perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Matematika
merupakan
salah
satu
ilmu
yang
mendasari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, matematika sebagai salah satu pelajaran yang diselenggarakan baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, maupun perguruan tinggi. Pada pembelajaran matematika masalah merupakan bagian yang sangat penting sehingga siswa dapat semakin maju dan berkembang dalam proses berpikirnya. Oleh karena itu, siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika dibutuhkan strategi yang tepat. Selain itu, banyak ahli yang membuat strategi dalam memecahkan suatu masalah. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian dari Dewiyani (2008). Solving the problems are very importance in human life. Problem solving is very important, so that a lot of expects try to make strategies for solving problems. Kaur (1997) menunjukkan bahwa pemecahan masalah dalam matematika merupakan proses secara kompleks untuk mengkoordinasi secara spesifik atau umum dari pengetahuan yang dimiliki. Adapun Cockroft (1982) dalam Kaur (1997) menyatakan bahwa kemampuan untuk menyelesaikan masalah adalah jantung dari matematika. Selain itu, menurut Kaur (1997) suatu pemecahan masalah dilihat sesuai proses yang melibatkan visualisasi, asosiasi, abstraksi, pemahaman, manipulasi, penalaran, analisis, sintesis, generalisasi, dan mengkoordinasi hal-hal tersebut. Pemecahan masalah matematika juga mempunyai peranan penting dalam mewadahi siswa untuk memiliki kemampuan berpikir analitis, evaluatif, serta argumentatif. Kemampuan berpikir analitis diperoleh ketika siswa mampu menganalisis permasalahan matematika. kemampuan evaluatif didapat siswa ketika berhasil mengevaluasi sesuatu yang terjadi selama proses belajar, sedangkan kemampuan argumentatif commit to user diperoleh ketika siswa berperan
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
aktif dalam pelajaran matematika. Masalah dalam pembelajaran matematika biasanya diinterpretasikan dalam soal matematika. Soal matematika disebut masalah bagi seorang siswa, jika: (1) pertanyaan yang dihadapkan dapat dimengerti oleh siswa, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya, dan (2) pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa (Herman Hudojo, 2005) Setiap siswa memiliki berbagai kemungkinan dalam menyelesaikan soal matematika. Siswa langsung memiliki gambaran penyelesaiannya dan menjadikan suatu tantangan yang akan dipecahkan dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa. Namun, juga terdapat peserta didik yang tidak memiliki gambaran penyelesaian sehingga tidak menjadikan soal itu sebagai suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Selain itu, setiap siswa memiliki perbedaan pengetahuan, pengalaman, pengenalan atau kemampuan dalam pemecahan masalah. Masalah bagi siswa belum tentu masalah bagi siswa yang lain. Adapun masalah bagi siswa di waktu tertentu boleh jadi bukan masalah di waktu lain. Hal ini karena adanya pengembangan kemampuan matematika, awalnya suatu masalah setelah beberapa latihan menjadi bukan suatu masalah lagi. Hal ini sesuai pendapat berikut. Owing to differences in knowledge, experiences, ability, a problem for one persen may not be a problem for another. Also a problem for someone at a particular time may not be so at another time. In some contexts, as students develop their mathematical ability, what were problems initially after some practice become mere exercises (Kaur : 1997). Pemecahan
masalah
merupakan
bagian
yang penting dalam
pembelajaran matematika. Hal ini didukung oleh penelitian Isoda (2011) yang menyatakan bahwa pendekatan pemecahan masalah digunakan pengajar dalam pembelajaran di Jepang. Hal ini merupakan suatu teori pengajaran untuk mengembangkan siswacommit yang mempelajari matematika oleh/untuk diri to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka sendiri. Saat memecahkan masalah, siswa melakukan proses berpikir dalam pikirannya sehingga siswa dapat sampai pada jawaban. Selanjutnya, salah satu peran pendidik dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pikirannya ketika memecahkan masalah, misalnya dengan cara meminta siswa menceritakan langkah yang ada dalam pikirannya. Herman Hudojo (2005) menyatakan bahwa dengan pemecahan masalah siswa akan berlatih memproses data atau informasi. Pemrosesan data atau informasi ini disebut berpikir. Sementara itu, Sulis Janu Hartati (2007) menyatakan bahwa berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi secara internal dalam otak (tidak tampak, tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku tampak), melibatkan manipulasi pengetahuan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Oleh karena itu, dalam memecahkan masalah matematika akan melibatkan manipulasi pengetahuan saat proses penyelesaiannya. Menurut Marpaung (1986: 6), proses berpikir adalah proses yang dimulai dari penemuan informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan, dan memanggil kembali informasi itu dari ingatan siswa. Salah satu peran pendidik dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pikirannya ketika memecahkan masalah. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir yang terjadi saat memanipulasi pengetahuan yang dimilikinya. Kesalahan berpikir dapat dihindari apabila peserta didik dapat memanipulasi pengetahuan yang dimiliki dengan tepat. Umumnya, kesalahan berpikir
ditemukan
pada
pemecahan
masalah
matematika.
