BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu faktor pembentuk pribadi manusia, seseorang mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk dapat melalui sebuah pendidikan. Pemerintah cukup serius dalam menangani pendidikan sebagai peningkatan sumber daya manusia. Salah satu tindakan keseriusan dari pemerintah adalah mewajibkan adanya pendidikan wajib belajar 9 tahun dalam bentuk sekolah formal maupun non-formal. Sumber daya manusia yang tercipta dalam proses pendidikan yang baik menghasilkan manusiamanusia yang mampu bersaing dalam tuntutan jaman yang sedang berkembang, untuk mengetahui manusia yang mempunyai sumber daya yang baik salah satunya dengan melihat prestasinya. Prestasi belajar merupakan penelitian penting dalam dunia pendidikan terutama sebagai pembuat kebijakan pendidikan yang berhubungan dengan kurikulum dan peraturan sekolah lainnya (Ryherd, 2011). Penilaian kemampuan belajar anak dapat dilihat dari prestasi belajarnya di sekolah. Prestasi belajar ini yang menjadi indikator pemahaman siswa dan juga keberhasilan guru dalam mentransfer pengetahuannya kepada siswa. Prestasi belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk nilai individual seperti dalam rapor, STTB, atau indeks prestasi (Azwar, 2004). Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, 1 dan ranah psikomotorik. Tes prestasi belajar tentunya mencakup ketiga ranah tersebut (Azwar, 2000). Evaluasi hasil belajar menggunakan ranah kognitif, afektif dan psikomotor sebagai sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Ketiga ranah tersebut menjadi
obyek penilaian prestasi belajar, sistem penilaian di dalam raport pun menggunakan penilaian terhadap kemampuan kognitif (proses berfikir), afektif (nilai dan sikap) dan psikomotor (keterapilan) dari masing-masing siswa. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan
para
siswa
dalam
menguasai isi bahan
pengajaran.
Penelitian
ini
menggunakan nilai akhir kognitif yang ada di dalam raport sebagai bentuk dari prestasi belajar siswa. National
Concil
of
Teachers
of
Mathematic
(NCTM)
pada
tahun
2000
merekomendasikan agar semua siswa mempelajari matematika selama masa SMA, dikarenakan walaupun siswa akan berubah minatnya di SMA, namun siswa tersebut tetap akan mendapatkan manfaat dari pelajaran matematika. Siswa diharuskan mempelajari kemampuan aljabar, geometri, statistik, probabilitas dan matematika deskrit. Siswa juga harus pandai dalam memvisualisasikan, mendeskripsikan, dan menganalisis situasi dalam term matematika, selain itu siswa juga harus mampu menjastifikasi dan membuktikan ide-ide berbasis matematika (Santrock, 2010b). Matematika merupakan ilmu universal yang menjadi dasar dari berkembangnya teknologi modern, ilmu matematika juga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu lain dan mampu mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini tidak lepas dari peran perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika dekskrit. Untuk menguasai dan menciptakan kemajuan teknologi yang lebih baik di masa yang akan datang maka diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Di Indonesia perubahan kurikulum yang terjadi setiap beberapa tahun mengalami perbaikan dan kini pemerintah dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah, siswa harus memiliki kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Sayangnya harapan dari pemerintah tersebut masih banyak yang belum tercapai sehingga kompetensi siswa dalam mata pelajaran matematika masih kurang. Tahun 2012 siswa SMA yang tidak lulus UN mencapai 7.579 siswa, dari 1.524.704 peserta UN. Angka tersebut didapat dari siswa yang nilai akhir rata-ratanya tidak mencapai 5,5 sebanyak 5.300 siswa (69,4%). Juga karena ada satu atau lebih mata pelajaran yang nilainya kurang dari 4 (30,06%). Nilai akhir rata-rata tersebut adalah jumlah nilai UN murni digabungkan dengan nilai sekolah, dengan masing-masing bobot nilai 60:40, berdasarkan data tersebut kebanyakan siswa memiliki nilai yang kurang pada Bahasa Indonesia dan Matematika (Sulistyo, 2012). Sehingga dapat dikatakan bahwa prestasi akademik dalam mata pelajaran Matematika dan bahasa Indonesia diperlukan penelitian lebih lanjut agar dapat meningkatkan prestasi siswa pada kedua mata pelajaran tersebut. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis akan terbatas pada prestasi belajar matematika, hal ini dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Laporan pada Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Depdiknas (Anggarini, 2013) menyatakan bahwa siswa Indonesia lemah dalam hal: (1) mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan penalaran bilangan, misalnya dengan mengenali pola bilangan;
(2)
menyelesaikan
soal-soal
yang
memerlukan
penalaran
aljabar;
(3)
menyelesaikan soal-soal yang memerlukan penalaran geometri; (4) menyelesaikan soalsoal yang memerlukan penalaran dan berargumen dalam konten data/peluang, misalnya
