhluk sosial tentunya kita tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi sendiri merupakan suatu hubungan interaksi yang kita lakukan baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Hal tersebut kita lakukan guna mempertahankan kelangsungan hidup, karena sebagai makhluk sosial kita tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Kelompok merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas kita sehari-hari. Kelompok baik yang bersifat primer maupun sekunder, merupakan wahana bagi setiap orang untuk dapat mewujudkan harapan dan keinginan berbagi semua informasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Ia bisa merupakan media untuk mengungkapkan persoalan-persoalan pribadi, ia dapat merupakan sarana meningkatkan pengetahuan para anggotanya dan bisa pula merupakan alat untuk memecahkan persoalan bersama yang dihadapi seluruh anggota.
Komunikasi kelompok adalah proses komunikasi yang berlangsung antara 3 orang atau lebih secara tatap muka di mana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lain. Tidak ada jumlah batasan anggota yang pasti, 2-3 orang atau 20-30 orang, tetapi tidak lebih dari 50 orang. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan pula komunikasi antarpribadi. Selain itu, komunikasi kelompok cenderung spontan dan belum adanya bagian atau tugas dari masing-masing anggota yang terstruktur jelas. Jadi, dalam komunikasi ini setiap orang bisa memegang peranan apa saja (Rohim, 2009: 87). Gambar 3. Sebuah Model Proses Kelompok dalam Membuat Keputusan Sumber Masalah Rintangan dalam tugas (stimulus eksternal terhadap kelompok)
Perilaku Kelompok
Output
Perilaku yang berhubungan dengan sistem tugas
Penghargaan Penghargaan tugas
Produktivitas Kelompok Produktivitas individu
Kelebihan efek pertemuan Rintangan antarpersonal (perilaku dan dugaan mengenai perilaku dari anggota di kelompok lain)
Perilaku yang berhubungan dengan stimulus antarpersonal
Penghargaan interpersonal
Sumber: Berdasarkan A Social Pschology of Group Processes for DecisionMaking by Barry Collins and Harold Guetzknow: John Willey & Sons, 1964 dalam Littlejohn & Foss (2009: 331) Littlejohn & Foss (2009: 331) menjelaskan, model diatas menunjukkan bahwa tugas kelompok dihadapkan dengan dua masalah – rintangan tugas dan rintangan antarpersonal. Rintangan tugas (tas obstacles) adalah kesulitan yang didatangkan oleh kelompok dalam mengerjakan tugas, seperti perencanaan sebuah peristiwa atau menyetujui kebijakan, menyarankan solusi, dan menitikberatkan pada alternatif
Lanjut lagi menurut Littejohn & Foss (2009: 332), kapan pun dua orang atau lebih bersama-sama mengatasi masalah, rintangan antarpersonal muncul. Rintangan seperti ini meliputi keharusan menjelaskan gagasan kepada orang lain, menyikapi masalah, mengatur perbedaan, dan seterusnya. Dengan demikian, dalam sebuah diskusi kelompok, anggota kelompok akan berhubungan dengan rintangan antarpersonal secara berkesinambungan. Perbedaan dasar antara tugas pekerjaan dan hubungan antarpersonal telah menjadi pusat perhatian dalam penelitian dan teori komunikasi kelompok kecil. Kedua jenis perilaku ini penting untuk produktivitas dan analisis pemecahan masalah harus berhubungan dengan keduanya. Ketika pekerjaan tugas dan antarpersonal disatukan dengan efektif, sebuah penerapan pengaruh terjadi di mana solusi kelompok atau produk unggul dari pekerjaan perorangan di antara anggota kelompok yang terbaik. Pendapat Raymond Cattle yang dikutip dari Littejohn & Foss (2009: 332) mengatakan usaha berpikir dari sebuah kelompok sebagai semacam energi. Beberapa energi ini masuk ke dalam tugas pemecahan rintangan, dan sebagian besar lagi hubungan dengan rintangan antarpersonal. Cattle menggunakan istilah synergy untuk usaha kelompok ini. Jumlah energi yang dipakai dalam isu antarpersonal disebut intrinsic synergy, dan sisa energi yang ada untuk tugas disebut effective synergy. Jika sinergi efektif tinggi, tugas akan dapat dituntaskan dengan efektif; jika tidak, penyelesaiannya akan buruk. Tingkatan hasil sinergi dari sebuah kelompok berasal dari sikap anggota terhadap yang lainnya. Konflik membutuhkan curahan energi yang besar dari pemeliharaan kelompok, memberikannya sedikit untuk penuntasan tugas. Di sisi lain, jika setiap individu memiliki sikap yang sama, maka kebutuhan akan nilai antarpersonal berkurkurang dan sinergi akan lebih besar. c. Komunikasi Dialogis/Dialektis pada Hubungan Gagasan teori komunikasi dialogis tentang hubungan sebagai proses dialektis dan dialogis ini didasarkan pada langkah besar dalam karya Mikhail Bakhtin dan Baxter.