Adapun
pemecahan masalah merupakan proses mental tingkat tinggi dan memerlukan proses berpikir yang lebih kompleks termasuk berpikir kritis. Berpikir kritis diperlukan dalam pemecahan masalah karena berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan bekerja, serta membantu menemukan keterkaitan faktor yang satu dengan yang lain secara lebih akurat. commit to user Peserta didik harus menerapkan proses berpikir kritis. Hal ini karena
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peserta didik mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya, mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk memecahkan masalah, dan mencari sumber-sumber informasi yang relevan untuk dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat berikut. Critical thinking is characterized as the process of purposeful, selfregulatory judgment. Critical thinking, so defined, is the cognitive engine, which drives problem solving and decision-making (Terry & Ervin : 2012). Adapun di dalam proses belajar maupun menyelesaikan masalah yang sulit siswa harus mengembangkan proses berpikir kritis dan kreatif. Sri lestari dan Pradnyo Wijayanti (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan matematika tinggi baik berjenis laki-laki maupun perempuan dapat melalui 4 tahap proses berpikir kritis, yang terdiri dari klarifikasi, asesmen, infersensi, dan strategi. Pada kemampuan matematika sedang baik siswa berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidak dapat melalui salah satu atau lebih dari 4 tahap proses berpikir kritis. Hal ini menjadi masalah saat siswa tidak dapat melalui 4 tahap proses berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah matematika. Siswa tersebut belum mampu mengkoordinasi kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, berdasarkan penelitian Patrick, Herlina & Hedison (2014) menyatakan adanya hubungan antara nilai IQ dengan jenis kelamin, dimana laki-laki cenderung memiliki skor IQ yang lebih tinggi daripada perempuan. Perbedaan IQ mempengaruhi proses berpikir kritis sehingga peserta didik memiliki perbedaan antara setiap individu. Hal ini karena peserta didik memiliki kecerdasan yang berbeda sehingga mempengaruhi proses berpikir kritisnya. Kecerdasaan majemuk akan berpengaruh pada proses pembelajaran. Selain itu, kecerdasaan majemuk memiliki peran dalam meningkatkan kemampuan berpikir. Pada
pembelajaran
matematika
kecerdasan
linguistik
sangat
dibutuhkan. Menurut Mamhot, Havranek, dan Mamhot (2014), pembelajaran commit to user matematika pendidik melibatkan para siswa untuk berdiskusi, berdebat,
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
menulis, dan bercerita, kecerdasan matematis-logis dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Peserta didik terdiri atas dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan perbedaan gender tersebut, ada kemungkinan bahwa proses berpikir kritis dalam memecahkan masalah matematika akan berbeda. Terdapat perbedaan ketrampilan pemecahan masalah antara perempuan dan laki-laki. Branata (1987) menyatakan bahwa perempuan pada umumnya lebih baik dalam mengingat, sedangkan laki-laki lebih baik dalam berpikir logis. Secara umum siswa laki-laki sama dengan siswa perempuan, akan tetapi siswa laki-laki mempunyai daya abstraksi yang lebih baik daripada siswa perempuan sehingga memungkinkan siswa laki-laki lebih baik daripada siswa perempuan dalam bidang matematika berkenaan dengan pengertian abstrak. Perbedaan jenis kelamin bukan hanya berakibat pada perbedaan kemampuan dalam matematika, tetapi cara memperoleh pengetahuan matematika juga terkait. Hal ini sesuai dengan pendapat Geist & King (2006) sebagai berikut. Using the approach of focusing on the process of mathematics and problem solving rather than solely on the correct answer will allow a diversity of thinking and flowering of mathematical behavior in boys and girls. Muhammad Irfan (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan antara perbedaan gender dan math anxienty pada proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah sistem persamaan linier dua variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan subjek dalam merencanakan pemecahan masalah dan menjalankan rencana pemecahan masalah. Siswa yang memiliki math anxiety tinggi (laki-laki dan perempuan) hanya dapat menggunakan satu metode penyelesaian, sedangkan siswa yang memiliki math anxiety rendah (laki-laki dan perempuan) dapat menggunakan beberapa metode penyelesaian. Salah satu materi di sekolah Menengah Pertama yang menekankan pemecahan masalah adalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). commit to user Materi ini merupakan materi yang penting karena menjadi dasar dari materi
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