bernalar dan berargumen dalam membaca grafik (Puspendik Balitbang Depdiknas), berdasarkan
laporan tersebut menunjukan bahwa kemampuan dasar dalam belajar
matematika yang berhubungan dengan mengenali pola bilangan, dan berbagai penalaran dalam materi mata pelajaran matematika masih kurang dan perlu perbaikan, agar dapat memaksimalkan prestasi belajar matematika pada siswa. Banyak faktor yang membuat anak memaksimalkan prestasi akademiknya, Suryabrata (2002) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat berupa faktor instrinstik dan faktor ekstrinstik, yaitu yang berasal dari dalam diri seseorang dan dari luar diri seseorang, yang berasal dari dalam salah satunya adalah efikasi diri dan yang berasal dari luar diri seseorang salah satunya adalah hubungan teman sebaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Winheller, Hattie dan Brown (2013) mengenai hubungan dengan teman sebaya, dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa pada siswa menengah keterlibatan sosial dengan teman sebaya membuat siswa meningkatkan prestasi belajar matematika dan juga dengan efikasi diri dapat membuat siswa menjadi yakin dalam mempelajari matematika dan yakin pula dapat berhasil dalam menjalankan tugas-tugas matematika. Fokus penelitian ini meneliti berdasarkan faktor instrinstik yaitu efikasi diri dan juga faktor ekstrinsik yaitu hubungan dengan teman sebaya. Beberapa dekade ini banyak penelitian yang menunjukan bahwa persepsi dari dalam diri seorang remaja seperti efikasi diri dan orientasi tujuan sebagai prediktor yang kuat terhadap motivasi dan performansi akademik di sekolah, pada saat yang bersamaan banyak pula penelitian yang melihat faktor sosial yang mempengaruhi motivasi belajar remaja adalah orang tua, saudara kandung dan teman sebaya (Ryherd, 2011). Mata pelajaran matematika di Indonesia merupakan salah satu pelajaran yang masuk dalam daftar pelajaran yang menjadi Ujian Akhir Nasional, maka wajib bagi siswa untuk dapat memahami kurikulum matematika sesuai dengan konten dan pendekatannya yang diajarkan oleh guru di dalam kelas agar mencapai hasil yang baik dalam ujian akhir
nasional. Permasalahannya di Indonesia tingkat tekanan dalam pelajaran matematika sangat tinggi maka tidak jarang anak-anak yang menganggap bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sangat sulit bagi mereka. Teori self-efficacy berpendapat bahwa penilaian siswa mengenai apa yang bisa dilakukan dengan keterampilannya merupakan suatu mekanisme yang digunakan siswa untuk mencapai keberhasilan di sekolah (Bandura, 1994). Seorang siswa di sekolah membutuhkan efikasi diri sebagai keyakinan terhadap kemampuan mereka dalam mengelola keinginan untuk berhasil atas tindakan mereka sendiri. Ketika seseorang memiliki efikasi diri maka akan memahami lebih dalam apa yang menjadi kebutuhannya dan apa yang akan dilakukannya, sehingga akan mengarahkan pada pembentukan cita-citanya sendiri (Bandura, 1997). Efikasi diri akademik siswa pada usia 13 tahun akan berpengaruh pada prestasi akademiknya di usia 16 tahun, dan dalam penelitian lain yang menjadikan siswa sekolah menengah atas tingkat akhir sebagai subjeknya, menunjukan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri tinggi maka prestasi akademiknya dalam bidang matematika akan meningkat (Caprara, Vecchione, Alessandri, Gerbino & Barbaranelli, 2011; Nasiriyan, Azar, Nuruzy & Dalvand, 2011). Berkaitan dengan prediktor dari prestasi belajar matematika maka dalam penelitian Cheema dan Galluzo (2013) yang meneliti mengenai variabel-variabel yang dapat dijadikan sebagai prediktor dari prestasi belajar matematika menunjukan bahwa math anxiety (kecemasan matematika) dan juga math self-efficacy (efikasi diri matematika) dapat dijadikan sebagai prediktor dibandingkan dengan variabel lain seperti variabel demografi (gender, ras dan status sosial ekonomi). Di sekolah siswa tidak hanya bertemu dengan guru namun juga ada teman-teman lain di kelas yang apabila hubungannya baik akan membentuk hubungan pertemanan yang positif dan mendukung, dengan menjalankan aktifitas yang meningkatkan hubungan