Karya Bakhtin sebenarnya mendasari sebuah teori penyilangan yang
berkaitan dengan tradisi komunikasi karena karya tersebut berperan pada sudut pandang sosiokultural dan kritikal. Konsep kementahan dan heteroglossia terdiri atas dasar gagasan Bakhtin dalam Littlejohn & Foss (2009: 300) tentang dialog. Bakhtin mengatakan,
menggunakan kata ini dalam beberapa cara dalam tulisannya. Ketika Bakhtin memilih untuk mengikutsertakan dunia dalam kekhususannya daripada abstraksinya, dialog adalah tentang bagaimana kita berinteraksi dalam interaksi khusus. Tidak ada “bahasa umum” yang disuarakan oleh suara umum, yang dipisahkan dari apa yang suara tersebut katakan. Selalu ada seseorang yang berbicara dengan orang lain, bahkan ketika anda berbicara dengan diri anda. Oleh karena itu, dialog adalah sesuatu yang terjadi dalam sebuah situasi tertentu bagi pelaku dialog tertentu. Inti konsep Bakhtin tentang dialog adalah ucapan yang merupakan pertukaran, lisan, atau tulisan antara dua orang. Sebuah ucapan mengacu pada bahasa yang diucapkan pada sebuah konteks. Ucapan mengandung tema yang dalam isi percakapan, sikap pelaku komunikasi terhadap subyek tersebut, dan beberapa tingkat kemampuan reaksi pada bagian orang yang dituju. Selanjutnya, pelaku komunikasi mengungkapkan sebuah gagasan dan membuat sebuah penilaian tentang gagasan tersebut, mengantisipasi respon dari orang yang bersangkutan. Pembicaraan tidak hanya mengantisipasi sudut pandang orang lain dan menyesuaikan komunikasinya berdasarkan pada antisipasi tersebut, tetapi orang tersebut juga ikut serta dengan merespons, menilai, dan memulai ucapannya. Lanjut lagi Bakhtin menjelaskan, ucapan yang hidup, memiliki makna dan bentuk pada saat historis tertentu dalam lingkungan sosial tertentu tidak dapat gagal dalam pengulangan yang bertentangan dengan urutan ribuan dialog yang hidup, yang dijalin oleh kesadaran sosio-ideologis di sekitar obyek ucapan; hal ini tidak dapat gagal dalam menjadi pelaku yang aktif dalam dialog sosial (Littlejohn & Foss, 2009: 301). Gagasan Bakhtin telah mendapatkan perhatian yang besar dari para ahli teori kritis dan kultural yang tertarik pada proses pemahaman negosiasi dari tempat yang terpinggirkan dalam sebuah kebudayaan. Oleh karena itu, Bakhtin dalam Littlejohn & Foss (2009: 302) memberikan pandangan tentang hubungan: (1) antara dua individu sebagai sebuah pembukaan potensi yang mungkin tidak pernah disadari; dan (2) antara kebudayaan juga. Selain Bakhtin, Baxter juga yang menyatakan tentang teori dialogis/dialektis. Pendapat Leslie Baxter tentang teori dialektis seperti yang dikutip oleh Littejohn & Foss (2009: 303) mengatakan, teori dialektis hubungan atau relation dialectic theory
(RDT) tumbuh dari ketidakpuasan akan bias-bias monologic dari penelitian komunikasi keluarga/interpersonal tradisional, yang mana wacana-wacana tentang keterbukaan, kepastian, dan keterkaitan memiliki hak istimewa ketika wacana-wacana yang bersaing tentang non-pengungkapan, ketidakterdugaan, dan otonomi dibungkam. Teori ini telah berkembang dari fokus awalnya pada pertentangan bipolar ke artikulasinya sekarang sebagai sebuah teori dasar tentang komunikasi, yang terpusat pada perjuangan wacana-wacana yang bersaing dengan sebuah metode pasangan tentang analisis wacana, analisis contrapuntal. Inti dari teori Baxter ini adalah pertama, hubungan dihasilkan melalui dialog. Dalam pandangan pertama teori Baxter ini, dalam dialoglah anda mendefinisikan hubungan anda dengan orang lain. Gagasan anda tentang diri anda, orang lain, dan hubungan terbentuk dalam pembicaraan yang terjadi dalam beberapa cara. Kedua, dialog menghasilkan sebuah kesempatan untuk mencapai sebuah persatuan dalam perbedaan. Melalui dialog, kita mengatur dinamika pengaruh antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal, kekuatan yang memisahkan dan menarik kita bersamasama, kekuatan yang menciptakan pemahaman akan kekacauan dan kekuatan yang memberikan rasa kebersamaan. Ketiga, dialog adalah estetika. Estetika melibatkan pemahaman akan keseimbangan, keterkaitan, bentuk , dan kesatuan. Fakta yang ada bahwa anda dapat berkata anda sedang memiliki sebuah hubungan berarti bahwa ada pola seperti itu, seperti sebuah potret, memberikan identitas hubungan, keunikan, dan kesatuan. Anda tidak hanya dapat menyebutkan hubungan di mana anda mengambil bagian, tetapi anda dapat menjelaskan hubungan tersebut, menggolongkannya, dan menceritakan cerita yang menunjukkan seperti apa hubungan tersebut. Karakter sebuah hubungan seperti sebuah refleksi dari estetika yang diciptakan dalam dialog. 