berikutnya. Masalah yang sering dirasakan sulit oleh siswa dalam pembelajaran matematika adalah menyelesaikan soal cerita. Menurut Muhammad Ilman Nafian (2011), penyelesaian soal cerita tidak hanya memperhatikan jawaban akhir perhitungan, tetapi proses penyelesaiannya juga harus diperhatikan. Siswa diharapkan menyelesaikan soal cerita melalui suatu proses tahap demi tahap sehingga terlihat alur berpikirnya. Selanjutnya, dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV), siswa dapat menggunakan langkah pemecahan masalah yang salah satunya dikemukan oleh White tentang proses berpikir kritis. Sebagaimana yang dikemukan oleh White terdapat 4 fase dalam memecahkan masalah yaitu pengenalan (recognition), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), dan alternatif penyelesaian (thinking about alternatives). Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses berpikir kritis dalam pemecahan masalah matematika maka dilakukan survey awal. Survei awal dilakukan pada subjek RAN dari SMP 3 Surakarta. Kriteria pemilihan subjek dalam survei awal ini adalah kelas VIII SMP yang telah mendapatkan materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dan subjek lancar berkomunikasi dalam mengemukan gagasan baik lisan maupun tulisan. Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara subjek mengerjakan tes pemecahan masalah tertulis, kemudian setelah itu dilakukan wawancara. Berdasarkan hasil triangulasi waktu yang peneliti lakukan maka dapat diketahui proses berpikir kritis dalam pemecahan masalah (Lampiran 1 dan 2). Secara singkat hasil survei ini diuraikan sebagai berikut : dalam fase pengenalan (recognition) subjek dapat menyebutkan informasi yang diketahui dan hal yang ditanyakan dari masalah. Pada fase analisis (analysis), subjek dapat menjelaskan hubungan antara yang diketahui dan ditanyakan, subjek dapat menganalisis informasi yang dibutuhkan, subjek dapat menggunakan informasi-informasi yang relevan dalam soal atau pengetahuan sebelumnya yang diperoleh untuk commit to user hubungan tiap informasi yang menyelesaikan soal, subjek dapat menjelaskan
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada namun kurang lengkap, subjek dapat menjelaskan langkah-langkah dalam menyelesaikan
soal,
dan
subjek
dapat
menarik
kesimpulan
dari
penyelesaiannya. Adapun fase evaluasi (evaluation), subjek memeriksa kembali hasil pemecahan masalah. Selanjutnya, dalam fase alternatif penyelesaian (thinking about
alternatives)
menyelesaikan
soal
subjek dan
menemukan
dapat
dua
menjelaskan
langkah dengan
lain baik
dalam langkah
penyelesaiannya. Subjek ini mampu berpikir kritis karena telah melalui fase pengenalan (recognition), fase analisis (analysis), fase evaluasi (evaluation), dan fase alternatif penyelesaian (thinking about alternatives). Akan tetapi, subjek ini mengalami masalah saat menjelaskan hubungan tiap informasi yang ada dan hanya menemukan dua alternatif penyelesaian dalam menyelesaikan soal tersebut. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Mei Heni (2012) bahwa siswa yang mempunyai tipe kecerdasan matematis-logis lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai
tipe
kecerdasan linguistik. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan kecerdasan matematis-logis mempunyai kemampuan memecahkan masalah matematika daripada siswa dengan kecerdasan linguistik. Berkaitan dengan hasil survey awal dan penelitian sebelumnya, peneliti bermaksud ingin mengetahui profil proses berpikir kritis siswa lakilaki dan siswa perempuan kelas VIII SMPN yang mempunyai kecerdasan linguistik dan kecerdasan matematis-logis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, terdapat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana profil proses berpikir kritis siswa laki-laki kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan linguistik dalam memecahkan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) ? commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Bagaimana profil proses berpikir kritis siswa perempuan kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan linguistik dalam memecahkan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) 3. Bagaimana profil proses berpikir kritis siswa laki-laki kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan matematis-logis dalam memecahkan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) ? 4. Bagaimana profil proses berpikir kritis siswa perempuan kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan matematis-logis dalam memecahkan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1. Profil proses berpikir kritis siswa laki-laki kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan linguistik dalam memecahkan masalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). 2. Profil proses berpikir kritis siswa perempuan kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan linguistik dalam memecahkan masalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). 3. Profil proses berpikir kritis siswa laki-laki kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan matematis-logis dalam memecahkan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). 4. Profil proses berpikir kritis siswa perempuan kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta yang memiliki kecerdasan matematis-logis dalam memecahkan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Penelitian
ini
memberikan
kontribusi
kepada
pembelajaran
matematika, terutama pada pokok bahasan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). b. Sebagai rujukan teori bagi penelitian-penelitian lanjutan, khususnya yang terkait dengan proses berpikir kritis dalam pemecahan masalah pada siswa kelas VIII Sekolah Menengah Pertama tentang sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan pengetahuan tentang berpikir kritis dan prosesnya dalam pemecahan masalah ditinjau dari kecerdasaan majemuk dan gender. Hasil penelitian ini sebagai informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam strategi pembelajaran matematika khususnya materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Selain itu, mampu memberikan konstribusi khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya.
commit to user