perteman yang positif, siswa akan memperluas jangkauan pertemannya agar mendapatkan penerimaan dan dukungan dari teman sebaya sehingga hal ini dapat menurunkan kemungkinan adanya bullying, intimidasi dan isolasi yang dialami siswa. Hubungan dengan teman sebaya yang positif dapat diartikan adanya interaksi yang terjadi secara natural dengan positif diantara dua orang atau lebih. Di sekolah anak-anak membentuk hubungan yang positif dalam bentuk kegiatan yang diantaranya adalah mendapatkan perhatian dari teman sebaya, saling berbagi, dan kemampuan menawarkan teman sebaya untuk berbagi sesuatu, dan juga berkata-kata yang baik dengan teman sebaya sehingga tidak menyinggung perasaannya . Hubungan teman sebaya yang positif dan mendukung akan berdampak pada proses belajar mengajar sehingga menghasilkan prestasi akademik yang baik (Jones & Jones, 2012). Dalam penelitian ini prestasi akademik akan dikhususkan pada prestasi belajar matematika. Anak-anak yang menjalani hubungan positif dengan teman sebayanya (mempunyai banyak teman dan disukai oleh teman sekelas) memiliki prestasi akademik yang baik (Fantuzzo, Sekino & Cohen, 2004; Ladd, Birch & Buhs, 1999; Ladd, Kochenclofer & Coleman, 1996; Wentzel & Caldwell, 1997; Moriyama, Yasushi, Aoki, Kito, Behnoodi, Miyagawa, & Matsuura, 2009). Anak-anak yang mendapatkan penolakan dari teman sebayanya sejak masih dini dapat menghadapi kesulitan akademik pada tahun-tahun berikutnya (Wentzel & Caldwell, 1997). Penelitian longitudinal yang dilakukan Wentzel dan Caldwell (1997) pada siswa tingkat 6 sampai tingkat 8 menunjukan bahwa penerimaan teman sebaya dapat menjadi prediktor yang kuat dalam meningkatkan prestasi akademik. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan apakah efikasi diri matematika dan hubungan dengan teman sebaya dapat menjadi prediktor prestasi belajar matematika siswa SMA di sekolah. B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan penellitian yang ingin diteliti, maka rumusan masalahnya apakah efikasi diri matematika dan hubungan dengan teman sebaya dapat menjadi prediktor dari prestasi belajar matematika.
C. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan paparan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian adalah untuk menguji apakah efikasi diri matematika dan hubungan dengan teman sebaya dapat menjadi prediktor terhadap prestasi belajar matematika. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a.
Manfaat Teoritis: Dilihat dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efikasi diri matematika dan hubungan dengan teman sebaya sebagai prediktor terhadap prestasi belajar matematika siswa SMA. Selain itu penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah keilmuan Psikologi Pendidikan yang terkait dengan prestasi belajar matematika siswa SMA.
b.
Manfaat Praktis: Hasil yang diperoleh berdasarkan penelitian ini dapat menjadi informasi pada yang berkepentingan tentang efikasi diri matematika dan hubungan dengan teman sebaya dalam pelajaran matematika sebagai usaha meningkatkan prestasi belajar matematika.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai efikasi diri matematika dan prestasi belajar Matematika telah banyak yang dipublikasikan, berikut ini adalah beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan judul dan tema yang sama. 1. Penelitian Anjum (2006) yang berjudul The Impact of Self-efficacy on Mathematics Achievement of Primary School Children, meneliti tentang efikasi diri dan prestasi matematika pada siswa sekolah dasar di Pakistan yang terdiri dari 843 siswa
tersebar dalam kelas 3, 4 dan 5 di Lahore Pakistan, dua pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah Self-efficacy matematika secara signifikan berkorelasi positif dengan prestasi matematika. Pertanyaan yang kedua adalah apakah tingkatan sekolah (kelas) secara signifikan berkorelasi dengan self-efficacy matematika. Hasilnya adalah self-efficacy matematika secara positif dan signifikan berhubungan dengan prestasi matematika pada setiap tingkat kelas. Namun selfefficacy harus dilihat dari tingkatan usia siswa, karena penelitian di bidang matematika lainnya telah mengkonfirmasi bahwa ada hubungan antara usia siswa dengan pencapaian keberhasilan prestasi. 2. Penelitian Liem dan Martin (2011) yang berjudul Peer relationships and adolescents’ academic and non-academic outcomes: Same-sex and opposite-sex peer effects and the mediating role of school engagement, meneliti mengenai korelasi dari hubungan dengan teman sebaya terhadap prestasi akademik. Subjek yang digunakan sebanyak 670 laki-laki dan 756 perempuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa baik itu hubungan dengan teman sebaya yang memiliki kesamaan jenis kelamin dan hubungan dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin secara langsung dan tidak langsung berkorelasi positif terhadap prestasi akademiknya di sekolah. Paparan penelitian di atas menunjukan adanya hubungan yang positif antara efikasi diri dengan prestasi akademiknya dan juga hubungan dengan teman sebaya berkorelasi dengan prestasi akademik di sekolah. Berdasarkan paparan beberapa penelitian di atas yang menggunakan variabel yang sama, maka perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu: 1. Penelitian dilakukan di Indonesia, dengan subjek siswa SMA Negeri 2 Surakarta. 2. Penelitian ini lebih fokus pada efikasi diri Matematika dan hubungan dengan teman sebaya.
3. Penilaian matematika dilihat dari hasil nilai akhir kognitif dalam mata pelajaran matematika siswa IPA.