5. Implementasi Program Konsep implementasi program memiliki berbagai perspektif yang berbedabeda sehingga cukup sulit untuk merumuskan batasan secara definitif. Dalam kamus Webster (Wahab, 1997) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implementation” (mengimplementasikan) berarti “to provide means for carrying out: to give practial effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak sesuatu).
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik , ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester (1990) dalam Nugroho (2011: 633), mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “communication model” untuk implementasi kebijakan, yang disebutnya sebagai “Generasi Ketiga Model Implementasi Kebijakan”. Goggin, dkk, bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang “lebih ilmiah” dengan mengedepankan pendekatan “metode penelitian” dengan adanya variabel independen, intervening, dan dependen, dan meletakkan faktor “komunikasi” sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri. Dengan demikian, untuk memahami implementasi kebijakan sebagai praktik, digunakan model berpikir sederhana sebagai berikut:
Identifikasi masalah yang harus diintervensi
Menegaskan tujuan yang hendak dicapai
Merancang struktur proses implementasi
Gambar 4: Praktik Implementasi (Nugroho, 2011: 654)
Pelaksana atau implementasi kebijakan dalam konteks manajemen dalam kerangka organizing-leading-controlling. Jadi, ketika kebijakan sudah dibuat, tugas selanjutnya
adalah
mengorganisasikan,
melaksanakan
kepemimpinan
untuk
memimpin pelaksanaan, dan melakukan pengendalian pelaksana tersebut. Secara rinci kegiatan manajemen implementasi kebijakan dapat disusun berurutan sebagai berikut: Tabel Manajemen Implementasi No 1
2
3
4
Tahap Implementasi Strategis (Pra-implementasi)
Isu Penting - Menyesuaikan struktur dengan strategi. - Melembagakan strategi. - Mengoperasionalkan startegi. - Menggunakan prosedur untuk memudahkan implementasi. Pengorganisasian - Desain organisasi dan struktur organisasi. (organizing) - Pembagian pekerjaaan dan desain pekerjaan. - Integrasi dan koordinasi. - Perekrutan dan penembatan sumber daya manusia (recruting & staffing). - Hak, wewenang, dan kewajiban. - Pendelegasian (sentralisasi dan desentralisasi). - Pengembangan kapasitas organisasi dan kapasitas sumber daya manusia. - Budaya organisasi. Penggerakan dan - Efektivitas kepemimpinan. Kepemimpinan - Motivasi. - Etika. - Mutu. - Kerja sama tim. - Komunikasi organisasi. - Negosiasi Pengendalian - Desain pengendalian. - Sistem informasi manajemen. - Pengendalian anggaran/keuangan. - Audit. (Sumber: James A.F Stoner, R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert, Jr. (1996) dalam Nugroho, 2011: 655) Sedangkan menurut Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975) dalam
Wahab (1997) merumuskan proses implementasi sebagai: “those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions.(tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintahan atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).” Dari berbagai pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi merupakan proses melaksanakan keputusan yang dihasilkan dari pernyataan kebijakan (policy statement) ke dalam aksi kebijakan (policy action). Dalam hal ini organisasi sebagai salah satu perspekif governance memiliki kewenangan dalam membuat dan melaksanakan keputusan melalui implementasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Organisasi memiliki peranan yang besar dalam rangka memberikan pelayanan
kepada
masyarakat
melalui
kegiatan
community
development.
Implementasi kegiatan community development yang dilaksanakan seharusnya disesuaikan dengan regulasi yang telah diterapkan dan memperhatikan kondisi dari masyarakat agar dapat berjalan efektif dan berkelanjutan. 6. Alur Berpikir PNPM adalah program pemberdayaan masyarakat yang berupaya mengentaskan kemiskinan. Dalam upaya mengentaskan kemiskinan PNPM menggunakan tenaga pendamping untuk melaksanakan kegiatan PNPM dilapangan. Tenaga pendamping tersebut lebih dikenal dengan nama fasilitator. Ada 2 tingkat pendamping/fasilitaor yaitu di tingkat kecamatan dan di tingkat pedesaan (BKM). Fasilitator sejatinya berperan sebagai pemberi motivator kepada masyarakat, pendidik, perwakilan rakyat, melakukan mediasi, melakukan negosiasi, pembawa pesan dan juga sebagai pelaksana tugas teknis atau melakoni peran-peran teknis. Salah satu tugas fasilitator yang sangat berat adalah sebagai motivator, sebab terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam memotivasi masyarakat, yaitu prinsip partisipasi, prinsip komunikasi, prinsip pengakuan, prinsip pendelegasian dan prinsip memberi perhatian. Seluruh strategi yang dibuat oleh fasilitator tentu bukanlah hal mudah. Sebab seluruh strategi yang akan dibuat fasilitator bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, strategi fasilitator bisa dipengaruhi oleh pihak luar (faktor eksternal) seperti kebijakan Pemerintah Daerah atau kebijakan Pemerintah yang berada pada bagian bawah (Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Kelurahan). Kebijakan pemerintah tersebut bisa berupa peraturan atau keputusan daerah tentang pemberdayaan masyarakat atau kebijakan-kebijakan yang mengatur tetang ijin kegiatan yang melibatkan orang banyak atau kegiatan yang membutuhkan tempat keramaian atau tempat-tempat umum. Selain kebijakan pemerintah, faktor eksternal juga bisa datangnya dari
dukungan tokoh agama, tokoh adat atau masyarakat. Dukungan tokoh-tokoh tersebut tentu sangat berpengaruh terutama di daerah terpencil atau daerah-daerah yang masih memberlakukan sistem keokohan. Selain faktor eksternal, strategi yang dibuat fasilitator juga dapat dipengaruhi oleh potensi yang dimiliki dai dalam diri fasilitator itu sendiri (faktor internal) seperti; 1. Pengalaman Fasilitator, bila fasilitator sudah memiliki pengalaman di kegiatan pemberdayaan atau pengalaman dalam program pengentasan kemiskinan, tentu pengalaman itu sangat memudahkan fasilitator dalam mencapai tujuannya di PNPM. 2. Pendidikan Fasilitator. Aktifitas keseharian fasilitator berhubungan dengan masyarakat dan pemeritah maka pendidikan fasilitator yang dimiliki oleh fasilitator dapat
membantu dalam melalukan pendekatan kepada
pemerintah maupun masyarakat. Gambaran penelitian ini dapat digambarkan dalam alur pikir sebagai berikut:
Program Kerja
Struktur Organisasi (Tim Faskel Kec)
BKM/LKM
Sumber Daya/Fasilitator
Komunikasi
Relawan
Relawan
Implementasi Program
G. Definisi Konsep -
Struktur organisasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembagian kerja, kewajiban dan wewenang serta pola hubungan yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan.
-
Komunikasi adalah proses interaksi antara satu dengan yang lain untuk menyampaikan informasi sehingga dapat dimengerti dan diterima baik antara pembuat program dengan pelaksana, maupun pelaksana dengan masyarakat melalui sosialisasi dan koordinasi.
-
Sumberdaya masyarakat adalah sumber pendukung (potensi) dalam suatu implmentasi yang terdiri dari personal (SDM) baik secara kualitas dan kuantitas, anggaran (financial) maupun sarana dan prasarana.
-
Implementasi program dalam pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat tidak hanya diberikan bantuan yang bersifat karitatif (derma), melainkan diberdayakan agar menjadi mandiri dan sejahtera dengan peningkatan sektor ekonomi sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi. H. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus sebagai salah satu tradisi kualitatif. Metode kualitatif digambarkan lebih menekankan kata-kata sebagai unit analisis, dibandingkan dengan angka-angka. Metode kualitatif juga dihubungkan dengan riset skala kecil, keterlibatan erat peneliti dengan konteks yang diselidiki, fleksibilitas, sudut pandang para peserta, dan fokus yang menyeluruh, di antara ciriciri lainnya.(Daymon and Holloway, 2008: 23). Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena-fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Penelitian kualitatif dengan menggunakan motede studi kasus terfokus pada keinginan untuk mengetahui keragaman (diversity) dan kekhususan (particularity) obyek studi. Namun, hasil akhir yang ingin diperoleh adalah menjelaskan keunikan kasus yang dikaji. Keunikan kasus umumnya berkaitan dengan enam aspek berikut: (a) hakikat kasus; (b) latar belakang historis; (c) setting fisik; (d) konteks kasus, khususnya ekonomi, politik, hukum, sosial, dan estetika; (e) persoalan lain di sekitar kasus yang dipelajari; dan (f)
informan atau tentang keberadaan kasus tersebut. Untuk mempelajari suatu kasus, periset pada umunya mengumpulkan data tentang keenam aspek tersebut. (Yin, 2011:1) Secara lebih teknis, Yin mengartikan studi kasus sebagai berikut: „...empicical inqutry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context, when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident, and in which multiple sources of evidence are used‟. Secara umum Yin (2011) mengatakan, studi kasus dapat diartikan sebagai metode atau strategi penelitian dan sekaligus hasil suatu penelitian pada kasus tertentu. Dalam mainstream ilmu-ilmu sosial yang kini berkembang periset umumnya lebih menekankan pengertian dimana studi kasus lebih dipahami sebagai pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus dalam konteks yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar. Keseluruhan data yang dihimpun berasal dari sumber primer (main sources of data) dan sumber sekunder (supportive data or information). Data primer utamanya dikumpulkan melalui wawancara terhadap seluruh tim fasilitator organisasi dan sebagian relawan di 18 desa di kecamatan Polanharjo dan beberapa kelompok informan yang digali dalam bentuk diskusi terfokus (focus group discussion). Informasi yang utama ditentukan melalui wawancara kepada seluruh tim fasilitator organisasi dan wawancara terhadap sebagian relawan yang ada di 18 desa di kecamatan Polanharjo. Desa-desa tersebut antara lain, Glagah Wangi, Kapungan, Borongan, Ngaran, Jimus, Kahuman, Turus, Nganjat, Ponggok, Karanglo, Polan, Janti, Wangen, Keprabon, Kebonharjo, Kranggan, Sidoharjo, dan Sidowayah. Pengamatan terlibat dilakukan pula terhadap rapat-rapat yang dilakukan oleh para relawan setiap sebulan sekali di desa masing-masing. Pengamatan difokuskan kepada hal latar belakang tim fasilitator mensosialisasikan program dan bagaimana relawanrelawan mempelajari dan melaksanakan program-program tersebut. Sementara itu data sekunder dihimpun dari informasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnal ilmiah, hasil penelitian, laporan dan dokumen, baik yang diterbitkan untuk umum maupun dokumen yang diterbitkan untuk kalangan internal PNPM Mandiri.
Kesimpulan diperoleh dari justifikasi atas analisis terhadap temuan data penelitian. Meskipun demikian, jika setelah proses reduksi dan sajian data penelitian belum bisa mengambil kesimpulan, peneliti perlu merevisi data yang dikumpulkan dan mengambil data baru jika dibutuhkan. Proses ini dapat digambarkan dalam bagan berikut: Gambar 5: Model Interaksi Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan/ Verifikasi
(Sumber: Huberman & Miles (1994) dalam Denzin (2009: 592)) Pada gambar tersebut tampak adanya ketiga kegiatan yang saling terkait dan merupakan rangkaian yang tidak berdiri sendiri. Proses ini dilakukan sebelum tahap pengumpulan data, persisnya pada saat menentukan rancangan dan perencanaan penelitian; sewaktu proses pengumpulan data sementara dan analisis awal; serta setelah tahap pengumpulan data akhir. Reduksi data berarti bahwa sementara potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hal ini dilakukan ketika peneliti menentukan kerangka konseptual (conceptual framework), pertanyaan penelitian, kasus, dan instrumen penelitian yang digunakan. Jika hasil catatan lapangan, wawancara, rekaman, dan data lain telah tersedia, tahap seleksi data berikutnya adalah perangkuman data (data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan penyajian cerita secara tertulis. Penyajian data selain berasal dari hasil reduksi, perlu juga dilihat kembali dalam proses pengumpulan data untuk memastikan bahwa tidak ada data penting yang
tertinggal. Tahap pengambilan kesimpulan dan verifikasi ini melibatkan peneliti dalam proses interpretasi; penetapan makna dari data yang tersaji. Cara yang bisa digunakan akan semakin banyak; metode komparasi, merumuskan pola dan tema, pengelompokan (clustering), dan penggunaan metafora tentang metode konfirmasi seperti triangulasi, mencari kasus-kasus negatif, menindaklanjuti temuan-temuan, dan cek silang hasilnya dengan responden. Dengan menggunakan teknik triangulasi ini kebenaran responden akan terlihat. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Moleong (2005: 330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini teknik triangulasi sumber yang digunakan mencakup: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil data wawancara apakah sudah sesuai atau tidak. 2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan misalnya membandingkan dengan dokumen dari hasil laporan program PNPM-BKM apakah sudah sesuai atau tidak. Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda diperlukan ringkasan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah menyangkut peranan Fasilitator dalam membangun komunikasi untuk mensukseskan kegiatan-kegiatan PNPM Mandiri. Beberapa peran yang seharusnya dapat dilakukan oleh fasilitator dalam melakukan pendampingan di masyarakat, yaitu: motivator, pembawa pesan, mediator, pendidik, perwakilan rakyat, peran teknis, mediator dan sebagai negosiator. Uraian operasionalnya sebagai berikut: 1. Berperan sebagai motivator, artinya bahwa seorang fasilitator harus dapat berperan aktif memberikan motivasi-motivasi kepada masyarakat agar masyarakat memiliki semangat hidup untuk keluar dari jurang kemiskinan yang dihadapinya.
2. Berperan sebagai pembawa pesan, artinya seorang fasilitator harus dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan organisasi. Pesan dari organisasi harus dapat disampaikan dan diterima dengan baik oleh masyarakat, dan sebaliknya pesan-pesan dari masyarakat harus dapat disalurkan dan diperdengarkan agar organisasi tahu apa yang terjadi yang sebenarnya di lingkungan masyarakat. 3. Berperan sebagai pendidik, artinya bahwa dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang fasilitator akan dapat dengan mudah membantu masyarakat
dampingannya
dalam
membuat
dan
menyusun
perencanaan kegiatan, penyusunan anggaran dan sampai pada tahap pembuatan laporan kegiatan. 4. Berperan sebagai perwakilan rakyat, artinya bahwa seorang fasilitator mengetahui kebutuhan dan keinginan masyarakat dampingannya dan fasilitator juga sebagai tempat masyarakat untuk mengaspirasikan pendapatnya. 5. Berperan sebagai pelaksana teknis, artinya bahwa seorang fasilitator secara fisisk dan mental dapat membantu masyarakat dampingannya untuk melaksanakan seluruh kegiatan yang sudah direncanakan oleh masyarakat dampingannya. 6. Berperan sebagai mediator, artinya bahwa seorang fasilitator bisa menjadi penengah yang baik dan adil bagi setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya dalam pelaksanaan PNPM Mandiri. 7. Peran sebagai negosiator, artinya bahwa seorang fasilitator harus dapat menjadi jembatan dalam proses negosiasi/tawar menawar dengan pihak yang menjadi penentu kebijakan agar proses kegiatan dapat terlaksana dengan lancar.
Referensi Budyatna, Muhammad & Leila Mona Ganiem. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Kencana: Jakarta. Daymon, Christine & Immy Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations & Marketing Communications. PT Bentang Pustaka: Yogyakarta. Denzin, Norman K & Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. DeVito, Joseph A. 1986. The Interpersonal Communication Book Fouth Edition. Harper & Row Publishers: New York. Effendi, Tadjuddin Noer. 2004. Mobilitas Pekerja, Remitan dan Peluang Berusaha di Pedesaan. Jurnal Ilmu Sosial Ilmu dan Ilmu Politik (JSP), Vol. 8, No. 2. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Fitriyati, Elis. 2009. Peran Fasilitator dalam Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul. Tesis Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Hagen, E.M. 1962. On the Theory of Social Change. Homewood: Illinois, U.S.A. Hamid, Farid & Heri Budianto (edt). 2011. Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan. Kencana: Jakarta. Harun, Rochajat & Elvinaro Ardianto. 2011. Komunikasi Pembangunan & Perubahan Sosial. Rajawali Pers: Jakarta. Hariadi, Sunarru Samsi. 2011. Dinamika Kelompok: Teori dan Aplikasi untuk Analisis Keberhasilan Kelompok Tani sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi, dan Bisnis. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Henry, Nicholas. 1995. Alih bahasa Luciana D Lontoh. Administrasi Negara dan MasalahMasalah Kenegaraan. Rajawali Pers: Jakarta. Huda, Miftachul. 2009. Pekerjaan Sosial & Kesejahteraan Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Jamias, Juan F. 1975. Readings in Development Communication. Los Banos College: Laguna, Philippines. Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat 2007, Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi: Serba Ada Serba Makna. Kencana: Jakarta. Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. Salemba Humanika: Jakarta. Melkote, Srinivas R. 1991. Communication for Development in Third World. Sage Publications Ltd: New Delhi. Melkote, Srinivas R. & H. Leslie Steeves. 2001. Communication for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment. Sage Publications Ltd: New Delhi. Mikkelsen, Britha. 2011. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta. Mintzberg, Henry. 2004. Handbook of Organizations: Kajian dan Teori Organisasi. Amara Books: Yogyakarta. Modul Pelatihan Relawan PNPM KMW XIV-Jawa Tengah tahun 2008 Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung Nasution,
Zulkarimein.
1996.
Komunikasi
Pembangunan:
Pengenalan
Teori
dan
Penerapannya. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. Nugroho, Riant. 2011. Public Policy: Dinamika Kebijakan-Analisis Kebijakan-Manajemen Kebijakan. PT Elex Media Komputindo (Gramedia) Anggota IKAPI: Jakarta. Nurchasanah, Siti. 2010. Partisipasi Masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat dalam PNPM Mandiri di Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo). Tesis Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Pedoman Pelaksanaan PNPM-Mandiri Perkotaan Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, 2008. Rogers, E.M. 1976. Communication and Development: Critical Perspectives. Sage Publication Ltd: Beverley Hills. Rogers, E.M. dan Shomaker, F.F. 1971. Communication of Innovation. The Free Press: New York. Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, & Aplikasi. Rineka Cipta: Jakarta. Santosa, Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. PT Bumi Aksara: Jakarta. Soetomo. 2010. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Gava Media: Yogyakarta. Sumodiningrat, Gunawan. 2001. Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi. PT Cipta Visi Mandiri: Jakarta. Sumpeno, W. 2008. Menjadi Fasilitator Genius: Kiat-Kiat Mendampingi Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Suparjan. 2010. Jaminan Sosial Berbasis Komunitas: Respon Atas Kegagalan Negara dalam Penyediaan Jaminan Kesejahteraan. Jurnal Ilmu Sosial dan Imu Politik (JSP), Vol. 13, No. 3. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Penerapan Kebijakan. Bumi Aksara: Jakarta. Yin, K. Robert. 2011. Studi Kasus: Desain & Metode. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta